Ceritasilat Novel Online

Asmara Berdarah 18


Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo Bagian 18



"Desss..."

   Kembali Ratu Iblis memukul dan sekali ini pukulannya mengenai telinga kiri kakek buta itu. Darah kini mengucur keluar dari telinga kiri yang rusak dan tubuhnya terhuyung-huyung. Akan tetapi dia masih dapat bertahan dan tidak roboh! Kembali dia memutar tongkatnya. Sui Cin mengerutkan alisnya. Ia melihat betapa nenek berambut putih itu tersenyum dingin, senyum yang amat keji dan sinar mata yang mencorong itu kini berkilauan seperti mata seekor binatang buas yang haus darah. Penuh kesadisan! Tahulah ia bahwa nenek itu sengaja tidak mau merobohkan lawan, melainkan hendak mempermainkannya lebih dahulu.

   Tiba-tiba suara mendengung itu lenyap dan sungguh hal ini mendatangkan perasaan amat tidak enak dalam hati. Kalau tadi ada suara mendengung-dengung sehingga ia terpaksa harus mengerahkan tenaga sinkang untuk melawan, kini tiba-tiba suara itu lenyap dan telinganya masih saja mendengar suara dengungan itu, seakan-akan selamanya tidak akan mau meninggalkan telinga. Dan perasaan tidak enak ini dapat nampak pada wajah semua orang yang berada di situ dan yang tadipun semua mengerahkan sinkang melawan suara yang menyiksa itu. Sungguh hebat sekali serangan suara Raja Iblis. Agaknya memang benar dugaan Sui Cin. Kini Ratu Iblis itu mempermainkan Siangkoan Lojin yang sudah tidak dapat menggunakan pendengarannya lagi. Wanita itu berloncatan ke sana-sini dan begitu tiba di belakang kakek yang mengamuk ke depan, ia mengirim tamparan.

   Tidak cukup keras untuk mematikan lawan, akan tetapi juga tidak terlalu perlahan karena setiap kali terkena tamparan, tubuh kakek itu terputar-putar dan terhuyung-huyung. Muka kakek itu sudah berlumuran darah. Derah bercucuran dari mulut, bidung, telinga, bahkan kedua matanya menjadi sasaran-sasaran pukulan ringan yang cukup membuat biji mata yang tak dapat melihat itu pecah-pecah dan berdarah. Namun kakek itu dengan semangat pantang mundur melawan terus dengan napas terengah-engah! Yang mengerikan, di antara para tokoh yang berada di kelompok yang menakluk kepada Raja dan Ratu Ibils, terdengar sorak-sorai dan tepuk tangan. Mereka itu nampak beringas, seperti harimau-harimau mencium darah, dan semakin tersiksa Si Iblis Buta, semakin gembira suara mereka bersorak-sorak.

   "Dinda, hentikan main-main itu. Bereskan dia!"

   Kembali terdengar Raja Iblis berkata.

   "Dukkk... Aughhhh..."

   Tubuh Siangkoan Lojin terjengkang dan terbanting jatuh ke bawah batu. Di atas tanah, tubuh itu berkelojotan akan tetapi tongkat hitam kayu cendana masih saja dipegangnya erat-erat. Kakek itu tewas dengan dada pecah dan dengan senjata masih di tangan! Sui Cin menahan napas menahan isak. Dia tahu bahwa kakek buta itu juga seorang datuk sesat yang kejam seperti iblis. Akan tetapi melihat kakek ini tersiksa seperti itu, hatinya menjadi panas dan dia membenci Raja dan Ratu Iblis itu. Akan tetapi ia masih ingat bahwa ia tidak boleh sembarangan menurut perasaan hati terhadap dua orang yang benar-benar memiliki kepandaian amat hebat itu.

   Maka ia menahan diri, sejenak menundukkan muka dan mengumpulkan hawa murni untuk menenangkan batinnya yang terguncang. Ketika ia mengangkat muka lagi, ia melihat betapa kini para iblis Cap-sha-kui dan semua datuk yang tadinya berdiri dengan sikap menentang, di belakang Si Iblis Buta, telah menjatuhkan diri berlutut. Agaknya mereka maklum bahwa setelah suami isteri Kui-kok-pang dan Siangkoan Lojin sendiri tewas di tangan pangeran dan isterinya yang mengangkat diri menjadi Raja dan Ratu Iblis, tidak ada harapan lagi bagi mereka untuk dapat menang. Menentang suami isteri yang amat lihai itu berarti mencari kematian yang mengerikan. Ratu Iblis tersenyum dingin melihat sebelas orang Cap-sha-kui dan dua orang tokoh sesat lainnya berlutut tanda menakluk.

   "Kalian tadi berani menentang kami, dan hal itu saja sudah cukup bagi kami untuk membunuh kalian! Akan tetapi karena kalian telah insyaf dan menyerah, kalian harus bersumpah untuk selamanya tidak akan menentang kami lagi. Bersediakah kalian disumpah?"

   Cap-sha-kui kini tinggal sebelas orang lagi karena suami isteri Kui-kok-pang telah tewas. Mereka adalah datuk-datuk sesat yang amat lihai dan ditakuti, akan tetapi kini mereka maklum bahwa berhadapan dengan dua orang yang memiliki kepandaian amat tinggi. Dan mereka tahu pula bahwa nenek berambut putih itu tidak mengancam kosong belaka. Kalau mereka menolak untuk takluk dan bersumpah, tentu nenek itu tidak akan ragu-ragu turun tangan membunuh mereka semua!

   "Kami bersedia!"

   Serentak mereka menjawab! Nenek itu kini menghadap ke arah suaminya yang masih duduk bersila dan sambil menjura ia berkata,

   "Pangeran, silakan. Saya akan menyumpah mereka."

   Pangeran Toan Jitong membuka matanya dan bangkit berdiri. Tubuhnya yang jangkung nampak semakin tinggi dan Sui Cin memandang penuh perhatian kepada kakek berambut putih ini. Tadi ia mendengar bahwa kakek ini bernama Pangeran Toan Jitong. Hal ini mengingatkan ia akan sesuatu yang membuat dara ini diam-diam merasa jantungnya berdebar dan ia bergidik. Ibunya, yang selama ini ia anggap sebagai seorang wanita gagah perkasa, seorang pendekar wanita yang hebat, kabarnya pernah menjadi seorang datuk sesat di selatan! Dan ibunya itupun she Toan!

   Kakeknya, yaitu ayah dari ibunya yang telah meninggal, bernama Pangeran Toan Suong! Jangan-jangan masih ada hubungan keluarga antara kakeknya, Toan Suong itu dengan Raja Iblis yang mengaku bernama Pangeran Toan Jitong ini. Kalau benar demikian, berarti Raja Iblis masih kakeknya juga! Kakek paman! Mengerikan, pikirnya. Dengan gerakan perlahan dan tenang, kakek berambut putih itu lalu mengeluarkan sebuah tongkat pendek hitam dari pinggangnya. Sebatang tongkat yang panjangnya hanya dua kaki dan dari jauh hanya nampak kehitaman. Kakek itu mengangkat tongkat ke atas kepalanya dengan sikap menghormat sekali. Dengan heran bukan main, Sui Cin melihat betapa Dewa Arak dan Dewa Kipas bersikap hormat pula dan menundukkan muka menghadap ke arah tongkat hitam itu!

   "Kalian semua lihat baik-baik. Tongkat di tangan Raja kalian itu adalah Tongkat Suci, tongkat keramat pegangan para kaisar jaman dahulu, yang sampai sekarangpun masih dianggap suci dan dapat membuka semua pintu di istana kaisar! Pemegang tongkat suci ini berhak menasihati dan menegur kaisar yang manapun juga. Tongkat suci inipun mengandung kekuasaan untuk menghukum siapapun yang bersalah, termasuk kaisar! Oleh karena itu, kalian harus menganggap tongkat ini sebagai tongkat suci dan disaksikan oleh tongkat suci ini kalian diminta bersumpah. Bersediakah kalian?"

   "Kami bersedia!"

   Jawab belasan orang itu yang sudah terpengaruh oleh keterangan Ratu Iblis mengenai tongkat hitam itu.

   "Nah, ikuti kata-kataku!"

   Kata nenek itu, kemudian dengan suara lantang ia mengucapkan kata-kata sumpah sekalimat demi sekalimat yang ditirukan oleh belasan orang itu dengan serempak.

   "Kami bersumpah, bahwa mulai saat ini kami mengangkat Pangeran Toan Jitong dan isterinya menjadi Raja dan Ratu kami. Kami bersumpah akan mentaati semua perintahnya, dan kami siap mengorbankan nyawa untuk membela Tongkat Suci! Kami bersama seluruh murid dan keturunan kami akan selalu menjunjung Tongkat Sakti atau Tongkat Suci, dan akan taat kepada pemilik atau pemegangnya. Kalau kami melanggar, kami rela mati di ujung Tongkat Suci! Sumpah kami disaksikan oleh tongkat suci dan kesaktian tongkat suci akan menghukum kami, biarlah Bumi dan Langit akan mengutuk kami sampai tujuh turunan kalau kami melanggar sumpah!"

   Sui Cin meleletkan lidahnya. Sungguh merupakan sumpah yang amat berat dan diam-diam ia memikirkan keadaan dua kakek sakti yang datang bersamanya ke tempat itu. Seperti itu pulakah sumpah dua orang sakti ini maka kini mereka begitu ketakutan? Kebetulan pada saat itu kakek katai memandang kepadanya dan agaknya kakek itu dapat menangkap pertanyaan di hati Sui Cin itu melalui pandang matanya, karena kakek itu seakan-akan memberi jawaban dengan mengangguk-angguk! Kini Raja Iblis itu menyimpan kembali tongkat hitamnya dan berdiri tegak menghadapi semua datuk sesat yang kini berlutut semua. Di sudut nampak mayat tiga orang yang tadi dikalahkan Ratu Iblis.

   "Kawan-kawan semua, bangkitlah dan dengarkan baik-baik!"

   Kata Ratu Iblis yang agaknya memang menjadi juru bicara suaminya yang mungkin marasa terlalu tinggi untuk bicara sendiri kepada para datuk yang baru saja tunduk kepadanya itu.

   "Toan Ongya sudah puluhan tahun meninggalkan istana, tetapi selama ini kaisar-kaisar yang memimpin kerajaan tidak ada yang becus, bahkan kaisar yang sekarang terlalu muda dan tolol, dipermainkan oleh pembesar-pembesar korup. Oleh karena itu, Toan Ongya mengambil keputusan untuk pulang ke istana dan memimpin sendiri pemerintahan!"

   "Pemberontakan...?"

   Terdengar suara kasar dari tengah rombongan orang-orang yang berdiri itu.

   "Bukan pemberontakan! Melainkan perbaikan. Dengan menggunakan Tongkat Suci, Toan Ongya akan mempergunakan kekuasaannya menyalahkan dan menurunkan kaisar dan mengangkat penggantinya yang cakap. Akan tetapi, karena mungkin akan timbul perlawanan dan pertentangan, kita perlu membina pasukan yang kuat. Untuk itulah kawan-kawan semua dikumpulkan malam ini. Kalian semua diwajibkan untuk menghimpun pasukan-pasukan dan membawa pasukan-pasukan itu untuk dilatih bersama oleh Ongya sendiri."

   "Mengumpulkan pasukan-pasukan tentu diketahui pemerintah dan sebelum dapat dihimpun, tentu pemerintah akan mengirim balatentara untuk menghancurkan kita!"

   Kata pula seorang datuk.

   "Kita harus dapat bekerja secara rahasia. Pasukan itu dikirim serombongan demi serombongan kecil, menuju ke benteng yang sudah tersedia. Ongya memilih benteng di luar tembok besar, di utara. Kalian tentu dapat mencari benteng itu. Tempat itu dahulu merupakan markas dari perkumpulan Jeng-hwa-pang..."

   "Ah, aku tahu..."

   "Aku tahu tempat itu!"
(Lanjut ke Jilid 17)

   Asmara Berdarah (Seri ke 08 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 17
"Akan tetapi tempat itu telah terbakar dan orang-orang Jeng-hwa-pai telah terbasmi!"

   Mendengar suara-suara itu, nenek berambut putih mengangkat tangan kanan ke atas dan suasana menjadi tenang kembali.

   "Kami tahu. Tempat itu kosong dan sunyi, bangunan-bangunannya sudah rusak. Akan tetapi tempat itu amat baik, berada di puncak bukit dan kalau kita membangun kembali benteng itu, akan menjadi markas yang amat baik. Tempatnya di luar tembok besar, jadi pemerintah tentu tidak akan mencampuri. Kita gembleng pasukan yang kita kumpulkan di situ dan pada waktu yang tepat, pasukan kita turunkan melalui tembok besar ke selatan, menuju ke kota raja, bertepatan dengan munculnya Toan Ongya di istana. Pasukan kita itu mungkin tak usah bergerak, hanya untuk memperkuat wibawa saja."

   Nenek itu berhenti bicara dan semua tokoh sesat yang berada di bawah kembali bicara sendiri-sendiri sehingga keadaannya menjadi berisik seperti tawon diganggu dari sarangnya. Sementara itu, Sui Cin melihat betapa Dewa Arak dan Dewa Kipas saling pandang dengan mata terbelalak dan wajah mereka yang biasanya gembira itu nampak gelisah sekali.

   "Kawan-kawan harap tenang! Apakah kalian sudah mengerti dan dapat mentaati perintah pertama tadi?"

   "Akan tetapi, mengumpulkan pasukan membutuhkan waktu..."

   "Kawan-kawan, dengar baik-baik! Toan Ongya sudah memikirkan hal itu pula. Maka, beliau memberi waktu selama tiga tahun. Tiga tahun lagi, tepat pada permulaan musim semi, pada hari Tahun Baru, semua pasukan harus dikumpulkan di luar tembok besar, di benteng kita untuk segera memulai dengan pembangunan benteng dan melatih pasukan. Mengertikah kalian?"

   Semua orang mengangguk dan menjawab bahwa mereka mengerti dan dapat menerima perintah itu.

   Kalau diberi waktu selama tiga tahun, tentu saja mereka akan sanggup mengumpulkan kawan-kawan. Bagaimanapun juga, mereka sudah bosan menjadi golongan hitam yang selalu dimusuhi para pendekar dan selalu dikejar pasukan pemerintah. Kini, di bawah pimpinan suami isteri yang amat sakti itu, mereka ditawari kehidupan lain yang lebih mulia. Kalau sampai perjuangan Pangeran Twa Jitong itu berhasil, tentu mereka akan memperoleh kedudukan tinggi dan mereka dapat hidup mulia dan terhormat seperti para pembesar, bukan seperti sekarang ini. Dan mereka yakin bahwa pemimpin mereka sekarang ini tentu akan berhasil, tidak seperti Liu-thaikam yang hanya seorang pembesar korup saja. Kalau pemimpin sekarang ini berhasil merebut tahta kerajaan, tentu mereka semua akan menjadi pejabat tinggi! Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara keras,

   "Tidak! Tidak boleh begitu! Pangeran Toan tidak boleh memberontak terhadap kerajaan dan menimbulkan perang saudara, sehingga menghancurkan kehidupan rakyat!"

   Berseru demikian adalah Siangkiang Lojin atau San-sian Si Dewa Kipas. Agaknya kakek ini tidak dapat menahan dirinya lagi. Melihat dan mendengar semua yang terjadi di situ, dia merasa khawatir dan penasaran. Hal ini tidak aneh karena di waktu mudanya, kakek ini adalah seorang yang berjiwa patriot, yang selalu condong membela pemerintah dan dia paling anti pemberontakan. Oleh karena itu, walaupun dia sendiri tidak berani menentang Toan Jitong dan isterinya, namun rasa penasaran mendengar persekutuan yang hendak melakukan pemberontakan itu, dia segera melompat keluar dan menegur. Melihat ini, tahulah Wuyi Lojin bahwa tempat persembunyian mereka tak dapat dipertahankan lagi, maka tidak ada lain jalan baginya kecuali keluar dan mendukung pendapat temannya.

   "Benar, Ongya. Tidak baik merencanakan pemberontakan karena akhirnya pemberontakan hanya mendatangkan kehancuran bagi diri sendiri dan perang amat menyengsarakan rakyat!"

   Melihat munculnya dua orang ini, Pangeran Toan Jitong memandang dengan mata mencorong marah. Juga Ratu Iblis menjadi marah sekali ketika mengenal dua orang itu. Ia tidak turun tangan sendiri karena ingin menguji kesetiaan para anak buah baru yang baru saja mengucapkan sumpah. Maka ia menudingkan telunjuknya kepada dua orang kakek yang baru muncul itu sambil berteriak,

   "Kawan-kawan, tangkap dan bunuh dua orang tua bangka tak tahu diri ini!"

   Kebetulan yang dekat dengan San-sian Si Dewa Kipas adalah raksasa pemakan anak kecil yang tadi mereka lihat. Raksasa ini ingin memperlihatkan kesetiaannya dan juga kelihaiannya, maka begitu membalik dia mengeluarkan suara mengggereng seperti seekor binatang buas, dan mulutnya mmyeringai, nampaklah giginya yang besar-besar dan ada taring di ujung mulutnya.

   "Grrrrr... mampuslah!"

   Bentak raksasa itu dan dengan gerakan seperti seekor biruang dia sudah menubruk ke depan dan yang menjadi sasaran kedua tangannnya yang besar-besar berbulu adalah perut gendut San-sian yang tidak tertutup baju itu. Agaknya si pemakan daging manusia ini sudah ngilar melihat gumpalan di perut San-sian yang putih halus itu, maka langsung saja dia menghantam dengan tangan kanan, lalu mencengkeram dengan tangan kiri ke arah perut itu! Semua orang memandang dengan mata terbelalak, maklum akan kehebatan raksasa ini. Akan tetapi, San-sian hanya menyeringai saja, tersenyum lebar dan sama sekali tidak mengelak atau membalas, bahkan menonjolkan perutnya sehingga perut itu mengembung seperti balon ditiup!

   "Bukk! Bung..."

   Suara yang terdengar itu nyaring sekali, keluar dari perut gendut itu seperti sebuah tambur besar ditabuhi. Akan tetapi hebatnya, raksasa pemakan daging manusia itu terpental ke belakang dan hampir saja terbanting! Tentu saja dia menjadi marah sekali. Kekuatannya amat besar dan jarang ada orang mampu menahan pukulan atau cengkeramannya. Akan tetapi, cengkeramannya tadi seperti mengenai bola baja saja, licin dan keras, sedangkan pukulannya membuat tubuhnya malah terpental, seperti orang memukul bola karet yang besar. Kembali dia mengeluarkan gerengan marah dan kini dia tahu bahwa lawannya lihai,

   Maka dia sudah menerjang ke depan, tidak ngawur macam binatang buas seperti tadi, melainkan dengan gerakan-gerakan silat tinggi yang amat berbahaya! Sementara itu, kakek raksasa kedua yang mereka lihat membunuhi orang-orang dusun dengan tongkat kepala harimau tadi, kinipun menerjang Ciu-sian dengan tongkatnya. Agaknya, tidak seperti raksasa pemakan daging manusia, kakek ini sudah dapat menduga bahwa lawannya lihai, maka begitu menyerang dia sudah menggunakan tongkatnya. Gerakannya mantap dan mengandung tenaga yang amat besar. Akan tetapi tiba-tiba dia melongo, karena kakek katai kecil yang dihantam tongkatnya itu mendadak hilang begitu saja! Selagi dia kebingungan, telinganya yang sebesar telinga gajah itu tahu-tahu disentil orang dari belakang, dibarengi suara orang terkekeh.

   "Heh-heh-heh, aku di sini!"

   Kakek raksasa itu membalik dan memutar tubuhnya, lalu menyerang lagi. Akan tetapi kembali Ciu-sian sudah lenyap. Kakek katai ini mempermainkan lawan dengan menggunakan ginkangnya yang memang luar biasa hebatnya itu. Kakek tinggi besar itu seperti seorang anak kecil yang berusaha memukul seekor capung dengan tongkatnya saja, memukul kesana kemari akan tetapi tidak pernah mampu mengenai Ciu-sian. Jangankan mengenai tubuhnya, menyentuh ujung jubahnyapun tidak mampu. Demikian cepat gerakan kakek katai itu ketika mengelak.

   "Wah, mulutmu bau darah dan mayat, bau bangkai, tidak kuat aku!"

   Berkali-kali San-sian mengeluh dan mengejek, membuat raksasa pemakan bangkai itu semakin marah. Dia adalah seorang di antara Cap-sha-kui, seorang yang tadinya memiliki ilmu silat tinggi akan tetapi karena menjadi buronan lalu menyembunyikan diri di dalam hutan dan akhirnya dia berubah seperti seorang sinting atau seekor binatang buas yang suka makan daging mentah, termasuk daging manusia! Akan tetapi, biarpun dia sinting atau buas seperti binatang, dia tidak melupakan ilmu silatnya dan karenanya, dia amat berbahaya.

   Dengan lompatan tinggi, kini raksasa itu menerjang San-sian yang sejak tadi hanya mengelak atau membiarkan perut dan tubuhnya dipukuli. Kini, tiba-tiba saja dia membalikkan tongkat kipasnya, gagang tongkat itu dia sodokkan, menyambut tubuh lawan, menotok ke arah muka di antara alis.

   Itulah serangan yang amat hebat dan berbahaya sekali bagi lawan. Namun, raksasa buas itu menggunakan kedua tangannya, mencengkeram dan menangkis ke arah ujung tongkat, berusaha menangkapnya. Karena itu, terpaksa San-sian menarik kembali tongkatnya sambil mengelak karena tubuh lawan sudah menubruknya seperti seekor singa menubruk domba. Dan kini, pada saat lawannya membalik, dia juga membalikkan senjatanya dan kipas besar itu bergerak meniup ke arah muka si raksasa. Tiupan kipas ini hebat sekali. Datang angin seperti badai yang kekuatannya dipusatkan dan menyambar ke arah muka si raksasa. Tentu saja raksasa itu terkejut sekali, menarik kepala ke belakang dan terpaksa memejamkan matanya karena angin yang menyambar itu amat dahsyat. Saat itu, tongkat membalik lagi dan ujungnya menotok ke arah dada.

   "Dukk..."

   Kakek raksasa mengeluarkan pekik menyeramkan, kedua tangannya mencengkeram ke arah dada sendiri, akan tetapi tiba-tiba dia muntah-muntah dan darah segar yang berbau busuk muncrat-muncrat dari mulutnya. Totokan pada ulu hatinya itu ternyata telah membuat jantungnya pecah.

   Biarpun dia berusaha untuk menyerang lagi, akan tetapi matanya terbelalak dan kini dia terpelanting roboh dan berkelojotan. Kakek raksasa yang suka membunuh dan makan daging anak itu akhirnya tewas dalam keadaan yang amat mengerikan! Sementara itu, raksasa kedua yang menyerang Ciu-sian juga mulai terengah karena sejak tadi dia mengerahkan seluruh tenaganya untuk menyerang secara bertubi-tubi tanpa hasil sedikitpun juga. Ketika Ciu-sian yang selalu mempermainkan lawan itu melihat betapa temannya telah merobohkan musuh, diapun cepat menyemburkan arak dari mulutnya. Semburan arak itu menyerang muka si raksasa yang menjadi bingung menghindar, dan kesempatan itu dipergunakan oleh Ciu-sian untuk menendang ujung tongkat lawan ke samping, lalu menyusulkan pukulan dengan ciu-ouw (guci arak) yang besar itu.

   "Krakk!"

   Robohlah raksasa yang menjadi lawannya itu dengan kepala retak-retak. Tentu saja peristiwa ini mengejutkan sembilan orang Cap-sha-kui yang lain. Tak mereka sangka bahwa dua orang rekan mereka akan roboh dalam waktu sesingkat itu, tidak sampai dua puluh jurus! Dan dalam waktu singkat mereka telah kehilangan empat orang rekan! Pertama-tama adalah suami isteri Kui-kok-pang yang tewas oleh Ratu Iblis sendiri, kemudian dua orang rekan ini tewas di tangan kedua orang kakek aneh yang agaknya menentang Toan Jitong! Kini, Cap-sha-kui (Tiga Belas Iblis) hanya tinggal menjadi Kiu-lok-wi (Sembilan Iblis Tua) saja!

   "Ciu-sian dan San-sian! Berani kalian membunuh para pembantu Toan Jitong ya?"

   Bentak Ratu Iblis dengan nada marah dan penasaran sekali.

   "Maaf, aku melihat si pemakan bangkai ini tadi membunuh seorang anak kecil dan memakan dagingnya. Dia bukan manusia lagi, melainkan iblis busuk yang sudah selayaknya dienyahkan dari muka bumi!"

   Kata Siangkiang Lojin sambil mengipasi perutnya yang gendut dan berkeringat dengan kipasnya.

   "Dan raksasa buas inipun bukan manusia karena tadi aku melihat dia membunuhi banyak orang dusun yang sama sekali tidak berdosa, bahkan dia membunuh anak-anak dengan tongkatnya itu. Maka, ketika dia menyerangku dan aku teringat akan kekejiannya, terpaksa aku membunuhnya!"

   "Tua bangka-tua bangka gila, berani kalian melawan Toan Ongya?"

   Ratu Iblis membentak lagi, menoleh kepada suaminya yang kini berdiri tegak memandang kepada dua orang kakek itu dengan mata mencorong seperti mengeluarkan api.

   "Ha-ha, kami tidak pernah menentang siapa saja, melainkan menentang kejahatan. Seperti tidak tahu saja!"

   Jawab Ciu-sian sambil menenggak arak dari gucinya, sikapnya acuh tak acuh walaupun Sui Cin dan Hui Song yang kini mengintai dengan khawatir itu maklum betapa sebetulnya dua orang kakek itu merasa ketakutan dan jerih terhadap suami isteri di atas batu itu. Melihat sikap dua orang kakek yang jelas menentang itu, tiba-tiba Toan Jitong mengeluarkan tongkat hitamnya dan mengangkatnya ke atas kepala, lalu terdengar bentakannya halus namun berwibawa,

   "Berlututlah kalian semua menghormati Tongkat Suci!"

   Para datuk yang tadinya mengambil sikap bermusuh dan siap menerima dua orang kakek itu, kini tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut menghadap ke arah Toan Jitong yang mengangkat tongkat itu. Hanya tinggal Ciu-sian dan San-sian yang masih berdiri, akan tetapi wajah kedua orang kakek ini berobah pucat dan sikap mereka bingung.

   "Ciu-sian dan San-sian, apakah kalian berani menentang Tongkat Suci dan melanggar sumpah kalian sendiri?"

   Terdengar Raja Iblis atau Pangeran Toan Jitong berkata kepada mereka. Dua orang kakek itu saling pandang, kemudian menghadap ke arah tongkat dan kakek katai yang menjadi wakil mereka itu berkata dengan lirih,

   "Kami tidak berani..."

   Kini Sui Cin melihat betapa wajah yang dingin seperti topeng itu agak tersenyum, menambah seram.

   "Ciu-sian dan San-sian, kalian berdua telah berdosa, berani memperlihatkan sikap menentang kepada kami, bahkan telah membunuh dua orang pembantu kami. Kalian berdosa kepada Tongkat Suci, melanggar janji dan karena itu, kami menjatuhkan hukuman mati kepada kalian. Adinda, laksanakan hukuman itu sekarang juga!"

   Ratu Iblis mengangguk dan nampak girang sekali. Sui Cin dan Hui Song melihat dengan mata terbelalak, apalagi melihat betapa dua orang kakek itu agaknya tidak akan melawan sama sekali, berlutut dengan muka tunduk, agaknya sudah pasrah! Sui Cin yang cerdik itu tadi sudah mencari sepotong kayu dan di dalam keremangan cuaca, kayu itu yang ukurannya sama dengan tongkat suci di tangan Toan Jitong, nampak kehitaman. Ia berbisik ke dekat telinga Hui Song.

   "Kita harus bertindak menolong mereka. Biar kupergunakan akal untuk merampas tongkat iblis itu dari tangannya."

   Setelah membisikkan kata-kata ini, Sui Cin menyelipkan tongkatnya di balik jubah, lalu meloncat keluar, diikuti Hui Song.

   "Tahan dulu..."

   Dengan gerakan yang amat gesit karena memang ginkang dara ini cukup hebat, tahu-tahu tubuh Sui Cin telah berada di atas batu besar, berhadapan dengan Raja dan Ratu Iblis. Hui Song juga meloncat dan tiba di belakang dara itu.

   "Hemm, bocah-bocah bosan hidup! Siapa kalian berani mencampuri urusan kami?"

   Bentak Ratu Iblis marah. Hui Song tidak dapat menjawab. Dia tidak tahu apa yang menjadi siasat Sui Cin. Karena tindakan Sui Cin itu secara mendadak dan dia tidak tahu apa yang akan dilakukan selanjutnya, maka dia diam saja, hanya bersikap waspada dan menyerahkan jawabannya kepada dara itu.

   "Aku mau mengatakan bahwa tongkat suci yang berada di tangan Pangeran Jitong ini palsu!"

   Tentu saja semua orang terkejut bukan main mendengar ucapan ini dan semua muka diangkat, semua mata memandang ke arah gadis yang berani mengeluarkan tuduhan seperti itu. Bahkan Ciu-sian dan San-sian yang tadinya menunduk dan pasrah, kini mengangkat muka memandang dengan mata terbalalak. Apakah gadis itu telah menjadi gila karena gelisahnya? Pangeran Toan Jitong tentu saja marah bukan main. Dengan tongkat masih diangkat tinggi di atas kepalanya, dia melirik ke arah tongkatnya itu, lalu barkata, suaranya agak keras, tidak sehalus tadi,

   "Anak perempuan gila, apa yang kau katakan itu? Siapakah kamu?"

   "Ibuku adalah she Toan, ayah dari ibuku adalah Pangeran Toan Suong..."

   Sui Cin memperkenalkan diri.

   "Gadis itu puteri Pendekar Sadis! Dan pemuda itu putera ketua Cin-Ling-Pai! Bunuh mereka!"

   Kini orang-orang dari Cap-sha-kui mengenal Sui Cin dan Hui Song dan mereka berteriak-teriak.

   "Tenang!"

   Tiba-tiba Pangeran Toan Jitong berseru sambil mengangkat tongkat di atas kepalanya. Suasana menjadi tenang dan pangeran itu memandang tajam kepada Sui Cin.

   "Mendiang Toan Suong adalah kakakku! Jadi engkau ini cucunya? Apa hubungannya kakekmu itu dengan tongkat suci ini?"

   Sui Cin merasa mendapat hati dan iapun berkata dengan suara lantang.

   "Tongkat Suci adalah sebuah tongkat keramat hadiah yang amat mulia dari kaisar sendiri. Tongkat itu diberi nama Cengthian Hekliong (Naga Hitam Naik ke Langit) dan menjadi semacam tekpai atau tanda kekuasaan seseorang di istana. Yang menerima tongkat itu adalah mendiang kakekku, dan benda keramat itu diwariskan kepadaku. Maka, kalau kini muncul tongkat yang lain, benda itu adalah palsu! Yang aseli berada bersamaku!"

   Tentu saja ucapan Sui Cin ini semua ngawur saja, walaupun pada saat itu sempat membikin kaget dan bingung semua orang, termasuk Hui Song, Wuyi Lojin dan Siangkiang Lojin. Sikap gadis itu sedemikian meyakinkan sehingga Pargeran Toan Jitong sendiri mengerutkan alisnya dan matanya terbelalak. Demikian pula isterinya.

   "Tongkat ini adalah Tongkat Suci yang aseli! Tongkat Sakti yang aseli dan selamanya berada di tanganku. Mana mungkin palsu?"

   Kata pangeran itu sambil memandangi tongkatnya.

   "Sebagai cucu tunggal mendiang kakek Pangeran Toan Suong, tentu saja aku dapat mengenal mana palsu mana aseli. Yang aseli berada di tanganku,"

   Katanya dengan lantang. Pangeran Toan Jitong mengerutkan alisnya dan semua orang yang hadir saling pandang dengan bingung.

   "Bocah lancang, perlihatkan tongkatmu agar kuperiksa apakah omonganmu itu benar!"

   Bentaknya.

   "Boleh, akan tetapi akupun ingin melihat tongkatmu apakah bukan palsu seperti kuduga! Tidak boleh orang mempergunakan tongkat palsu untuk mengelabuhi begini banyak orang!"

   Tadinya pangeran tua itu ragu-ragu, akan tetapi lalu teringat bahwa seorang dara seperti Sui Cin ini akan dapat berbuat apakah terhadap dirinya? Sekali serang saja dara itu akan roboh tewas.

   "Baik, mari kita saling memeriksa tongkat masing-masing!"

   Katanya mengulurkan tongkat hitam itu. Sui Cin juga mencabut kayu dari pinggangnya. Sambil menerima sodoran tongkat pangeran itu dengan tangan kiri, ia menyerahkan tongkatnya sendiri. Dengan sikap pura-pura memeriksa lebih teliti tongkat hitam yang ternyata berat itu, mundur dua langkah, lalu tiba-tiba dara itu meloncat jauh!

   "Hei, kembalikan tongkatku!"

   Pangeran Toan Jitong terkejut sekali dan marah, tangannya bergerak hendak mengejar. Akan tetapi kini Hui Song baru mengerti siasat apakah yang dipergunakan oleh temannya yang bengal itu dan langsung saja dia membantu. Melihat pangeran itu hendak mengejar, dia lalu membentak.

   "Perlahan dulu!"

   Dan tanganya sudah menusuk ke arah perut orang itu. Bukan sembarang tusukan karena jari-jari tangannya sudah terisi oleh tenaga Thian-te Sin-ciang sepenuhnya dan dia menusuk dengan jurus San-in Kun-hoat yang cepat dan halus. Melihat serangan yang tenaga sinkangnya dapat dia rasakan kehebatannya ini, Pangeran Toan Jitong menggerakkan tongkat yang diambilnya dari tangan Sui Cin tadi untuk menangkis.

   "Krekkk..."

   Tongkat yang sebetulnya hanya sepotong dahan yang diambil Sui Cin tentu saja tidak dapat bertahan ketika bertemu dengan tangan Hui Song. Tongkat pendek itu hancur berkeping-keping dan tahulah Pangeran Toan Jitong bahwa dia telah ditipu mentah-mentah oleh gadis yang agaknya memang hendak merampas tongkat suci itu.

   "Plakk..."

   Sebuah tamparan yang aneh dan tiba-tiba datangnya mengenai pundak Hui Song. Untung pemuda ini masih dapat membuang tubuh ke belakang sehingga yang terkena tamparan hanya pundaknya. Akan tetapi ini cukup membuatnya terpelanting. Sementara itu, Ratu Iblis yang juga baru tahu bahwa suaminya diakali orang, kini mengejar Sui Cin dengan kemarahan memuncak.

   "Berikan tongkat itu!"

   Teriaknya dan tangannya diulur ke depan, mencengkeram ke arah tengkuk Sui Cin.

   "Hihhh..."

   Sui Cin bergidik ketika merasa betapa tengkuknya diserang hawa dingin. Ia mempercepat gerakannya, berjungkir balik ke samping dan serangan itu luput. Sui Cin sudah meloncat ke atas cabang pohon dan mengangkat tongkat hitam itu tinggi di atas kepalanya.

   "Berani kau melawan tongkat suci ini?"

   Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Bentaknya kepada Ratu Iblis ketika wanita itu hendak menyerangnya lagi. Aneh, tiba-tiba saja nenek itu menjatuhkan diri berlutut menghadap ke arah Sui Cin yang berdiri di atas cabang pohon, tidak berani berkutik.

   "Hayo kalian semua berlutut!"

   Bentak Sui Cin lagi.

   "Beri hormat kepada Tongkat Suci!"

   Para datuk sesat itu mula-mula menjadi bingung. Akan tetapi mereka teringat akan sumpah mereka dan karena kini tongkat itu berada di tangan gadis itu, terpaksa mereka lalu menjatuhkan diri berlutut, walaupun hati mereka meragu dan bingung. Sementara itu, Pangeran Toan Jitong masih hendak mengejar Sui Cin, akan tetapi Hui Song selalu menghalangi dan menyerangnya, membuat Raja Iblis itu semakin marah. Melihat ini Sui Cin berseru,

   "Hayo berlutut! Kau juga, Pangeran Toan Jitong..."

   Akan tetapi pangeran itu sama sekali tidak mau mentaatinya, bahkan kini sambil mendesak Hui Song, dia berkata,

   "Dinda, bangkit dan bantu aku menangkap bocan itu, merampas kembali tongkatku!"

   Nenek itu mengeluarkan seruan nyaring dan tubuhnya mencelat ke arah Sui Cin. Kaget bukan main gadis itu.

   "Krakkk..."

   Batang yang tadi dijadikan tempat ia berdiri patah-patah, akan tetapi untung ia sudah meloncat turun lebih dulu sehingga terhindar dari bahaya maut. Kini ia harus berloncatan menjauh karena nenek itu mengejarnya dengan rambutnya yang putih itu riap-riapan seperti ular-ular hidup, amat mengerikan.

   "Wuyi Lojin dan Siangkiang Lojin, apakah kalian akan berlutut sampai tua? Tongkat sudah berada di tanganku, kalian tidak perlu berlutut lagi kepada Toan Jitong! Bantulah aku dan Hui Song!"

   Mendengar teriakan Sui Cin, baru kedua orang kakek itu tahu mengapa dara itu melakukan hal yang demikian berani dan aneh. Baru mereka sadar bahwa kini mereka tidak berarti melanggar sumpah kalau melawan Raja dan Ratu Iblis, karena bukankah Tongkat Suci sudah pindah tangan? Akan tetapi mereka berdua maklum bahwa sampai kinipun, mereka bukanlah lawan Raja Iblis. Maka mereka segera meloncat dan San-sian sudah menerjang Raja Iblis membantu Hui Song yang kewalahan. Kipasnya mengebut dengan serangan dahsyat.

   "Hemm..."

   Pangeran Toan Jitong menghardik dan kedua tangannya mendorong. Dari kedua tangan itu keluar hawa pukulan yang dahsyat, bukan main, bahkan ketika kedua telapak tangan pangeran itu saling bersentuhan, nampak sinar berkilat seperti ada api bernyala! Akibatnya, Hui Song dan San-sian terdorong dan terpelanting! Bukan main kagetnya kakek gendut itu.

   "Mari..."

   Serunya kepada Hui Song. Sementara itu, Sui Cin menjerit ketika tiba-tiba lengan kirinya terlibat rambut putih yang panjang! Akan tetapi pada saat itu, Ciu-sian menyemburkan arak ke arah muka nenek berambut putih dan sekali tangannya mengebut selagi nenek itu mengelak, rambut-rambut itu putus dan lengan Sui Cin bebas.

   "Lari..."

   Teriak pula Ciu-sian kepada Sui Cin.

   Sui Cin dan Hui Song cepat meloncat dan melarikan diri, disusul oleh dua orang kakek yang menjaga di belakang dengan senjata masing-masing, yaitu tongkat kipas dan guci arak. Tentu saja Pangeran Toan Jitong dan isterinya tidak mau membiarkan mereka melarikan diri begitu saja dan mereka berdua mengejar! Gerakan Toan Jitong dan isterinya sungguh amat cepat dan yang dapat mengimbangi kecepatan lari mereka hanya Sui Cin dan tentu saja kakek katai, maka Sui Cin lalu memegang tangan Hui Song untuk dibantunya agar larinya lebih cepat, sedangkan kakek katai memegang ujung tongkat kipas kakek gendut untuk ditariknya. Namun, biarpun kini mereka dapat berlari lebih cepat, tetap saja mereka dapat disusul!

   "Sui Cin, cepat buang tongkat itu ke dalam jurang di kiri sana!"

   Teriak Ciu-sian kepada Sui Cin. Gadis yang cerdik ini maklum akan maksud kakek itu, maka sambil mengangkat tongkat hitam itu tinggi-tinggi, dara itu berteriak ke belakang.

   "Toan Jitong, lihat tongkatmu melayang ke jurang dan lenyap di sana!"

   Ia melemparkan tongkat itu tinggi-tinggi ke arah jurang. Tongkat itu melayang di bawah sinar bulan.

   "Tongkatku..."

   Kakek berambut putih itu menjerit dan diapun cepat meloncat ke arah jurang, agaknya hendak mencari tongkatnya. Melihat ini, Ratu Iblis tidak berani melakukan pengejaran sendirian saja. Dua orang kakek itu terlampau lihai, apalagi dibantu dua orang muda yang tak boleh dipandang ringan.

   Selain itu, iapun harus membantu suaminya mencari Tongkat Suci karena tongkat itu amat penting bagi mereka, untuk menundukkan dan menguasai semua datuk sesat. Maka, wanita itupun menghentikan pergejaran dan ikut turun ke dalam jurang. Empat orang itu mempercepat lari mereka dan kini dipimpin oleh Wuyi Lojin atau Ciu-sian yang sengaja mengambil jalan berlika-liku agar tidak dapat disusul oleh musuh. Biarpun tidak kelihatan ada yang mengejar mereka, namun mereka tidak berani berhenti sebelum pagi. Raja dan Ratu Iblis itu terlalu berbahaya, apalagi setelah mereka dibantu oleh para datuk sesat. Setelah malam berganti pagi, barulah kakek katai itu berhenti di sebuah lereng bukit. Pagi itu hawanya dingin di lereng bukit, akan tetapi tetap saja San-sian sibuk mengipasi perutnya yang basah oleh peluh. Kakek gendut ini mengomel panjang pendek.

   "Wah, wah, untung aku tidak mempunyai anak cucu. Kalau punya, malam tadi sungguh merupakan bagian riwayat hidupku yang akan memalukan anak cucu. Lari terbirit-birit seperti anjing tua diancam cambuk. Ha-ha-ha!"

   Ciu-sian juga tertawa.

   "Masih mending dari pada mati konyol disiksa Ratu Iblis. Aku si tua bangka ini sudah tidak berdaya dan sudah pasrah menanti maut. Eh, gendut, apa kau kira kita masih akan dapat menikmati sinar matahari pagi mengusir kabut ini kalau dua orang muda ini tidak turun tangan menyelamatkan kita dengan akal mereka?"

   "Ha-ha, memang mereka ini mengagumkan sekali! Dan ilmu silat mereka pun hebat. Aku ingin sekali mengambil mereka ini sebagai murid-muridku. Bagaimana pendapatmu, katai?"

   "Enak saja kau ngomong! Aku yang terkena getahnya engkau yang mau menikmati hasilnya! Aku yang susah payah menemukan mereka dan kamu yang enak-enakan saja mengambil mereka sebagai murid? Mana ada aturan macam ini?"

   Kakek gendut menghentikan senyumnya, menyeringai dan alisnya berkerut.

   "Hai, katai! Kau berani menghalangi kehendakku?"

   "Tentu saja, habis kau mau merampas muridku! Kau kemarin sudah mencuri arakku, itu bisa dimaafkan antara teman. Akan tetapi mencari murid? Nanti dulu, ya!"

   "Wah, kalau aku mengambil mereka menjadi murid, lalu engkau mau apa?"

   Bentak si kakek gendut, kini melotot.

   "Boleh, asal engkau dapat mengalahkan aku lebih dulu!"

   Si kakek katai membantah, ngotot. Keduanya kini berdiri berhadapan dengann mata sama-sama melotot, dengan pasangan kuda-kuda.

   Si gendut hendak membusungkan dada, akan tetapi apa daya perutnya yang terlalu gendut itu mendahului dada sehingga yang membusung bahkan perutnya. Sebaliknya, si katai yang hendak membusungkan dadapun tidak mungkin karena dadanya kerempeng, makin dibusungkan makin kempis! Keduanya seperti dua ekor ayam aduan berlagak, siap untuk saling serang. Melihat ini Sui Cin tersenyum geli, akan tetapi Hui Song mengerutkan alisnya karena pemuda ini khawatir kalau-kalau dua orang kakek itu saling gempur dan akibatnya bisa hebat. Hanya Sui Cin yang agaknya sudah dapat menangkap watak kedua orang kakek sakti itu, yang kelihatan ayem saja, bahkan gembira karena ia tahu bahwa ia hendak diberi suguan tontonan yang hebat kalau sampai dua orang kakek sakti itu mengadu ilmu.

   "Kau mau apa?"

   Bentak si gendut.

   "Kau mau apa?"

   Bentak si katai.

   "Heiii! Kalian punya apa? Aku sih apa-apa mau!"

   Tiba-tiba Sui Cin berseru sambil maju menghampiri kedua orang kakek itu. Tentu saja ucapan dara ini membuat kedua orang kakek yang sudah saling tantang seperti dua orang anak kecil memperebutkan kembang gula itu menjadi bingung, saling pandang dan seperti lupa bahwa mereka tadi sudah saling tantang.

   "Punya apa? Kau mau apa?"

   Kata kakek katai bingung.

   "Aku tidak punya apa-apa!"

   Kakek gendut juga menjawab ragu. Sui Cin terkekeh menutupi mulutnya dengan punggung tangan.

   "Hihik, kalian ini kulihat seperti dua orang badut wayang sedang melawak!"

   "Aku ingin mengambil kalian menjadi murid!"

   Kata si gendut.

   "Tidak bisa, aku yang lebih dulu!"

   Kata si kakek katai.

   "Aku dulu!"

   "Aku dulu!"

   Kembali mereka melangkah maju, mulut dicemberutkan sampai meruncing, mata melotot, muka dijulurkan ke depan seolah-olah keduanya hendak berciuman dengan mulut.

   "Eiit, eiit... harap ingat, jiwi adalah dua orang sahabat. Kalau memang ingin adu ilmu, harus dilakukan tanpa emosi, tanpa kebencian agar tidak sampai saling bunuh!"

   Kata Sui Cin.

   "Eh, siapa yang mau saling bunuh?"

   Kakek gendut bertanya heran.

   "Heh-hehheh! Sui Cin, kau kira kami ini orang-orang apa, mau saling bunuh? Kami hanya memperebutkan kebenaran. Nah, gendut, kau sudah mendengar nasihat nonamu. Kalau kau mampu menerima pukulan guci arakku sebanyak tiga kali, baru aku mau mengaku kalah."

   "Baik! Dan kalau kau mampu menerima kebutan kipasku tiga kali, akupun mengaku kalah."

   "Bagus! Nah, bersiaplah, aku akan memukulmu lebih dulu."

   Kata Wuyi Lojin.

   "Enaknya! Tidak, aku yang mulai dulu dengan kebutan kipasku,"

   Bantah Siangkoan Lojin.

   "Aku dulu!"

   "Aku dulu!"

   Kembali mereka bersitegang seperti dua orang anak kecil, tidak mau saling mengalah. Diam-diam Sui Cin dan Hui Song merasa heran. Mereka itu adalah dua orang kakek yang memiliki kesaktian, akan tetapi mengapa kadang-kadang sikap mereka seperti anak kecil? Apakah benar kata orang bahwa yang sudah terlalu tua berubah seperti kanak-kanak? Dan ada pula yang bilang bahwa orang yang terlalu pintar itupun Kadang-kadang sifatnya seperti kanak-kanak? Betapapun juga, Sui Cin yang sudah mendapatkan janji kakek katai untuk belajar ginkang diam-diam berpihak kepada kakek ini. Maka, melihat mereka bersitegang lagi, iapun maju lagi dan berkata,

   "Di dalam dunia ini, apa yang lebih baik dari pada keadilan? Biarpun gagah perkasa, kalau tidak adil apa gunanya?"

   "Benar sekali!"

   Kata Ciu-sian.

   "Tidak salah itu!"

   Kata San-sian.

   "Demi kebenaran dan keadilan, sudah sepantasnya kalau Wuyi Lojin yang memulai lebih dulu dalam adu ilmu ini. Pertama, melihat bentuk tubuhnya, dia jauh lebih kecil ketimbang Siangkiang Lojin, dan kedua, memang sebenarnya kami berdua lebih dulu kenal dengan Ciu-sian sebelum bertemu dengan San-sian. Nah, kalau kalian memang adil, tentu Ciu-sian yang memperoleh kesempatan lebih dulu. Kecuali kalau kalian memang tidak adil."

   Wajah si gendut menjadi merah.

   "Hah, siapa tidak adil dan siapa takut? Katai, kau pukulilah dulu, nih, perutku sudah siap menerima pukulanmu yang kau banggakan itu. Mulailah!"

   Berkata demikian, si gendut itu lalu berdiri memasang kuda-kuda, kaki kiri di belakang, kaki kanan di depan, tangan kiri memegang tongkatnya, tangan kanan dikepal di pinggang, perutnya dikembungkan ke depan!

   "Bagus! Aku memang tahu bahwa engkau seorang gagah yang adil!"

   Seru kakek katai dengan girang sekali sambil menurunkan guci araknya. Dia membuka tutupnya, minum sisa arak yang tinggal sedikit sampai kosong, menutup mulut guci lagi dan memegang leher guci yang kecil dengan kedua tangannya.

   "Nah, kau bersiaplah baik-baik, aku akan mulai menghantam!"

   Katanya sambil memasang kuda-kuda dengan kedua kakinya yang kecil namun kokoh kuat. Kemudian, diayunkannya guci itu dari belakang ke depan, menghantam ke arah perut gendut itu.

   "Bunggg..."

   Guci menghantam perut dan terdengar seperti gentong dipukul. Tubuh gendut itu tidak bergeming dan guci arak itu terpental sediki seperti menghantam karet amat kuat.

   "Bukkk..."

   Hantaman kedua lebih kuat lagi, namun tetap saja tubuh kakek gendut tidak bergoyang dan kakek gendut itu selalu tersenyum lebar, mulutnya sedikit terbuka dan senyum itu membuat kedua matanya semakin sipit. Kakek katai menjadi penasaran. Dua kali pukulan gucinya itu hebat sekali. Batu karang sekalipun akan ambrol dan pecah terkena pukulannya, akan tetapi pukulan guci araknya itu sungguh kehilangan daya kekuatannya ketika mengenai perut gendut yang terisi penuh hawa sinkang itu. Diam-diam dia merasa kagum karena dua puluh tahun yang lalu. San-sian ini takkan mungkin kuat menerima hantamannya itu. Hal ini membuktikan bahwa selama ini si gendut memang telah memperoleh banyak kemajuan.

   "Awas, sekali lagi!"

   Teriaknya dan dua orang muda yang berdiri di pinggir memandang dengan penuh perhatian dan kekaguman. Mereka berdua dapat merasakan kehebatan pukulan ciu-ouw itu. Dari tempat mereka berdiri saja mereka dapat merasakan getaran hawa pukulan yang amat dahsyat dari guci arak, dan ketika guci arak tadi bertemu dengan perut, terjadi getaran yang lebih hebat lagi, terasa benar oleh mereka.

   "Siuuuttt... bunggg..."

   Pukulan ketiga ini hebat bukan main, getarannya sampai membuat daun-daun pohon bergerak dan bumi yang diinjak Hui Song dan Sui Cin ikut tergetar. Akan tetapi, San-sian menerima pukulan ketiga itu sambil tersenyum lebar dan sedikitpun tubuhnya tidak tergoncang!

   "Heh-hehhehHa-ha-ha!"

   Kakek gendut tertawa. Sui Cin dan Hui Song maklum bahwa kakek itu bukan sembarangan saja tertawa, melainkan mengeluarkan hawa yang tadi dipergunakan untuk melindungi isi perutnya. Ketika dia tertawa, hawa itu keluar dan nampak uap putih keluar dari mulutnya.

   "Tiga kali gucimu yang butut itu menghantamku dan aku tidak merasa apa-apa! Kau kalah, Ciu-sian!"

   Ciu-sian mengerutkan alisnya dan mengamati gucinya, seolah-olah hendak menyalahkan gucinya dalam kegagalannya itu. Lalu dia mengikatkan guci di punggungnya lagi dan berkata,

   "Gendut! Engkau memang kuat. Akan tetapi sekarang cobalah kau menyerangku tiga kali dengan kipas lalatmu itu. Kalau aku tidak kuat bertahan, maka kekalahanku menjadi lengkap dan baru aku mengakui kekalahan."

   "Ha-ha-ha, Ciu-sian, hati-hati kau dengan kebutan kipasku. Pohon besar itupun akan roboh dilanda kebutanku!"

   Kata kakek gendut.

   "Apalagi tubuhmu yang kecil kerempeng ini!"

   "Tak perlu memperlebar mulutmu yang sudah besar, San-sian. Mulailah!"

   Kakek katai itu memasang kuda-kuda, kedua kakinya terpentang lalu ditekuk, seperti orang menunggang kuda dan kedua lengan disilangkan, dipasang di depan dada.

   "Sini, agak jauh dari pohon itu!"

   Kata San-sian sambil melangkah mundur menjauhi pohon.

   "Srrrttt..."

   Kakek katai itu mengikuti maju, akan tetapi kedua kakinya sama sekali tidak melangkah. Tubuhnya maju dalam keadaan masih memasang kuda-kuda seperti tadi. Hal ini saja sudah membuktikan betapa hebatnya Kakek Dewa Arak ini. Diam-diam kakek gendut harus mengakuinya juga.

   "Awas, Sui Cian, aku mulai! Jangan salahkan aku kalau kipasku mengebutmu sampai terlempar dan terbang ke langit!"

   Setelah memasang kuda-kuda, kakek gendut menggerakkan tongkatnya, diputarnya ke atas kepala dan tiba-tiba kipas itu menyambar dari belakang tubuhnya, membawa angin besar mengebut ke arah kakek katai dengan kekuatan kebutan yang amat hebat.

   Angin kebutan menyambar dahsyat, membuat jenggot panjang dan jubah kakek katai itu berkibar, bahkan Sui Cin dan Hui Song yang berada agak jauh merasakan kebutan angin yang membuat pakaian dan rambut mereka berkibar. Akan tetapi, tubuh kakek katai itu sendiri sama sekali tidak bergeming, seperti angin keras yang biarpun mampu menumbangkan pohon, sama sekali tidak berdaya terhadap sebongkah pilar baja yang kokoh kuat dan tertanam dalam-dalam di tanah! San-sian menjadi penasaran dan kebutannya yang kedua kalinya lebih kuat lagi, sampai mengeluarkan angin yang suaranya bersiutan. Akan tetapi, seperti juga tadi kakek katai berdiri tegak dan tidak bergeming, hanya memejamkan mata karena angin keras membuat matanya perih. Kedua kakinya yang kecil seolah-olah sudah berakar dalam-dalam di tanah di mana dia berpijak.

   "Heh-hehheh, satu kali lagi dan awas, hati-hati kau!"

   Bentak kakek gendut dan kini dia memutar tongkatnya, kemudian kipasnya membuat gerakan berputar yang aneh. Dan akibatnya hebat sekali. Debu beterbangan, bukan hanya debu, melainkan juga pasir dan batu kerikil yang beterbangan lalu berpusingan. Ternyata gerakan kipas itu mendatangkan angin berpusing yang kuat dan melanda tubuh kakek katai, seolah-olah angin puyuh yang hendak mencabut kakek katai itu dari atas tanah! Akan tetapi, kakek katai itu nampak mengerahkan kekuatannya, kedua kainya agak tergetar, akan tetapi kekuatan dahsyat yang timbul dari gerakan kebutan kipas itupun sekali ini tidak mampu mengangkat kedua kakinya!

   "Wah, wah, Ciu-sian, engkau ini ternyata tua-tua keladi, makin tua makin jadi! Hebat dan kita masih belum ada yang kalah atau menang!"

   "Jalan satu-satunya, San-sian, hanya mengadu ilmu silat,"

   Kata kakek katai sambil melepaskan guci araknya dari punggung.

   "Boleh, boleh, memang aku ingin sekali melihat kemampuanmu!"

   Kata San-sian sambil melintangkan tongkat kipasnya. Melihat betapa dua orang kakek katai itu sudah siap untuk saling gebuk, Sui Cin cepat melangkah maju melerai.

   "Harap kalian bersabar dulu,"

   Katanya.

   "Mana bisa bersabar kalau kehendakku ditentang?"

   Kata kakek gendut.

   "Mana bisa bersabar kalau muridku hendak dirampas?"

   Bantah kakek katai. Sui Cin tersenyum.

   "Jiwi berdua, dan kamipun berdua, mengapa harus ribut-ribut dan diperebutkan? Bagi rata kan beres? Ciu-sian sudah berjanji akan mengajarkan ginkang kepadaku, dan kalau kakek San-sian mengajarkan ilmunya kepada Song-twako, bukankah itu sudah tepat sekali?"

   Dua orang kakek itu bingung, lalu keduanya menggeleng kepala.

   "Kenapa kita jadi tolol begini?"

   
Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kata si gendut.

   "Kenapa hal begini sepele saja kita tidak mampu pecahkan tadi?"

   Gumam si katai.

   "Nah, pemecahannya mudah, bukan? Mulai sekarang, Song-twako menjadi murid Siangkiang Lojin dan..."

   "Tidak ada murid! Tidak ada murid!"

   Dua orang kakek itu berkali-kali bicara, dan ketika dua orang muda itu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki mereka, keduanya membalikkan tubuhnya tidak mau menerima penghormatan murid terhadap guru itu.

   "Eh, bukankah jiwi tadi sampai mau berkelahi karena memperebutkan kami untuk menjadi murid? Kenapa sekarang malah menolak? Apa maksud jiwi ini?"

   Hui Song mengerutkan alisnya dan bertanya. Tadi dia sudah merasa gembira sekali karena kalau dia dapat mempelajari ilmu dari kakek gendut itu, alangkah senang hatinya.

   "Bangun dan duduk, mari bicara,"

   Kata Wuyi Lojin. Dua orang itu lalu bangkit dari berlutut dan mereka duduk di atas batu-batu di bawah pohon.

   "Seperti pernah kuceritakan kepada kalian, kami sudah terikat oleh sumpah kami kepada tongkat laknat... eh, Tongkat Suci itu bahwa kami seketurunan termasuk murid-murid harus tunduk dan taat, tidak boleh melawan mereka yang memiliki tongkat itu. Kami tidak ingin kalian menjadi murid kami dan terseret ke dalam ikatan itu. Kalian sudah melihat sendiri betapa Pangeran Toan Jitong mempengaruhi dan mengikat mereka yang kalah dengan sumpah. Nah, kami yang pernah dijuluki Delapan Dewa juga telah diikat dengan sumpah."

   "Akan tetapi, kek. Melihat ilmu kepandaian Ratu Iblis itu, agaknya kalian tidak akan kalah..."

   Kakek katai menggeleng kepala dan menarik napas panjang.

   "Engkau tidak tahu... kepandaian mereka itu hebat sekali. Ketika Ratu Iblis itu mengalahkan lawan-lawannya, ia tidak mengeluarkan semua ilmunya, hanya mempermainkan saja. Dan pangeran itu sendiri, baru mengeluarkan suara saja sudah mampu menaklukkan Iblis Buta! Agaknya, aku sendiri hanya dapat mengimbanginya dalam hal ginkang, sedangkan dalam ilmu-ilmu lain, jelas aku masih tidak mampu menandinginya."

   "Benar Itu! Ilmu iblis itu hebat bukan main. Aku sendiripun mungkin hanya mampu menandingi dalam hal kekuatan, akan tetapi dalam ilmu silat, aku kalah jauh,"

   Sambung kakek gendut dengan suara sungguh-sungguh.

   "Karena kami sendiri tidak berdaya dan tidak mau melanggar atau mengkhianati sumpah sendiri, maka satu-satunya jalan bagi kami adalah menurunkan ilmu-ilmu kami kepada orang-orang muda yang berbakat dan berjiwa bersih. Merekalah yang kelak harus menghadapi dan membasmi Raja dan Ratu Iblis bersama para pembantunya."

   "Orang muda, maukah engkau belajar ilmu dariku?"

   Tanya San-sian sambil menatap wajah pemuda yang ganteng dan gagah itu."

   Hui Song mengangguk-angguk dan menjura dengan wajah girang.

   "Tentu saja aku mau, kek,"

   Katanya meniru Sui Cin karena kini dia tahu benar bahwa kakek inipun tidak mau dianggap guru olehnya.

   "Akan tetapi, tidak mudah belajar dariku. Selain harus tekun, juga harus tahan uji dan sekali bilang mau, harus belajar sampai berhasil. Latihan-latihannya berat sekali dan engkau tidak boleh meninggalkannya setengah jalan, karena kalau demikian, terpaksa aku akan membunuhmu dari pada engkau membawa pergi ilmuku yang masih mentah."

   Hui Song mengangguk-angguk. Dia putera ketua Cin-Ling-Pai, seorang yang sejak kecil digembleng untuk menjadi pendekar tulen. Maka tentu saja dia siap menghadapi segala macam kesukaran dalam belajar ilmu.

   "Dan engkau ikutlah denganku, Sui Cin. Aku akan mengajarkan ilmu ginkang, akan tetapi jangan dikira Latihan-latihan dariku tidak berat! Kalau engkau kurang tekun dan sembarangan, nyawa taruhannya!"

   Kata Ciu-sian. Sui Cin tersenyum.

   "Kesukaran dan bahaya adalah makananku sejak kecil, kek, jangan khawatir aku akan mundur karenanya. Akan tetapi, berapa lamakah kiranya kami masing-masing harus belajar dari kalian?"

   "Ilmu silat kalian sudah cukup tinggi, kalau dilatih sampai matang kiranya sudah cukup untuk menghadapi lawan seperti Raja Iblis sekalipun. Akan tetapi, iblis-iblis itu memiliki sinkang dan ginkang yang amat hebat. Kalian jauh kalah cepat dan kalah kuat, maka kami akan memperkuat kalian dalam hal itu, disamping mematangkan ilmu silat kalian. Karena kita diburu waktu, kalian sendiri sudah mendengar bahwa dalam waktu tiga tahun lagi mereka akan mempersiapkan pemberontakan mereka, maka sebelum waktu itu kalian harus sudah selesai mematangkan ilmu kalian,"

   Kata Ciu-sian dan mendengar ini, San-sian mengangguk-angguk.

   "Benar sekali. Orang muda, dengan bekal ilmu silatmu yang tinggi dan murni dari Cin-Ling-Pai itu, kalau dimatangkan selama tiga tahun, tentu engkau akan cukup kuat untuk menentang mereka."

   Hati kedua orang muda itu merasa girang sekali, akan tetapi wajah Hui Song menjadi muram dan hatinya berduka ketika dia mendengar bahwa kedua orang kakek itu akan berpisah sehingga terpaksa diapun akan berpisah dari Sui Cin! Dan perpisahan itu untuk waktu tiga tahun!

   "Cin-moi..."

   Katanya ketika mereka diberi kesempatan untuk bicara empat mata karena dua orang kakek itupun sedang bercakap-cakap dan berunding berdua di bawah pohon, agaknya tidak memperdulikan dua orang muda itu.

   "Bagaimana Song-twako? Tidak girangkah hatimu memperoleh guru yang demikian lihai?"

   Dara itu menatap wajah yang tampan itu, lalu menyambung cepat.

   "Mengapa wajahmu muram seperti orang berduka, twako?"

   "Cin-moi, bagaimana hatiku tidak akan berduka? Kita akan saling berpisah!"

   Dara itu tersenyum.

   "Aih, tentu saja! Bukankah kita masing-masing akan mengikuti pelatih kita ke tempat masing-masing? Tiga tahun lagi kita akan saling berjumpa, twako."

   "Tiga tahun... alangkah lamanya. Aku akan merasa rindu sekali kepadamu, Cin-moi."

   

Pendekar Sadis Eps 37 Pendekar Lembah Naga Eps 57 Pendekar Sadis Eps 8

Cari Blog Ini