Pendekar Sadis 10
Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo Bagian 10
"Haiiii... ekkk!"
Bentakan orang tinggi tegap itu terhenti di tengah jalan karena perutnya kena disodok pukulan Thian Sin, sedangkan pemuda itu membiarkan pukulan lawan menyerempet pundaknya, membuat dia terdorong mundur sampai lima langkah akan tetapi lawannya sudah berjongkok sambil menyeringai kesakitan, menekan-nekan perutnya yang menjadi mulas! Terdengar Gin Thian Seng-cu tertawa. Tosu ini memang berwatak gembira dan melihat murid tingkat empat itu menekan-nekan perut sambil menyeringai, dia tidak dapat menahan geli hatinya dan diapun berkata,
"Wah, usus buntumu terkena agaknya. Sudah, pergi sana, kau sudah kalah!"
Murid itu bangkit berdiri dengan kedua tangan masib menekan perut, lalu mundur dengan muka penuh keringat dingin.
"Bagus! kau telah menang, kau boleh menjadi murid Jeng-hwa-pang, Thian Sin!"
Kata Tok-ciang dengan girang. Biarpun gerakan pemuda itu masih kaku, namun jelas dia masih menang sedikit dibandingkan dengan murid tingkat ke empat tadi.
"Akan tetapi, locianpwe. Saya sudah mengambil keputusan untuk berguru kalau saya sudah dikalahkan,"
Kata Thian Sin dengan sikap bandel, seperti sikap seorang pemuda yang masih hijau dan bodoh.
"Hemm, mengapa engkau berkeras harus dikalahkan dulu? Bukankah dikalahkan itu tidak enak dan menyakitkan? Melawan murid tingkat ke empat tadipun engkau nyaris kalah dan hanya dengan susah payah dapat menang. Kalau kami datangkan murid tingkat ke tiga, tentu engkau akan kalah."
"Biarlah saya kalah, karena hanya kalau sudah kalah saya mau mengangkat guru,"
Jawab Thian Sin.
"Panggil saja murid tingkat ke tiga,"
Kim Thian Seng-cu memberi usul.
"Jangan,"
Kata Tong-ciang "Murid tingkat tiga biarpun dapat menang, akan tetapi tentu tidak mudah dan hal itu berbahaya bagi pemuda ini, mungkin dapat celaka kalau terkena pukulan terlalu kuat baginya. Sebaiknya suruh Lim Seng saja maju dan kalahkan dia dengan mudah agar Thian Sin yakin bahwa kepandaiannya masih jauh dan dia perlu berguru di tempat ini."
Yang disebut Lim Seng adalah murid kelas pertama dari Jeng-hwa-pang, yang tentu saja memiliki kepandaian yang tinggi karena dia adalah murid dari ketua sendiri, dan kedudukannya hanya di bawah dua orang tosu pembantu itu. Lim Seng dipanggil dan seorang kakek berusia hampir lima puluh tahun tiba di tempat itu.
"Lim Seng, anak itu adalah calon muridku. kau boleh mengujinya, dan boleh merobohkannya, akan tetapi jangan sampai dia terluka parah apalagi tewas. Ingat, dia ini calon sutemu yang termuda,"
Kata Ketua Jeng-hwa-pang itu kepada muridnya. Lim Seng yang bertubuh tinggi kurus itu memandang kepada Thian Sin dan alisnya berkerut. Mengapa gurunya menerima seorang murid baru secara langsung seperti ini? Akan tetapi melihat betapa pemuda remaja itu amat tampan, dengan kulit halus putih seperti kulit wanita, dengan wajah yang berseri dan ramah, mengertilah dia dan diapun tidak mau banyak cerewet lagi.
"Baik, suhu,"
Dan dia pun menghampiri Thian Sin yang sudah berada di tengah ruangan itu.
"Orang muda, kau jagalah dirimu baik-baik dan lihat, aku sudah mulai menyerangmu!"
Berkata demikian, Lim Seng sudah melangkah maju dan tangannya menampar dari kiri, dan tamparan ini mendatangkan angin pukulan yang cukup kuat, maka tahulah Thian Sin bahwa sekali ini dia menghadapi seorang lawan yang "berisi", bukan pemamer otot seperti lawannya yang tadi. Cepat diapun mengelak sambil melangkah mundur dan balas memukul ke arah dada lawan agar tampak bahwa diapun melawan dengan "sungguh-sungguh". Padahal, tentu saja diapun seperti tadi hanya main-main saja, mengatur agar perlawanannya terhadap murid Jeng-hwa-pang itu kelihatan seimbang! Para murid Jeng-hwa-pang, semenjak paling rendah, sudah mulai mempelajari racun yang merupakan keistimewaan dari perkumpulan itu, terutama racun bunga hijau.
Akan tetapi, mereka itu hanya mulai mempelajari cara mempergunakan racun-racun itu, seperti dalam mencampurkannya dengan makanan, minuman, sebagai asap beracun atau bubuk beracun, atau cara merendam senjata dengan racun. Bahkan sampai murid tingkat duapun baru mempelajari penggunaan luar ini karena tingkat sin-kang mereka dianggap belum cukup untuk mempelajari ilmu pukulan beracun dengan jalan merendam dan melatih tangan dalam racun sehingga dapat dipergunakan untuk melakukan serangan dengan pukulan yang mengandung hawa beracun. Akan tetapi Lim Seng, sebagai murid tingkat pertama, atau boleh dibilang murid kepala dari Jeng-hwa-pang, tentu saja diapun sudah mempelajari ilmu pukulan beracun yang oleh ketuanya dinamakan Jeng-hwa-ciang (Tangan Bunga Hijau).
Ilmu pukulan ini lihai sekali, karena kedua tangan sudah dilatih secara bertahun-tahun direndam dalam sari racun bunga hijau. Jangankan sampai tangan itu mengenai sasaran tubuh lawan, baru hawa pukulannya saja sudah mampu meracuni lawan! Dilihat dari tingkatnya ini, sesungguhnya Lim Seng sudah merupakan tokoh yang amat lihai, dan karena dia dipesan oleh suhunya agar merobohkan pemuda tampan ini tanpa melukainya sampai parah apalagi menewaskannya, maka dia bersilat dengan hati-hati dan tentu saja tidak mengeluarkan ilmu pukulan Jeng-hwa-ciang itu. Betapapqn lihainya Lim Seng, dia bukanlah tandingan Thian Sin. Apalagi dia tidak mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Andaikata dia mengeluarkan seluruh kelihaiannya sekalipun, mana mungkin dia melawan murid tersayang dari pendekar sakti Cia Sin Liong yang terkenal sebagai Pendekar Lembah Naga?
"Hyaaaat!"
Tiba-tiba Lim Seng membentak dengan nyaring, kedua tangannya sudah menyerang dengan cepat sekali, tangan kanan menyambar ke arah telinga kiri lawan sedangkan tangan kiri mencengkeram ke arah pusar.
Serangan ini memang hebat dan cepat sekali, akan tetapi Thian Sin mengerti bahwa serangan yang hebat itu hanyalah gertakan belaka dan maklum bahwa serangan susulanlah yang menjadi inti serangan lawan. Akan tetapi dia pura-pura tidak tahu akan hal itu dan melihat serangan kedua tangan lawan itu, cepat dia mengelak dengan melangkah ke belakang persis seperti yang dikehendaki oleh Lim Seng. Melihat pemuda itu mengelak dengan kaget, Lim Seng tersenyum dan tiba-tiba saja kaki kanannya sudah menyambut dengan sapuan keras dan cepat. Sapuan kakinya itu tepat mengenai kedua kaki Thian Sin dan pemuda remaja inipun terpetanting. Sebelumnya Lim Seng sudah dapat membayangkan betapa pemuda itu akan roboh terguling dan dia akan memperoleh kemenangan mudah,
Akan tetapi sungguh tak disangkanya bahwa tubuh yang terpelanting itu dapat berjungkir balik membuat salto dua kali dan turun lagi ke atas tanah dengan ringan, bahkan lalu mengirim tendangan berantai kepadanya, membuat dia terhuyung dan berusaha menghindarkan diri dari tendangan-tendangan itu dengan mengelak dan berloncatan ke belakang. Dengan demikian, bukan Thian Sin yang roboh kalah, melainkan Lim Seng yang kena didesak! Melihat ini, Tok-ciang Sian-jin girang bukan main, dan juga kagum. Bocah yang hendak menjadi muridnya itu ternyata hebat dan lincah sekali! Tahulah dia sekarang bahwa dia telah memperoleh seorang calon murid yang baik sekali, bukan hanya masih muda remaja dan amat tampan seperti wanita cantik, akan tetapi juga memiliki bakat yang amat menonjol dalam ilmu silat!
"Bagus...!"
Dia memuji kagum ketika melihat betapa sebuah tendangan kaki kiri pemuda itu berhasil mencium pangkal paha sebelah kiri Lim Seng, membuat murid pertama dari Jeng-hwa-pang itu terhuyung. Pujian ini mengingatkan Thian Sin, maka dia pun menahan diri dan membiarkan lawan mengirim serangan-serangan bertubi-tubi sehingga dialah kini yang didesak. Dia teringat bahwa dia harus tidak tergesa-gesa memenangkan pertandingan ini agar dia tidak dicurigai dan akhirnya dia dapat berhadapan dengan musuh-musuh besarnya itu secara leluasa, melalui pertandingan. Terkena tendangan itu, biarpun tidak membuatnya menderita terlalu nyeri, akan tetapi membuat Lim Seng penasaran sekali. Belum ada sepuluh jurus dan dia sudah terkena tendangan balasan sebagai hasilnya menyapu kaki tadi!
Dengan demikian, keadaan mereka berdua masih sama kuatnya, belum ada yang roboh akan tetapi juga keduanya telah berhasil mengenai lawan masing-masing satu kali! Kalau dia tidak ingat pesan gurunya, tentu sudah dikeluarkan ilmu pukulannya yang beracun. Agaknya Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam menjadi semakin tertarik ketika lewat tiga puluh jurus, pemuda remaja itu ternyata masih saja mampu menandingi murid kepala itu! Saking pandainya Thian Sin membawa diri, ketua Jeng-hwa-pang ini sampai tidak ingat betapa anehnya melihat pemuda yang tadinya hanya mampu mengalahkan murid ke empat dengan selisih sedikit saja itu kini mampu menandingi murid utama sampai begitu lamanya! Begitu gembira dia sampai dia lalu berseru kepada Lim Seng, menganjurkan murid pertama ini untuk mempergunakan ilmu silat paling tinggi yang pernah diajarkannya kepada murid ini,
"Lim Seng, pergunakan jurus-jurus Hui-liong Sin-kun!"
Ilmu sliat ini adalah ciptaan Ciu Hek Lam sendiri dan melihat namanya saja Hui-liong Sin-kun (Silat Sakti Naga Terbang) dapat dibayangkan betapa hebatnya ilmu silat ini! Dan hati Lim Seng girang sekali mendengarkan ucapan suhunya karena tadinya dia merasa ragu-ragu untuk mempergunakan ilmu simpanan itu, apalagi karena ilmu itu mengandung daya serangan yang amat dahsyat, padahal dia takut untuk melukai murid baru yang agaknya disayang oleh gurunya itu. Akan tetapi kini gurunya sendiri yang memerintahkan, maka andaikata sampai bocah itu terkena pukulan dahsyat dan terluka, gurunya tidak dapat menyalahkan dia!
"Baik, suhu!"
Jawabnya dan tanpa membuang waktu lagi, diapun lalu merubah gerakannya dan kini dia melakukan penyerangan yang amat keras dan dahsyat sehingga setiap kali lengannya bergerak memukul, didahului oleh angin pukulan yang berdesir dahsyat, sedangkan tubuhnya berloncatan ke atas seperti seekor naga yang hendak terbang ke langit! Melihat ini, Thian Sin sengaja mengeluarkan seruan-seruan kaget dan membiarkan dirinya terdesak hebat, bahkan dia membiarkan dirinya terhuyung-huyung, seolah-olah gerakan lawan membingungkannya.
Ciu Hek Lam memandang dengan mata terbelalak. Dia memang menyuruhnya menggunakan ilmu itu, bukan ingin mencelakai Thian Sin, melainkan dia sendiri juga merasa penasaran dan kagum, maka dia ingin tahu sampai di mana tingkat murid baru itu. Selain itu diam-diam diapun merasa heran dan penasaran sekali mengapa sampai sekarang dia belum juga mampu mengenal dasar ilmu silat yang dimainkan oleh pemuda remaja itu! Kini pertandingan itu menjadi semakin hebat dan seru karena makin cepat Lim Seng bergerak makin cepat pula Thian Sin mengimbanginya, dan anehnya, hal ini hanya terasa oleh Lim Seng, betapa makin besar dia mempergunakah tenaga, ternyata semakin besar pula tenaga bocah itu ketika menangkisnya! Dan dengan ilmu yang amat diandalkannya ini, yaitu dengan Hui-liong Sin-kun,
Setelah lewat dua puluh jurus lagi, tetap saja dia belum mampu mengalahkan Thian Sin! Sementara itu, melihat bahwa sudah cukup lama dia mempermainkan lawannya, Thian Sin mulai mencari kesempatan untuk keluar sebagai pemenang. Setelah dia tadi menghadapi serangan-serangan Lim Seng, dia tahu bahwa kalau dia menghendaki, dalam beberapa jurus saja dia tentu dapat merobohkan lawan! Dan dia mempergunakan Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun yang sengaja dia campur-campur dengan gerakan lain untuk menyembunyikan keaselian ilmunya, maka tidaklah mengherankan kalau ketua Jeng-hwa-pang itu tidak mengenal ilmu silatnya. Andaikata dia terang-terangan mainkan Thai-kek Sin-kun sekalipun, belum tentu Tok-ciang mengenal ilmu itu, apalagi kalau dicampur-campur seperti itu!
"Plak!"
Pipi kanan Lim Seng ditampar oleh tangan Thian Sin, cukup keras sehingga terasa panas dan pipi itu menjadi merah kehitaman. Tentu saja Lim Seng menjadi marah dan malu sedangkan Tok-ciang dan dua orang pembantunya terbelalak keheranan. Murid kepala itu kena ditampar! Dan melihat betapa yang ditampar itu tidak roboh, dapat diketahui bahwa tenaga tamparan itu tidak besar, akan tetapi yang membuat mereka terheran, mengapa Lim Seng sampai kena ditampar? Padahal melihat gerakan-gerakannya, jelas bahwa Lim Sang masih menang cepat dan menang kuat!
"Plakk!"
Kembali tamparan Thian Sin mengenai pipi Lim Seng sehingga kedua pipi orang itu kini menjadi merah dan bengkak! Bukan tamparan Thian-te Sin-ciang tentu saja, karena kalau Thian Sin menggunakan ilmu pukulan itu, sekali tamparan saja tentu kepala itu akan pecah! Betapapun juga, tamparan itu cukup memanaskan, terutama sekali memanaskan hati dan inilah yang dikehendaki oleh Thian Sin. Lawannya menjadi marah bukan main.
Dengan suara menggereng hebat, Lim Seng memandang kepada lawan dengan mata melotot. Dia merasa malu sekali, apalagi karena kini secara diam-diam tempat itu ternyata telah penuh oleh murid-murid Jeng-hwa-pang yang merasa tertarik untuk menonton pertandingan itu. Dia dihina di depan gurunya juga di depan banyak murid Jeng-hwa-pang! Maka dengan kemarahan meluap-luap, dia mehubruk ke depan dan menyerang Thian Sin dengan pukulan Jeng-hwa-ciang! Nama pukulan ini indah, yaitu Jeng-hwa-ciang (Tangan Bunga Hijau) akan tetapi sesungguhnya amat keji karena kedua tangan itu mengandung racun bunga hijau yang amat jahat. Kedua tangannya berubah menjadi hijau warnanya dan begitu tangan menyambar, tercium bau harum bercampur amis menyambar ke arah kepala Thian Sin!
"Lim Seng, jangan bunuh dia!"
Tok-ciang Sian-jin berseru kaget melihat muridnya itu menggunakan pukulan beracun. Akan tetapi seruannya itu terlambat sudah karena pukulan telah dilakukan dengan amat dahsyatnya. Semua orang menduga bahwa Thian Sin akan terkena pukulan itu akan roboh dan terluka hebat yang akan dapat disembuhkan oleh ketua Jeng-hwa-pang kalau belum mati oleh pukulan itu.
"Desssss...!"
Pemuda remaja itu terhuyung ke belakang, akan tetapi Lim Seng sendiri terlempar ke belakang lalu terbanting keras, mencoba untuk bangkit akan tetapi roboh lagi dan hanya dapat bangkit duduk dan mengeluh panjang pendek sambil memegangi lengan kanannya yang ternyata menjadi salah urat dan menggembung pada pergelangan tangannya. Agaknya keselio. Semua orang menjadi bengong, juga Tok-ciang terbelalak. Mana mungkin ini? Jelas bahwa muridnya menggunakan pukulan Jeng-hwa-ciang,
Akan tetapi mengapa sekali tangkis saja muridnya malah terlempar dan pergelangan tangannya terkelir atau terlepas sambungan tulangnya? Ilmu apa yang dipergunakan oleh pemuda remaja itu dan mengapa pemuda remaja itu sama sekali tidak nampak terluka oleh hawa beracun dari Jeng-hwa-ciang? Selagi dia terheran-heran, lima orang pria berusia sekitar tiga puluh lima tahun sudah berloncatan ke depan dan melihat gerakan mereka yang sama dan teratur, dapat diduga bahwa mereka itu merupakan orang-orang yang berilmu tinggi. Dan mereka itu memang merupakan adik-adik seperguruan Lim Seng dan tingkat kepandaian mereka walaupun tidak setinggi Lim Seng namun tidak berselisih banyak dan mereka berlima itu terkenal dengan ilmu silat bersama yang dinamakan Ngo-heng-tin, yaitu semacam ilmu silat berlima yang teratur dengan amat baiknya.
"Suhu, biarkanlah teecu berlima menghadapinya!"
Kata orang pertama deri mereka. Tok-ciang Sian-jin memandang kepada Thian Sin dan bertanya,
"Thian Sin, apakah engkau tidak terluka?"
Thian Sin melangkah maju dan menjura dengan hormatnya.
"Saudara Lim tadi memang hebat dan sungguh baik hati sekali suka mengalah."
"Thian Sin, engkau hebat dan aku suka menerimamu menjadi murid. Sudahlah, tidak perlu diadakan percobaan lagi,"
Kata Ketua Jeng-hwa-pang itu, diam-diam merasa kagum sekali. Thian Sin menggeleng kepala.
"Maaf, locianpwe. Saya tidak biasa menarik kembali keputusan atau janji saya. Saya tidak akan berguru kalau belum dikalahkan."
"Hemm, jadi kalau aku ingin mengambilmu sebagai murid, aku harus lebih dulu mengalahkanmu?"
Ketua Jeng-hwa-pang itu memandang tajam dan mengerutkan alisnya.
"Kalau locianpwe sudah mengalahkan saya, tentu dengan sepenuh hati saya tunduk kepada locianpwe dan tidak ragu-ragu lagi untuk mengangkat locianpwe sebagai guru."
"Heemm, engkau berhati baja. Bagaimana kalau aku kesalahan tangan dan dalam pertandingan membunuhmu?"
"Kalau sudah begitu, apa yang perlu disesalkan? Barangkali nasib saya saja yang buruk."
Sementara itu, Lim Seng sudah dapat berdiri lagi dan dengan muka yang masih merah agak bengkak oleh tamparan-tamparan tadi, dan ia masih memegangi pergelangan tangannya yang salah urat dia berkata,
"Suhu, dia itu mencurigakan sekali!"
Akan tetapi Tok-ciang Sian-jin yang sudah merasa suka kepada Thian Sin menghardiknya,
"Masuklah dan obati tanganmu!"
"Suhu, biarlah teecu berlima mencobanya sebelum suhu sendiri turun tangan!"
Kata pula pimpinan dari Ngo-heng-tin. Mendengar ini Tok-ciang Sian-jin tersenyum dan mendapat pikiran baik. Dia masih belum percaya benar bahwa Thian Sin mampu mengalahkan Lim Seng karena menang tinggi ilmunya. Mungkin saja hanya karena kebetulan atau karena Lim Seng keliru mempergunakan tenaganya. Ngo-heng-tin adalah ilmu yang amat kuat, apalagi dimainkan oleh lima orang. Jauh lebih kuat dibandingkan dengan kepandaian Lim Seng. Sedangkan dia sendiri kalau melatih mereka dan harus menghadapi Ngo-heng-tin yang diciptakannya sendiri itu, tidak begitu mudah untuk melumpuhkan tin atau barisan itu. Maka dia yakin bahwa kalau Ngo-heng-tin maju, tentu seorang pemuda remaja seperti Thian Sin akan tidak berdaya dan sekali terkurung, tidak akan mampu melepaskan diri lagi tentu dapat diringkus dan dikalahkan.
"Thian Sin, sebelum menghadapi aku sendiri, coba kau hadapi Ngo-heng-tin dari lima orang muridku ini. Beranikah engkau?"
"Kalau locianpwe menghendaki, mengapa tidak berani? Saya datang untuk mencari guru yang pandai dan meyakinkan."
Tok-ciang mengangguk-angguk lalu memberi isyarat dengan gerakan kepalanya menyuruh lima orang murid itu maju menghadapi Thian Sin.
Pemuda ini tahu bahwa menghadapi pengeroyokan lima orang bukah hal yang boleh dipandang ringan, maka sudah mengambil keputusan untuk memperlihatkan kepandaiannya yang sejati. Lima orang anggauta Ngo-heng-tin itupun sudah berloncatan ke depan dan dengan gerakan kaki lincah mereka sudah berdiri mengurung Thian Sin dalam bentuk segi lima. Karena namanya juga Ngo-heng-tin (Barisan Lima Unsur) maka mereka berlima itu mewakili kedudukan Air, Api, Angin, Kayu dan Logam dan mereka itu dapat bergerak serentak dan saling membantu dan melindungi dengan baik sekali. Sesuai dengan isarat yang diberikan Tok-ciang, mereka berlima tidak mengeluarkan senjata dan hanya mempergunakan tangan kosong untuk mengalahkan pemuda remaja ini.
Lima orang anggauta Ngo-heng-tin itu tidak membuang banyak waktu lagi, setelah mereka mengurung, mereka lalu mulai melakukan penyerangan yang bertubi-tubi dan saling susul, saling bantu dengan kecepatan yang hebat! Thian Sin terkejut juga. Biarpun dia sudah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, namun dia kurang pengalaman sehingga mengalami pengeroyokan teratur dalam bentuk tin ini, dia menjadi terkejut dan merasa repot juga. Dia mengelak dan berloncatan ke sana-sini, mencoba untuk menerobos keluar, akan tetapi ke manapun dia meloncat, tetap saja lima orang itu terus-menerus membentuk segi lima yang mengurungnya dan terus menyerangnya dari segala jurusan. Selagi Thian Sin hendak mengeluarkan kepandaiannya untuk balas menyerang, tiba-tiba terdengar suara teriakan orang,
"Benar dialah itu! Dia adalah seorang di antara dua pemuda dari Istana Lembah Naga! Dialah yang membuntungi lenganku!"
Yang berteriak ini adalah Loa Song, anggauta Jeng-hwa-pang yang pernah memimpin orang-orang untuk membuat kekacauan di dusun daerah Lembah Naga. Ayah tiri Hwe Leng dan yang telah buntung lengan kirinya ketika melawan Thian Sin itu! Semua anak buahnya telah ikut dengan rombongan baru yang pergi menyiksa dan membunuh Hwi Leng dan Loa Song ini karena buntung lengannya dan masih dalam perawatan, maka dia tidak ikut. Seperti kita ketahui, seluruh rombongan yang membunuh Hwi Leng itu dapat disusul oleh Thian Sin dan semuanya dibunuh oleh pemuda ini.
Karena tidak ikut dalam rombongan itulah maka Loa Song tidak ikut terbunuh. Tadi dia masih berada dalam kamarnya karena buntungnya lengan itu tidak hanya membuatnya merasa sakit badannya, akan tetapi juga membuatnya berduka sekali. Ketika dia mendengar ribut-ribut bahwa ada seorang pemuda yang sedang dicoba oleh ketua Jeng-hwa-pang dan bahwa pemuda itu lihai bukan main, telah mengalahkan Lim Seng, dia merasa curiga dan tertarik, lalu menahan rasa sakit, dia keluar dari kamarnya untuk ikut nonton. Dapat dibayangkan betapa terkejut dan marahnya ketika dia mengenal pemuda itu maka diapun lalu berteriak. Di lain fihak, ketika Thian Sin melihat siapa adanya orang yang berteriak itu, kemarahan membuat mukanya berubah merah. Inilah ayah tiri Hwi Leng yang jahat itu dan orang inilah yang menjerumuskan Hwi Leng sampai dara itu tewas.
"Ha-ha, babi buntung, sekarang aku tidak dapat mengampunimu lagi!"
Tiba-tiba tubuhnya berkelebat dan tahu-tahu dia sudah terlepas dari kurungan lima orang anggauta Ngo-heng-tin yang tidak dapat berbuat apa-apa karena pemuda itu sekali berkelebat telah lenyap! Dan terdengarlah teriakan dan orang hanya melihat betapa tubuh Loa Song telah terlempar ke atas dan kedua kakinya tahu-tahu telah dipegang oleh Thian Sin! Orang yang buntung lengan kirinya ini berteriak-teriak minta tolong! Sedangkan Ngo-heng-tin cepat mencabut senjata masing-masing ketika ketua mereka sudah bangkit berdiri dan berteriak marah.
"Bunuh dia!"
Tok-ciang marah sekali karena sama sekali dia tidak menyangka bahwa pemuda remaja yang amat disuka dan dikaguminya itu ternyata adalah musuh besar, pemuda dari Istana Lembah Naga. Dia kecewa sekali dan menjadi marah! Akan tetapi Thian Sin yang sudah marah itu kini tidak mau berpura-pura lagi, dengan tubuh Loa Song sebagai "senjata"
Dia menyerbu, memutarkan tubuh yang dia pegang kedua kakinya itu menyambut Ngo-heng-tin!
Terdengar bunyi "prak-prak!"
Berkali-kali dan orang-orang di situ tidak tahu bagaimana terjadinya, akan tetapi tubuh lima orang Ngo-heng-tin itu berturut-turut terpelanting roboh, dengan kepala pecah! Kemudian Thian Sin melemparkan pula tubuh Loa Song yang sudah menjadi mayat dengan kepala tidak karuan rupanya karena kepala Loa Song tadi telah dipakai oleh Thian Sin untuk menghantam kepala lima orang Ngo-heng-tin itu berturut-turut. Kalau lima orang itu roboh dengan kepala retak, tentu saja Loa Song tewas dengan kepala yang remuk-remuk karena lima kali diadu dengan kepala lima orang! Thian Sin kini berdiri di tengah ruangan, berdiri tegak dan mengangkat kepalanya dengan sikap angkuh. Suasana menjadi sunyi karena semua orang masih terkejut dan ngeri menyaksikan sepak terjangnya tadi.
"Jeng-hwa-pang, dengarlah baik-baik! Aku memang datang dari Istana Lembah Naga dan ketahuilah bahwa namaku adalah Ceng Thian Sin! Aku datang bukan hanya atas nama Lembah Naga, melainkan juga untuk membalaskan kematian ayahku, Pangeran Ceng Han Houw dan ibuku!"
Mendengar ini, seketika wajah Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam menjadi pucat. Juga kedua pembantunya, Kim Thian Seng-cu dan Gin Thian Seng-cu sudah berdiri.
"Bunuh dia! Kepung, jangan sampai lolos!"
Bentak Ketua Jeng-hwa-pang itu. Akan tetapi Thian Sin sudah mendahuluinya, meloncat dengan terjangan seperti seekor harimau muda kelaparan, menerjang dan menyerangnya dengan hebat, mempergunakan tamparan Thian-te Sin-ciang. Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam tadi menangkis sambil mengerahkan tenaganya, menggunakan hawa beracun dari tangannya, akan tetapi begitu bertemu dengan pukulan Thian-te Sin-ciang, tubuhnya terlempar ke belakang dan hanya dengan berjungkir balik dia dapat menyelamatkan diri dari bantingan keras.
(Lanjut ke Jilid 10)
Pendekar Sadis (Seri ke 05 "
Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 10
Diam-diam dia terkejut bukan main. Pemuda remaja itu ternyata memiliki tenaga sin-kang yang luar biasa kuatnya! Untung Tok-ciang bahwa dari kanan dan kirinya, kedua orang tosu Pek-lian-kauw yang menjadi pembantu-pembantunya telah menubruk ke depan dan menyerang Thian Sin. Kim Thian Seng-cu telah menyerang dengan pedangnya, sedangan Gin Thian Seng-cu menyerang dengan kebutan bajanya yang ampuh. Melihat serangan-serangan ini, Thian Sin meloncat ke belakang dan karena di belakangnya telah datang murid-murid Jeng-hwa-pang yang membawa bermacam-macam senjata, dia mengamuk. Kilatan-kilatan senjata yang seperti hujan menimpanya, dielakkannya dengan cekatan, dan setiap serangan yang dielakkannya itu tentu disambut dengan tamparan atau tendangan.
Demikian cepatnya gerakannya, demikian kuatnya sehingga setiap kali dia menggerakkan tangan atau kaki, tentu tubuh seorang pengeroyok terlempar dan tak dapat bangun lagi! Kadang-kadang, dengan tangan telanjang saja dia menangkis golok atau pedang, lengan bajunya robek-robek dan hancur, akan tetapi berkat Ilmu Thian-te Sin-ciang, kulit lengannya menjadi kebal dan bukan kulit lengannya yang terluka, sebaliknya pedang dan golok itu yang patah atau terlempar jauh! Melihat kelihaian pemuda itu, Tok-ciang lalu mencabut senjatanya yang ampuh, yaitu pecut baja. Terdengar bunyi ledakan-ledakan ketika dia menggerakkan pecut bajanya dan ketua Jeng-hwa-pang ini menyerang dengan dahsyatnya. Pecut baja itu meledak dan menyambar ke arah ubun-ubun kepala Thian Sin. Pemuda ini maklum akan bahaya maut ini, maka diapun mengelak dan berusaha menangkap ujung pecut.
Akan tetapi, dengan gerakan pergelangan tangannya, Tok-ciang menarik kembali pecutnya dan dengan satu ujung pecut baja itu kini meluncur ke depan dan menotok ke arah jalan darah di ulu hati Thian Sin. Pada saat yang hampir berbareng, Kim Thian Seng-cu sudah menyerang pula dengan pedangnya dan disusul Gin Thian Seng-cu menyerang pula dengan kebutan bajanya. Melihat betapa tiga orang pemimpin Jeng-hwa-pang maju, tentu saja para murid Jeng-hwa-pang segera mundur dan membentuk lingkaran mengepung dan menjaga agar pemuda remaja itu tidak mungkin dapat melarikan diri dari tempat itu. Dikeroyok tiga oleh ketua Jeng-hwa-pang dan dua orang tokoh Pek-lian-kauw itu, repot juga Thian Sin harus menghindarkan pengejaran tiga macam senjata itu.
Ilmu silatnya memang sudah hebat sekali, akan tetapi dia masih belum berpengalaman, dan apalagi pada saat itu dia bertangan kosong harus menghadapi tiga macam senjata yang digerakkan oleh tangan-tangan ahli. Betapapun juga, dia tidak merasa gentar dan dia tetap tersenyum, senyum yang menyeramkan karena di baliknya terbayang kebencian yang hebat. Sepasang matanya yang bagus itu mengeluarkan sinar dingin, dan tiga orang kakek itu merasa ngeri melihat kenyataan betapa kedua lengan pemuda remaja itu mampu menangkis tiga macam senjata itu tanpa terluka sedikitpun! Dan biarpun dia diserang secara bergantian dan didesak, Thian Sin kini mulai dapat melakukan serangan balasan yang cukup hebat! Dia mainkan Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun dan dengan gerakan kaki dalam ilmu silat ini dia mampu menghindarkan diri dari semua serangan, dan sebagai pembalasan,
Dia menggunakan pukulan atau tamparan Thian-te Sin-ciang yang tidak kalah ampuhnya dibandingkan dengan tiga macam senjata tiga orang kakek yang menjadi lawannya. Karena dikeroyok tiga, untuk menghindarkan senjata lawan yang panjang dan yang menyerang bagian lemah dari tubuhnya, kadang-kadang Thian Sin harus meloncat ke pinggir dan dia sudah disambut oleh tusukan atau bacokan dari para murid Jeng-hwa-pang yang mengepung tempat itu. Akan tetapi, dengan tangkisan yang dilanjutkan tamparan, dia merobohkan satu dua orang dalam waktu cepat, untuk kemudian membalik untuk menghadapi desakan tiga orang kakek itu lagi! Melihat ini, Tok-ciang menjadi penasaran dan marah sekali. Pemuda remaja itu dalam waktu singkat telah membunuh belasan orang anak muridnya.
"Kurung dia dengan api!"
Teriaknya dan kini para murid Jeng-hwa-pang itu menyalakan obor dan tiap kali Thian Sin meloncat ke pinggir, dia tidak lagi disambut dengan senjata melainkan dengan obor menyala! Tentu saja Thian Sin tidak berani menyambut api karena dia tidak kebal terhadap api, maka terpaksa dia mendesak lagi ke tengah dan menyambut tiga orang kakek itu dengan mati-matian.
"Mampuslah!"
Tiba-tiba pecut baja itu berubah menjadi kaku seperti tombak dan menusuk ke arah dada Thian Sin.
Melihat ini, Thian Sin menggerakkan lengannya menangkis sambil mengerahkan tenaga untuk mematahkan senjata itu. Akan tetapi pecut baja itu terbuat dari baja yang amat baik sehingga ketika ditangkis, ujungnya melentur dan tanpa dapat dihindarkan lagi, ujung pecut yang runcing itu menusuk pangkal lengan kiri Thian Sin. Dan pemuda itu merasa betapa pangkal lengannya panas sekali. Maklumlah dia bahwa ujung pecut baja itu tentu mengandung racun dan cepat dia mengerahkan sin-kang seperti yang pernah dipelajarinya dari Pendekar Lembah Naga. Memang hebat sekali karena begitu dia mengerahkan hawa sakti dari pusar itu menuju ke bagian yang terluka, dari luka kecil itu keluar darah dan semua racun yang dibawa ujung pecut dan mengotori luka itu terbawa keluar oleh darah!
"Ha-ha-ha!"
Tok-ciang Sian-jin tertawa bergelak karena dia merasa yakin bahwa luka dengan ujung pecut itu satu kali saja sudah cukup dan dia merasa yakin bahwa dalam waktu satu dua menit lagi pemuda remaja itu akan roboh karena racun yang terkandung di ujung pecutnya itu amat ganas.
Akan tetapi, betapa kagetnya ketika tiba-tiba pemuda itu mengeluarkan suara melengking keras dan tahu-tahu pemuda itu telah menerjang dan menubruknya seperti seekor burung elang rajawali menyambar seekor ular. Tok-ciang mengeluarkan scruan kaget, berusaha mengelak sambil memukulkan pecutnya. Thian Sin tidak berhasil memberi pukulan yang tepat, namun kakinya sempat menyambar dan mengenai paha lawan, membuat Tok-ciang terhuyung dan pemuda remaja itu dengan kecepatan kilat telah berhasil menangkap cambuk. Terjadi tarik-menarik dan hampir saja Tok-ciang tidak dapat mempertahankan cambuknya lagi. Akan tetapi pada saat itu, dua orang tokoh Pek-lian-kauw telah menyerang dari kanan kiri. Terpaksa Thian Sin melepaskan cambuknya, dilepaskannya dengan tiba-tiba sehingga cambuk itu melecut ke arah muka pemlliknya. Baiknya Tok-ciang sudah melempar tubuh ke samping, kalau tidak tentu dia menjadi korban seniatanya sendiri.
Dia meloncat bangun dan wajahnya berubah agak pucat. Tak disangkanya pemuda itu sedemikian hebatnya, dan sungguh dia merasa heran bagaimana pemuda itu belum juga jatuh setelah pangkal lengannya terluka oleh pecut baja yang mengandung racun? Thian Sin kini sudah marah sekali. Biarpun dia berhasil menghindarkan diri dari bahaya maut dengan mengeluarkan racun itu seketika dari pundaknya, namun luka di pangkal lengan dekat pundak itu cukup mendatangkan rasa nyeri. Ketika dia diserang oleh pedang dari kanan dan kebutan dari kiri, dia miringkan tubuh sehingga pedang itu lewat, kemudian cepat dia menangkap pergelangan tangan Kim Thian Seng-cu sambil mengerahkan tenaga Thi-khi-i-beng! Dia telah melanggar pantangan dan pesan ayah angkatnya agar tidak sembarangan mempergunakan ilmu ini.
"Heiii...?"
Kim Thian Seng-cu berteriak aneh ketika tiba-tiba dia merasa betapa tenaga sin-kang dari tubuhnya mengalir keluar seperti air bah, tersedot melalui tangan pemuda remaja itu! Dia belum pernah mendengar, apalagi merasakan hal seperti ini, maka dia terkejut bukan main. Gin Thian Seng-cu juga sudah menyerang dengan kebutannya yang memukul ke arah punggung Thian Sin. Pemuda ini sama sekali tidak mengelak.
"Prattt!"
Kebutan itu mengenai punggung, akan tetapi disusul teriakan aneh dari Gin Thian Seng-cu karena kebutannya itu melekat pada punggung dan tenaga sin-kangnya juga membanjir keluar. Dia berusaha menarik kebutannya, akan tetapi makin kuat dia mengerahkan tenaga, makin banyak pula tenaga sin-kang yang mengalir keluar dari tubuhnya! Dia mengalami hal yang sama dengan Kim Thian Seng-cu, karena kakek inipun merasa betapa pergelangan tangannya yang dipegang lawan itu melekat dan semakin dia berusaha melepaskan diri, makin hebat pula tenaganya tersedot keluar. Melihat ini, mula-mula Tok-ciang terkelut dan heran. Akan tetapi dia lalu teringat akan ilmu aneh yang kabarnya dimiliki oleh keluarga Cin-ling-pai, yaitu ilmu Thi-khi-i-beng yang dapat menyedot tenaga sin-kang lawan.
Teringat akan hal ini, dia cepat menggerakkan pecutnya dan kini pecut itu menjadi kaku seperti tombak dan menyerang dengan tusukan-tusukan ke arah kedua mata pemuda remaja itu! Melihat ini, tentu saja Thian Sin terkejut dan tidak mungkin dia membuat matanya kebal terhadap tusukan pecut. Terpaksa dia melepaskan dua orang lawan itu dan sambil menundukkan mukanya dia berusaha menangkap ujung pecut, akan tetapi Tok-ciang sudah menarik kembali pecutnya. Dua orang tosu Pek-lian-kauw itu merasa lega ketika mereka terlepas. Sudah ada tenaga sin-kang mereka yang memberobot keluar, membuat mereka merasa agak pening kepala mereka. Dengan marah kini mereka menyerang lagi, lebih hebat daripada tadi, akan tetapi juga dengan hati-hati sekali karena mereka tidak ingin mengalami hal seperti tadi, yang amat berbahaya akan tetapi juga amat mengerikan hati mereka.
"Siapkan jala langit!"
Tiba-tiba terdengar Tok-ciang Sian-jin berteriak sambil memperhebat serangannya, dibantu oleh dua orang kakek Pek-lian-kauw itu. Thian Sin tidak tahu apa maksud perintah itu, akan tetapi karena dia diserang secara gencar oleh tiga macam senjata yang lihai, dia terpaksa harus mencurahkan perhatiannya dan mencari kesempatan bagaimana agar dia dapat mengalahkan tiga orang musuhnya ini.
Dia tidak tahu bahwa di atas langit-langit itu telah dipasang jala yang tadinya tergulung dan tersembunyi dan kini, dengan menarik beberapa tali-temali di bawah, jala itu telah terbentang di atas ruangan itu. Dia masih terus mengamuk ketika tiba-tiba dari atas menyambar turun sehelai jala dan pada saat itu, tiga orang lawannya telah berloncatan ke belakang. Dia tidak mungkin dapat menghindar karena tempat itu dikurung banyak orang yang memegang obor bernyala dan juga senjata-senjata yang menodongnya, maka jala itu tepat menimpa dan menyelimuti dirinya. Thian Sin menjadi semakin marah, meronta-ronta dan berusaha merobek-robek jala itu. Akan tetapi ternyata jala itu terbuat daripada benang-benang yang amat kuat, tidak dapat dibikin putus karena agak mulur dan ulet bukan main.
Selagi dia meronta dan berusaha membebaskan dirinya, tiba-tiba jala itu ditarik naik dan tubuhnya yang sudah terbungkus jala itu terbawa naik pula! Thian Sin berusaha untuk melepaskan diri, namun sia-sia belaka dan tubuhnya sudah tergantung ke udara, terselimut jala yang amat kuat itu sedangkan para anggauta Jeng-hwa-pang bersorak-sorak dengan girang, memaki-maki dan mengejeknya. Tok-ciang Sian-jin yang sudah menjadi amat marah melihat banyaknya anak buahnya yang tewas, menyambar sebatang tombak dari tangan seorang murid dan dengan tombak ini dia menyerang Thian Sin, melontarkan tombak itu ke arah tubuh yang terbungkus jala dan tergantung di atas itu. Tombak itu meluncur dengan amat cepatnya dan tepat mengenai punggung Thian Sin.
"Dukkk...!"
Tombak itu seperti mengenai besi saja dan terpental, jatuh terbanting berkerontangan di atas lantai. Semua orang terkejut. Pemuda remaja itu sungguh hebat, kekebalannya membuat serangan tombak itu tidak ada gunanya! Dan memang Thian Sin yang maklum bahwa dia tidak mampu menangkis atau mengelak, telah melindungi dirinya dengan tenaga Thian-te Sin-ciang yang membuat tubuhnya menjadi kebal terhadap serangan senjata tajam atau runcing.
"Hemm, ingin kulihat apakah engkau juga kebal terhadap api!"
Tiba-tiba Tok-ciang Sian-jin berkata sambil tertawa.
"Ha-ha-ha, mari kita melihat anak Pangeran Ceng Han Houw ini menjadi sate panggang seperti anak babi, ha-ha!"
Semua murid Jeng-hwa-pang tertawa dan mereka lalu mengumpulkan kayu-kayu kering, dibawa ke dalam ruangan itu dan ditumpuk di bawah tempat Thian Sin tergantung.
"Ha-ha-ha, Ceng Thian Sin, apa yang hendak kau katakan sekarang? Apakah engkau hendak minta ampun?"
Tok-ciang mengejek karena dia merasa marah sekali kalau melihat mayat-mayat para anak buah yang berserakan di tempat itu. Pemuda remaja itu benar-benar telah mendatangkan kerugian besar sekali, bukan hanya kerugian karena kematian banyak anak murid, akan tetapi juga telah merusak nama besar Jeng-hwa-pang.
"Kakek iblis terkutuk! Mau bunuh lekas bunuh, siapa takut mampus? Kalau gagah, jangan gunakan kecurangan, lepaskan aku dan mari kita bertanding sampai seribu jurus!"
Thian Sin memaki dan menantang.
"Lekas bereskan dia, pangcu (ketua). Dia itu bocah setan yang berbahaya sekali!"
Kata Kim Thian Seng-cu, masih teringat akan pengalamannya ketika tersedot oleh Ilmu Thi-khi-i-beng tadi. Tentu saja dia maksudkan bahwa bocah itu terlalu lihai untuk dibiarkan hidup. Tok-ciang Sian-jin lalu mengambil sebatang obor dari tangan anak buahnya dan melemparkan obor itu di atas tumpukan kayu kering yang segera terbakar dan bernyala, makin lama makin tinggi. Thian Sin sudah merasakan hawa panas dari bawah, dan dia mengumpulkan hawa murni untuk mempertahankan diri selama mungkin. Otaknya bekerja dan dia mengharapkan bahwa tubuhnya lebih kuat bertahan dari jala itu.
Kalau jala itu lebih dulu terbakar daripada tubuhnya, tentu jala itu akan terobek dan dia dapat meloncat turun dan mengamuk. Akan tetapi kalau jala itu lebih kuat bertahan daripada tubuhnya terhadap api, dia akan mati, hal yang bukan apa-apa karena dia akan menyusul ayah bundanya! Biarpun api belum menjilat tubuhnya, akan tetapi hawa panas telah membuat seluruh tubuhnya berkeringat dan pakaiannya menjadi basah semua, dan asap membuat dia sukar untuk bernapas pula. Akan tetapi sedikitpun tidak ada keluhan terdengar dari mulut pemuda itu. Suara tertawa dan ejekan orang-orang Jeng-hwa-pang tidak didengarnya lagi. Tiba-tiba terdengar kegaduhan dan orang-orang yang berada di bawah itu menjadi kacau-balau. Thian Sin membuka matanya dan memandang ke bawah. Timbul pula semangatnya ketika dia melihat Han Tiong mengamuk di antara orang-orang Jeng-hwa-pang.
"Tiong-ko, lepaskan dulu aku agar dapat membantumu!"
Teriak Thian Sin dengan girang.
Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Han Tiong memandang ke atas dan cepat dia merampas sebatang pedang dan meloncat ke atas, pedangnya diayun membabat ke arah jala. Jala terobek dan terbuka. Thian Sin meloncat bersama kakaknya dan kini mereka berdua mengamuk. Thian Sin bersikap ganas bukan main. Setiap pukulannya tentu disertai tenaga sepenuhnya dan setiap orang yang kena pukulannya tentu roboh tak dapat bangun kembali karena kepalanya pecah atau tulang dadanya patah. Melihat sepak terjang adiknya ini, apalagi melihat bahwa dia situ telah berserakan mayat belasan orang banyaknya, Han Tiong menjadi ngeri.
"Sin-te, jangan membunuh orang!"
Teriaknya lantang. Mendengar teriakan kakaknya ini, Thian Sin membantah, suaranya halus akan tetapi juga penasaran.
"Koko, mereka hampir saja membunuhku!"
Mereka berdua menerjang sedemikian hebatnya sehingga para anak bua Jeng-hwa-pang terdesak keluar dari ruangan itu. Juga Tok-ciang Sian-jin dan dua orang pembantunya sudah berloncatan keluar karena ruangan itu penuh dengan tubuh berserakan dan asap yang menyerang mata. Dua orang muda itu berloncatan keluar mengejar.
"Sin-te, sudah terlampau banyak orang yang kau bunuh!"
Kembali Han Tiong menegur, suaranya kini terdengar tegas dan penuh nada teguran.
"Baiklah, Tiong-ko...!"
Tok-ciang Sian-jin sudah maju dengan pecut bajanya, disambut oleh Han Tiong, sedangkan Thian Sin kini dihadapi oleh kedua orang tosu Pek-lian-kauw.
Pertempuran terjadi di luar rumah dan amat serunya. Akan tetapi para anak buah Jeng-hwa-pang tidak ada yang berani mendekat, karena setiap kali mendekat mereka tentu roboh oleh dua orang muda perkasa itu. Mereka sudah berusaha mempergunakan racun-racun, bahkan menaburkan bubuk beracun atas perintah Tok-ciang, akan tetapi semua itu tidak ada gunanya karena dua orang muda itu tidak roboh oleh penyebaran bubuk racun itu. Senjata-senjata mereka tidak ada yang dapat mengenai tubuh mereka, bahkan kini Han Tiong mendesak Tok-ciang sedangkan Thian Sin membuat dua orang tosu Pek-lian-kauw itu kalang-kabut, mereka hanya mampu mempertahankan diri belaka dari desakan Thian Sin yang sudah marah sekali kepada mereka.
"Plak! Plakk!"
Untuk pertama kalinya, dua orang tosu itu berkenalan dengan tamparan Thian-te Sin-ciang dan mereka menjerit dan roboh terpelanting. Thian Sin mengejar dan dua kali kakinya menginjak. Terdengar bunyi "krek-krek!"
Tulang patah-patah dan dua orang tosu itu tewas dengan tulang iga dan tulang leher patah-patah!
"Sin-te...!"
Han Tiong berteriak marah. Tok-ciang Sian-jin sendiri sudah terdesak hebat dan melihat betapa dua orang pembantunya tewas dalam keadaan mengerikan itu, diapun lalu meloncat jauh dan melarikan diri, diikuti oleh para muridnya yang masih selamat.
"Tiong-ko, aku harus membunuh mereka. Mereka adalah kakek-kakek iblis yang jahat, dan kalau engkau tidak keburu datang, aku tentu telah menjadi babi panggang!"
Kata Thian Sin yang mencoba berkelakar, akan tetapi melihat pandang mata kakaknya yang tajam dan penuh teguran itu, dia menunduk. Han Tiong memandang ke sekeliling tempat itu. Sunyi saja. Tidak nampak seorangpun anggauta Jeng-hwa-pang. Mereka semua telah lari dan meninggalkan mereka yang tewas atau terluka. Tidak kurang dari dua puluh orang yang rebah, kebanyakan telah tewas oleh tangan Thian Sin. Han Tiong bergidik dan menarik napas panjang.
"Sin-te, berapa banyak orang yang telah kau bunuh? Rombongan yang kau bunuh di hutan itu! Dan sekarang di sini! Ah, lupakah engkau akan semua pelajaran dari Paman Hong San Hwesio? Lupakah engkau akan semua pesan ayah bahwa kita tidak boleh membunuh orang? Dan engkau hari ini telah menyebar maut!"
Thian Sin mengangkat muka memandang kakaknya. Baru sekarang dia sadar akan semua perbuatannya dan dia merasa menyesal sekali.
"Mereka... mereka membunuh ayahku... ibuku... dan mereka membunuh Hwi Leng! Ah... Tiong-ko, mereka... mereka merenggut nyawa orang-orang yang kucinta... aku menjadi mata gelap, kau maafkanlah aku, Tiong-ko..."
Dan Thian Sin lalu menutupi kedua mata dengan kedua tangan. Pemuda remaja ini menangis!
Han Tiong merasa terharu dan kasihan sekali. Dia amat sayang kepada adiknya ini dan diapun dapat merasakan betapa hancur hati adiknya itu melihat kematian Hwi Leng, apalagi karena yang membunuh dara itu adalah orang-orang Jeng-hwa-pang yang dahulu mengambil bagian dalam kematian ayah bunda pemuda itu. Betapapun juga, ada alasan yang amat kuat mendorong adiknya itu menjadi mata gelap. Dan segalanya sudah terjadi, dan yang terbunuh itu, bagaimanapun juga, harus diakui adalah orang-orang jahat yang sudah sepatutnya ditentang karena mereka itu hanya mengotori dunia dengan perbuatan-perbuatan mereka yang kejam dan jahat. Didekatinya adiknya dan dirangkulnya.
"Sudahlah, segala hal sudah terlanjur. Hanya kuminta agar lain kali engkau jangan terlalu membiarkan dirimu hanyut dalam arus kemarahan dan dendam yang membutakan mata."
Thian Sin terisak dan balas merangkul kakaknya.
"Terima kaslh, Tiong-ko, akan kuperhatikan nasihatmu. Harap... harap kau ... tidak melaporkannya kepada ayah... aku takut akan tegurannya..."
Han Tiong menahan senyum dan saat itu dia melihat luka di pangkal tangan adiknya.
"Eh, engkau terluka? Parahkah lukamu?" Thian Sin tersenyum, matanya masih basah, dan dia menggeleng kepala,
"Terkena tusukan pecut baja ketua Jeng-hwa-pang. Memang mengandung racun akan tetapi telah kukeluarkan dengan dorongan tenaga sin-kang."
"Baik kalau begitu, nah, mari kita urus mereka."
"Urus mereka? Siapa?"
Han Tiong menuding ke arah orang-orang yang menggeletak di sana-sini.
"Urus mayat-mayat itu, dan urus mereka yang terluka,"
Katanya dengan nada suara agak dingin karena dia teringat betapa Thian Sin membunuh seluruh rombongan Jeng-hwa-pang dan membiarkan mayat-mayat mereka begitu saja di tengah hutan. Thian Sin masih belum begitu mengerti, akan tetapi dia mengikuti kakaknya dan tanpa banyak cakap lagi dia membantu kakaknya ketika Hen Tiong mulai membuat lubang besar untuk mengubur semua mayat, bahkan lalu mengobati mereka yang terluka parah. Menjelang senja, Han Tiong mengajak adiknya untuk kembali ke Lembah Naga. Di sepanjang perjalanan, Thian Sin nampak berwajah muram sekali.
"Jangan khawatir, adikku. Aku tidak akan melaporkan kepada ayah tentang pembunuhan-pembunuhan itu."
Thian Sin menarik napas panjang.
"Aku percaya sepenuhnya kepadamu, koko. Akan tetapi, bukan itu yang menjadikan pikiran... aku... aku tak dapat melupakan Hwi Leng..."
Dan dia menarik napas panjang berulang-ulang. Diam-diam Han Tiong merasa kasihan sekali. Mengapa adiknya ini demikian lemah kalau menghadapi wanita cantik? Dia tahu bahwa adiknya telah merasa kehilangan dengan kematian Hwi Leng dan untuk kedua kalinya patah hati setelah dahulu kehilangan Cu Ing. Setelah keduanya tiba di Istana Lembah Naga dan berhadapan dengan ayah dan ibu mereka. Han Tiong menceritakan secara singkat betapa mereka berdua telah mengejar sampai ke sarang Jeng-hwa-pang dan berhasil mengobrak-abrik sarang itu dan ketua Jeng-hwa-pang melarikan diri bersama anak buah mereka.
"Engkau terluka, Thian Sin. Parahkah lukamu? Coba kau mendekat."
Cia Sin Liong memeriksa luka itu.
"Hemm kau telah mendorong racunnya keluar. Bagus sekali. Eh, Thian Sin, berapa banyak orang yang telah kau bunuh?"
Ditanya secara tiba-tiba seperti itu, wajah Thian Sin berubah, akan tetapi ditekannya perasaan hatinya.
"Saya... saya tidak tahu, ayah..., mereka mengeroyok dan saya membela diri sedapat saya..."
"Ayah, Sin-te hampir saja celaka, sudah terjebak dalam jala dan digantung, nyaris dibakar hidup-hidup."
"Untung Tiong-ko segera datang sehingga dapat menolong saya dan kami berdua lalu mengamuk dan mengalahkan mereka..."
Cia Sin Liong menarik napas panjang. Tentu saja dia tahu akan semua itu. Tadi dia telah menyusul mereka dan diam-diam dia menonton semua yang terjadi. Dia sengaja tidak turun tangan dan membiarkan saja segala sepak terjang Thian Sin dan Han Tiong dan dia melihat pula perbedaan antara puteranya sendiri dan putera angkatnya itu.
Hatinya khawatir menyaksikan keganasan Thian Sin dan diapun kagum melihat keberaniannya ketika telah tertawan namun masih amat berani itu. Dan melihat betapa Han Tiong amat melindungi dan membela adiknya, maka Cia Sin Liong diam saja tidak mau mendesak lebih jauh tentang pembunuhan yang dilakukan Thian Sin itu. Dia hanya bertanya tentang pertempuran itu. Thian Sin lalu menceritakan dengan panjang lebar tentang pertempuran itu, akan tetapi tentu saja tidak berani bercerita bahwa dia telah mempergunakan Thi-khi-i-beng. Kepada Han Tiong telah diceritakannya segala hal, bahkan juga tentang penggunaan Thi-khi-i-beng dan untuk itu, Han Tiong telah menegurnya. Terhadap kakaknya, dia sama sekali tidak ingin dan tidak bisa menyembunyikan sesuatu, bahkan baru lega rasa hatinya kalau dia sudah menceritakan hal yang membuat hatinya tertekan kepada kakaknya.
Semenjak terjadinya peristiwa itu, Cia Sin Liong makin tekun menyuruh dua orang muda itu berlatih silat di bawah pengawasannya. Dia melihat betapa semenjak terjadinya peristiwa itu, Thian Sin kelihatan banyak sekali duduk termenung dengan wajah yang membayangkan kedukaan dan kekecewaan. Maka sebagai seorang yang sudah banyak pengalaman, dia dapat menduga bahwa pemuda yang romantis itu tentu mengalami patah hati yang agak parah karena hal itu terjadi untuk kedua kalinya. Maka satu-satunya jalan sebagai pengobatan adalah menyuruhnya berlatih sebanyak mungkin, latihan ilmu silat dan berlatih siulian untuk menghimpun sin-kang. Pada suatu hari, masih pagi-pagi sekali, Sin Liong telah mengamati dua orang puteranya yang sudah asyik berlatih silat di dalam lian-bu-thia (ruangan berlatih silat).
Dua orang pemuda itu bertelanjang dada, hanya memakai celana dan sepatu. Tubuh mereka yang muda itu nampak padat kuat dan penuh dengan tenaga yang membayang pada otot-otot mereka. Sungguh amat menyenangkan dan mengagumkan menyaksikan kedua orang pemuda itu berlatih silat. Gerakan Thian Sin demikian cekatan, lincah dan indah, sebaliknya gerakan Han Tiong demikian mantap, tenang dan kokoh kuat seperti batu karang. Kalau dapat dibuat perbandingan, gerakan Thian Sin seperti gerakan ombak samudera yang gelombang dan tak kenal henti, sebaliknya Han Tiong bagaikan batu karang di tepi samudera yang kokoh kuat. Namun keduanya memiliki daya kekuatan masing-masing dan terasa sekali oleh Cia Sin Liong yang menonton dua orang puteranya yang sedang berlatih itu, menonton sambil berdiri dan memangku tangan.
Pada saat itu, sambil mengeluarkan pekik melengking, Thian Sin meloncat dan menyerang dengan tendangan yang disusul dengan cengkeraman tangan kanan, seperti seekor harimau yang menubruk mangsanya. Namun Han Tiong dengan tenangnya menangkis tendangan itu dan sudah siap menghadapi cengkeraman adiknya yang dielakkannya dengan merendahkan tubuh lalu tangan kanannya yang tadi menangkis tendangan kini memukul dari bawah ke arah pusar lawan. Thian Sin juga dapat menangkis dan selanjuthya dua orang pemuda itu saling serang dengan hebatnya. Angin pukulan berdesir-desir terasa di seluruh lian-bu-thia itu dan diam-diam Pendekar Lembah Naga menonton dengan hati puas dan bangga. Akan tetapi di samping kebanggaan ini juga timbul kekhawatiran di dalam hatinya melihat bahwa pada wajah Thian Sin masih jelas terbayang kedukaan yang mendalam itu.
Dia melihat bahwa tidak percuma dia menggembleng dua orang muda itu karena ternyata semua ilmu silat yang mereka pelajari telah mendekati kesempurnaan dan agaknya tidak berselisih jauh dengan dia sendiri. Tentu saja mereka itu masih belum memiliki kematangan pendekar dan masih membutuhkan banyak pengalaman. Akan tetapi jelaslah bahwa jarang ada tokoh kang-ouw yang akan mampu menandingi mereka! Tak lama kemudian, Bhe Bi Cu, isteri pendekar sakti ini, muncul dan menonton pula. Dan wanita yang cerdas inipun dapat melihat kedukaan yang membayang pada wajah tampan anak angkat mereka, maka diapun memberi isyarat kepada suaminya dan mereka berdua meninggalkan lian-bu-thia untuk duduk di ruangan dalam, di mana mereka membicarakan keadaan Thian Sin.
"Dia agaknya tidak dapat melupakan gadis itu,"
Kata Bi Cu setelah mereka berdua saja di dalam kamar.
"Ah, dia amat lemah menghadapi wanita seperti mendiang ayahnya,"
Kata Sin Liong.
"Dia amat mudah jatuh hati, mudah sekali sakit hati, mudah mendendam, akan tetapi juga mudah melupakan. Buktinya, dia dahulu juga berduka karena ditinggal Cu Ing, akan tetapi kini dia sudah melupakannya, dan dia jatuh hati kepada Hwi Leng. Aku yakin bahwa kalau dia bertemu dengan gadis lain yang dapat memikat hatinya, diapun akan lupa kepada Hwi Leng."
Kata Bi Cu dengan hati tidak puas. Sin Liong menarik napas panjang, teringat dia akan mendiang Ceng Han Houw yang juga sudah biasa mempermainkan wanita dan berganti-ganti pacar.
"Pemuda seperti dia itu sebaiknya cepat dicarikan jodoh dan dinikahkan."
Bi Cu mengerutkan alisnya.
"Mungkinkah seorang pemuda seperti dia dicarikan jodoh begitu saja? Tanpa persetujuan dan kecocokan hatinya sendiri, agaknya hal itu tidak mungkin dilakukan, juga belum tentu akan menjadi sebuah perkawinan yang bahagia."
"Tentu saja harus atas persetujuannya. Ah, aku teringat sekarang. Bukankah Lan-moi mempunyai seorang anak perempuan? Siapa namanya? Ah, aku lupa lagi..."
"Namanya Ciu Lian Hong, akan tetapi dia masih kecil, masih kanak-kanak!"
Kata Bhe Bi Cu yang juga teringat, bahkan dia ingat pula akan nama anak itu, anak dari Kui Lan dan Ciu Khai Sun, seorang anak perempuan yang mungil dan lembut.
"Aihh, masih kanak-kanak kan ketika kita ke sana dulu. Semenjak itu, tujuh tahun telah lewat, apa kau sudah lupa? Tentu dia sudah belasan tahun usianya sekarang!"
"Benar, akan tetapi paling banyak hanya baru tiga belas tahun usianya, masih belum dewasa benar."
"Betapapun juga, usia belasan tahun tak dapat dinamakan anak-anak lagi dan kalau sudah berkenalan dengan anak itu, tentu dapat dirundingkan. Siapa tahu, seorang di antara mereka ada yang cocok dan suka..."
"Seorang di antara mereka?"
"Ya, bukankah kita harus pula mencarikan jodoh atau calon jodoh untuk Han Tiong? Dan andaikata seorang di antara mereka cocok dengan puteri Lan-moi, alangkah baiknya kalau kita berbesan dengan Ciu Khai Sun dan isterinya!"
"Hemm, lalu maksudmu bagaimana?"
"Tiong-ji dan Sin-ji sudah cukup dewasa dan kulihat ilmu silat mereka sudah cukup baik, hanya tinggal mematangkan dengan pengalaman saja. Untuk mengusir kedukaan yang menggoda hati Thian Sin, sebaiknya kalau mereka berdua itu kusuruh pergi melakukan perjalanan jauh. Mengunjungi kakek mereka di Cin-ling-san, berpesiar ke kota raja, dan kemudian mengunjungi bibi mereka di Lok-yang, berkenalan dengan anak-anak Lan-moi dan Lin-moi. Bukankah itu baik sekali?"
"Ah, dan membiarkan mereka itu menghadapi dunia yang begitu kejam, di mana banyak terdapat orang-orang jahat yang lihai? Ingat, di dunia kang-ouw kini muncul raja-raja kaum sesat seperti Pak-san-kui dan yang lain-lain..."
Pendekar Lembah Naga Eps 4 Pendekar Lembah Naga Eps 38 Dewi Maut Eps 38