Kumbang Penghisap Kembang 27
Si Kumbang Merah Penghisap Kembang Karya Kho Ping Hoo Bagian 27
Semua mahluk pulang ke sarang masing-masing, pulang ke rumah masing-masing, pikiran ini menyelinap ke dalam benak Kui Hong dan iapun mengerutkan alisnya. Hanya ia seorang yang tidak dapat merasakan kenikmatan itu. Pulang! Ke mana? Ayah ibunya, Cia Hui Song dan Ceng Sui Cin, bersama adik tirinya, Cia Kui Bu, telah meninggalkan Cin-ling-san karena mereka ingin mencari hawa baru dan sementara tinggal di Pulau Teratai Merah. Kesana menyusul ayah ibunya? Ah, ia bukan anak kecil lagi. Ia harus berani hidup sendiri, bukan anak-anak yang selalu mohon perlindungan ayah dan minta dimanjakan ibu. Kembali ke Cin-ling-san? Tentu sekali waktu ia harus kembali ke sana. Bukankah ia adalah pang-cu (ketua) Cin-ling-pai?
Walaupun sesungguhnya ia tidak suka menjadi ketua, banyak urusan dan tidak bebas. Kalau dahulu ia memperebutkan kedudukan pangcu, hal itu dilakukan secara terpaksa karena ia tidak ingin melihat Tang Cun Sek menjadi ketua Cin-ling-pai. Kui Hong menarik napas panjang. Bagaimana seorang gadis seperti ia, seorang wanita, dapat benar-benar merasakan "pulang rumah"
Kalau tidak memiliki rumah tangga sendiri? Dan memillki rumah tangga berarti menikah! Akan tetapi, dengan siapa? Banyak sudah ia menemui pria di dalam hidupnya. Pria-pria yang sungguh merupakan pemuda yang gagah perkasa dan tampan, dan yang memperlihatkan sikap jatuh cinta kepadanya, atau setidaknya suka kepadanya. Dalam setiap perjalanannya, selalu saja ia bertemu pria muda yang memandang kepadanya dengan perasaan hati yang seperti sebuah kitab terbuka.
Demikian jelas pandang mata itu membayangkan keadaan hati yang tertarik! Puluhan orang pemuda sudah, bahkan mungkin ratusan. Bahkan banyak pula yang ingin mendapatkan dirinya, secara halus maupun kasar. Terbayanglah wajah-wajah para muda itu berderet-deret. Sim Ki Liong, Tang Cun Sek, Hay Hay dan kini Cang Sun. Ya, putera Menteri Cang itu cinta kepadanya! Bahkan seluruh anggauta keluarga Cang suka kepadanya dan mengharapkan ia meniadi isteri Cang Sun. Iapun dapat membayangkan betapa kalau ia menjadi isteri Cang Sun, ia akan hidup mulia, terhormat, kaya raya, menjadi seorang wanita bangsawan yang hidup di dalam gedung istana, ke manapun dikawal pasukan, ingin apapun tinggal perintah saja karena puluhan orang pelayan setiap saat siap melayaninya.
"Ah, seperti burung dalam sangkar emas...
"
Ia berbisik dan menarik napas panjang.
Bukan, bukan kehidupan macam itu untuknya! Ia lebih senang hidup bebas kalaupun berumah tangga, menghadapi banyak tantangan hidup, tidak enak-enak seperti itu, bermalas-malasan! Tiba-tiba gadis itu sadar dari lamunannya. Ia mendengar langkah kaki orang Ketika ia menengok, kiranya yang datang menghampirinya adalah Cang Sun! Pemuda itu melangkah dengan tenang menghampirinya, seperti biasa dengan sikap yang lembut, sopan, ramah dan mulutnya tersenyum. Seorang pemuda yang tampan, berpakaian rapi, pembawaannya tenang berwibawa, halus dan lembut, seorang pemuda yang sudah dewasa dan tentu akan menarik hati setiap orang wanita, apalagi kalau diketahui bahwa dia adalah putera tunggal seorang menteri yang amat terkenal, Menteri Cang Ku Ceng yang terkenal bijaksana dan memiliki kekuasaan besar!
"Selamat sore, Hong-moi. Asyik melamunkan apa sore-sore begini seorang diri di dalam taman?"
Kui Hong bangkit dan tersenyum. Ia adalah seorang gadis yang sejak kecil hidup bebas dan sudah berkecimpung di dunia kang-ouw, banyak pengalaman dan sudah terbiasa dengan sikap terbuka, bahkan mengarah kepada sikap lincah jenaka dan berandalan. Akan tetapi, sejak ia berdiam di rumah keluarga Cang, keluarga bangsawan tinggi yang bergelimang kehormatan, mau tidak mau iapun membatasi diri dan sikapnya juga sopan, biarpun masih ramah dan lincah jenaka.
"Aih, kiranya toako yang datang. Selamat sore, Cang-toako."
Biarpun pemuda itu seringkali mendesaknya agar bersikap kekeluargaan dan ramah, namun tetap saja Kui Hong merasa rikuh untuk bersikap terlalu akrab. Canggung rasanya kalau ia menyebut nama kecil pemuda itu, terlalu akrab menyebutnya Sun-koko misalnya. Maka, biarpun ia sudah menghentikan sebutan kongcu (tuan muda) dan menyebut toako (kakak), namun ia menyebut nama keluarga pemuda itu, bukan kakak Sun, melainkan kakak Cang!
"Apa yang kau lamunkan, Hong-moi?"
Pemuda itu duduk di atas bangku, di ujung, dan Kui Homg juga duduk kembali, di ujung yang lain.
"Aku melihat burung beterbangan menuju ke sarang, dan tiba-tiba aku merasa rindu untuk pulang, toako."
"Pulang kemana, Hong-moi?"
Gadis itu mengangkat muka memandang dan karena saat itu Cang Sun juga sedang menatap wajahnya, dua pasang mata itu bertemu dan melihat betapa sepasang mata pemuda itu dengan lembut membayangkan kasih sayang besar. Pemuda bangsawan ini tidak lagi menyembunyikan perasaannya, dan kasih sayang dan kagumnya terbayang jelas dalam pandang matanya.
"Ah, toako. Kemana lagi kalau bukan di tempat tinggal keluargaku? Di Cin-ling-san atau di Pulau Teratai Merah karena saat ini mungkin ayah ibuku masih berada di sana."
"Aih, kukira tadi..."
"Apa yang Kau kira, Cang-toako?"
"Kukira... ah, betapa akan senangnya kalau rasa rindumu itu kau tujukan kepada... eh, diriku dan arti pulang itu ke sini, bukan ke mana-mana. Betapa akan bahagia rasa hatiku kalau engkaupun rindu kepadaku seperti aku selalu merindukan dirimu siang malam, Hong-moi..."
"Hemmm, toako, apa yang kau katakan ini?"
Kui Hong berkata dengan suara mengandung teguran karena baru sekarang pemuda itu begini terang-terangan menyatakan perasaan hatinya.
"Hong-moi, perlukah aku menjelaskan lagi kepadamu? Aku rindu padamu, karena aku cinta padamu, Hong-moi. Betapa aku selalu membayangkan engkau bersanding denganku selamanya, sebagai isteriku tercinta, sebagai ibu anak-anakku"
"Cukup, Cang-toako. Mari kita bicara serius. Katakan, mengapa engkau jatuh cinta kepadaku? Engkau putera seorang bangsawan tinggi, kedudukanmu terhormat, engkau terpelajar tinggi dan kaya raya, dan kalau engkau menghendaki bahkan puteri kaisarpun mungkin dapat menjadi isterimu. Kenapa engkau mendekati aku, seorang gadis ahli silat, gadis kang-ouw yang bergelimang kekerasan? Mengapa? Ingin sekali aku mengetahuinya, dan aku percaya bahwa engkau akan membuat pengakuan sejujurnya, toako."
Cang Sun menarik napas panjang. Alangkah manisnya gadis ini kalau bersikap wajar seperti itu, mengeluarkan semua perasaan hatinya tanpa disembunyikan lagi, tidak seperti wanita pada umumnya, terutama wanita bangsawan yang menyembunyikan kepribadiannya di balik kesopanan dan kehormatan pura-pura yang palsu.
"Pertanyaan yang kau ajukan itu saja sudah mengandung keterbukaan dan kejujuran, Hong-moi. Oleh karena itu, akupun mencoba untuk keluar dari sangkar kesopanan pura-pura yang selama ini sejak aku kecil telah mengurung diriku dalam lingkungan kami. Memang benar ucapanmu tadi, kalau aku menghendaki, mudah bagiku untuk mendapatkan jodoh seorang gadis bangsawan, bahkan mungkin puteri kaisar. Akan tetapi, terus terang saja aku tidak tertarik kepada para gadis yang lemah itu. Melihat engkau aku seperti melihat setangkai bunga yang segar dan sehat. Kalau aku hidup di sampingmu selamanya, aku akan merasa aman. Engkau tentu tahu, kehidupan ayahku sebagai seorang menteri selalu terancam bahaya. Kalau ada seorang seperti engkau ini yang teramat lihai, maka kami sekeluarga akan selalu merasa aman dan terjamin keselamatan kami. Nah, itulah hal-hal pada dirimu yang membuat aku jatuh cinta padamu."
Kui Hong termenung. Ucapan itu memang jujur, dan jelas membayangkan apa yang tersembunyi di balik cinta kasih pemuda bangsawan itu terhadap dirinya.
Justeru karena ia gadis kang-ouw, karena ia memiliki ilmu silat tinggi dan boleh diandalkan sebagai jaminan keselamatan, maka Cang Sun jatuh cinta padanya. Bagaimana andaikata aku seorang gadis lemah seperti para puteri itu? Pertanyaan ini hanya ia ajukan kepada diri sendiri, di dalam batin pula. Tidak tega ia untuk mengajukan pertanyaan itu kepada Cang Sun yang sudah bersikap jujur. Jawaban pemuda itu tentu tidak enak. Kalau tidak jujur ia akan kecewa, kalau jujur hanya akan menyakitkan hati mereka berdua. Cang Sun jatuh cinta kepadanya bukan karena pribadinya, melainkan karena kelihaiannya! Dan hal ini mendatangkan rasa lega di hatinya. Ia sendiri tidak mencinta Cang Sun, dan kenyataan bahwa sesungguhnya pemuda itupun tidak mencintanya, hanya tertarik oleh kepandaiannya, membuat hatinya lega. Cang Sun takkan menderita nyeri hati kalau cintanya ditolak.
"Terima kasih atas kejujuran pengakuanmu dan atas perhatianmu, Cang-toako. Dan akupun tidak ragu-ragu lagi untuk menjawab sejujurnya. Ketahuilah, toako, bahwa aku bukan sekedar basa-basi ketika kukatakan kepada Paman dan Bibi Cang bahwa aku sama sekali belum berminat akan perjodohan. Di samping itu, walaupun aku kagum dan suka bersahabat denganmu, namun terus terang saja, rasanya tidak ada perasaan cinta dalam hatiku terhadap dirimu. Kita dapat saja bersahabat atau bersaudara, akan tetapi tidak berjodoh. Nah, lega hatiku telah dapat berterus terang, toako."
Tepat seperti yang diduganya, pengakuannya yang terus terang bahwa ia tidak mencinta pemuda itu, tidak membuat wajah pemuda tampan itu pucat pasi atau menimbulkan sinar duka pada pandang matanya, melainkan membuat wajah itu berubah kemerahan dan pada matanya terbayang perasaan kecewa dan keheranan.
"Hong-moi... betapapun tidak enaknya kuterima kejujuranmu ini. Katakanlah, apakah di sana sudah ada seorang pria yang memenuhi hatimu?"
Ditanya demikian, wajah Kui Hong juga menjadi kemerahan. Terbayanglah beberapa wajah pria yang pernah menyatakan jatuh cinta kepadanya. Wajah Sim Ki Liong, wajah Tang Cun Sek, dan akhirnya yang tinggal hanyalah wajah Hay Hay! Dan timbullah perasaan rindu yang amat sangat terhadap pemuda ugal-ugalan yang mata keranjang itu! Hay Hay! Ah, betapa rindu hatinya kepada pemuda itu, dan baru sekarang, setelah ditanya demikian oleh Cang Sun, ia melihat kenyataan bahwa sesungguhnya selama ini hanya Hay Hay yang memenuhi hatinya, hanya pemuda ugal-ugalan itulah yang dicintanya, walaupun hal ini dicobanya untuk disangkal dan ditentangnya sendiri.
"Benar, toako, dan... maafkan aku..."
Satu di antara kenyataan yang terasa amat pahit dan menyakitkan hati adalah mendengar pengakuan seorang gadis yang dicinta bahwa ia mencinta orang lain. Namun, berkat lingkungan hidup yang selalu bertopeng kesopanan, Cang Sun dapat menutupi nyeri hatinya dengan senyum, dan dia mengangguk-angguk,
"Aku dapat mengerti, Hong-moi."
Apa yang kita namakan "cinta"
Antara pria dan wanita, itu selalu mendatangkan dua hal yang bertentangan, puas atau kecewa, senang atau susah. Ini membuktikan bahwa yang kita agung-agungkan jtu sesungguhnya hanyalah nafsu belaka. Nafsu adalah gairah, adalah "
Si-aku yang ingin senang."
Nafsu selalu berpamrih, karena bersumber kepada pikiran yang menciptakan si aku lewat pengalaman dan pengetahuan. Pamrihnya hanya satu, walaupun kadang terselubung dan mengenakan beribu macam kedok, yaitu ingin mencapai sesuatu, ingin mendapatkan sesuatu, dan "sesuatu"
Ini pasti yang menyenangkan dirinya.
Tidaklah mengherankan kalau kemudian muncul kecewa dan duka kalau keinginan itu tidak tercapai. Kalau terlaksana keinginan itu, terdapatlah kepuasan. Kepuasan sementara, selewatan saja. Karena nafsu selalu menghendaki lebih. Bukti bahwa yang kita anggap sebagai "cinta suci"
Antara pria dan wanita itu pada hakekatnya hanyalah nafsu, dapat dilihat dari akibat yang ditimbulkan oleh cinta itu. Cinta antara pria dan wanita dimulai dari pandang mata, saling melihat. Dari sini timbul perasaan tertarik, karena apa yang dilihatnya itu menyenangkan hatinya, cocok dengan seleranya. Setelah saling tertarik, timbul keinginan untuk saling memiliki. Kemudian bermunculan akibat nafsu ini. Cemburu, patah hati, duka, benci, pertentangan dan sebagainya. Betapa banyaknya dua orang yang tadinya bersumpah saling mencinta sampai mati, setelah menjadi suami isteri bertengkar setiap hari, bahkan berakhir dengan perceraian dan saling benci! Sungguh aneh kalau cinta kasih murni berakhir menjadi kebencian. Kalau nafsu, sama sekali tidak mengherankan kalau kemudian mendatangkan akibat duka dan kebencian.
Banyak orang melihat kenyataan ini! Mereka melihat bahayanya nafsu yang berselubung sebagai "cinta suci"
Ini, dan untuk menghindarkan diri dari duka, untuk membikin putus ikatan ini, ada orang yang dengan sengaja menjauhkan diri dari asmara ini. Mereka tidak mau melakukan hubungan antara pria dan wanita, menjadi perjaka atau perawan selama hidup, tidak mau atau pantang melakukan hubungan sex. Apakah dengan cara demikian berarti mereka telah terbebas dari nafsu? Apakah nafsu itu hanya muncul melalui gairah berahi saja? Apakah kalau sudah begitu kita akan dapat bebas dari duka? Bagaimana dengan nafsu dalam bentuk lain, keinginan si aku dalam bentuk lain? Masih ada seribu satu macam cara bagi si aku untuk mengejar keinginannya. Bahkan satu di antaranya adalah "keinginan bebas dari nafsu sex"
Itulah! Keinginan memuaskan nafsu dan keinginan menjauhi nafsu datang dari sumber yang sama! Sumbernya adalah si-aku yang ingin! Pamrihnya adalah kesenangan bagi si aku. Karena menyadari bahwa menuruti nafsu menimbulkan duka, maka si aku lalu berkeinginan untuk menjauhi nafsu, tentu saja pamrihnya agar jangan mengalami duka, dan hal ini tentu akan menyenangkan!
Demikian pandainya nafsu daya rendah mempermainkan kita! Demikian pandainya bersalin rupa, sehingga kita sering kali terkecoh. Hati dan akal pikiran kita sudah bergelimang daya rendah, maka apapun yang dihasilkan hati dan akal pikiran, sudah terpengaruh nafsu. Mengapa seluruh badan ini luar dalam bergelimang nafsu? Karena sudah kodratnya demikian! Selama jiwa bersemeyam di dalam badan, agar dapat hidup, badan harus disertai nafsu-nafsu daya rendah.
Tanpa adanya nafsu daya rendah, badan akan binasa. Badan kita ini dapat hidup karena ketergantungan kepada banyak benda. Kita butuh makanan, kita butuh benda-benda, kita butuh orang lain. Kita tidak mungkin dapat terbebas dari ikatani-ikatan dengan daya-daya rendah yang sesungguhnya merupakan alat hidup, merupakan sarana hidup, bahkan kebutuhan mutlak bagi kehidupan. Ini sudah kodratnya, sudah kehendak Tuhan begitu. Kita tidak mungkin mengingkari ini. Nafsu yang kita namakan nafsu sex merupakan kodrat pula. Kita tidak mungkin melenyapkannya, kalau kita menghendaki manusia masih berkelanjutan hidup di dunia ini. Nafsu sex hanya merupakan alat, merupakah sarana perkembang-biakan mahluk manusia. Kalau terdapat kenikmatan di situ, hal itu merupakan anugerah Tuhan yang patut kita syukuri.
Karena seluruh badan kita luar dalam sudah bergelimang nafsu, hati dan akal pikiran kita sudah bergelimang nafsu rendah, maka badan dan batin kita di kuasai nafsu, menjadi hamba nafsu. Padahal, nafsu daya rendah itu seharusnya yang mehjadi alat kita, menjadi hamba kita, menjadi pelayan kita. Lalu bagaimana kita dapat membebaskan diri dari cengkeraman nafsu, kalau "kita"
Ini adalah hati dan akal pikiran yang bergeli mang nafsu?
Hanya satu kekuasaan saja yang akan mampu mengatur, yang akan mampu merobah, yang akan mampu mengembalikan nafsu daya rendah ke dalam tempatnya semula, mengembalikan nafsu daya rendah kepada tempat dan tugasnya yang benar, yaitu sebagai pelayan dalam kehidupan. Kekuasaan itu adalah kekuasaan Tuhan, kekuasaan yang menciptakan nafsu daya rendah, yang menciptakan segala sesuatu di alam mayapada ini! Dan kita? Hanya menyerah! Menyerah dengan sepenuhnya, menyerah dengan ikhlas, dengan tawakal, dengan pasrah. Menyerah sebulatnya dengan mutlak, tanpa adanya hati akal pikiran yang mencampuri.
Yang ada hanya penyerahan. Yang ada hanya kepasrahan. Yang ada hanya pengamatan, penerimaan tanpa disertai keinginan hati akal pikiran. Menyerah dan menerima, merasakan dan waspada, bukan "aku"
Yang waspada.
Kui Hong dapat melihat perubahan pada muka pemuda itu. Dara ini melihat kekecewaan dan juga penyesalan membayang pada wajah tampan itu, maka iapun cepat mengalihkan perhatian pada persoalan lain.
"Toako, di mana adanya Paman Cang? Aku ingin menghadap dan bicara padanya. Kenapa dia jarang nampak? Apakah ada kesibukan?"
Usahanya itu berhasil. Perhatian Cang Sun teralihkan dan wajahnya tidak lagi dicekam kekecewaan dan kedukaan.
"Ayah memang sedang sibuk bukan main. Banyak sekali urusan yang harus ditanganinya."
"Ah, sayang aku tidak dapat membantu ayahmu, toako. Tugas yang diberikan kepadaku untuk menyelidik ke istanapun telah gagal. Tidak ada gunanya lagi aku tinggal lebih lama di sini."
"Hong-moi, tidak perlu engkau merasa menyesal. Tentu saja engkau tidak berhasil menangkap penjahat yang mencemarkan istana bagian puteri itu, karena penjahat itu memang sudah tewas."
Kui Hong terkejut bukan main. Ia menatap wajah pemuda itu dan matanya terbelalak.
"Sudah tewas? Siapa yang menewaskannya dan siapa pula penjahat itu, toako? Kenapa aku tidak pernah mendengar akan hal itu?"
"Memang hal itu dirahasiakan, orang luar tidak boleh tahu. Akan tetapi engkau tidak kuanggap orang luar, apalagi engkau pernah melakukan penyelidikan untuk menangkap penjahat cabul. Penjahat cabul itu ternyata adalah seorang perajurit pengawal thai-kam yang bertugas di dalam istana."
"Ahhh...!"
Kui Hong menjadi semakin heran.
"Dan siapa yang telah membunuhnya, toako?"
Pemuda
(Lanjut ke Jilid 25)
Ang Hong Cu (Seri ke 10 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 25
itu tersenyum.
"Pembunuhnya yang amat berjasa itu bahkan orang yang pernah dicurigai ayah, yaitu bekas perwira Tang Bun An."
Kini Kui Hong terbelalak dan mulutnya terbuka. Demikian besar rasa heran dan kagetnya mendengar keterangan yang sama sekali tidak disangka-sangkanya itu sehingga sampai beberapa lama ia tidak mampu bersuara! Akhirnya ia mampu mengendalikan perasaannya dan ia berkata dengan suara yang tenang saja, sama sekali tidak membayangkan ketegangan yang mencekam hatinya.
"Hemm, dia... ? Jadi perwira Tang... eh, kau katakan tadi bekas perwira, toako?"
"Benar, karena dia kini telah mengundurkan diri"
"Cang toako, aku merasa tertarik sekali! Maukah engkau menceritakannya kepadaku semua yang terjadi? Bagaimana Paman Cang dapat tahu bahwa penjahat itu telah terbunuh oleh Tang-ciangkun, dan mengapa pula Tang-ciangkun mengundurkan diri. Aku ingin tahu sekali..."
Cang Sun tersenyum. Dia merasa girang bahwa percakapan telah beralih sehingga dia tidak lagi merasakan akibat dari penolakan cinta gadis itu.
"Begini, Hong-moi. Tadinya ayah memanggil Tang-ciangkun untuk minta perwira itu ikut mencari penjahat cabul di dalam istana. Akan tetapi, Tang-ciangkun yang tadinya harus merahasiakan peristiwa itu seperti diperintahkan Permaisuri, lalu memberitahukan bahwa penjahat itu telah ditangkap dan dibunuhnya atas perintah Hong-houw (Permaisuri)."
"Ahhh...!"
Diam-diam Kui Hong mengepal tinju dengan hati panas sekali. Sudah jelas yang menjadi penjahat cabul adalah Tang Bun An sendiri alias Ang-hong-cu, dan keparat itu malah berlagak menjadi penangkap dan pembunuh penjahat cabul! Ingin dia berteriak mengatakan bahwa Tang Bun An itulah penjahat cabulnya, akan tetapi ia menahan gelora hatinya. Ia sudah berjanji kepada Ang-hong-cu dan janjinya lebih berharga dari pada nyawa. Sampai matipun ia tidak akan mau memusuhi Ang-hong-cu, tidak mau pula membuka rahasianya betapa hatinya seperti akan menjerit-jerit menentang janjinya sendiri itu.
"Jadi, diakah yang telah menangkap dan membunuh penjahat cabul itu? Dan mengapa pula setelah membuat jasa yang amat besar itu dia lalu mengundurkan diri? Bukankah kedudukannya sudah kuat dan baik sekali?"
Pertanyaan ini bukan iseng atau pura-pura, memang hatinya penuh dengan pertanyaan ini.
"Hal itupun pernah kutanyakan kepada ayah. Ternyata Tang-ciangkun adalah seorang patriot, seorang yang mencinta tanah air dan bangsa, yang setia kepada kerajaan. Melihat betapa ada usaha pembunuhan terhadap kaisar yang dilakukan pembunuh bayaran yang diperintah oleh orang-orang kulit putih dan juga dibunuh olehnya, maka dia mengajukan permohonan untuk berhenti sebagai perwira pengawal. Dan setelah berhenti, dia hendak menghimpun semua kekuatan kang-ouw, mempersatukan kekuatan kang-ouw untuk membela negara. Dan ayah menyetujui niatnya yang mulia itu, yaitu membantu pemerintah melalui dunia kang-ouw, dunia persilatan yang menjadi dunianya."
Kui Hong mengerutkan alisnya. Ia sendiri merasa bingung. Ia tahu bahwa biarpun Ang-hong-cu seorang tokoh sesat yang amat jahat terhadap wanita, namun harus diakui dia bukan pemberontak, dan setia terhadap kerajaan. Pernah hal ini dibuktikannya ketika Ang-hong-cu menyamar sebagai Han Lojin dan membantu pemerintah untuk membasmi gerombolan pemberontak yang dipimpin Lam-hai Giam-lo. Apakah benar bahwa Ang-hong-cu meninggalkan kedudukan dan kemuliaan hanya untuk dapat berbakti kepada negara melalui dunia kang-ouw? Sehebat itukah semangat kepahlawanan seorang penjahat cabul macam Ang-hong-cu? Tidak, ia tidak percaya! Tentu ada pamrih lain di balik kepatriotannya itu! Dan ia akan menyelidikinya, walaupun ia tentu saja tidak mungkin memusuhinya, telah terbelenggu oleh janjinya sendiri.
Karena hari sudah menjelang senja. Kui Hong minta diri dan meninggalkan taman itu, memasuki kamarnya. Setelah tiba di dalam kamarnya, ia membanting diri di atas pembaringan, telentang dan melamun. Pengakuan cinta dari Cang Sun membangkitkan semua kenangan lama, pengalaman-pengalaman yang sudah lalu. Dengan hati perih harus diakuinya bahwa ia merindukan Hay Hay! Dan ia pernah menuduh pemuda itu sebagai Ang-hong-cu pemerkosa wanita! Akan tetapi, bagaimana ia dapat memikirkan tentang cinta pada saat seperti itu? Cinta? Menikah? Ia sudah bersumpah untuk tidak menikah sebelum Ang-hong-cu tewas! Dan jelas penjahat itu tidak mungkin dapat tewas di tangannya. Kui Hong menarik napas panjang.
Dua tugasnya, yaitu mencari Sim Ki Liong dan Tang Cun Sek, merampas dua pedang pusaka Cin-ling-pai dan Pulau Teratai Merah belum terlaksana dan ia sudah gagal pula menangkap Ang-hong-cu, bahkan terikat janji yang membuat ia sama sekali tidak berdaya terhadap penjahat itu. Kalau membayangkan hal ini, ingin rasanya ia menjerit-jerit dan menangis. Engkau sungguh tolol, berjanji seperti itu. Ratusan kali ia memaki dan menyalahkan diri sendiri. Akan tetapi kalau ia membayangkan keadaannya ketika tertawan Ang-hong-cu, ia bergidik. Kalau saja ia dibunuh, hal itu tidak mengapa. Akan tetapi, Ang-hong-cu adalah penjahat cabul yang keji. Ia akan mengalami siksaan dan penghinaan yang jauh lebih hebat dari kematian. Itulah yang memaksanya untuk berjanji! Tapi, itu berarti bahwa ia masih dicengkeram perasaan takut! Demikian ia menyalahkan dirinya sendiri.
Biarpun tidak takut menghadapi maut, akan tetapi takut menghadapi penyiksaan, penghinaan dan pemerkosaan! Itu berarti bahwa tetap saja ia seorang penakut, seoang pengecut! Karena pengecutnya, kini ia harus membiarkan jai-hwa-cat itu bebas dan bertindak semaunya tanpa ia mampu turun tangan. Ia pengecut! Beberapa titik air mata menetes turun ke atas kedua pipi. Kui Hong merasa menyesal bukan main. Tidak pantas ia menjadi seorang pendekar, tidak pantas sama sekali ia menjadi seorang pangcu dari perkumpulan orang gagah seperti Cin-ling-pai. Ia terlalu mementingkan diri sendiri, terlalu sayang diri sendiri. Dengan perasaan amat tertekan, pada keesokan harinya Kui Hong menghadap Menteri Cang Ku Ceng dan berpamit untuk meninggalkan rumah keluarga Cang, bahkan meninggalkan kota raja.
"Ehh? Kenapa tergesa-gesa, Kui Hong? Aku sedang menanti hasil penyelidikan tentang dua orang muda itu yang selain kuserahkan kepada para penyelidik, juga aku minta bantuan bekas perwira Tang."
"Paman, saya tidak ingin membikin repot paman lagi. Sudah terlalu lama saya meninggalkan orang tua saya. Saya ingin pulang dan melaporkan semua kegagalan saya kepada ayah dan ibu."
"Kui Hong, kami sudah menganggap engkau sebagai keluarga sendiri. Sayang..."
Sampai di sini, suara Nyonya Cang tersendat.
"...sayang engkau tidak berjodoh dengan putera kami, akan tetapi hal itu tidak menghalangi kami untuk menyayangmu sebagai keluarga sendiri."
Mendengar ini, Kui Hong melirik ke arah Cang Sun dan merasa berterima kasih. Pemuda itu agaknya telah memberitahukan ayah ibunya tentang penolakannya dan keluarga yang budiman itu agaknya sama sekali tidak mendendam atau menyesal. Hal ini membuat perasaan hatinya menjadi semakin rikuh. Setelah mencoba untuk menahan tidak berhasil, akhirnya Menteri Cang berkata,
"Baiklah, Kui Hong. Kami tidak berhak untuk menahanmu lebih lama lagi di sini, akan tetapi kami sungguh mengharapkan agar engkau tidak melupakan kami yang menganggapmu seperti keluarga sendiri."
Bagaimanapun juga, sikap ramah dan akrab dari keluarga itu mendatangkan keharuan di dalam hati pendekar wanita itu. Ia memberi hormat dan berkata dengan suara tegas,
"Percayalah, paman dan bibi, juga engkau, Cang-toako, bahwa aku Cia Kui Hong selama hidupku tidak akan melupakan keluarga Cang yang budiman. Semoga kita kelak dapat saling bertemu kembali dalam suasana yang lebih akrab dan bahagia."
Biarpun tadinya ia menolak, namun karena desakan Menteri Cang, akhirnya Kui Hong tidak mampu menolak lagi ketika tuan rumah itu menghadiahkan seekor kuda yang amat baik kepadanya. Dengan diantar oleh keluarga itu sampai di pintu gerbang rumah mereka, Kui Hong meninggalkan keluarga itu setelah sempat membisikkan kata-kata yang membuat Menteri Cang Ku Ceng termenung setelah gadis itu pergi. Bisikan itu hanya singkat saja.
"Paman, kuharap paman sekali lagi bertanya kepada Hong-houw tentang penjahat cabul di istana itu."
Kui Hong memang sengaja membisikkan kata-kata ini. Untuk menyebut nama Ang-hong-cu ia tidak berani karena sudah terikat janji. Maka, ia menganjurkan pejabat tinggi itu untuk menyelidiki lagi melalui Permaisuri. Kalau Permaisuri berani menyatakan kebenaran keterangan Tang Bun An yang jelas berbohong, maka tentu ada apa-apa di balik pernyataan itu, ada apa-apa yang tidak wajar antara Permaisuri dan Ang-hong-cu!
"Aduh, aku lelah sekali, Hay-ko "
Gadis itu mengeluh, lalu menjatuhkan diri duduk di bawah sebatang pohon besar, menyandarkan punggungnya pada batang pohon dan menjulurkan kedua kakinya, memijati kedua kaki dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya melepaskan ikatan buntalan kain di pundak, lalu menghapus keringat dari leher dan dahinya. Hay Hay terpaksa berhenti dan memandang gadis itu sambil tersenyum. Mayang sungguh manis bukan main. Anak rambut di dahi menjadi kusut ketika ia menggunakan saputangan menghapus keringatnya, akan tetapi justeru keadaan pakaian yang tidak rapi, anak rambut yang kusut, muka yang basah oleh keringat itu yang membuat ia nampak semakin manis! Rambutnya yang panjang hitam dikuncir dua itu tergantung manja di depan dada,
Matanya yang sipit kini terpejam sehingga nampak bulu mata merapat lentik, hidungnya yang mancung kembang-kempis dan mulutnya yang kecil dengan bibir merah basah itu cemberut. Kulit muka dan leher yang putih mulus itu kini kemerahan. Mereka memang sejak pagi melakukan perjalanan tiada hentinya, dan kini telah lewat tengahari, maka tidak mengherankan kalau gadis itu mengeluh kelelahan. Mayang memang bukan seorang gadis lemah, bahkan ia pandai berburu, sudah biasa berkeliaran di hutan-hutan dan gunung-gunung. Akan tetapi baru sekarang bersama Hay Hay ia melakukan perjalanan yang jauh dan berjalan kaki setiap hari melalui daerah-daerah yang terjal dan sukar. Hay Hay merasa iba juga dan diapun menghampiri, lalu duduk pula di dekat adik tirinya itu, menurunkan buntalan dari punggungnya.
"Sudah kukatakan bahwa perjalanan ini amat jauh, Mayang, amat melelahkan, apa lagi bagi seorang gadis seperti engkau. Kasihan engkau, Mayang."
Sepasang mata yang tadinya terpejam itu terbuka, sipit namun indah bentuknya, dengan kedua ujung pinggir meruncing dan naik, mulut yang cemberut itu kembali mengeluh.
"Uuhh, koko, kau bilang kasihan? Jangan kasihani aku, akan tetapi kasihanilah kedua kakiku ini. Seperti remuk rasanya!"
Hay Hay mendekati gadis itu. Dia memang merasa iba dan dapat membayangkan betapa nyeri rasa kedua kaki yang kecil mungil itu. Otot-otot kedua kaki itu tidak biasa dipergunakan untuk jalan jarak jauh, maka tentu rasanya nyeri dan penat, otot-otot seperti mau pecah dan tulang seperti retak-retak. Akan tetapi, kelelahan pada otot-otot itu mudah saja dilenyapkan atau dikurangi.
"Mari kupijati kedua kakimu untuk menghilangkan rasa penat itu, adikku."
Katanya dan tanpa menanti jawaban, kedua tangannya sudah mulai memijati kaki kiri Mayang. Dengan jari-jari tangannya yang peka dan terlatih, Hay Hay lalu memijati dan menekan jalan-jalan darah dan otot-otot besar dari paha, belakang lutut, betis dan di sepanjang kaki, memulihkan jalan darah dan melemaskan otot-otot yang menjadi kaku. Dia melakukannya dengan lembut sekali sehingga Mayang merasa keenakan. Bukan hanya nyaman rasanya dipijati oleh seorang ahli yang tahu akan jalan darah, namun juga biarpun kakinya terbungkus celana sutera, namun ia merasa seolah-olah jari tangan itu menyentuh kakihya penuh kemesraan dan kasih sayang.
Mayang memejamkan lagi kedua matanya dan hatinya dipenuhi kemesraan yang mengharukan. Seketika ia lupa bahwa pemuda yang memijati kakinya itu adalah saudaranya seayah, dan timbul pula perasaan kasih sayangnya sebagai seorang wanita terhadap seorang pria, yang membuat pernapasannya tersendat-sendat. Hay Hay yang sudah mulai memijati kaki kanan, tentu saja dapat melihat dan mendengar pernapasan Mayang. Dia mengangkat muka memandang wajah gadis itu dan melihat wajah itu kini menjadi merah sekali, betapa cuping hidung yang mancung itu kembang kempis dan mulutnya agak terbuka, seolah pernapasan tidak cukup melalui kedua lubang hidungnya. Karena memang sudah selesai dengan pemijatan itu, Hay Hay menghentikannya dan bertanya sambil menyentuh pundak gadis yang masih memejamkan kedua mata itu.
"Mayang, engkau kenapakah? Sakitkah engkau?"
Tanyanya penuh kekhawatiran. Sentuhan pada pundak yang lembut itu seperti menjebolkan bendungan. Sambil merintih Mayang lalu merangkul Hay Hay dan menangis di dada pemuda itu, menangis sesenggukan sehingga amat mengejutkan Hay Hay. Dia tidak tahu mengapa Mayang dapat menangis sesedih itu. Padahal, sepanjang pengetahuannya, Mayang adalah seorang gadis yang berhati tabah, bahkan keras dan tidak cengeng sama sekali. Andaikata ia kelelahan, tidak mungkin ia menangis seperti anak kecil.
Akan tetapi melihat betapa gadis itu menangis dengan sungguh-sungguh, menangis penuh kesedihan, diapun tidak berani main-main dan membiarkan gadis itu menangis sepuasnya. Pada saat seperti itu, tangis merupakan obat yang paling ampuh bagi orang yang sedang dilanda kesedihan. Diapun hanya mengelus kepala gadis itu, dengan kasih sayang seorang kakak. Dia sama sekali tidak tahu betapa elusan tangan yang lembut pada kepala itu menambah derasnya air mata mengalir dari kedua mata sipit itu. Betapapun derasnya, hujan akan mereda, air matapun akan terkuras habis dan tangispun akan terhenti. Apalagi bagi seorang gadis seperti Mayang, seorang gadis berhati baja. Biarpun tadi ia terseret dan hanyut oleh keharuan hatinya, akhirnya ia dapat menenteramkan hatinya dan isaknya semakin lirih dan jarang.
"Nah, sekarang katakan, mengapa engkau menangis."
Kata Hay Hay, masih lembut dan belum berani bercanda seperti biasanya, takut kalau akan salah ucap dan menyentuh kembali hati gadis itu. Mayang masih merangkulkan kedua tangannya di leher Hay Hay, dan kini rangkulannya semakin kuat, seolah-olah ia mengerahkan tenaga dan memaksa diri untuk bicara.
"Hay-ko... maafkan aku... akan tetapi aku... aku... sangat cinta padamu..."
Hay Hay mencium rambut di kepala itu sambil tersenyum.
"Aihhh, tentu saja. Akupun amat cinta padamu, Mayang. Engkau adikku dan aku kakakmu...
"
"Tidak! Bukan itu! Aku cinta padamu bukan sebagai adik, melainkan... ah, koko, engkau tentu tahu... aku... aku hanya akan dapat hidup berbahagia kalau menjadi isterimu..."
"Mayang...!"
Hay Hay melepaskan rangkulannya dan mendorong dengan lembut gadis itu, dipegangnya kedua pundak gadis itu dan di jauhkan, dipaksanya agar mereka saling pandang. Dengan mata sipit dan agak bengkak gadis itu memandang, sinar matanya penuh kedukaan.
"Mayang, adikku yang bengal! Apa yang kau katakan ini? Inginkah engkau menyeret kita berdua ke dalam lembah dosa yang tak dapat diampuni? Kita ini saudara, Mayang. Ingat, saudara seayah! Kita sama-sama satu darah, satu she (Marga) sehingga kalau kita menjadi suami isteri, bukan hanya seluruh manusia akan mengutuk kita, juga Tuhan akan menghukum kita. Sadar dan ingatlah, adikku. Kalau kita karena keadaan tidak dapat saling cinta seperti suami isteri, apakah kita tidak dapat saling mencinta sebagal kakak dan adik?"
Mayang memandang wajah Hay Hay dengan membuka-buka matanya yang penuh air mata, dan iapun mengangguk-angguk. Gerakan ini membuat beberapa titik air mata yang sudah bergantung pada pelupuk matanya berjatuhan. Penglihatan ini demikian mengharukan hati Hay Hay sehingga diapun menahan air matanya keluar dari sepasang matanya yang panas. Dia tahu bahwa andaikata Mayang bukan adik seayah, mungkin saja dia benar-benar akan jatuh cinta kepada gadis ini, dan akan mencintainya sebagai seorang isteri yang baik.
"Eh, bagaimana rasanya kedua kakimu sekarang?"
Tanya Hay Hay untuk mengalihkan persoalan dari batin adiknya. Mayang memandang ke arah kakinya dan mulutnya yang kecil mungil membentuk senyum lagi. Senyum itu mendatangkan kecerahan seperti matahari tersembul dari balik awan setelah hujan mereda. Ia lalu bangkit berdiri, melangkah ke sana-sini, menggerak-gerakkan kedua kakinya.
"Wah sudah tak terasa lelah lagi, Hay-ko. Hebat, engkau boleh membuka praktek menjadi tukang pijat. Pasti laris!"
"Ihh! Kau ingin kakakmu menjadi tukang pijat tradisional? Siapa yang akan suka membiarkan tubuhnya kupijati?"
"Siapa yang akan suka? Hemm, Hay-koko, akan banyak yang berdatangan, terutama kaum wanitanya. Tukang pijatnya tampan, dan pijatannya sungguh membuat tubuh terasa nyaman, hilang semua kelelahan. Para wanita akan berebutan dan antri untuk minta kau pijati, berani membayar mahal!"
Si Kumbang Merah Penghisap Kembang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Huh, bagaimana kalau yang berdatangan dan antri itu nenek-nenek yang napasnya sudah empas-empis? Jangan-jangan selagi kupijati, mereka itu kehabisan napas. Bukan upah banyak yang kuperoleh, malah urusan berabe, orang menyangka aku membunuh para nenek itu!"
Mayang tertawa dan diam-diam Hay Hay girang bukan main melihat adiknya itu sudah dapat tertawa. Memang bukan watak Mayang untuk menjadi seorang wanita cengeng.
"Koko, kenapa engkau ini bisa segala? Apa sih yang kau tidak bisa? Dari mana pula engkau mempelajari ilmu pijat yang membuat badan terasa begini enak?"
"Mayang, apa sukarnya mempelajari ilmu memijat? Bukankah engkau sudah banyak mempelajari ilmu silat dari subomu? Engkaupun tentu sudah mempelajari letak jalan darah dan kedudukan tulang. Nah, pengetahuanmu tentang itu sudah cukup menjadi dasar untuk mempelajari ilmu pijat. Biarlah kalau ada waktu senggang akan kuajarkan kepadamu biar kelak kalau ada yang membutuhkan, engkau akan mampu memijatinya dan mengusir kelelahan dari tubuhnya."
"Ih, siapa yang akan membutuhkan aku untuk memijatinya?"
"Siapa lagi kalau bukan... eh, suamimu kelak."
Sepasang mata yang sipit itu dilebarkan, dan mulut yang tadinya tersenyum itu cemberut. Mayang bangkit berdiri dan bertolak pinggang.
"Hay-ko, engkau nakal! Aku tidak akan mempunyai suami!"
"Eh, kenapa, Mayang? Maafkan, aku hanya main-main. Bagaimanapun juga, kelak engkau tentu akan menikah dan sudah sepatutnya kalau engkau memijati suamimu. Itu wajar, bukan?"
"Tidak! Aku tidak akan menikah!"
"Eh-eh, bagaimana mungkin? Engkau adikku yang begini manis, begini cantik jelita, begini lihai dan pandai. Ribuan orang pemuda akan saling berebutan untuk menjadi suamimu, dan engkau tidak akan menikah?"
"Aku tidak akan suka bicara tentang perjodohan sebelum...
"
"Sebelum apa? Hayo katakan, sebelum apa, adikku sayang?"
"Sebelum engkau sendiri menikah, Hay-ko."
Hay Hay berhenti bernapas. Lehernya seperti dicekik dari dalam rasanya karena keharuan yang menyerbu keluar dari dalam hatinya. Dia mengerti. Mayang demikian mencintanya, cinta seorang gadis terhadap seorang pemuda, cinta seorang wanita terhadap pria, bukan cinta kasih antara saudara. Hanya kenyataan bahwa mereka seayah sajalah yang membuat gadis itu memaksa diri melihat kenyataan dan menekan gejolak hatinya. Namun, cintanya masih tetap dan gadis itu tentu saja merasa berat untuk menikah dengan pria lain, maka mengatakan bahwa ia baru mau bicara tentang perjodohan setelah Hay Hay, pria yang dicintanya, juga kakaknya sendiri, telah menikah dengan wanita lain tentu saja. Setelah berdiam sesaat dan memandang kepada adiknya, akhirnya dapat pula Hay Hay mengeluarkan keluhan lirih,
"Mayang..."
Mendengar suara yang menggetar ini dan melihat wajah kakaknya seperti orang menahan tangis. Mayang menubruk dan merangkul pinggang Hay Hay, menyembunyikan mukanya di dada pemuda itu.
"Hay-ko, ahhh... maafkan aku, Hay-koko "
"EngKau lah yang harus memaafkan aku, Mayang. Adikku sayang!"
Beberapa lamanya mereka berpelukan, kini dengan perasaan kasih sayang kakak dan adik, sampai kemudian Hay Hay merasa betapa lemahnya mereka membiarkan perasaan mereka hanyut oleh keharuan.
"Wah-wah, apakah kita ini sedang main panggung, menjadi anak wayang? Ha-ha-ha, sayang tidak ada penontonnya!"
Mayang memandang wajah pemuda itu, lalu iapun terkekeh-kekeh geli sehingga suasana menjadi gembira sekali. Lalu mereka melanjutkan perjalanan sambil bergandengan tangan dan di sepanjang perjalanan itu, Mayang bernyanyi-nyanyi.
Terlupalah semua kedukaannya tadi dan kini mereka seperti kakak beradik yang sedang pesiar bersenang-senang. Setelah melakukan perjalanan cepat, kadang melalui air sungai, kadang mereka membeli kuda dan berkuda, akhirnya tibalah mereka di daerah kota raja. Di sepanjang perjalanan, mereka hanya menemukan rintangan yang tidak berarti. Berkat ilmu kepandaian mereka yang tinggi, semua rintangan dapat mereka atasi dan beberapa kali perampokan terhadap mereka berakhir dengan kocar-kacirnya para perampok. Pada suatu sore, tibalah mereka di sebuah dusun di luar kota raja. Ketika mereka menanyakan jalan yang menuju ke kota raja kepada penduduk, seorang penduduk tua yang merasa khawatir melihat Mayang gadis yang cantik jelita lagi muda itu, segera memberi nasihat.
"Sebaiknya kalau kongcu dan, siocia (tuan muda dan nona) bermalam saja di dusun ini dan besok setelah matahari naik baru melanjutkan ke kota raja."
"Akan tetapi kenapa, paman? Apakah perjalanan tidak aman?"
Tanya Mayang kepada penduduk dusun itu.
"Apakah ada gangguan perampokan di tengah perjalanan, paman? Ataukah gangguan binatang buas?"
Tanya pula Hay Hay. Kakek itu menggeleng kepala.
"Kalau bicara tentang keamanan, sekarang di sekitar daerah kota raja aman, tidak pernah terjadi perampokan, bahkan tidak ada pencuri berani melakukan kejahatan. Akan tetapi, bagi seorang wanita muda dan cantik seperti nona, sungguh tidak aman sama sekali melakukan perjalanan di waktu sore dan malam hari. Perjalanan menuju ke kota raja masih cukup jauh dan kalau malam sunyi sekali. Sebaiknya kalau melakukan perjalanan pada besok hari siang, di mana terdapat banyak orang berlalu lalang sehingga nona tidak akan terancaman gangguan."
"Hemm, apakah tidak ada jalan pintas yang lebih dekat, paman?"
Tanya Hay Hay, maklum akan maksud ucapan kakek itu tentu kecantikan Mayang akan menarik banyak pria yang mata keranjang dan hidung belang, dan mereka itulah yang akan merupakan pengganggu, bukan para perampok yang menghendaki uang.
"Ada, ada jalan pintas melalui hutan di bukit sana itu. Lebih dekat dan memakan waktu lebih singkat, akan tetapi juga lebih berbahaya karena di sana banyak berkeliaran binatang buas, dan di sanapun keselamatan seorang gadis seperti nona ini terancam."
"Tapi, siapakah yang akan menganggu aku, paman? Dan mengapa pula seorang wanita diganggu? Siapa mereka yang suka menganggu wanita?
"Sstt, jangan keras-keras bicara, nona."
Kata kakek itu setengah berbisik sambil memandang ke kanan ke kiri dengan sikap jerih.
"Tidak ada penjahat yang menggunakan kekerasan. Akan tetapi kini banyak sekali orang-orang gagah yang agaknya membutuhkan isteri. Kalau mereka bertemu seorang gadis, apalagi yang muda dan cantik seperti nona, mereka akan memaksa nona untuk menjadi isteri. Isteri yang sah! Sudah banyak sekali gadis yang menjadi isteri orang-orang itu."
"Ehh? Kalau aku tidak mau, apakah mereka itu akan memaksaku?"
Tanya Mayang dengan sikap penasaran dan mulai marah.
"Kalau begitu, mereka itu sama saja dengan penjahat, bahkan lebih keji lagi!"
"Ssttt... jangan keras-keras, nona. Mereka itu bukan penjahat, dan tidak pernah terdengar berita mereka memaksakan kehendak atau memperkosa wanita. Para gadis itu nyata-nyata mau menjadi isteri mereka. Mereka sungguh bukan penjahat, bahkan para penjahat takut kepada mereka. Mereka adalah para anggauta perkumpulan Ho-han-pang."
Mendengar nama perkumpulan itu, Mayang dan Hay Hay saling pandang. Ho-han-pang (Perkumpulan Patriot Gagah)? Kalau menurut nama itu, tentu saja mereka tidak perlu khawatir mendapat gangguan. Mana ada para ho-han, yaitu sebutan bagi orang-orang gagah yang berjiwa pahlawan, mau menganggu wanita?
"Paman, di mana lebih banyak kemungkinan bertemu dengan para ho-han itu, melalui jalan raya ataukah melalui jalan pintas?"
Tanya Hay Hay. Kakek itu mengerutkan alisnya.
"Kongcu, kalau engkau sendiri yang melakukan perjalanan, melalui jalan raya tidak akan ada bahaya apapun. Akan tetapi bagi nona ini..., di jalan raya tentu akan bertemu banyak anggauta Ho-han-pang...
"
"Jangan khawatir, paman. Kami adalah sahabat para hohan (orang gagah). Terima kasih, paman, kami akan melanjutkan perjalanan sekarang juga."
Setelah berkata demikian, Hay Hay meloncat ke atas punggung kudanya, diikuti oleh Mayang. Gadis ini tersenyum manis kepada kakek itu, sedikitpun tidak memperlihatkan rasa takut dan melihat cara gadis itu meloncat Ke atas Kuda, Kakek itupun dapat menduga bahwa gadis cantik itu tentulah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Kalau tidak begitu, mana ada gadis muda cantik yang tidak takut menghadapi orang-orang Ho-han-pang, bahkan menganggap mereka sebagai sahabat? Hay Hay dan Mayang membalapkan kuda mereka keluar dari dusun itu setelah jauh meninggalkan dusun, mereka menahan kuda mereka dan Hay Hay mengajak adiknya bicara.
"Bagaimana pendapatmu tentang keterangan kakek tadi, Mayang?"
"Tentang Ho-han-pang itu? Aku merasa curiga sekali, Hay-ko. Mana ada ho-han suka menganggu wanita?"
"Cocok dengan perasaanku, Mayang. Keterangan tadi tentu hanya mempunyai dua arti. Pertama, ada gerombolan orang jahat yang berkedok perkumpulan orang gagah dan menggunakan nama muluk Ho-han-pang. Dan ke dua, keterangan kakek tadi yang keliru. Mereka memang orang, orang gagah yang bergabung dalam perkumpulan Ho-han-pang dan kakek tadi yang jahat dan memusuhi mereka maka menyebar berita bohong memburukkan mereka."
Mayang mengangguk-angguk.
"Mudah-mudahan saja kita akan bertemu dengan mereka dan membuktikannya sendiri, orang-orang macam apa adanya mereka yang mengaku para anggauta Ho-han-pang itu. Atau mungkin mereka bukan orang yang suka melakukan kejahatan seperti mencuri atau merampok, seperti dikatakan kakek tadi bahwa daerah ini sekarang aman karena para penjahat takut kepada Ho-han-pang, melainkan sekumpulan laki-laki mata keranjang seperti...
"
Gadis itu menghentikan ucapannya dan menutupi mulutnya seperti hendak mencegah kata-kata selanjutnya meloncat keluar dari mulut kecil itu.
"Seperti apa, Mayang?"
"Seperti... engkau, Hay-ko!"
Hay Hay mengerutkan alisnya, pura-pura marah.
"Ihh, engkau menghina aku, ya? Siapa yang mata keranjang? Kau memang bengal!"
Tangannya meraih hendak mencubit, akan tetapi Mayang tertawa-tawa sambil membedal kudanya, membalap ke depan, dikejar Hay Hay. Mereka berkejaran sambil tertawa-tawa, seperti dua orang kanak-kanak bermain-main dan diam-diam perasaan Hay Hay menjadi girang melihat adiknya sudah melupakan sama sekali kedukaannya tadi. Dia tidak tertarik untuk menyelidiki orang-orang Ho-han-pang.
Urusannya sendiri sudah cukup penting dan belum juga berhasil dia laksanakan dengan hasil baik, yaitu mencari Ang-hong-cu, musuh besarnya dan juga ayah kandungnya, yang bukan saja telah melakukan banyak sekali kejahatan mengganggu wanita, akan tetapi juga telah mencemarkan nama baiknya karena orang-orang gagah menyangka bahwa dialah yang melakukan perkosaan dan gangguan terhadap para wanita itu. Tiba-tiba Mayang menahan kudanya. Melihat gadis itu menghentikan kudanya, Hay Hay juga menahan kendali kudanya. Dia tidak bertanya karena dia yang berada di belakang Mayang juga sudah melihat apa yang membuat adiknya itu berhenti. Di depan mereka, malang melintang di tengah jalan raya, terdapat lima orang penunggang kuda yang jelas sengaja menghadang mereka dan memenuhi jalan. Dia memandang tajam penuh perhatian kepada lima orang itu.
Matahari belum rendah benar dan sinarnya masih cukup terang. Lima orang itu adalah pria semua, berusia antara dua puluh lima sampai tiga puluh lima tahun. Mereka berpakaian cukup rapi dan bahkan mewah, pakaian yang ringkas dan melihat gagang pedang atau golok di punggung mereka, mudah diketahui bahwa mereka adalah orang-orang dunia persilatan. Muka mereka terawat dan bersih, dan sikap mlerekapun tidak kasar seperti biasanya para perampok atau penjahat. Sikap mereka itu lebih pantas sikap orang-orang muda bangsawan atau hartawan yang berlagak congkak mengandalkan kedudukan atau kekayaan orang tua mereka. Ada pula lagak gagah-gagahan yang biasanya dimiliki orang-orang yang memiliki ilmu silat yang kepalang tanggung dan merasa bahwa dirinyalah orang yang paling lihai di dunia ini.
Ayam katai keruyuknya lebih nyaring dari pada ayam besar. Gentong kosong gaungnya lebih nyaring dari pada gentong penuh isi. Kelima orang ltu sama sekali tidak memperhatikan Hay Hay. Mata mereka semua ditujukan kepada Mayang, dan mulut mereka tersenyum-senyum. Sikap mereka tidak kasar, bahkan tidak ada ucapan-ucapan tidak sopan keluar dari mulut mereka yang tersenyum, akan tetapi pandang mata mereka itu amat dikenal oleh Mayang. Pandang mata pria yang dibakar nafsu berahi kalau melihat wanita cantik. Oleh pandang mata seperti itu saja, Mayang sudah merasa marah dan ia tahu dengan orang macam apa ia berhadapan. Segera ia teringat akan keterangan kakek di dusun tadi, tentang sekelompok orang yang menamakan diri mereka ho-han atau orang gagah berjiwa pahlawan yang menentang kejahatan akan tetapi mereka suka mengganggu wanita.
"Apakah kalian ini yang dinamakan orang-orang Ho-han-pang?"
Mayang langsung saja berteriak dengan suara lantang dan membentak. Lima orang pria muda itu saling pandang, kemudian mereka tertawa. Sikap mereka ketika tertawapun tidak kasar, melainkan suara ketawa orang-orang yang biasa bersopan-santun, atau orang-orang terpelajar! Seorang di antara mereka, yang berkumis tipis, mengajukan kudanya dan mewakili teman-temannya memberi hormat dengan merangkapkan kedua tangan di depan dada.
"Selamat sore, nona. Maafkan kebodohan kami bahwa kami tidak mengenal nona yang ternyata telah mengenal kami. Kami berlima memang orang-orang Ho-han-pang. Bolehkah kami mengetahui siapa nama nona dan hendak pergi ke manakah?"
Melihat sikap mereka yang sopan, bagaimanapun juga Mayang merasa tidak enak untuk bersikap kasar. Mulailah ia meragu. Mereka ini harimau-harimau berkedok domba, ataukah keterangan kakek tadi yang tidak benar dan bersifat fitnah? Ia harus berhati-hati, jangan sampai nanti ditertawakan oleh Hay Hay yang nampaknya hanya diam saja di belakangnya itu.
"Aku tidak ingin berkenalan dengan kalian, tidak perlu memperkenalkan nama. Aku hanya ingin tahu mengapa kalian sengaja menghadang dan merintangi perjalanan kami? Minggirlah dan beri jalan kepada kami!"
Kembali si kumis tipis mewakili teman-temannya dan dengan sikap hormat dia menjawab,
"Maafkan kami, nona. Kami memang sengaja menghadang bukan dengan itikad buruk, melainkan sudah menjadi tugas kami untuk menjaga keamanan di wilayah ini. Karena nona seorang yang asing dan belum kami kenal, maka sudah menjadi kewajiban kami untuk bertanya dan mengetahui siapa nona dan temanmu itu. Ketahuilah bahwa keamanan di seluruh daerah kota raja menjadi tanggung jawab Ho-han-pang, karena itu kami harus berhati-hati dan selalu menyelidiki pendatang yang belum kami kenal. Oleh karena itu, harap nona dan teman nona suka memperkenalkan diri dan memberitahukan kami, dari mana nona datang dan hendak kemana nona pergi."
"Hemm, apakah Ho-han-pang kini telah menggantikan pasukan pemerintah untuk menjaga keamanan? Bagaimana kalau kami tidak mau memperkenalkan diri. Apa yang hendak kalian lakukan?"
Kembali lima orang itu saling pandang, masih tersenyum dan kini pandang mata mereka bertambah kekaguman terhadap keberanian gadis jelita itu menantang mereka. Dan si kumis tipis kembali berkata,
"Nona, agaknya nona belum mendengar tentang Ho-han-pang, maka nona tidak mempercayai kami. Ketahuilah bahwa ketua kami adalah Beng-cu yang hendak mempersatukan seluruh kekuatan di dunia persilatan. Beng-cu kami adalah seorang pendekar dan pahlawan yang berilmu tinggi, yang hendak menuntun semua tokoh kang-ouw untuk menjadi patriot pembela negara! Beng-cu kami membawa kami ke jalan kebenaran dan siapa yang menentang tentu akan tergilas oleh kebenaran. Karena itu, harap nona suka memperkenalkan diri sehingga kami tidak akan memberi laporan buruk tentang diri nona kepada ketua perkumpulan kami."
Empat orang temannya itupun memberi hormat kepada Mayang dan berkata,
"Maafkan kami, nona."
Sikap mereka berlima itu demikian sopan dan menarik, disertai senyuman menghias pada wajah mereka yang rata-rata memang tampan dan gagah. Mayang hendak bersikeras tidak mau memperkenalkan diri, akan tetapi tiba-tiba ia mendengar suara Hay Hay di belakangnya.
"maafkan adikku ini, ngo-wi ho-han (lima orang gagah)! Terus terang saja, adikku enggan memperkenalkan diri karena maklumlah, sebagai gadis-gadis terhormat, bagaimana mungkin memperkenalkan diri begitu saja kepada lima orang pria muda?"
Mayang hendak menegur kakaknya dengan marah, akan tetapi ia bengong ketika melihat betapa lima orang laki-laki itu kini bersikap aneh sekali. Mereka berlima itu memandang kepada Hay Hay dengan sikap aneh, kini mereka berlagak dan pasang aksi! Bahkan seorang di antara mereka berkata lirih,
"Aduhhh... bukan main jelitanya nona berbaju biru ini..."
Mayang hanya sebentar saja terheran. Setelah ia memperhatikan, ia dapat merasakan getaran tak wajar yang keluar dari arah Hay Hay, maka tahulah ia bahwa kakaknya sudah main-main lagi, mempergunakan sihirnya mempengaruhi lima orang itu yang agaknya melihat dia sebagai seorang wanita jelita! Maka, Mayang kini diam saja, hanya senyum-senyum geli, hendak melihat apa yang akan dilakukan Hay Hay terhadap lima orang anggauta Ho-han-pang itu. Si kumis tipis itu kini memandang kepada Hay Hay yang mengajukan kudanya. Jelas betapa sinar mata si kumis tipis itu terpesona dan penuh kagum.
"Duhai nona yang cantik jelita dan manis budi! Terima kasih atas keramahanmu dan kami mohon sudi kiranya nona memperkenalkan diri bersama adik nona itu."
"Aku bernama Ma Hwa dan adikku ini bernama Ma Yang. Kami datang dari luar kota raja dan hendak melihat-lihat keindahan kota raja. Kalian sungguh sopan dan gagah, terutama engkau sungguh ganteng dengan kumis tipismu."
"Nona Ma Hwa dan nona Ma Yang. Ji-wi (kalian berdua) adalah gadis-gadis jelita dari luar kota yang memasuki kota raja, biarlah kami yang akan mengawal kalian agar jangan terdapat gangguan di dalam perjalanan."
"Ah, tidak perlu dikawal. Kami berani pergi berdua saja!"
Ma Yang cepat berkata karena ia tidak ingin ditemani lima orang itu. Ia mendahului kakaknya karena takut kalau-kalau kakaknya itu akan menerima tawaran mereka.
"Kalau begitu, barangkali kami dapat membantu ji-wi?"
Si kumis tipis masih terus menawarkan jasa baiknya. Sikap lima orang itu demikian sopan dan menarik, dan kini mengertilah Mayang mengapa banyak gadis yang terpikat dan menjadi isteri para anggauta Ho-han-pang. Kiranya Ho-han-pang memiliki anggauta pria-pria muda yang pandai berlagak.
Pendekar Mata Keranjang Eps 14 Pendekar Mata Keranjang Eps 34 Asmara Berdarah Eps 22