Ceritasilat Novel Online

Harta Karun Jenghis Khan 2


Harta Karun Jenghis Khan Karya Kho Ping Hoo Bagian 2



Bahkan keduanya berjanji bahwa mereka akan menghadapi penjahat-penjahat dengan keadilan, bukan lagi dengan kekejaman. Karena inilah maka sekarang, biarpun mereka diancam oleh para penjahat dan bahkan dicurangi, mereka yang saling pandang itu maklum akan isi hati masing-masing, yaitu bahwa mereka masih ingat untuk tidak membunuh orang walaupun mereka harus menghajar kumpulan penjahat yang kejam itu. Karena jumlah mereka yang terlalu banyak dan tidak mungkin tiga puluh orang itu maju serentak melakukan serangan, maka kini begitu gerombolan itu bergerak, Hanya ada delapan orang yang dapat maju menggerakkan senjata mereka menyerang Thian Sin dan Kim Hong yang kelihatan masih bersikap enak-enakan dan bagi para penjahat itu dianggap sebagai makanan lunak.

   Akan tetapi, begitu mereka delapan orang itu maju, tiba-tiba saja nampak dua bayangan berkelebatan dan delapan orang itu merasa seperti disambar halilintar! Delapan orang itu sendiri tidak tahu apa yang telah terjadi dan selamanya mereka itu takkan sanggup menceritakan apa yang telah menimpa mereka. Tadinya mereka dengan ganas menyerbu dan menyerang pemuda dan gadis itu, akan tetapi tiba-tiba kedua orang muda itu lenyap dan sebagai gantinya, mereka hanya melihat bayangan berkelebat dan tahu-tahu dunia tiba-tiba menjadi gelap bagi mereka! Ketika mereka siuman kembali, mereka telah mendapatkim tubuh mereka malang melintang, Senjata mereka entah terbang ke mana dan tubuh mereka luka-luka,

   Ada yang benjol-benjol kepalanya, ada yang patah tulang lengannya, ada pula yang memar-memar badannya, ada yang pingsan ada pula yang hanya nanar saja. Pendeknya, secara aneh dan dalam waktu segebrakan saja, delapan orang itu telah terlempar ke sana sini dan terbanting tanpa dapat bangun kembali! Bahkan di antara mereka ada yang tidak sempat lagi berteriak karena sudah keburu tidak sadar. Melihat ini, kawanan penjahat itu terkejut dan marah sekali. Mereka berebut maju dan mengeroyok dengan buas. Akan tetapi, mereka itu seperti sekumpulan nyamuk menyerbu api lilin saja, karena siapa yang maju lebih dulu tentu terkapar atau terlempar, terbanting keras, berteriak kesakitan dan berobohanlah para pengeroyok itu malang melintang, senjata mereka terlempar ke empat penjuru,

   Bahkan ada yang patah-patah bertemu dengan lengan dua orang pendekar muda itu. Menyaksikan kehebatan dua orang muda itu, tentu saja si gendut Ban Lok merasa terkejut dan gentar. Boleh jadi dia mendapatkan nama besar dari kepandaiannya atau juga dari kekejamannya, dan julukannya adalah Liong-kut-pian karena senjata ruyungnya itu memang hebat. Akan tetapi bagaimanapun juga, dia hanyalah seorang yang kejam dan orang kejam itu biasanya berwatak pengecut dan penakut. Hanya penakut sajalah yang dapat bersikap kejam, karena seorang penakut itu selalu khawatir akan keselamaten dirinya maka dia condong untuk meniadakan ancaman bagi dirinya. Biarpun tidak akan diakuinya sendiri, namun jelas bahwa di sudut hatinya, seorang yang kejam selalu dibayangi oleh rasa takut yang hebat.

   Demikian pula halnya dengan Liong-kut-pian Ban Lok ini. Begitu melihat bahwa keadaannya tidak aman baginya, hatinya merasa gentar dan lupalah dia akan kedudukannya sebagai seorang kepala atau pemimpin. Kiranya keganasan dan kekejamannya itu hanya menjadi selimut dari kepengecutannya, dan semua keberaniannya hanya timbul karena dia merasa ada banyak anak buah di belakangnya. Biasanya memang demikianlah. Segerombolan orang akan menjadi nekat dan berani, akan tetapi kalau seseorang terpisah dari kelompoknya, maka keberaniannyapun akan lenyap. Ban Lok yang sudah merasa berhasil mengantongi kunci emas, ketika melihat betapa mudahnya sepasang pendekar muda itu merobohkan anak buahnya, lalu mengambil langkah seribu, melarikan diri dari situ untuk menyelamatkan diri dan kunci emas. Melihat ini, Kim Hong berkata kepada kekasihnya.

   "Thian Sin, kau hajar semua anjing ini dan aku akan mencegah anjing besar melarikan diri!"

   Tanpa menanti jawaban karena ia sudah tahu bahwa kekasihnya akan menyetujuinya, sekali menggerakkan tubuh, Kim Hong telah meloncat dan melayang dengan kecepatan seekor burung walet terbang, mengejar Ban Lok.

   "Ehh...?"

   Kepala penjahat yang gendut ini terbelalak ketika melihat berkelebatnya bayangan orang dan tahu-tahu di depannya telah berdiri seorang gadis cantik jelita, berdiri dengan santainya, bertolak pinggang dan tersenyum seperti seorang guru menghadapi seorang murid taman kanak-kanak yang bandel!

   Lebih terkejut lagi hati kepala garong ini ketika mengenal bahwa gadis ini bukan lain adalah gadis yang dikeroyok tadi. Dia menoleh dan melihat betapa sisa anak buahnya masih mengeroyok si pemuda. Maklumlah dia bahwa dia harus berkelahi mati-matian untuk mempertahankan kunci emas itu. Maka tangan kanannya meraba ke belakang dan ruyung itu telah berada di tangannya. Ruyung yang mengangkat namanya tinggi-tinggi itu dilintangkan di depan dada. Ruyung itu terbuat dari pada baja dan kelihatan amat berat. Agaknya bentuk ruyung yang diukir seperti ekor ular itulah yang membuat ruyung itu dinamakan Liong-kut-pian (Ruyung Tulang Naga), jadi bukanlah tulang naga atau ular sungguh-sungguh.

   "Minggir kalau tidak ingin hancur kepalamu!"

   Bentaknya sambil mengamang-amangkan ruyung yang berat itu. Kim Hong tersenyum mengejek, senyum yang manis sekali akan tetapi kalau orang sudah lama mengenal wanita jelita ini, tentu akan bergidik karena senyum mengejek itu adalah senyuman khas yang menyembunyikan ancaman hebat!

   "Hati-hatilah main-main dengan ruyung berat itu. Jangan-jangan kepalamu sendiri yang akan terpukul dan pecah. Lebih baik kembalikan kunci emas tadi dan engkau boleh pergi sebagai anak yang baik."

   Ucapannya sungguh seperti ucapan seorang guru menasihati seorang anak kecil yang nakal. Tentu saja Liong-kut-pian Ban Lok menjadi marah sekali. Dia adalah seorang kepala penjahat yang sudah biasa merampok dan menodong selama puluhan tahun. Kini usianya sudah lima puluh tahun lebih dan dia diperlakukan sebagai anak kecil oleh seorang gadis yang masih begitu muda.

   "Bocah lancang bosan hidup!"

   Bentaknya dan ruyungnya sudah menyambar dengan dahsyat. Melihat gerakan ini, Kim Hong maklum bahwa si gundul ini memang memiliki tenaga besar. Akan tetapi hanya tenaga besar itu sajalah modalnya, di samping kenekatan karena gerakannya tidak menunjukkan ilmu silat yang tinggi.

   Maka dengan mudahnya ia mengelak hanya dengan menarik kepala ke belakang saja. Ruyung itu lewat di atas kepalanya, membawa suara berdesir dan menimbulkan angin yang kuat sehingga rambut di kepala Kim Hong berkibar dibuatnya. Ban Lok menjadi semakin penasaran. Dia mengeluarkan suara geraman nyaring dan menggunakan jurus Hun-in-toan-san (Awan Melintang Memutuskan Gunung). Jurus ini dilakukan dengan gerakan ruyung dari atas menyambar dengan gerakan menyerong ke arah leher lawan. Ketika lawan mengelak, ruyung itu membalik dan menyambar pula ke arah dada, dilanjutkan sambaran ke arah perut. Serangan beruntun ini merupakan perkembangan jurus Hun-in-toan-san. Namun, dengan mudah dan indah, seperti gerakan seorang anak manis bermain loncat tali dengan lincah dan cekatan,

   Kim Hong berhasil menghindarkan diri dari sambaran ruyung yang bertubi-tubi itu. Ban Lok melanjutlan jurus Hun-in-toan-san yang gagal itu dengan jurus Sin-liong-tiauw-wi (Naga Sakti Menyabetkan Ekor), tubuhnya memutar dan membalik, ruyungnya mendahului gerakannya sehingga ruyung itu seperti ekor naga yang membalik dan menyambar amat ganasnya. Melihat jurus yang selain cepat kuat juga mematikan ini, Kim Hong mengerutkan alisnya. Kepala penjahat ini terlalu kejam, pikirnya dan ia membayangkan, entah sudah berapa ratus nyawa orang yang tidak berdosa melayang oleh ruyung ini. Melihat sambaran ruyung yang diayun dari belakang dengan gerakan tubuh memutar itu ke arah pinggangnya, Kim Hong mengangkat kaki kirinya dan menotol dengan ujung kakinya ke arah ujung ruyung!

   Sungguh merupakan perbuatan yang amat berani karena meleset sedikit saja, tentu tulang kakinya akan dihajar ruyung sampai remuk-remuk! Akan tetapi, ternyata ujung sepatunya dapat mendorong dengan tepat sehingga ruyung itu menyeleweng gerakan meluncurnya dan membuat pemegangnya kehilangan keseimbangan dirinya. Ban Lok terkejut dan marah. Tubuhnya terbawa oleh luncuran ruyung sehingga dia terhuyung. Akan tetapi, kepala penjahat ini sengaja membuang diri ke bawah dan menggelundung, tubuhnya yang gendut itu menggelinding seperti bola dan ternyata kepala penjahat ini telah melanjutkan dengai jurus yang dinamakan Thi-gu-keng-te (Kerbau Besi Membajak Tanah). Tubuhnya yang menggelinding ini menyerbu ke arah lawan dan tiba-tiba saja dia meloncat dan menyeruduk dengan ruyungnya ke arat perut Kim Hong.

   Gerakan ini dahsyat dan berbahaya bukan main. Akan tetapi kini Kim Hong telah mengambil keputusan untuk merobohkan Ban Lok. Ia herdiri tegak dan seolah-olah tidak dapat mengelak lagi, akan tetapi diam-diam ia menanamkan tenaga sin-kang kepada kedua kakinya. Lalu tangan kirinya membuat gerakan dari samping, menangkis ruyung dan melanjutkan dengan dorongan tangan kanan ke arah ruyung. Sebetulnya, gadis sakti itu bukan menangkis, melainkan memapaki ruyung dengan telapak tangannya, seperti menempel atau menangkap, lalu melanjutkannya dengan mengalihkan tenaga luncuran ruyung itu membuat gerakan menyerong dan membalik. Tenaga luncuran oleh tangan Ban Lok itu masih kuat, kini ditambah tenaga dorongan tangan kanan Kim Hong, melayang ke arah kepala Ban Lok sendiri.

   "Prakk...!"

   Ban Lok mengeluarkan suara mengorok dari lehernya dan tubuhnya terpelanting ke kanan, roboh dengan kepala berlumuran darah, kepala yang sudah retak-retak oleh hantaman ruyungnya sendiri! Kim Hong berdiri dan bertolak pinggang, memandang ke arah korbannya, lalu menarik napas panjang.

   "Hemm, kau membunuhnya juga?"

   Terdengar suara orang bertanya. Kim Hong menoleh dan melihat bahwa kekasihnya juga sudah selesai merobohkan semua orang yang mengeroyoknya tanpa membunuh seorangpun di antara mereka. Tiga puluh lebih anak buah penjahat yang menggeletak malang melintang itu, hanya dapat memandang kepada sepasang pendekar itu dengan mata terbelalak penuh ketakjuban. Tak mereka sangka sama sekali bahwa mereka semua roboh seperti itu, bahkan kepala mereka telah tewas! Kini baru terbuka mata mereka bahwa mereka telah kecelik, menabrak batu karang.

   "Aku tidak membunuhnya, melainkan dia yang hendak membunuhku dan salah pukul sehingga ruyungnya memukul kepalanya sendiri!"

   Jawab Kim Hong setengah berkelakar. Thian Sin mengerti akan isi hati kekasihnya. Dia menarik napas panjang.

   "Dia manusia licik dan jahat. Entah sudah berapa banyak orang dibunuhnya dan membiarkan orang seperti dia tinggal hidup, berarti memperbanyak jumlah calon korban saja. Engkau benar Kim Hong, sudah sepatutnya dia dibunuh dan anak buahnya diberi hajaran seperti ini."

   Thian Sin lalu menghampiri tubuh si gendut yang sudah menjadi mayat itu, membalikkan tubuh menelungkup itu dengan kakinya, lalu mencari dan mengambil kembali kunci emas dari saku baju kepala penjahat itu. Dia sengaja mengangkat kunci emas itu tinggi-tinggi agar nampak oleh para anak buah penjahat yang rebah malang melintang karena dia ingin mempergunakan kunci itu untuk memancing semua pihak yang tersangkut dalam perkara harta karun yang peta dan kuncinya ditemukan oleh keluarga petani Ciang yang sial itu. Kota raja Peking nampak tenang-tenang saja, penduduknya nampak hidup makmur dan perdagangan berjalan dengan lancar dan ramai. Akan tetapi, keadaan di kota raja ini sesungguhnya tidak dapat dipakai sebagai ukuran keadaan negara pada waktu itu.

   Walaupun kerajaan di bawah pimpinan Kaisar Hung Chih, yaitu kaisar yang menggantikan Kaisar Ceng Hwa, masih cukup kuat dan tidak lagi terjadi pemberontakan-pemberontakan, akan tetapi kejahatan-kejahatan merajalela dan agaknya pemerintah tidak cukup tangguh untuk dapat mengatasi kekacauan-kekacauan kecil yang cukup membuat rakyat menderita ini. Tentu saja semua kekacauan itu terjadi di luar kota raja, karena kota raja sendiri di mana kaisar dan para pembesar tinggi berada, selalu terjaga kuat dan dibersihkan dari pengacauan. Tentu saja hal ini bukan berarti bahwa tidak ada kejahatan terjadi di kota raja. Banyak masih. Bahkan penjahat-penjahat berkaliber besar juga berpusat di kota raja. Hanya saja, para tokoh penjahat itu tidak berani melakukan kejahatan di kota raja secara menyolok dan mereka itu lebih banyak beroperasi di luar kota raja.

   Kota raja yang ramai ini menyimpan banyak rahasia-rahasia besar. Pernah menyaksikan jatuh bangunnya para kaisar dan dinasti yang berganti-ganti saling memperebutkan kekuasaan. Menjadi saksi bisu pula dari peristiwa-peristiwa kejahatan yang menjadi rahasia selamanya bagi penduduknya. Di kota raja ini pula tersimpan rahasia hilangnya pemuda dusun Ciang Kim Su yang datang ke kota raja membawa peta rahasia yang ditemukannya bersama ayahnya di ladang mereka. Apakah yang telah terjadi setahun yang lain ketika pemuda itu datang berkunjung ke kota raja? Benarkah seperti yang diceritakan oleh Liong-kut-pian Ban Lok kepada Pendekar Sadis dan Lam-sin itu? Pertanyaan-pertanyaan itu mengaduk di dalam otak Thian Sin dan Kim Hong ketika pada suatu pagi mereka memasuki kota raja yang ramai.

   Beberapa tahun yang lalu, sebagai Pendekar Sadis, Thian Sin pernah menggegerkan kota raja. Akan tetapi ketika itu, hanya namanya saja dikenal orang sebagai Pendekar Sadis, akan tetapi jarang ada orang pernah melihatnya. Maka sekarangpun dengan tenang dia memasuki kota raja tanpa khawatir akan dikenal orang sebagai Pendekar Sadis. Betapapun juga, ketika dia bersama Kim Hong melewati pintu gerbang istana yang megah, dari jauh jantungnya berdebar tegang. Dia teringat akan mendiang ayahnya, yaitu Ceng Han Houw, yang masih keturunan kaisar yang menempati istana itu. Darahnya sendiripun yang mengalir di tubuhnya masih darah keluarga istana ini! Kim Hong agaknya dapat membaca isi hati kekasihnya ketika melibat sinar mata kekasihnya memandang dengan termenung ke arah istana ketika mereka lewat perlahan.

   "Ingin menjenguk keluarga di dalam?"

   Thian Sin terkejut, menengok, saling pandang. Lalu tersenyum pahit dan balas bertanya.

   "Kau kira aku haus akan kedudukan dan kehormatan kosong itu?"

   Kim Hong sadar bahwa pertanyaannya tadi menyinggung, maka iapun cepat berkata menutupi rasa sesalnya.

   "Maksudku, kalau engkau ingin melihat-lihat ke dalam istana, apa salahnya kalau malam nanti kita masuk? Sudah sampai di kota raja, rugi kalau tidak melihat-lihat dalam istana. kau kan tidak takut?"

   "Hushh, siapa takut? Hanya kau lupa bahwa yang membawa kita ke kota raja bukan untuk pelesir. Sebelum urusan ini selesai, kita main-main di istana dan ketahuan, bukankah itu akan menggagalkan usaha kita?"

   Kim Hong mengangguk-angguk, menyadari kesalahannya.

   "Mari kita cari orang bernama Su Tong Hak itu."

   "Mudah-mudahan dia masih hidup,"

   Kata Thian Sin.

   "Dialah satu-satunya orang yang dapat kita harapkan untuk menemukan peta."

   "Kau pikir dia..."

   "Belum tentu. Akan tetapi kita tahu bahwa urusan ini telah tercium oleh gerombolan penjahat. Siapa tahu diapun sudah dibereskan dan petanya dirampas."

   "Kalau memang demikian, masih ada jalan. Kita datangi Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng!"

   Kata Kim Hong penasaran.

   "Ssttt, jangan keras-keras. Nama itu amat terkenal di sini. Sebaiknya kita mencari kamar rumah penginapan lebih dahulu, untuk menaruh pakaian dan menjadi tempat peristirahatan kita."

   Keduanya memilih dan mendapatkan sebuah kamar yang cukup bersih dan besar di rumah penginapan Hi-lok-li-koan. Setelah menaruh buntalan pakaian di kamar itu, mereka lalu keluar dari rumah penginapan dan mencari Su Tong Hak yang telah mereka ketahui nama dan alamatnya dari seorang anak buah mendiang Ban Lok. Orang yang mereka cari itu, Su Tong Hak, adik ipar dari mendiang petani Ciang Gun, ternyata telah berhasil dalam usahanya dan kini menjadi seorang saudagar hasil bumi yang cukup kaya di kota raja.

   Tokonya cukup besar dan ketika pegawai toko melihat tamu suami isteri yang tampan dan jelita, juga yang berpakaian rapi dan mewah, dengan mudah tamu yang dianggap penting dan hendak berdagang ini dipersilahkan masuk ke dalam ruangan tamu dan diterima sendiri oleh majikan toko. Laki-laki itu berusia empat puluh tahun lebih, bertubuh tinggi tegap dan biarpun di wajahnya masih ada bekas membayang kekerasan yang merupakan garis-garis mendalam seorang petani yang biasa hidup sukar, namun pakaian dan sikapnya menyelimuti bekas ini dan dia lebih patut menjadi tuan Su Tong Hak saudagar yang cukup berhasil di kota raja. Wajahnya masih menunjukkan keterbukaan seorang petani, akan tetapi sinar matanya sudah penuh kecerdikan seperti sinar mata para pedagang yang pandai bersandiwara. Setelah saling memberi hormat, pedagang itu berkata,

   "Saya Su Tong Hak, dan siapakah ji-wi dan datang dari mana? Kabar baik apakah yang ji-wi bawa untuk kami?"

   Sikapnya ramah seperti biasa seorang pedagang.

   "Paman Su Tong Hak, kami datang untuk mencari seorang bernama Ciang Kim Su dari dusun Ciu-bun-tang yang setahun yang lalu datang ke sini mencari paman. Di manakah adanya Ciang Kim Su sekarang?"

   Pertanyaan ini diajukan oleh Thian Sin dengan tiba-tiba dan dia bersama Kim Hong lalu menatap wajah tuan rumah dengan sinar mata tajam penuh selidik. Akan tetapi pedagang itu ternyata adalah seorang yang mampu menguasai perasaannya. Kekagetan hatinya mendengar ucapan tamunya itu hanya nampak pada sinar matanya yang agak terbelalak, akan tetapi sikapnya tetap tenang, bahkan kini diapun memandang tamunya dengan alis berkerut dan pandang mata curiga.

   "Hemm, siapakah ji-wi sebenarnya? Ciang Kim Su adalah keponakanku, anak dari kakakku perempuan. Memang pernah dia datang ke sini, akan tetapi... sebelum kuceritakan tentang dia, harap ji-wi suka memberi tahu apa keperluan ji-wi mencari keponakanku itu?"

   "Kami berdua adalah utusan dari Ciang Gun, ayah Ciang Kim Su, untuk mencarinya di sini."

   Pedagang itu masih mengerutkan alisnya.

   "Nama ji-wi?"

   "Aku Ceng Thian Sin dan ia adalah Toan Kim Hong."

   "Hemm, aku tidak pernah mendengar nama itu dan tidak pernah mengenal ji-wi. Mustahil kalau kakak iparku Ciang Gun menyuruh ji-wi, karena ji-wi jelas bukanlah orang-orang dusun sedangkan kakakku..."

   "Masih tidak percayakah paman kalau melihat ini?"

   Thian Sin sengaja mengeluarkan kunci emasnya, tentu saja yang palsu.

   "Apa... apa itu...?"

   Su Tong Hak bertanya, akan tetapi jelas bahwa dia terkejut sekali dan pura-pura tidak tahu karena matanya terbelalak dan wajahnya berobah ketika dia melihat kunci emas itu.

   "Tentu paman pernah mendengar tentang ini. Kunci emas yang ada hubungannya dengan peta yang dibawa Ciang Kim Su. Nah, percayakah sekarang paman bahwa kami diutus oleh paman Ciang Gun? Ceritakanlah di mana adanya Ciang Kim Su."

   "Baik, baik... akan tetapi aku tidak tahu ke mana perginya anak itu. Baiklah kuceritakan dari awal, setahun yang lalu..."

   Pedagang ini setelah melihat kunci emas, lenyap keangkuhannya dan agaknya ingin sekali bekerja sama, maka diapun lalu menceritakan penuturannya yang lain lagi dengan penuturan yang pernah didengar oleh dua orang pendekar itu dari mendiang Ban Lok. Cerita dari pedagang she Su ini lebih lengkap. Menurut cerita itu, setahun lebih yang lalu Ciang Kim Su memang datang ke kota raja dan berhasil bertemu dengan pamannya, adik ibunya, yang telah menjadi seorang saudagar hasil bumi yang cukup berhasil. Setelah Kim Su menceritakan pamannya tentang dia dan ayahnya menemukan peta rahasia dan ingin mencari orang pandai yang dapat menerangkan isi peta itu, Su Tong Hak tertarik sekali.

   "Untuk dapat menterjemahkan tulisan kuno itu, kita harus dapat bantuan seorang sasterawan yang pandai,"

   Kata Su Tong Hak.

   "Kebetulan sekali aku tahu akan seorang sasterawan tua yang kabarnya ahli dalam huruf-huruf kuno. Mari kita kunjungi Louw Siucai."

   Louw Siucai adalah seorang siucai (gelar lulusan ujian negeri) yang miskin dan usianya sudah enam puluh tahun. Dia hidup menyendiri di tepi kota raja yang sunyi, tanpa keluarga karena isterinya telah meninggal dunia tanpa anak. Hidupnya amat sederhana dan setiap hari dia hanya termenung, baca kitab, menulis sajak dan mabuk-mabukan. Ketika Su Tong Hak dan keponakannya datang berkunjung dan memperlihatkan peta itu sambil mohon pertolongan si sasterawan untuk menterjemahkan, Louw siucai meneliti peta itu dengan penuh perhatian. Wajahnya yang kurus itu berseri dan matanya bersinar-sinar.

   "Ya Tuhan...!"

   Dia berseru.

   "Kalian telah menemukan sebuah benda yang tak ternilai harganya! Peta ini sudah ada seribu tahun usianya dan di sini terdapat tulisan tangan Sang Raja Besar Jenghis Khan!"

   Bagi sasterawan tua itu, yang dianggap tak ternilai harganya adalah kekunoan peta dan terutama sekali tulisan tangan Raja Besar Mongol yang pertama itu, pendiri dari dinasti Goan-tiauw. Akan tetapi, Su Tong Hak tidak tertarik akan kekunoan benda itu.

   "Apa isinya? Bagaimana bunyinya dan apa artinya peta ini?"

   Mendengar pertanyaan yang membayangkan kehausan akan keuntungan besar ini, si sasterawan tua mengerutkan alisnya, memandang tajam lalu menarik napas panjang, kemudian menjawab dengan sebuah pertanyaan pula,

   "Dari manakah ji-wi bisa memperoleh benda yang amat langka ini?"

   "Louw siucai, kedatangan kami ini adalah untuk minta bantuanmu membaca isi peta, dan untuk itu kami sanggup membayarmu. Tidak perlu kau hiraukan dari mana kami memperolehnya, yang penting bacalah dan apa isinya?"

   Suara saudagar itu terdengar tidak sabar dan marah. Kembali sasterawan itu menarik napas panjang, kemudian menjawab dengan suara perlahan, didengarkan dengan penuh perhation oleh paman dan keponakan itu.

   "Tulisan tangan Raja Jenghis Khan ini dapat dengan mudah kubaca. Bunyinya begini : Harta karun ini milik Jenghis Khan yang maha besar, yang mengutus Yelu Kim untuk menyelidikinya. Nah, hanya tulisan inilah yang dapat kubaca. Untuk dapat membaca huruf-huruf di peta itu sendiri, membutuhkan waktu sedikitnya sehari semalam."

   Su Tong Hak sudah kegirangan luar biasa mendengar kata "harta karun"

   Tadi, dan dia meragu untuk meninggalkan peta itu. Akan tetapi keponakannya yang berasal dari dusun dan kepercayaannya terhadap sesama manusia jauh lebih tebal dari pada orang kota yang sudah terlalu sering mengenal kepalsuan manusia, berkata,

   "Kalau memang membutuhkan waktu, biarlah kita tinggalkan peta itu di sini untuk sehari semalam. Besok kita datang lagi untuk mengambilnya."

   "Tapi..."

   Pamannya mencela.

   "Biarlah, paman. Apa artinya peta ini kalau kita tidak tahu bagaimana bunyinya?"

   Akhirnya Su Tong Hak mengalah dan sambil memandang tajam kepada sasterawan itu dia berkata,

   "Louw siucai, ingat! Peta ini milik kami dan amat berharga. Kami menitipkannya kepadamu untuk sehari semalam, agar dapat kau terjemahkan. Akan kubayar berapa saja uang lelahmu. Akan tetapi hati-hati, jangan sampai dilihat atau terdengar orang lain. Apa lagi kalau sampai hilang, nyawamu gantinya!"

   Sasterawan tua itu mengangguk-angguk dan memandang kepada Ciang Kim Su, lalu berkata lirih seperti kepada diri sendiri,

   "Orang muda dari dusun membawa benda seperti ini, betapa bahayanya..."

   Diam-diam sasterawan itu agaknya maklum bahwa peta itu adalah milik si pemuda, nampak dari sikap paman dan keponakan tadi. Maka ditinggalkanlah peta itu oleh mereka kepada si sasterawan yang akan mempelajarinya selama sehari semalam. Pada keesokan harinya, paman dan keponakan itu datang lagi ke rumah Louw siucai dan dengan girang mereka menerima kembali peta bersama terjemahannya. Dan ternyatalah bahwa peta itu merupakan peta yang menunjukkan tempat disimpannya harta karun Jenghis Khan atau harta karun kuno yang sudah seribu tahun lebih umurnya dan yang oleh Jenghis Khan ditemukan petanya. Kemudian kaisar itu mengutus seorang pembantunya bernama Yelu Kim untuk menyelidiki tempat rahasia itu.

   "Agaknya, Yelu Kim itu gagal dalam usahanya dan mungkin peta itu terampas orang lain, kemudian lenyap dan tahu-tahu ditemukan oleh ji-wi."

   Kata si sasterawan.

   "Akan tetapi peta ini tidak lengkap kalau tidak ada kuncinya."

   "Kuncinya? Apa maksudmu?"

   Su Tong Hak bertanya.

   "Kunci emas. Ada disebutkan di situ, sudah kuterjemahkan, bahwa untuk menemukan tempat rahasia itu harus dengan bantuan peta ini, akan tetapi untuk dapat masuk, harus menggunakan kunci emas. Tidak tahu apakah kunci emas itu juga ji-wi temukan?"

   Su Tong Hak menoleh dan memandang kepada keponakannya. Tentu saja Ciang Kim Su tahu apa yang dimaksudkan dengan kunci emas itu, ialah benda yang ditemukannya bersama peta ini dan yang kini disimpan oleh ayahnya. Akan tetapi pemuda ini menggeleng kepala, tanda bahwa diapun tidak tahu. Su Tong Hak meninggalkan uang yang cukup sebagai pembayaran jerih payah sasterawan Louw, kemudian mengajak keponakannya pulang. Sampai di rumah, mereka berdua lalu memeriksa terjemahan peta itu dan keduanya merasa girang sekali. Dengan jelas ditunjukkan pada peta itu bahwa tempat harta karun itu berada di suatu tempat, di satu di antara puncak-puncak Pegunungan Beng-san. Memang amat sukar didatangi dan kiranya takkan mungkin ditemukan tanpa bantuan peta itu!

   "Kim Su, apakah engkau dan ayahmu tidak menemukan kunci emasnya?"

   Paman itu bertanya sambil memandang tajam kepada wajah keponakannya.

   "Setahuku tidak, paman. Akan tetapi aku akan bertanya kepada ayah tentang itu."

   "Baiklah, sekarang sebaiknya engkau pulang ke dusun dan membuat laporan kepada ayahmu tentang peta ini, dan sekalian kalian mencari kunci emas itu. Kalau belum kalian temukan, mungkin masih terpendam di tempat di mana kalian menemukan peta."

   "Akan tetapi peta itu..."

   "Sebaiknya kita bagi dua saja, Kim Su. Ingat, benda ini amat berharga dan kalau kau bawa semua, sungguh amat berbahaya bagimu. Biarlah kita potong menjadi dua bagian, kita masing-masing membawa sepotong. kau bawa yang sepotong pulang ke dusun, kemudian bersama ayahmu mencari kunci emas itu. Kalau sudah ketemu, engkau ayah dan ibumu datanglah ke sini dan kita bersama akan pergi mencari harta karun itu. Semua biaya perjalanan mencarinya akan kutanggung."

   Ciang Kim Su menyetujui pendapat ini dan demikianlah, peta itu dipotong menjadi dua dan mereka masing-masing menyimpan sepotong. Kemudian, pemuda dusun itu pulang ke dusun naik kuda pemberian pamannya dan membawa bekal secukupnya, jauh bedanya dengan keadaannya di waktu dia datang ke kota raja.

   "Demikianlah apa yang telah terjadi,"

   Su Tong Hak mengakhiri ceritanya yang didengarkan dengan penuh perhatian oleh Thian Sin dan Kim Hong.

   "Lalu ke mana perginya Ciang Kim Su?"

   Tanya Kini Hung.

   "Kenapa dia tidak pernah pulang ke dusun sehingga ayahnya mencarinya?"

   Pedagang itu menggeleng kepala.

   "Aku tidak tahu aku sendiripun menanti-nantinya dan tidak pernah ada berita darinya."

   "Hemm, sungguh aneh sekali."

   Kata Thian Sin sambil mengerutkan alisnya dan diam-diam dia mengkhawatirkan nasib pemuda dusun itu. Paman pemuda itu, yang kini duduk di depannya, mempunyai sikap yang palsu dan patut dicurigai, maka di dalam hatinya, dia tidak mau percaya begitu saja akan apa yang diceritakan oleh pedagang itu."

   "Dan paman masih memegang sepotong dari peta yang dibagi dua itu?"

   Tanyanya.

   Pedagang itu memandang tajam, alisnya berkerut. Lalu dia menggeleng kepala keras-keras.

   "Tidak lagi! Peta harta karun itu membawa malapetaka! Baru sebulan setelah Kim Su pergi, rumahku kemalingan dan selain uang dan barang berharga, juga potongan peta itu dicurinya."

   "Bohong...!"

   Kim Hong berseru dengan marah.

   "Mungkin kau bunuh keponakanmu itu dan kau rampas potongan peta yang ada padanya!"

   Thian Sin hendak mencegah namun sudah tidak keburu dan anehnya, pedagang itu tidak merasa takut, bahkan nampak marah dan bangkit dari duduknya sambil bertolak pinggang.

   "Apa kau bilang? Kalian datang membawa kunci emas dan mengaku utusan dari kakak iparku, datang-datang berani kau menuduhku yang bukan-bukan? Ah, jangan-jangan kalian inilah penjahat-penjahat yang telah membunuh keponakanku dan selain merampas kunci emas dari ayahnya, juga merampas sebagian peta itu dan kini datang untuk mendapatkan potongan lainnya dariku!"

   Thian Sin bangkit menyabarkan kekasihnya lalu berkata kepada pedagang itu,

   "Paman Su, kami sungguh diutus oleh mendiang paman Ciang Gun..."

   "Mendiang?"

   
Harta Karun Jenghis Khan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Ya, dia terbunuh oleh Liong-kut-pian Ban Lok dan kaki tangannya..."

   "Ban Lok? Si keparat! Berani dia...!"

   Saudagar itu menahan kata-katanya seperti baru sadar bahwa sikapnya itu menunjukkan bahwa dia mengenal baik kepala penjahat itu.

   "Lalu... apa yang terjadi?"

   Tanyanya, menahan rasa kagetnya.

   "Sebelum meninggal, paman Ciang Gun menyerahkan kunci emas ini kepada kami dan memesan agar kami mencari puteranya di sini."

   "Tapi peta itu..."

   "Kami akan cari sampai dapat."

   "Kalau sudah dapat?"

   "Akan kami cari harta karun itu untuk kami serahkan kepada yang berhak."

   "Akulah yang berhak. Akulah keluarga terdekat dari keluarga Ciang."

   "Bukan engkau, akan tetapi Ciang Kim Su."

   Kata Kim Hong yang masih marah.

   "Akan tetapi dia... dia telah mati!"

   Tiba-tiba Thian Sin memegang lengan tangan pedagang itu. Pedagang itu meronta dan agaknya dia juga kuat dan menguasai ilmu silat sehingga dia berhasil melepaskan pegangan itu karena Thian Sin juga memegang secara biasa saja.

   "Bagaimana kau bisa tahu?"

   Bentak Thian Sin yang belum mau memperlihatkan kepandaiannya.

   "Ku... kurasa demikian, karena kalau dia masih hidup, di mana dia? Mengapa tidak memberi kabar kepadaku? Orang muda, marilah kita bekerja sama. Serahkan kunci emas itu kepadaku dan aku akan mengusahakan kembalinya peta dan..."

   "Tidak! Kami akan mencari sendiri dan memenuhi pesan mendiang Ciang Gun yang telah menjadi korban, bersama isterinya pula dan putera tunggalnya juga masih belum ketahuan bagaimana nasibnya."

   "Tapi... tanpa peta, apa gunanya kunci emas itu?"

   "Kami akan mencarinya"

   "Ke mana? Peta itu telah hilang."

   "Bagaimana nanti sajalah. Akan tetapi, mungkin saja kita masih akan saling bertemu!"

   Setelah berkata denlikian, Thian Sin dan Kim Hong lalu meninggalkan pedagang itu yang masih memandang dengan bengong. Setelah tiba di luar gedung itu, Thian Sin dan Kim Hong tentu saja tahu bahwa tak lama kemudian, ada tiga bayangan orang mengikuti mereka dari jauh. Mereka tidak merasa heran karena memang mereka sudah menduga bahwa Su Tong Hak bukanlah orang baik-baik dan tiga bayangan orang itu tentulah kaki tangan pedagang itu yang hendak memata-matai mereka. Mereka berpura-pura tidak tahu dan langsung kembali ke rumah penginapan mereka.

   Memang sesungguhnya kunjungan mereka kepada Su Tong Hak itupun hanya merupakan gerakan pancingan saja untuk memancing keluar kakap-kakap yang ada hubungannya dengan rahasia peta harta karun. Bagaimanapun juga, dua orang pendekar ini masih merasa ragu-ragu di mana adanya peta itu sekarang. Benarkah yang sepotong masih berada di tangan Kim Su yang lenyap tanpa meninggalkan jejak itu? Dan di mana adanya yang sepotong lagi? Mereka tahu bahwa tanpa peta itu, memang kunci emas tidak ada gunanya, sebaliknya, si pemegang petapun tidak akan berhasil tanpa memiliki kunci emas. Inilah sebabnya mengapa mereka menanti. Mereka merasa yakin bahwa dengan memegang kunci emas, akhirnya mereka pasti akan dicari oleh pemilik peta! Mereka tidak usah menanti terlalu lama. Malam itu juga para penjahat telah mulai beraksi.

   Pada malam hari itu, karena maklum bahwa mereka menghadapi urusan besar dan ancaman bahayat, Thian Sin dan Kim Hong tidak tidur seranjang seperti biasanya. Di dalam kamar itu terdapat dua buah tempat tidur berdampingan, hanya terhalang sebuah meja kecil dan keduanya duduk bersila di atas pembaringan masing-masing. Menjelang tengah malam, tanpa mengeluarkan suara, Kim Hong meniup padam lampu penerangan yang terletak di atas meja dan kamar itupun menjadi gelap. Lima bayangan orang berkelebat di atas genteng rumah penginapan itu. Gerakan mereka amat gesit, tanda bahwa mereka berlima telah memiliki gin-kang yang cukup tinggi. Bagaikan lima ekor kucing saja, mereka bergerak di atas genteng dan kemudian satu demi satu mereka melayang turun dari atas genteng.

   Ketika kaki mereka menginjak tanah, tidak terdengar suara sedikitpun. Mereka adalah lima orang laki-laki bertubuh kuat yang dipimpin oleh seorang yang tubuhnya jangkung. Di punggung mereka nampak terselip sepasang golok tipis yang kadang-kadang mengeluarkan cahaya berkilauan kalau tertimpa sinar lampu. Mereka tidak pernah mengeluarkan suara, dan si jangkung hanya memberi aba-aba dengan isyarat tangan saja. Tak lama kemudian mereka telah berada di luar jendela dan pintu kamar yang dihuni oleh Thian Sin dan Kim Hong. Tanpa mengeluarkan suara, mereka berlima mengeluarkan saputangan hitam dan memasang saputangan itu di depan hidung dan mulut sebagai kedok. Kemudian, mereka menyalakan hio dan bau yang harum aneh berhamburan dari asap hio.

   Melalui celah-celah daun pintu di bawah, juga dari celah-celah jendela, mereka memasukkan hio-hio yang terbakar itu ke dalam kamar sehingga mulailah asap-asap harum memenuhi kamar. Beberapa menit kemudian, terdengarlah gerakan di dalam kamar itu. Suara orang terbatuk-batuk kecil, kemudian disusul suara menguap. Suara itu jelas menunjukkan bahwa yang berada di dalam kamar adalah seorang pria dan seorang wanita. Tentu saja lima orang berkedok saputangan hitam itu menjadi girang dan mereka saling pandang dengan sinar mata berkilat dan berseri. Batuk-batuk dan menguap? Itu membuktikan bahwa asap hio mereka yang mengandung obat bius kuat itu telah mengenai sasaran dan berhasil. Memang orang akan lebih dulu terbatuk-batuk, kemudian setelah menguap takkan dapat tertahan lagi, pasti jatuh pulas seperti pingsan saja!

   Mereka menanti sampai kurang lebih sepuluh menit dan pada waktu itu, kamar telah penuh dengan asap hio. Mereka juga mendengarkan dengan penuh perhatian dan agak kecewa karena tidak mendengar suara orang mendengkur yang menjadi tanda mutlak bahwa orang-orang di dalam kamar itu telah tidur pulas. Akan tetapi, tidak semua orang tidur mendengkur. Biasanya, hanya orang-orang yang gendut sajalah yang tidur mendengkur dan mereka tahu bahwa pria dan wanita yang berada di dalam kamar itu sama sekali tidak gendut. Setelah hio-hio itu terbakar habis dan padam, dan asap harum mulai melayang keluar dari celah-celah jendela, si jangkung memberi isarat dengan tangan. Mereka lalu membongkar daun jendela dengan amat mudahnya karena mereka memiliki tenaga yang kuat.

   Nampak sinar-sinar berkilau ketika lima orang itu menghunus golok-golok mereka dengan kedua tangan dan dengan sepasang golok di tangan merekapun berloncatan memasuki kamar melalui jendela, muka mereka terlindung oleh saputangan hitam yang sudah diberi penawar obat bius. Melihat ada tubuh terseilmut membujur di atas dua buah pembaringan itu, lima orang pendatang ini menjadi ganas. Dengan isyarat si jangkung, mereka lalu menyerbu dengan golok terangkat dan dalam sekejap mata saja sepuluh batang golok di tangan mereka itu sudah membacok dan menusuk ke arah dua batang tubuh terseilmut yang nampak remang-remang di atas dua buah pembaringan. Terdengar suara crak-crok-crak-crok disusul seruan-seruan kaget dan heran ketika lima orang itu merasa betapa golok-golok mereka bertemu dengan "tubuh"

   Yang lunak, yaitu guling dan bantal yang ditutupi seilmut!

   "Celaka, kita terjebak. Keluar!"

   Kata si jangkung dengan suara mendesis karena marah. Dan pada saat itu terdengarlah suara ketawa dari atas genteng, suara ketawa yang merdu dari seorang wanita dan suara ketawa mengejek seorang pria!

   Lima orang itu menjadi marah dan dengan gerakan cepat mereka berlima sudah meloncat keluar dari dalam kamar yang masih penuh dengan asap itu, kemudian mereka langsung berloncatan ke atas wuwungan rumah dengan sepasang golok masih berada di tangan masing-masing. Dan di sana, di atas wuwungan, diterangi oleh bulan muda dan bintang-bintang, nampak seorang pemuda dan seorang gadis berdiri dengan kaki terpentang lebar dan kedua tangan bertolak pinggang, tersenyum-senyum mentertawakan mereka. Si jangkung merenggut saputangan hitam dari mukanya, diturut oleh empat orang kawannya ketika mereka mengejar ke depan. Melihat gerakan lima orang itu yang cukup gesit menandakan bahwa mereka itu bukan penjahat-penjahat sembarangan melainkan orang-orang yang telah memiliki kepandaian tinggi, Thian Sin lalu mengacungkan sebuah kunci emas ke atas kepala sambil berkata,

   "Kalau kalian datang untuk mencari ini, ikutilah kami!"

   Dan diapun meloncat turun bersama Kim Hong, lalu melarikan diri menjauhi tempat ramai itu menuju ke pinggir kota yang sunyi, di bagian yang dipergunakan orang untuk bercocok tanam.

   Di situ sunyi sekali dan cuaca hanya remang-remang diterangi bulan muda dan bintang-bintang. Lima orang itu tentu saja menjadi penasaran dan agaknya melihat berkilaunya kunci emas tadi, semangat mereka bertambah dan merekapun melakukan pengejaran. Kejar mengejar ini dipergunakan oleh Thian Sin dan Kim Hong untuk mengukur ilmu berlari cepat lima orang itu dan mereka berdua harus mengakui bahwa lima orang itu benar-benar cukup lihai. Mereka menjadi girang karena makin lihainya lawan yang datang mencari mereka, hal itu dapat diartikan bahwa semakin dekatlah mereka dengan orang yang menguasai peta yang mereka cari! Thian Sin dan Kim Hong berdiri tegak menanti lima orang calon lawan yang kinipun mulai mengerti bahwa dua orang muda mudi yang dikejarnya itu bukan orang sembarangan.

   Dan melihat cara mereka menipu di dalam kamar, kemudian melihat cara mereka berdua lari, lima orang ini maklum bahwa ternyata pemilik kunci emas itu adalah dua orang muda yang lihai. Maka, sambil mengejar tadi, si jangkung memberi peringatan kepada teman-temannya agar berhati-hati. Setelah saling berhadapan, Thian Sin dan Kim Hong kini dapat melihat wajah mereka dengan jelas, walaupun dalam cuaca remang-remang. Dan mereka berdua itu merasa heran karena wajah mereka itu bukan wajah penjahat yang kasar. Wajah orang-orang yang bersikap tenang, pantasnya wajah jagoan-jagoan yang merasa yakin akan kepandaian sendiri, akan tetapi, melihat sepak terjang mereka ketika menyebarkan obat asap bius dan ketika mereka menyerang guling dan bantal yang diseilmuti, sungguh merupakan perbuatan kejam sekali.

   "Hemm, kalian ini lima orang maling kecil, tentu hendak merampas kunci emasku ini, bukan?"

   Thian Sin kembali mengacungkan kunci emas itu di tangan kanannya. Si jangkung menghardik, suaranya nyaring dan penuh kepercayaan kepada diri sendiri,

   "Kalau sudah tahu begitu, orang muda, lebih baik kau serahkan kunci itu kepada kami dan kalian boleh pergi dengan selamat."

   "Wah, wah, lima ekor tikus sawah, yang hanya maling-maling kecil ini sombong sekali!"

   Kata Kim Hong.

   "Kalian hanyalah pesuruh-pesuruh rendah,"

   Kata Thian Sin.

   "Kalau memang menghendaki kunci, suruhlah kepala kalian, atau orang yang memegang peta rahasia itu untuk menemui kami. Kami sudah bosan berurusan dengan anak buah rendahan!"

   Lima orang itu jelas kelihatan marah sekali dan golok-golok di tangan mereka itu tergetar.

   "Orang muda yang sombong!"

   Bentak si jangkung,

   "Kalian berdua tidak tahu dengan siapa kalian berhadapan! Kami adalah Siang-to Ngo-houw (Lima Harimau Bergolok Pasangan) dan bukan sekedar golongan rendahan!"

   Thian Sin dan Kim Hong tidak pernah mendengar nama julukan Siang-to Ngo-houw ini karena memang sudah bertahun-tahun mereka tidak lagi berkecimpung di dunia kang-ouw. Tentu saja nama ini tidak berarti apa-apa bagi mereka.

   "Siang-to Ngo-houw, kami hanya mau bicara tentang kunci emas kepada orang yang memiliki peta rahasia itu. Apakah kalian menguasai peta itu? Kalau benar, keluarkanlah dan mari kita bicara!"

   Kata pula Thian Sin.

   "Tidak perlu banyak cakap. Serahkan kunci emas itu atau terpaksa kita harus menggunakan kekerasan untuk merampasnya!"

   Teriak pula si jangkung.

   "Hi-hik, masih mengancam lagi. Padahal, bisanya hanya menggunakan asap bius dan membacoki bantal guling seperti maling-maling kecil."

   Kim Hong berkata mengejek lalu berpaling kepada kekasihnya.

   "Perlu apa melayani segala maling-maling kecil? Mereka ini tentu hanya kaum rendahan saja!"

   "Serbu!"

   Si jangkung sudah memberi komando karena tidak sabar lagi melihat sikap dua orang yang jelas memandang rendah kepada mereka itu. Thian Sin menyimpan kunci emasnya dan hendak bergerak, akan tetapi Kim Hong sudah berkata kepadanya,

   "Biarkan aku menghadapi mereka sendiri!"

   "Ah, bukan waktunya untuk main-main, Kim Hong!"

   Thian Sin membantah. Dia melihat bahwa lima orang ini tidak boleh dipandang ringan dan biarpun dia tahu betapa lihainya kekasihnya itu, dan kalau menghadapi mereka ini satu lawan satu tentu tidak sukar bagi Kim Hong untuk merobohkan mereka semua, akan tetapi kalau mereka itu maju berlima, kiranya bukan tidak berbahaya bagi kekasihnya.

   "Siapa main-main? Justeru sudah lama aku tidak latihan menghadapi lawan tangguh. Biarkan aku, Thian Sin, sekali ini saja ya...?"

   Kalimat terakhir itu terdengar demikian manja dan penuh keinginan sehingga Thian Sin terpaksa tersenyum sambil melangkah mundur.

   "Bandel! Sesukamulah, tapi jangan salahkan aku kalau kau tergores golok!"

   Biarpun mulutnya berkata demikian, akan tetapi tentu saja diapun siap waspada, tidak mungkin dia membiarkan kulit halus kekasihnya itu tergores golok orang.

   Kim Hong tersenyum manis dan kalau saja gadis itu tidak sedang menghadapi perkelahian, tentu Thian Sin akan merangkul dan menciumnya karena senyuman itu adalah senyuman khas dari kekasihnya kalau lagi senang hatinya dan sedang mencumbu. Tentu senyum itu sebagai tanda terima kasih yang akan dibayar kalau kesempatan memungkinkan nanti. Lalu gadis itu melompat ke depan, dengan gaya yang menantang sekali ia lalu menggulung kedua lengan bajunya, sehingga nampaklah lengan yang bulat dan berkulit putih halus. Demikian tipis dan halusnya kulit lengan Kim Hong ini sehingga kalau saja cuaca tidak segelap itu akan nampak urat-urat halus membayang di balik kulitnya. Nampaknya demikian halus dan lunak, akan tetapi jangan sekali-kali mengira demikian karena kedua lengan itu dapat terisi tenaga yang amat hebat dan sedemikian kuatnya sehingga mampu menangkis senjata tajam tanpa terluka!

   "Tahan...!"

   Tiba-tiba si jangkung berseru kepada teman-temannya. Bagaimanapun juga, nama Siang-to Ngo-houw terlalu besar untuk dikotori dengan pengeroyokan terhadap seorang gadis muda yang bertangan kosong. Di kota raja, nama Siang-to Ngo-houw sudah terkenal sekali. Mereka ini adalah bekas tokoh-tokoh besar di perkumpulan Hwa-i Kai-pang yang bertugas di luar kota raja. Baru setelah Hwa-i Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Baju Kembang) mengalami musibah, yaitu dengan terbunuhnya dua orang pimpinannya, yaitu Lo-thian Sin-kai dan Hek-bin Mo-kai sehingga perkumpulan itu menjadi berantakan, maka kelima orang ini datang ke kota raja. Kedua orang pemimpin Hwa-i Kai-pang ini terbunuh oleh Pendekar Sadis dan hanya itulah yang diketahui oleh Siang-to Ngo-houw.

   Mereka sama sekali tidak pernah mengira bahwa Pendekar Sadis pembunuh dua orang suheng mereka itu adalah pemuda yang kini berhadapan dengan mereka inilah! Seperti telah diceritakan dalam cerita Pendekar Sadis, dua orang pimpinan Hwa-i Kai-pang itu dibunuh oleh Pendekar Sadis Ceng Thian Sin karena mereka berdua pernah membantu pengeroyokan sehingga tewasnya ayah bunda pendekar itu. Dan karena hanya sedikit saja orang yang mengenal muka Pendekar Sadis, maka lima orang jagoan inipun hanya mendengar namanya saja akan tetapi tidak mengenal Thian Sin. Siang-to Ngo-houw adalah sute dari Lo-thian Sin-kai, dan memiliki tingkat kepandaian yang tidak banyak selisihnya dengan bekas tokoh Hwa-i Kai-pang itu. Tentu saja mereka itu lihai sekali, apa lagi kalau mereka maju berlima karena mereka telah menciptakan bersama suatu ilmu silat gabungan yang amat dahsyat.

   Mereka kembali ke kota raja setelah dua orang pimpinan Hwa-i Kai-pang tewas dan melihat bahwa perkumpulan itu sudah tidak begitu baik lagi namanya, maka lima orang inipun tidak lagi mau membangunnya, bahkan mereka lain membantu tokoh sesat yang pada waktu itu paling terkenal di kota raja, yaitu Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng. Inilah sebabnya, maka sebagai tokoh-tokoh besar yang terkenal dan memiliki ilmu tinggi yang mereka andalkan, si jangkung yang memimpin adik-adiknya itu merasa malu untuk mengeroyok seorang gadis yang bertangan kosong, sehingga dia berteriak menahan adik-adiknya sebelum mereka itu sempat menggerakkan golok mereka. Empat orang adiknya memandang kepada si jangkung dengan sinar mata penuh pertanyaan. Akan tetapi si jangkung lalu menghadapi Kim Hong dan mengangkat dada untuk menunjukkan kegagahan.

   "Nona, Siang-to Ngo-houw memang sudah biasa maju bersama, akan tetapi belum pernah mengganggu wanita yang bertangan kosong. Maka, kami minta agar kalian berdua menyerahkan kunci atau maju bersama dengan menggunakan senjata."

   Melihat sikap ini, Kim Hong malah mentertawakan.

   "Hik-hik, lagaknya! Apa sudah lupa betapa tadi yang berjuluk Siang-to Ngo-houw sama sekali tidak bersikap jantan, tidak seperti Lima Ekor Harimau akan tetapi lebih pantas menjadi Lima Ekor Tikus yang curang dan pengecut, menggunakan obat bius dan menyerang orang-orang yang sedang tidur pulas? Hi-hik, kini berlagak lagi! Sungguh tidak lucu, malah menjemukan. Hayo tak perlu cerewet lagi, ingin kulihat apakah ilmu kalian juga sebesar kecurangan kalian!"

   "Perempuan sombong!"

   Teriakan ini dilakukan oleh dua orang di antara lima tokoh sesat itu dan merekapun sudah menerjang maju dengan sambaran sepasang golok mereka. Terdengar bunyi berdesingan ketika empat batang golok itu menyambar dengan dahsyat menghujankan serangan maut ke arah tubuh Kim Hong. Akan tetapi, hanya dengan sedikit gerakan tubuh saja, sambaran golok-golok itu dapat dielakkan dengan mudah oleh Kim Hong dan hanya mengenai tempat kosong saja.

   Tiga orang lainnya kini tidak ragu-ragu lagi, apa pula mereka juga amat marah dan merasa terhina oleh ejekan Kim Hong tadi. Mereka mengeluarkan suara bentakan dan mulailah lima orang itu mengurung Kim Hong sambil membuat langkah-langkah lebar memutari gadis itu. Mereka yang dapat menduga bahwa seorang gadis muda yang demikian tabahnya menantang mereka pasti memiliki kelihaian, kini segera menggerakkan ilmu yang mereka andalkan, yaitu Ngo-lian To-tin (Barisan Golok Lima Teratai). Langkah-langkah mereka teratur dan mereka itu merupakan rangkaian yang bekerja sama secara otomatis. Kadang-kadang sambil melangkah mengitari lawan, terdengar golok mereka bersiutan, digerakkan menembus udara, kadang-kadang berdencing karena saling sentuh sehingga suasana menjadi menegangkan.

   Akan tetapi Kim Hong berdiri dengan tenang saja, same sekali tidak bergerak dan hanya sepasang matanya yang bergerak-gerak mengikuti gerakan lima orang pengepungnya dan tentu saja pendengarannya juga mengikuti setiap gerakan orang yang berada di belakangnya. Seluruh urat syarafnya sudah siap siaga dan menegang, walaupun tubuhnya nampak tenang-tenang seenaknya saja. Gadis ini maklum bahwa lima orang pengepungnya bukanlah lawan ringan dan sama sekali tidak boleh dipandang rendah. Akan tetapi ia masih belum merasa perlu untuk mengeluarkan sepasang pedangnya, yaitu Hok-mo Siang-kiam (Sepasang Pedang Penaluk Iblis) yang berwarna hitam dan yang selalu disimpannya di balik baju itu. Sebagai seorang yang berilmu tinggi, kalau tidak amat terpaksa, Kim Hong tidak akan mau mempergunakan pedang.

   "Hiaaattt...!"

   Tiba-tiba si jangkung mengeluarkan teriakan nyaring dan sepasang goloknya sudah menyambar dengan gerak tipu Hong-cui-pai-hio (Angin Meniup Runtuh Dedaunan), sepasang golok itu berkelebat saling susul, yang kiri menyambar leher dan yang kanan menusuk lambung. Serangan ini dilakukan ketika dia berada di sebelah kanan dari Kim Hong.

   "Hemm...!"

   Kim Hong menggeser kaki mengelak dan cara mengelaknya memang istimewa sekali,

   Kakinya tidak terangkat, melainkan menggeser atau meluncur seolah-olah di bawah sepatunya terdapat roda yang membuat tubuhnya dapat meluncur. Akan tetapi cepatnya bukan main sehingga serangan sepasang golok itu gagal total. Akan tetapi, kiranya serangan pertama dari si jangkung ini merupakan pembukaan atau aba-aba, karena kini mereka berlima sepenuhnya mulai menggerakkan Ngo-lian To-tin atau Barisan Golok Lima Teratai itu dan memang hebat sekali gerakan mereka. Sepuluh batang golok itu bekerja sama dengan demikian rapi dan cekatan, susul menyusul dan bertubi-tubi, seolah-olah digerakkan oleh satu otak saja, saling bantu dan ke manapun tubuh Kim Hong mengelak, tentu ia sudah dipapaki oleh lain golok. Dan susunan serangan mereka itupun makin lama makin kuat dan berbahaya!

   "Ciaaattt...!"

   Seorang di antara mereka yang berada di depan Kim Hong, menggunakan jurus Sin-eng Hoan-sin (Garuda Sakti Memutar Tubuh), sepasang goloknya itu tiba-tiba meluncur dengan gerakan membalik, amat berbahaya sekali dan saking cepatnya, sepasang golok itu lenyap bentuknya berobah menjadi dua berkas sinar yang menyilaukan mata. Kim Hong cepat mengelak dan sekali ini dengan loncatan ringan ke kiri, di mana ia disambut oleh sepasang golok yang dimainkan dengan jurus Kim-liong-hian-jiauw (Naga Emas Mengulur Cakar) dengan sepasang golok itu menusuk secara berantai.

   Kembali Kim Hong mengelak ke belakang di mana ia disambut pula oleh serangan golok yang lebih berbahaya karena penyerangnya menggunakan jurus Giok-tai-wi-yauw (Sabuk Kemala Melilit Pinggang), sebuah gerakan yang indah sekali dan golok itu seolah-olah melengkung melalui belakang pinggang dan langsung menuju ke pinggang lawan. Untuk kesekian kalinya Kim Hong mengelak dan lawan ke lima yang berada di belakangnya sudah menyambutnya dengan sebuah tendangan kilat
(Lanjut ke Jilid 03)
Harta Karun Jenghis Khan (Seri ke 06 "

   Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 03
yang disusul oleh sambaran golok ke leher. Sepasang golok itu membuat gerakan menggunting dari kanan kiri dan itulah jurus yang dinamakan Ji-liong-jio-cu (Sepasang Naga Berebut Mustika). Menghadapi serangan bertubi-tubi yang dilakukan dengan gencar, cepat dan kuat, juga saling membantu ini, yang maksudnya untuk menutup jalan keluarnya dan tidak memberi kesempatan kepadanya untuk balas menyerang melainkan dipaksa untuk mengelak terus,

   Kim Hong lalu mengeluarkan suara melengking nyaring dan iapun sudah mainkan ilmu silat tangan kosong yang dinamakan Kong-jiu-jip-pek-to (Tangan Kosong Menyerbu Ratusan Golok) dan tubuhnya berkelebatan secara cepat bukan main! Lima orang jagoan itu terkejut sekali melihat betapa tubuh lawan mereka itu kadang-kadang lenyap dan demikian cepat gerakan gadis itu sehingga membuat mata mereka menjadi silau dan kabur pandangannya. Hebatnya, gadis itu kadang-kadang berani menyampok golok dengan tangan kosong dan tangan itu terasa demikian lunak seperti kapas sehingga tidak terluka oleh golok, namun di bawah kelunakan itu terkandung tenaga yang luar biasa kuatnya! Maklumlah Siang-to Ngo-houw bahwa mereka menghadapi seorang gadis yang benar-benar amat lihai, maka mereka bergerak dengan hati-hati sekali.

   Kerja sama mereka yang amat rapi itu tetap saja dapat mengimbangi ilmu silat istimewa dari Kim Hong dan membuat gadis itu masih sulit untuk dapat merobohkan seorang di antara mereka karena mereka itu selalu dalam posisi saling bantu dan saling melindungi. Memang lima orang itu telah memiliki ilmu silat yang kuat sekali. Seperti juga ilmu kepandaian mendiang suheng mereka, yaitu Lo-thian Sin-kai tokoh nomor satu dari Hwa-i Kai-pang, mereka memiliki dua macam ilmu silat yang menjadi andalan mereka. Pertama adalah ilmu silat tangan kosong yang disebut Ta-houw Sin-ciang-hoat (Ilmu Silat Sakti Pemukul Harimau) yang membuat tangan mereka menjadi sedemikian kerasnya sehingga kepalan tangan mereka itu mampu mengalahkan harimau dan memecahkan kepala binatang itu. Dan yang ke dua adalah ilmu yang berdasarkan ilmu silat tongkat Ngo-lian Pang-hoat (Silat Tongkat Lima Teratai).

   Ilmu ini mereka robah menjadi Ngo-lian To-hoat (Silat Golok Lima Teratai) dan dengan ilmu golok ini, mereka berlima telah menciptakan Ngo-lian To-tin (Barisan Go. lok Lima Teratai) yang amat tangguh itu. Tentu saja kalau dibandingkan satu lawan satu, tingkat kepandaian Kim Hong masih jauh lebih tinggi, baik dalam ilmu silat maupun tenaga sin-kang, terutama sekali dalam hal gin-kang karena memang gadis ini memiliki ilmu meringankan tubuh yang sukar dicari bandingannya. Akan tetapi karena mereka itu maju berlima dan membentuk barisan golok yang amat tangguh itu, Kim Hong yang bertangan kosong mengalami kesulitan juga untuk menundukkan mereka. Ia tetap tidak mau mengeluarkan pedangnya, karena merasa bahwa ia belum terdesak, hanya belum mampu merobohkan mereka.

   "Heh, bandel, kenapa tidak menggunakan siang-kiammu itu?"

   Berkali-kali Thian Sin berseru, akan tetapi Kim Hong hanya tersenyum saja.

   "Darah lima ekor tikus ini terlalu busuk untuk mengotori pedang-pedangku!"

   Akhirnya ia menjawab dan jawaban ini membuat Siang-to Ngo-houw menjadi semakin marah.

   "Perempuan sombong!"

   Si jangkung berteriak marah dan memimpin adik-adik seperguruannya untuk mendesak semakin ganas. Akan tetapi tiba-tiba teriakannya itu yang disusul dengan tusukan golok ke arah dada Kim Hong, berobah menjadi teriakan kesakitan ketika tiba-tiba ada sinar hitam berkelebat dan terdengar suara meledak kecil yang diakibatkan oleh lecutan ujung rambut Kim Hong yang menotok pergelangan tangan yang memegang golok.

   "Aduhhh...!"

   Golok itu terlepas dari pegangan tangan yang tiba-tiba terasa lumpuh dan sebelum si jangkung dapat memperbaiki posisinya, sebuah tendangan kaki kiri Kim Hong mengenai pahanya.

   

Pendekar Sadis Eps 30 Pendekar Sadis Eps 27 Pendekar Lembah Naga Eps 56

Cari Blog Ini