Ceritasilat Novel Online

Asmara Berdarah 16


Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo Bagian 16



Kursi itu menghantam muka si pembesar yang mengeluh dan roboh dengan muka berlumuran darah, karena hidungnya telah remuk kena hantaman kursi itu.

   "Cepat, ambil uangnya!"

   Kata Hui Song. Sui Cin menghampiri lemari itu dan mendobrak daun pintu lemari. Akan tetapi isinya tidak begitu banyak, hanya sepuluh tail emas dan beberapa belas potong perak. Sui Cin mengambil emas dan perak itu, membungkusnya dengan kain sutera yang banyak terdapat dalam lemari. Pada saat itu, terdengar suara ribut-ribut di luar. Hui Song yang sudah berjagajaga di pintu, tidak melihat adanya pengawal datang dan di luar seperti terdengar suara orang berkelahi.
(Lanjut ke Jilid 15)

   Asmara Berdarah (Seri ke 08 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 15
"Cin-moi, cepat kita keluar!"

   Teriaknya dan merekapun berloncatan keluar setelah Sui Cin menyimpan uang rampasan itu.

   Kiranya di ruangan dalam yang menuju ke kamar itu telah terjadi perkelahian yang seru. Kakek katai itu sambil tertawa-tawa telah dikepung dan dikeroyok oleh dua puluh lebih pengawal dan penjaga yang tadi mendengar teriakan majikan mereka. Biarpun para pengepung itu menggunakan segala macam senjata, namun kakek katai yang bertangan kosong itu menghadapi mereka sambil terkekehkekeh. Enak saja dia mengelak dan menangkis semua senjata yang datang kepadanya bagaikan hujan. Beberapa buah senjata bahkan bertemu dengan lenganlengan yang pendek dan kecil dari kakek itu. Akan tetapi jelas bahwa kakek itu tidak mau melukai orang, apalagi membunuh, hanya mempermainkan mereka seperti seekor kucing mempermainkan segerombolan tikus. Melihat kakek itu bermain-main, Sui Cin lalu berseru.

   "Kakek, jangan main-main, mari kita pergi!"

   "Heh-hehheh, kalian sudah selesai?"

   Kata kakek itu dan tiba-tiba saja para pengeroyoknya mengeluarkan seruan kaget ketika tiba-tiba saja kakek yang mereka keroyok itu lenyap seperti berubah menjadi asap dan menghilang. Gegerlah gedung pembesar Su itu, apalagi ketika para penjaga itu memeriksa ke dalam mereka menemukan Su-tikoan pingsan dalam kamarnya dengan hidung remuk sehingga dari hidung yang rusak itu mengucur darah yang melumuri seluruh mukanya.

   Melihat muka berlumuran darah itu, semua orang terkejut dan merasa ngeri, mengira bahwa pembesar itu tentu luka-luka parah pada mukanya. Akan tetapi setelah muka itu dibersihkan, ternyata hanya hidungnya yang remuk. Biarpun demikian, akan tetapi selamanya Su-tikoan akan menjadi orang cacat karena hidungnya hanya akan dapat sembuh dari lukanya, tidak dapat pulih kembali, menjadi hidung yang melesak dan membuat mukanya buruk menakutkan. Dan pengalaman itu ternyata membuat Su-tikoan menjadi ketakutan dan bertobat. Dia hanya mengerahkan pasukannya untuk mencari penjahat-penjahat yang melarikan gadis Coa itu. Juga lurah Coa berusaha mencari puterinya, namun sia-sia karena puterinya telah pergi jauh sekali, ke propinsi lain bersama laki-laki yang dicintanya, yaitu Lo Seng dan membina rumah tangga yang berbahagia,

   Dengan modal uang yang diberikan oleh Sui Cin kepadanya, uang emas dan perak yang dirampas dari dalam lemari Su-tikoan. Setelah melarikan diri dari gedung Su-tikoan, Hui Song, Sui Cin dan kakek itu berlari kembali ke dalam hutan di mana kini telah menunggu Lo Seng dan Lan Kim. Sepertu dapat kita duga, ketika kakek itu menggoda para pengawal di hutan dan Sui Cin menyelamatkan pengantin wanita, Lan Kim keluar dari dalam joli dan digantikan oleh Hui Song dan kini Lo Seng bersama Lan Kim menanti di dalam kuil tua. Mereka berdua menjatuhkan diri berlutut di depan tiga orang penyelamat mereka itu dan akhirnya mereka berdua dinasihatkan untuk pergi jauh ke propinsi lain dan diberi bekal uang yang dirampas dari Su-tikoan. Setelah dua sejoli itu pergi, kakek itu tertawa bergelak.

   "Ha-ha-ha, senang hatiku bahwa urusan ini berakhir dengan baik berkat pertolongan kalian berdua."

   "Ahh, engkau terlalu merendahkan diri, kek. Untuk urusan sepele seperti ini saja, biar tanpa bantuan kamipun engkau tentu akan mampu membereskannya sendiri."

   Sui Cin mencela.

   "Heh-hehheh, belum tentu! Mana aku mampu bergaya menjadi pengantin wanita seperti Hui Song ini? Ha-ha-ha, setidaknya aku dapat bertemu dan berkenalan dengan kalian dua orang muda yang hebat, keturunan ketua Cin-Ling-Pai dan Pendekar Sadis."

   "Locianpwe telah mengenal kami berdua, akan tetapi kami belum mengetahui siapa nama locianpwe yang mulia."

   "Benar, engkau harus memperkenalkan namamu kepada kami, kek."

   "Namaku? Ha-ha, apa sih artinya nama? Hanya sebutan kosong saja. Nama sama sekali tidak menunjukkan isinya, dan kalau mau bicara tentang isi, sekarang perutku kosong dan lapar bukan main!"

   "Jangan khawatir, kek. Aku akan masak makanan untukmu asal engkau suka memperkenalkan nama,"

   Kata Sui Cin sambil mengeluarkan bungkusan-bungkusan kecil dari buntalan pakaiannya. Bungkusan-bungkusan itu terisi bumbu-bumbu masakan.

   "Kau bisa masak?"

   Mendengar pertanyaan yang nadanya tidak percaya dan memandang rendah ini, Sui Cin bangkit berdiri dan bertolak pinggang.

   "Jangan memandang rendah orang sebelum mengujinya, kek. Kalau tidak pandai masak, perlu apa aku membual? Ibuku telah mengajarkan masakan-masakan yang luar biasa, masakan model selatan yang akan membuat lidahmu menari-nari!"

   "Ibumu? Aih, bukankah isteri Pendekar Sadis itu datuk yang pernah berjuluk Lamsin? Ha-ha, Jangan-jangan hanya namanya saja yang besar akan tetapi isinya melompong. Jangan-jangan engkau masak, hasilnya hanya masakan gosong dan pahit!"

   Kakek itu tertawa bergelak.

   "Ha-ha, bocah sombong, tentang masak-memasak, kiranya engkau harus belajar dulu dari Wuyi Lojin (Kakek dari Gunung Wuyi)!"

   "Hemm, dan siapa itu Kakek Gunung Wuyi?"

   "Siapa lagi kalau bukan ini orangnya!"

   Kakek itu menunjuk hidungnya sendiri dengan telunjuknya.

   "Aku bertapa selama puluhan tahun di puncak Gunung Wuyi, dan aku sekarang menjadi seorang kakek, maka apalagi namaku, kalau bukan Wuyi Lojin? Ha-ha!"

   "Huh, engkau seorang pertapa, paling-paling bisanya makan rumput dan daun muda, mana bisa memasak? Mari kita bertaruh. Kalau masakankanku kalah olehmu, biar aku mengangkatmu sebagai guru masak. Akan tetapi kalau masakanku lebih enak, engkau harus memberi hadiah kepadaku."

   "Ha-ha-ha!"

   Kakek itu mengelus jenggot yang panjangnya sampai ke perut itu, nampak gembira sekali.

   "Bagus, coba kau masak untukku, hendak kulihat apakah benar engkau pandai memasak ataukah hanya membual saja. Kalau benar-benar masakanmu lebih enak dari pada masakanku, engkau boleh minta hadiah, sebut apa saja, tentu akan kuberikan padamu!"

   "Benarkah itu? Apa saja yang kuminta akan kau berikan? Song-twako ini menjadi saksi hidup!"

   "Tentu saja selamanya aku tidak pernah bohong."

   "Ah, batal saja, aku tidak jadi masak."

   Kata Sui Cin.

   "Orang seperti engkau ini banyak akalnya, tentu aku akan kalah karena engkau menggunakan akal."

   "Akal bagaimana?"

   Kakek yang mengaku bernama Wuyi Lojin itu mendesak.

   "Bagaimana enaknya, bisa saja engkau bilang tidak enak, tentu saja aku akan kalah!"

   "Ah, tidak mungkin. Perutku lapar begini, kalau ada masakan enak, mana tega aku mengatakan tidak enak? Kalau aku terus makan, berarti enak, kalau tidak enak tentu tidak akan kumakan, padahal perutku lapar sekali."

   "Baik, aku akan mencari bahan masakan!"

   Berkata demikian, Sui Cin meloncat dan sekali berkelebat, gadis itu telah lenyap keluar gua. Kakek itu mengangguk-angguk dan kini, setelah Sui Cin pergi, sikapnya yang tadi jenaka itu berubah serius.

   "Hui Song, ginkang gadis itu hebat sekali. Kabarnya ibunya yang memiliki ginkang istimewa dan ternyata memang benar. Dan dara itu... sungguh hebat. Aku pasti akan jatuh cinta kalau aku sebaya denganmu."

   Wajah Hui Song berubah merah sekali. Tadi dia termenung dan diam-diam menganggap betapa bodohnya Sui Cin. Bertaruh melawan kakek ini apa gunanya? Andaikata menang, apa yang dapat diharapkan dari kakek yang hanya mempunyai satu-satunya pakaian mewah yang menempel di badannya berikut guci arak besar itu? Tak lama kemudian Sui Cin sudah datang lagi membawa sebuah rebung (bambu muda), seekor ayam hutan dan seekor kadal yang gemuk! Hui Song sudah pernah menikmati masakan Sui Cin ketika mereka melakukan perjalanan bersama dan dia tahu bahwa gadis itu memang pandai memasak, bahkan agaknya binatang apa saja dapat disulap menjadi masakan yang lezat olehnya. Biarpun dia belum pernah makan daging kadal, akan tetapi dia percaya bahwa gadis itupun tentu dapat memasak daging binatang itu menjadi santapan nikmat.

   "Kakek, pernahkan engkau makan masak rebung campur hati dan daging naga ditambah kepala dan kaki burung Hong? Dan juga, panggang daging burung Hong muda?"

   Sui Cin bertanya kepada kakek itu sambil melempar rebung, ayam hutan dan kadal yang sudah mati itu ke atas lantai. Hui Song tanpa diperintah lagi segera mencari kayu bakar dan membuat api unggun. Kakek itu memandang terbelalak mendengar nama masakan-masakan aneh itu, tidak mampu menjawab hanya geleng-geleng kepala, lalu menelan ludah dan bertanya,

   "Anak baik, bagaimana mungkin engkau akan memasak daging binatang-binatang suci itu? Mana naganya dan burung Hongnya?"

   Sui Cin tersenyum, mengambil bangkai ayam dan kadal.

   "Inilah burung Hong dan naganya!"

   "Kadal itu? Hihh, menjijikkan! Lebih baik masak daging ayam itu saja!"

   Sui Cin cemberut dan melemparkan dua bangkai binatang itu ke atas lantai, lalu berkata dengan nada suara ngambek,

   "Sudahlah, kalau belum apa-apa dicela, lebih baik aku tidak jadi masak!"

   "Wah, jangan begitu, aku sudah lapar sekali!"

   Kata si kakek terkejut.

   "Biar kau kelaparan, siapa peduli?"

   "Aih, anak baik, jangan marah. Masaklah, masaklah apa saja, hendak kulihat apakah engkau benar-benar pandai masak."

   "Baik, akan tetapi, engkau harus membantuku mencarikan kebutuhan masak yang kuperlukan saat ini."

   "Boleh, boleh! Apa saja?"

   Sui Cin menghitung-hitung dengan jarinya sambil mengerutkan alisnya.

   "Pertama tentu saja adalah panci tanggung berisi air jernih, lalu fetsin, dua jari jahe, kulit jeruk dan bawang. Nah, itulah yang kuperlukan. Cepat, kek, akupun ingin melihat apakah engkau benar-benar memiliki ilmu berlari cepat yang hebat."

   "Tunggu sebentar!"

   Suaranya masih bergema dan kakek itu sudah lenyap dari situ! Sui Cin melongo, juga Hui Song yang sudah kembali membawa kayu bakar itu bengong.

   "Song-ko, dia seperti bukan manusia, seperti iblis yang pandai merghilang saja!"

   "Cin-moi, kenapa engkau mengadakan pertaruhan dengan dia seperti itu? Kalau engkau menang seperti yang kupercaya, lalu apa yang dapat kau minta darinya?"

   Sui Cin tertawa.

   "Song-twako, ke mana larinya kecerdikanmu dan kenapa semenjak bertemu dengan kakek itu engkau kehilangan rasa gembira dan kejenakaanmu? Aku dapat minta diajari ginkangya itu!"
Hui Song mengangguk-angguk, akan tetapi dia mengerutkan alisnya.

   "Kenapa engkau nampak tidak gembira, twako? Engkau tidak seperti biasanya, kocak dan gembira?"

   "Entahlah, Cin-moi, akan tetapi... aku... seperti merasa tidak enak hati semenjak dia muncul..."

   Dan pemuda ini merasa bingung sendiri di dalam hatinya mengapa dia bisa merasa cemburu kepada kakek tua renta itu!

   Melihat betapa Sui Cin bergembira dengan kakek itu, sikap Sui Cin yang demikian akrab, dia merasa cemburu! Padahal dia sendiri maklum bahwa Wuyi Lojin adalah seorang kakek yang sakti dan tidak ada alasan sedikit juga baginya untuk merasa cemburu. Pemuda ini tidak tahu bahwa yang dideritanya bukanlah sekedar cemburu, melainkan iri hati melihat betapa gadis yang dicintanya itu bersikap baik kepada orang lain, walaupun orang lain itu seorang kakek tua renta! Dan hatinya merasa lebih tidak enak lagi mendengar bahwa Sui Cin akan minta diajari ginkang oleh kakek yang sakti itu. Kalau hal ini terjadi, berarti tidak lama lagi dia akan tertinggal jauh oleh Sui Cin dan dia khawatir bahwa kalau sampai terjadi demikian, gadis itu memandang rendah kepadanya. Terdengar suara kakek itu.

   "Hah-hah, sudah dapat semua yang kau butuhkan!"

   Dan tiba-tiba saja dia sudah berdiri di situ, membawa sebuah panci yang terisi air penuh. Juga dia membawa semua bumbu yang dibutuhkan Sui Cin tadi. Sungguh amat mengherankan sekali betapa kakek ini dapat berlari cepat membawa panci terisi air penuh yang nampaknya sama sekali tidak tumpah karena air itu masih penuh sampai ke bibir panci. Dengan girang Sui Cin menerima semua bumbu dan panci berisi air itu, lalu mulailah gadis itu mempersiapkan masakannya, dibantu oleh Hui Song.

   Adapun Wuyi Lojin sendiri lalu duduk bersila menanti di sudut gua, memejamkan mata dan sebentar saja terdengar suara mendengkur! Dari pernapasannya, dua orang muda yang juga memiliki ilmu kepandaian tinggi itu merasa yakin bahwa kakek itu memang benar sudah tidur, maka kembali mereka kagum. Orang yang dapat secara seketika tidur pulas hanyalah orang yang sudah amat kuat batinnnya yang begitu mengosongkan batin segera tenggelam dalam kepulasan. Kepandaian seperti ini hanya dimiliki orang yang sudah mendalam latihannya dalam ilmu samadhi. Sui Cin memang seorang gadis yang ahli dalam hal memasak. Bukan hanya karena ibunya mengajarkan ilmu memasak kepadanya, akan tetapi karena memang gadis ini gemar memasak sehingga dalam perantauannya, ia selalu mempelajari ilmu ini dan memperdalamnya.

   Setiap kali mencicipi masakan yang lezat, umpamanya di dalam sebuah restoran, ia tentu segera menghubungi kokinya dan tidak segan-segan ia mengeluarkan uang untuk membeli resep masakan atau mempelajarinya. Dengan mengumpulkan berbagai cara masakan dari bermacam-macam daerah, akhirnya ia pandai sekali mencampur-campur bumbu sehingga menjadi masakan yang lezat, walaupun yang dimasaknya hanya sayur atau daging seadanya saja. Ia tahu bagaimana caranya menghilangkan bau amis pada daging, membuat daging yang alot menjadi lunak, menghilangkan rasa pahit pada beberapa macara sayur, bahkan membebaskan daging atau sayur dari pengaruh racun. Dengan dibantu Hui Song yang memandang kagum melihat pandainya Sui Cin memasak, tak lama kemudian terciumlah bau sedap ketika masakan-masakan itu matang. Dan sungguh luar biasa sekali, kakek yang tadinya tidur nyenyak mendengkur itu tiba-tiba mengeluarkan suara!

   "Wah, harumnya...! Sedap... sedap..."

   Dan dia langsung saja membuka matanya lalu bangkit berdiri, seperti orang yang tidak pernah tidur saja. Sambil mengucek mata kakek itu memandang dan menghampiri Sui Cin, menelan ludah dan menjilati bibirnya sendiri.

   "Nah, sudah matang, kek. Cobalah masakanku dan aku menantangmu apakah engkau berani mengatakan bahwa masakanmu lebih enak dari pada masakanku!"

   Wuyi Lojin lalu duduk menghadapi dua macam masakan itu. Seperti main sulap saja, dari balik jubahnya yang kedodoran itu dia mengeluarkan sebuah mangkok yang masih baru dan mengkilap dan sepasang sumpit yang terbuat dari gading tua yang mahal! Dan mulailah kakek itu menyumpit masakan itu dan tak lama kemudian nampak dia mengunyah makanan dengan mata meram-melek, jelas sekali nampak dia menikmati masakan yang lezat itu. Hui Song memandang hampir tak pernah berkedip dan kalamenjingnya turun naik. Dia sendiri sedang merasa lapar, maka melihat orang makan dengan demikian lahap dan enaknya, tentu saja seleranya timbul. Sui Cin juga memandang sambil tersenyum girang.

   "Bagaimana, kek? Bagaimana pendapatmu? Bukankah masakanku enak sekali?"

   Sui Cin bertanya tak sabar lagi setelah dua macam masakan itu habis lenyap ke dalam perut kakek katai itu. Sambil mengunyah-ngunyah masakan terakhir, kakek itu mengangguk-angguk, menanti sampai dia menelan makanan itu baru menjawab,

   "Lumayan, akan tetapi aku belum yakin benar kalau masakanmu lebih enak dari pada masakanku. Mana... masih ada lagikah?"

   Dia mengulur tangan memberi panci kosong kepada Sui Cin. Melihat ini, Sui Cin tidak dapat menahan ketawanya.

   "Hihik, kakek curang, kau kira aku tidak tahu isi hatimu? Kau kira aku dapat kau bodohi begitu saja? Kalau tidak lezat, mana mungkin engkau makan begitu lahapnya dan engkau sikat semua sampai habis, sehingga engkau sampai lupa sopan santun, makan sendiri tanpa menawarkan kepada kami berdua yang juga sudah lapar sekali? Cih, dan masih tidak malu untuk menyangkal bahwa masakanku sangat lezat?"

   Ditegur begitu, agaknya kakek itu baru sadar dan dia menoleh kepada Hui Song, lalu terkekeh.

   "Heh-heh-heh, baiklah... tapi mana, apakah masih ada lagi? Jangan kau bohongi aku, aku tahu bahwa masih ada daging panggang yang belum kau hidangkan!"

   Kakek itu mengusap bibir dengan saputangan sutera, kemudian membuka tutup guci arak dan minum arak dengan suara menggelogok. Sui Cin tersenyum.

   "Jadi, engkau sudah mengaku kalah?"

   "Sudah, kau memang anak yang baik dan pandai masak. Mana panggang ayam itu?"

   "Nanti dulu, kek. Kalau kau sudah mengaku kalah, engkau tentu mau memberikan apa saja yang kuminta seperti janji kita, bukan? Ataukah engkau juga tidak malu-malu untuk menjilat kembali ludah yang sudah dikeluarkan?"

   "Heh-heh, anak nakal! Katakan, mau minta apa? Aku hanya punya guci arak ini, boleh kau minta setelah araknya habis kuminum nanti!"

   "Aku tidak butuh guci arakmu, kek!"

   "Apa...?"

   Kakek itu membelalakkan matanya.

   "Anak bodoh, kau tahu harganya guci ini? Guci ini terbuat dari emas murni dan sudah seribu tahun umurnya. Tak ternilai harganya! Juga, segala macam makanan atau minuman beracun kalau dimasukkan ke dalam guci ini akan berubah hitam! Belum lagi kalau dipergunakan sebagai senjata, ampuhnya bukan main!"

   "Biarpun begitu, bukan itu yang kuminta darimu."

   "Hemm, lalu apa yang kau minta? Aku tidak punya apa-apa lagi. Mangkok dan sumpit ini? Ataukah pakaianku? Aih, kurasa engkau tidak begitu kejam untuk merampas sandang panganku!"

   "Bukan! Aku hanya minta agar engkau suka mengajarkan ginkang kepadaku sampai aku dapat bergerak secepat engkau, kek!"

   Kini sepasang mata kakek itu terbelalak dan mukanya agak berubah, dan... aneh sekali, dia menoleh ke kanan kiri seolah-olah merasa khawatir kalau-kalau percakapan mereka terdengar orang lain.

   "Ah, tidak bisa... tidak bisa..."

   "Nah, ketahuan sekarang belangmu!"

   Sui Cin berseru.

   "Sudah menelan habis semua masakan dengan lahap dan enak, lalu lupa janji. Baru begitu saja sudah hendak mengingkari janji, apalagi kalau janjijanji penting!"

   "Wahh... berabe... ssttt. Jangan keras-keras..."

   Dia lalu berbisik.

   "Baiklah, akan tetapi hal ini harus dirahasiakan dan engkau tidak boleh menyebut guru kepadaku."

   "Aku tidak perduli sebutan guru itu asal dapat mewarisi ilmu ginkangmu."

   "Baik, baik... aku bukan orang yang suka mengingkari janji, tapi hati-hati, jangan ketahuan orang lain. Sudah, kesinikan panggang daging itu."

   "Kami sendiripun belum makan, kek."

   "Biarlah, Cin-moi, berikan saja kepada locianpwe. Aku masih mempunyai sisa roti kering,"

   Kata Hui Song, mengeluarkan roti kering dari buntalannya. Sui Cin terpaksa memberikan daging ayam panggang kepada kakek itu yang segera makan lagi dengan lahapnya, matanya meram-melek keenakan tanpa merasa sungkan sedikitpun kepada dua orang muda yang kini makan roti kering untuk mengurangi rasa lapar. Setelah semua daging panggang itu amblas, disusul belasan teguk arak, kakek itu nampak kekenyangan, menutup gucinya dan menggantung gucinya kembali di punggung, mengusap bibir dengan saputangannya yang indah. Mukanya merah segar dan wajahnya berseri memandang dua orang muda di depannya itu.

   "Kalian anak-anak muda yang baik. Tidak rugi aku bertemu dengan kalian. Kalian menjadi sekutu yang baik."

   "Wuyi Lojin, kau sudah berjanji akan mengajarkan ginkang kepadaku."

   Sui Cin memperingatkan, khawatir kalau-kalau kakek yang wataknya ugal-ugalan ini akan kabur setelah makan kenyang. Siapa dapat membayangkan apa yang akan dilakukan oleh kakek aneh ini. Kakek itu mengangguk-angguk sambil kembali melirik ke kanan kiri. Hal ini mengherankan hati Sui Cin dan Hui Song.

   "Kek, kenapa engkau kelihatan takut kalau aku bicara tentang belajar ilmu darimu. Siapa yang kau takuti?"

   "Ssstt... mari kita keluar dari gua dan akan kuceritakan semua kepada kalian,"

   Kata kakek itu dan sekali berkelebat, tubuhnya lenyap dari dalam ruangan gua itu. Sui Cin yang takut kakek itu kabur cepat mengejar, diikuti pula oleh Hui Song. Ternyata Wuyi Lojin duduk di atas batu depan gua, menanti mereka.

   "Nah, di sini kita bicara agar tidak ada yang ikut mendengarkan tanpa kita ketahui. Anak-anak, ketahuilah bahwa kalau tidak ada terjadi sesuatu yang amat hebat, tua bangka seperti aku ini mau apa keluar ke dunia ramai? Tentu kalian tidak pernah mendengar apalagi melihat aku yang hanya tinggal menanti datangnya kematian di dalam tempat pertapaanku di Wuyisan. Akan tetapi, seperti kukatakan tadi, telah terjadi sesuatu yan amat hebat, yang mengancam kehidupan dan keselamatan manusia. Maka, bagaimanpun juga, terpaksa aku harus keluar dari tempat partapaanku dan di sini aku bertemu dengan kalian."

   Hui Song dan Sui Cin terkejut bukan main, saling pandang, kemudian memandang lagi kepada kakek katai ini. Miringkah otak kakek ini? Mereka tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh kakek itu, yang mereka anggap menceritakan hal yang bukan-bukan dan aneh-aneh saja.

   "Apakah yang telah terjadi, kek? Siapa yang mengancam kehidupan dan keselamatan manusia?"

   Kakek itu memandang ke kanan kiri, lalu menarik napas panjang.

   
Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Kalau diingat, memang memalukan sekali. Terjadinya sudah puluhan tahun yang lalu. Kami, sekelompok delapan jagoan yang dahulu menjadi datuk-datuk dunia persilatan, sebelum muncul datuk-datuk seperti See-thian-ong sebagai datuk barat, Tung-hai-sian sebagai datuk timur, Lamsin sebagai datuk selatan dan Pak-san-kui sebagai datuk utara. Kami delapan orang yang merajai delapan penjuru dunia. Ketika itu usiaku baru sekitar tiga puluh tahun. Akan tetapi, tiba-tiba muncullah pasangan Raja dan Ratu Iblis itu!"Kembali kakek katai itu kelihatan gelisah dan memandang ke kanan kiri. Kalau seorang sakti seperti Wuyi Lojin saja kelihatan ketakutan, tentu saja hal ini mendatangkan rasa serem di hati dua orang muda itu sehingga mereka ikut pula menoleh ke kanan kiri.

   "Siapakah mereka itu, kek?"

   Sui Cin bertanya lirih.

   "Raja Iblis itu seorang pangeran aseli yang melarikan diri dari istana. Dia bersama isterinya terjun ke dunia kang-ouw dan segera kami delapan orang jagoan yang menjadi datuk mereka kalahkan secara mutlak, termasuk aku. Kepandaian mereka memang hebat bukah main, mirip iblis-iblis saja mereka itu. Kami delapan orang datuk bersumpah di depan suami isteri iblis itu untuk tidak muncul lagi di dunia kang-ouw, bahkan kami semua telah menyerahkan tanda takluk kepada kami selama hidup. Dengan tanda itu, kami tidak akan berani melawan mereka lagi, dan kalau kami melanggar, maka kami akan dihukum mati menurut sumpah kami. Juga murid-murid kami secara otematis terikat oleh sumpah itu. Kami semua terpaksa setuju karena itulah jalan satu-satunya untuk menebus nyawa kami yang sudah berada di tangan mereka."

   Bukan main hebatnya cerita ini, membuat Sui Cin dan Hui Song melongo. Peristiwa itu tentu terjadi puluhan tahun yang lalu, mungkin ketika orang tua mereka masih kecil, akan tetapi mengapa mereka tidak pernah mendengar cerita itu dari orang tua mereka? Agaknya semua itu terjadi diam-diam dan tidak sampai menghebohkan dunia kang-ouw maka tidak terdengar oleh keluarga mereka. Memang di dunia persilatan terdapat banyak sekali orang-orang sakti yang lebih suka menyembunyikan diri.

   "Jadi selama puluhan tahun ini locianpwe selalu bersembunyi dan bertapa?"

   Tanya Hui Song, tertegun.

   "Benar, aku tidak pernah melihat dunia ramai, bahkan jarang bertemu manusia. Hanya bertemu manusia kalau ada pemburu tersesat sampai ke puncak Wuyisan."

   "Akan tetapi sekarang engkau keluar dari pertapaan, kek."

   "Itulah! Aku tidak dapat menahan diri lagi ketika aku mengetahui bahwa raja dan ratu iblis itu juga keluar! Semenjak mereka memaksa kami bersumpah, merekapun bertapa dan kabarnya bahkan memperdalam ilmu kepandaian mereka yang sudah hebat. Kami mengira bahwa seperti kami, mereka itu mengundurkan diri sampai mati. Akan tetapi ternyata kini mereka keluar! Dan ini berbahaya sekali. Mereka menaruh dendam kepada istana, juga kepada semua pendekar mereka merasa benci. Jadi, dapat kau bayangkan apa yang akan terjadi kalau mereka itu keluar. Mendengar mereka keluar, akupun meninggalkan pertapaanku. Biarlah kalau perlu aku berkorban nyawa, akan tetapi dalam usiaku yang lanjut ini, dalam hari-hari terakhir, aku harus berusaha membendung kejahatan yang akan mereka lakukan."

   "Sudah berapa lama locianpwe meninggalkan pertapaan?"

   "Sudah tiga bulan. Dan selama ini aku menyelidiki jejak mereka. Dan terdengar berita yang amat mengejutkan. Kiranya mereka itu benar-benar telah mulai menghimpun datuk-datuk kaum sesat, bukan hanya untuk membasmi para pendekar akan tetapi bahkan untuk menyerbu istana!"

   "Wahhh... gawat..."

   Sui Cin berseru.

   "Di mana mereka itu, kek?"

   "Gerakan mereka seperti iblis, mana dapat diketahui di mana mereka berada? Akan tetapi, aku mendengar bahwa pada akhir bulan depan para datuk itu, termasuk Cap-sha-kui, akan menghadap mereka di sumber mata air Sungai Huai, di lereng Pegunungan Tapie-san, tak jauh dari sini. Karena itulah aku berada di sini dan kebetulan aku bertemu kalian ketika menyelamatkan nona pengantin. Sungguh girang hatiku karena kalian adalah orang-orang muda perkasa keturunan pendekar-pendekar sakti yang patut menjadi sekutu kami menghadapi iblis-iblis itu. Karena itulah aku tidak dapat menerima sebagai murid walaupun aku akan mengajarkan ginkang kepadamu, Sui Cin. Kalau aku menerimamu sebagai murid, berarti engkau akan terikat pula oleh sumpah kami terhadap kedua iblis itu."

   "Kalau memang sepasang iblis itu benar-benar mengancam keselamatan dunia, kami siap membantumu, locianpwe,"

   Kata Hui Song dengan sikap gagah.

   "Benar, akupun siap membantumu, kek. Iblis-iblis itu sudah sepatutnya dihadapi dan dibasmi. Mereka tentu jahat, apalagi kalau sampai dapat memperalat Cap-sha-kui yang jahat."

   Wuyi Lojin tersenyum geli.

   "Biarpun aku bangga dan kagum terhadap sikap kalian dua orang muda, akan tetapi aku juga merasa geli. Kalian seperti anak-anak ayam mencoba untuk menantang srigala! Akan tetapi semangat kalian itulah yang kita perlukan. Bagaimanapun juga, kita memang harus bersatu menentang kejahatan. Kalau kalian sudah siap membantu, marilah kita pergi melakukan penyelidikan. Akan tetapi kalian harus berhati-hati dan jangan bertindak sendiri-sendiri, harus selalu menurut petunjukku."

   Berangkatlah tiga orang itu menuju ke lereng Tapie-san, mencari sumber air Sungai Huai di mana kabarnya akan dijadikan tempat pertemuan bagi datuk-datuk sesat untuk menghadap Raja dan Ratu Iblis.

   Dusun di kaki Pegunungan Tapie-san itu disebut dusun Kim-ciu-cung, sebuah dusun yang cukup besar karena dusun itu menjadi pusat pasar rempah-rempah yang ditanam oleh para penghuni dusun sekitarnya dan di dusun itulah semua hasil rempah-rempah itu dikumpulkan, dan orang-orang kota banyak yang datang untuk membeli rempah-rempah itu. kemudian dimuatkan gerobak dibawa ke kota.

   Sebuah kedai makan baru dibuka orang. Tidak begitu menarik perhatian karena hanya warung kecil saja yang menyediakan empat buah meja saja dengan beberapa buah bangku. Akan tetapi kalau melihat dua orang penjaganya, orang akan tertarik juga untuk sarapan atau makan siang di kedai ini. Pelayannya hanya seorang saja, seorang pemuda yang berwajah tampan, walaupun agak kaku dalam pakaian pelayan itu. Kasirnya, yang juga Kadang-kadang turun tangan sendiri membantu si pelayan muda kalau kedai itu dipenuhi tamu, lebih menarik lagi. Ia seorang gadis yang amat manis, walaupun dandanannya sederhana seperti orang dusun. Tukang masaknya seorang kakek gundul botak berjenggot panjang sampai ke perut. Mudah diduga siapa mereka. Pelayan muda itu adalah Hui Song, kasir wanita itu Sui Cin dan kakek Wuyi Lojin menjadi tukang masaknya.

   "Jangan kau yang menjadi tukang masak,"

   Kata kakek itu kepada Sui Cin.

   "Masakanmu terlalu aneh dan terlalu enak, bisa membuat orang terheran-heran dan ketagihan, kita jadi repot. Pula, kalau aku yang membantu di depan, orang-orang tentu akan merasa takut selain juga menarik perhatian dan menimbulkan kecurigaan. Masakanmu hanya aku saja yang menikmatinya."

   Kakek itu mengajak Hui Song dan Sui Cin membuka warung nasi dengan menyewa sebuah rumah pondok kecil. Semua ini dilakukan dalam usahanya melakukan penyelidikan, hanya untuk sementara saja menjelang datangnya hari di mana para datuk sesat menghadapi Sepasang Iblis atau Raja Iblis dengan Ratunya.

   Tentu saja kesal rasa hati mereka bertiga ketika pada hari-hari pertama, yang memenuhi warung mereka hanyalah pedagang-pedagang rempah-rempah. Terpaksa mereka melayani mereka yang datang makan, dan yang lebih memuakkan hati Sui Cin lagi adalah omongan-omongan mereka yang jorok ketika mereka melihat bahwa warung itu dilayani seorang gadis yang amat manis. Mereka bukan ingin mencari keuntungan, maka makin banyak orang-orang biasa berdatangan, makin gemas hati mereka dan makin lelah mereka melayani. Bahkan kakek nakal itu, saking jengkelnya kepada orang-orang biasa yang berdatangan makan, sengaja mencampurkan keringat kepada masakannya, bahkan Kadang-kadang dia masak sembarangan saja. Akan tetapi anehnya, para pendatang itu tidak ada yang mengeluh, bahkan memuji-muji bahwa masakan warung itu enak dan pujian ini tentu saja diucapkan sambil melirik dan tersenyum penuh arti kepada Sui Cin!

   "Wah, kek, kalau begini terus aku tidak kuat!"

   Pada suatu malam, sepekan kemudian Sui Cin mengeluh kepada kakek itu.

   "Kalau aku tahu hanya akan dijadikan bahan sikap dan ucapan jorok melayani orang-orang kasar itu, aku tidak sudi. Pula, katanya kau hendak melatih ginkang kepadaku. Kalau setiap hari bekerja seperti ini, kapan kita latihan? Apakah engkau begitu mata duitan hendak mencari untung sebesarnya dari usaha buka warung ini dan menggunakan aku dan Song-twako sebagai tenaga suka rela tanpa bayaran?"

   "Sabarlah, Sui Cin. Kita hanya bersandiwara dan selama beberapa hari ini permainan kita baik sekali sehingga kita sudah dianggap sebagai tukang-tukang warung yang wajar. Dengan begini, pada suatu hari pasti kita akan dapat mendengar tentang mereka, tunggulah saja."

   Benarlah apa yang diucapkan Wuyi Lojin itu. Beberapa hari kemudian, pada suatu pagi, ketika warung itu masih sepi dan tiga orang sedang membuat persiapan, masuklah seorang tamu yang aneh. Dia seorang kakek yang sukar ditaksir berapa usianya, akan tetapi tentu sudah enam puluh tahun lebih. Dan segala-galanya nampak besar dan bulat pada kakek ini. Kepalanya besar bulat, botak licin bagian atasnya, hanya tinggal sedikit rambut tertinggal di bagian belakang kepala yang dikumpulkan menjadi gelung kecil di belakang. Anehnya, rambut di kedua pelipisnya tumbuh panjang kecil seperti ekor tikus berjuntai ke bawah sampai ke dada. Kedua telinganya seperti telinga gajah.

   Mukanya yang seperti bentuk muka arca Ji-lai-hud itu selalu tersenyum ramah. Bajunya yang biru kedodoran itu tidak mampu menutupi dada dan perutnya. Dadanya penuh dengan buah dada seperti wanita, perutnya bulat besar sekali sehingga pusarnya mekar dan menjadi besar pula. Celananya lebar dan sepatunya dari kain putih kekuningan. Ketika memasuki warung kakek gendut ini tersenyum lebar dan membawa sebuah benda aneh. Benda itu adalah kipas yang bergagang besi baja. Agaknya benda ini memiliki tugas ganda. Dapat dipakai untuk mengipas kalau kegerahan, gagangnya dapat dipakai sebagai tongkat dan mungkin saja benda itu dapat dipergunakan sebagai semacam senjata toya. Begitu memasuki warung, hidung kakek itu berkembang kempis mencium-cium seperti seekor anjing mencari jejak.

   "Heh-heh, sedap! Perutku lapar, bisakah aku mendapatkan sarapan di warung ini?"

   Tanyanya kepada tiga orang yang memandang kepadanya. Baru melihat begitu saja, Sui Cin dan Hui Song sudah dapat menduga bahwa tentu tamu ini bukan orang sembarangan, dan agaknya orang ini adalah seorang di antara para datuk yang hendak menghadap Raja dan Ratu Iblis. Maka mereka saling pandang dan bersikap hati-hati.

   "Bisa, bisa..."

   Kata Hui Song sambil menghampiri kakek itu dengan sikap seorang pelayan.

   "Kami ada bubur ayam, bakmi, daging, sayur..."

   "Bubur ayam? Bagus, sediakan semangkok besar!"

   Dan melihat beberapa buah prabot dapur di atas meja, karena baru saja dicuci, di antaranya sepasang sumpit besar yang biasa dipergunakan untuk masak, kakek gendut itu mengambil sepasang sumpit besar itu.

   "Heh-heh, menggunakan sumpit ini untuk makan lebih enak!"

   Wuyi Lojin sudah mempersiapkan bubur ayam satu mangkok besar dan Hui Song cepat membawa bubur ayam yang masih mengepul panas-panas itu kepada tamunya. Kakek gendut itu duduk di atas bangku, akan tetapi bangku itu terlalu kecil untuk tubuhnya yang gendut besar, maka dia lalu pindah duduk di atas meja kecil pendek, mengangkat kedua kakinya ke atas meja dan duduk seperti orang duduk di lantai. Mangkok terisi bubur panas itu diterimanya, sepasang sumpit besar digerakkan dan terdengar suara berseruputan seperti seekor babi kalau sedang makan.

   "Hei, pelayan, tambah lagi buburnya. Tolong cepat sedikit! Bawa saja dua mangkok agar tidak tertunda makanku!"

   Kakek gendut itu berseru dan Hui Song terkejut. Semangkok besar bubur tadi saja sudah cukup untuk dua orang, akan tetapi agaknya kakek gendut ini hanya menuangkannya sekaligus ke dalam perutnya. Bergegas dia menerima dua mangkok lagi dari Wuyi Lojin dan mengantarnya kepada tamu aneh.

   Akan tetapi, sebentar saja dua mangkok inipun disikat habis dalam waktu singkat dan si kakek gendut sudah berteriak-teriak minta tambah lagi. Sibuklah Hui Song berlari hilir-mudik, sibuk pula Wuyi Lojin yang harus melayani permintaan tamu aneh itu. Biarpun tamu mereka hanya seorang saja, akan tetapi karena cara makan tamu itu amat cepat dan terus minta tambah, mereka menjadi sibuk seolah-olah melayani banyak tamu. Setelah menghabiskan belasan mangkok bubur dan kakek gendut masih minta tambah lagi, mulailah Wuyi Lojin mengerutkan alisnya. Juga Hut Song dan Sui Cin melirik dengan alis berkerut dan hati tidak senang. Akan tetapi, yang dilirik oleh tiga orang itu enak-enak saja duduk sambil tersenyum ramah, mengulurkan tangan kiri memperlihatkan mangkok kosong sambil minta tambah lagi.

   "Masih ada buburnya? Bung pelayan, tambah lagi buburnya lima mangkok, juga mi goreng dua kati, masak daging sekati campur sayuran yang masih segar. Dan araknya seguci!"

   Tentu saja mendengar pesanan ini, tiga orang itu menjadi terkejut dan makin heran. Si gendut itu makannya melebihi seekor kerbau!

   "Hati-hati, tanyakan apa dia membawa uang,"

   Bisik Wuyi Lojin kepada Hui Song ketika pemuda ini masuk ke dapur.

   "Kalau dia tidak bayar, bisa bangkrut kita!"

   Akan tetapi Hui Song yang semakin merasa yakin bahwa kakek gendut ini tentu bukan orang sembarangan, merasa sungkan untuk menanyakan hal itu. Tidak demikian dengan Sui Cin. Gadis ini setuju dengan pendapat Wuyi Lojin, maka dari tempat duduknya ia bertanya,

   "Kakek yang baik, pesananmu makanan begitu banyak, harap suka bayar lebih dulu!"

   Ucapan Sui Cin itu wajar dan tidak mengandung penghinaan melainkan jujur dan terbuka, maka kakek gendut itupun tidak merasa tersinggung, melainkan tertawa,

   "Hah-hah-ha! Nona, apakah aku kelihatan seperti orang yang biasanya menyikat makanan tanpa membayar?"

   "Aku tidak menuduh demikian, akan tetapi, karena pesananmu amat banyak sedangkan warung kami kecil saja..."

   "Yaya, warung kecil di kaki gunung, pemiliknya seorang gadis cantik jelita, penjaganya seorang pemuda, ganteng perkasa, tukang masaknya kakek aneh luar biasa! Ha-ha, inilah uangku, apa masih kurang?"

   Berkata demikian, kakek gendut itu mengeluarkan sepotong emas yang beratnya tentu tidak kurang dari satu tail. Tentu saja sepotong emas ini sudah lebih dari cukup untuk membayar makanan, berapapun banyaknya. Karena kehabisah air jernih, Hui Song lalu membawa tong air untuk mengambil air dari sumber di belakang warung. Ketika dia memikul air memasuki warung itu dan lewat dekat si gendut, tiba-tiba kakek gendut itu menggerak-gerrakkan dan mengembang-kempiskan hidungnya seperti tadi, seperti seekor anjing mencium sesuatu. Dia menghentikan makannya, matanya mengikuti Hui Song yang kini menuangkan air ke dalam tong air besar yang berdiri di sudut dapur. Tiba-tiba kakek gendut itu menggerakkan tangannya dan nampak dua sinar putih berkelebat memasuki dapur.

   "Prokk! Prak!"

   Dua batang sumpit besar yang tadi dipakai makan si gendut itu kini tahu-tahu sudah menancap dan membikin retak tongtong air itu. Airnya tentu saja tumpah dan mengucur keluar melalui lubang-lubang retakan tong yang disambar sumpit. Melihat ini, tiga orang itu terkejut dan memandang dengan mata terbelalak.

   "Apa artinya ini? Mengapa engkau melakukan ini?"

   Sui Cin menegur dengan marah. Kakek gendut itu kini sudah menghampiri mereka di dalam dapur dan berdiri tegak sambil memegang tongkat kipasnya dan memandang ke air yang memenuhi lantai dapur. Kemudian dia memandang kepada Wuyi Lojin dan tiba-tiba menudingkan kipasnya ke arah guci arak milik kakek katai itu sambil berkata,

   "Bukankah guci itu guci emas dari Wuyisan? Coba kau kakek katai, pergunakan gucimu untuk menguji apakah air ini beracun seperti yang kusangka atau tidak!"

   Wuyi Lojin terlalu kaget mendengar bahwa air itu beracun sehingga dia tidak memperhatikan betapa si gendut itu mengenal gucinya. Dia membuka tutup gucinya, akan tetapi nampak ragu-ragu.

   "Wah, arakku masih setengah guci..."

   Kakek gendut menyodorkan sebuah panci kosong dan Wuyi Lojin tanpa banyak cakap lagi lalu menuangkan arak dari gucinya ke dalam panci itu. Tercium bau harum dan setelah guci itu kosong, Wuyi Lojin segera menampung air yang tumpah itu ke dalam gucinya. Benar saja, air itu berobah menghitam, tanda bahwa air itu memang benar beracun!

   "Ihh, air ini beracun!"

   Katanya sambil membuang air itu dari gucinya. Dia mambalik untuk mengembalikan araknya, akan tetapi panci itu telah kosong, dan araknya telah habis.

   "Loh, siapa minum arakku, hah?"

   Dia tidak perlu terlalu sibuk menyelidiki karena kakek gendut itu masih kelihatan mengusap bibirnya yang berlepotan arak itu dengan ujung lengan bajunya.

   "Heh-heh, arak baik... arak baik..."

   "Kurang ajar si gendut laknat, kau menghabiskan arakku, ya?"

   Wuyi Lojin marah sekali dan mengambil sikap menyerang. Si gendut juga sudah melangkah mundur setindak dan bersikap hendak melawan. Melihat kedua orang kakek itu hendak bersitegang hanya karena hilangnya arak, Sui Cin berkata,

   "Air beracun itu tentu ada yang membuat!"

   "Benar!"

   Kata Hui Song.

   "Tentu ada yang menaruh racun. Wah, tadi banyak orang mengambil air! Mari kita peringatkan mereka, jangan sampai ada yang menjadi korban!"

   Dua orang muda itu berlari keluar dan dua orang kakek itupun agaknya sadar lalu mengikuti dari belakang. Akan tetapi, ketika mereka tiba di luar warung, mereka mendengar teriakan-teriakan, jeritan-jeritan dan tangis memenuhi dusun itu. Dan nampaklah penglihatan yang mengerikan. Di sana-sini menggeletak orang-orang yang berkelojotan sambil memegangi perutnya, bahkan ada di antara mereka yang sudah tewas tak mampu bergerak lagi. Hui Song cepat meloncat ke depan dan suaranya lantang ketika dia berteriak keras,

   "Saudara-saudara sekalian dengarlah baik-baik! Air sumber itu mengandung racun! Karena itu sebaiknya jangan minum dulu sebelum diperiksa teliti apakah air itu beracun atau tidak. Ingat, jangan ada yang minum dulu, air apapun jangan diminum dulu!"

   Suaranya yang lantang ini menolong banyak orang. Mereka yang sedang mengangkat cangkir untuk minum, tiba-tiba saja mengurungkan niatnya. Akan tetapi ketika diperiksa, yang sudah menjadi korban dan roboh keracunan tidak kurang dari tiga puluh orang banyaknya! Gegerlah dusun itu. Dan tanpa dicegah lagi, para penghuni dusun itu segera mengungsi meninggalkan dusun yang dilanda malapetaka hebat itu. Hanya tinggal beberapa orang saja yang tinggal dan bersama belasan orang ini, Hui Song, Sui Cin, dan dua orang kakek itu segera mengurus jenazah puluhan orang itu. Ternyata racun yang dicampurkan di air itu amat jahat sehingga biarpun kedua orang kakek itu mencoba untuk mengobati mereka yang tadinya belum tewas, percuma saja.

   "Huh, ini seperti bekas tangan Setan Selaksa Racun,"

   Kata kakek gendut setelah memeriksa seorang korban.

   "Siapakah Ban-tok-kwi (Setan Selaksa Racun) itu?"

   Tanya Sui Cin.

   "Seorang di antara Cap-sha-kui (Tiga Belas Setan),"

   Jawab si kakek gundul.

   "Kalau begitu mereka sudah muncul?"

   Wuyi Lojin berseru.

   "Celaka, kita mengintai malah kebobolan."

   "Heh-heh, tua bangka katai dari Wuyisan memang selalu ceroboh!"

   Kata si kakek gendut. Kini Wuyi Lojin memandang dengan alisnya yang panjang berkerut kepada kakek gendut, wajahnya membayangkan kemarahan.

   "Heh, gendut! Engkau licik! Engkau agaknya sudah mengenalku, sudah mengenal guci wasiatku, akan tetapi engkau sendiri menyembunyikan nama. Siapa sih sebetulnya tua bangka gembul gendut ini dan bagaimana kau bisa mengenalku, dan apa kehendakmu datang ke tempat ini?"

   "Ha-ha-Ha-ha, setan pendek, apa benar engkau tidak dapat mengenalku lagi hanya karena tubuhku sekarang sudah gendut? Hei, Ciusian (Dewa Arak), lupakah engkau kepada kipasku?"

   Wuyi Lojin terbelalak, lalu menggunakan tangannya ke depan mukanya dan matanya kini mengincar ke arah wajah si gendut. Dari balik tangannya, dia tidak lagi dapat melihat tubuh si gendut dari leher ke bawah, hanya nampak kepalanya saja dan diapun terkekeh.

   "Heh-hehHeh-heh, kiranya Sansian (Dewa Kipas) benar-benar! Siapa bisa mengenalmu kalau kini tubuhmu rusak seperti itu? Dahulu engkau paling gagah dan tampan di antara Patsian (Delapan Dewa), akan tetapi sekarang engkau menjadi seperti kerbau bengkak hamil! Ha-ha-Ha-ha!"

   Si Dewa kipas juga tertawa bergelak.

   "Dan engkau semakin pendek saja, apakah selama ini engkau tidak tumbuh tinggi melainkan bahkan mengeriput dan mengecil?"

   "Mari kita bicara dalam warung,"

   Kata kakek katai.

   "Dan biarkan semua orang pergi saja dari tempat ini. Tempat ini menjadi terlalu berbahaya bagi orang-orang biasa."

   Mereka lalu menasihatkan kepada belasan orang yang tinggal di situ untuk pergi mengungsi pula, karena mungkin sekali akan muncul banyak datuk-datuk sesat yang amat jahat dan kejam. Agaknya tempat itu memang sudah diincar oleh para datuk untuk menjadi tempat mereka berkumpul, maka sengaja melepas racun untuk mengusir semua penghuni dusun. Empat orang itu lalu memasuki warung dan atas perintah Wuyi Lojin, Hui Song dan Sui Cin menutup semua pintu dan jendela.

   "Sui Cin, engkau mengintai dari belakang dan engkau Hui Song, engkau mengintai dari depan. Kalau nampak orang, beritahu kami."

   Dua orang muda itu menuju ke pos masing-masing. Sui Cin berdiri mengintai dari balik jendela belakang, sedangkan Hui Song berdiri mengintai dari balik pintu depan yang direnggangkan sedikit. Dusun itu kini sunyi sama sekali.

   Tidak ada seekor anjing atau ayampun yang nampak berkeliaran karena binatang-binatang itu sudah mati semua, yang masih hidup dibawa mengungsi oleh para penduduk. Sementara itu, hari telah menjadi siang dan dusun yang kosong itu ditimpa sinar matahari yang cukup hangat. Akan tetapi, penglihatan yang nampak oleh Sui Cin dan Hui Song di luar warung itu amat menyeramkan. Sunyi sekali, tidak ada sesuatu yang hidup. Karena itu, bergeraknya daun-daun yang tertiup angin saja sudah amat menarik perhatian. Dusun yang ramai itu kini berobah menjadi sunyi seperti tanah kuburan. Dua orang kakek itu bercakap-cakap dan biarpun biasanya mereka bersikap kocak bahkan ugal-ugalan, kini mereka terlibat dalam percakapan yang serius dan anehnya, kedua orang kakek itu yang sudah jelas memiliki kesaktian, kini kelihatan seperti orang-orang ketakutan!

   "Sansian, kalau aku tidak keliru sangka, engkau yang selama ini juga bersembunyi dan bertapa, kini keluar tentu dengan alasan yang sama dengan aku, bukan?"

   Si gendut mengangguk dan mengangkat kedua jari kirinya, telunjuk dan jari tengah ke atas.

   "Benar, mereka telah turun ke dunia, atau katakanlah keluar dari neraka dan tentu dunia akan menjadi rusak binasa. Apakah engkau juga mendengar apa yang kudengar di luaran bahwa para datuk sesat akan berkumpul menghadap mereka?"

   Kembali si gendut mengangguk.

   "Karena itulah aku tiba di dusun ini,"

   Katanya.

   "Ketika aku memasuki warung, aku sudah curiga, akan tetapi begitu melihatmu, aku tahu bahwa aku memperoleh teman. Aku makan mempermainkan kalian, akan tetapi ketika pemuda itu membawa air, aku mencium hal yang tidak wajar."

   "Wah, hidung anjingmu kiranya semakin tajam saja,"

   Kata si kakek katai.

   "Apakah selama ini engkau tetap tinggal di Wuyisan dan tidak pernah keluar dari tempat pertapaanmu?"

   Kakek gendut bertanya. Kakek katai mengangguk.

   "Mau apa keluar? Hanya akan menderita penghinaan saja. Setelah secara kebetulan aku keluar dan mendengar desas-desus bahwa mereka juga keluar dari tempat persembunyian mereka, aku merasa panas hatiku dan akupun nekat keluar. Dan engkau sendiri? Kabarnya tinggal di Lembah Sungai Harum?"

   "Benar, aku tinggal di lembah Siangkiang, tempat yang tersembunyi. Akan tetapi aku tidak betah untuk menyendiri di tempat sunyi terus. Aku mulai suka keluar dan merantau, dan untung perutku menjadi gendut sehingga tidak mudah dikenal, apalagi kipasku juga sudah berubah bentuk. Akupun memakai nama Siangkiang Lojin..."

   "Heh-hehheh, kenapa bisa sama? Aku tinggal di Wuyisan dan menggunakan nama Wuyi Lojin, engkau pun menggunakan nama Lojin pula. Apakah enam tua bangka yang lain juga menggunakan nama itu? Bagaimana dengan mereka?"

   Si gendut yang memakai nama Siangkiang Lojin (Kakek Sungai Harum) itu menggeleng kepala.

   "Aku tidak pernah lagi mendengar tentang mereka. Akan tetapi aku mendengar betapa Si Iblis Buta memimpin beberapa orang Cap-sha-kui membantu pembesar korup yang kabarnya kini sudah terbasmi. Akan tetapi dengan munculnya mereka berdua itu, kalau sampai para datuk sesat dikuasai mereka berdua, tentu akan rusak binasa keamanan rakyat."

   "Karena itu, kita harus menyelidiki apa yang akan mereka lakukan. Dan ternyata mereka telah meninggalkan jejak, walaupun mereka telah membunuh puluhan orang di dusun ini."

   "Kakek, apa sih maksud mereka membunuhi orang-orang dusun dengan penyebaran racun dalam air minum?"

   Sui Cin ikut bertanya sambil melanjutkan penjagannya karena hatinya ingin sekali tahu.

   "Dan siapakah kiranya yang melakukan perbuatan keji itu?"

   "Siapa lagi kalau bukan mereka? Ah, perbuatan mereka sekali ini belum berapa hebat. Mereka itu dapat melakukan apa saja, bahkan yang jauh lebih kejam dari pada ini. Dan mereka membunuhi orang-orang dusun itu tentu ada maksudnya."

   Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Yang jelas tentu saja untuk membunuh kalian bertiga yang agaknya sudah mereka curigai,"

   Sambung kakek gendut Siangkiang Lojin.

   "Belum tentu!"

   Kata kakek katai dengan muka berubah gelisah.

   "Kalau mereka menghendaki kami, kenapa yang mereka racuni adalah sumber air? Tidak, tentu mereka itu hendak membikin panik dan takut kepada penduduk sehingga semua penghuni dusun melarikan diri. Keadaan seperti sekarang inilah yang mereka kehendaki, untuk membuat keadaan sekeliling sini menjadi sunyi agar mereka dapat melakukan pertemuan dengan aman dan tidak diketahui orang lain."

   "Hayaaa, tua bangka Ciusian ternyata masih cerdik. Agaknya hawa arak telah mempertajam otakmu. Benar sekali dugaanmu itu. Akan tetapi, tahulah engkau bagaimana kita akan mencari jejak mereka?"

   "Aku tahu. Melalui air."

   "Bagus! Akupun berpikir demikian. Mari kita selidiki."

   "Sssttt..."

   Tiba-tiba Sui Cin memberi isyarat tanpa menoleh, matanya ditujukan keluar pondok warung.

   "Aku melihat berkelebatnya bayangan orang, lima atau enam orang, cepat sekali, di ujung dusun sebelah timur."

   "Aku juga melihat bayangan tiga orang di ujung barat, menuju ke utara,"

   Bisik Hui Song.

   "Benar,"

   Kata Sui Cin pula.

   "Bayangan-bayangan itu menuju ke utara."

   Dua orang kakek itu bergerak cepat, mendekati tempat pengintaian dua orang muda itu, akan tetapi bayangan-bayangan yang bergerak cepat itu telah lenyap. Sampai lama mereka menanti, dan kini dua orang kakek itu ikut mengintai, akan tetapi dusun yang sudah kosong itu sunyi sekali, tidak nampak lagi adanya bayangan lewat di situ. Dan kini senja telah mendatang.

   "Kita harus memberanikan diri mencari jejak mereka sekarang juga sebelum gelap. Siang tadi mereka telah beraksi, membunuh banyak orang, maka kurasa malam inilah penentuan waktu mereka berkumpul."

   Wuyi Lojin yang bersikap sebagai pemimpin rombongan empat orang itu berkata dengan nada mengambil keputusan. Agaknya Siangkiang Lojin juga tidak berkeberatan membiarkan rekannya mengambil sikap memimpin. Dia mengangguk dan mereka berempat lalu berloncatan keluar dengan hati-hati sekali. Setelah mereka berempat mengadakan pemeriksaan dan merasa yakin bahwa di dusun itu memang tidak ada orang lain kecuali mereka berempat, mulailah dua orang kakek sakti itu mengadakan pemeriksaan. Semua saluran air mereka periksa dan ternyata di antara banyak saluran air, hanya satu saluran air yang tidak mengandung racun, yaitu yang mengalir ke utara!

   "Hemm, kalau begitu tepatlah seperti yang dilihat dua orang pembantu muda kita ini, mereka menuju ke utara dan air yang menuju ke sana saja yang bersih dari racun."

   Dengan penuh semangat akan tetapi amat hati-hati, dipimpin oleh Wuyi Lojin mereka lalu bergerak menuju ke utara, menurutkan jalannya saluran air jernih itu. Saluran air itu berlika-liku dan akhirnya terjun ke dalam Sungai Huai yang baru saja meninggalkan sumbernya, jadi masih kecil dan jernih. Dan berhentilah mereka di lembah sungai yang datar, yang merupakan padang rumput yang luas, mereka melihat adanya sebatang bambu tinggi yang puncaknya dipasangi sehelai bendera. Itulah bendera yang amat dikenal oleh Wuyi Lojin.

   Sebuah bendera yang melukiskan dua buah tengkorak disilang tulang-tulang yang menjadi gagang sepasang pedang. Wuyi Lojin dan Siangkiang Lojin nampak pucat dan gelisah. Tentu saja Hui Song dan Sui Cin yang tidak mengenal bendera itu merasa heran, akan tetapi ketika mereka hendak bertanya, dua orang kakek sakti itu sudah menaruh telunjuk di depan mulut, tanda bahwa kedua orang kakek sakti itu amat gelisah, tidak berani sembarangan bergerak, bahkan pernapasan merekapun agaknya ditahan dan tidak sampai terdengar, tanda bahwa mereka berdua itu sungguh tidak ingin ketahuan orang! Tentu saja hal ini membuat dua orang muda itu selain merasa heran, juga merasa ngeri. Kalau sampai dua orang kakek seperti mereka itu ketakutan, tentu ada hal yang amat gawat dan agaknya pemilik bendera itu benar-benar memiliki kesaktian seperti iblis sendiri!

   Malam itu bulan bersinar terang, tidak dihalangi awan. Di angkasa memang ada gumpalan-gumpalan awan hitam, akan tetapi gumpalan-gumpalan awan itu terpisah-pisah dan hanya lewat sebentar saja, sejenak menutupi sinar bulan lalu pergi lagi, membentuk berbagai macam rupa yang menyeramkan. Lapangan rumput itupun nampak terang oleh sinar bulan yang lembut dan penuh rahasia. Akan tetapi, yang nampak hanyalah tiang bendera dari bambu itu saja, dan bendera bergambar sepasang tengkorak yang Kadang-kadang saja berkibar lembut tertiup angin malam yang halus. Empat orang yang mengintai itupun berpencar, dengan hati-hati bersembunyi karena kedua orang kakek itu tadi sudah memesan kepada Hui Song dan Sui Cin agar berhati-hati dan jangan sekali-kali sampai memperlihatkan diri.

   "Mereka itu amat berbahaya, apalagi kalau sedang berkumpul dalam jumlah banyak. Kita datang hanya untuk menyelidiki keadaan dan rencana mereka, bukan untuk melakukan penyerbuan."

   Demikianlah dua orang kakek itu berpesan kepada dua orang muda yang tentu saja dapat memaklumi pesanan itu dan tidak berani sembarangan bergerak. Tiba-tiba, setelah lebih satu jam mereka menanti, terdengar suara jerit tangis seorang anak kecil! Dalam sunyi menegangkan itu, tentu saja suara ini membuat suasana menjadi semakin menyeramkan. Suara anak menangis itu mengaduh-aduh ketakutan, membuat wajah Sui Cin menjadi pucat dan iapun tak dapat menahan lagi perasaan hatinya. Ia bergerak dan biarpun terdengar suara Hui Song.

   "Sshhhh..."

   Mencegahnya, namun Sui Cin tidak mau diam lagi. Tangis anak itu seperti menusuk-nusuk jantungnya. Mana mungkin ia tinggal diam saja kalau ada seorang anak begitu ketakutan dan agaknya terancam bahaya maut? Bagaimanapun juga, ia harus menyelidikinya dan kalau perlu turun tangan menolongnya, apapun yang akan menjadi resikonya. Maka, dengan hati-hati sekali iapun menyelinap di antara pohon-pohon dan batu-batu besar, bergerak cepat menuju ke arah suara tangis anak itu. Melihat ini, Hui Song merasa khawatir sekali dan iapun terpaksa bergerak mengejar. Ketika dia dapat menyusul, dia menangkap lengan gadis itu.

   

Siluman Gua Tengkorak Eps 5 Pendekar Lembah Naga Eps 54 Pendekar Sadis Eps 16

Cari Blog Ini