Asmara Berdarah 15
Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo Bagian 15
"Kita bukan orang-orang hartawan yang sedang pelesir, Cin-moi. Perlu apa bekal uang banyak? Asal engkau tidak menyebar dan membagi-bagikan uang kepada para gembel di pasar, aku masih mempunyai bekal cukup kalau hanya untuk biaya di perjalanan saja."
"Kalau hanya untuk biaya perjalanan, apa sih sukarnya? Kalau memang kita memerlukan, mudah saja mengambil dari peti-peti uang orang lain!"
"Wah, engkau hendak mencuri? Dari para hartawan?"
Sui Cin menggeleng kepala.
"Ayah dan ibu akan marah kalau aku mencuri milik siapapun. Akan tetapi kalau aku mengambilnya dari tempat judi misalnya, mereka tentu tidak akan marah."
Keduanya tersenyum dan perahu meluncur dengan laju. Indah bukan main pemandangan di malam hari itu. Bintang-bintang bercermin di permukaan air laut dan Kadang-kadang orang akan terlupa dan mengira bahwa benda-benda bercahaya yang jutaan banyaknya itu bukan berada di atas kepala, melainkan di bawah jauh tak berdasar. Dusun Lokcun di luar kota Sinyang di tepi Sungai Huai pada pagi hari itu nampak ramai dan gembira. Para penghuni dusun yang tidak berapa besar itu nampak merayakan sesuatu dan nampak sibuk sejak pagi tadi. Memang, pada hari itu mereka semua merayakan pernikahan anak perempuan dari kepala dusun mereka.
Seperti di dusun-dusun lainnya pada jaman itu, seorang kepala dusun merupakan seorang raja kecil yang amat dihormati oleh para penghuni dusun yang merupakan rakyatnya. Maka, ketika kepala dusun Coa dari dusun Lokcun itu merayakan pernikahan puterinya, seluruh penghuni dusun itu sibuk merayakannya. Lurah Coa hanya mempunyai seorang anak saja, yaitu anak perempuan yang kini sedang dirayakan hari pernikahannya. Seluruh keluarga Coa nampak gembira ria. Mereka merasa terhormat sekali karena puteri lurah itu akan menikah dengan jaksa di kota Sinyang! Walaupun jaksa itu usianya sudah hampir enam puluh tahun dan gadis itu menjadi isteri ke lima, akan tetapi semua orang tahu bahwa jaksa itu memiliki kekuasaan yang amat besar di kota Sinyang, bahkan mempunyai pengaruh dan kawan-kawan di kota raja.
Maka, kalau gadis itu menjadi isterinya, walaupun isteri kelima, bukan hanya gadis itu akan terjamin hidupnya dan menjadi nyonya jaksa yang terhormat, akan tetapi juga kepala dusun itu akan naik derajatnya dan mungkin akan mudah naik pangkat! Akan tetapi, kalau semua orang bergembira, sebaliknya Coa Lan Kim, gadis puteri kepala dusun itu sendiri, sejak beberapa hari yang lalu menangis saja di dalam kamarnya. Gadis ini selalu membayangkan seorang pemuda sederhana yang selama ini menjadi kekasihnya, seorang pemuda petani yang dahulu menjadi pembantu ayahnya, mengurus sawah ladang ayahnya. Pemuda ini bahkan sudah disetujui oleh keluarga lurah Coa sendiri untuk menjadi calon mantu karena memang pemuda itu cukup tampan, rajin bekerja dan berbadan sehat. Akan tetapi, begitu datang lamaran dari jaksa itu, si pemuda dilupakan, bahkan didepak keluar oleh lurah Coa.
Betapa hati Lan Kim tidak akan berduka kalau ia memikirkan nasibnya dan nasib kekasihnya yang bernama Lo Seng itu? Ia dipaksa untuk menjadi isteri orang lain, padahal sejak dahulu ia sudah membayangkan kehidupan yang berbahagia bersama pemuda itu. Kini ia harus menurut untuk dibawa pergi dari rumahnya, tidak akan dapat bertemu kembali dengan Lo Seng dan yang membuat ia amat berduka adalah karena ia mendengar bahwa selain dipecat, juga Lo Seng dipukuli karena hendak menentang pernikahannya dengan jaksa itu. Dan ia tidak tahu lagi apa yang terjadi dengan kekasihnya itu. Pagi hari itu, selagi semua penghuni dusun sibuk membantu keluarga lurah Coa, Lan Kim menangis dalam kamarnya, tidak mendengarkan bujukan-bujukan dan hiburan-hiburan ibunya dan beberapa orang wanita yang bertugas menemaninya.
"Sudahlah, Lan Kim. Mengapa menangis terus? Nasibmu baik sekali, engkau akan meniadi nyonya jaksa yang dihormati orang banyak, bergelimang kemewahan, kenapa menangis? Nanti matamu akan bengkak-bengkak dan memalukan kalau pengantin matanya bengkak-bengkak. Pula, sebentar lagi engkau mulai dirias dengan pakaian pengantin dan nanti menjelang sore engkau akan dijemput dan dibawa ke Sinyang,"
Demikian antara lain ibunya membujuk.
"Ibu, aku tidak suka... aku tidak mau..."
"Ahhhh... engkau memang keras kepala, Lan Kim! Apakah engkau ingin ayahmu marah? Aku tahu, engkau menolak hanya karena di sana ada Lo Sang, bukan?"
"Ibu... bagaimana dengan dia? Ibu, kasihan dia..."
"Hemm, sikapmu ini sama sekali tidak menolongnya. Bahkan akan mencelakakan Lo Seng karena engkau tetap bersikap keras seperti ini. Kau tahu, kalau ayahmu mengetahui bahwa engkau menolak karena Lo Seng, banyak kemungkinan Lo Seng akan dijebloskan penjara atau dibunuh!"
"Ibu..."
"Karena itu, engkau menurut saja. Dan kalau engkau sudah menjadi isteri jaksa, aku akan membujuk ayahmu agar Lo Seng dipekerjakan lagi. Bukankah dengan demikian berarti engkau menolong dan menyelamatkannya?"
Demikianlah sang ibu membujuk puterinya yang kini hanya terisak perlahan.
"Ambil pakaian pengantin itu, akan kucobakan dahulu, kalau ada yang kurang pas masih ada waktu untuk dibetulkan,"
Kata nyonya Coa. Akan tetapi, terdengar jeritan kaget dan tukang rias itu kini datang membawa sebuah peti dengan mata terbelalak dan muka pucat.
"Nyonya... celaka... pakaiannya hilang..."
Wanita itu terkejut bukan main dan bangkit sambil membelalakkan matanya.
"Apa? Hilang bagaimana maksudmu?"
"Hilang, nyonya. Peti tempat pakaian pengantin ini kosong!"
Keadaan menjadi geger. Ketika lurah Coa diberi tahu, dia marah-marah dan mengerahkan semua orangnya untuk mencari siapa pencuri pakaian pengantin.
Akan tetapi, isterinya lebih cerdik dan cepat-cepat memanggil tukang jahit untuk secara kilat membuatkan pakaian pengantin baru, walaupun pakaian yang dibuat tergesa-gesa ini tentu saja tidak seindah pakaian pengantin yang hilang. Ketika keadaan menjadi kacau dan tak seorangpun memperhatikan pengantin wanita, tiba-tiba terjadi keributan lain yang lebih menggegerkan lagi. Tiba-tiba saja, seperti juga hilangnya pakaian pengantin tadi, Coa Lan Kim juga lenyap begitu saja dari dalam kamarnya! Tidak ada seorangpun yang melihat bagaimana lenyapnya, juga tidak ada yang mendengar sesuatu. Tentu saja kini keadaan menjadi benar-benar kalut. Lurah Coa semakin marah dan seluruh pasukan keamanan dikerahkan, bahkan semua penduduk menjadi ikut gelisah dan ikut mencari-cari ke mana perginya pengantin wanita.
Kegembiraan yang berganti dengan kegelisahan dan kekacauan itu amat menarik perhatian Sui Cin dan Hui Song yang kebetulan sekali pada pagi hari itu tiba di situ, memasuki dusun Lokcun dalam perjalanan mereka menuju ke barat, ke Pegunungan Cin-ling-san. Tentu saja hati mereka tertarik melihat betapa penduduk nampak begitu gelisah ketakutan, orang-orang mencari-cari sesuatu ke sana-sini sedangkan rumah kepala dusun terhias indah, akan tetapi kini orang-orang tidak ada lagi yang melanjutkan pekerjaan merias rumah yang belum selesai sepenuhnya itu. Juga adanya para penjaga berkeliaran dengan sikap cemas itu menarik sekali. Rasa heran mereka bertambah ketika tiba-tiba saja ada belasan orang penjaga keamanan mengepung mereka dengan senjata tajam di tangan.
"Hemm, kalian ini mau apakah mengepung kami?"
Sui Cin bertanya dengan alis berkerut.
"Kalian adalah orang-orang asing yang baru memasuki dusun kami. Menyerahlah. Karena kami yakin bahwa kalian yang kami cari-cari. Siapa lagi yang mengacau dusun kami kecuali dua orang asing?"
Bentak seorang yang bermata lebar dan bersikap bengis.
"Sabar dulu, sobat,"
Kata Hui Song, mencoba untuk tersenyum ramah.
"Apa yang terjadi dan mengapa kalian menuduh kami secara membabi-buta? Kami tidak tahu apa-apa. Kami baru saja tiba di sini dan melihat kekacauan ini, malah kami bertanya-tanya mengapa kalian begini gelisah dan apa yang terjadi...?"
"Cukup! Ikut kami menghadap kepala dusun, tak perlu membela diri di sini!"
Bentak si muka bengis dan dia sudah maju untuk menangkap lengan Sui Cin. Akan tetapi gadis itu menarik tangannya dan sekali kakinya bergerak, ujung sepatunya mencium lutut si mata lebar dan orang ini mengaduh dan jatuh berlutut.
"Nah, bagus! Minta ampun dahulu baru kita bicara,"
Sui Cin mengejek. Melihat betapa seorang kawan mereka roboh oleh gadis itu, kecurigaan mereka semakin kuat bahwa dua orang muda mudi inilah tentu yang telah mengacaukan dusun mereka.
Maka serentak mereka maju menerjang dengan senjata mereka. Hui Song dapat menduga bahwa tentu terjadi sesuatu dan orang-orang dustin ini salah duga. Kalau dilanjutkan sikap Sui Cin, tentu mereka akan semakin curiga lagi. Maka diapun cepat merggunakan kepandaiannya, menyambut serangan itu dengan merampas semua golok dan pedang. Gerakannya memang cepat bukan main karena dia menggunakan jurus Kong-jiu-jip-pek-to (Tangan Kosong Menyerbu Ratusan Golok) sehingga para pengeroyok itu tidak tahu apa yang terjadi karena tiba-tiba saja senjata mereka terlepas dan terampas. Kiranya pemuda itu sudah merampas semua senjata mereka dan kini golok dan pedang itu telah ditumpuk di depan kaki si pemuda tampan.
"Tenanglah saudara-saudara. Kami bukan orang jahat dan kalau ada urusan, beritahukanlah kami. Siapa tahu kami dapat membantu kalian,"
Kata Hui Song. Pada saat itu, lurah Coa sudah tiba di situ dan lurah inipun tadi melihat betapa dengan mudahnya pemuda tampan itu merampasi senjata orang-orangnya. Dia dapat menduga bahwa pemuda ini tentu seorang pendekar, maka diapun cepat maju menjura.
"Harap taihiap sudi memaafkan orang-orang kami yang kurang ajar. Dusun kami sedang dilanda kekacauan karena munculnya iblis yang mencuri calon pengantin wanita..."
"Eh? Ada pengantin dicuri?"
Sui Cin berseru kaget dan tertarik sekali.
"Pengantin itu adalah anak saya sendiri, baru saja lenyap tanpa bekas setelah lebih dahulu pakaian pengantin yang lenyap."
Lurah Coa lalu menceritakan peristiwa yang baru saja terjadi. Hui Song dan Sui Cin mendengarkan penuh perhatian.
"Kami akan mencoba untuk mencari penculiknya,"
Kata Hui Song.
"Mudah-mudahan kami dapat menemukan kembali puterimu itu."
Setelah mendengarkan penuturan itu, Hui Song dan Sui Cin mempergunakan kepandaian mereka berloncatan pergi meninggalkan dusun. Mereka mengambil keputusan untuk mencari penculik gadis itu dan tentu saja mereka tidak mengharapkan akan dapat menemukan penculik itu di dalam dusun.
Mereka mencari keluar dusun, mengelilingi dusun itu dan akhirnya mereka mendaki sebuah bukit tak jauh dari dusun itu karena bukit itu penuh dengan hutan, tempat yang baik sekali bagi para penjahat untuk menyembunyikan diri. Dengan cepat sekali mereka mendaki bukit dan tibalah mereka di daerah berbatu di luar hutan dan dari jauh mereka sudah melihat seorang kakek duduk bersila di depan sebuah gua yang besar. Tentu saja mereka menjadi curiga dan tertarik sekali karena keadaan kakek itu sudah amat mengherankan hati. Seorang kakek tua renta yang kepalanya gundul tak ditumbuhi rambut lagi, alisnya amat lebat dan panjang, demikian pula jenggot dan kumisnya yang semua telah berwarna putih. Sukar ditaksir berapa usia kakek ini, mungkin sudah seratus tahun. Akan tetapi tubuh kakek itu pendek kecil, seorang kakek katai yang pakaiannya juga aneh.
Kakek katai jenggot panjang sampai ke perut ini memakai jubah yang mewah! Jubah yang sepatutnya dipakai seorang pembesar atau seorang hartawan! Dan di punggungnya tergantung guci arak yang besar, sebesar kepalanya yang gundul, diikatkan dengan tali ke pundaknya. Sepatunya dari kulit, juga bagus dan baru. Ketika Hui Song dan Sui Cin tiba di depan kakek itu, si kakek katai yang tadinya seperti orang bersamadhi itu kini membuka kedua matanya dan begitu sepasang mata itu dibuka, mau tidak mau Sui Cin menahan ketawanya. Dari sepasang matanya ini saja sudah dapat diketahui bahwa kokek ini adalah seorang aneh yang berwatak riang gembira, terbukti dari sepasang mata yang bersinar-sinar dan wajah yang berseri-seri lucu itu.
"Heh-hehheh!"
Kakek katai itu mendahului mereka, terkekeh geli.
"Apakah kalian ini sepasang pendekar muda yang pendek mencari penculik pengantin wanita? Heh-heh!"
Tentu saja Hui Song dan Sui Cin terkejut, merasa ditodong ketika kakek itu mendadak saja bertanya seperti itu, Hui Song hanya dapat mengangguk dan Sui Cin melangkah maju dan dialah yang menjawab,
"Benar, kek. Engkau ini kakek pendek lucu bagaimana bisa tahu bahwa kami mencari penculik pengantin?"
Sejenak kakek itu memandang wajah Sui Cin, matanya semakin bersinar dan wajahnya semakin berseri
"Heh-heh, nona manis, apa sukarnya? Kalian berlari-lari mendaki bukit dengan mempergunakan ilmu berlari cepat seperti dua orang pendekar, berkeliaran ke sini mau apalagi kalau bukan mencari penculik pengantin? Heh-hehheh."
Kini Hui Song sudah dapat menduga bahwa kakek ini tentulah memiliki kepandaian tinggi, maka dia bersikap hormat dan menjura.
"Maaf kalau kami menggangumu, locianpwe. Kami berdua bukanlah pendekar, akan tetapi dugaan locianpwe benar bahwa kami sedang mencari pengantin wanita yang lenyap diculik orang. Dapatkah kiranya locianpwe membantu kami..."
"Membantu apa?"
Kakek itu memotong.
"Hihik, engkau ini aneh, kek. Tentu saja membantu kami memberi tahu apakah engkau tahu di mana adanya pengantin wanita yang diculik itu,"
Kata Sui Cin, tidak mau bersikap terlalu hormat dan menyebut locianpwe kepada kakek lucu ini. Anehnya, menghadapi sikap Sui Cin yang bebas dan seenaknya itu, si kakek katai kelihatan lebih senang dan diapun tertawa bergelak.
"Ha-ha-Ha-ha! Nona manis, engkau sungguh menyenangkan hati. Tentu saja aku tahu di mana adanya pengantin wanita itu karena akulah orangnya yang telah menculiknya!"
"Uhh... Heiiiittt..."
Hui Song demikian kaget mendengar pengakuan langsung seperti itu dan diapun sudah meloncat ke belakang sambil memasang kuda-kuda karena ketika bicara tadi si kakek botak mengakhiri pengakuannya sambil menggerakkan kedua tangan ke depan yang disangkanya sebagai gerakan hendak menyerang. Melihat ini, kakek itu memandang kepada Hui Song dengan mata terbelalak, lalu dia tertawa bergelak sambil menepuknepuk perut.
"HuaHa-ha, orang muda, apakah engkau hendak menari monyet? Ha-ha-ha!"
Wajah Hui Song menjadi merah karena malu. Dia sendiri adalah seorang pemuda jenaka dan periang, suka menggoda orang, akan tetapi sekali ini dia bertemu batunya dan sebaliknya malah digoda dan menjadi bahan ejekan orang. Akan tetapi Sui Cin yang sejak semula sudah merasa suka dan menganggap kakek itu lucu, segera mencela.
"Wah, siapa percaya omonganmu, kek? Engkau tentu hanya membual saja. Mana bisa orang tua renta lemah sepertimu ini mampu melarikan seorang gadis pengantin? Dan pula, untuk apa bagimu? Engkau membual dan aku tidak percaya kentut itu!"
Kakek itu bangkit berdiri dan melihat betapa kakek itu tingginya hanya sampai ke dadanya, Sui Cin merasa semakin geli.
"Wah, kau ini anak kecil beruban ataukah kakek bertubuh kecil?"
Ia menggoda.
"Kentut! Siapa yang kentut? Yang bertelur itulah yang berkotek, dan tentu engkau yang kentut, bukan aku, karena mana mungkin aku menjadi ayam biang? Aku jantan, dan engkau betina, maka engkaulah yang menjadi ayam biang dan engkau yang kentut berbau busuk!"
Mendengar omongan yang tidak karuan dan ugal-ugalan itu, Sui Cin terkekeh dan terpingkal-pingkal, membuat kakek itu semakin penasaran lagi.
"Eh, nona, berani engkau mentertawakan aku dan mengira aku membual, ya? Nah, lihat sendiri itulah mempelai wanita yang kuculik dari rumah lurah Coa. Hei, anak-anak, keluarlah dan perlihatkan diri kalian kepada nona tukang kentut dan penari monyet ini!"
Sui Cin dan Hui Song memandang ke dalam gua dan mereka terbelalak heran ketika melihat munculnya seorang gadis manis yang bergandeng tangan dengan seorang pemuda yang bajunya robek-robek dan kulit tubuhnya juga memperlihatkan bekas-bekas cambukan. Sui Cin yang tadinya mengira kakek itu membual, kini memandang penuh perhatian. Inikah mempelai wanita yang dikabarkan hilang diculik orang itu? Dan kakek ini penculiknya? Lalu siapa pemuda yang kelihatan jujur, seperti kebanyakan pemuda dusun atau petani itu?
"Eh, enci, benarkah engkau puteri lurah Coa, yang akan menjadi pergantin lalu diculik kakek ini? Dan siapa temanmu itu?"
Sui Cin bertanya. Gadis itu memang benar Lan Kim adanya, dan pemuda itu adalah kekasihnya yang bernama Lo Sang. Mendengar pertanyaan Sui Cin, ia mengangguk.
"Aku adalah Coa Lan Kim, puteri lurah Coa yang akan menjadi pengantin, dan memang aku diculik oleh locianpwe ini dan dia ini adalah Lo Seng, calon suamiku,"
Katanya dengan tabah dan sikap menentang. Memang kini ia akan menentang siapa saja yang hendak menghalangi niatnya hidup bersama Lo Seng yang dicintainya.
"Suamimu? Calon suamimu? Bagaimana pula ini? Kalau engkau mau dikawinkan dengan pemuda ini, kenapa engkau diculik ke sini dan bersama calon suamimu..."
Sui Cin berkata bingung.
"Aku bukan akan dikawinkan dengan dia!"
Lan Kim berkata.
"Aku hendak dikawinkan menjadi isteri kelima seorang pembesar di Sinyang, dan aku tidak mau. Dia ini... pilihan hatiku dan aku ingin hidup bersama dia..."
"Ah, jadi engkau penculiknya!"
Hui Song menudingkan telunjuknya kepada Lo Seng.
"Engkau menculik pengantin untuk kau kawini sendiri? Sungguh berani dan..."
"Hushh, penari monyet ini benar-benar menjengkelkan!"
Kakek katai ikut bicara.
"Dengarkan dulu penuturan pengantin wanita dan jangan cerewet dulu seperti perempuan!"
"Wah, kek, jangan gitu! Tidak semua perempuan cerewet!"
Sui Cin menegur, agak tak senang karena Hui Song dipermainkan.
"Aku tidak perduli kalau perempuan cerewet, memang sudah pembawaannya. Akan tetapi kalau laki-laki cerewet, aku tidak suka."
Lan Kim mengerti bahwa dua orang muda yang kelihatannya pantas itu tentu bukan orang jahat dan agaknya terjadi kesalah-pahaman tentang penculikannya, maka iapun sambil menggandeng tangan kekasihnya, maju melangkah lagi.
"Harap jiwi suka mendengarkan penuturanku agar jangan salah sangka. Sejak dahulu antara aku dan Lo Seng ini terjalin hubungan akrab dan kami mengharapkan kelak menjadi suami isteri. Apalagi orang tuaku juga sudah setuju mengambil Lo Seng sebagai mantu, setelah Lo Seng membantu mengurus sawah ladang ayah selama beberapa tahun. Akan tetapi pada suatu hari datanglah pinangan pembesar di kota Sinyang terhadap diriku. Ayah tidak berani menolak, bahkan merasa beruntung menerimanya. Dan Lo Seng yang menentang lalu dipecat, bahkan dicambuki. Nah, dalam keadaan seperti itu, selagi aku putus asa, muncul locianpwe ini membawa aku lari dari rumah dan mempertemukan aku dengan kekasihku di gua ini."
Kini terdengar Lo Seng bercerita.
"Aku sudah hampir putus asa dan mengambil keputusan membunuh diri saja dari pada melihat kekasihku menikah dengan orang lain dan aku sendiri kehilangan pekerjaan dan dimusuhi. Tapi muncul locianpwe ini menyelamatkan aku dan ketika aku bercerita tentang keadaanku, locianpwe ini membawaku ke sini, menyuruh aku menunggu di dalam gua ini dan tak lama kemudian dia sudah kembali membawa Lan Kim. Kini kami berdua sepakat untuk hidup bersama atau mati berdua. Harap jiwi dapat mengerti keadaan kami dan tidak memaksa kami untuk kembali."
Hui Song dan Sui Cin saling pandang dan hati mereka merasa terharu. Kiranya kakek katai itu sama sekali bukan orang jahat, melainkan seorang penolong budiman.
"Aah, kiranya engkau benar-benar seorang yang baik, kakek tua,"
Kata Sui Cin gembira dan Hui Song menjura.
"Harap locianpwe maafkan kalau kami menyangka buruk."
"Heh-heh, orang-orang muda baru mempunyai kepandaian sedikit saja sudah takabur dan ingin berlagak pendekar-pendekar jagoan. Orang-orang muda, andaikata aku benar-benar menculik gadis itu untukku sendiri, dengan niat busuk, habis apa yang hendak kalian lakukan?"
"Tentu saya akan menentangnya!"
Kata Hui Song.
"Kau akan kugempur dan gadis itu kurampas untuk kukembalikan kepada orang tuanya, kek,"
Sambung Sui Cin.
"Bagus, nah, kalau begitu kalian majulah, hendak kulihat sampai di mana kelihaian kalian."
"Tapi, locianpwe tidak berniat buruk dan tidak bersalah..."
Hui Song membantah.
"Hemm, andaikata aku penjahat, apakah engkau juga masih ragu-ragu. Nah, majulah dan anggap saja aku pencuilk gadis. Ingin kulihat sampai di mana kelihaian kalian. Atau, aku sebagai penjahat medahului kalian karena tidak ingin diganggu!"
Setelah berkata demikian, tiba-tiba saja kakek itu sudah maju dan ketika tangannya bergerak, tangan itu sudah menampar ke arah dada Hui Song.
"Eeiiitt..."
Hui Song mengelak dengan mundur selangkah, akan tetapi tamparan yang luput itu sudah disambung dengan totokan ke arah pundak. Gerakan kakek itu cepat sekali sehingga mengejutkan hati Hui Song yang kini menggunakan tangan menangkis totokan.
"Dukk!"
Tubuh Hui Song terhuyung ke belakang. Pemuda ini terkejut bukan main karena tadi ia hanya mempergunakan sebagian sinkangnya, khawatir akan melukai kakek tua renta itu, akan tetapi akibatnya, dia terhuyung dan lengannya tergetar hebat. Kiranya kakek ini memiliki sinkang yang hebat. Akan tetapi, sambil terkekehkekeh kakek itu sudah menyerangnya lagi dan gerakannya cepat bukan main. Tubuh yang kecil itu berkelebat seperti terbang saja dan tahu-tahu dia sudah mencengkeram ke arah pundak Hui Song.
"Lihat seranganku!"
Tiba-tiba terdengar Sui Cin membentak dari samping dan ia sudah menggerakkan tangan kirinya menotok ke arah iga bawah ketiak dari lengan kakek yang mencengkeram itu. Totokan ini hebat dan cepat datangnya, membuat kakek itu terpaksa membatalkan cengkeramannya pada pundak Hui Song, lalu menekuk lengan untuk menangkis sekalian menangkap pergelangan tangan gadis itu. Namun Sui Cin sudah menarik pulang tangan kirinya dan kini tangan kanannya menampar dan dari telapak tangan itu keluarlah uap putih tipis. Itulah Pekinciang (Tangan Awan Putih), sebuah ilmu pukulan yang amat ampuh, satu di antara ilmu-ilmu ampuh yang diajarkan Pendekar Sadis kepada puteri tunggalnya itu.
"Ehh..."
Kakek itu terkejut sekali menyaksikan ilmu pukulan yang hebat ini dan begitu dia berkelebat, Sui Cin yang menjadi bengong karena orang yang diserangnya itu tiba-tiba saja lenyap dan tahu-tahu sudah berada di belakang tubuhnya dan sambil terkekeh kakek itu kini menotok ke arah tengkuknya. Sui Cin merasa adanya angin menyambar ini, maka iapun mempergunakan ginkangnya dan tubuhnya mencelat ke depan untuk mengelak.
Akan tetapi pada saat itu, Hui Song yang sudah tahu betapa lihainya kakek itu, sudah menerjang ke depan pada saat Sui Cin diserang sehingga andaikata Sui Cin tidak mempergunakan kecepatan gerakannya mengelak sekalipun, serangan kakek itu akan dapat digagalkannya karena kini Hui Song juga tidak sungkan-sungkan lagi. Begitu menyerang, pemuda ini telah mempergunakan jurus Thai-kek Sin-kun dan mengerahkan tenaga sakti Thiante Sinkang! Kembali kakek itu terkejut. Diapun agaknya tidak mengira bahwa dua orang muda itu sungguh merupakan dua orang muda yang berilmu tinggi, dua orang pendekar muda tulen! Apalagi ketika dia melihat betapa ilmu-ilmu yang dipergunakan dua orang muda ini bukanlah ilmu-ilmu silat biasa saja, melainkan ilmu-ilmu yang amat tinggi mutunya.
"Nantl dulu, tahan dulu..."
Tiba-tiba kakek itu berhenti dan tahu-tahu tubuhnya sudah mencelat ke belakang menjauhi dua orang muda itu.
"Kek, kami belum kalah kenapa berhenti?"
Sui Cin yang sudah merasa gembira dengan pertandingan itu, mencela. Bagaimanapun juga, gadis ini merasa benar dalam hatinya bahwa kakek itu bukan orang jahat dan pertandingan itu hanya merupakan pengujian kepandaian saja. Ia bahkan merasa suka kepada kakek itu yang memiliki wajah jenaka dan gembira.
Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Heh-hehheh, akupun belum kalah. Aku hanya minta berhenti sebentar untuk bicara. Agaknya kalian berdua memiliki sedikit ilmu silat, pantas saja kalian begitu takabur hendak berperan sebagai pendekar-pendekar. Sekarang begini. Kalian melawan aku, dan kalau dalam waktu dua puluh jurus aku masih belum dapat mengalahkan kalian, anggap saja aku kalah dan aku akan menyebut kalian suhu dan subo!"
Sui Cin tertawa geli.
"Wah, kalau engkau menyebut subo kepadaku, berarti usiaku tentu sudah seratus tahun lebih. Tapi itu merupakan penghormatan besar. Baik, aku setuju!"
Hui Song diam-diam merasa terkejut. Begini takaburkah kakek ini? Dia tahu akan kemampuan diri sendiri dan diapun sudah tahu betapa tinggi ilmu gadis puteri Pendekar Sadis itu. Menandingi mereka satu lawan satu saja jarang dapat ditemukan orangnya, dan kakek ini menantang mereka berdua maju mengeroyok dan bertaruh dapat mengalahkan mereka dalam waktu dua puluh jurus! Tentu saja hatinya merasa penasaran karena dia merasa dipandang rendah.
"Baik, locianpwe, kami setuju. Akan tetapi bagaimana kalau... kalau kami yang kalah dalam dua puluh jurus itu?"
"Ha-ha-ha, orang muda yang berhati-hati, tentu engkau sudah menyangka buruk lagi kepadaku, ya? Dengarlah, kalau aku kalah, aku menyebut kalian suhu dan subo, akan tetapi kalau sebelum dua puluh jurus kalian yang kalah, kalian harus membantuku menolong pengantin ini."
"Menolong dengan cara bagaimana?"
Tanya Sui Cin.
"Kita harus menggagalkan pernikahan itu dan menghajar pembesar mata keranjang itu agar kapok. Akan tetapi, kalian harus menurut semua rencana siasat yang kuatur dan sama sekali tidak boleh menolak."
Tentu saja Sui Cin dan Hui Song menyetujui karena apa salahnya kalau hanya itu taruhannya? Tanpa bertaruh sekalipun, mereka berdua bukankah sekarang juga sudah berusaha menolong pengantin wanita yang tadinya mereka cari karena menyangka diculik penjahat?
"Baik, baik, kami berjanji,"
Kata mereka dengan gembira.
"Nah, bersiaplah. Jurus pertama!"
Kakek itu berseru dan tubuhnya bergerak secara aneh, tahu-tahu dalam satu jurus saja dia sudah menendang ke arah lutut Hui Song dan tangan kirinya menyambar ke arah pundak Sui Cin. Gerakannya selain aneh dan kuat, juga cepat sekali, mendatangkan angin bersuitan mengejutkan dua orang muda yang cepat menghindarkan diri. Hui Song adalah seorang pemuda cerdik. Dia maklum bahwa kakek ini memang lihai bukan main, akan tetapi kalau dalam waktu dua puluh jurus saja, mana mungkin mengalahkan dia dan Sui Cin, apalagi kalau mereka berdua mengerahkan seluruh daya untuk melindungi diri? Kalau mereka membagi perhatian untuk menyerang, mungkin mereka akan terlengah dan dapat dikalahkan.
"Cin-moi, pergunakanlah daya tahan Thai-kek Sin-kun!"
Gadis itupun cerdik dan ia mengerti apa yang dimaksudkan Hui Song, maka seperti juga pemuda itu, ia segera mainkan Thai-kek Sin-kun, mencurahkan segala perhatian untuk mempertahankan atau melindungi dirinya. Keadaan kedua orang muda itu tiada ubahnya dua buah benteng baja yang amat kuat dan tidak ada bagian lemah yang akan dapat ditembus! Kakek itu sejenak terbelalak, kemudian mengeluarkan seruan keras dan sampai beberapa jurus lamanya dia berusaha mendobrak benteng pertahanan itu dengan berbagai macam serangan yang aneh-aneh. Namun semua serangannya kandas dan tidak mampu membobolkan benteng-benteng pertahanan dari Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun itu.
"Wah, hebat, hebat... Thai-kek Sin-kun yang hebat sekali..."
Berkali-kali kakek itu berseru dengan suara mengeluh ketika ke manapun juga dia menyerang, dia selalu gagal karena yang diserang itu pasti bisa mengelak atau menangkis. Padahal, dia sudah menyerang selama dua belas jurus, tinggal delapan jurus lagi! Dia termangu-mangu sejenak dan Sui Cin mengejek.
"Hihik, kakek lucu, bersiap-siaplah menyebut subo kepadaku. Sudah dua belas jurus, tinggal delapan jurus lagi, jangan mengurangi hitungan!"
"Heh-hehheh, siapa mengurangi hitungan? Masih ada delapan jurus, cukup untuk mengalahkan kalian!"
Tanpa menanti jawaban, tiba-tiba saja kakek itu mengeluarkan suara melengking nyaring. Dua orang muda itu terkejut karena suara melengking itu mengandung khikang yang amat kuat, yang masuk dengan tajam menusuk jantung melalui telinga. Cepat mereka memasang kuda-kuda dan mengerahkan sinkang melindungi tubuh bagian dalam dari serangan suara penuh khikang ini. Akan tetapi, tiba-tiba tubuh kakek itu melesat dan lenyap, yang nampak kini hanya bayangan berkelebatan mengitari mereka,
Makin lama makin cepat sehingga tidak lagi nampak jelas bayangannya, menjadi kabur! Inilah berbahaya, pikir mereka. Tanpa dapat mengikuti gerak-gerik kakek itu yang ternyata mempergunakan ginkang yang sukar dipercaya kalau tidak melihat sendiri, begitu cepat seperti terbang, bahkan seperti menghilang saja, mereka takkan percaya ada ginkang sehebat itu. Maka, merekapun bersikap waspada, tidak berani berkedip karena sekali berkedip cukuplah bagi kakek itu untuk memasukkan serangannya dengan tepat. Benar saja, dua kali kakek itu menerjang sambil berputar, akan tetapi karena dua orang muda itu sudah bersiap-siap dengan kuda-kuda yanig amat kuat, mereka berdua mampu menangkis. Kakek itu agaknya merasa penasaran dan menyerang lagi sampai empat jurus, akan tetapi semua serangannnya gagal.
"Hihik, tinggal dua jurus lagi dan engkau menyebutku subo!"
Sui Cin tak dapat menahan kegembiraan hatinya mengejek. Tiba-tiba bayangan yang berputaran itu mengeluarkan uap putih dan terciumlah bau arak wangi. Kiranya kakek itu sambil berputar semakin cepat telah menyerang dengan menggunakan semburan arak yang agaknya diminumnya sambil berlari berputar-putar itu. Sui Cin dan Hui Song terkejut. Sambaran arak itu mengenai kulit mereka seperti Jarum-jarum halus saja, dan yang membuat mereka repot adalah semburan yang mengarah muka mereka! Tentu saja mereka gelagapan dan melindungi muka, akan tetapi pada saat itu, tiba-tiba saja mereka merasakan lutut mereka lemas kehilangan tenaga dan betapapun mereka bertahan, tetap saja kaki mereka tertekuk dan keduanya roboh berlutut!
"HoaHa-ha-ha, tepat dua puluh jurus dan kalian mengaku kalah. Akan tetapi tak perlu berlutut, jangan sungkan-sungkan, aku tidak bisa menerima penghormatan berlebihan ini, Ha-ha-ha!"
Sui Cin dan Hui Song saling berpandangan. Lutut mereka tadi tertotok, akan tetapi tidak parah, hanya cukup membuat mereka terpaksa berlutut saja. Kini pengaruh totokan sudah lenyap lagi dan mereka bangkit berdiri. Tahulah mereka bahwa kakek itu selain amat lihai juga tidak berniat buruk, hanya ingin menang tanpa berniat mencelakakan mereka. Akan tetapi Sui Cin cemberut.
"Kakek buruk, engkau telah menang dengan menggunakan akal busuk!"
"Ha-ha-ha, anak manis, akal dan siasat memang diperlukan dalam pertandingmu. Siapa kalah kuat harus menggunakan akal. Nah, kalian sudah kalah dan sekarang kalian harus membantuku. Waktunya hanya tinggal setengah hari. Sore hari nanti pengentin wanita she Coa ini akan dijemput dan dibawa ke Sinyang, ke rumah calon suaminya, si bangsawan keparat itu. Siapakah nama kalian?"
"Saya bernama Cia Hui Song, locianpwe."
"Namaku Ceng Sui Cin."
"Hemm, she Cia mengingatkan aku kepada Cin-Ling-Pai dan she Ceng...? Apakah bocah nakal yang dijuluki Pendekar Sadis itu juga she Ceng?"
Karena maklum bahwa kakek ini tentu seorang tokoh sakti yang selama ini tidak pernah muncul di dunia kang-ouw sehingga dia tidak pernah mendengar tentang kakek katai ini, Hui Song merasa tidak perlu menyembunyikan diri.
"Pendekar Sadis adalah ayah kandung nona ini dan ketua Cin-Ling-Pai adalah ayah saya, locianpwe."
Kakek itu membelalakkan matanya, mengelus jenggot panjangnya dan tertawa-tawa.
"HuaHa-ha-ha, pantas, pantas... Sekarang aku tidak penasaran lagi mengapa mengalahkan dua orang bocah ingusan macam kalian saja aku harus mengerahkan seluruh tenaga sampai dua puluh jurus, kalau bukan kalian, Ha-ha, baru muncul saja aku sudah jatuh nama. Nah, Sui Cin dan Hui Song, kini dengar baik-baik rencanaku untuk menolong gadis itu dan menghajar pembesar mata keranjang itu. Sui Cin, sekarang engkau harus mengantar gadis Coa itu pulang ke rumahnya karena di sana sudah dipersiapkan untuk sore nanti mengantar pengantin wanita ke Sinyang."
"Eh, bagaimana ini? Bukankah gadis itu akan dipaksa kawin dan engkau hendak mencegah terjadinya hal itu, kek?"
Tanya Sui Cin yang tetap menyebut kakek dan tidak bersikap hormat seperti Hui Song.
"Ingat, kalian sudah kalah dan berjanji akan mentaati semua perintakku untuk menolong pengantin."
"Baiklah, kek, aku tidak membantah, hanya bertanya,"
Kata Sui Cin bersungut-sungut. Kakek itu tertawa, gembira agaknya dapat menggoda Sui Cin.
"Engkau mengantar gadis Coa itu kembali karena engkau tadi berjanji untuk mencarinya. Katakan saja kepada keluarga itu bahwa gadisnya diculik penjahat dan engkau berhasil merampasnya kembali, dan katakan bahwa engkau akan mengawal sendiri puteri menuju ke Sinyang agar jangan diganggu penjahat di tengah perjalanan. Mengerti?"
"Wah, kakek buruk, agaknya engkau hendak mengejekku, ya? Sudah jelas bahwa aku gagal merampas kembali pengantin yang kau culik!"
Sui Cin mengomel.
"Dan apakah tugas saya, locianpwe?"
Tanya Hui Song yang terbawa oleh percakapan itu.
"Cin-moi, sudahlah kita mentaati saja karena sudah kalah. Pula, kita tahu bahwa locianpwe ini bukan orang jahat, andaikata demikian, tentu kita tidak akan menurut begitu saja."
"Heh-heh, putera Cin-Ling-Pai ini sukar mempercaya orang, dan selalu menyangka buruk. Untukmu aku sudah mempunyai tugas yang amat tepat. Engkau akan kudandani, ingat, engkau harus taat kepadaku. He, orang muda, kau bawa ke sini pakaian pengantin itu!"
Kata kakek itu kepada Lo Seng. Lo Seng mengambil sebuah bungkusan di sudut gua dan menyerahkannya kepada si kakek yang segera membuka bungkusan dan keluarlah seperangkat pakaian pegantin berikut penghias rambut dan sebagainya, milik nona pengantin Coa yang lenyap dicuri orang itu! Melihat ini, Hut Song terbelalak dan mukanya berubah merah.
"Locianpwe, apa maksudmu?"
Akan tetapi kakek itu sudah menghampirinya, membentang pakaian pengantin wanita yang lebar dan berwarna indah dengan hiasan huruf-huruf yang berbunyi "Bahagia"
Itu.
"Engkau harus mentaati perintahku, menjalankan siasatku. Lekas pakai pakaian ini. Engkau harus menyamar pengantin wanita, menggantikannya kelak untuk diboyong ke rumah pejabat itu."
"Wah... Ini... ini..."
Hui Song tergagap dan bingung.
"Hihik! Twako, kita sudah kalah dan berjanji mentaatinya. Engkau juga harus mentaati perintahnya."
Sui Cin tertawa-tawa gembira dan geli ketika kakek itu memaksa Hui Song memakai jubah pengantin di luar pakaiannya sendiri. Karena pakaian pengantin itu memang besar kedodoran dan tubuhnyapun sedang saja, maka pakaian itu dapat juga menutupi tubuhnya dan tentu saja kelihatan lucu. Apalagi setelah kakek itu memaksanya memakai rangkaian bunga di kepalanya. Sui Cin melihat ini sambil tertawa-tawa geli, sampai memegangi perutnya saking gelinya. Apalagi melihat betapa Hui Song menjadi bengong dan melongo saja dengan muka yang ketololan, ia menjadi semakin geli.
"Wajahmu cukup tampan, akan tetapi kurang halus untuk menjadi wajah pengantin wanita yang halus putih,"
Kakek itu berkata, mengeluarkan bedak dan menggunakan jari tangannya mengoleskan bedak di muka Hui Song yang terpaksa berdiri tak bergerak dan mendorong muka ke depan, pasrah tanpa berani membantah. Sui Cin yang berdiri di belakangnya, tertawa gembira.
"Wah, sulit amat. Membungkuklah, Hui Song, wah, alismu terlalu tebal, harus dicukur bersih dan dibikin kecil,"
Kakek itu tertawa-tawa.
"Wah, jangan, locianpwe..."
Hui Song berkata khawatir. Melihat ini, Sui Cin lalu turun tangan.
"Kakek nakal, biarkan aku yang mendandani Song-twako, tanggung akan kelihatan lebih cantik menarik dari pada kalau engkau yang merusak mukanya."
Sui Cin memang ahli dalam melakukan penyamaran dan setelah ia turun tangan, maka Wajah Hui Song memang kelihatan cantik, walaupun tentu saja alisnya masih terlalu tebal dan juga tubuhnya kaku.
Kakek itu lalu memberitahukan siasatnya. Gadis Coa akan diantar pulang oleh Sui Cin dan selanjutnya mereka akan bergerak menukar pengantin dan memberi hajaran kepada pembesar itu dan pemuda Lo Seng diharuskan menanti di dalam gua. Berangkatlah mereka. Sui Cin mengantar gadis Coa pulang ke dusunnya. Karena sudah diberi tahu bahwa para orang gagah itu akan menolongnya dan akan melepaskannya dari cengkeraman pembesar di Sinyang agar ia dapat hidup bersama Lo Seng, Coa Lan Kim tidak merasa takut ketika dibawa pulang ke dusun oleh Sui Cin. Lurah Coa dan orang-orangnya menyambut kedatangan mereka dengan gembira sekali. Dengan gayanya yang menarik Sui Cin menceritakan bahwa Lan Kim diculik oleh gerombolan penjahat yang berilmu tinggi, akan tetapi ia berhasil merampasnya kembali.
"Lanjutkanlah upacara pernikahan, dan aku sendiri yang akan mengawal enci Lan Kim ke Sinyang agar dapat membasmi para penjahat yang hendak mencoba menghadang di tengah perjalanan."
Tentu saja keluarga Coa menjadi gembira sekali dan Sui Cin disambut dan dijamu seperti seorang tamu agung yang amat dihormati. Kepada lurah Coa, Sui Cin memberitahukan bahwa kawannya kini masih menyelidik gerombolan itu, membayangi mereka ketika mereka melarikan diri. Lan Kim didandani dan kini gadis itu tidak menolak lagi, tidak rewel sehingga ibunya merasa lega dan senang. Biarpun pakaian pengantin yang dikenakan nona pengantin itu dibuat tergesa-gesa dan tidak seindah pakaian pengantin yang hilang, namun Lam Kin nampak cantik dan anggun dalam pakaian pengantin.
Setelah saatnya tiba, muncullah jemputan dari Sinyang, utusan pengantin pria yang mengirim joli dan barang-barang hadiah. Pengantin pria sendiri tidak muncul. Bukankah dia seorang pejabat tinggi di Sinyang dan Lan Kim hanya menjadi isteri ke lima? Kedudukannya terlalu tinggi untuk merendahkan dia turun ke dusun menjemput sendiri calon isterinya kelima, dan para utusannya saja sudah cukup membuat keluarga Coa merasa terhormat sekali, apalagi para utusan itu datang membawa hadiahhadiah yang luar biasa banyaknya bagi keluarga lurah itu. Setelah lurah Coa menceritakan kepada para utusan bahwa di dusun itu terdapat gangguan gerombolan penjahat dan bahwa Sui Cin adalah seorang pendekar wanita yang mengawal pengantin, para pesuruh dari kota itupun merasa gembira.
Siapa tidak akan gembira melakukan perjalanan dikawal seorang pendekar wanita secantik itu? Berangkatlah rombongan pengantin, diiringi suara musik dan petasan, juga suara tangisan ibu pengantin dan para keluarga wanita lain. Tangis para keluarga wanita mengantar pengantin ini sudah merupakan semacam kebiasaan dan tradisi yang tidak mungkin dapat ditinggalkan lagi. Sukar lagi membedakan mana tangis yang sungguh-sungguh dan mana tangis buatan, seperti juga ratap tangis yang terdengar pada peristiwa perkabungan. Rombongan pengantin itu hanya melalui sebuah hutan kecil karena jarak antara dusun Lokcun dan kota Sinyang juga tidak begitu jauh, hanya perjalanan kurang lebih dua jam saja. Maka, para pengawal atau utusan Su-tikoan (jaksa Su) sama sekali tidak merasa khawatir,
Bahkan agak geli melihat betapa keluarga pengantin wanita menyediakan seorang pendekar wanita untuk mengawal pengantin. Sudah bertahun-tahun tidak pernah terjadi pencegatan perampok atau penjahat lain di hutan itu. Tadipun ketika mereka pergi ke dusun membawa barang-barang hadiah pengantin yang berharga, sama sekali tidak terjadi gangguan. Pula, siapa berani mengganggu rombongan pengantin Su-tikoan? Mencari mati saja namanya! Ketika mereka tiba di dalam hutan, sore telah larut dan senja mendatang, membuat cuaca dalam hutan menjadi remang-remang karena sinar matahari yang sudah condong ke barat itu terhalang daun pohon-pohon. Ketika mereka sedang enak berjalan, tiba-tiba terdengar teriakan yang amat nyaring dari samping kiri, teriakan yang menggetarkan jantung dan menusuk telinga mereka.
"Berhenti dan serahkan nona pengantin!"
Mendengar ini, wajah para utusan dan para pengawal yang jumlahnya belasan orang itu menjadi pucat dan mata mereka terbelalak. Akan tetapi dengan memberanikan hati mereka mencabut senjata masing-masing, dan mereka memandang kepada Sui Cin yang menurut keluarga mempelai ditunjuk sebagai pengawal dan pelindung nona pengantin. Sui Cin juga memperlihatkan sikap gugup.
"Kalian bertahan di sini, biar aku yang menyelamatkan pengantin. Aku tunggu kalian di luar hutan ini!"
Berkata demikian, Sui Cin lalu mengambil joli atau gerobak dorong itu dan mendorongnya sendiri sambil berlari keluar dari hutan. Tiba-tiba muncullah seorang yang melihat pendeknya tubuh tentu seorang remaja, akan tetapi dia memakai kedok lebar yang menutupi semua wajahnya, hanya memperlihatkan dua buah mata yang mencorong di balik lubang-lubang kedok kayu itu. Sambil mementangkan kedua lengannya, orang yang bertubuh kecil pendek seperti anak-anak ini berkata,
"Hayo tinggalkan semua senjata dan pakaian kalian di sini kalau ingin selamat!"
Kalau tadi semua orang itu merasa takut, kini mereka tersenyum mengejek. Kiranya hanya seorang anak kecil yang menghadang mereka, yang hendak menakutnakuti mereka dengan kedok setan, seolah-olah mereka itu dianggap sebagai serombongan anak-anak penakut saja.
"Heh, bocah setan, apa kau sudah bosan hidup?"
Bentak kepala rombongan.
"Hayo buka kedokmu dan berlutut minta ampun telah mengejutkan hati kami!"
"Heh-hehheh, rombongan tikus. Lekas lakukan perintahku tadi atau kalian harus berlutut delapan kali dan menyebut aku kongcouw!"
Tentu saja rombongan itu menjadi marah sekali. Seorang di antara mereka melangkah maju dan mengayun tangan menampar ke arah muka anak bertopeng itu dengan keras. Orang ini tinggi besar dan tangannyapun lebar, ketika menampar seperti kipas saja mendatangkan angin.
"Plakk! Sungguh aneh sekali. Anak pendek berkedok itu hanya mengangkat tangan menangkis, tepat mengenai lengan si tinggi besar, akan tetapi seketika si tinggi besar mengaduh dan berjingkrak sambil memegang lengan kanannya yang terasa panas dan sakit seperti tadi bertemu dengan tongkat baja. Melihat ini, semua orang menjadi marah dan dengan senjata di tangan mereka menerjang.
"Heh-heh, kalian harus berlutut semua, berlutut semua!"
Orang berkedok itu tertawa-tawa dan tiba-tiba tubuhnya berkelebat lenyap, disusul teriakan-teriakan dan belasan orang itu roboh satu demi satu, roboh berlutut karena tiba-tiba saja mereka merasa kaki mereka seperti lumpuh. Akan tetapi ketika mereka semua memandang, orang berkedok yang bertubuh pendek itu telah lenyap dari situ, entah ke mana dan agaknya orang itu tidak melakukan sesuatu lagi,
Buktinya barang-barang mereka masih utuh, juga mereka itu semua tidak terluka dan kini dapat berdiri lagi. Tentu saja pengalaman aneh ini membuat mereka merasa ketakutan. Belum pernah selama hidup mereka bertemu dengan orang yang sehebat itu kepandaiannya, dan tanpa menanti perintah lagi mereka segera berlomba melarikan diri keluar hutan menyusul larinya Sui Cin yang telah pergi lebih dahulu menyelamatkan nona pengantin itu. Ketika mereka tiba di luar hutan, rombongan itu melihat Sui Cin berdiri menanti bersama joli dorong yang diselamatkannya tadi. Giranglah hati mereka karena ternyata gadis pendekar itu dalam keadaan selamat dan terutama sekali pengantin wanita ternyata tidak terganggu. Sui Cin berpura-pura heran melihat mereka berlari-lari dengan sikap ketakutan itu dan menyongsong mereka dengan pertanyaan heran,
"Eh, kenapa kalian berlari-lari seperti orang ketakutan?"
Dengan suara mengandung ketegangan dan napas masih terengah-engah, mereka lalu menceritakan betapa mereka diserang oleh seorang penjahat bertubuh kecil seperti kanak-kanak yang memakai kedok. Tentu saja Sui Cin diam-diam merasa geli karena ia dapat menduga siapa adanya anak kecil berkedok yang lihai itu.
"Kalau begitu, mari kita cepat pergi dari sini menyelamatkan pengantin sebelum setan itu melakukan pengejaran,"
Katanya. Rombongan itu tentu saja setuju dengan ucapan ini dan dengan tergesa-gesa mereka lalu mendorong joli pengantin yan berupa gerobak kecil beroda itu. Saking tegang hati mereka,
Para pendorong gerobak itu tidak menyadari bahwa joli atau berobak yang mereka dorong itu jauh lebih berat dari pada tadi. Ketika rombongan yang menjemput nona pengantin tiba di gedung Su-tikoan, ternyata rumah itu tidak dirias dan penyambutan tidak semeriah upacara yang diadakan di rumah nona pengantin. Dan memang hal itu tidak mengherankan. Menikahi seorang wanita untuk menjadi isteri kelima, apalagi kalau wanita itu hanya seorang gadis desa, tidak dianggap sebagai peristiwa yang patut dirayakan secara besar-besaran oleh pejabat tinggi itu. Bahkan dianggapnya sebagai suatu kesenian atau hiburan pribadi saja, maka di situ tidak terdapat pesta penyambutan, tidak banyak tamu kecuali beberapa belas orang anak buah pembesar itu. Apalagi ketika para penjemput itu dengan bermacam gaya menceritakan tentang pencegatan, orang aneh yang amat lihai,
Su-tikoan sendiri yang merasa khawatir lalu tergesa-gesa memerintahkan agar pengantin perempuan langsung saja dalam jolinya itu dibawa ke dalam gedung dan langsung ke dalam kamar pengantin! Hanya empat orang yang memanggul joli dorong itu, dan dikawal oleh Sui Cin. Ketika Su-tikoan mendengar bahwa gadis cantik jelita yang ikut bersama rombongan itu adalah seorang pengawal yang melindungi nona pengantin, tentu saja dia memperkenankan pengawal cantik ini ikut masuk pula. Hati pembesar bertubuh gendut yang mata keranjang itu segera tertarik kepada Sui Cin. Dia sudah pernah melihat Lan Kim dan kini dia melihat betapa wanita gagah itu jauh lebih cantik dari pada gadis desa yang diangkatnya menjadi isteri kelima, maka tentu saja matanya sudah meliraklirik dan mulutnya tersenyum-senyum ceriwis. Apalagi ketika dia melihat betapa wanita perkasa yang cantik jelita itu bersikap manis dan selalu tersenyum kepadanya.
Pembesar yang usianya sudah enam puluh tatun ini memang terkenal mata keranjang dan agaknya dia beranggapan bahwa semua wanita dibeli dengan harta dan kedudukannya. Baginya, wanita tentu tunduk dan mau kalau dipameri harta dan kedudukan tinggi, biarpun dia sudah tua dan wajahnya buruk, dengan muka kasar menghitam dan perut gendut seperti perut babi. Maka, ketika joli tiba di depan kamar yang sudah dipilihnya sebagai kamar pengantin bagi calon isterinya yang kelima, dia menyuruh empat orang pemikul joli itu pergi. Joli diturunkan dan kini didorong oleh Sui Cin sendiri memasuki kamar atas isyarat pembesar itu. Lima orang pelayan wanita yang muda-muda dan cantik dengan suara ketawa ditahan yang genit ikut pula memasuki kamar dan mereka ini segera mempersiapkan hidangan yang lezat dan mewah di atas meja dalam kamar.
"Nona tentu lelah dan baru saja mengalami peristiwa yang menakutkan. Silakan duduk, nona,"
Kata pembesar itu. Tanpa banyak pura-pura lagi Sui Cin duduk di atas kursi, menghadapi meja makan sampai semua hidangan diatur di atas meja dan pembesar itu menyuruh para pelayan keluar dari dalam kamar.
"Tinggalkan kami dan jangan ganggu atau masuk kalau tidak dipanggil,"
Kata pembesar gendut itu. Para pelayan itu cekikikan dan berlarian keluar.
Tentu saja pembesar yang mata keranjang itu tidak pernah membiarkan wanita begitu saja dan semua pelayan yang muda-muda dan cantik-cantik itu selain bertugas sebagai pelayan juga Kadang-kadang memperoleh giliran menemaninya dalam kamar. Karena itulah maka mereka bersikap genit dan berani. Setelah semua pelayan keluar dan daun pintu kamar itu ditutup, pembesar itu cengar-cengir mendekati Sui Cin. Sekali ini dia mengamati wajah wanita gagah ini dan jantungnya berdebar tegang. Inilah wanita cantik, pikirnya. Belum pernah dia mendapatkan seorang wanita secantik ini, apalagi kalau wanita ini memiliki kegagahan, seorang ahli silat pandai yang selain menjadi miliknya sebagai kekasih juga dapat bertugas menjadi seorang pengawal pribadi yang setia dan menyenangkan!
"Nona, siapakah namamu?"
Sui Cin mengerutkan alisnya akan tetapi tidak memperlihatkan rasa jijik dan marahnya. Pembesar ini adalah seorang laki-laki tua yang buruk rupa juga buruk watak. Mana ada seorang pengantin pria yang sedang dipertemukan dengan calon isterinya, belum juga melihat calon isteri yaag masih dibiarkan di dalam joli, sudah main mata dan berusaha merayu seorang wanita lain yang baru dijumpainya? Benar-benar seorang buaya darat, seorang hidung belang yang mata keranjang! Akan tetapi ia pura-pura tersenyum manis dan melirik menja.
"Taijin, nona pengantin sedang menanti dalam joli."
"Ehh...? Ohh... ya, aku lupa..."
"Biarlah saya keluar dari kamar dan pulang, taijin."
"Eh, jangan dulu... jangan dulu, kita makan minum dulu, bersama nona pengantin. Aih, aku sampai lupa kepada nona pengantin. Nona pengantin, keluarlah dan mari kita makan minum!"
Katanya sambil tersenyum menyeringai dan membuka joli yang tertutup itu. Akan tetapi ketika nona pengantin itu keluar dari joli, Su-tikoan terbelalak, matanya yang besar itu melotot seperti meloncat keluar dari tempatnya.
"Ini... ini... bukan gadis anak lurah itu... Eh, siapa engaku, berani mati mempermainkan aku?"
Dia membentak dan melotot ke arah Hui Song yang berdiri di depannya dalam pakaian pengantin wanita! Hui Song yang memang berwatak jenaka dan suka menggoda orang, kini berlenggak-lenggok genit seperti seorang perempuan, tentu saja dengan gaya yang lucu dan kaku, menggigit bibir dan mengerling tajam.
"Hayaa... kenapa pengantin pria calon suamiku marah-marah kepadaku di malam pertama ini? Aihhh, kakanda, aku adalah mempelai wanita, calon isterimu tercinta. Mari, peluklah aku, pondonglah aku ke atas pembaringan itu... aihhh..."
Pembesar itu menggigil karena jijik mendengar suara nona pengantin itu besar seperti suara pria dan kini nona pengantin itu melangkah menghampirinya dengan sikap merayu.
"Hiiihh..."
Su-tikoan terbelalak ngeri dan mundur-mundur ketakutan bercampur marah.
"Pergi engkau! Keparat, berani engkau mempermainkan aku? Pengawal..."
Akan tetapi suara tikoan itu terhenti karena tiba-tiba jari tangan Hui Song telah menotoknya, pada jalan darah di leher yang membuat tikoan itu tidak mampu lagi mengeluarkan suara. Kemudian, sekali menggerakkan kakinya, Hui Song memendang dan tubuh yang gendut itu terlempar ke atas pembaringan. Dengan muka ketakutan dan mata terbelalak pembesar itu memandang ke arah Sui Cin, mengharapkan bantuan pengawal ini. Akan tetapi, wajahnya menjadi semakin pucat ketika dia melihat gadis itu tersenyum mengejek. Tahulah dia sekarang bahwa orang yang menyamar sebagai mempelai puteri ini tentu sekutu gadis itu! Dan jantungnya hampir berhenti saking takutnya ketika dia melihat Hui Song menanggalkan pakaian pengantin, menghapus penyamarannya dan menjadi seorang pemuda yang tampan dan gagah.
"Tua bangka mata keranjang, dengar baik-baik. Sekali engkau berteriak, aku akan membunuhmu!"
Setelah berkata demikian, Hui Song menepuk lehernya dan Su-tikoan mampu lagi bicara.
"Ampunkan aku... kalian ini mau apa? Mengapa menyamar pengantin dan... di mana pengantinku...?"
"Keparat! Engkau hendak menggunakan harta dan kedudukanmu untuk memaksa gadis orang menjadi isteri kelima. Nona Coa adalah milik kami dan akan pergi bersama kami. Kami melarikannya dari tangan orang tuanya yang mata duitan, agar tidak terjatuh ke tangan srigala tua macam engkau. Nah, cepat keluarkan uang seratus tail emas untuk bekal pengantin dan berjanji selamanya tidak akan melakukan paksaan menggunakan harta dan kekuasaan!"
Tubuh pembesar itu menggigil.
"Baik... baik..."
Katanya akan tetapi dari pandang matanya yang berkilat tahulah Hui Song bahwa orang ini merasa penasaran dan marah, hanya tunduk karena terpaksa saja. Juga Sui Cin dapat menduga hal ini maka gadis itupun menghardik.
"Engkau adalah seorang pejabat tinggi, seorang pembesar yang sepatutnya menjadi pelindung rakyat, menjadi teladan bagi rakyat. Akan tetapi, engkau lupa bahwa engkau pun seorang manusia biasa, seorang di antara rakyat. Setelah memegang jabatan tinggi, engkau lupa dan gila kekuasaan, mabok kemuliaan, sehingga engkau suka berbuat sewenang-wenang. Mengawini seorang gadis di luar kehendak gadis itu, menggunakan harta dan kekuasaan untuk memaksa orang tua gadis itu. Orang seperti engkau ini layak dilenyapkan dari muka bumi. Akan tetapi kami masih mengampuni asal engkau insyaf dan mulai sekarang menjadi seorang pemimpin rakyat sejati."
Pembesar itu menundukkan mukanya, seperti seorang anak kecil yang dimarahi ibunya.
"Hayo cepat keluarkan seratus tail emas!"
Bentak Hui Song.
"Baik... baik..."
Kakek gendut itu lalu menghampiri sebuah lemari yang berada di sudut kamar. Di dekat lemari itu terdapat sebuah jendela yang tertutup. Tiba-tiba pembesar itu membuka daun jendela dan berteriak.
Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Pengawal... Toloonggg..."
"Keparat!"
Hui Song berseru dan tangannya menyambar kursi lalu dilontarkan ke arah pembesar yang hendak melarikan diri keluar dari jendela itu.
"Brukk..."
Pendekar Sadis Eps 8 Pendekar Sadis Eps 3 Pendekar Lembah Naga Eps 59