Ceritasilat Novel Online

Asmara Berdarah 10


Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo Bagian 10



Melindungi dan mempertahankan kaisar muda ini berarti melindungi dan mempertahankan kedudukannya sendiri. Semua ini mereka ketahui dari percakapan antara para datuk sesat malam itu. Hui Song lalu membagi pekerjaan. Dia minta agar Sui Cin yang dikenalnya sebagai pemuda gembel lihai itu melakukan pengamatan di telaga yang disebut Telaga Emas, sedangkan Hui Song sendiri akan menghubungi Menteri Liang dan Jenderal Ciang. Mereka lalu berpisah. Sui Cin yang sudah merasa bosan menyamar sebagai pemuda gembel setelah kini berpisah dari Hui Song lalu berganti pakaian menjadi dara cantik sederhana seperti biasa dan pagi itu ia sudah menikmati keindahan alam di tepi telaga. Kini ia mengerti mengapa telaga itu dinamakan Telaga Emas.

   Memang tiap pagi sinar matahari merobah air telaga menjadi keemasan. Ia tidak perlu melakukan pengamatan sambil bersembunyi. Kini ia merupakan seorang gadis perantau yang sedang berkelana dan melancong ke telaga ini. Cukup wajar dan ia dapat pesiar sambil memasang mata. Andaikata Kui-bwe Coali muncul dan nenek iblis ini menyerangnya, iapun tidak takut! Akan tetapi ketika pagi itu ia datang ke tepi telaga, keadaan di situ amat sepi dan yang muncul bukan Kiu-bwe Coali atau tokoh sesat lainnya, melainkan seorang pemuda tampan pesolek yang sudah dikenalnya, yaitu Sim Thian Bu! Ia sama sekali tidak tahu bahwa pemuda ini sejak tadi telah mengamati semua gerak-geriknya dari tempat tersembunyi. Sim Thian Bu tiba-tiba muncul dan dengan ramah berseru gembira,

   "Nona Ceng! Aih, akhirnya kita saling berjumpa juga. Memang kita ada jodoh! Aku memang tempo hari mengajakmu pesiar ke telaga ini, akan tetapi di tengah perjalanan engkau pergi. Tak kusangka kita justeru saling jumpa di Telaga Emas ini. Bukankah ini jodoh namanya?"

   Tentu saja Sui Cin merasa kaget melihat munculnya pemuda ini dan iapun agak tertegun mengingat bahwa ia pernah meninggalkan pemuda ini malam-malam tanpa pamit. Akan tetapi iapun teringat akan sikap kurang ajar pemuda ini, bahkan sekarangpun pemuda ini berkali-kali bicara tentang jodoh!

   "Saudara Sim, pergilah dan jangan ganggu, aku ingin sendirian,"

   Katanya singkat. Akan tetapi pemuda tampan pesolek itu tersenyum dan memandang ke kanan kiri. Tempat itu sangat sepi pada saat itu. Permukaan telagapun masih sunyi, hanya ada sebuah perahu kecil nampak jauh di tengah telaga dengan seorang saja di dalamnya, agaknya seorang nelayan yang kesiangan. Sim Thian Bu sama sekali tidak memperdulikan nelayan dengan perahunya yang jauh itu.

   "Nona Ceng, kenapa sikapmu begitu terhadapku? Bukankah kita sudah berkenalan dan menjadi sahabat baik? Pertemuan yang tidak kita sangka-sangka ini tandanya bahwa kita berjodoh. Marilah kita pelesir dan bersenang-senang berdua, nona. Jangan kau tinggalkan aku lagi. Aku... sejak pertemuan pertama itu, aku sudah tergila-gila padamu, nona..."

   "Tutup mulutmu!"

   Sui Cin membentak marah.

   "Ahhh..."

   Salahkah kalau seorang pemuda seperti aku tergila-gila dan jatuh cinta kepada seorang gadis sepertimu? Engkau yang salah, siapa suruh engkau begini cantik manis menggairahkan?"

   Wajah Sui Cin yang putih halus itu menjadi merah. Belum pernah selama hidupnya ada laki-laki bicara seperti itu kepadanya. Rasa malu dan marah, membuatnya sukar bicara. Akan tetapi sebagai seorang gadis bebas yang jujur, harus diakuinya bahwa ucapan pemuda itu tak dapat disebut kurang ajar. Bukankah Sim Thian Bu mengeluarkan isi hatinya secara jujur? Pendapat ini menyabarkan hatinya dan iapun tersenyum.

   "Saudara Sim, pergilah dan jangan menggangguku kalau kau tidak ingin kuanggap sebagai musuh."

   Thian Bu tersenyum lebar, dan matanya dipicingkan, memandang dengan gaya lucu memikat, kemudian dia bertepuk tangan tertawa.

   "Ha-ha! Aku mengerti sekarang. Engkau belum dapat menerima cintaku karena engkau belum mengenal kepandaianku, bukan? Seorang dara pendekar tentu hanya mau bergaul dengan seorang pemuda yang lihai pula ilmu silatnya. Nah, di sini merupakan tempat yang baik sekali untuk menguji kepandaian, nona Ceng. Silakan!"

   Pemuda itu memasang kuda-kuda dengan gaya dibuat-buat. Sui Cin tersenyum mengejek. Bagaimanapun juga, terasa olehnya ketidak-wajaran dalam sikap Thian Bu. Hui Song juga nakal dan jenaka, akan tetapi selalu menjaga kesopanan dan tidak pernah menyinggung perasaan. Sebaliknya, dalam kata-kata, pandang mata dan senyum Sim Thian Bu terkandung suatu sikap cabul dan kurang ajar yang membuat Sui Cin merasa ngeri dan juga marah.

   "Aku tidak ingin mengujimu melainkan menghajarmu!"

   Hardiknya dan Sui Cin sudah menerjang maju dengan tamparan-tamparan kedua tangannya.

   "Heiittt... perlahan dulu..."

   Wah, jangan galakgalak, nona manis!"

   Thian Bu mengelak, bahkan berusaha menangkap pergelangan tangan Sui Cin. Tentu saja Sui Cin tidak sudi ditangkap dan ia menarik kembali tangannya lalu menerjang dengan dahsyat mempergunakan pukulan dan tendangan.

   "Aih, engkau bersungguh-sungguh, manis?"

   Thian Bu mengejek dan diapun mengelak, menangkis dan membalas tak kalah dahsyatnya.

   Sim Thian Bu sudah tahu bahwa dia berhadapan dengan puteri Pendekar Sadis yang lihai sekali, maka dia tidak berani memandang ringan dan segera mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya. Sebaliknya, baru sekarang Sui Cin benar-benar berkenalan dengan ilmu kepandaian pemuda itu dan diam-diam ia terkejut karena ternyata Thian Bu amat lihai! Melihat ketangguan lawan, Sui Cin lalu mainkan Ilmu Silat Hok-mo Sin-kun (Silat Sakti Penakluk Iblis) dari ibunya. Ilmu silat ini amat cepat dan ganas dan jarang ada orang mampu menandinginya. Akan tetapi ternyata Thian Bu dapat melawan dengan baik, bahkan keceriwisan pemuda itu membuat Sui Cin merasa malu, kikuk dan gugup.

   "Ha-ha, manis. Bagaimanapun, engkau harus menyerahkan diri padaku!"

   Pemuda itu menyerang sambil main colek ke arah dada dan dagu Sui Cin secara kurang ajar sekali. Kini barulah dara itu sadar dengan orang macam apa ia berhadapan. Seorang pemuda cabul yang agaknya biasa menggoda, mempermainkan dan menghina wanita. Ia sudah mendengar tentang seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) dan kini ia menduga bahwa tentu pemuda yang disangkanya pendekar ini sebetulnya adalah seorang penjahat cabul!

   "Bangsat jai-hwa-cat!"

   Sui Cin memaki.

   "Heh-heh, baru sekarang engkau tahu? Ha-ha-ha!"

   Thian Bu tidak marah dimaki begitu, malah tertawa-tawa dan mempercepat gerakannya. Kini Sui Cin benar-benar kaget. Kiranya pemuda tampan yang tadinya dianggap seorang pendekar yang berkunjung pada pertemuan para pendekar di Bukit Perahu itu, ternyata benar seorang jai-hwa-cat seperti pengakuannya tadi. Seorang penjahat cabul! Berarti kaki tangan kaum sesat yang menyusup dan kini muncul pula di tepi telaga. Tentu ada hubungannya dengan usaha pembunuhan Menteri Liang.

   "Jahanam busuk, manusia palsu! Engkau tentu kaki tangan kaum sesat!"

   Bentaknya dan dengan tenaga sakti Thian-te Sin-ciang ia menerjang. Kemarahan membuat tenaga dara ini menjadi berlipat ganda. Sim Thian Bu memang berwatak sombong dan selalu memandang rendah orang lain. Maka dia kurang waspada dan terjangan dahsyat Sui Cin itu ditangkis seenaknya saja.

   "Dess..."

   Akibatnya, tenaga Thian-te Sin-ciang yang dahsyat itu melanda ke arah Thian Bu dan membuatnya terlempar ke belakang dan terbanting keras! Akan tetapi pada saat Sui Cin berhasil membuat lawan terjengkang, pada saat itu ada angin keras menyambar dari arah kiri. Sui Cin yang tadinya siap menyusulkan pukulan pada Thian Bu, cepat memutar tubuh hendak menangkis.

   "Plakk!"

   Tongkat itu tertangkis, akan tetapi bukan mental malah meluncur ke samping dan menotok punggung Sui Cin.

   "Tukk!"

   Dara itu merasa betapa tubuhnya menjadi lemas dan iapun roboh terkulai.

   Sejak tadi, perahu kecil yang nampak dari jauh tadi sudah bergerak menuju ke pantai itu. Kakek sendirian yang duduk di perahu kecil itu bukan nelayan karena dia duduk sambil memainkan sebuah alat Yang-kim (semacam siter). Ketika kakek itu melihat robohnya Sui Cin, dia menghentikan permainan musiknya. Kakek penabuh Yang-kim ini adalah Shantung Lo-kiam. Seperti telah kita ketahui, kakek sasterawan pendekar ini pernah muncul pula dalam pertemuan antara para datuk sesat. Dia ikut mendengar rencana kaum sesat untuk membunuh Menteri Liang yang sejak lama menjadi sahabat baiknya, maka dia selalu mengamati. Hari itu dia mendengar bahwa Menteri Liang akan pesiar di Telaga Emas. Oleh karena itulah maka dia menanti di situ untuk ikut melindunginya. Ketika pagi hari itu dia melihat seorang gadis yang tidak dikenalnya dirobohkan orang, tentu saja pendekar tua ini tidak tinggal diam dan segera mendayung perahunya ke pantai.

   "Siancai..."

   Di tempat hening seperti ini masih saja ada kejahatan!"

   Shantung Lo-kiam meloncat naik ke darat sambil membawa alat musik Yang-kim yang tadi ditabuhnya. Melihat munculnya seorang kakek tua renta membawa Yang-kim, orang yang merobohkan Sui Cin dengan totokan itu memandang galak. Dia adalah seorang kakek yang perutnya gendut sekali. Dan kakek ini pernah dilihat oleh Sui Cin ketika ia mengintai di gedung Hwa-I Kai-Pang bersama Hui Song. Kakek inilah yang bernama Bhe Hok, tokoh Hwa-I Kai-Pang baru yang menjadi pembantu ketua perkumpulan pengemis ini. Dia cukup lihai dengan tongkatnya dan juga licik sehingga ketika Sui Cin lengah tadi karena berhasil membuat Sim Thian Bu terjengkang, dara itu berhasil ditotoknya.

   "Hemm, tua bangka bosan hidup dari mana berani mencampuri urusan kami?"

   Bentak kakek berperut gendut itu.

   "Bhe-lopek, dia adalah Shantung Lo-kiam, musuh kita!"

   Tiba-tiba Sim Thian Bu berseru. Ternyata pemuda ini tidak terluka parah, tadi hanya terjengkang karena dahsyatnya tenaga dara itu. Mendengar nama ini, kakek perut gendut terkejut dan cepat dia menyerang dengan tongkatnya, menghantam ke arah kepala lawan. Shantung Lo-kiam mengangkat alat musiknya menangkis.

   "Trang... cringg..."

   Terdengar suara nyaring ketika tongkat bertemu Yang-kim. Dua orang kakek itu lalu berkelahi dengan seru. Sementara itu, sambil tersenyum licik, Sim Thian Bu menyambar tubuh Sui Cin yang lemas, memanggulnya dan membawanya lari dari situ. Perkelahian antara dua orang kakek itu terjadi cepat dan seru, akan tetapi si gendut segera mengerti bahwa kakek yang menjadi lawannya itu terlalu kuat baginya. Melihat Sim Thian Bu sudah melarikan gadis tadi, diapun meloncat dan melarikan diri memasuki hutan di tepi telaga. Kakek pemegang Yang-kim itu tidak mengejar, melainkan mencari-cari dengan pandang matanya.

   Ketika dia tidak melihat ke mana dara tadi dilarikan, dia hanya menggelenggeleng kepala dan menarik napas panjang, kemudian diapun melompat kembali ke dalam perahunya dan mendayung perahunya ke tengah telaga. Dia memiliki tugas yang dianggapnya lebih penting dari pada mencari dara yang dilarikan orang itu. Orang-orang mulai berdatangan ke tepi telaga. Nelayan dan pelancong. Keadaan tenang dan biasa saja seolah-olah tidak pernah dan tidak akan terjadi sesuatu yang luar biasa di tempat itu. Kemudian, saat yang ditunggu-tunggu dengan hati tegang oleh orang-orang yang bersembunyi, tibalah. Sebuah kereta yang dikawal enam orang perajurit datang ke tepi telaga. Dengan pengawalan ketat, seorang laki-laki berpakaian pembesar bergegas menuruni kereta dan masuk ke dalam sebuah perahu besar yang memang sudah siap di pantai itu.

   Itulah Menteri Kebudayaan Liang, pejabat tinggi yang gemar memancing ikan di telaga itu. Perahu itu berlayar ke tengah telaga. Peristiwa ini tidak menarik perhatian orang yang asyik dengan kesibukan masing-masing dan sebentar saja perahu besar yang kini berada di tengah telaga itu sudah dilupakan orang. Sementara itu, kesibukan-kesibukan rahasia terjadi di sekitar tempat itu. Sebuah perahu hitam dengan bilik tertutup didayung cepat oleh dua orang, meluncur ke tengah telaga menuju perahu besar Menteri Liang. Setelah perahu hitam tiba dekat perahu besar, mendadak tiga orang berlompatan naik ke atas perahu besar dengan kecepatan luar biasa. Mereka itu adalah Kiu-bwe Coali, Kui-kok Lomo dan Kui-kok Lobo! Serentak mereka menyerbu pembesar yang asyik duduk memegang tangkai pancing itu.

   "Tartartar..."

   Pembesar Liang, bersiaplah engkau untuk mampus!"

   Kiu-bwe Coali yang memegang tugas membunuh pembesar itu menerjang sambil menggerakkan cambuknya yang berekor sembilan. Sinar hitam menyambar ke arah pembesar itu dari belakang. Kakek dan nenek Kui-kok itupun sudah berhantam melawan enam orang perajurit pengawal dan terkejutlah mereka ketika mendapatkan kenyataan bahwa pera pengewal itu ternyata rata-rata memiliki ilmu silat tinggi. Dan terjadilah perkelahian hebat antara suami isteri Kui-kokpang itu melawan pengeroyokan enam orang pengawal istimewa. Akan tetapi yang paling kaget adalah Kiu-bwe Coali. Ketika cambuknya menyambar, tiba-tiba Menteri Kebudayaan Liang itu menggerakkan tangkai pancingnya ke belakang.

   "Wuuuttt..."

   Ayaaaa... aduuuhh..."

   Kiu-bwe Coali berteriak kesakitan. Tali pancing yang panjang itu menangkis dan membelit cambuk, membuat sembilan ekor cambuk itu lumpuh dan ujung tali kail masih menyambar dan mengait pangkal lengan kiri nenek iblis itu, masuk ke dalam daging tua! Bukan main nyerinya, kiut-miut rasanya dan nenek itu cepat mencengkeram dan membikin putus tali pancing sehingga mata kail itu tertinggal di daging pangkal lengannya. Pembesar itu sudah bangkit berdiri dan membalikkan tubuh. Kiranya dia seorang pemuda tampan yang tertawa gembira, dengan nada mengejek.

   "Wah, tak kusangka pancingku mendapat seekor ikan siluman ekor sembilan!"

   Kiu-bwe Coali memandang dengan mata mendelik dan kemarahannya memuncak ketika ia melihat bahwa orang yeng memakai pakaian pembesar ini adalah seorang pemuda, sama sekali bukan Menteri Kebudayaan Liang. Ia dan teman-temannya telah tertipu dan terjebak. Ada orang yang sengaja menyamar dan menggantikan pembesar itu untuk menyambut serangan mereka.

   "Kita tertipu!"

   Teriaknya mengingatkan dua orang kawannya.

   "Dia bukan Menteri Liang!"

   Kemudian ia menggerakkan senjatanya dan menyerang pemuda itu dengan ganas.

   Pemuda itu adalah Hui Song. Seperti kita ketahui, pemuda ini membagi tugas dengan Sui Cin. Dia sendiri mengunjungi Menteri Liang dan melaporkan bahaya yang mengancam keselamatan menteri itu. Lalu diatur jebakan. Hui Song menyamar dan menggantikan sang menteri dalam kereta menuju ke perahu di telaga, dikawal oleh enam orang jagoan yang menyamar sebagai perajurit-perajurit biasa.

   Padahal mereka adalah perwira-perwira pilihan! Akan tetapi enam orang pengawal itu masih kewalahan menghadapi amukan kakek dan nenek Kui-kokpang, sedangkan Hui Song sendiri mendapat kenyataan betapa lihainya nenek bercambuk ekor sembilan ini. Dia dapat menduga bahwa nenek ini tentulah seorang tokoh Cap-sha-kui yang berjuluk Kiu-bwe Coali. Diam-diam dia harus mengakui kelihaian nenek ini. Masih untung mereka berkelahi di atas perahu, bukan di darat. Kabarnya nenek ini pandai memanggil dan mengerahkan ular-ular untuk mengeroyok lawan. Kedua pihak yang berkelahi mengharapkan bantuan masing-masing. Para penyerbu tentu saja merasa heran sekali mengapa dua orang kawan yang boleh mereka andalkan itu tidak juga muncul. Mereka telah bertemu dengan Sim Thian Bu yang sudah berjanji membantu,

   Bahkan pemuda cabul itu hendak melakukan pengamatan bersama seorang tokoh Hwa-I Kai-Pang yang bernama Bhe Hok itu. Tentu saja para iblis Cap-sha-kui tidak tahu bahwa Bhe Hok tidak kuat menandingi Shantung Lo-kiam sehingga melarikan diri sedangkan Sim Thian Bu setelah memperoleh mangsa, lupa akan janjinya. Di lain pihak, Hui Song juga terheran-heran mengapa pemuda gembel yang menjadi sahabatnya itu, Sui Cin, tak kunjung muncul untuk membantunya. Tiba-tiba terdengar suara Yang-kim dan muncullah seorang kakek lihai yang bukan lain adalah Shantung Lo-kiam. Begitu naik ke atas perahu di mana sedang terjadi perkelahian itu, kakek ini segera membantu enam orang pengawal yang terdesak. Melihat betapa para penjahat itu terjebak oleh seorang pemuda perkasa yang menyamar sebagai Menteri Liang yang dibantu oleh enam orang pengawal pilihan, kakek ini tertawa.

   "Ha-ha-ha! Para tokoh Cap-sha-kui terjebak seperti tiga ekor tikus dalam perangkap, Ha-ha-ha."

   Dan diapun menggerakkan senjatanya yang sesungguhnya, yaitu sebatang pedang sedangkan Yang-kim di tangan kirinya hanya dipergunakan sebagai perisai. Dan ternyata, sesuai dengan julukannya, yaitu Lo-kiam (Pedang Tua), begitu memainkan pedangnya, kakek ini memperlihatkan kelihaiannya. Tiga orang tokoh Cap-sha-kui merasa terkejut bukan main melihat munculnya Shantung Lo-kiam yang sudah mereka ketahui kelihaiannya. Munculnya kakek ini tentu saja menambah kekuatan lawan dan membahayakan diri mereka. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara berdesir nyaring dan segera terasa getaran perahu disusul teriakan para anak buah perahu besar,

   "Perahu terbakar..."

   Hui Song, enam orang pengawal dan Shantung Lo-kiam terkejut melihat betapa ujung perahu terbakar.

   Mereka meloncat ke tepi dan melihat sebuah perahu kecil tak jauh dari situ. Ada dua orang yang berada di dalam perahu itu, seorang kakek kurus memegang tongkat dan seorang pemuda remaja yang berdiri tegak di atas perahu. Pemuda ini memegang sebuah busur dan dialah yang tadi melepaskan anak panah berapi yang membakar perahu besar. Melihat peristiwa ini, tiga orang datuk Cap-sha-kui bergerak cepat. Merekapun meloncat meninggalkan lawan dan melihat perahu kecil itu mereka lalu berlompatan turun dari perahu besar menuju ke perahu kecil itu. Kui-kok Lomo dan Lobo dapat hinggap di atas perahu kecil itu. Perahu terguncang dan lompatan Kiu-bwe Coali tidak tepat. Nenek ini tentu terjatuh ke air kalau saja pemuda itu tidak cepat mengulur tangan kiri menyambar ujung baju si nenek dan sekali tarik dengan sentakan,

   Tubuh nenek itu tertahan dan dapat turun ke atas perahu dengan selamat! Gerakan pemuda yang memegang busur ini sungguh cekatan dan amat kuatnya sehingga diam-diam Hui Song harus mengakui bahwa pemuda itu merupakan lawan yang amat tangguh. Ketika para pengawal dan Hui Song hendak mengejar, tiba-tiba pemuda di atas perahu kecil itu kembali meluncurkan dua buah anak panah berapi yang tepat mengenai layar dan bilik perahu besar sehingga terjadi kebakaran besar. Sementara itu tiga orang tokoh Cap-sha-kui sudah bergerak mendayung perahu tanpa diperintah lagi sehingga perahu kecil itu meluncur pergi dengan cepatnya. Terpaksa Hui Song, para pengawal dan Shantung Lo-kiam sibuk membantu para anak buah perahu memadamkan api dan membiarkan perahu kecil yang membawa lima orang sesat itu melarikan diri.

   Dengan kecepatan luar biasa, perahu kecil yang didayung oleh orang-orang kuat itu sebentar saja lenyap. Hui Song kecewa sekali. Dia tadinya mengharapkan untuk dapat menangkap seorang di antara mereka agar rahasia kejahatan Liu-thaikam dapat terbongkar. Tanpa adanya bukti, sukar untuk menjatuhkan pembesar korup yang amat dipercaya oleh kaisar itu. Kalau ada bukti dan saksi, barulah kejahatan pembesar itu dapat terbongkar dan diketahui oleh kaisar. Para pengawal dan anak buah perahu besar ternyata sudah mengenal baik kakek pembawa Yang-kim itu dan mereka semua bersikap hormat. Memang kakek ini tidak asing bagi para pembantu dan keluarga Menteri Liang yang menjadi sahabat baiknya. Hui Song segera maju memberi hormat kepada Shantung Lo-kiam.

   "Terima kasih atas bantuan locianpwe."

   Kakek itu tersenyum dan memandang kagum kepada pemuda itu.

   "Orang muda, aku Shantung Lo-kiam, sejak dahulu adalah sahabat baik Menteri Liang maka tidak aneh kalau aku membela beliau. Akan tetapi engkau seorang muda sudah berani menghadapi para datuk sesat dari Cap-sha-kui, sungguh amat mengagumkan. Siapakah engkau, orang muda?"

   Mendengar bahwa kakek ini adalah Shantung Lo-kiam yang terkenal sebagai seorang pendekar angkatan tua, Hui Song menjadi kagum. Dia menjura dan memperkenalkan diri,

   "Saya bernama Cia Hui Song, locianpwe."

   "She (marga) Cia? Adakah hubungannya dengan keluarga Cia dari Cin-Ling-Pai?"

   Hui Song agak meragu. Akan tetapi ketika dia menghadap Menteri Liang, terpaksa dia memperkenalkan diri sehingga enam orang pengawal itu telah mengetahui keadaan dirinya. Kini seorang dari mereka menyela,

   "Locianpwe, Cia-taihiap ini adalah putera ketua Cin-Ling-Pai."

   "Ah, pantas begini gagah perkasa!"

   Kakek itu memuji kagum, kemudian dia menarik napas panjang.
"Sayang para penjahat itu dapat melarikan diri..."

   "Siapakah pemuda yang melepas anak panah dan kakek bertongkat dalam perahu kecil tadi, locianpwe? Saya melihat pemuda itu lihai sekali,"

   Tanya Hui Song.

   "Aku sendiri belum pernah bertemu dengan kakek itu, akan tetapi aku yakin bahwa tentu dia yang kini memimpin para tokoh sesat dan dialah agaknya yang bernama Siangkoan Lojin dan berjuluk Si Iblis Buta."

   "Ahhh..."

   Enam orang perwira pengawal itu terkejut mendengar nama ini. Akan tetapi Hui Song tidak mengenalnya.

   "Dan pemuda itu?"

   Tanyanya.

   "Entahlah,"

   Jawab Shantung Lo-kiam.

   "Akan tetapi aku pernah mendengar bahwa dia mempunyai seorang putera yang kabarnya telah mewarisi semua kepandaiannya. Mungkin juga pemuda tadi puteranya. Sayang, kalau kita tadi dapat menawan seorang saja di antara mereka, tentu akan memperoleh banyak keterangan."

   Hui Song teringat akan sahabatnya yang tidak pernah muncul.

   "Locianpwe, saya mempunyai seorang kawan, seorang pemuda gembel yang berada di sini terlebih dulu untuk mengamati. Dia cukup lihai, dan kalau dia tadi membantu, mungkin kita berhasil. Akan tetapi saya merasa heran sekali mengapa dia tidak muncul. Apakah barangkali locianpwe tadi ada melihatnya?"

   Kakek itu mengingat-ingat lalu menggeleng kepala.

   "Seorang pemuda gembel? Tidak ada aku melihatnya. Pagi tadi di sini aku hanya melihat seorang gadis cantik berkelahi melawan seorang pemuda dan seorang tokoh Hwa-I Kai-Pang gendut. Aku turun tangan membantunya, akan tetapi iblis Hwa-I Kai-Pang itu melarikan diri dan nona itu ditawan dan dilarikan si pemuda. Sayang aku tidak dapat mengejar, karena aku harus menanti datangnya Menteri Liang."

   "Siapakah pemuda itu dan siapa pula gadis yang dilarikannya itu, locianpwe?"

   Tanya Hui Song dengan alis berkerut dan hati terasa tidak enak.

   "Aku tidak mengenal mereka akan tetapi harus diakui bahwa mereka berdua bukan orang muda sembarangan. Gadis itu lihai dan roboh karena dibokong dan dikeroyok. Pemuda itupun lihai sekali dan melihat gerak-geriknya, sepatutnya dia seorang pendekar. Akan tetapi pandang matanya cabul. Aku sedang menanti Menteri Liang untuk melindunginya, maka menyesal sekali aku tidak sempat melakukan pengejaran terhadap pemuda yang melarikan gadis itu."

   Hui Song merasa semakin tidak enak hatinya. Dia teringat akan enci dari Sui Cin. Dia sendiri tidak tahu mengapa dia menghubungkan peristiwa itu dengan encinya Sui Cin. Akan tetapi ketidakmunculan pemuda gembel itu membuat hatinya merasa gelisah.

   "Biar saya yang akan mencarinya, locianpwe,"

   Katanya sambil menanggalkan jubah menteri yang menutupi pakaiannya sendiri, kemudian diapun meloncat ke atas sebuah perahu nelayan yang berdekatan dan minta kepada nelayan itu untuk mengantarnya ke pantai. Kini banyak perahu mendekati perahu pembesar itu dan Shantung Lo-kiam bersama enam orang perwira pengawal tadi tidak berani menahan Hui Song karena mereka maklum bahwa sudah menjadi kewajiban seorang pendekar seperti puteri ketua Cin-Ling-Pai itu untuk menolong gadis yang diculik penjahat.

   Bagaimana dengan nasib Sui Cin? Apakah yang menimpa diri gadis pendekar itu? Ia tidak pingsan ketika roboh tertotok oleh tongkat Bhe Hok tokoh baru Hwa-I Kai-Pang, hanya lemas dan ia sama sekali tidak dapat meronta ketika dirinya dipanggul dan dilarikan Sim Thian Bu. Baru sekarang terbukti bahwa pemuda ini sama sekali bukan seorang pendekar gagah perkasa seperti yang disangkanya dalam pertemuan pertama mereka di Bukit Perahu. Sim Thian Bu ini seorang penjahat, seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) yang cabul dan keji. Sui Cin sejak kecil digembleng ayah bundanya menjadi seorang gadis yang selain berilmu tinggi, gagah perkasa juga tidak pernah mengenal rasa takut. Akan tetapi sekali ini ia merasa ngeri juga terjatuh ke dalam tangan seorang jai-hwa-cat dalam keadaan tak berdaya sama sekali. Ia pernah mendengar dari ibunya tentang jai-hwa-cat yang suka memperkosa wanita.

   Akan tetapi iapun teringat akan pesan dan nasihat ibunya bagaimana harus menghadapi bahaya seperti itu. Pertama ia harus tenang dan tidak panik. Dalam keadaan tidak berdaya melakukan perlawanan dengan kekerasan ia harus pura-pura menyerah. Menurut ibunya, jai-hwa-cat akan menjadi lunak hatinya apabila korbannya menyerah dan dalam cengeraman nafsu, penjahat itu akan menjadi lengah. Saat itulah paling tepat untuk tiba-tiba menyerangya. Ia pernah bertanya kepada ibunya bagaimana kalau ia diperkosa dalam keadaan tertotok atau terbelenggu. Ibunya menjawab bahwa kalau tiada jalan lain menghindarkan malapetaka itu, satu-satunya jalan hanya mematikan rasa dan menutup pikiran. Kelak masih banyak kesempatan untuk membalas perbuatan terkutuk itu berikut bunganya yang berlipat ganda.

   Bagaimanapun juga, membayangkan betapa ia harus membiarkan dirinya diperkosa orang tanpa dapat melawan, hampir membuat Sui Cin menungis. Ia diam-diam menghimpun hawa murni. Kalau saja totokan itu dapat ia punahkan, tentu sekali pukul kepala pemuda yang memondongnya ini akan pecah dan ia akan dapat membunuhnya dengan mudah. Sekali ini, ia akan melanggar pesan ayahnya. Ia takkan segan-segan membunuh jai-hwa-cat ini! Akan tetapi tiba-tiba pemuda itu berhenti berlari, menurunkannya ke atas tanah, kemudian menotok jalan darah di punggungnya, membuat ia terkulai kembali dengan lemas dan pemuda itu sambil tersenyum-senyum bahkan membelenggu kaki tangannya dengan tali sutera halus yang amat ulet dan tidak akan mungkin terputuskan. Agaknya jai-hwa-cat ini sudah berpengalaman dan sudah mempersiapkan segalanya.

   "Ha-ha-ha! Menghadapi seorang gadis lihai sepertimu harus berhati-hati!"

   Kata pemuda itu sambil mencolek dagu Sui Cin yang hanya dapat memandang dengan mata mendelik. Tapi mata itu tak basah dengan air mata. Pemuda itu kini memondongnya dan membawa dirinya lari dengan amat cepatnya.

   Sambil melarikan gadis itu, di dalam otak pemuda itupun terjadi kesibukan. Sim Thian Bu bukan seorang pemuda ceroboh dan bodoh yang hanya menurutkan dorongan nafsunya saja. Tidak, dia tidak bodoh karena dia adalah murid utama dari Siangkoan Lojin alias Si Iblis Buta! Karena kecerdikannya itulah dia merupakan satu-satunya murid datuk itu yang dapat mewarisi hampir semua ilmu kepandaian Si Iblis Buta. Dan karena kecerdikannya dia diberi tugas untuk menyusup sebagai seorang pendekar ke Bukit Perahu. Dia begitu cerdik sehingga selama ini, biarpun dia mempunyai kesukaan memperkosa wanita dan membunuhnya, dia tidak dicurigai dan tidak dikenal kejahatannya. Bahkan dalam pertemuannya yang pertama dengan Sui Cin dan Cia Sun, Sim Thian Bu begitu cerdiknya mengelabuhi mata mereka.

   Yang membunuh tiga orang muda dan seorang gadis yang lebih dulu diperkosanya adalah dia sendiri. Akan tetapi dengan cerdik dia mampu memaksa seorang laki-laki kasar, seorang penjahat rendahan biasa, untuk mengakui perbuatan itu lalu membunuh diri. Dengan demikian, di dalam pandangan Sui Cin dan Cia Sun dalam pertemuan iiu, dia bukan saja bebas dari tuduhan, bahkan dia menjadi seorang pendekar! Ketika bertemu Sui Cin yang cantik jelita, jenaka dan segar, tentu saja jai-hwa-cat ini merasa tertarik sekali dan bangkitlah nafsunya. Andaikata Sui Cin adalah seorang gadis biasa, tentu pada seat itu juga dia kerjakan! Akan tetapi Sui Cin adalah seorang gadis yang amat lihai, apalagi puteri Pendekar Sadis! Maka Sim Thian Bu mempergunakan siasat lain. Mula-mula dia hendak menjatuhkan hati dara itu dengan rayuannya untuk memikat hatinya,

   Mengandalkan ketampanan wajahnya dan kematangan pengalamannya menghadapi wanita. Akan tetapi Sui Cin adalah seorang dara pendekar yang tidak mudah terpikat rayuan. Usahanya gagal sama sekali ketika dara itu meninggalkannya begitu saja pada suatu malam. Hatinya kecewa, penasaran dan juga marah. Kedatangannya di Telaga Emas sehubungan dengan tugas rahasia yang diterima dari suhunya untuk melakukan pengintaian di telaga itu, bersama seorang tokoh Hwa-I Kai-Pang. Maka, bukan main girang hatinya ketika dia melihat Sui Cin di situ. Pertemuan yang sama sekali tidak disengaja, bahkan tidak disangka-sangkanya. Dan diapun tidak mau membuang kesempatan baik itu untuk menjumpainya, sampai terjadi perkelahian dan akhirnya, dengan bantuan Bhe Hok tokoh gendut Hwa-I Kai-Pang, dia berhasil merobohkan dan melarikan Sui Cin.

   Tentu saja dia sudah lupa sama sekali akan tugasnya membantu suhunya setelah dia berhasil melarikan dara yang membuatnya tergila-gila itu. Dan kini dia memutar otak mencari akal. Dia tahu ke mana harus membawa gadis itu. Ke dalam sebuah gua rahasia yang menjadi satu di antara tempat-tempat persembunyian suhunya. Tempat itu kosong dan di situ dia takkan terganggu oleh siapapun. Tempat sepi terpencil yang aman baginya. Dia tidak mungkin memperlakukan gadis ini seperti para korban lainnya, yaitu memperkosa dan mempermainkannya sampai puas lalu membunuhnya untuk merahasiakan perbuatannya. Tidak! Gadis ini terlalu penting untuk sekedar dinikmati lalu dibunuh. Dia harus dapat memanfaatkan gadis ini, memperoleh keuntungan sebanyaknya. Gadis ini adalah puteri Pendekar Sadis! Baru mengingat nama ini saja dia sudah merasa ngeri.

   Kalau dia memperkosa lalu membunuh Sui Cin seperti yang dilakukannya terhadap wanita-wanita lain, kemudian hal itu terdengar oleh Pendekar Sadis, dia tidak berani membayangkan apa yang akan terjadi pada dirinya. Terlalu mengerikan! Akan tetapi, kalau dia bisa menjadi suami Sui Cin, mantu Pendekar Sadis? Amboi...! Betapa hebatnya! Dia akan menjadi terkenal, ditakuti, dan lebih lagi, dia mendengar bahwa keluarga Pendekar Sadis amat kaya raya, hidup di Pulau Teratai Merah. Ketika Sim Thian Bu tiba di lembah sunyi itu, di mana gua tempat persembunyian gurunya berada, hari sudah menjelang senja. Dia berhenti di tepi jurang, merebahkan tubuh Sui Cin di atas tanah berumput, lalu membebaskan totokannya. Sui Cin dapat bergerak kembali akan tetapi karena kedua kaki tangannya terbelenggu kuat, tetap saja ia tidak berdaya. Ia hanya memandang marah, lalu memaki,

   "Jahanam busuk!"

   Thian Bu tersenyum.

   "Nona Ceng, kenapa engkau tidak mau melihat kenyataan? Aku cinta padamu, nona. Sungguh, sejak pertemuan kita yang pertama, aku sudah jatuh hati dan tergila-gila kepadamu. Aku sungguh-sungguh, bukan main-main dan hidupku baru akan berbahagia kalau engkau dapat menjadi isteriku yang sah."

   "Lebih baik aku mati!"

   Sui Cin membentak marah.

   "Nona, pikirlah baik-baik. Sekali aku melemparmu ke jurang ini, engkau akan tewas dengan tubuh hancur dan tidak seorangpun akan dapat menemukanmu. Atau engkau lebih suka diperkosa dan dihina lalu dibunuh? Ingatlah, engkau masih muda. Tidakkah lebih baik engkau menjadi isteriku yang terhormat? Kurang apakah diriku? Masih muda dan cukup tampm, memiliki ilmu silat yang cukup, dan amat mencintamu."

   Pura-pura menyerah mencari kelengahannya, pikir Sui Cin. Biarpun dadanya seperti mau meledak saking marahnya, ia menekan kemarahannya dan berkata halus,

   "Tentu saja aku tidak ingin begitu, akan tetapi beginikah sikapmu yang katanya mencinta? Lepaskan dulu belenggu-belenggu ini, baru kita bicara dan kupertimbangkan usulmu."

   Akan tetapi Thian Bu tersenyum dan menggeleng kepala.

   "Hemm, lihat, bukankah di samping semua kelebihanku, masih ditambah kenyataan bahwa aku cerdik sekali dan tidak tertipu muslihatmu? Kecerdikanku membikin aku semakin berharga untuk menjadi suamimu. Nona, engkau bersumpahlah dulu bahwa engkau takkan melawan dan menentangku, bahwa engkau akan suka menjadi isteriku, kemudian kita akan bersatu badan sebagai suami isteri, barulah aku akan melepaskan belenggu. Maaf, semua itu hanya untuk menjamin dan meyakinkan hatiku."

   Sui Cin membuang muka, menahan mulutnya yang ingin memaki-maki. Melihat sikap gadis itu, Thian Bu melakukan siasatnya yang pertama, yaitu membujuknya dengan jalan menakuti-nakutinya.

   "Nona, benarkah engkau begitu tega, memilih mati dan menghancurkan hatiku dari pada hidup berbahagia bersamaku?"

   "Jahanam keparat, tidak perlu banyak cerewet lagi. Mati jauh lebih mulia dari pada hidup bersama seorang manusia berwatak iblis macammu ini. Bunuhlah, siapa takut mati?"

   "Hemm, perempuan sombong. Hendak kulihat sampai di mana keberanianmu!"

   Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Dia lalu memondong tubuh Sui Cin dan dibawanya ke tepi jurang.

   "Lihat, lihat dasar jurang tak terukur dalamnya yang akan menerima tubuhmu ini!"

   Dan tiba-tiba dia melepaskan tubuh Sui Cin dengan kepala lebih dulu ke dalam jurang! Tubuh itu melayang ke bawah dan Sui Cin memejamkan mata, menutup mulutnya rapatrapat agar jangan menjerit.

   Tiba-tiba tubuhnya berhenti meluncur dan ternyata pemuda itu telah menangkap kedua kakinya sehingga tubuhnya tergantung dengan kepala di bawah. Keadaan ini mengingatkan ia akan latihan samadhi sambil berjungkir balik ketika ia mempelajari ilmu menghimpun tenaga istimewa dari ayahnya. Maka, begitu tubuhnya tergantung membalik seperti itu, dari pusarnya terhimpun hawa panas dan sebentar saja aliran darahnya sudah menjadi lancar dan normal kembali, bekas totokan pemuda jahat itu lenyap sama sekali. Ia percaya bahwa kalau saat itu ia mengerahkan tenaga dan melakukan ilmu Hokte Sinkun, tenaganya akan mampu mematahkan belenggu sutera dan sekalian menendang lawan. Akan tetapi, biarpun berhasil, tidak urung tubuhnya akan terjatuh ke dalam jurang dan ini berarti bunuh diri! Tidak, ia tidak sebodoh dan senekat itu.

   "Bagaimana, nona? Apakah engkau memilih aku melepaskan kakimu dan tubuhmu meluncur ke bawah, kepalamu menimpa batu di dasar jurang itu sampai remuk-remuk?"

   Suara Sim Thian Bu penuh ejekan dan ancaman. Sui Cin juga searang yang cerdik. Ia tahu bahwa semua ini dilakukan jai-hwa-cat itu hanya untuk menggertaknya. Satu-satunya cara untuk menghentikan siksaan ini hanya memperlihatkan bahwa ia tidak takut.

   "Pengecut busuk! Kau kira aku takut? Lepaskan dan aku akan terbebas dari binatang busuk macam kamu ini!"

   Thian Bu merasa mendongkol sekali. Kalau dia tidak merasa sayang akan kecantikan gadis ini dan mempunyai rencana yang amat menguntungkan dirinya terhadap Sui Cin, tentu sudah dilemparkannya tubuh itu ke dalam jurang. Belum pernah selama hidupnya ada wanita berani menolaknya, bahkan sebagian besar wanita atau gadis yang diculiknya, dapat ditundukkan dengan rayuan dan ketampanannya. Akan tetapi, gadis puteri Pendekar Sadis ini tidak mempan dengan dirayu, dan tidak takut diancam, membuat dia kehilangan akal. Tanpa banyak cakap lagi dia lalu meloncat dan membawa Sui Cin ke dalam sebuah gua besar yang tertutup semak-semak belukar. Diam-diam Sui Cin memperhatikan tempat ini.

   Sebuah gua tersembunyi. Tidak mungkin akan ditemukan orang luar karena mulut gua yang tidak berapa besar itu tersembunyi di balik semak-semak belukar yang penuh duri dan pantasnya hanya menjadi sarang ular-ular dan binatang-binatang buas. Setelah menguak semak-semak belukar dan nampak mulut gua, pemuda itu membawa Sui Cin memasuki gua dan menutupkan kembali semak-semak di depan gua. Setelah masuk ke dalam gua, ternyata gua itu berlorong lebar yang membawanya ke dalam ruangan yang cukup luas. Akan tetapi keadaan di situ kotor dan tidak terawat, tanda bahwa tempat itu sudah lama tidak didatangi orang. Ruangan dalam gua itu seperti ruangan rumah saja, di mana terdapat meja-meja tua, bangku-bangku dan juga sebuah dipan kayu yang masih kokoh kuat. Sim Thian Bu menurunkan tubuh Sui Cin dan mengikat kaki dan tangan dara itu, menelentangkannya di atas dipan.

   "Ha-ha-ha, nona manis. Dengar baik-baik, aku mengajakmu hidup bersama sebagai suami isteri, akan tetapi engkau selalu monolak. Dan engkau bahkan memilih mati dari pada hidup sebagai isteriku yang terhormat dan tercinta. Kebandelanmu ini membuat aku bingung dan sebaiknya kalau engkau kupaksa menjadi isteriku, baru kita bicara lagi, Ha-ha-ha!"

   Sim Thian Bu tersenyum-senyum dan memandang penuh nafsu kepada tubuh gadis yang sudah ditelentangkan di atas dipan dalam keadaan kaki tangan terikat itu.

   Dia menanggalkan bajunya dan nampaklah dadanya yang bidang. Pemuda ini memang selain memiliki wajah tampan pesolek, juga memiliki bentuk tubuh yang baik. Sayangnya bahwa tubuh yang demikian baik dihuni oleh batin yang bobrok dan kejam. Melihat betapa pemuda itu mulai membuka baju, Sui Cin menjadi pucat dan ia merasa betapa tengkuknya dingin sekali saking ngeri dan takutnya. Ia dapat menduga apa yang akan dilakukan pemuda bejat ahlak ini kepada dirinya dan mulailah ia meronta-ronta, mengerahkan tenaga untuk melepaskan diri dari ikatan kaki tangannya. Gerakannya ini membuat dipan itu bergoyang-goyang dan keempat kakinya berdetak-detak. Akan tetapi, pada saat itu sambil terkekeh Sim Thian Bu yang menanggalkan bajunya itu menubruk dan memeluknya.

   "Aih, jantung hatiku, engkau hendak lari ke mana sekarang?"

   Melihat pemuda itu sudah menindihnya dan wajah pemuda itu demikian dekat dengan wajahnya, Sui Cin terbelalak dan menjerit.

   "Jangan... Kau bunuh saja aku..."

   "Ha-ha, bunuh engkau? Aih, sayang dong..., Engkau cantik manis..."

   Sim Thian Bu hendak mencium akan tetapi Sui Cin mengelak dan miringkan mulutnya, kemudian ia teringat akan akal yang pernah didengarnya dari ibunya. Suaranya terdengar gemetar ketika ia berkata lirih.
(Lanjut ke Jilid 10)

   Asmara Berdarah (Seri ke 08 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 10
"Akan tetapi jangan begini... ah, kalau tiada jalan lain... aku bersedia... tapi jangan begini... lepaskan dulu belenggu ini agar kita dapat melakukannya secara wajar..."

   Sim Thian Bu menjadi girang sekali.

   "Engkau... engkau mau...?"

   Dia bertanya sambil menatap wajah dara itu. Sui Cin mengeraskan hatinya dan mengangguk.

   "Tapi, lepaskan belenggu-belenggu ini... sungguh tidak enak dalam keadaan terbelenggu begini..."

   Ia sudah siap. Begitu belenggu dibuka, ia akan mengirim serangan kilat yang mematikan kepada pemuda jahanam itu.

   "Baik..."

   Kata Sim Thian Bu dengan girang dan pemuda itu turun dari atas tubuh Sui Cin yang ditindihnya. Tangannya meraih ke arah belenggu kaki, dan Sui Cin sudah menanti dengan jantung berdebar tegang. Akan tetapi, jari-jari tangan pemuda itu tidak melepaskan belenggu, melainkan meraba kaki dan kini wajah pemuda itu menoleh, memandangnya dangan tersenyum mengejek. Jari tangan itu kini malah membuka sepatu dari kaki Sui Cin, dan melihat gelagatnya, pemuda itu bukan hendak membuka tali belenggu, melainkan hendak melucuti pakaian gadis itu.

   "Heh-heh, engkau puteri Pendekar Sadis, sungguh cardik dan licik. Kau kira aku tidak dapat merasakan betapa tubuhmu menegang penuh kekuatan dan betapa engkau akan menyerbu begitu aku membuka kaki tanganmu? Heh-heh, memang hendak kulepaskan, akan tetapi bukan belenggu kaki tanganmu, melainkan saluruh pakaianmu, Ha-ha-ha!"

   Tangan pemuda itu kini sudah mencengkeram kain celana Bui Cin.

   "Jangan... ah, jangan..."

   Kini gadis itu memohon dengan suara lemah karena hilanglah harapannya dan dia hampir pingsan menghadapi bayangan yang amat mengerikan dari malapetaka yang akan menimpa dirinya.

   "Sim Thian Bu! Mundur kau! Apa yang hendak kau lakukan ini?"

   Tiba-tiba terdengar suara bentakan keras dan tahu-tahu di ambang pintu telah muncul seorang pemuda bertubuh tinggi tegap yang melihat wajahnya masih muda sekali, paling banyak berusia delapan belas tahun, akan tetapi wajah itu nampak dingin dan sepasang mata mencorong, sedangkan tubuhnya tinggi tegap melebihi orang dewasa umumnya. Sim Thian Bu yang tadinya sudah siap untuk merobek dan merenggut pakaian Sui Cin, terkejut dan menoleh lalu mundur dua langkah, matanya terbelalak nampak ketakutan akan tetapi mulutnya tersenyum membujuk.

   "Ah, kiranya suheng yang datang. Suheng, maafkan aku dan biarkan aku menyelesaikan urusan pribadiku ini dulu, nanti akan kulayani suheng bicara kalau memang suheng datang membawa keperluan yang harus kubantu."

   "Sim Thian Bu, aku bertanya tadi. Apa yang akan kau lakukan ini?"

   Sim Thian Bu memandang pemuda remaja itu dengan sinar mata mengandung kemarahan, akan tetapi agaknya dia merasa jerih terhadap pemuda remaja itu, dan diapun tersenyum lebar.

   "Aih, engkau masih terlalu muda untuk mengetahui urusan ini, suheng. Dia ini seorang kekasihku dan kami hendak main-main sebentar. Apakah suheng ingin melihat kami bermain cinta?"

   Sui Cin sudah ingin memaki untuk menyangkal ucapan jai-hwa-cat itu, akan tetapi ia diam saja dan memandang heran.

   Sungguh mengherankan memang keadaan pemuda remaja yang baru tiba. Usianya paling banyak delapan belas tahun, akan tetapi mengapa jai-hwa-cat yang usianya dua puluh lima tahun ini menyebutnya suheng dan bersikap jerih terhadap pemuda remaja itu? Ah, kalau pemuda remaja itu benar suheng dari Sim Thian Bu, tentu ia akan lebih celaka lagi dan tidak mempunyai harapan sama sekeli untuk dapat lolos. Menghadapi Sim Thian Bu yang lihai dan cerdik itu saja ia sudah tidak berdaya dan kini berada di ambang malapetaka yang mengerikan, apalagi kalau kini datang suheng si jahanam itu yang tentu saja lebih jahat dan lebih lihai, walaupun usianya jelas lebih muda. Ia memandang dan mendengarkan penuh perhatian, ingin melihat perkembangan kemunculan pemuda remaja itu dengan waspada. Siapa tahu kemunculan ini bahkan menolongnya.

   "Kekasihmu? Dibelenggu?"

   Pemuda itu berkata dan kulit di antara kedua alisnya yang tebal berkerut, pandang matanya yang tajam mencorong itu ditujukan ke arah tubub Sui Cin, penuh selidik. Kemudian dia berkata lagi, suaranya bernada memerintah.

   "Lepaskan belenggu kaki tangannya!"

   Sim Thian Bu nampak terkejut dan marah.

   "Akan tetapi, suheng, ia itu punyaku, dan aku berhak melakukan apa saja terhadap dirinya. Aku belum mau membebaskannya, hendak main-main dulu dengan gadis ini..."

   "Lepaskan kataku!"

   Suara itu mengandung wibawa yang amat besar dan terasa pula oleh Sui Cin betapa kuatnya khikang terkandung dalam suara itu. Sim Thian Bu juga merasakan ini, akan tetapi agaknya dia masih penasaran.

   "Suheng, engkau keterlaluan mendesakku..."

   Sim Thian Bu terpaksa menghentikan kata-katanya karena tiba-tiba saja pemuda itu sudah menerjangnya. Luar biasa cepatnya gerakan pemuda remaja itu. Seperti terbang saja tubuhnya tahu-tahu menyambar dan meluncur ke arah Sim Thian Bu dan tangannya menampar. Melihat ini Sim Thian Bu terkejut dan cepat mengelak sambil menggerakkan tangan untuk menangkis.

   "Plakk!"

   Entah bagaimana. Walaupun jai-hwa-cat yang tangguh itu sudah mengelak dan menangkis, tetap saja pundaknya terkena tamparan dan tubuhnya terpelanting seperti disambar pukulan yang amat kuat.

   "Suheng..."

   Teriaknya dan diapun meloncat bangun, lalu hendak balas menyerang pemuda remaja itu.

   "Plak! Plak!"

   Kembali tubuh Sim Thian Bu terjengkang, kini lebih keras lagi. Sui Cin memandang heran dan kagum. Dara ini dapat melihat betapa pemuda remaja itu menguasai gerakan jai-hwa-cat, sehingga biarpun Thian Bu yang menyerang, akan tetapi sebaliknya dia yang roboh karena serangannya telah dihadang di tengah jalan dan sebaliknya,

   Balasan pemuda remaja itu tidak mampu dihindarkannya. Kini pemuda remaja itu agaknya sudah marah. Sejak tadi dia tidak mengeluarkan kata-kata lagi, akan tetapi sinar mata yang mencorong itu kini berapi. Dengan gerakan ringan sekali kedua kakinya melakukan gerakan srat-sret-srat-sret, tubuhnya tahu-tahu sudah berada dekat Thian Bu dan kini kaki tangannya bergerak secara aneh. Hebatnya, setiap sambaran tangan atau kakinya tentu mengenai sasaran! Terdengarlah suara plak-plok dan bak-buk ketika tubuh Thian Bu menjadi sasaran pukulan dan tendangan pemuda remaja itu sehingga tubuh Thian Bu terguling-guling dan tidak sempat bangun karena setiap kali merangkak hendak bangun sudah disambut oleh tamparan atau pukulan lain! Akhirnya terdengar Thian Bu mengeluh.

   "Suheng... ampunkan aku..."

   Pemuda remaja itu berhenti bergerak, menatap wajah jai-hwa-cat yang sudah bengkak-bengkak dan matang biru itu.

   "Kau tahu, aku benci laki-laki yang memperkosa wanita. Lain kali kubunuh kau!"

   Hanya itu kata-katanya dan tiba-tiba tubuhnya melayang ke dekat dipan dan dua kali dia menggerakkan tangannya dan Sui Cin merasa betapa belenggu kaki tangannya putus semua dan ia dapat bergerak lagi! Tentu saja begitu dapat bergerak, meledaklah semua kemarahan dan ketakutan yang tadi menghimpit di dada dara itu.

   "Haiiiiittt..."

   Ia mengeluarkan suara melengking tinggi dan tubuhnya sudah meluncur ke depan. Dengan pengerahan sinkang sekuatnya ia sudah menggerakkan tangannya, menghantam ke arah kepala Sim Thian Bu dalam serangan maut!

   "Dukk!"

   Sim Thian Bu sendiri tidak mampu menghindarkan diri karena tubuhnya masih nyeri semua dan kepalanya pening, akan tetapi tiba-tiba pemuda remaja itu bergerak dan pemuda inilah yang menangkis pukulan Sui Cin tadi. Tangkisan itu kuat bukan main, terasa oleh Sui Cin dan lengannya tergetar hebat.

   Ia terdorong mundur tiga langkah dan matanya menatap tajam kepada wajah pemuda remaja yang menangkis pukulannya tadi. Ia menjadi serba salah. Mau marah teringat bahwa pemuda inilah yang telah menyelamatkannya dari malapetaka yang nyaris menimpanya. Tidak marah, ia kecewa dan penasaran karena niatnya membunuh atau setidaknya menghukum Thian Bu dihalangi. Sejenak mereka saling pandang dan di dalam pandang mata pemuda remaja itu kini terdapat kekaguman. Agaknya baru dia tahu bahwa dara yang tadi hendak diperkosa Thian Bu itu adalah seorang gadis yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Hal ini dapat dirasakan ketika dia menangkis dan ternyata pukulan gadis itu mengandung sinkang yang amat hebat sehingga lengannya sendiri tergetar delam pertemuan tenaga itu. Jelas bukan gadis sembarangan!

   "Aku... aku harus menghajar jahanam busuk itu!"

   Sui Cin akhirnya berteriak marah. Pemuda itu menggeleng kepala, sikapnya tenang dan pandang matanya tetap dingin.

   "Suteku sudah kuhajar sendiri."

   Katanya singkat saja.

   "Tapi... tapi dia hendak memperkosaku, dia penjahat jai-hwa-cat terkutuk!"

   Kembali pemuda itu menggeleng kepalanya.

   "Baru hendak, tapi belum. Pergilah, nona."

   Sui Cin menjadi bingung, seperti kehilangan akal menghadapi pemuda remaja yang tidak banyak cakap dan bersikap dingin serius ini.

   Kalau dia berkeras dan sampai ia bentrok dengan pemuda ini, berarti ia yang bocengli (tak tahu aturan). Bukankah ia baru saja diselamatkan dari bencana yang bahkan melebihi maut? Dan kalau pemuda ini membela Thian Bu, hal itu wajar saja karena memang Thian Bu itu sutenya! Bagaimana ada sute seperti itu dan suheng seperti ini? Bumi dan langit bedanya. Sui Cin mengepal tinju, kehilangan akal, akhirnya ia mendengus dan menyambar sepasang sepatunya, kemudian sekali berkelebat ia sudah meloncat keluar dari dalam gua itu! Kini pemuda remaja itu menghadapi Thian Bu yang sudah merangkak bangun dan duduk di atas dipan di mana dia tadi hendak memperkosa Sui Cin. Dia menyusuti darah dari ujung bibirnya dan kelihatan takut walaupun pada sinar matanya terdapat rasa marah dan dendam yang disembunyikan.

   "Sute, kuulangi. Sekali lagi aku melihatmu memperkosa wanita, kubunuh engkau! Ada urusan penting engkau tinggalkan di telaga, malah engkau sibuk hendak melakukan perbuatan memalukan. Pergilah!"

   Pemuda itu menundingkan telunjuknya ke pintu gua dengan nada dan sikap mengusir. Sim Thian Bu mengangkat muka memandang sejenak, lalu bangkit dan tertatih-tatih berjalan keluar tanpa berani membantah. Setelah Thian Bu pergi, pemuda remaja itu menjatuhkan dirinya di atas dipan, duduk termangu-mangu dan mengepal kedua tangannya.

   Dia seperti orang berpikir mendalam penuh rasa penasaran, lalu memukulkan tinju kanannya pada telapak tangan kiri sendiri sampai terdengar bunyi nyaring, kemudian dia menutupi muka dengan kedua tangan penuh penyesalan. Siapakah pemuda remaja ini? Dia adalah pemuda yang muncul di telaga, berperahu bersama seorang kakek kurus bertongkat. Dialah pemuda lihai yang melepas anak panah berapi membakar perahu besar di mana terjadi perkelahian dan dia yang monolong sehingga tiga orang tokoh Cap-sha-kui dapat lolos. Dialah pemuda yang dikagumi Hui Song yang dapat menduga bahwa pemuda itu amatlah tangguh dan lihai. Dan tepat seperti dugaan Shantung Lo-kiam ketika dia bercerita kepada Hui Song, pemuda ini adalah putera tunggal Siangkoan Lojin Si Iblis Buta. Siangkoan Lojin mempunyai riwayat yang cukup menarik. Sejak muda, orang she Siangkoan ini memang hidup di kalangan sesat.

   Akan tetapi di waktu dia masih muda, dia yang sudah merasa tidak suka akan perbuatan jahat yang kejam. Seringkali dia menentang para paman gurunya, bahkan gurunya sendiri sehingga akhirnya dia dianggap murtad. Sebagai hukuman kaum sesat yang kejam, kedua matanya dibikin buta oleh guru dan para paman gurunya sendiri dengan jalan meracuninya. Semenjak itu, baru berusia dua puluh tahun, dia telah menjadi seorang buta. Biarpun matanya tidak cacat dan masih terbuka seperti orang biasa, namun dia tidak dapat melihat apa-apa lagi. Hukuman yang membuat cacat ini diterima dengan sabar dan tabah. Akan tetapi, di dalam hatinya terkandung rasa penasaran yang amat hebat. Dia berlatih silat terus dengan tekun sehingga kepandaiannya menonjol, bahkan setelah berusia kurang lebih lima puluh tahun, kepandaiannya sudah melampaui para paman gurunya!

   Sementara itu, suhunya telah meninggal dunia dan pada suatu hari, dendam yang terpendam selama puluhan tahun itu baru memperoleh pelepasan, Siangkoan Lojin memberontak dan lima orang paman gurunya yang dahulu ikut membutakan matanya dibunuhnya semua satu demi satu! Dan di kalangan kaum sesat, siapapun yang berani menentangnya lalu dibunuhnya. Mulailah nama Siangkoan Lojin si kakek buta ini ditakuti orang. Dan terjadi perobahan pada diri kakek ini. Kalau di waktu mudanya dia menentang kejahatan para gurunya, setelah kini cacat, dia malah ingin menjadi pemimpin kaum sesat! Hal ini mungkin timbul karena derita batinnya. Dia menentang kejahatan dan matanya menjadi buta, maka kini dia bahkan hendak menjadi kepala semua penjahat!

   Setelah berusia setengah abad dan diakui sebagai seorang jagoan yang amat ditakuti di antara golongan sesat, dia lalu mengambil seorang gadis dari kalangan sesat pula untuk menyambung keturunan. Dan isterinya itu ternyata dapat memberi keturunan padanya, seorang anak laki-laki yang diberi nama Siangkoan Ci Kang. Tentu saja hati kakek buta ini menjadi girang bukan main. Semenjak lahir, Ci Kang digemblengnya. Bahkan untuk mandi bayi itupun dia beri ramuan obat agar jasmani anak itu menjadi kuat dan kebal. Dan gemblengan penuh ketekunan dari Siangkoan Lojin tidak sia-sia. Anak itu ternyata memiliki bakat yang amat hebat dan setelah berusia delapan belas tahun, anak itu telah mewarisi seluruh ilmu kepandaian ayahnya! Dia bahkan lebih lihai dari pada ayahnya karena dia lebih muda, menang kuat dan menang daya tahannya, menang cepat.

   Ternyata Siangkoan Ci Kang bukan hanya menuruni ilmu kepandaian ayahnya, melainkan juga menuruni wataknya! Sejak kecil, sejak dia belajar membaca dan mulai membaca kitab-kitab kuno, Ci Kang menumbuhkan pendiriannya di batinnya yang berlawanan dengan kenyataan yang ada pada keluarganya. Dia, seperti para pendekar dan para budiman dalam kitab-kitab yang dibacanya, tidak suka akan kejahatan! Dia tahu bahwa ayahnya adalah seorang tokoh kaum sesat yang ditakuti dan disegani, dan hal inilah yang membuatnya seringkali termenung dan merasa penasaran. Bahkan setelah dewasa, dia berani pada suatu hari menyerang ayahnya dengan kata-kata mencela mengapa ayahnya terjun ke dalam dunia hitam dan menjadi pemimpin kaum sesat.

   "Hemm, kau tahu apa?"

   Ayahnya menjawab dengan senyum kecut.

   "Engkau tahu mengapa mata ayahmu menjadi buta? Karena akupun ingin menjadi orang bersih macam engkau sekarang ini! Aku ingin menentang kejahatan dan akibatnya aku kehilangan kedua mataku! Kuharap engkau dapat mengerti bahwa menjadi orang baik hanya mengundang datangnya malapetaka dan kerugian saja. Semenjak kehilangan mata, aku mengambil keputusan untuk menjadi tokoh sesat, akan tetapi tidak kepalang tanggung dan harus menjadi nomor satunya!"

   Ci Kang merasa tidak puas akan keterangan ayahnya ini. Dia menyelidiki di antara tokoh sesat dan mendengar bahwa ayahnya dibikin buta oleh guru dan para paman gurunya sendiri karena menentang kaum sesat. Akhirnya setelah lihai, ayahnya membalas dendam, membunuh lima orang susioknya sendiri, kemudian bangkit menjadi pemimpin kaum sesat. Hal ini membuat hati Ci Kang Kadang-kadang berduka. Terjadi konflik dalam batinnya antara pendirian dan perasaan hatinya yang menentang kejahatan, terutama sekali kekejamankekejaman, dan kenyataan bahwa ayahnya adalah tokoh utama kaum setat!

   

Pendekar Sadis Eps 15 Siluman Gua Tengkorak Eps 2 Pendekar Sadis Eps 10

Cari Blog Ini