Asmara Berdarah 11
Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo Bagian 11
Tentu saja, sebagai putera Siangkoan Lojin, dia tidak dapat lari dari kenyataan ini dan beberapa kali dia harus turun tangan membantu ayahnya kalau ayahnya atau teman-teman sekaum bertemu dengan lawan atau kalau sedang melaksanakan tugas, seperti yang dilakukannya di Telaga Emas itu. Akan tetapi selamanya dia sendiri tidak pernah melakukan perbuatan jahat yang berupa kekejaman kepada orang lain. Konflik-konflik batin yang dideritanya sejak dia mengerti itu membentuk suatu watak yang aneh pada Ci Kang. Dia menjadi seorang pemuda yang pendiam, dingin, keras seperti baja dan Kadang-kadang membawa mau sendiri, tak perduli, dan aneh! Ketika Ci Kang diajak ayahnya ke telaga itu dan dengan kegagahannya dia berhasil membebaskan tiga orang tokoh Cap-sha-kui, ayahnya memarahi tiga orang tokoh itu yang gagal membunuh panglima Liang.
"Kalian sungguh tolol dan harus malu menjadi tokoh Cap-sha-kui kalau melaksanakan pekerjaan membunuh seorang menteri saja gagal, bahkan digagalkan oleh seorang pemuda yang menyamar sebagai menteri itu."
Demikian Siangkoan Lojin mengomel setelah mereka semua berhasil melarikan diri dan berada di tempat persembunyian.
"Bukankah seharusnya lebih dulu melakukan pengamatan dan pengintaian?"
"Maaf, Lojin. Sesungguhnya, kami bertiga sama sekali tidak tahu bahwa Menteri Liang telah diganti oleh seorang pemuda lihai, dan semua ini adalah kesalahan gembel gendut ini yang bertugas sebagai pengamat. Kami telah dijanji oleh Hwa-I Kai-Pang yang hendak membantu dengan penyelidikan, dan perkumpulan gembel itu telah mengutus si gendut yang tidak teliti ini!"
Kata Kui-kok Lomo dengan nada suara jengkel sambil menuding ke arah Bhe Hok, tokoh Hwa-I Kai-Pang yang gendut itu. Siangkoan Lojin mengerutkan alisnya yang putih. Tentu saja dia tidak dapat melihat tudingan telunjuk Kui-kok Lomo ke arah orang gendut itu, akan tetapi dia dapat mengerti bahwa orang itu hadir pula di situ.
"Hemm, siapakah engkau utusan Hwa-I Kai-Pang?"
Bentaknya. Bhe Hok adalah seorang bekas penjahat yang kejam dan tabah, akan tetapi berhadapan dengan kakek buta itu dia merasa gentar sekali. Dia sudah mendengar bahwa kakek buta ini amat lihai dan juga tidak segan-segan membunuh pembantu yang bersalah. Maka, biarpun orang itu tidak dapat melihat, dia segera memberi hormat.
"Saya bernama Bhe Hok, Lojin. Dan sayalah yang diutus oleh para pimpinan Hwa-I Kai-Pang untuk membantu dalam usaha penyergapan di telaga itu. Saya bertugas mengamati dan memata-matai telaga itu sampai Menteri Liang muncul. Akan tetapi, sebelum menteri itu muncul, secara tak disangka-sangka, saya terlibat dalam perkelahian yang disebabkan oleh... oleh murid Lojin sendiri."
Iblis buta itu mendengus.
"Hemm, kau maksudkan Thian Sin Bu?"
"Benar, Lojin. Ketika saya sedang melakukan pengintaian, di pantai telaga saya melihat Sim-sicu sedang berkelahi melawan seorang gadis yang amat lihai. Karena saya melihat murid Lojin itu terdesak, saya lalu muncul dan membantunya, menotok roboh gadis itu. Akan tetapi tiba-tiba muncul Shantung Lo-kiam dan saya lalu berkelahi melawan jago pedang itu sedangkan murid Lojin pergi melarikan gadis yang sudah roboh tertotok itu! Karena ditinggal sendiri, terpaksa saya juga melarikan diri karena Lo-kiam itu lihai sekali. Kalau saja Sim-sicu tidak muncul berkelahi dengan gadis itu, atau kalau saja dia tidak pergi meninggalkan saya dan melarikan gadis itu, tentu kami berdua akan dapat menjatuhkan Shantung Lo-kiam dan keadaan akan menjadi lain."
"Hemmm..."
Terpaksa Siangkoan Lojin tidak jadi marah kepada orang Hwa-I Kai-Pang itu karena ternyata muridnya sendiri yang menjadi biang keladi kegagalan usaha itu.
"Ci Kang, engkau hendak ke mana?"
Tiba-tiba kakek buta itu menegur ketika telinganya menangkap gerakan orang ke pintu. Dia mengenal gerakan puteranya yang ringan dan menegur. Akan tetapi Ci Kang sudah tiba di luar tempat itu dan terdengar jawabannya dari luar,
"Ayah, aku mau mencari angin segar."
Dan diapun sudah jauh sekali sehingga ayahnya tidak sempat lagi untuk mencegahnya. Siangkoan Lojin mengenal keanehan watak puteranya maka diapun lalu melanjutkan percakapannya dengan tiga orang tokoh Cap-sha-kui itu.
"Sudahlah, kegagalan membunuh Menteri Liang biar menjadi pelajaran baik bagi kalian semua. Lain kali kita dapat mencari jalan lain untuk melenyapkannya. Sekarang yang penting bagaimana melaksanakan tugas kedua. Lomo dan Lobo, bukankah kalian sudah mempunyai rencana untuk membunuh jenderal itu?"
"Sudahlah, Lojin. Kami akan melaksanakannya sebaik mungkin, dibantu oleh Ular Betina ini."
"Dalam melaksanakan tugasku, biarpun kalian membantu, telah mengalami kegagalan. Kalau aku membantu kalian sampai berhasil, lain kali kalian harus membantuku pula sampai aku berhasil membunuh menteri itu."
Kiu-bwe Coali mengomel.
Demikianlah, seperti diceritakan di bagian depan, Siangkoan Ci Kang ternyata melakukan pengejaran terhadap murid ayahnya. Biarpun murid ayahnya itu jauh lebih tua dari padanya, namun Sim Thian Bu termasuk murid terakhir sehingga menyebut suheng kepadanya. Dia sudah tahu akan kejahatan Thian Bu, sudah mendengar bahwa sutenya itu adalah seorang jai-hwa-cat keji. Ingin dia mempergoki sutenya dan menghajarnya, akan tetapi Thian Bu yang cerdik itu selalu dapat lolos dan merahasiakan kejahatannya. Kini, mendengar betapa sutenya telah melarikan seorang gadis, dia menjadi marah dan segera melakukan pengejaran. Dia tentu saja dapat menduga ke mana sutenya membawa pergi gadis culikannya itu.
Ke mana lagi kalau bukan ke dalam gua rahasia tempat persembunyian ayahnya? Hanya di sanalah tempat aman bagi sutenya itu untuk melakukan segala macam kejahatan tanpa diketahui orang! Dan ternyata dugaannya memang benar. Dan dia datang pada saat yang tepat. Kalau Sim Thian Bu tidak berniat memperisteri Sui Cin dan melakukan bujukan-bujukan dan ancaman-ancaman, melainkan langsung saja diperksanya seperti yang biasa dia lakukan, tentu kedatangan Ci Kang terlambat dan gadis itu telah ternoda, mungkin jejaknya telah disingkirkan oleh Thian Bu yang licik. Kemudian, setelah menyelamatkan Sui Cin dan mengusir sutenya sehabis menghajarnya babak belur, Ci Kang duduk sendirian di dalam gua itu sambil termenung.
Hatinya semakin sakit dan menyesal sekali. Perbuatan keji dari sutenya tadi mengingatkan dia bahwa pria amat cabul dan keji itu adalah sutenya, murid ayahnya dan bahwa ayahnya adalah seorang gembong penjahat yang kini menjadi antek pemerintah yang lalim. Sedih hatinya. Dia sudah banyak membaca tentang pembesar-pembesar lalim yang mempergunakan penjahat-penjahat, dan dia selalu menganggap, betapa jahatnya pembesar seperti itu dan betapa rendah dan hinanya penjahat yang menjadi anteknya. Akan tetapi kini dia dihadapkan kenyataan bahwa ayah kandungnya sendiri menjadi penjahat antek pembesar lalim! Siapa yang takkan hancur dan sedih hatinya? Baru setelah gua itu mulai gelap, tanda bahwa senja telah mendatang, Ci Kang keluar dari dalam gua, menutupi lagi mulut gua dengan semak belukar, kemudian melangkah pergi dengan gontai dan hilang semangat. Pemuda ini semakin murung dan wajahnya semakin dingin.
"Haiii... nona... Perlahan dulu, nona..."
Sui Cin sudah tahu bahwa ada seorang pemuda berlari-lari mengejarnya, bahkan dara ini sudah tahu pula siapa pemuda itu. Akan tetapi ia pura-pura tidak dengar atau tidak perduli, melainkan melanjutkan perjalanannya menunggang kuda kecilnya dengan santai. Ia bahkan tidak memegang kendali kuda, dibiarkan kudanya berjalan seenaknya dan ia melindungi kepalanya dengan sebuah payung yang dikembangkan dan dipanggulnya. Iapun duduk miring di atas punggung kudanya, seenaknya sambil menikmati keindahan pemandangan alam pegunungan di sekitarnya. Jalan itu kasar dan sunyi, sinar matahari membakar panas, maka terasa nyaman berlindung di bawah payung.
"Prak-plok-prak-plok-prak..."
Suara kaki kuda berirama dan nyaring karena kuda itu mengenakan sepatu atau tapal kaki baru.
Hui Song merasa penasaran sekali. Dari jauh dia mengenal gadis berpayung menunggang kuda itu. Siapa lagi kalau bukan gadis yang pernah membuatnya tak mampu tidur nyenyak, gadis yang membuatnya tergila-gila, gadis perkasa yang pernah membantunya ketika dia dikeroyok oleh tiga orang tokoh Cap-sha-kui yang bernama Tho-tee-kui, Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kuibo? Maka dia lalu lari mengejar dan bukan main girangnya melihat kenyataan bahwa dugaannya memang benar, terutama sekali karena sekarang gadis itu tidak membalapkan kuda kecil yang lihai itu untuk meninggalkannya.
Seperti kita ketahui, Sui Cin telah terlepas dari malapetaka ketika ia terculik Sim Thian Bu dan tortolong oleh Siangkoan Ci Kang. Setelah pergi, ia lalu kembali ke dusun di mana ia menitipkan kudanya, dan kini ia melakukan perjalanan berkuda dengan niat pulang ke selatan, ke tempat tinggal orang tuanya di Pulau Teratai Merah. Sungguh tidak disangkanya sama sekali bahwa ia bertemu dengan Hui Song di tengah perjalanan, atau lebih tepat tersusul oleh pemuda itu. Ia sengaja membiarkan kudanya berjalan terus dan kini dengan napas agak terengah-engah Hui Song berjalan di sebelah kanan kuda itu sambil tersenyum menoleh dan memandang wajah di bawah payung itu. Sejenak kedua mata pemuda itu terbelalak keheranan, akan tetapi dia lalu tersenyum lagi dan nampak gembira sekali.
"Huh, apa maksudmu teriak-teriak seperti orang kesurupan dan lari-lari seperti orang dikejar setan?"
Sui Cin menegur sambil tersenyum mengejek.
"Aku tidak kesurupan, memang gila, tergila-gila dan aku bukan dikejar setan melainkan dikejar ketakjuban. Sungguh tak pernah kusangka sebelumnya bahwa yang bernama Sui Cin adalah seorang gadis yang cantik jelitanya melebihi semua bidadari di kahyangan!"
Kedua pipi itu menjadi merah, dan mata itu mengeluarkan sinar berapi. Entah mana yang lebih besar dan yang lebih memerahkan pipi, kemarahan ataukah kebanggaan mendengar pujian itu. Juga ia merasa terkejut karena ternyata Hui Song dapat menduga bahwa ia adalah Sui Cin si "pemuda gembel"
Itu. Kini tidak perlu berpura-pura lagi.
"Hemm, baru sekarang engkau tahu?"
Pancingnya. Ia tidak menghentikan kudanya dan terpaksa Hui Song berjalan-jalan di samping kuda itu yang kelihatan tidak senang kerena ada orang yang mengganggu ketenangannya di tempat sunyi indah itu.
"Memang baru sekarang! Wah, kalau aku tahu sejak dulu..."
"Lalu mau apa?"
"Tidak apa-apa. Sungguh engkau pandai sekali menyamar dan kau bilang mempunyai seorang cici."
"Akulah cicinya!"
"Ha-ha, dan engkau adiknya pula, pemuda gembel yang membagi-bagi uang kepada para gembel lain. Sungguh luar biasa! Dan engkau menjanjikan kepadaku untuk memperkenalkan aku kepada cicimu. Nah, sekarang perkenalkan. Kau tahu namaku, akan tetapi apakah namamu juga masih sama? Sui Cin?"
Sui Cin mengangguk.
"Eh, bagaimana engkau tiba-tiba saja dapat menduga bahwa aku adalah pemuda gembel itu pula?"
"Nanti dulu, apakah engkau begitu kejam membiarkan aku berjalan-jalan bersama kudamu yang mempunyai empat kaki sedangkan aku hanya mempunyai dua kaki?"
"Hemm, engkaupun boleh menggunakan kedua tanganmu sebagai kaki!"
"Sialan! Kau suruh aku merangkak?"
"Kalau kau mau!"
"Sudahlah, kasihanilah padaku. Aku capek dan kepanasan, mari kita berhenti dulu di bawah pohon sana itu, tempatnya teduh dan di situ banyak rumput. Kalau engkau tidak kasihan padaku, sedikitnya engkau kasihan kepada kudamu dan membiarkan dia istirahat dan makan rumput."
Sui Cin tak membantah lagi, lalu menepuk bahu kudanya yang segera membelok ke kiri menuju ke arah pohon rindang. Di sini ia turun, menutup payungnya dan membiarkan kudanya makan rumput sedangkan ia sendiri duduk di atas akar pohon yang menonjol di atas tanah, berhadapan dengan pemuda itu. Sejenak mereka saling berpandangan dan sekali ini Hui Song yang menundukkan mukanya karena malu akan tetapi juga girang sekali.
"Nah, engkau belum menjawab pertanyaanku tadi."
"Mengenalimu? Mudah sekali. Ketika aku melihatmu dari jauh, aku segera teringat akan encinya Sui Cin, gadis yang pernah membantuku melawan tiga orang tokoh Cap-sha-kui itu, maka aku mengejarnya. Begitu tiba di dekat kuda dan melihat wajahmu, aku terkejut dan segera timbul keyakinan di hatiku bahwa engkau adalah Sui Cin pemuda gembel itu."
"Hemm, mengapa begitu yakin? Bagaimana kalau aku encinya?"
"Memang mungkin ada persamaan antara seorang enci dan seorang adiknya, akan tetapi sinar mata dan senyum bibir itu tidak mungkin ada keduanya di dunia ini... eh, maaf, maksudku... aku sudah mengenal benar sinar mata dan senyum itu, jadi begitu melihatnya aku segera mengenalmu, Sui Cin. Maaf, rasanya janggal menyebutmu nona, setelah sekian lamanya menyebutmu Cin-te! Sekarang, agaknya tidak mungkin lagi menyebut Cin-te (adik laki-laki Cin), maka kusebut saja namamu."
"Memang benar, Song-ko. Aku bernama Sui Cin dan tidak mempunyai adik maupun kakak. Memang sudah menjadi kebiasaanku di waktu merantau, aku suka menyamar sebagai seorang pemuda. Kebetulan aku bertemu denganmu dalam penyamaran itu dan berkenalan, tentu saja aku terpaksa menyamar terus."
Tiba-tiba Hui Song tertawa bergelak. Sui Cin mengerutkan alisnya, merasa ditertawakan dan ia menjadi marah.
"Mau apa kau tertawa-tawa seperti gila?"
Hui Song menahan ketawanya.
"Aku teringat akan ceritamu tentang banci itu... Ha-ha, bisa saja engkau mencari alasan mengapa engkau marah-marah ketika aku mendekatimu. Ingat ketika aku merangkulmu karena kuanggap biasa antara laki-laki dan kau marah-marah dan..."
Wajah dara itu menjadi merah sekali.
"Sudahlah, tak perlu diungkit-ungkit kembali. Sekarang, mau apa sih engkau mengejarku?"
Hui Song bersikap sungguh-sungguh walaupun kini wajahnya cerah dan gembira sekali. Memang harus diakuinya bahwa sejak berpisah dari Sui Cin si pemuda gembel, dia merasa kehilangan dan kesepian.
"Sebenarnya aku tidak mengejarmu, melainkan mencari jejak Sui Cin pemuda itu."
"Mau apa?"
Hui Song tersenyum malu-malu.
"Pertama... eh, untuk bertanya bagaimana dia tidak muncul di pantai telaga, dan kedua... anu... aku ingin menagih janji karena dia berjanji hendak memperkenalkan aku kepada encinya."
"Mata keranjang!"
"Bukan begitu, Sui Cin. Janji tetap janji! Sekarang katakanlah, mengapa engkau tidak muncul di pantai? Aku mendengar penuturan Shantung Lo-kiam bahwa ada seorang gadis diculik penjahat. Entah bagaimana, aku teringat akan encinya Sui Cin, maka akupun lalu melakukan pengejaran dan pencarian. Dan ternyata aku beruntung sekali, menemukan Sui Cin sahabatku bersama encinya sekaligus. Sui Cin, benarkah engkau yang dikabarkan oleh Shantung Lo-kiam itu?"
Sui Cin mengangguk.
"Benar. Aku melakukan pengamatan di pantai seperti yang telah kita rencanakan, dan karena aku sudah berpisah darimu, aku mengenakan pakaian wanita kembali agar lebih mudah mengamati. Di situ aku bertemu dengan Sim Thian Bu yang tadinya tidak kusangka seorang penjahat karena dia pernah mau ikut menghadiri pertemuan antara para pendekar tempo hari. Kiranya dia seorang jai-hwa-cat dan kami segera berkelahi. Aku lengah ketika muncul seorang di antara tokoh Hwa-I Kai-Pang itu, yang perutnya gendut, dan aku tertotok roboh. Lalu muncul kakek itu, yang membawa Yang-kim..."
"Shantung Lo-kiam..."
"Kakek itu menyerang si gendut dan mereka berkelahi. Aku yang sudah tertotok lalu dilarikan oleh jahanam Sim Thian Bu. Aku dilarikan menuju ke sebuah gua tersembunyi dan... dan... si jahanam keparat itu hampir saja menggangguku!"
Hui Song mengepal tinju.
"Keparat! Lalu bagaimana?"
"Untung muncul seorang pemuda... anehnya, pemuda itu adalah suheng dari Sim Thian Bu walaupun usianya paling banyak delapan belas tahun sedangkan Sim Thian Bu sudah dua puluh lima tahun lebih. Pemuda itu melarang, akan tetapi jahanam itu membantah dan akhirnya jahanam itu dihajar babak-belur oleh pemuda yang amat lihai itu. Kemudian aku dibebaskan dan begitu kaki tanganku bebas, tentu saja aku menyerang Sim Thian Bu yang sudah dihajar parah. Akan tetapi pemuda itu menangkis dan ternyata dia amat kuat..."
Hui Song terbelalak heran.
"Nanti dulu, apakah pemuda itu wajahnya masih amat muda akan tetapi matanya mencorong, pakaiannya sederhana dan tubuhnya tinggi tegap?"
"Benar jubahnya kasar belang-belang agaknya dari kulit harimau..."
"Ah, benar dia! Menurut dugaan Shantung Lo-kiam, dia tentu putera Siangkoan Lojin Si Iblis Buta!"
"Apa? Datuk itu?"
Sui Cin bertanya kaget.
"Kalau begitu, Sim Thian Bu adalah murid Si Iblis Buta?"
"Mungkin sekali, dan itulah sebabnya dia menyebut suheng kepada pemuda itu, karena kalah tingkat."
"Tapi kalau pemuda itu putera Iblis Buta, kenapa dia menolongku dan menghajar sutenya sendiri?"
Hui Song termenung.
"Entahlah, sungguh teka-teki yang membingungkan."
Hening sejenak. Kemudian Sui Sin yang mulai merasa biasa berhadapan dengan Hui Song sebagai seorang wanita, bertanya,
"Bagaimana dengan usahamu menyelamatkan Menteri Liang?"
"Berhasil dengan baik,"
Katanya dan diapun lalu menceritakan bahwa dia telah menemui Menteri Liang, menceritakan semua rencana kaum penjahat dan betapa dia lalu pada saat yang ditentukan menyamar sebagai Menteri Liang dan menggantikan menteri itu pergi ke telaga. Diceritakan betapa yang muncul adalah Kui-kok Lomo, Kui-kok Lobo dan Kiu-bwe Coali yang menyerangnya akan tetapi dia dan para pengawal istimewa dapat menanggulangi, bahkan sudah hampir berhasil dibantu oleh Shantung Lo-kiam untuk mengalahkan mereka.
"Sayang muncul pemuda aneh itu bersama kakek kurus yang menurut dugaan Shantung Lo-kiam adalah Si Iblis Buta bersama puteranya. Pemuda itu lihai sekali, menggunakan panah api membakar perahu dan dia berhasil menyelamatkan tiga tokoh Cap-sha-kui itu sehingga kami tidak berhasil mencegah mereka meloloskan diri."
Sui Cin mendengarkan dengan heran dan kagum. Sungguh tokoh muda yang menolongnya itu amat aneh. Membantu para penjahat, akan tetapi juga menentang kejahatan sute sendiri.
"Dan selanjutnya, apa yang akan kau lakukan, Song-ko?"
"Masih banyak yang hendak kulaksanakan, akan tetapi aku ingin melakukannya bersamamu, Sui Cin, karena itulah maka aku mengejar dan mencarimu."
"Aku baru saja terlepas dari bencana dan aku ingin pulang, sudah terlalu lama meninggalkan ayah ibu."
"Ah, betapa inginku ikut bersamamu pergi menghadap dan berkenalan dengan orang tuamu, secara langsung bertemu muka dengan Pendekar Sadis yang namanya sudah kukenal sejak kecil! Akan tetapi, tugas masih mengikatku, Sui Cin. Engkau tentu tahu bahwa keselamatan Menteri Liang masih terancam..."
"Engkau bukan pegawai negeri dan perlindungan terhadap seorang menteri dapat dilakukan oleh pasukan keamanan!"
"Engkau benar. Akan tetapi kita tahu bahwa juga Jenderal Ciang terancam. Kalau kita tidak membantu, padahal sumber keterangan itu dari kita, tentu pihak pemerintah aken merasa curiga akan kebenaran berita itu. Apalagi kalau di belakang para penjahat itu terdapat pembesar yang amat berpengaruh dan berkuasa. Kita harus membongkar semua kejahatan itu dan menentang kelaliman, berulah tidak percuma kita belajar silat sejak kecil dan menjadi keturunan para pendekar."
"Uwaahhh! Agaknya engkau hendak membanggakan kedudukanmu sebagai putera pendekar, putera ketua Cin-Ling-Pai, ya?"
Sui Cin mengejek sambil tersenyum.
"Tidak demikian, adikku yang baik. Akan tetapi, kalau orang tua kita sudah berjuang sebagai pendekar dan memperoleh nama harum, bukankah sudah menjadi kewajiban kita anak-anak mereka untuk menjunjung tinggi nama itu dengan perbuatan gagah dan baik pula? Selain itu, bukankah di lubuk hati kita sudah terdapat perasaan menentang kejahatan?"
Sui Cin mengibaskan tangan kirinya.
"Sudahlah, cukup dengan kuliahmu itu. Sekarang apa kehendakmu setelah engkau bertemu denganku di sini?"
"Cin-moi, aku merasa berbahagia sekali bertemu denganmu di sini, baik sebagai pemuda gembel maupun sebagai seorang gadis. Bagaimanapun juga, di antara kita masih terdapat ikatan yang amat dekat, setidaknya ikatan saudara seperguruan. Ingat bahwa ayahmu juga merupakan seorang murid Cin-Ling-Pai yang amat membanggakan, dan engkaupun menguasai banyak ilmu-ilmu tingkat tinggi dari Cin-Ling-Pai."
"Sudahlah jangan memuji-muji, maksudmu bagaimana?"
"Kita masih saudara seperguruan, dan kita bardua sudah mengalami bersama kejahatan yang dilakukan oleh komplotan busuk antek-antek pembesar lalim itu. Maka, jika engkau tidak keberatan, Cin-moi, marilah kita lanjutkan kerja sama ini untuk menentang mereka. Setidaknya, sampai urusan ini selesai dan aku akan menemanimu kembali ke tempat tinggal orang tuamu, memberi kesempatan kepadaku untuk belajar kenal dengan mereka."
Sui Cin termenung. Bagaimanapun juga, ia merasa suka kepada pemuda ini dan sudah menikmati perjalanan bersama yang penuh petualangan itu. Rasanya tidak enak juga kalau kini membiarkan Hui Song bekerja sendiri menempuh bahaya besar menghadapi komplotan yang lihai itu. Akhirnya ia mengangguk.
"Baiklah, aku akan membantumu sampai usaha pembunuhan terhadap Jenderal Ciang itu digagalkan."
Wajah yang cerah itu makin berseri dan sepasang mata pemuda itu bersinar-sinar ketika dia meloncat bangun dengan girang.
"Wah, terima kasih, Cin-moi! Aku memang tahu bahwa engkau adalah seorang pendekar wanita sejati!"
"Simpan pujian-pujianmu untuk lain kali, jangan dihabiskan sekarang. Yang penting, sekarang apa yang harus kita lakukan?"
"Untuk sementara ini, Menteri Liang sudah dapat diselamatkan dan tentu akan selalu dikawal ketat."
"Dan kalau engkau memberi tahu kepada Jenderal Ciang lalu pembesar itu selalu dikawal pasukan-pasukan yang kuat, penjahat-penjahat itu mampu berbuat apakah? Perlu apa kita harus bersusah payah lagi, Song-ko?"
"Engkau tahu, urusan ini bukan sekedar kejahatan biasa, melainkan komplotan yang menjadi antek dari Liu-thaikam, pembesar dalam istana yang korup dan jahat itu. Aku sudah menemui Jenderal Ciang dan beliau tidak merasa heran mendengar beritaku bahwa ada tokoh-tokoh sesat yang hendak membunuhnya, karena dia tahu betapa Liu-thaikam membencinya. Liu-thaikam harus ditumbangkan kekuasaannya, demikian kata Jenderal Ciang. Kalau tidak, pembesar keji itu akan semakin berani dan mungkin saja keselamatan kaisar sendiri kelak akan terancam oleh kejahatan Liu-thaikam dan antek-anteknya."
"Apa susahnya? Laporkan saja kejahatan Liu-thaikam kepada sri baginda kaisar agar dia ditangkap dan dihukum, habir perkara."
"Enak saja kau bicara, Cin-moi! Ketahuilah, menurut penuturan Jenderal Ciang, kedudukan thaikam itu amat tinggi dan celakanya, kaisar amat percaya kepadanya. Bahkan dia merupakan orang pertama yang dipercaya sri baginda kaisar. Melaporkannya begitu saja kepada kaisar bahkan akan mencelakakan si pelapor karena kaisar tidak akan percaya. Karena itulah, maka Ciang-goanswe minta bantuan dan kerja samaku untuk menghadapi para penjahat itu, memancing mereka agar turun tangan dan kita akan menghadapi mereka sehingga tidak sampai gagal seperti ketika para penjahat menyerbu Menteri Liang. Kita harus dapat menangkap hidup-hidup agar para penjahat itu dapat membuat pengakuan di depan kaisar sebagai saksi. Hanya dengan demikian maka kaisar akan percaya betapa jahat dan palsunya kepala thaikam itu dan dapat menjatuhkan hukuman. Nah, maukah engkau membantu agar usaha penting ini berhasil?"
"Bagaimana rencana jenderal itu?"
"Ciang-goanswe diam-diam memerintahkan agar seorang sahabatnya yang menjadi guru silat di kota Paofan, merayakan hari ulang tahunnya dan mengundangnya, juga mengundang para tokoh persilatan, baik dari golongan sesat maupun dari golongan bersih. Sebagai seorang bekas piauwsu dan juga sebagai guru silat, tidak terlalu menyolok kalau dia memberi kesempatan kepada para tokoh silat untuk menghadiri pestanya. Akan disiarkan berita bahwa pesta itu dihadiri oleh Jenderal Ciang sehingga komplotan itu tentu akan mendengarnya dan dapat dipastikan bahwa mereka akan turun tangan menyerang Jenderal itu di tempat pesta. Nah, di sinilah kita turun tangan pula menentang dan menangkap mereka, bersama dengan para pengawal yang diam-diam diselundupkan ke tempat itu."
"Bagus sekali, mari kita berangkat!"
Kata Sui Cin penuh semangat. Gadis ini memang sejak kecil suka berkelahi, apalagi berkelahi menghadapi para penjahat dan dalam urusan menentang kejahatan, ia tidak pernah mengenal takut. Sui Cin menunggang kudanya lagi, memakai payung karena panas matahari masih menyengat. Hui Song berjalan di samping kuda, wajahnya berseri dan semangatnya berkobar. Setelah kini didampingi Sui Cin, semangat pemuda ini semakin besar dan diapun tahu bahwa dia telah jatuh cinta kepada gadis ini, bahkan mungkin cintanya itu sudah bersemi ketika dia menganggap gadis ini seorang pemuda gembel.
Ang-kauwsu (guru silat Ang) memang mempunyai banyak kenalan. Sebelum menjadi guru silat yang tinggal di kota Paofan, di waktu mudanya dia pernah bakerja sebagai kepala piauwau (pengawal barang) yang cukup terkenal di kota raja. Sebagai piauwau, tentu saja dia banyak mengenal dunia hitam, mengenal para penjahat karena hal ini amat penting bagi pekerjaannya. Karena bersahabat dan suka memberi hadiah, maka para penjahat tidak akan mengganggu kiriman barang-barang di bawah bendera piauwkiok yang dipimpinnya. Kini usianya sudah enam puluh tahun dan ketika dia diundang oleh Jenderal Ciang yang sudah dikenalnya dan diberitahu tentang komplotan yang hendak membunuhi para pembesar yang setia, dia segera menyatakan kesetiaannya untuk membantu jenderal itu menumpas para penjahat.
Tentu saja hanya dengan cara mengadakan pesta ulang tahun ke enam puluh dan mengundang semua golongan sebagai pancingan agar para penjahat itu melihat kesempatan hadirnya Ciang-goanswe di situ dan berani turun tangan. Dia sendiri tidak berani mencampuri karena begitu mendengar bahwa komplotan itu terdiri dari orang-orang Cap-sha-kui, nyali guru silat ini sudah terbang dan mukanya menjadi pucat ketakutan. Siapa orangnya takkan ngeri mendengar nama Cap-sha-kui? Berita tentang pesta ulang tahun Ang-kauwsu telah tersiar luas. Diberikan bahwa Ang-kauwsu mengadakan pesta besar-besaran dan meriah, bahkan mengundang orang-orang penting, juga Jenderal Ciang dari kota raja akan hadir dalam pesta itu.
Juga diberitakan bahwa Ang-kauwsu membuka kesempatan kepada semua kawan di rimba raya untuk datang tanpa adanya surat undangan karena sukar menyampaikan surat undangan kepada mereka. Berita ini cukup bagi kaum sesat bahwa Ang-kauwsu tidak melupakan mereka dan bahwa semua orang tokoh sesat akan diterima sebagai tamu terhormat kalau menghadiri pesta itu. Tentu saja yang dimaksudkan dengan tokoh adalah mereka yang memiliki kepandaian cukup tinggi untuk menjadi tamu kehormatan Ang-kauwsu. Sejak pagi pada hari yang ditentukan, ruangan besar yang merupakan tempat darurat, yaitu halaman depan rumah yang dibangun untuk tempat pesta, mulai dibanjiri tamu dari berbagai golongan. Tidaklah sukar untuk menduga siapakah tamu-tamu dari golongen bersih dan siapa pula tamu dari golongan sesat karena sebagian besar dari para kaum sesat itu bersikap kasar dan congkak,
Juga aneh-aneh pakaian dan sikap mereka. Karena para undangan itu terdiri dari orang-orang dari kaum persilatan, maka tidak diadakan penggolongan tempat duduk bagi wanita dan pria. Biarpun wanita, kalau wanita kang-ouw, tidak merasa canggung duduk di antara kaum pria. Ada belasan orang wanita di antara para undangan itu yang duduknya berpencaran. Di antara mereka terdapat seorang gadis yang sikapnya menonjol karena selain wajahnya angker dan galak, juga dara ini amat cantik dan datangnya sendirian saja ke dalam pesta itu. Akan tetapi ketika ia memperkenalkan diri kepada tuan rumah sebagai seorang murid yang mewakili Cin-Ling-Pai, ia menjadi pusat perhatian orang di sekitarnya.
Cin-Ling-Pai, nama yang sudah amat terkenal. Akan tetapi banyak pula yang merasa heran mengapa Cin-Ling-Pai diwakili oleh seorang gadis yang masih begitu muda, cantik jelita dan halus pula gerak-geriknya. Yang dapat menunjukkan bahwa ia seorang ahli silat hanyalah sepasang pedang yang tergantung di punggung dan wajahnya yang angker itu. Dara itu berusia sembilan belas tahun, pakaiannya ringkas namun cukup mewah dan bersih, sepatunya mengkilap, wajahnya manis sekali, dengan mulut yang kecil dan dagu yang meruncing, Matanya tajam galak dan rambutnya hitam dan lebat sekali, digelung ke atas merupakan sanggul yang besar dan diikat sutera kuning. Kalau rambut itu dilepas sanggulnya, mungkin panjangnya sampai ke lutut.
Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sepasang pedang panjang tipis melintang di kanan kiri pundak, tergantung pada punggung dan ini menambah kegagahannya. Ketika Ang-kauwsu mendengar bahwa gadis cantik ini adalah wakil Cin-Ling-Pai yang memberi selamat kepadanya, dia lalu mengantar tamu ini ke sebuah meja di mana telah duduk tiga orang tamu lain, dua wanita dan seorang pria yang menjadi kenalan baiknya karena mereka itu adalah keluarga piauwsu di kota Paofan. Dara Cin-Ling-Pai itu dipersilakan duduk dan gadis itu nampak lega karena memperoleh teman duduk yang cukup sopan dan yang usianya sekitar tiga puluhan, belum tua benar. Ia memperkenalkan diri sebagai Tan Siang Wi dan segera bercakap-cakap dengan tiga orang semeja itu. Tak jauh dari meja di mana Tan Siang Wi duduk, terdapat pula tiga orang pria sedang duduk bercakap-cakap.
Sukar dikatakan apakah mereka itu golongan sesat ataukan golongan bersih. Pakaian mereka cukup rapi, dan jelas menunjukkan pakaian ahli-ahli silat karena ringkas dan sikap merekapun gagah. Seorang di antara mereka sudah tua, jenggot kumis dan alisnya sudah putih namun tubuhnya masih tegap dan nampak kuat. Dua orang lainnya yang duduk di kanan kirinya berusia empat puluh tahun lebih, rambut mereka dikuncir tebal dan wajah mereka nampak gagah dengan jenggot terpelihara rapi. Akan tetapi, sikap tiga orang ini agak congkak dan hal ini dapat nampak pada pandang mata mereka yang ditujukan kepada para tamu yang hadir. Bahkan setiap kali ada tamu datang, terutama tamu yang menunjukkan bahwa mereka ini datang dari golongan hitam, mereka bertiga bicara dan tertawa-tawa.
Pandang mata mereka yang ditujukan kepada tamu baru itu ketika tertawa-tawa menunjukkan bahwa tentu tamu baru itu yang menjadi bahan ketawa mereka. Demikian pula ketika Tan Siang Wi muncul, mereka berbisik-bisik dan melirik ke arah gadis itu, tersenyum-senyum menyeringai dengan sikap kurang ajar sekali. Karena Siang Wi tidak mendengar apa yang mereka bicarakan, dara inipun tidak perduli. Akan tetapi setelah ia duduk bersama tiga orang tamu dan kebetulan duduknya menghadap ke arah meja tiga orang itu, mulailah Siang Wi mengerutkan alisnya. Ia melihat betapa tiga orang itu, terutama dua orang termuda, selalu memandang kepadanya dan sengaja mainkan mata mereka seperti lagak laki-laki yang hendak menggoda wanita.
Tentu saja Siang Wi menjadi mendongkol dan mula-mula ia memang membuang muka saja dan tidak mau balas memandang. Akan tetapi, telinganya mulai dapat menangkap percakapan mereka itu di antara berisiknya suara para tamu lain. Marahlah gadis ini. Tan Siang Wi adalah murid tunggal dari Bin Biauw, isteri ketua Cin-Ling-Pai. Seperti kita ketahui, Bin Biauw atau nyonya Cia Kong Liang ini adalah puteri bekas datuk sesat Tung-hai-sian, seorang Bangsa Jepang. Setelah berbesan dengan ketua Cin-Ling-Pai, Tung-hai-sian mencuci tangan dan tidak lagi berkecimpung di dalam dunia sesat. Puterinya, Bin Biauw, biarpun puteri seorang datuk sesat, adalah seorang gadis yang baik sehingga dapat menjatuhkan hati Cia Kong Liang.
Akan tetapi setelah kini mempunyai seorang murid, ternyata muridnya ini sedikit banyak mewarisi watak Tung-hai-sian. Tan Siang Wi ini berwatak keras sekali, tidak pernah mau mengalah, agak tinggi hati dan angkuh walaupun ia selalu bertindak gagah dan menentang kejahatan. Selain mewarisi ilmu dari Bin Biauw, ia juga menerima petunjuk-petunjuk dan ilmu silat dari ketua Cin-Ling-Pai sendiri maka dapat dibayangkan betapa lihainya Siang Wi. Kelihaiannya membuat dara ini semakin tinggi hati, terutama terhadap golongan sesat yang dianggap musuhnya. Tangannya berobah ganas kalau ia berurusan dengan kaum sesat dan sedikitpun ia tidak mau mengalah atau memberi hati. Maka, selama satu dua tahun saja memasuki dunia kang-ouw, gadis ini telah dijuluki orang Toatbeng Sianli (Dewi Pencabut Nyawa) karena ganasnya terhadap musuh-musuhnya.
Agaknya karena kenyataan yang sudah didengarnya bahwa sukongnya, yaitu Bin Mo To di Cengto, adalah seorang bekas datuk sesat, gadis ini hendak membuktikan kepada semua orang di dunia bahwa dia adalah murid isteri ketua Cin-Ling-Pai, jadi seorang pendekar, bukan orang sesat! Terdapat kecondongan hati kita untuk selalu menutupi kekurangan dan menonjolkan kelebihan kita. Kita selalu ingin disebut baik. Keinginan seperti ini selalu timbul karena kenyataan yang kita lihat bahwa keadaan kita adalah sebaliknya dari pada baik. Hanya orang yang berkulit hitam sajalah yang selalu ingin disebut putih. Hanya orang yang bodoh sajalah yang selalu ingin dianggap pintar, dan hanya orang yang melihat betapa kotor dirinya sajalah yang selalu ingin dianggap bersih dan baik.
Kita lupa bahwa justeru keinginan-keinginan untuk dianggap lain dari pada kenyataan ini yang seringkali mendorong kita untuk melakukan hal-hal yang buruk dan bodoh. Kalau kita sadar akan kekotoran kita, maka kita akan berusaha membersihkannya, bukan dengan cara menyembunyikan atau menutupinya. Kalau kita sadar bahwa kita bersih, maka kita akan menjaga agar kebersihan itu tidak ternoda kekotoran, bukan lalu menjadi tinggi hati dan merasa bersih dan baik sendiri karena perasaan demikian itu sudah menodai kebersihan itu sendiri. Mengapa kita Kadang-kadang merasa ngeri untuk menghadapi dan melihat kenyataan apa adanya, betapa buruk dan kotor sekalipun kenyataan itu? Menutupi kenyataan, melarikan diri dari kenyataan, jelas tidak akan dapat merobah keadaan itu.
"Ha-ha-ha!"
Seorang di antara tiga pria itu tertawa lagi sambil menyumpit dan makan kue yang mulai dihidangkan. Wajah mereka mulai merah oleh arak.
"Agaknya Cin-Ling-Pai sudah kehabisan jago jantan maka mengeluarkan jago betina, Heh-heh!"
Ucapan itu sebenarnya lebih merupakan kelakar di antara mereka sendiri karena diucapkan perlahan dan dimaksudkan untuk mereka dengar sendiri, dan ketiganya tertawa bergelak sambil melontarkan pandang ke arah meja Siang Wi. Akan tetapi karena mencurahkan perhatian ke arah mereka, Siang Wi dapat menangkap kata-kata itu dan marahlah gadis ini. Ia tidak mampu lagi mengendalikan dirinya dan sekali melompat, ia telah meloncati mejanya dan tahu-tahu, seperti seekor burung saja ia sudah hinggap di atas lantai dekat meja tiga orang itu!
"Kalian tadi bilang apa?"
Bentaknya sambil berdiri dengan kedua tangan bertolak pinggang dan mata tajam penuh kemarahan menatap mereka. Tiga orang itu terkejut. Tak mereka sangka bahwa gadis itu akan dapat mendengar ucapan yang menghina Cin-Ling-Pai tadi, juga mereka terkejut melihat gadis itu demikian gesitnya meloncati meja dan kini berdiri di depan mereka dengan sikap mengancam.
"Eh, kami bilang apa? Tidak ada sangkut-pautnya denganmu!"
Seorang di antara mereka menjawab dan melanjutkan jepitan sumpitnya pada kue di atas piring.
"Bagus! Kalian menghina Cin-Ling-Pai dan masih berani bilang tidak ada sangkut-pautnya denganku? Biarpun Cin-Ling-Pai diwakili seorang wanita setidaknya jauh lebih gagah dari pada kalian ini banci-banci pengecut yang tidak berani mengakui perbuatannya!"
Para tamu yang duduk di sekitar tempat itu menjadi kaget dan merekapun menoleh dengan penuh perhatian dan wajah mereka tertarik sekali. Dalam pertemuan antara para orang-orang kang-ouw sudah lumrah apabila terjadi keributan dan perkelahian.
Mereka bahkan sebagian besar mengharapkan terjadinya hal ini, karena dalam pertemuan para ahli persilatan, terasa kurang sedap dan kurang bumbu kalau tidak terjadi keributan dan perkelahian. Tiga orang itu sebenarnya bukan orang-orang sembarangan. Kakek yang berjenggot putih itu adalah seorang tokoh kang-ouw yang terkenal yang berjuluk Huangho Lo-eng (Pendekar Tua Sungai Kuning) bernama Pui Tek. Adapun dua orang laki-laki gagah di sampingnya adalah dua orang muridnya, juga amat terkenal sebagai Huangho Sianghouw (Sepasang Harimau Sungai Kuning). Mereka bukan penjahat dalam arti kata memiliki pekerjaan jahat seperti perampok atau bajak, akan tetapi karena orang-orang takut kepada mereka, maka dengan mudah mereka memperoleh hasil dari hadiah yang mereka terima dari para pedagang demi keselamatan dan keamanan.
Mereka adalah semacam tukang-tukang pukul yang disegani. Guru mereka, Huangho Lo-eng Pui Tek pernah dalam suatu perkelahian dikalahkan oleh Cia Kong Liang ketua Cin-Ling-Pai. Walaupun bukan merupakan permusuhan pribadi dan tidak ada dendam secara terbuka, namun kekalahan itu membuat Pui Tek mendongkol dan tidak suka kepada Cin-Ling-Pai, menganggap ketua Cin-Ling-Pai yang memang keras wataknya itu terlalu sombong. Dengan sendirinya, kedua orang muridnya juga tidak suka kepada Cin-Ling-Pai, maka tidak heranlah kalau mereka tadi mengeluarkan kata-kata yang nadanya tidak bersahabat terhadap Cin-Ling-Pai sehingga membuat Siang Wi menjadi marah sekali. Kini, di depan meja mereka berdiri seorang gadis Cin-Ling-Pai yang bertolak pinggang dan memaki mereka banci pengecut di depan begitu banyak orang.
Tentu saja wajah tiga orang itu menjadi merah sekali dan kemarahan mulai memenuhi hati mereka. Akan tetapi, bagaimanapun juga mengingat akan julukan Pui Tek yang masih memakai Lo-eng (Pendekar Tua), dua orang harimau itu tentu saja lebib condong merasa diri mereka pendekar dari golongan bersih dari pada sebagai golongan hitam, maka ada rasa harga diri pada mereka yang membuat mereka merasa malu kalau harus ribut-ribut dan berkelahi melawan seorang gadis yang masih remaja, yang usianya tentu belum ada dua puluh tahun. Mereka adalah jagoan-jagoan di sepanjang Sungai Kuning, tentu memalukan kalau harus berkelahi melawan seorang dara remaja. Akan tetapi didiamkan sajapun tidak mungkin setelah gadis itu memaki mereka sebagai banci pengecut.
"Bocah perempuan kurang ajar, makanlah ini!"
Bentak orang yang menyumpit kue itu dan sekali tangan kanan yang memegang sumpit bergerak, kue sepotong yang disumpitnya itu meluncur ke arah muka Siang Wi dengan kecepatan kilat!
"Capp!"
Dara itu menggerakkan tangan kanan dan menjepit ke arah kueh itu. Dengan tepat sekali telunjuk dan jari tengah tangan kanannya telah menjepit kueh itu dan ia melakukan ini sambil tersenyum mengejek.
"Makanlah sendiri!"
Dara itu membentak dan tiba-tiba tangannya bergerak. Kueh itu meluncur cepat ke arah muka orang yang menyambit tadi. Orang itu cepat menggerakkan sumpit untuk menjepit kembali, akan tetapi begitu bertemu sumpit, kue itu hancur dan tentu saja hancuran kue itu menyambar dan mengenai muka orang itu. Ternyata sebelum membalas dengan timpukan, Siang Wi telah lebih dulu menggunakan tenaga jari tangan membikin kue itu remuk bagian dalamnya. Hancurnya kue menyerang mata, hidung dan mulut, membuat orang itu repot membersihkan mukanya sambil memaki-maki! Orang kedua yang melihat saudaranya mendapat malu, sudah bangkit dan membentak marah,
"Bocah perempuan, berani kau menghina orang?"
Dan sekali kepalanya bergerak, rambut yang dikuncir tebal itu menyambar ke depan, mengeluarkan suara bersuitan dan memukul ke arah leher Siang Wi. Sungguh merupakan serangan yang aneh akan tetapi juga berbahaya karena thouwcang (kuncir) yang digerakkan dengan tenaga sinkang ini tak kalah ampuhnya dibandingkan dengan senjata keras. Orang itu sungguh terlalu memandang rendah kepada Siang Wi maka dia berani selancang itu menyerang dengan kuncirnya. Kalau tidak begitu tentu dia tidak berani bergerak secara sembrono seperti itu.
"Wuuuuttt..."
Kuncir itu meluncur lewat ketika Siang Wi merendahkan tubuh mengelak dan begitu kuncir menyambar lewat, tangan kiri Siang Wi mencuat dan tahu-tahu kuncir itu sudah dapat dicengkeramnya! Sekali sentakan, terpaksa kepala orang itu tertunduk dan Siang Wi sudah mengangkat lututnya untuk menghajar muka orang! Tentu sedikitnya hidung orang itu akan berdarah kalau saja saudaranya tidak cepat menubruk dengan pukulan tangan ke arah punggung Siang Wi.
"Huh, pengecut curang!"
Bentak Siang Wi yang terpaksa melepaskan orang pertama dengan mendorongnya mundur, kemudian sambil meloncat dara itu membalik dan menangkis pukulan orang kedua.
(Lanjut ke Jilid 11)
Asmara Berdarah (Seri ke 08 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 11
"Dukk!"
Dua tenaga besar bertemu dan akibatnya, orang berjenggot itu menyeringai kesakitan dan meloncat ke belakang. Tak disangkanya pertemuan lengan itu membuat lengannya kesakitan dan seperti lumpuh saking kuatnya lengan kecil milik nona itu.
Kini tahulah dua orang Harimau Sungai Kuning itu bahwa lawannya, biarpun wanita, biarpun masih muda sekali, ternyata memiliki ilmu kepandaian yang cukup hebat. Kini para tamu menjadi semakin gembira, dan tuan rumah, yaitu Ang-kauwsu yang juga melihat pertikaian itu diam saja karena diapun ingin melihat kesudahannya. Guru silat ini juga memiliki penyakit yang sama dengan orang-orang dari kalangan persilatan, yaitu suka melihat adu silat. Pula, diam-diam diapun merasa tidak senang melihat sikap para jagoan Huangho yang terkenal kasar dan banyak lagak itu tadi menghina utusan Cin-Ling-Pai. Dia mengharapkan jagoan-jagoan sombong itu menemui batunya walaupun hatinya khawatir melihat bahwa di situ terdapat pula Huangho Lo-eng yang dia tahu amat lihai sekali.
"Budak perempuan kurang ajar! Berani engkau menghina kami di tempat umum? Hayo cepat berlutut minta maaf kalau tidak ingin menerima hajaran kami!"
Bentak seorang di antara dua jagoan yang mukanya terkena hancuran kue tadi.
Bagaimanapun juga, dia dan kawannya masih sungkan melawan seorang gadis, apalagi sekarang mereka berdua telah memegang senjata andalan mereka, yaitu sebatang tombak besar gagang panjang. Kalau dara itu mau minta maaf, berarti muka mereka telah tercuci, atau kalau dara itu tetap hendak melawan, berarti mereka sudah memberi kesempatan kepadanya untuk minta maaf. Seorang seperti Siang Wi, mana mengenal minta maaf? Hatinya terlalu keras untuk mau mengalah, apalagi terhadap orang-orang yang sudah berani menghinanya dan menghina Cin-Ling-Pai. Ia tersenyum mengejek dan mukanya menjadi semakin dingin, sepasang matanya mengeluarkan sinar kilat.
"Dua monyet busuk, dengarlah baik-baik. Kalian yang telah menghina Cin-Ling-Pai dan kalau kalian kini berlutut minta ampun, barulah nonamu hendak mempertimbangkan apakah kalian dapat diampunkan. Kalau tidak, aku akan menghajar kalian!"
Ucapan ini sungguh amat hebat. Bukan hanya menantang terang-terangan di depan orang banyak itu, bahkan menghina. Mana bisa Huangho Sianghouw, dua jagoan itu mau menerima begitu saja?
"Bocah setan, engkau bosan hidup!"
Teriak seorang di antara mereka dan golok besar bergagang panjang itu menyambar dahsyat ke leher Siang Wi. Tentu saja dara perkasa itu tidak sudi lehernya dibabat begitu saja. Ia cepat mengelak sambil membalikkan tubuh menendang meja di depannya. Kakek Huangho Lo-eng yang duduk di belakang meja itu cepat menghindar dengan loncatan gesit ke kanan sehingga dia tidak sampai terkena tumpahan makanan dan arak.
Akan tetapi dia bukan hanya meloncat begitu saja, melainkan cepat meraih dan dia sudah berhasil menangkap kaki meja dan menaruh meja itu di samping. Gerakan ini saja membuktikan kecepatan dan kelihaian jago tua ini. Kini terdapat ruang agak luas bagi Siang Wi yang menghadapi dua orang lawannya. Dua orang harimau itu mulai menyerang dengan golok gagang panjang mereka. Semua orang memandang dengan tegang dan juga agak khawatir karena Siang Wi tidak mau mempergunakan pedangnya. Dara ini tadi memang melolos sepasang pedangnya, akan tetapi bukan dicabut untuk melawan, melainkan ia letakkan di atas mejanya sendiri agar sepasang senjata itu tidak mengganggu gerakannya, kemudian ia kembali ke hadapan dua orang lawannya, melawan dengan tangan kosong.
"Anak itu terlalu sembrono!"
"Terlalu sombong bisa merugikannya."
"Tapi, ia kelihatan lihai sekali."
Demikianlah para penonton saling berbisik melihat betapa dara itu menghadapi Huangho Sianghouw dengan tangan kosong, padahal kedua orang lawan itu menggunakan senjata tajam yang bergagang panjang. Dua orang jagoan itu sendiri merasa kikuk dan sungkan.
"Bocah gila, hayo pergunakan pedangmu!"
Bentak mereka.
"Melawan dua ekor monyet tua macam kalian tidak perlu pakai pedang!"
Jawab Siang Wi yang memang tinggi hati. Dua orang itu tak dapat lagi menahan kemarahan hati mereka. Keduanya lalu menyerang dengan golok mereka. Senjata itu mengeluarkan suara bercuitan dan berdesing-desing, dan terbentuk dua gulungan sinar lebar yang menyambar-nyambar.
Akan tetapi, para tamu menjadi bengong ketika mereka melihat betapa dara itu menggerakkan tubuhnya dan seperti seekor burung walet saja gesitnya beterbangan di antara sambaran kedua golok itu! Bukan main indahnya gerakan dara itu dan tak terasa lagi keluar pujian dari mulut para tamu yang sudah tinggi ilmunya. Hui Song dan Sui Cin baru saja menyelinap ke dalam rombongan tamu, memilih tempat di sudut. Mereka mempergunakan kesempatan selagi keadaan menjadi kacau karena perkelahian itu, di mana semua tamu mencurahkan perhatiannya ke arah perkelahian untuk menyelinap masuk dan tanpa menemui tuan rumah mereka sudah mengambil tempat duduk di sudut yang agak tersembunyi oleh satu di antara tiangtiang penyangga bangunan darurat itu. Mereka juga tertarik menonton ke arah perkelahian.
"Hemm, berani benar gadis itu menghadapi pengeroyokan dua orang lawan yang bersenjata panjang dengan tangan kosong saja."
Kata Sui Cin setelah melihat dengan teliti dan mendapat kenyataan bahwa dua orang bersenjata golok panjang itu tak boleh dipandang ringan.
"Sumoi takkan kalah,"
Kata Hui Song lirih dan Sui Cin terkejut.
"Sumoimu...?"
Ia memandang lebih teliti dan kini iapun mengenal gerakan kaki dan tangan gadis itu, walaupun Kadang-kadang gerakan itu berobah aneh. Masih ada dasar-dasar ilmu silat Cin-Ling-Pai dalam gerakan silat gadis itu, akan tetapi sudah bercampur dengan ilmu silat lain yang tidak dikenalnya. Memang sesungguhnyalah. Setelah menikah dengan Cia Kong Liang, Bin Biauw mendapat banyak petunjuk dari suaminya dan iapun mempelajari dasar-dasar ilmu silat Cin-Ling-Pai yang kokoh kuat. Maka, ketika ia melatih Siang Wi, tentu saja dasar-dasar ilmu silat Cin-Ling-Pai juga diajarkan, bahkan Siang Wi juga menerima gemblengan dari ketua Cin-Ling-Pai sendiri.
"Ya, namanya Tan Siang Wi,"
Jawab Hui Song sederhana. Dia tidak merasa girang bertemu dengan sumoinya. Pemuda ini tahu benar bahwa sumoinya itu sudah sejak lama sekali menaruh perhatian kepadanya dan dalam sikap dan gerak-gerik dara yang pendiam itu terdapat tanda-tanda bahwa Siang Wi mencintanya. Hal inilah yang membuat dia merasa tidak enak kalau bertemu dengan sumoinya. Diapun menyayang sumoinya ini, akan tetapi sumoinya berwatak keras, terlalu berani dan agak angkuh. Dia tidak mencinta sumoinya, maka merasa semakin tidak enak setelah tahu bahwa sumoinya itu jatuh cinta kepadanya.
"Hemm, ia cantik dan gagah!"
Sui Cin memuji. Memang gadis itu manis sekali, terutama pinggangnya amat ramping.
"Ya, tapi keras hati dan galak."
Sui Cin menahan senyum dan mengerling ke arah wajah pemuda itu, akan tetapi Hui Song tidak sedang bergurau melainkan memandang ke arah perkelahian dengan wajah serius dan tegang. Bagaimanapun juga, memang Sui Cin benar. Terlalu sembrono menghadapi dua lawan tangguh yang bersenjata panjang itu dengan tangan kosong.
"Haaaiiiittt..."
Tiba-tiba Siang Wi memekik, tangan kanan memukul gagang tombak lawan yang menyerang dari kanan sedangkan kaki kiri mendahului lawan kedua, menendang ke arah dada.
"Bukk... plakkk!"
Lawan pertama terpental goloknya sedangkan lawan kedua tidak mampu menghindar. Serangan atau gerakan Siang Wi memang hebat, seperti seekor burung rajawali mementang sayap, kedua lengannya berkembang dan kaki kirinya menendang ke depan selagi tubuhnya masih melayang. Orang yang kena tendang dadanya itu terbanting roboh dan sebelum orang kedua hilang kagetnya, kaki kanan menggantikan kaki kiri yang turun untuk menyambar ke depan.
"Desss..."
Orang kedua juga terbanting karena perutnya dicium ujung sepatu Siang Wi. Dua orang itu meringis kesakitan dan merayap bangun, sementara itu Huangho Lo-eng yang melihat betapa dua orang muridnya dirobohkan seorang gadis muda, mukanya berobah merah sekali. Dia sudah bangkit berdiri, mengebutkan ujung jubahnya dan melangkah maju menghampiri Siang Wi. Akan tetapi sebelum guru dan dua orang muridnya ini sempat bicara atau bergerak, tiba-tiba muncul seorang pemuda tampan yang segera menghadapi tiga orang itu sambil menjura.
"Sam-wi-enghiong, saya mewakili tuan rumah menyampaikan permohonan maaf, harap samwi menyudahi urusan ini sampai di sini agar tidak mengganggu jalannya pesta."
Kemudian pemuda itu membalik dan menghadapi Siang Wi sambil menjura pula.
"Nona, harap suka mundur dan mengakhiri keributan ini."
Tanpa setahu orang, pemuda itu berkedip.
Sejenak Siang Wi terbelalak. Tentu saja dia mengenal suhengnya! Akan tetapi sebelum dia menegur, Hui Song mengedipkan mata, dan Siang Wi yang cukup cerdik itu maklum bahwa suhengnya tidak ingin dikenal orang. Maka iapun mengangguk dan kembali ke mejanya, menggantung kembali siang-kiamnya di punggung dan duduk tenang, bersikap seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Tentu saja Huangho Lo-eng masih penasaran. Dua orang muridnya dirobohkan seorang anak perempuan di tempat pesta, hal ini sungguh amat menyakitkan hati dan menjatuhkan pula martabat dan nama besarnya, maka dia harus turun tangan membersihkan noda itu. Akan tetapi, kini muncul pemuda yang mewakili tuan rumah minta agar keributan jangan dilanjutkan. Selagi kakek ini merasa serba salah, tiba-tiba terdengar seruan di luar.
"Paduka Jenderal Ciang telah tiba..."
Mendengar ini, semua orang menengok keluar dan Ang-kauwsu sendiri bersama beberapa orang penyambut bergegas lari keluar untuk menyambut datangnya tamu agung ini.
Seorang jenderal adalah seorang perwira yang berpangkat tinggi, apa lagi datang dari kota raja, maka tentu saja merupakan seorang tamu agung yang paling terhormat. Hui Song dan Sui Cin sudah duduk kembali dan mereka berdua menandang penuh kewaspadaan. Seperti sudah mereka rencanakan ketika keduanya pergi menghadap Jenderal Ciang, mereka berdua bersama belasan orang pengawal pilihan menyelundup ke tempat pesta dan akan berjagajaga kalau ada orang melakukan serangan gelap. Sementara itu sang jenderal sendiri datang dikawal enam orang pengawal pilihan yang dipercaya. Agaknya belum puas dengan semua ini, Jenderal Ciang juga mengenakan lapisan baja di balik baju kebesarannya sehingga tubuhnya akan kebal terhadap serangan senjata tajam.
Saat yang sudah dinanti-nantikan banyak orang ini tiba! Tentu saja terjadi ketegangan hebat di dalam dada mereka yang memiliki kepentingan dengan kedatangan jenderal ini. Seperti telah mereka sepakati, Sui Cin memasang mata memandang ke kiri dan Hui Song ke kanan, siap untuk turun tangan kalau melihat orang yang hendak melakukan serangan gelap kepada jenderal itu. Tadipun mereka sudah memasang mata mencari-cari, akan tetapi mereka tidak melihat adanya tokoh-tokoh Cap-sha-kui yang mereka kenal, walaupun ada beberapa orang dari Hwa-I Kai-Pang mereka lihat menyelinap dalam pakaian biasa atau menyamar sebagai orang biasa, bukan pengemis. Mereka merasa yakin bahwa di antara banyak tamu itu terdapat tokoh-tokoh kaum sesat yang lihai.
Akan tetapi, tidak terjadi sesuatu ketika jenderal itu datang sampai diantar oleh tuan rumah menuju ke kursi kehormatan di panggung yang agak tinggi. Sementara itu, Siang Wi yang tadi memandang ke arah suhengnya, merasa heran dan alisnya berkerut ketika ia melihat suhengnya berbisik-bisik dengan seorang gadis yang cantik jelita! Mereka berbisik-bisik demikian akrabnya dan perasaan tidak senang memenuhi hati gadis yang jatuh cinta ini. Perasaan cemburu membakar dadanya dan biarpun tadi ia mengerti akan isyarat suhengnya dan iapun berdiam diri, kini perasaan cemburu membuat ia cepat bangkit berdiri, meninggalkan teman-teman semeja dan langsung saja menghampiri Hui Song dan Sui Cin yang duduk di sudut, di belakang tiang.
"Suheng, siapakah ia ini?"
Tanyanya menuding ke arah muka Sui Cin dengan alis berkerut dan mulut cemberut mata menantang.
"Ssttt... diamlah, sumoi..."
Hui Song berbisik kaget, lalu menarik tangan sumoinya sehingga gadis itu terduduk di kursi kosong dekatnya.
Harta Karun Jenghis Khan Eps 3 Harta Karun Jenghis Khan Eps 2 Pendekar Sadis Eps 12