Ceritasilat Novel Online

Pendekar Sadis 8


Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo Bagian 8



Tidak keliru pernyataan pendekar Cia Sin Liong bahwa rasa bersalah yang menimbulkan takut dan malu itu akan menciptakan perasaan rendah diri dan hal ini jauh lebih berbahaya daripada perbuatan onani itu sendiri! Oleh karena itu, bagi para pemuda yang merasa mempunyai "penyakit"

   Ini, waspadalah, buanglah jauh-jauh rasa rendah diri yang timbul dari penyesalan, rasa takut, dan malu dan rasa berdosa itu. Akan tetapi di samping itu harus waspada juga bahwa perbuatan itu adalah suatu perbuatan yang timbul dari kebiasaan yang sudah mencandu, dan bahwa perbuatan akibat kebiasaan itu memang amat tidak baik bagi kesehatan hati dan batin. Mengekang atau menekannya tiada guna karena akan selalu timbul, makin dikekang makin kuat daya rangsangnya sehingga tak tertahankan, lalu berbuat lagi, sehabis berbuat menyesal. Demikian selanjutnya.

   Ini bukan berarti bahwa hal itu harus dibiarkan saja berlangsung. Sama sekali tidak, karena kalau sampai berlarut-larut, akibatnya amat tidak baik bagi badan dan batin. Akan tetapi kalau kita mau menghadapi hal itu setiap kali dia timbul! Setlap kali rangsangan untuk melakukan onani itu timbul, bahkan sebelum timbul, kita membuka mata dengan waspada dan penuh kesadaran, tanpa ada keinginan untuk menekan, hanya mengamati saja dengan penuh perhatian, mempelajarinya, menyelidikinya. Itu saja! Dan hal ini hanya dapat dilaksanakan, bukan hanya merupakan teori lapuk, melainkan dihayati dan dilaksanakan setiap kali dia timbul. Buka mata, amati dengan penuh perhatian, penuh kewaspadaan. Akan nampaklah bahwa pendorongnya bersumber kepada si aku yaitu pikiran yang mengenangkan atau mengingat-ingat, membayang-bayangkan kembali kenikmatan-kenikmatan yang pernah dirasakannya.

   Si aku yang ingin mengejar kenikmatan inilah yang menjadi pembujuk, pendorong sehingga "pertahanan"

   Yang kita bangun itu ambruk dan kita menyerah kepada kehendak si aku, yaitu nafsu ingin memuaskan diri, ingin menikmati. Maka, apabila kita membuka mata memandang, penuh perhatian, tanpa adanya si aku, maka si aku, yang mengejar kesenangan itu tidak ada, ying ada hanyalah kewaspadaan yang menimbulkan kesadaran dan pengertian, dan lahirlah tindakan-tindakan spontan yang akan melenyapkan semua kebiasaan itu. Mimpi tentang hubungan seks, maupu onani, keduanya adalah akibat daripada si aku atau pikiran yang mengenang dan mengingat-ingat kembali kenikmatan. Kalau ingatan itu bertumpuk di bawah sadar, lalu timbul dalam mimpi. Sedangkan onani dilakukan karena tidak dapat menahan dorongan gairah yang timbul dan mendesak.

   Hubungan seks adalah sesuatu yang wajar, yang suci. Akan tetapi kalau terdorong oleh pikiran yang mengejar kenikmatan, lalu terjadilah hal-hal yang tidak wajar. Pengamatan diri tanpa pamrih sesuatu akan melahirkan kebijaksanaan mendisiplin diri, bukan disiplin paksaaan melainkan timbul dengan sendirinya sehingga hubungan seks menjadi sesuatu yang indah, dilakukan tepat pada waktunya, tempatnya, keadaannya dan sebagainya. Mendengar ucapan pendekar Cia Sin Liong, lenyaplah kekhawatiran Thian Sin. Akan tetapi berbareng dengan terjadinya peristiwa itu, mulailah dia menjadi dewasa dan perhatiannya terhadap gadis-gadis sebayanyapun semakin besar. Akan tetapi pemuda tanggung ini selalu dapat menahan nafsunya, sesuai dengan ajaran kebatinan yang diterimanya dari Hong San Hwesio.

   Dengan demikian, rasa tertarik itu hanya dilampiaskan saja melalui kerling memikat dan senyum manis setiap kali dia bertemu dengan gadis-gadis dusun. Tentu saja sikap Thian Sin ini makin menarik para gadis itu dan segera pemuda tampan yang mereka sebut Ceng-kongcu ini menjadi bahan percakapan mereka sehari-hari. Sikap Thian Sin ini terbalik sama sekali dibandingkan dengan sikap Han Tiong yang pendiam, terbuka dan jujur. Pemuda ini "alim"

   Bukan karena pengekangan batin, bukan karena paksaan akan tetapi memang pikirannya bersih daripada bayangan-bayangan kesenangan berahi seperti yang digambarkan dalam batin Thian Sin. Pada suatu hari, lewat tengah hari yang panas dua orang pemuda itu berjalan di dalam hutan. Thian Sin memanggul seekor kijang yang berhasil mereka robohkan dalam perburuan itu. Thian Sin-lah yang membujuk-bujuk kakak angkatnya untuk berburu hari itu.

   "Aku ingin sekali makan daging kijang, Tiong-ko. Dan kau pun tahu, ayah ibu suka sekali makan daging kijang pula. Marilah temani aku berburu kijang."

   Dibujuk-bujuk akhirnya Han Tiong yang amat menyayang adik angkatnya itupun setuju dan hampir sehari penuh mereka berkeliaran di dalam hutan memburu kijang. Memang ada binatang-binatang hutan yang lain, akan tetapi karena dari rumah tadi mereka sudah mempunyai niat berburu kijang, maka mereka tidak mengganggu binatang-binatang lain. Akhirnya, setelah lewat tengah hari, mereka melihat seekor kijang muda yang gemuk. Dengan ilmu berlari cepat, mereka mengejarnya dan akhirnya dapat merobohkan kijang itu dengan sambitan-sambitan batu. Mereka merasa lelah dan haus karena hari itu panas sekali. Ketika mereka melewati sebuah danau kecil yang airnya jernih, mereka berhenti, melempar bangkai kijang itu ke bawah sebatang pohon dan mereka lalu mencuci muka, tangan dan kaki sehingga terasa segar sekali. Rasa sejuk ini membuat mereka ingin mengaso.

   "Tempat ini sunyi, sejuk dan indah. Mari kita mengaso sambil berlatih siulian, Sin-te,"

   Kata Han Tiong. Adiknya setuju dan mereka berdua lalu duduk bersila di antara semak-semak, di atas rumput yang hijau tebal.

   Bangkai kijang itu mereka simpan pula di atas cabang pohon agar jangan diganggu binatang buas. Di balik semak-semak di tepi danau itu mereka duduk bersila dan bersamadhi, berdampingan dan Thian Sin duduk di dekat danau, kakak angkatnya di sebelah kirinya. Karena badan lelah, kemudian terasa segar terkena air dingin dan tempat itu memang sejuk, dikipasi angin semilir, maka kedua orang muda itu dapat bersamadhi dengan hening dan tenteramnya dan mereka sudah lupa akan waktu. Tanpa mereka sadari, mereka telah duduk berjam-jam sampai matahari mulai condong jauh ke barat dan sinarnya tidak panas lagi. Juga mereka tidak tahu, tidak melihat dan tidak mendengar suara merdu beberapa orang gadis dusun yang berjalan sambil bercanda menuju ke danau itu, membawa pakaian kotor dan para gadis itu mulai mencuci pakaian di tepi danau,

   Di atas batu yang menonjol di danau itu sambil bercakap-cakap. Karena dua orang itu bersamadhi di balik semak-semak, dan karena biasanya tempat itu tidak pernah ada orangnya, maka empat orang gadis itu sama sekali tidak pernah tahu bahwa tak jauh dari mereka terdapat dua orang muda tengah bersamadhi. Setelah selesai mencuci pakaian, empat orang gadis itu lalu menanggalkan pakaian mereka untuk dicuci pula dan mereka lalu mandi dengan telanjang bulat karena mereka biasanya melakukan hal itu di tempat sunyi ini tanpa ada yang pernah mengganggu mereka. Mereka mandi sambil bercanda, bersiram-siraman, tertawa-tawa dan bernyanyi-nyanyi. Semua suara itu tidak mengganggu Han Tiong yang masih tekun bersamadhi. Tidak nampak segaris kerutpun di wajahnya karena dia tenggelam dalam keheningan yang syahdu.

   Akan tetapi, suara ketawa merdu gadis-gadis itu agaknya mampu menembus keheningan yang tadinya memang dapat membuat Thian Sin bersamadhi dengah hening dan pemuda itu kini mulai menggerakkan bola matanya dan bola matanyapun mulai bergerak-gerak. Kini kesadarannya mendorong perhatian melalui telinganya, ditujukan ke arah suara itu dan jantungnya berdebar. Suara gadis-gadis tertawa-tawa dan bersenda-gurau, dan suara percik air. Mendengar suara yang datang dari arah kanannya itu, perlahan-lahan mata kanannya dibuka, sedangkan mata kirinya masih tetap terpejam. Dan mata kanan itu terbelalak ketika dia melihat dari balik semak-semak betapa di sebelah kanan, tak jauh dari tempat dia duduk, terdapat empat orang gadis dusun yang sedang bermain-main dalam air, sedang mandi dengan bertelanjang bulat!

   Wajah Thian Sin menjadi merah dan dia harus mengatur pernapasannya agar tidak terengah-engah. Dia membuka mata kiri melirik ke arah kakak angkatnya. Han Tiong masih bersamadhi dengan hening dan tekun, sgdikitpun tidak bergerak dengan pernapasan yang panjang dan halus. Cepat Thian Sin menutupkan lagi mata kirinya dan kini hanya mata kanannya yang mengerling ke kanan, ke arah gadis-gadis yang sedang mandi itu. Jantungnya berdebar semakin keras, apalagi ketika dia melihat bahwa di antara mereka terdapat Cu Ing! Gadis ini merupakan kembang dusun di sebelah selatan Lembah Naga, seorang dara remaja yang manis sekali dan sudah beberapa kali Thian Sin bertemu dengan dara manis ini yang menarik hatinya, lebih daripada dara-dara lainnya. Kalau biasanya di waktu bertemu dengan Cu Ing, dara itu sudah tampak manis,

   Kini dalam keadaan tanpa pakaian sama sekali itu Cu Ing nampak lebih jelita lagi, dengan kulit tubuh yang putih kekuningan, dengan lekuk lengkung tubuh yang menggairahkan. Setelah mata kanan Thio Sin meliar ke arah tubuh empat orang dara itu, akhirnya pandang matanya berhenti dan terpesona kepada Cu Ing seorang dan dia hampir tak dapat menahan mulutnya untuk berseru kecewa ketika empat orang dara itu menghentikan dan mengakhiri mandi mereka dan setelah mengeringkan tubuh mereka lalu mengenakan pakaian bersih. Karena merasa kurang leluasa mengikuti gerakan-gerakan mereka, Thian Sin kini mendoyongkan tubuhnya dan menguak semak-semak agar dapat melihat lebih jelas lagi. Akan tetapi tiba-tiba seorang di antara empat gadis itu melihat gerakan ini. Mata dara itu terbelalak dan dia berseru.

   "Ada orang mengintai kita!"

   Tiga orang kawannya cepat menengok ke arah tempat yang ditunjuk dara itu, dan mereka semua melihat Thian Sin! Seperti empat ekor kijang melihat harimau, empat orang dara itu itu cepat-cepat menyambar pakaian dan cucian mereka, lalu melarikan diri pontang-panting dari tempat itu, akan tetapi karena mereka sudah mengenal siapa pria yang tadi mengintai, sambil berlari mereka kadang-kadang menengok dan mereka tertawa-tawa dan menjerit-jerit penuh rasa geli, ngeri dan juga senang! Jeritan-jeritan ini menggugah Han Tiong dari samadhinya. Dia membuka mata dan melihat betapaa adik angkatnya masih bersila dengan anteng, akan tetapi dari gerakan bola mata adiknya dia dapat menduga bahwa tentu adiknya itu terganggu pula oleh suara jeritan-jeritan tadi.

   "Sin-te, suara apakah yang menjerit tadi?"

   Dan Han Tiong memandang ke arah suara yang masih terdengar lapa-lapat.

   "He? Suara apa? Aku tidak tahu... ah, benar, itu masih terdengar suaranya, seperti suara wanita tertawa..."

   Kata Thian Sin, pandai sekali dia bergaya seperti orang yang tidak tahu apa-apa.

   "Ah, senja telah mulai tiba. Tak terasa kita sudah lama juga beristirahat. Mari kita pulang!"

   Kata Han Tiong, tidak mempedulikan lagi suara ketawa itu. Adik angkatnya mengangguk sunyi, mengambil bangkai kijang dan pulanglah dua orang muda itu. Akan tetapi di luar tahu Han Tiong, adik angkatnya berjalan memanggul bangkai kijang sambil melamun, mengenangkan kembali penglihatan yang membuat jantungnya masih tetap berdebar dan tiap kali dia membayangkan Cu Ing, dia tersenyum sendiri. Semenjak terjadinya periatiwa itu, mulailah Thian Sin mendekati Cu Ing yang semakin menarik hatinya itu.

   Dara dusun itu kelihatan manja dan kelihatan seperti jinak-jinak merpati, kalau didekati menjauh malu-malu dan kalau dari jauh mengerling dan senyum-senyum memikat. Melihat keadaan dua orang muda remaja ini, teman-teman mereka, yaitu para pemuda dan gadis dusun sering kali menggoda mereka. Cu Ing digoda teman-temannya dan hal ini semakin menambah rasa cinta yang tumbuh di hatinya terhadap pemuda yang menjadi idaman semua gadis di sekitar Lembah Naga itu. Di dalam hatinya timbul semacam kebanggaan besar karena bukankah Thian Sin terkenal sebagai pemuda perkasa, murid majikan Istana Lembah Naga, bahkan masih keponakan pula, dan juga putera angkat, dan bukankan pemuda ini terkenal amat tampan, gagah dan memikat hati setiap orang wanita? Sebaliknya, dara yang malu-malu dan manja seperti merpati ini,

   Makin lama makin mempesona hati Thian Sin sehingga timbullah rasa cinta asmara dalam hatinya. Cinta pertama seorang pemuda yang pada waktu itu baru berusia enam belas tahun! Bhe Cu Ing adalah seorang gadis yang manis, kembang dusunnya dan keadaannya lebih mampu dibandingkan dengan keluarga gadis-gadis lain karena dia adalah anak tunggal dari Bhe Soan yang dianggap sebagai pemuka atau kepala dari dusun kecil itu. Bhe Soan ini lebih berpengalaman daripada para penghuni dusun, selain mengenal huruf juga sudah banyak merantau ke luar daerah, pandai bertani dan pandai pula mengatur kerukunan dusun kecil itu. Keadaannyapun lebih mampu daripada para petani lain. Dara ini sendiri maklum bahwa dirinya sudah tidak bebas, sejak kecil telah ditunangkan oleh ayahnya dengan pria lain.

   Akan tetapi karena dia belum pernah melihat tunangannya itu, maka hal itu seolah-olah sudah dilupakannya, apalagi ketika dia bertemu dengan Thian Sin dan melihat mata pemuda itu yang penuh kagum dan kemesraan jika ditujukan kepadanya! Dara berusia enam belas tahun ini dengan sepenuhnya jatuh hati kepada Thian Sin, akan tetapi sebagai seorang gadis dusun, dia malu-malu dan setiap kali bertemu dengan Thian Sin, dia tak berani langsung memandang. Hal ini terasa lebih lagi setelah semua teman menggodanya sebagai kekasih Thian Sin! Ada rasa malu, rasa bangga, rasa girang yang dicobanya untuk ditutupi dengan muka cemberut marah tapi bibir tersungging senyuman apabila teman-temannya menggodanya. Karena rasa malu pulalah maka kedua fihak hampir tidak berani saling pandang, apalagi saling bertanya kalau ada orang-orang lain.

   Thian Sin sendiri karena masih "hijau"

   Maka rasa malu membuat dia yang biasanya pandai bicara itu menjadi pendiam apabila bertemu gadis itu di depan banyak orang. Sudah beberapa kali Thian Sin berusaha untuk dapat bicara berdua saja dengan Cu Ing akan tetapi gadis itu tidak pernah bersendirian, selalu ada temannya sehingga sukarlah baginya untuk dapat bicara berdua. Karena sudah tidak dapat menahan dorongan hatinya, maka Thian Sin menjadi nekat dan pada suatu hari, ketika Cu Ing dan beberapa orang temannya pagi-pagi pergi ke danau kecil untuk mencuci pakaian, diam-diam Thian Sin membayangi mereka. Dari tempat sembunyinya dia mengintai ketika mereka mencuci pakaian dan mandi, dengan hati-hati sekali sehingga sekali ini tidak ada seorangpun di antara mereka yang dapat melihatnya.

   "Hi-hi-hik, jangan-jangan ada orang laki-laki yang mengintai kita lagi!"

   Terdengar seorang di antara gadis-gadis itu berkata sambil terkekeh genit. Mendengar ini, semua gadis cepat-cepat menutupi tubuh sedapatnya dengan kedua tangan dan mata mereka yang bening itu terbelalak memandang ke kanan kiri. Mereka tersenyum geli ketika melihat bahwa tempat itu sunyi saja.

   "He-he, Cu Ing sih lebih senang dilihat kalau yang melihat itu si dia!"

   "Ih, jorok kau ! Bukan aku saja yang terilhat, akan tetapi kalian bertiga juga!"

   Bantah Cu Ing dan wajahnya berubah merah sekali.

   "Mana bisa? Aku berani bertaruh pandang matanya hanya ditujukan kepada Cu Ing seorang! Mana yang lain-lain kelihatan?"

   Goda seorang dara yang mempunyai sebuah tahi lalat besar di punggungnya.

   "Cu Ing, kapan sih engkau menikah dengan Ceng-kongcu?"

   Goda pula seorang lain. Mendengar pertanyaan yang sifatnya kelakar akan tetapi setengah serius itu, alis yang kecil hitam melengkung itu berkerut.

   "Aiihh, pertanyaan macam apa yang kau katakan ini? Mana dia mau dengan gadis dusun macam aku? Pula, mana ada fihak perempuan bicara tentang perjodohan?"

   "Hi-hik, siapa tidak tahu bahwa dia sudah tergila-gila kepadamu?"

   "Dan engkau tergila-gila kepadanya?"

   "Siapa sih yang tidak tergila-gila kepada Kongcu itu?"

   Mendengar kelakar teman-temannya, Cu Ing berkata,

   "Sudahlah, mari kita naik, aku akan pulang."

   Gadis-gadis itu sambil tertawa-tawa, lalu mengenakan pakaian bersih. Wajah mereka nampak segar kemerahan setelah mandi air yang dingin itu, terutama sekali, dalam pandangan Thian Sin, wajah Cu Ing nampak seperti sekuntum bunga mawar hutan yang amat indah permai. Ketika empat orang gadis itu sedang berjalan sambil bercakap-cakap dan tertawa-tawa di dalam hutan menuju ke dusun mereka, tiba-tiba Thian Sin muncul dari balik sebatang pohon besar dan dengan suara gemetar karena tegang dia memandang kepada empat orang itu dan berkata,

   "Nona Cu Ing, aku ingin bicara denganmu..."

   Empat orang gadis itu tadi terbelalak dan tercengang, kaget melihat munculnya pemuda yang tadi menjadi bahan percakapan mereka itu secara tiba-tiba dari belakang pohon. Kini mendengar ucapannya, Cu Ing menundukkan mukanya yang berubah merah sekali, sedangkan tiga orang temannya tersenyum-senyum. Seorang di antara mereka lalu mengambil keranjang pakaian dari tangan Cu Ing sambil berkata,

   "Aku pergi dulu, hi-hik..."

   "Hi-hi-hik..."

   "Hi-hik..."

   Tiga orang gadis itu terkekeh-kekeh dan berlari-lari kecil meninggalkan Cu Ing sambil membawakan cuciannya. Cu Ing tadinya menunduk malu, akan tetapi melihat teman-temannya lari, diapun lalu melarikan diri.

   "Nona Cu Ing..."

   Akan tetapi panggilan itu agaknya membuat Cu Ing merasa semakin malu dan dia mempercepat larinya. Akan tetapi, saking gugupnya, kakinya tersandung dan dia tentu sudah jatuh tertelungkup kalau saja Thian Sin tidak cepat-cepat menyambar pergelangan tangan kirinya dengan tangan kanan.

   "Cu Ing, tunggulah sebentar, aku mau bicara denganmu..."

   Kata Thian Sin dan agaknya kelembutan lengan dalam pegangan tangan kanannya itu membuat dia lupa untuk melepaskannya! Cu Ing melihat dengan mata terbelalak kepada tiga orang temannya yang sudah lari jauh dan suara mereka terkekeh genit masih terdengar sayup-sayup. Kemudian, merasa betapa tangan kirinya digenggam orang, dia mencoba untuk menariknya. akan tetapi tidak terlepas. Dia mengangkat muka memandang. Dua pasang mata bertemu agak lama, kemudian Cu Ing cepat-cepat membuang muka ke samping sambil menunduk, mukanya merah sekali dan tubuhnya menggigil, mulutnya menahan senyum dan dia merasa malu sekali!

   "Cu Ing... mengapa kau lari dariku? Aku... aku ingin bicara denganmu, aku... aku ingin mengatakan bahwa aku cinta padamu..."

   Kata Thian Sin sambil masih memegangi pergelangan tangan kiri dara itu. Sukar bagi Thian Sin untuk bicara, akan tetapi lebih sukar lagi bagi Cu Ing yang merasa betapa jantungnya berdegup keras sekali, membuat seluruh tubuhnya gemetar dan kedua kakinya menggigil. Akan tetapi dia memaksa diri.

   "Aihhh... kongcu... mana mungkin itu...?"

   "Cu Ing, aku bersumpah... aku cinta padamu. kau raba jantungku ini..."

   Dia membawa tangan itu menempel dadanya, akan tetapi karena malu Cu Ing menggenggam tangannya.

   "Kongcu... lepaskan aku... ah, aku malu... aku takut..."

   Bisiknya.

   "Cu Ing, mengapa mesti malu-malu kalau memang kita saling mencinta? Aku cinta padamu dan aku tahu babwa engkaupun cinta padaku..."

   "Bagaimana kongcu tahu...?"

   Dara itu mendesah lirih, sambil menundukkan mukanya yang sebentar pucat sebentar merah itu, dan kini, tanpa disadarinya sendiri, jari-jari tangannya membalas genggaman tangan Thian Sin.

   "Tentu saja aku tahu... dari pandang matamu, dari senyummu..."

   "Aku... aku takut, kongcu..."

   "Takut apa? Takut kepada siapa? Ada aku di sini, siapa akan berani mengganggumu, Cu Ing? Aku bersumpah, kalau ada yang berani mengganggu ujung rambutmu saja, aku akan mematahkan tangan orang yang mengganggumu itu!"

   "Aihhh... kongcu..."

   "Cu Ing, jangan kau merendahkan diri sebagai gadis dusun. Biar ada selaksa bidadari turun dari sorga, aku akan tetap memilih engkau seorang. Jangan engkau menyangsikan cintaku terhadapmu, Cu Ing. kau tadi bilang, bahwa fihak perempuan tidak bicara tentang perjodohan, nah, sekarang akulah yang bicara..."

   Sepasang mata itu terbelalak memandang ke arah Thian Sin.

   "Kongcu...! Jadi kau ... kau tadi... kembali engkau mengintai..."

   Wajah yang manis itu menjadi semakin merah. Thian Sin tersenyum dan mengangguk.

   "Aku ingin sekali melihatmu, ingin sekali bertemu dan bicara denganmu..."

   "Ihh, kau nakal... kongcu!"

   Tadinya Cu Ing hendak marah, akan tetapi aneh, begitu dia melihat wajah tampan itu tersenyum, semua kemarahannya lenyap begitu saja dan jantungnya berdebar tegang. Thian Sin sendiri merasakan jantungnya berdebar-debar dan kedua tangannya gemetar ketika dia memegang kedua tangan dara itu. Mereka berdiri berhadapan, saling berpegang tangan dan saling pandang, tidak tahu apa yang harus dilakukan atau dikatakan. Hanya dua pasang mata mereka saja yang saling bicara dengan getaran-getaran sinar yang mersa. Bahkan bicara tanpa kata melalui pandang mata ini saja membuat Cu Ing tidak dapat bertahan terlalu lama karena dia sudah merasa malu sekali. Maka diapun lalu menundukkan mukanya, suaranya gemetar ketika dia bicara.

   "Kongcu... aku... aku mau pulang... teman-teman sudah pulang, nanti ayah marah kepadaku."

   "Mari, kuantar kau pulang, Cu Ing..."

   Kata pula Thian Sin dengan suara yang sama pula gemetarnya. Mereka lalu berjalan sambil bergandeng tangan dan merasa betapa indahnya pagi hari itu. Cahaya matahari pagi seperti menembus dada menyinari seluruh ruang hati mereka yang gembira. Kaki terasa ringan melangkah, tapi hati terasa berat berpisah. Setelah tiba di luar dusun tempat tinggal Cu Ing, Thian Sin menarik kedua tangan gadis itu dalam genggamannya, didekatkan sampai menyentuh dadanya. Karena gerakan ini Cu Ing juga tertarik mendekat dan kembali dua pasang mata saling pandang, agak berdekatan.

   "Cu Ing, aku cinta padamu... katakanlah, apakah engkau juga cinta padaku?"

   Cu Ing tidak kuasa mengeluarkan suara, maka sebagai jawabannya dia hanya mengangguk lemah, kemudian menarik kedua tangannya dari genggaman pemuda itu dan lari memasuki dusun. Agaknya setelah dia terlepas dari pegangan pemuda itu, timbul keberaniannya dan dia menoleh sambil tersenyum.

   "Kongcu... besok... pagi-pagi aku ke danau...!"

   Lalu berlarilah dia dengan senyum masih menghias
(Lanjut ke Jilid 08)
Pendekar Sadis (Seri ke 05 "

   Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 08
bibirnya yang merah. Thian Sin juga tersenyum, mengikuti dara itu dengan pandang matanya, melihat betapa manisnya gadis itu kelihatan dari belakang ketika berlari kecil dengan sikap malu-malu.

   Mulai hari itu, resmilah di antara muda-mudi pedusunan di sekitar Lembah Naga bahwa Cu Ing adalah pacar Thian Sin! Dan semenjak hari itu, sering Thian Sin mengadakan pertemuan berdua saja dengan Cu Ing, yaitu kalau Cu Ing memperoleh kesempatan pergi ke danau untuk mencuci pakaian atau mandi. Akan tetapi karena Thian Sin sendiri adalah seorang pemuda berusia tujuh belas tahun yang masih hijau, maka di dalam pertemuan itu mereka berdua hanya bercakap-cakap dengan lirih dan mesra, dan kemesraan yang terjadi di antara mereka hanya terbatas kepada saling sentuh dan saling genggam tangan saja! Akan tetapi, berahi merupakan pendorong yang kuat dan juga merupakan guru alamiah yang amat pandai. Apalagi Thian Sin juga kadang-kadang mendengar percakapan dari teman-temannya apabila mereka bercanda dan mendengar tentang kemesraan antara suami isteri.

   Oleh karena itu, sentuhan-sentuhan dan saling genggam tangan itu semakin lama dilanjutkan dengan pencurahan kemesraan yang semakin berani dan akhirnya, Pada suatu pagi ketika mereka mengadakan pertemuan berdua saja di dalam hutan, Thian Sin merangkul leher Cu Ing dan mencium pipinya. Mula-mula Cu Ing terkejut, akan tetapi darah remajanya bergolak dan beberapa kali pertemuan berikutnya, mereka sudah berani saling peluk dan saling berciuman dengan mesra dan dengan sepenuh kasih sayang. Mereka tidak tahu betapa ada sepasang mata yang mengintai mereka dari jauh, dengan sinar mata penuh iri hati! Itulah sinar mata dari seorang gadis lain, seorang teman baik Cu Ing, yang diam-diam jatuh cinta pula kepada Thian Sin, hal yang sama sekali tidak mengherankan karena hampir semua gadis di pedusunan itu tergila-gila belaka kepada pemuda yang tampan, gagah dan ramah serta manis budi ini.

   Thian Sin dan Cu Ing tidak tahu betapa gadis itu diam-diam pergi melapor kepada Paman Bhe, yaitu ayah kandung Cu Ing. Keluarga ini memang sudah mendengar kabar angin tentang hubungan puteri mereka dengan Ceng-kongcu, akan tetapi karena mereka itu merasa hormat dan segan kepada keluarga penghuni Istana Lembah Naga, mereka pura-pura tidak mendengar berita itu dan mereka percaya bahwa hubungan itu hanyalah hubungan persahabatan belaka, mengingat bahwa Ceng Thian Sin adalah seorang pemuda yang sopan dan terhormat. Akan tetapi, ketika mendengar laporan gadis itu betapa puteri mereka mengadakan pertemuan berdua saja dengan Thian Sin, bahkan gadis itu melihat betapa mereka saling berpelukan dan berciuman, keluarga Bhe menjadi terkejut dan marah sekali.

   Tak mereka sangka akan terjadi hal seperti itu, karena biasanya, setiap kali pergi dari rumah untuk mencuci ke danau, Cu Ing selalu tentu disertai oleh beberapa orang teman, bahkan gadis yang melapor itu sendiripun menemaninya. Paman Bhe itu bergegas pergi mengunjungi Istana Lembah Naga setelah berganti pakaian yang pantas. Dengan wajah mengandung kecemasan, namun sinar mata penuh penasaran dia lalu mohon bertemu dengan Cia-Taihiap, demikian sebutan Cia Sin Liong yang menjadi majikan istana itu. Tidak aneh bagi keluarga Cia untuk menerima kunjungan seorang petani, karena memang dia selalu membuka hati dan tangan untuk menerima mereka dan membantu semua kesulitan para petani itu. Akan tetapi ketika melihat wajah yang serius dari tamunya itu, dia merasa heran dan juga tertarik.

   "Bhe-twako, ada keperluan apakah engkau pagi-pagi datang berkunjung?"

   Tanyanya dengan suara ramah. Petani itu membungkuk dan memberi hormat dengan sikap sungkan, dibalas dengan penuh keheranan oleh tuan rumah. Pada saat itu, Bi Cu keluar dari dalam dan melihat bahwa suaminya menerima seorang tamu yang dikenalnya sebagai seorang petani dari sebuah dusun tak jauh dari Lembah Naga, nyonya muda inipun ikut pula menyambut. Dia tidak tahu betapa kehadiran nyonya ini membuat petani Bhe merasa semakin sungkan dan takut-takut untuk mengeluarkan isi hatinya.

   "Bhe-twako, agaknya ada sesuatu yang amat penting yang ingin kau sampaikan kepadaku. Hayo, katakanlah, kami siap mendengarkan."

   Suara pendekar itu terdengar lembut dan ramah sekali sehingga berhasil mengusir rasa sungkan dan takut di hati tamunya. Petani Bhe menelan ludah beberapa kali, kemudian dia berkata.

   "Maafkan saya, Cia-Taihiap, saya... saya datang untuk bicara tentang... tentang... Ceng-kongcu..."

   Sin Liong dan isterinya saling lirik, hati mereka merasa heran akan tetapi juga khawatir.

   "Tentang Thian Sin? Apakah yang terjadi?"

   Tanya Sin Liong. Melihat sikap tamunya yang takut-takut, Bi Cu ikut bicara,

   "Ceritakanlah dengan tenang dan jangan takut."

   Suaranya manis dan lembut sehingga kini petani itu merasa hilang takutnya.

   "Harap Taihiap berdua maafkan. Saya terpaksa melaporkan hal ini demi kebaikan kedua fihak. Begini, Taihiap. Seperti Taihiap mungkin sudah mengetahui, saya mempunyai seorang anak perempuan bernama Cu Ing, yang sudah menjelang dewasa. Semenjak kecil, anak saya itu telah kami tunangkan dengan putera keluarga Sung di dusun selatan. Dengan demikian berarti bahwa anak perempuan kami ini telah menjadi calon isteri orang secara sah."

   Sampai di sini, petani itu berhenti bicara, seolah-olah dia masih merasa berat untuk melanjutkannya.

   "Bhe-twako, apa hubungannya penjelasanmu itu dengan Thian Sin?"

   Sin Liong mendesak dan ingin tahu sekali.

   "Taihiap, sudah beberapa hari lamanya ini... terjalin hubungan yang akrab antara Cu Ing dan Ceng-kongcu..."

   Kembali dia berhenti. Sin Liong tersenyum, senyum untuk menutupi hatinya yang mulai merasa tidak enak, lalu katanya ramah,

   "Aih, Bhe-twako, apa salahnya dengan itu? Antara kami dan twakopun terjalin hubungan akrab, bukan? Maka apa salahnya kalau anak-anak kita juga menjadi sahabat yang baik?"

   "Tentu saja, Taihiap, kalau hanya hubungan akrab, tentu keluarga kami merasa amat terhormat dan berterima kasih, akan tetapi..."

   "Akan tetapi bagaimana?"

   Bi Cu mendesak.

   "Mereka itu bukan hanya berhubungan seperti sahabat biasa, melainkan... menurut keterangan beberapa orang saksi, mereka saling mengadakan pertemuan berdua, dan mereka itu bermesraan, berpacaran..."

   "Berpacaran? Apa maksudmu?"

   Sin Liong bertanya kaget dan heran.

   "Menurut keterangan mereka yang pernah memergoki dan melihatnya, mereka itu saling peluk, berciuman... saya khawatir sekali, Taihiap..."

   "Huhhh!"

   Bi Cu mendengus.

   "Hemmm...!"

   Sin Liong menggeram. Suasana menjadi sunyi sekali. Petani Bhe itu menunduk, alisnya berkerut, hatinya gelisah. Sin Liong dan Bi Cu juga menunduk, wajah mereka muram. Sampai lama keadaan menjadi sunyi, sunyi yang amat tidak menyenangkan hati mereka. Kemudian Sin Liong menarik napas panjang.

   "Lalu sekarang, apa yang hendak kau lakukan Bhe-twako?"

   Tanya Sin Liong, suaranya tetap ramah dan halus, sungguhpun kini bercampur nada prihatin.

   "Kami merasa khawatir sekali, Taihiap. Kalau saja anak kami belum mempunyai calon jodoh yang sah! Tentu seandainya dia dapat berjodoh dengan Ceng-kongcu, kami sekeluarga akan merasa terhormat sekali, girang dan bangga sekali. Akan tetapi anak kami telah bertunangan, maka tentu saja kalau hubungan itu dilanjutkan, selain nama keluarga kami akan rusak, juga nama keluarga Taihiap akan terbawa-bawa..."

   "Kami dapat mengerti akan kekhawatiranmu itu, twako. Lalu apa yang hendak kau lakukan sekarang?"

   "Satu-satunya jalan yang dapat kami lakukan adalah mengungsikan Cu Ing ke dusun selatan, ke rumah calon mertuanya dan mendesak calon besan kami untuk segera melangsungkan pernikahan."

   Sin Liong mengangguk-angguk tanda setuju.

   
Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Baik sekali, lakukanlah itu, Bhe-twako, dan tentang Thian Sin, kami yang akan menasihatinya."

   Wajah yang muram dari petani itu kini berseri dan dia bangkit sambil menjura berkali-kali kepada suami isteri itu.

   "Terima kasih, terima kasih... dan maafkanlah keluarga kami Taihiap..."

   "Ah, sebaliknya engkaulah yang harus memaafkan kami, Bhe-twako,"

   Jawab Sin Liong. Setelah petani itu pergi, Sin Liong duduk kembali dan termenung. Juga Bi Cu duduk termenung. Sampai lama keduanya tenggelam ke dalam lamunan masing-masing, kemudian nyonya menoleh, memandang suaminya dan melihat suaminya duduk dengan wajah muram itu dia kemudian berkata lirih,

   "Salahkah dia...?"

   Sin Liong sadar dari lamunannya dan diam-diam dia terkejut karena ternyata bahwa isterinya itupun agaknya sama dengan dia, melamun dan mengenang masa lalu, bukan hanya mengenai hubungan antara mereka sendiri, di waktu masih muda remaja dahulu, akan tetapi juga hubungan-hubungan cinta antara tokoh-tokoh dalam keluarga Cin-ling-pai yang banyak menimbulkan pertentangan.

   "Siapa dapat menyalahkan orang jatuh cinta? Akan tetapi dia masih terlalu muda untuk itu dan dia harus tahu bahwa gadis itu telah menjadi calon isteri orang lain."

   Thian Sin lalu dipanggil. Pemuda ini belum tahu bahwa ayah Cu Ing telah datang mengadu kepada suami isteri pendekar itu, maka dia datang menghadap paman atau ayah angkat itu dengan wajah berseri. Hubungannya dengan Cu Ing mendatangkan cahaya baru pada wajahnya. Melihat pemuda itu berjalan datang dengan wajah tampan berseri, diam-diam Sin Liong merasa sangat kagum dan juga dia harus mengakui bahwa keponakannya ini amat tampan, tiada bedanya dengan mendiang Ceng Han Houw. Teringatlah dia dahulu betapa hampir setiap orang wanita jatuh hati kepada pangeran itu, dan melihat ketampanan Thian Sin, diapun tidak merasa heran kalau pemuda ini menjadi idaman para gadis di dusun sekitar tempat itu. Dengan wajah berseri Thian Sin memberi hormat kepada suami isteri itu dan berkata dengan suara halus dan sikap menarik,

   "Selamat pagi, ayah dan ibu! Ayah memanggil saya, hendak mengutus apakah?"

   Memang semenjak dia mengangkat persaudaraan dengan Han Tiong, pemuda ini menyebut paman dan bibinya itu ayah dan ibu, karena setelah dia menjadi adik angkat Han Tiong, berarti dia telah merjadi anak angkat mereka pula. Sebutan ayah dan ibu yang dilakukan oleh Thian Sin tanpa mereka meminta itu diterima oleh suami isteri ini yang memang menaruh rasa kasihan dan sayang yang kepada pemuda itu.

   "Thian Sin, di mana kakakmu Han Tiong?"

   "Dia sedang membantu para paman bekerja di ladang. Apakah perlu saya panggil Tiong-ko ke sini, ayah?"

   "Tidak usah. Kami memang hendak bicara denganmu. kau duduklah, Thian Sin."

   Mendengar suara yang singkat dan tegas itu Thian Sin merasa kaget juga, akan tetapi sesuai dengan ajaran ayah angkatnya, dia bersikap tenang dan duduk dengan hormat menghadapi suami isteri itu.

   "Thian Sin, apakah yang telah terjadi antara engkau dan Cu Ing, puteri petani Bhe di kaki bukit itu?"

   Pertanyaan yang tiba-tiba datangnya dan sama sekali tak pernah disangka-sangkanya ini mengejutken hati Thian Sin. Akan tetapi dia ternyata telah mampu menguasai perasaannya, dan pada wajah yang tampan itu tidak nampak sesuatu, kecuali sepasang mata yang tajam itu terbelalak dan menatap wajah Sin Liong seperti orang terheran.

   "Tidak terjadi apa-apa antara dia dan saya, ayah."

   Jawabnya, suaranya tenang dan halus sama sekali tidak membayangkan kegelisahan sehingga diam-diam Sin Liong kagum sekali akan ketenangan putera angkatnya itu. Bi Cu yang merasa kasihan melihat putera angkat ini karena dia tahu betapa sakitnya hati kalau diputuskan atau dipisahkan dari orang yang dicinta, bertanya dengan suara lembut,

   "Thian Sin, apakah antara engkau dan Cu Ing ada hubungan cinta?"

   Ketika mendengar ayah angkatnya menyebut nama Cu Ing tadi, Thian Sin sudah menduga bahwa tentu orang tua itu sudah tahu akan hubungannya dengan gadis itu, maka pertanyaan yang lebih langsung dan terbuka dari ibu angkatnya ini tidak mengejutkan hatinya. Akan tetapi ada perasaan malu-malu menyelinap di dalam hati sehingga tanpa disadarinya sendiri, biarpun sikapnya tenang, akan tetapi kedua pipinya yang berkulit halus putih seperti pipi wanita itu menjadi kemerahan! Sejenak dia menatap wajah ibu angkatnya, kemudian dia menunduk dan mengangguk.

   "Benar, ibu,"

   Jawabnya lirih. Sin Liong dan Bi Cu saling pandang. Mereka sebetulnya tidak suka mencampuri urusan cinta antara seorang pemuda dan seorang gadis, apalagi kalau pemuda itu anak angkat mereka sendiri. Akan tetapi terdapat ketidakwajaran dalam hubungan, terpaksa Sin Liong mengeraskan hatinya dan suaranya terdengar tegas ketika dia bicara lagi.

   "Thian Sin, tahukah engkau bahwa Bhe Cu Ing sejak kecil sudah dijodohkan dengan orang lain dan menjadi calon isteri pria lain?"

   Thian Sin terbelalak, mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala.

   "Saya... saya tidak tahu sama sekali tentang hal itu, ayah."

   "Bagus!"

   Sin Liong mengangguk-angguk dan memang hatinya terasa lapang. Orang yang tidak tahu berarti tidak sengaja dan perbuatan yang dilakukan tanpa kesengajaan tak dapat dibilang bersalah atau melanggar.

   "Nah, kalau engkau tidak tahu, sekarang ketahuilah bahwa Bhe Cu Ing adalah calon isteri orang lain, sudah ditunangkan sejak kecil dan oleh karena itu, mulai saat ini juga engkau harus memutuskan hubunganmu dengan dia!"

   Thian Sin terkejut, memandang pendekar itu.

   "Akan tetapi, ayah..."

   "Seorang pendekar tidak akan melakukan hal-hal yang melanggar susila!"

   Bentak Sin Liong dan pemuda itu menundukkan mukanya yang berubah agak pucat.

   "Thian Sin, engkau tidak ingin menjadi seorang pengacau urusan keluarga lain orang, bukan?"

   Bi Cu berkata halus.

   "Cu Ing sudah bertunangan, berarti dia telah mempunyai jodoh yang sah, dia tidak bebas lagi."

   "Seorang pendekar harus selalu tertib menjaga perbuatannya sendiri, harus selalu mempunyai garis kebijaksanaan, tidak akan melanggar peraturan dan akan menjaga namanya dengan taruhan nyawa. Kalau engkau mendekati wanita yang sudah mempunyai calon suami, berarti engkau telah melakukan suatu hal yang busuk dan namamu akan terseret ke dalam lumpur kehinaan. Mengertikah engkau, Thian Sin?"

   Thian Sin tidak mampu bicara lagi, hanya mengangguk-angguk dan dia merasa betapa hatinya perih dan nyeri. Setelah menerima peringatan dan nasihat-nasihat, dia lalu, meninggalkan suami isteri itu dengan tubuh terasa lemah lunglai, diikuti pandang mata suami isteri itu yang merasa kasihan kepadanya. Thian Sin menjadi sedih dan bingung. Apalagi ketika pada keesokan harinya dia mendengar dari para muda di dusun tempat tinggal Cu Ing bahwa gadis itu telah diajak pergi meninggalkan dusun oleh keluarganya, dan kabarnya akan melangsungkan pernikahan dengan tunangannya di dusun sebelah selatan.

   Thian Sin merasa hatinya hancur. Patah hati! Peristiwa ini merupukan pukulan batin ke dua bagi pemuda ini. Pertama, ketika dia melihat ayah bundanya terbunuh, dan ketika dia menangis di depan peti-peti mati dan kuburan ayah bundanya. Rasa duka yang mengandung dendam ini menggores kalbunya, akan tetapi setelah dia mempelajari ilmu kepada Hong San Hwesio, perasaan duka dan dendam itu dapat ditekannya dengan pelajaran-pelajaran kebatinan yang diterimanya dari hwesio itu sehingga hampir tak pernah terasa lagi. Akan tetapi, sekarang, setelah dia menerima pukulan batin untuk ke dua kalinya yang cukup mendatangkan rasa nyeri dan memperbesar perasaan iba diri, maka luka lama itupun berdarah kembali! Dan diapun tak dapat menahan guncangan batin ini dan jatuh sakit!

   Sin Liong dan Bi Cu mengerti akan keadaan anak angkat ini, akan tetapi merekapun tahu bahwa membiarkan anak itu beristirahat dengan tenang akan menyembuhkannya, karena sesungguhnya jasmaninya tidak menderita sakit sesuatu, hanya terpengaruh oleh tekanan batin dan kekecewaan belaka. Akan tetapi, Han Tiong merasa khawatir sekali dan pemuda ini boleh dibilang siang malam menjaga adik angkatnya, merawatnya dengan penuh perhatian dan sikap kakak angkat ini, sikap yang tidak dibuat-buat melainkan yang keluar dari kasih sayang murni, merupakan obat dan penghibur yang manjur bagi Thian Sin karena pemuda ini dapat melihat bahwa ada orang lain yang masih benar-benar amat menyayangnya, yaitu Han Tiong!

   Betapa menyedihkan melihat bahwa yang kita sebut-sebut cinta itu hampir selalu, atau sebagian besar, berakhir dengan kedukaan! Kalau ada seorang muda dan seorang mudi saling jatuh cinta, terdapat suatu daya tarik yang amat kuat di antara mereka. Daya tarik ini antara lain diciptakan oleh kecocokan selera, akan kecantikan atau ketampanan wajah, kecocokan watak masing-masing, lalu dipupuk dan diperkuat oleh pergaulan yang semakin akrab. Semua ini menciptakan daya tarik yang mendorong mereka untuk selalu saling berdekatan karena kehadiran masing-masing merupakan hal yang menyenangkan. Tentu saja semua itu didasari lebih dulu oleh daya tarik antar kelamin yang sudah terbawa semenjak lahir. Kemudian, mereka merasa saling jatuh cinta! Sayangnya, rasa cinta ini selalu ditunggangi oleh nafsu ingin menyenangkan diri belaka sehingga timbullah nafsu ingin menguasai,

   Ingin memiliki, dan yang paling kuat adalah nafsu sex. Setelah demikian, mulailah bermunculan perangkap-perangkap yang akan menjebak kita ke dalam kedukaan, melalui hubungan cinta kasih yang sebenarnya amat suci itu. Dua orang muda-mudi saling mencinta dan penunggangan nafsu ingin menguasai, itulah yang menimbulkan duka kalau mereka berdua berhalangan menjadi suami isteri, atau kalau yang disebut "cinta"

   Mereka itu "gagal"

   Di tengah jalan. Cinta gagal ini, atau lebih jelas hubungan yang terputus ini mendatangkan patah hati yang berarti kedukaan dan kesengsaraan. Apakah kalau mereka sampai dapat menjadi suami isteri lalu cinta mereka itu menjadi kekal dan apakah hal itu dapat mendatangkan kebahagiaan? Dapat kita lihat kepahitan yang nyata di sekeliling kita!

   Betapa banyaknya terjadi perceraian antara suami isteri yang katanya dulu sangat saling mencinta, bahkan yang sudah mempunyai anak-anak! Perceraian yang timbul karena cemburu, karena penyelewengan, karena percekcokan, pendeknya karena KEKECEWAAN masing-masing dalam hubungan antara mereka itu. Lalu ke manakah larinya "cinta"

   Yang mereka ikrarkan bersama dahulu? Lalu ke mana lenyapnya sumpah di antara mereka ketika mereka masih saling "mencinta"? Seolah-olah cinta hanyalah sesuatu yang bersifat sementara saja! Yang bersifat sementara ini sesungguhnya hanyalah KESENANGAN. Hanya mereka yang menikah atas dasar "mengejar kesenangan"

   Sajalah yang akan gagal dalam pernikahan mereka, karena kesenangan yang dikejar itu selalu akan jalan bersama dengan kesusahan, kepuasan dengan kekecewaan.

   Mengejar kesenangan berarti ingin selalu memperoleh kesenangan, sehingga kalau dalam pernikahan itu muncul hal yang tidak menyenangkan, maka pernikahan itupun gagal. Dan itu masih kita beri kedok yang kita namakam "cinta"! Betapa menyedihkan dan betapa pahit kenyataan hidup ini. Han Tiong bukanlah seorang pemuda yang bodoh. Sungguhpun dia pendiam dan tidak ingin mencampuri urusan pribadi adik angkatnya yang disayangnya, namun diapun dapat melihat kenyataan dan tahulah dia bahwa adiknya ini sakit karena duka dan kecewa mendengar Cu Ing dibawa pergi dari dusunnya untuk dikawinkan dengan orang lain, yaitu dengan tunangannya semenjak kecil. Ketika melihat keadaan adiknya sudah mendingan, pada suatu malam dia menemani adiknya itu dan dengan halus dia bertanya sambil lalu.

   "Sin-te, kuharap engkau sekarang sudah kuat dan dapat mengatasi perasaan kecewamu karena urusan itu."

   Thian Sin tidak mengira bahwa Han Tiong tahu urusan hatinya, maka dia memandang kakak angkatnya itu dan bertanya.

   "Urusan apa yang kau maksudkan Tiong-ko?"

   "Urusan apalagi kalau bukan yang membuatmu jatuh sakit ini?"

   "Ahhh...!"

   Thian Sin diam saja dan menunduk, termenung.

   "Sin-te, aku percaya bahwa engkau sungguh-sungguh mencinta gadis itu, bukan?"

   Thian Sin memandang kepada wajah kakak angkatnya, penuh pertanyaan, kemudian dia menjawab,

   "Tentu saja, Tiong-ko. Aku sangat... cinta padanya."

   "Sin-te, aku sendiri pun tidak mengerti tentang cinta, akan tetapi kalau engkau mencinta orang, bukankah engkau ingin melihat dia itu berbahagia?"

   "Tentu saja."

   "Dan menurut wejangan paman Hong San Hwesio, kebahagiaan itu hanya dapat diperoleh melalui kebenaran."

   "Betul."

   "Nah, gadis kekasihmu itu telah bertunangan dengan orang lain sejak kecil, maka kalau dia meninggalkan calon suaminya, berarti dia melakukan hal yang tidak benar. Kalau dia sekarang pergi menikah dengan tunangannya, berarti dia benar dan tentu akan berbahagia. Dan kalau engkau memang cinta kepadanya, Sin-te, bukankah engkaupun akan ikut merasa senang melihat atau mendengar dia hidup berbahagia?"

   Thian Sin sendiri adalah seorang pemuda yang masih hijau dalam urusan cinta, maka mendengar pendapat ini diapun termenung dan bingung. Akhirnya dia hanya menarik napas panjang dan menjawab,

   "Aku sendiri tidak mengerti, Tiong-ko. Hanya saja, perpisahan dengannya mendatangkan duka dan aku merasa kehilangan, merasa sunyi dan sedih sekali."

   Akan tetapi, duka seperti juga suka, hanyalah merupakan permainan pikiran belaka dan sifatnya hanya sementara. Suka maupun duka yang timbul dari kepuasan maupun kekecewaan sebagai akibat tercapainya atau tidak tercapainya hal yang diingin-inginkan, akan lenyap ditelan waktu. Demikian pula dengan kedukaan yang menyerang hati Thian Sin. Beberapa bulan lamanya dia nampak murung dan pendiam, akan tetapi lambat laun rasa duka itu pun makin menipis dan akhirnya seperti lenyap tak berbekas dan dia menjadi seorang pemuda yang riang kembali, selalu berpakaian bersih dan cermat, rapi dan agak pesolek, selalu bersikap ramah dan periang terhadap siapapun juga. Melihat hal ini, hal yang sudah diduganya, diam-diam Sin Liong dan isterinya menjadi gembira kembali. Juga Han Tiong merasa lega melihat adiknya sudah sembuh kembali lahir batin.

   Akan tetapi, segala sesuatu yang menggores batin akan bertumpuk di bawah sadar, dan biarpun nampaknya dua peristiwa hebat itu, kematian orang tuanya dan kehilangan gadis pertama yang dicintanya, sudah lewat dan tidak berbekas, namun sakit hati dan dendam itu mengeram dan menyelinap di dalam tumpukan bawah sadar. Sang waktu berjalan cepat sekali seperti meluncurnya anak panah. Hari berganti hari, bulan berganti bulan dan kini Han Tiong telah menjadi seorang pemuda yang berusia delapan belas tahun, sedangkan Thian Sin telah berusia tujuh belas tahun. Han Tiong nampak semakin matang dan memang dia seorang pemuda yang serius, pendiam, tenang dan penuh kesabaran, welas asih, dengan perasaan yang amat halus dan peka, mudah sekali merasa iba kepada siapapun juga.

   Adapun Thian Sin juga menjadi seorang pemuda yang gerak-geriknya halus dan kini ketampanan wajahnya semakin menonjol. Dia masih merupakan seorang pemuda yang riang, akan tetapi halus dan ramah. Dan biarpun semua wanita muda di dusun-dusun sekeliling Lembah Naga semakin tergila-gila kepada pemuda yang mulai dewasa dan yang amat ganteng ini, namun agaknya pengalamannya dengan Bhe Cu Ing membuat Thian Sin merasa jera untuk berdekatan dengan wanita lagi. Namun hal ini bukan berarti bahwa di lubuk hatinya tidak ada rasa suka terhadap wanita. Sama sekali bukan begitu karena pemuda ini makin besar makin tertarik kepada wanita dan biarpun dia tidak lagi mau berhubungan dengan wanita, namun diam-diam dia sering melirik dan memandang penuh perhatian dan terpesona.

   Mungkin hanya karena tidak ada yang dianggapnya secantik atau semanis Cu Ing sajalah maka sampai sedemikian lamanya Thian Sin belum mendekati wanita lain. Dalam hal ilmu silat, keduanya sudah memperoleh kemajuan pesat sekali. Sin Liong telah mengajarkan Thai-kek Sin-kun, San-in Kun-hoat, juga Cin-ling-kun-hoat yang diciptakan okh mendiang Cia Keng Hong pendiri Cin-ling-pai bahkan mulai menurunkan ilmu Thian-te Sin-ciang yang amat hebatnya itu. Memang pendekar ini belum mengajarkan Thi-khi-i-beng dan juga ilmu mujijat yang didapatnya dari kitab Bu Beng Hud-couw karena kedua ilmu ini dianggap terlalu berbahaya untuk diturunkan secara ceroboh saja. Dia ingin agar dua orang muda itu memperoleh kematangan lebih dulu dalam ilmu-ilmu yang telah diajarkannya,

   Terutama memperoleh inti dari tenaga sakti Thian-te Sin-ciang, baru dia akan memutuskan siapa yang akan pantas mempelajari Thi-khi-i-beng dan Hok-mo Cap-sha-ciang. Kedua orang pemuda itu sama-sama tekun mempelajari ilmu silat dan ternyata keduanya memiliki kelebihannya sendiri-sendiri, sungguhpun keduanya tidak dapat dikatakan kurang atau lemah dalam suatu hal. Thian Sin amat maju dalam ilmu sastera, pandai sekali bersajak dan mengutip ayat-ayat kuno, tulisannya indah sekali dan juga suaranya merdu kalau dia membaca sajak. Selain kelebihan dalam hal sastera, juga dalam hal gerakan ilmu silat, dia lebih cekatan dan lebih indah, lebih mudah menguasai perkembangan suatu gerakan dibandingkan dengan kakak angkatnya. Di lain fihak, Han Tiong memiliki keunggulan dalam hal ketenangan,

   Kematangan dasar gerakan silat, juga di samping ini dia memiliki dasar sin-kang yang lebih kuat dan hal ini berkat ketekunan dan ketenangannya. Dengan kelebihan masing-masing, kalau mereka bertatih silat dan saling serang dalam latihan, Han Tiong kadang-kadang kewalahan menghadapi perubahan-perubahan gerakan adik angkatnya yang selain cepat juga amat bervariasi dan penuh gerak tipu itu, sedangan Thian Sin sendiri kewalahan kalau harus mengadu tenaga dengan lengan kakaknya yang terisi penuh getaran hawa sakti yang amat kuatnya. Pada suatu hari, keluarga Istana Lembah Naga itu mendengar berita yang amat mengejutkan, yaitu bahwa di sebuah dusun tetangga, di ujung lembah yang termasuk daerah Lembah Naga, sejauh kurang lebih tiga puluh li dari Istana Lembah Naga, terjadilah perampokan semalam!

   Harta benda yang tidak banyak dari penduduk dusun itu dirampok, beberapa orang laki-laki dilukai dan lima orang gadis muda dilarikan perampok. Peristiwa seperti ini sebetulnya tidaklah aneh terjadi di dusun-dusun pada jaman itu, akan tetapi yang amat mengejutkan hati para penghuni Istana Lembah Naga adalah terjadi di daerah itu! Padahal, selama mereka menjadi penghuni istana itu, tidak pernah mereka terjadi kejahatan apa pun juga, dan semua orang kang-ouw tahu belaka siapa penghuni Istana Lembah Naga. Sekarang perampok dari manakah berani main gila dan mengganggu daerah yang termasuk daerah kekuasaan Pendekar Lembah Naga dan keluarganya? Sungguh hal ini amat mengejutkan dan dianggap oleh Sin Liong bukan sebagai perampok biasa, melainkan sebuah tantangan untuknya!

   "Ayah, biarkan aku dan Sin-te mengejar mereka!"

   Han Tiong berkata dengan sikap tenang. Sin Liong mengerutkan alisnya. Diam-diam dia mengukur kepandaian dua orang puteranya itu dan yakin bahwa kalau hanya menghadapi perampok-perampok saja, sudah dapat dipastikan Han Tiong dan Thian Sin dapat mengatasi mereka, betapapun lihainya para perampok itu. Apalagi dia amat percaya akan ketenangan Han Tiong yang selalu waspada dan tidak ceroboh. Di samping kepercayaannya yang penuh kepada puteranya dan putera angkatnya, juga inilah kesempatan yang amat baik bagi dua orang muda itu untuk mempraktekkan apa yang selama ini mereka pelajari siang malam dengan penuh ketekunan.

   "Baiklah, kalian berangkat dan selamatkan lima orang wanita yang diculik itu. Tidak usah kalian membawa senjata untuk menghadapi perampok-perampok itu. Akan tetapi ingat, kalian tidak boleh sembarangan membunuh orang. Ada dua kemungkinan pada para perampok itu. Mereka adalah perampok-perampok kecil yang memang belum mendengar nama keluarga kita di sini atau memang mereka itu sengaja memancing-mancing permusuhan. Maka, waspadalah kalian. Nah, berangkatlah sebelum mereka pergi jauh!"

   Han Tiong dan Thian Sin lalu berangkat. Mereka mempergunakan ilmu berlari cepat menuju ke dusun di sebelah selatan itu, di ujung lembah atau di kaki gunung. Thian Sin kelihatan gembira bukan main dan dia mengerahkan ilmunya berlari cepat sampai Han Tiong menegurnya.

   "Hati-hati, Sin-te, jangan menghamburkan terlalu banyak tenaga untuk berlari. Kita masih amat membutuhkan tenaga kalau sudah berhadapan dengan mereka."

   "Akan kuhajar mereka! Akan kuhajar bedebah-bedebah itu!"

   Kata Thian Sin dan sepasang matanya bersinar aneh, dingin dan membuat Han Tiong merasa kaget dan khawatir. Belum pernah dia melihat sepasang mata adik angkatnya bersinar seperti itu selama ini, kecuali ketika adiknya ini sakit karena patah hati setahun lebih yang lalu.

   Karena dua orang pendekar muda dari Istana Lembah Naga ini mempergunakan ilmu berlari cepat, maka tidaklah sukar bagi mereka untuk menyusul gerombolan perampok yang melarikan diri ke sebuah bukit yang penuh hutan itu. Lewat tengah hari, Han Tiong dan Thian Sin sudah menyelinap ke dalam hutan lebat itu dan menemukan jejak gerombolan yang memasuki hutan. Akhirnya di tengah-tengah hutan itu, mereka melihat belasan orang pria yang bersikap kasar berada di luar sebuah pondok yang agaknya memang menjadi tempat perhentian atau persembunyian para gerombolan itu. Orang-orang itu kelihatan lelah, ada yang tertidur pulas di bawah pohon, ada pula yang duduk bersandar batang pohon, ada yang bercakap-cakap.

   Han Tiong memberi isyarat kepada adiknya agar jangan sembrono turun tangan sebelum tahu jelas bahwa mereka adalah gerombolan perampok yang mereka kejar, maka dengan hati-hati, mengandalkan gin-kang mereka yang membuat tubuh mereka amat ringan, keduanya meloncat ke atas pohon dan dari sini berloncatan sampai ke atas wuwungan pondok dan mereka mengintai dan mendengarkan ke sebelah dalam. Pondok itu cukup luas dan di bagian belakang atau dalam, di mana terdapat sebuah kamar yang besar, nampak ada lima orang gadis dusun yang berlutut di sudut, berhimpitan saling rangkul, kelihatan ketakutan seperti sekelompok kelinci terkurung. Akan tetapi yang menarik perhatian dua orang pendekar muda itu adalah seorang dara yang berdiri tegak menghadapi seorang laki-laki setengah tua tinggi besar dan agaknya terjadi pertengaran antara mereka berdua.

   "Tidak, pendeknya, selama ada aku di sini, aku tidak mau melihat mereka diganggu oleh siapapun juga!"

   Demikian dara itu berkata, suaranya lantang dan nyaring, penuh kemarahan dan tantangan. Han Tiong dan Thian Sin memandang dengan penuh perhatian kepada dua orang yang berdiri berhadapan dan bertengkar itu. Dara itu masih amat muda. Paling banyak tujuh belas tahun usianya, berpakaian serba hijau, pakaian yang kasar dan ringkas, yang ketat menutupi tuhuhnya yang padat dan langsing. Tubuh yang membayangkan ketangkasan dan kekuatan. Wajahnya manis, dengan dagu meruncing dan hidung kecil mancung. Biarpun pada saat itu dia sedang marah, namun kemanisan wajahnya tidak berkurang, bahkan nampak gagah dengan sepasang mata bersinar sinar itu.

   Di pinggangnya tergantung sebatang pedang pendek yang gagangnya dihias ronce biru. Rambutnya disanggul sederhana ke atas, diikat dengan ikatan rambut sutera merah. Pendeknya, dara itu nampak gagah dan manis sekali. Sedangkan pria itu, yang usianya mendekati lima puluh tahun akan tetapi tubuhnya yang tinggi besar itu nampak tegap kuat dan menyeramkan. Pakaiannya berbeda dengan pakaian orang-orang yang berada di luar pondok, agak lebih rapi dan bersih, dan di pinggangnya tergantung sebatang golok besar. Agaknya pria ini setengah mabuk karena tangan kirinya masih membawa sebuah guci arak yang tinggal sedikit isinya, sepasang matanya yang lebar agak kemerahan dan diapun memandang kepada dara itu dengan alis berkerut dan sikap marah.

   

Pendekar Lembah Naga Eps 56 Pendekar Lembah Naga Eps 40 Pendekar Lembah Naga Eps 2

Cari Blog Ini