Ceritasilat Novel Online

Asmara Berdarah 2


Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo Bagian 2



"Ha-ha-ha, Kuibo, engkau masih jengah dan malu-malu lagi? Ha-ha-ha!"

   Kakek iblis itu mentertawakan temannya yang tidak menjawab. Kamar itu menjadi gelap dan dari luar tidak terdengar apa-apa lagi.

   Sementara itu, kepala daerah yang mendengar laporan tentang gagalnya pasukan keamanan menghadapi penjahat yang mengacau di kuil Dewi Laut, menjadi terkejut sekali dan marah. Dia memerintahkan semua perwira yang ada untuk mengirim pasukan baru dan membantu kawan-kawan mereka. Thian Kong Hwesio dan Hat Cu Nikouw, setelah mengobati luka-luka mereka, juga membantu para perwira melakukan pengepungan terhadap kuil dan terutama menara itu. Mereka semua melihat betapa menara itu gelap, lilin di dalamnya telah dipadamkan orang dan tidak terdengar suara apapun dari luar. Ketika para perwira membuat gerakan untuk memerintahkan anak buahnya menyerbu menara, Thian Kong Hwesio cepat mengangkat tangan dan menggeleng kepala.

   "Jangan sembarangan bergerak! Mereka berada di tempat gelap dalam kamar dan mereka itu lihai sekali. Menyerbu mereka yang berada dalam gelap sama dengan mengantar nyawa saja. Biar kita kepung saja dan menanti sampai mereka keluar, baru kita serbu dan keroyok."

   Karena sudah melihat bekas tangan dua orang iblis yang amat lihai itu, para perwira mentaati nasihat Thian Kong Hwesio dan merekapun kini hanya mengepung menara dengan penjagaan yang ketat sekali. Pasukan anak panah dipasang di sayap kiri, sayap kanan adalah pasukan tombak, dari depan berjaga pasukan sepasang golok, dan dari belakang dijaga oleh pasukan pedang. Semua telah diatur rapi dan agaknya kalau dua orang penjahat itu hendak keluar, mereka akan menghadapi pengepungan rapat yang akan amat sukar mereka lalui.

   Thian Kong Hwesio sendiri berulang kali menarik napas panjang. Dia mengkhawatirkan keselamatan dua orang muridnya, akan tetapi dia sendiri tidak berdaya menolong mereka. Pihak musuh terlalu lihai dan diam-diam diapun mengerutkan alisnya, mengingat-ingat siapa gerangan dua orang iblis yang mengacau Ceng-tao dan kini dengan berani menguasai menara kuil Dewi Laut, agaknya enak-enakan saja di dalam tanpa memperdulikan kepungan pasukan penjaga keamanan. Di dunia kang-ouw, nama Cap-sha-kui (Tiga Belas Iblis) telah amat terkenal. Tiga belas orang manusia golongan hitam atau kaum sesat ini merajalela di seluruh penjuru, merupakan tokoh-tokoh besar dalam dunia hitam.

   Akan tetapi karena mereka ini biasanya tidak turun tangan sendiri dan hanya mengandalkan murid-murid atau anak buah mereka untuk mencari nafkah secara haram, hanya nama mereka saja yang dikenal. Akan tetapi jarang ada orang pernah berjumpa dengan mereka. Maka, tidak mengherankan kalau Thian Kong Hwesio yang sudah luas pengetahuan dan pengalamannya di dunia kang-ouw itupun tidak mengenal dua orang iblis ini. Koai-pian Hek-mo (Iblis Hitam Cambuk Aneh) dan Hwa-hwa Kuibo (Biang Iblis Boneka) adalah dua orang di antara Cap-sha-kui (Tiga Belas Setan). Kakek itu disebut Hek-mo karena memang mukanya kasar dan hitam sedangkan nenek itu dijuluki Hwa-hwa yang dapat diartikan boneka atau juga dapat diartikan Wanita Cabul karena memang ia merupakan seorang wanita yang suka mempermainkan pemuda-pemuda tampan yang terutama masih perjaka secara paksa!

   Koai-pian Hek-mo mempunyai watak yang aneh pula, suatu kelainan batin yang membuat diapun suka memperkosa pemuda-pemuda dan dia tidak suka mendekati wanita! Karena sama-sama suka mempermainkan pemuda tampan inilah maka terjadi semacam persaingan antara Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kuibo. Pernah beberapa kali mereka memperebutkan seorang pemuda tampan dan mereka sempat pula berkelahi mati-matian, akan tetapi tingkat kepandaian mereka seimbang sehingga belum pernah di antara mereka ada yang kalah atau menang. Dan karena mereka merupakan tokoh hitam dari daerah yang sama, yaitu daerah Muara Sungai Kuning, maka mereka saling berjumpa dan bersaingan. Hanya karena mereka itu merasa masih "bersaudara"

   Dalam kesatuan Cap-sha-kui sajalah maka sampai sedemikian jauhnya mereka belum saling bunuh.

   Dengan gelisah, marah dan tegang, Thian Kong Hwesio, Hai Cu Nikouw dan para perwira menjaga terus mengepung menara. Mereka merasa penasaran karena sampai lewat tengah malam, dua iblis itu belum juga keluar dari dalam menara. Menjelang pagi, Thian Kong Hwesio dan sumoinya dengan kaget melihat berkelebatnya sesosok bayangan ke arah menara. Mereka cepat memberi isyarat dan semua anggauta pasukan siap. Dua orang pendeta itu terheran-heran. Mereka melakukan penjagaan dan mengharapkan dua orung jahat itu keluar dari manara, mengapa kini ada bayangan berkelebat dan agaknya malah menuju ke menara! Dan bagaimanakah bayangan ini dapat melalui semua penjagaan yang demikian ketatnya? Mereka berdua saling pandang dan bingung, juga merasa ngeri karena melihat munculnya demikian banyak orang yang memiliki kepandaian hebat.

   Tiba-tiba para penjaga itu mendengar suara hiruk-pikuk dan bentakan-bentakan yang keluar dari dalam menara, bahkan kini ada sinar lilin bernyala di dalam kamar. Dari luar, nampak di balik tirai jendela bayangan orang-orang berkelahi dengan gerakan yang amat cepatnya! Apakah yang sesungguhnya telah terjadi dalam kamar itu? Apakah kedua orang anggauta Cap-sha-kui itu kambuh kembali penyakit mereka dan saling berhantam sendiri? Sama sekali tidak demikian. Keadaan di dalam kamar tadi masih gelap dan sunyi, seolah-olah orang-orang yang berada di dalamnya sudah
(Lanjut ke Jilid 02)
Asmara Berdarah (Seri ke 08 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 02
tidur nyenyak. Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara perlahan dan daun pintu terbuka dari luar, sesosok bayangan menyelinap masuk lalu terdengar suara seorang wanita menegur dengan suara mengejek.

   "Huhh, tua bangka-tua bangka yang tidak tahu malu! Perbuatan hina kalian sungguh terkutuk dan akan menyeret kalian ke neraka jahanam!"

   Yang pertama-tama bergerak adalah cambuk panjang Koai-pian Hek-mo. Terdengar suara meledak ketika cambuk panjang itu melecut dan menyambar ke arah datangnya suara wanita yang menegur mereka tadi. Akan tetapi, sebelum mengenai sasarannya, ujung cambuk itu membalik kepadanya dan tentu saja Koai-pian Hek-mo menjadi kaget sekali.

   "Siapa kau...?"

   Bentaknya. Jawabannya hanya suara ketawa merdu seorang wanita.

   Di dalam kegelapan, Hwa-hwa Kuibo agaknya dapat menangkap gerakan serangan cambuk tadi dan dapat menduga bahwa serangan kawannya itu gagal. Maka iapun menggerakkan kedua tangannya. Jarum-jarum beracun kini menyambar ke arah suara ketawa wanita itu. Akan tetapi, terdengar suara berkerintingan dan Jarum-jarum itu runtuh semua ke atas lantai, tanda bahwa yang diserangnya telah dapat menangkis semua jarum itu di dalam gelap! Melihat kenyataan ini, Hwa-hwa Kuibo cepat menyalakan api dan tak lama kemudian lilin besar di sudut itupun sudah bernyala dan sinar terang memenuhi kamar itu, mengusir kegelapan. Dua orang tokoh iblis itu sudah meloncat berdiri dan memandang dengan heran ketika mereka melihat bahwa yang berani mengganggu dan mengejek mereka hanyalah seorang gadis remaja yang pakaiannya aneh dengan potongan tidak karuan!

   Seorang gadis remaja yang usianya antara lima belas atau enam belas tahun dengan rambut dikuncir menjadi dua, sepasang matanya lincah bersinar, mulutnya mengulum senyum mengejek. Tentu saja mereka berdua tidak memandang sebelah mata kepada anak perempuan ini. Mereka berdua hanya suka kepada pemuda-pemuda remaja tampan, dan tidak suka, bahkan membenci wanita-wanita muda yang cantik. Maka kini merekapun memandang dengan sinar mata penuh kemarahan kepada gadis itu. Melihat bahwa yang datang hanya seorang dara remaja yang sempat membuat mereka terkejut, kedua orang tokoh besar itu merasa malu dan terhina. Perasaan ini tumbuh menjadi kemarahan dan kebencian,

   Maka tanpa banyak cakap lagi Hwa-hwa Kuibo sudah menggerakkan pedangnya menusuk ke arah perut dara itu sedangkan tangan kirinya membentuk cakar dan langsung mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala lawan! Sungguh merupakan serangan gabungan yang amat hebat bagi seorang dara remaja seperti itu. Biarpun hanya tangan kosong, harus diakui bahwa cengkeraman itu bahkan lebih mengerikan dan lebih berbahaya dari pada tusukan pedang. Akan tetapi, nenek yang sudah merasa yakin bahwa satu di antara kedua tangannya yang melakukan serangan itu pasti akan memperoleh hasil, berteriak kaget ketika melihat betapa dara itu dengan lincah dan ringannya telah memiringkan tubuh mengelak dari tusukan pedang, sedangkan tangan kiri yang mencengkeram itu disambutnya dengan tamparan tangan terbuka.

   "Plakkk!"! Dan tubuh nenek berkedok itu terhuyung ke belakang, tubuhnya terasa panas dan kaku seperti kemasukan hawa yang amat kuat dan aneh!

   "Ihhh..."

   Nenek itu berseru dan bergidik karena baru sekarang ia merasakan akibat yang demikian anehnya ketika tangannya bertemu dengan tangan lawan, apalagi lawannya hanya seorang bocah! Maklum bahwa bagaimanapun juga, dara remaja itu ternyata memiliki kepandaian hebat, Koai-pian Hek-mo menggerakkan cambuknya yang meledak dan menyambar secara bertubi-tubi, sekali bergerak telah mematuk ke arah tiga jalan darah di bagian depan tubuh dara itu yang kesemuanya merupakan patukan mematikan.
"Ting-ting-cringggg..."

   Tiga kali ujung cambuk yang ada pakunya itu terpental dan yang ketiga kalinya bahkan terpental keras dan menyambar ke arah muka pemegang cambuk itu sendiri!

   Tentu saja Koai-pian Hek-mo terkejut dan cepat menarik kembali cambuknya agar paku di ujung cambuk tidak mematuk hidungnya sendiri. Kini, dua orang tokoh besar dunia hitam itu terbuka matanya. Dengan hati-hati merekapun menyerang dari kanan kiri. Namun, dara itu melayani mereka dengan tangan kosong saja! Begitu ringan gerakan tubuhnya, bagaikan sehelai bulu saja yang sukar sekali diserang, seolah-olah diterbangkan oleh gerakan senjata-senjata mereka sehingga sebelum senjata mengenai sasaran, tubuh itu sudah mendahului pergi. Dua orang tokoh jahat itu memancing-mancing untuk mengenal gerakan si dara. Akan tetapi, gerakan dara itu aneh bukan main. Mirip-mirip dasar gerakan ilmu silat dari Siauw-Lim-Pai, ada pula unsur gerakan Kun-Lun-Pai, Bu-Tong-Pai dan bahkan semua ilmu silat dari perguruan-perguruan besar dicampur aduk menjadi satu!

   Yang amat hebat, selain kecepatan gerak, juga tenaga yang terkandung dalam kedua tangan yang kecil halus itu. Dara itu jelas jauh lebih lihai dari pada dua orang lawannya, akan tetapi, agaknya ia memang berwatak bengal, jenaka dan suka main-main. Ia sengaja mempermainkan dua orang yang ia tahu menyelidiki gerakan-gerakannya itu, ia sengaja membuat gerakan kacau-balau, bahkan kalau balas menyerang ia menggunakan cara memukul anak-anak yang tidak pernah belajar silat sehingga kelihatan lemah, namun diam-diam ia mengerahkan sinkangnya sehingga serangan balasannya itu luar biasa anehnya. Dikatakan kuat, cara memukulnya sembarangan saja, akan tetapi dinamakan lemah, pukulan itu mengandung tenaga yang amat ampuh. Jadi berat-berat ringan, juga ringan-ringan berat, cukup membingungkan kedua orang lawannya.

   Bukan hanya bingung dalam hal menerka ilmu silat lawan itu, akan tetapi juga bingung bagaimana harus menghindarkan diri dari serangan-serangan balasan itu. Bagaimanapun juga, dara remaja itu hanya bertangan kosong dan yang mengeroyoknya adalah dua orang tokoh yang amat lihai, dua orang di antara Cap-sha-kui yang mempergunakan senjata ampuh andalan mereka masing-masing, maka akhirnya dara itupun merasa bahwa permainannya sekali ini amat berbahaya. Tiba-tiba saja ia mengeluarkan suara pekik melengking aneh dan pendek dan tahu-tahu dengan jari telunjuknya ia menyentil ujung cambuk yang menyambar ke arah lehernya. Ujung cambuk itu terpental ke arah muka Hwa-hwa Kuibo, sedangkan serangan pedang nenek itu dihindarkannya dengan mengelak ke belakang. Tentu saja nenek yang disambar ujung cambuk mukanya menjadi terkejut.

   "Gila kau..."

   Bentaknya kepada kawannya karena ia mengira bahwa kawannya itu salah sasaran. Sebaliknya, kakek itupun kaget dan cepat menarik cambuknya. Kesempatan ini dipergunakan oleh dara itu untuk balas menyerang.

   Tangannya meluncur ke arah ubun-ubun kepala Hwa-hwa Kuibo, sedangkan kakinya menendang atau menyepak ke arah perut Koai-pian Hek-mo yang berada di belakangnya. Serangan itu amat cepat gerakannya dan ketika kedua orang iblis itu meloncat untuk menghindar, tiba-tiba tubuh dara itu berjungkir balik, kepala di bawah kaki di atas. Tangan kirinya menunjang badan dan kini tiba-tiba saja ia melanjutkan serangannya dengan membalik, yaitu kakinya menyerang ubun-ubun kepala Koai-pian Hek-mo sedangkan tangan kanannya menghantam ke arah perut Hwa-hwa Kuibo! Dan hebatnya, di dalam serangan-serangannya itu terkandung hawa pukulan yang jauh lebih kuat dari pada tadi, sehingga biarpun dua orang iblis itu berusaha menangkis dan mengelak, tetap saja mereka terdorong ke belakang, terhuyung-huyung dan hampir roboh!

   Melihat kehebatan ini, mereka menjadi pucat dan tanpa diberi komando, keduanya lalu meloncat keluar dari menara itu, menggunakan ginkang mereka yang hebat, sekali melayang mereka sudah lenyap ditelan kegelapan malam larut itu. Dara itu tidak mengejar, melainkan menengok dan memandang ke arah dua orang pemuda yang berada di sudut kanan dan kiri. sekilas pandang saja ia lalu membuang muka dengan kulit muka berobah merah dan juga alis berkerut. Dua orang pemuda itu ternyata telah tewas dalam keadaan telanjang bulat. Agaknya, keduanya mungkin menolak atau melawan sehingga setelah dipaksa mereka lalu dibunuh secara kejam oleh dua orang manusia iblis tadi. Karena dua orang lawannya telah melarikan diri, dara itupun lalu meloncat keluar dari pintu kamar menara.

   "Iblis betina hendak lari ke mana engkau?"

   Terdengar bentakan-bentakan dan serombongan anak panah menyambutnya dari samping!

   "Eh, gila..."

   Dara itu berseru, akan tetapi karena puluhan batang anak panah yang menyambar ke arahnya itu tidak mungkin dapat diusirnya hanya dengan seruan, terpaksa ia melempar diri ke belakang dan bergulingan. Ia lupa bahwa ia bukan sedang berada di atas tanah, melainkan di wuwungan rumah dekat menara, maka tentu saja lantai genteng tidak rata itu membuat ia tergulingguling kacau dan genteng-genteng banyak yang patah dan pecah. Setelah ia moloncat bangun, ia sudah dikepung dan dikeroyok oleh barisan tombak!

   "Eh, eh, bagaimana ini?"

   Teriaknya akan tetapi iapun harus cepat mengelak ke sana-sini karena para perajurit itu tidak mau banyak cakap lagi. Semua orang mengira bahwa tentu gadis ini iblis betina yang telah menyamar sebagai Dewi Laut. Apalagi ketika beberapa orang di antara mereka mengenal gadis ini seperti yang digambarkan sebagai gadis aneh menunggang kuda yang mengacau di pintu gerbang kemarin dulu, mereka merasa yakin bahwa gadis inilah iblis betina itu. Repot jugalah gadis itu dikeroyok orang sedemikian banyaknya. Apalagi karena ia tidak ingin melukai mereka, apalagi membunuhnya. Dengan gerakan lincah sekali ia mengelak ke sana-sini, membagi-bagi tendangan hanya untuk merobohkan beberapa orang tanpa mendatangkan luka berat.

   Kalau kemarin dulu ia mematahkan semua gigi di mulut kepala jaga yang gendut, hal itu adalah karena si gendut bersikap kurang ajar kepadanya. Kini ia tidak tega untuk mencelakai orang-orang yang mengeroyoknya, maklum bahwa mereka itu salah duga dan mengira ialah penjahatnya yang mengacau di kuil itu. Ketika para penjaga yang bersembunyi di bagian lain bermunculan, gadis itu tiba-tiba masuk kembali ke dalam kamar menara. Semua orang tidak berani mengejarnya masuk, hanya mengurung menara itu dengan senjata siap di tangan. Tak lama kemudian, pintu kamar itu terbuka dari dalam dan muncullah seorang pemuda tampan! Pasukan yang memegang busur dan siap dengan anak panah mereka, tidak jadi melepaskan anak panah. Dan dari belakang terdengar seruan Thian Kong Hwesio,

   "Tahan, jangan serang, dia murid pinceng!"

   Akan tetapi, pemuda yang dikenalnya sebagai muridnya karena mengenakan pakaian satu di antara dua pemuda itu, kini berlari ke depan, menggunakan kesempatan selagi orang lengah, meloncat dan melayang di atas kepala mereka ke arah wuwungan kuil di depan kemudian berloncatan dan lenyap ditelan malam yang sudah hampir terganti pagi namun masih amat gelap itu.

   Barulah Thian Kong Hwesio sadar bahwa yang disangka muridnya tadi bukanlah muridnya, melainkan gadis itu yang mengenakan pakaian muridnya itu! Para perwira memerintahkan anak buahnya untuk mengejar. Pengejaran dilakukan akan tetapi para pengejar itu meraba-raba di tempat gelap, tidak tahu ke arah mana gadis itu menghilang. Sementara itu, Thian Kong Hwesio dan Hai Cu Nikouw memasuki kamar menara dan dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati mereka melihat dua orang murid yang telah menjadi mayat itu. Hidangan yang dibawa oleh dua orang muda itu telah habis dimakan, akan tetapi buntalan emas masih berada di situ, tidak sempat dibawa pergi penjahat. Sementara itu, di dalam sebuah hutan di luar kota Ceng-tao, Hwa-hwa Kuibo dan Koai-pian Hek-mo saling berbantahan dan saling menyalahkan.

   "Dasar engkau yang mata keranjang dan ceroboh!"

   Si muka hitam itu mengomel.

   "Kalau memang ketagihan pemuda, kenapa tidak menangkap saja beberapa orang dan membawanya ke tempat sepi seperti hutan ini? Kenapa harus dinikmati di kuil yang keramat? Engkau mencari penyakit saja!"

   Wanita itu kini telah menanggalkan kedoknya dan kalau orang melihat mukanya pada saat itu baru mereka akan tahu mengapa wanita ini suka memakai kedok. Kiranya pipi kanannya terdapat codet atau luka bekas goretan yang dalam dan panjang, membuat muka itu nampak menyeramkan dan menjijikkan. Sambil meludah Hwa-hwa Kuibo menudingkan telunjuknya ke arah hidung kakek itu.

   "Cih, tak tahu malu! Engkau sendiripun ikut menikmatinya, sekarang hendak menyalahkan aku? Keparat, apakah engkau hendak mencoba-coba kepandaianku?"

   Kakek itu menarik napas panjang dan melambaikan tangannya dengan hati kesal.

   "Sudahlah, jangan bicara tentang kepandaian. Kau kira kita ini memiliki kepandaian macam apa? Mengeroyok seorang bocah bertangan kosong saja tidak becus mengalahkannya!"

   Ucapan ini membuat nenek itu teringat dan berdiam diri, tidak jadi menghunus pedangnya dan nampak termangu-mangu.

   "Aku masih heran, siapakah gerangan bocah setan yang memiliki kepandaian sehebat itu? Aku masih heran dan sungguh aku sama sekali tidak dapat mengenal ilmu silatnya yang aneh-aneh itu..."

   "Aku sendiripun heran. Ada beberapa gerakannya yang mengingatkan aku akan ilmu-ilmu mukjizat dari Pendekar Sadis..."

   "Ehhh..."

   Wanita itu hampir menjerit ketika mengeluarkan seruan itu. Bagaimanapun juga, sebutan Pendekar Sadis membuat jantungnya seperti akan copot rasanya.

   "Mungkin juga bukan, karena di dalam gerakan-gerakannya terdapat unsur ilmu-ilmu silat tinggi yang lain seperti Siauw-Lim-Pai, Kun-Lun-Pai dan lain-lain. Sungguh bocah itu seperti setan saja. Tidak salah lagi! Ia tentu puteri atau murid seorang sakti. Karena itulah, kita harus berhati-hati, kita harus bersatu karena bukankah sekarang ini orang-orang golongan putih yang menentang kita sedang mengadakan pertemuan di Puncak Bukit Perahu?"

   Wanita itu mengangguk-angguk.

   "Memang kedatanganku ke sini juga hendak menyelidiki kebenaran berita itu. Kita tidak boleh tinggal diam saja kalau mereka mengadakan pertemuan. Apakah saudara-saudara kita yang lain juga akan datang?"

   "Kurasa demikian. Bahkan datuk-datuk kitapun kabarnya akan muncul, untuk melakukan penyelidikan sendiri."

   "Benarkah? Aih, bakalan ramai kalau begitu! Memang mereka, golongan putih itu, semakin congkak dan tekebur saja. Kalau kita tidak melawan mereka, tentu golongan kita dianggap golongan tahu dan tidak mempunyai jagoan jagoan lagi."

   Hwa-hwa Kuibo mengepalkan tinjunya dan sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi penuh kebencian.

   "Kalau mereka datang, tentu muncul di Ceng-tao. Akan tetapi karena kita menjadi buruan di Ceng-tao, sebaiknya kita mendekati Puncak Bukit Perahu itu sambil menanti kedatangan para sahabat kita. Bagaimanapun juga, mereka tentu akhirnya akan berdatangan ke bukit itu pula."

   Wanita itu mengangguk dan mereka lalu melanjutkan perjalanan, meninggalkan hutan menuju ke utara.

   Pada keesokan paginya di pasar kota Ceng-tao. Pagi itu pasar ini tetap ramai seperti biasa, seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu malam tadi. Akan tetapi, di antara percakapan sehari-hari dan urusan perdagangan, ramai pula orang bicara tentang peristiwa di kuil Dewi Laut di mana terjadi pertempuran yang menewaskan belasan orang perajurit keamanan. Bermacam-macamlah pendapat orang mengenai peristiwa itu. Yang kepercayaannya terhadap kesaktian Dewi Laut sudah berlebihan, kukuh berpendapat bahwa semua itu adalah akibat kemarahan Dewi Laut yang hendak menghukum pendeta kuil dan para perajurit.

   "Kalau bukan Sang Dewi, mana mungkin ada wanita dapat menghindarkan diri dari kepungan para perajurit?"

   "Dan kabarnya, dihujani anak panah wanita itu hanya tertawa saja!"

   Yang lain menambahkan, memperkuat kepercayaan orang-orang terhadap Dewi Laut. Biarpun urusan itu ramai dibicarakan orang, pada akhirnya mereka yang berada di pasar ini sibuk dengan urusan mereka sendiri, urusan mencari untung sebanyaknya atau mencari kesenangan melalui belanjaan. Ada yang secara royal membeli pakaian-pakaian mahal, sedangkan di sudut sana, di pasar itu pula, terdapat banyak orang berpakaian tambal-tambalan, pakaian yang sudah berbulan-bulan tak pernah diganti, karena bajunya memang hanya yang melekat di badan itulah. Ada pula orang-orang yang sedang menikmati masakan-masakan lezat dan mahal di restoran-restoran, makan dengan lahapnya,

   Tidak perduli akan pandang mata yang disertai air liur ditelan dari para pengemis tua muda yang berkeliaran di situ dengan perut kelaparan. Sekelompok anak-anak gembel memperebutkan sisa makanan yang dibuang oleh pelayan restoran ke tempat sampah. Sang pelayan berdiri sambil menonton anak-anak gembel memperebutkan sisa makanan seperti sekelompok anjing kelaparan berebut tulang. Tentu saja sisa makanan itu bercampur dengan kotoran dan tanah setelah dibuang ke tempat sampah. Agaknya, memberikan saja makanan itu kepada anak-anak pengemis secara demikian saja tidak memuaskan hati si pelayan ini. Ada gembel tua yang duduk bersandar tembok di sudut, tenang-tenang saja memandangi semua pengemis yang bekerja pula bermodalkan suara mengharukan minta dikasihani,

   Dan Kadang-kadang ada pengemis datang menghampirinya dan memberikan sesuatu, makanan atau uang kecil kepada pengemis tua ini. Dia adalah seorang raja kecil pengemis di pasar itu yang "melindungi"

   Para pengemis. Tentu saja dia sendiri tidak perlu mengemis karena para anak buahnya selalu membagi hasil kepadanya. Ada pula yang bermalas-malasan karena sudah memperoleh hasil mengemis dan sudah kenyang perutnya. Pekerjaan yang amat mudah itu sungguh membuat mereka merasa malas. Ada pula seorang ibu mengemis memondong anak bayinya yang kurus, merengek-rengek menarik perhatian dan belas kasihan orang pasar, menceritakan bahwa bapak anak itu sudah mati dan ia hidup menjanda. Padahal, seorang laki-laki pengemis lain yang menjadi bapak anak itu pada saat itu sedang bermain judi kecil-kecilan di belakang pasar bersama kawan-kawan pengemis lain.

   Akan tetapi, sebagian besar dari pada mereka yang berada di pasar, baik para penjual maupun para pembeli, sudah terbiasa dengan penglihatan ini dan tidak memperdulikan. Mereka melihat adanya banyak pengemis di pasar ini sebagai bagian yang tak terpisahkan dari pasar, dan andaikata pada suatu hari tidak ada seorangpun pengemis di situ, tentu mereka akan terkejut dan terheran-heran, bahkan mungkin akan merasa kehilangan. Di antara orang yang berjubelan itu, di depan sebuah restoran, nampak seorang pemuda gembel penuh bercak-bercak lumpur dan arang, sedang duduk nongkrong memandang ke arah dua orang anak gembel kakak beradik yang menangis sambil berangkulan. Si adik menangis dan si kakak menghiburnya.

   "Mereka... mereka memukulku..."

   Rengek adiknya.

   "Sudahlah, merekapun lapar seperti kita. Nanti kalau ada sisa makanan lagi, biar aku yang akan memperebutkannya untukmu. Diamlah..."

   Kakaknya menghibur.

   Gembel muda yang duduk nongkrong itu tak terasa lagi mengusap air matanya yang menetes turun dari kedua matanya ke atas pipi, menggunakan punggung tangan kirinya yang kotor sehingga pipinya menjadi semakin kotor lagi. Di lain saat, pemuda gembel ini sudah bangkit dan mengeluarkan sebuah mata uang kecil dari saku bajunya yang butut, dan dengan kedua mata masih basah dia berkedip-kedip dan tersenyum seorang diri, kemudian dengan lenggang dibuat-buat pergilah dia menghampiri kedai bakpao di mana tukang bakpao yang berperut gendut sekali sedang memanaskan bakpaonya. Bau sedap keluar ketika uap dari tempat pemanasan bakpao itu mengepul dan si pemuda gembel menyedot-nyedot hidungnya sambil berdiri di depan kedai itu dan memandang ke arah bakpao-bakpao yang bulat dan putih dan panas beruap itu. Melihat seorang pemuda gembel berpakaian kotor berdiri di depan kedainya, si perut gendut menghardik,

   "Heh, mau apa kau berdiri di sini? Pergi!"

   "Toapek, aku mau membeli bakpao, bukan mau mengemis."

   Sambil berkata demikian, dia menyodorkan uang logam kecil yang berada di telapak tangan kanannya.

   "Aku mau beli lima butir bakpao terisi daging dengan uang ini."

   Si gendut memandang dan begitu melihat uang logam di tangan pengemis itu, dia mencak-mencak dan mukanya yang gendut pula itu menjadi merah, matanya yang sipit coba dibelalakkan.

   "Setan cilik! Uang itu untuk membeli sebutir saja masih kurang, dan kau minta lima butir? Itu bukan mengemis, juga bukan membeli, akan tetapi mau merampok!"

   Sepasang mata itu melotot dan tangannya dikepal dan diamangkan tinjunya ke arah pemuda gembel itu. Pemuda gembel itu berjebi, menyeringai dan mentertawakan dengan sikap mengejek sekali.

   "Phuh, empek gendut! Perutmu begitu gendut tentu kebanyakan untung dan kebanyakan makan bakpao! Huhh!"

   Tentu saja penjual bakpao itu marah sekali.

   "Apa kau bilang? Ke sini kau! Biar kuputar batang lehermu sampai putus!"

   "Coba kau lakukan itu kalau kau mampu menangkapku! Huh, siapa tidak tahu bahwa engkau mencuri kucing dan anjing tetangga, lalu kau sembelih dan dagingnya kau pakai isi bakpao maka keuntunganmu berlimpah-limpah? Kau pencuri, penipu rendah!"

   Tentu saja si tukang bakpao menjadi semakin marah. Dia menyambar pisau besar pencacah daging bakpao dan diapun keluar dari kedainya melakukan pengejaran. Pengemis muda itu berlari, tidak terlalu jauh sambil mengejek memanaskan hati.

   Dia lari menyelinap di antara para pengunjung pasar dan setelah si gendut itu agak jauh, tiba-tiba dia menghilang. Selagi si gendut sambil memaki-maki mencari gembel muda itu, si gembel muda dengan jalan memutar, cepat kembali ke kedai dan diambilnya bakpao sekeranjang penuh, lalu dibagi-bagikannya bakpao-bakpao itu kepada anak-anak gembel yang berada di dalam pasar. Ketika si gendut kembali ke kedainya dan mencak-mencak melihat bakpao-bakpaonya hilang, gembel muda itu tertawa terpingkal-pingkal melihat anak-anak gembel makan bakpao sedemikian lahapnya sampai tercekik leher mereka. Ketika tertawa, nampak deretan gigi putih dan bagi mereka yang pernah melihat mulut dan gigi ini tentu akan teringat bahwa mulut itu semalam pernah muncul di menara kuil Dewi Laut, dan dua hari yang lalu pernah muncul pula sebagai gadis aneh di pintu gerbang!

   Melihat bakpao yang dibagi-bagikan itu cepat habis dan anak-anak itu kelihatan masih belum kenyang, si gembel muda lalu menyelinap di antara orang banyak dan diapun kini mendekati kedai bakpao itu. Berindap-indap dia mendekati kedai itu dari belakang, kemudian mencuri beberapa butir bakpao yang ditumpuk di sebelah kiri si gendut itu. Dia tidak tahu bahwa gerak-geriknya sejak tadi diikuti oleh pandang mata tiga orang laki-laki setengah tua. Ketika dia memegang lagi sebuah bakpao yang masih terlalu panas, dia terkejut dan mengeluarkan seruan kaget, bukan hanya karena kepanasan, akan tetapi juga karena pundaknya dicengkeram orang dari belakang! Si gendut tukang bakpao menoleh dan melihat betapa pemuda gembel yang tadi berada di situ membawa beberapa buah bakpao dan kini dipegangi kedua lengannya oleh dua orang seperti menangkapnya, menjadi marah.

   "Nah, ini dia maling bakpaoku!"

   Dan diapun mengangkat tangan untuk menampar muka pemuda gembel itu.

   "Duk!"

   Seorang di antara tiga orang itu menangkis tamparan si gendut, membuat si gendut menyeringai kesakitan.

   "Jangan sembarangan memukul!"

   Hardik orang ketiga itu.

   "Kami adalah perwira-perwira keamanan yang sedang melakukan operasi pembersihan!"

   Mendengar bahwa tiga orang ini adalah perwira-perwira yang menyamar, si gendut tidak berani banyak cakap dan melanjutkan pekerjaannya dengan hati berdebar tegang. Memang bukan hanya dia. Siapapun juga di kota Ceng-tao, sekali berhadapan dengan petugas keamanan, menjadi kuncup hatinya dan tidak banyak tingkah. Petugas keamanan amat ditakuti rakyat dan dianggap sebagai golongan yang hanya mendatangkan kerugian saja, dianggap sebagai golongan orang yang tidak dapat dipercaya dan yang lebih baik dijauhi atau dihindari. Perasaan seperti ini akan selalu menyelinap dalam hati rakyat di negara manapun juga selama para petugas keamanan lebih menonjolkan kekuasaannya dari pada kewajibannya, membuat mereka menjadi penindas dan pemeras yang bermodal kekuasaan dan kedudukan mereka.

   Pemuda gembel itupun yang tadinya mengerutkan alisnya dan bersikap melawan, menjadi lunak, apalagi ketika melihat beberapa orang lain berpakaian preman mendatangi tempat itu dan dari sikap mereka mudah diduga bahwa mereka adalah petugas-petugas keamanan yang menyamar. Dan diapun melihat betapa selain dia, ada pula beberapa orang gembel dan gelandangan yang ditangkapi. Maka diapun menyerah saja dibawa oleh para petugas itu, bersama tangkapan-tangkapan lainnya, menuju ke sebuah gedung, yaitu gedung seorang pembesar yang menjadi komandan pasukan keamanan. Tentu saja pembesar pasukan keamanan tidak tinggal diam begitu saja dengan adanya peristiwa di kuil Dewi Laut. Belasan orang anak buahnya tewas dan penjahat-penjahat itu tidak dapat tertangkap.

   Hal ini merupakan pukulan hebat dan mendatangkan rasa malu. Maka diapun memerintahkan seluruh anak buahnya untuk disebar di semua tempat, menangkapi orang-orang yang dicurigai untuk ditanya tentang penjahat-penjahat semalam itu, terutama tentang gadis yang pakaiannya seperti orang gelandangan. Yang ditangkap adalah pengemis-pengemis yang usianya sebaya dengan gadis itu, juga orang-orang yang dicurigai, akan tetapi sebagian besar adalah orang-orang gembel dan gelandangan-gelandangan yang berada di pasar. Bersama dengan pemuda gembel yang mencuri bakpao tadi, jumlah tangkapan ada dua puluh orang lebih. Mereka digiring seperti ternak dibawa ke pejagalan. Di sepanjang jalan, mereka menjadi tontonan orang dan sebentar saja tersiarlah berita bahwa petugas-petugas keamanan menangkapi banyak pengemis muda.

   Di dalam gedung yang terletak di daerah markas pasukan keamanan itu, terjadilah pemeriksaan terhadap para tawanan. Komandan keamanan sendiri yang melakukan pemeriksaan dengan keras. Dia seorang komandan yang berusia lima puluh tahun, bertubuh tinggi besar dan bersikap galak. Dendam karena kematian banyak anak buah membuat komandan ini pusing dan murung, membuatnya menjadi semakin galak seperti harimau haus darah. Pemeriksaan dilakukan satu demi satu, dengan kekerasan dan banyak di antara para tawanan harus menderita gebukan dan cambukan yang dilakukan bukan hanya untuk memaksa tawanan mengaku, akan tetapi juga terutama karena dorongan hati dendam yang ingin ditumpahkan.

   Tukang-tukang siksa yang sudah siap berada di kamar pemeriksaan, agaknya sudah gatal-gatal tangan dan menurut kata hati mereka, semua tawanan harus disiksa sampai mengaku atau mampus! Maka di dalam ruangan pemeriksaan itu, setiap kali ada tawanan dibawa masuk, lalu disusul oleh bentakan-bentakan, pukulan-pukulan dan diiringi raung-raung dan tangis kesakitan. Hal ini membuat hati para tawanan lain yang belum diperiksa menjadi panik dan ketakutan dan belum juga diperiksa, sebagian sudah menangis ketakutan. Pemuda gembel yang mencuri bakpao tadi dengan cerdiknya diam-diam menyelinap dan tahu-tahu dia sudah berada di paling ujung sehingga dia menjadi orang terakhir yang diperiksa. Ketika dia dibentak dan diseret tangannya oleh seorang petugas, dibawa masuk ke dalam kamar pemeriksaan,

   Pada saat itu berkelebat bayangan orang di atas genteng dan ketika pemuda gembel itu mulai dihadapkan kepada komandan tinggi besar bermuka bengis, bayangan itu kini telah bergantung dengan kedua kakinya pada atap di luar jendela, dan kepalanya yang tergantung ke bawah ini menjenguk dan mengintai dari luar jendela yang tinggi karena jendela ini adalah lubang angin. Pemuda itu gagah perkasa, pakaiannya rapi, matanya lebar tajam, hidungnya agak pesek, mulutnya membayangkan kekerasan dan keteguhan hati. Biarpun raut mukanya tidak dapat dinamakan tampan, akan tetapi diapun tidak buruk sekali dan wajah itu membayangkan kegagahan. Sebatang pedang tergantung di punggung. Pada saat itu, pemuda gembel telah dihujani bermacam pertanyaan yang tidak dapat dijawabnya.

   "Siapakah penjahat yang mengacau kuil Dewi Laut? Di mana tinggalnya dan siapa namanya? Siapa pula teman-temannya dan mengapa penjahat itu mengacau kuil dan membunuh para petugas keamanan? Hayo ceritakan semua kalau engkau tidak mau dirangket sampai pecah-pecah kulit punggungmu!"

   Komandan itu menghardik dan matanya yang besar itu seperti hendak meloncat keluar. Dia sudah terlalu lelah dan pemuda gembel ini merupakan orang terakhir yang diperiksanya. Dia sudah melihat bahwa semua hasil pemeriksaan yang tadi tidak ada artinya, tidak dapat mengungkapkan rahasia penjahat yang dicarinya. Hatinya kesal sekali dan dia ingin menumpahkan kemarahannya kepada pemuda gembel bertubuh kecil yang wajahnya berseriseri dan cengarcengir ini.

   "Tidak tahu... saya tidak tahu..."

   Berulang-ulang pemuda itu menjawab sambil menggeleng kepalanya. Seorang di antara tiga orang perwira yang tadi menangkapnya, berkata kepada sang komandan,

   "Ketika kami menangkapnya, dia sedang mencuri bakpao."

   Komandan itu mengerutkan alisnya dan hampir dia membentak marah kepada bawahannya mengapa pencuri bakpao saja ditangkap. Akan tetapi karena dia hendak menumpahkan kemarahannya kepada tawanan terakhir ini, dia menghardik,

   "Bagus! Engkau pencuri, tentu engkau berkawan dengan maling itu! Siapa namamu?"

   Pemuda gembel itu nampak gugup, akan tetapi menjawab juga dengan suara lirih,

   "Nama saya Cin..."

   "Hanya Cin saja?"

   "Hanya Cin saja."

   "Apa shenya (nama marganya)?"

   "Sudah lupa."

   "Brakkk!"

   Komandan itu menggebrak meja.

   "Jangan main-main kau! Mana mungkin orang lupa she-nya sendiri?"

   "Tapi saya hanya mengingat bahwa nama saya Cin begitu saja, tuan besar."

   "Hemm, baiklah. Sejak kapan engkau menjadi gembel?"

   "Gembel? Apakah itu, tuan besar?"

   "Gembel! Pengemis, tukang minta-minta tak tahu malu."

   "Sejak lahir."

   Sepasang mata yang sudah mulai lelah dan mengantuk itu kini terbelalak. Sebanyak itu orang yang diperiksanya, baru sekali ini menarik perhatiannya dengan jawaban yang aneh-aneh di luar dugaan.

   "Sejak lahir jadi gembel? Pantas! Tak tahu malu! Nah, di mana rumahmu? Hayo mengaku terus terang sebelum kusuruh potong tanganmu yang suka mencuri itu!"

   "Rumahku? Seluruh tempat di dunia ini adalah rumahku, tuan besar!"

   Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Jawaban ini kembali membuat semua orang tertegun dan komandan itu sendiri bangkit dari kursinya dan mengepal tinju.

   "Engkau minta dipukul? Jawab yang benar!"

   Wajah pemuda gembel itu kini berseri-seri seperti ketika dia mencuri bakpao di pasar tadi. Agaknya sudah pulih kembali kegembiraan hatinya dan dia tidak lagi dicekam rasa takut.

   "Saya tidak berbohong. Gedung inipun rumahku, bukankah buktinya aku sekarang tinggal di sini? Dan toko-toko di tepi jalan itu, tiap malam boleh saja aku tinggal di empernya, atau di bawah-bawah jembatan, semua tempat adalah tempat tinggalku..."

   "Setan! Kau mau main-main?"

   "Tidak, tuan besar. Dunia ini adalah rumahku, langit adalah atapku, bumi adalah lantaiku, pohon-pohon dan bunga-bunga adalah hiasan-hiasan rumahku, dan..."

   "Cukup!"

   Komandan itu menghardik sambil menjatuhkan dirinya lagi ke atas kursi dan mengusap peluh dari dahinya. Dia melirik ke arah para pembantunya dan mereka ini dengan penuh arti menyilangkan telunjuk ke depan dahi untuk menyatakan persangkaan mereka bahwa tentu gembel muda ini menderita penyakit miring otak.

   "Jadi engkau seorang gelandangan, ya? Seorang tuna wisma yang merantau kemana-mana. Jadi, engkau tentu mengenal penjahat yang semalam mengacau di kuil Dewi Laut? Hayo mengaku!"

   Komandan itu memberi isyarat dan dua orang tukang siksa sudah melangkah maju menghampiri.

   "Aku tahu... aku tahu..."

   Pemuda itu berseru ketika melihat dua orang tukang siksa yang membawa cambuk yang sudah berlepotan darah itu menghampirinya.

   "Bagus sekali!"

   Wajah komandan itu berseri. Akhirnya berhasil juga pemeriksaan ini, pikirnya.

   "Hayo katakan yang jelas siapa mereka itu, dan engkau bukan saja akan kubebaskan, malah akan kuberi hadiah pakaian dan uang."

   "Aku tahu... seperti yang kudengar bahwa Sang Dewi Laut mengamuk di kuil, dan membunuh-bunuhi orang-orang yang terlalu banyak dosanya. Jadi yang mengacau adalah para hwesio dan nikouw sendiri dibantu oleh pasukan keamanan, merekalah yang dihajar oleh Sang Dewi karena mungkin terlalu banyak dosa..."

   "Brakkk!"

   Kembali komandan itu menggebrak meja dan mukanya menjadi pucat saking marahnya.

   "Hajar bocah ini! Beri dia dua puluh lima kali cambukan yang keras!"

   Dua orang algojo itu menyeringai. Dua puluh lima kali cambukan pada tubuh yang kecil ini berarti mencambukinya sampai mati! Mereka menangkap tangan pemuda itu dan seorang di antara mereka menghardik,

   "Buka bajunya!"

   "Jangan... ah, jangan... dibuka. Aku seorang wanita..."

   Pemuda gembel itu berseru dan kini suara aselinya keluar, suara seorang gadis! Dua orang algojo itu tertegun dan melepaskan tangannya saking kaget dan heran. Juga komandan itu sendiri memandang dengan mata terbelalak.

   "Perempuan...? Kau perempuan yang menyamar...? Ah, sungguh mencurigakan..."

   Kalau begitu... aughhh..."

   Tiba-tiba komandan itu yang tadinya bangkit berdiri, menjatuhkan dirinya lagi ke atas kursi dan memegangi kepalanya dengan kedua tangan. Tiba-tiba saja dia merasa kepalanya seperti akan meledak dan pening sekali. Dia memejamkan mata dan menggerakkan tangan kepada para pembantu.

   "Bawa dia pergi... tahan dia dalam sel... dia orang penting, besok kulanjutkan pemeriksaan, kepalaku pusing..."

   Para perajurit pembantu lalu menyeret gadis yang menyamar sebagai pemuda gembel itu dan menjebloskannya ke dalam sel yang gelap. Pemuda gembel itu memang sebenarnya dara remaja yang pernah muncul naik kuda di pintu gerbang, juga ialah dara remaja yang semalam muncul di kuil Dewi Laut dan menandingi Hwa-hwa Kuibo dan Koai-Pian Hek-mo secara lihai itu.

   Kini dengan wataknya yang bengal dan ugal-ugalan, Ia sengaja membiarkan dirinya ditawan dan diperiksa, walaupun kalau ia menghendaki, setiap waktu ia dapat saja meloloskan dirinya. Kini ia malah membiarkan dirinya dijebloskan ke dalam sel yang amat kuat, mendatangkan bahaya bagi dirinya sendiri. Semua ini sengaja dilakukan oleh dara yang bengal ini karena tadi ia melihat bayangan pemuda gagah yang bergantung di luar jendela, dan ia melihat pula ketika pemuda itu meniupkan sebutir benda kecil yang mengenai jalan darah di dekat pelipis kepala sang komandan, membuat komandan itu kontan terserang rasa pening yang hebat. Ia merasa amat tertarik melihat sepak terjang pemuda itu dan ia ingin sekali mengetahui, apa yang hendak dilakukan oleh pemuda itu selanjutnya, maka ia sengaja membiarkan dirinya dijebloskan ke dalam sel tahanan yang gelap!

   Iapun menduga-duga siapa gerangan adanya pemuda berpakaian putih bersih yang kelihatannya lihai itu dan apa maunya. Para pembaca sendiri tentu sudah bertanya-tanya dan menduga-duga siapa gerangan dara remaja yang aneh ini, yang Kadang-kadang berpakaian seperti seorang gadis ugal-ugalan atau memang ia ugal-ugalan, dan Kadang-kadang menyamar sebagai seorang pemuda gembel. Siapakah ia dan betapa mengagumkan dan mengherankan bahwa seorang dara semuda ia, baru antara lima belas dan enam belas tahun usianya, sudah demikian lihainya sehingga mampu menandingi pengeroyokan dua orang tokoh iblis seperti Hwa-hwa Kuibo dan Koai-pian Hek-mo, dua di antara Cap-sha-kui yang ditakuti dunia kang-ouw itu? Sebetulnya, kelihaian dara remaja ini tidaklah mengherankan apabila kita ketahui siapa sebenarnya ia.

   Ia adalah puteri tunggal dari Pendekar Sadis! Bagi para pembaca yang belum pernah membaca kisah Pendekar Sadis sebaiknya mengenalnya sekarang juga. Pendekar Sadis bernama Ceng Thian Sin, masih berdarah kaisar karena mendiang ayahnya adalah seorang pangeran. Pendekar Sadis memiliki ilmu kepandaian yang amat luar biasa, amat banyak dan semua ilmunya adalah ilmu yang tinggi dan luar biasa. Dia bahkan telah mewarisi ilmu-ilmu dari Cin-Ling-Pai, ilmu yang paling tinggi seperti Thian-te Sin-ciang, Thai-kek Sin-kun, San-in Kun-hoat, bahkan Thi-khi-I-Beng yang mukjizat itu sudah dikuasainya. Dia mewarisi pula ilmu dari pendekar sakti Yap Kun Liong, yaitu Pat-hong Sin-kun dan Pek-in-ciang. Juga dari neneknya, pendekar wanita Cia Giok Keng, dia mewarisi pedang Gin-hwa-kiam dan ilmu memainkan sabuk sebagai senjata.

   Untuk memperlengkap ilmu-ilmunya, dia telah pula mewarisi ilmu-ilmu mukjizat dari kitab tulisan Bu Beng Hud-couw, yaitu Ilmu Hek-liong Sin-ciang yang delapan jurus, Ilmu Hok-te Sin-kun dan siulian menghimpun tenaga sakti berjungkir balik. Sebagai puteri tunggal dari Pendekar Sadis yang demikian lihainya, sudah barang tentu dara itu lihai bukan main, mewarisi sebagian besar ilmu dari ayahnya. Akan tetapi, dara remaja yang berbakat ini menjadi semakin lihai karena ibunyapun seorang yang amat lihai, bahkan memiliki ilmu kepandaian yang setingkat dan hanya berselisih sedikit dibandingkan ayahnya. Ibunya bernama Toan Kim Hong, juga berdarah bangsawan karena ayahnya adalah seorang pangeran pula. Toan Kim Hong ini pernah menyamar sebagai nenek dan bahkan telah berhasil menjadi datuk kaum sesat di dunia selatan dengan julukan Lamsin (Malaikat Selatan).

   Ilmu-ilmunya juga hebat dan terutama sepasang Hokmo Siang-kiam yang hitam itu amatlah ampuhnya. Ginkangnya amat tinggi bahkan dalam hal kecepatan gerak, ia masih mengalahkan suaminya. Ilmu silatnya Hok-mo Sin-kun juga amat hebat dan sukar dicari tandingannya. Selain ilmu silat tinggi ini, juga dengan sinkangnya yang kuat, ia pandai bermain silat Biankun dan tangannya dapat berobah seperti kapas lunaknya, namun mengandung tenaga mukjizat yang akan mengalahkan tenaga-tenaga yang kelihatan kuat. Senjata rahasianya jarum merah juga berbahaya, dan lebih berbahaya lagi adalah rambutnya. Ia dapat mempergunakan rambutnya sebagai senjata ampuh yang dapat merampas senjata lawan! Demikianlah sedikit perkenalan dengan Ceng Thian Sin atau Pendekar Sadis dan isterinya, Toan Kim Hong atau dahulu dikenal sebagai nenek Lamsin.

   Mereka berdua hanya mempunyai seorang anak, yaitu dara remaja yang kini berusia lima belas tahun dan bernama Ceng Sui Cin itu. Kini Pendekat Sadis sudah berusia empat puluh lima tahun dan isterinya yang lebih tua dua tahun itu masih kelihatan amat cantik seperti wanita berusia tiga puluhan saja. Sebagai puteri suami isteri pendekar yang demikian tinggi ilmunya, tidaklah mengherankan kalau dalam usia semuda itu, Sui Cin sudah amat pandai. Ayah bundanya adalah manusia-manusia bebas, maka iapun menjadi manusia bebas dan wajar. Bahkan ia diperbolehkan merantau sesuka hatinya karena ayah bundanya merasa yakin bahwa kesadaran akan hidup yang sudah ditanamkan sejak kecil kepada puterinya itu, dapat membuka mata puteri mereka dan dapat membuat Sui Cin selalu waspada akan segala hal yang terjadi, baik di dalam maupun di luar dirinya.

   Akan tetapi, karena di waktu muda mereka, Ceng Thian Sin maupun Toan Kim Hong adalah petualang-petualang besar, maka agaknya darah petualang mengalir dalam tubuh Sui Cin. Ia suka bertualang dan menempuh bahaya-bahaya, bersikap ugal-ugalan dan tidak perduli akan tanggapan orang lain. Namun di balik semua ini, ia tetap seorang yang berwatak pendekar, yang selalu menentang kejahatan, menentang penindasan dan selalu siap untuk membela kaum yang lemah tertindas. Di dalam perantuannya yang sudah memakan waktu tiga bulan itu, ia tiba di Ceng-tao dan ia sengaja menuju ke sini karena ia mendengar kabar angin di dunia kang-ouw bahwa di Bukit Perahu akan diadakan pertemuan antara para tokoh pendekar yang suka menyebut dirinya golongan putih atau golongan bersih.

   Ayah bundanya sendiri tidak pernah mengaku bahwa mereka adalah orang-orang golongan bersih. Akan tetapi ia sudah banyak mendengar tentang tokoh-tokoh sakti dunia kang-ouw yang belum pernah dijumpainya. Bahkan para tokoh sakti yang masih dekat hubungannya dengan ayah bundanya, tak pernah ia jumpai. Hal ini adalah karena nama ayahnya sebagai Pendekar Sadis agaknya membuat para tokoh "bersih"

   Itu segan mendekatinya. Sui Cin sudah cukup dewasa untuk dapat menduga bahwa ayah bundanya dapat digolongkan sebagai tokoh putih, akan tetapi juga dapat dinamakan tokoh hitam karena ayah bundanya tidak pernah menentang golongan hitam secara berterang.

   Dan diam-diam iapun merasa sebal terhadap para pendekar yang suka menyebut diri mereka golongan bersih, golongan putih, atau kaum pembela keadilan dan kebenaran! Ia menganggap mereka itu terlalu congkak dan tinggi hati, merasa benar sendiri, baik sendiri dan mau menang sendiri. Pendekar Sadis dan isterinya tinggal di sebuah pulau kosong yang kini berobah menjadi pulau yang indah, hidup sebagai orang yang berkecukupan. Di pulau itu mereka bangun sebuah gedung yang mungil, dikelilingi rumah-rumah tempat tinggal mereka yang menjadi pelayan atau anak buah. Sejak kecil, Sui Cin hidup sebagai anak kaya, akan tetapi sungguh aneh, anak ini merasa jemu dan di dalam perantauannya, ia selalu menyamar sebagai seorang miskin. Ia merasa lebih bebas dalam pakaian butut,

   Lebih dapat menikmati kehidupan sebagai orang miskin dari pada kalau ia menjadi puteri kaya yang melakukan perjalanan dalam kereta indah diiringi pasukan pengawal. Kesukaan dara itu melihat tempat-tempat lain tidaklah mengherankan. Setiap orang selalu ingin menyaksikan tempat-tempat lain dan tempat sendiri, betapapun indahnya, selalu menimbulkan kebosanan kalau tidak sekali-kali ditinggalkan untuk menyaksikan tempat lain. Pulau kosong yang ditinggali keluarga Pendekar Sadis itu sebenarnya amat indah, bernama Pulau Teratai Merah. Suami isteri itu telah memperkembang biak bunga-bunga teratai merah di situ sehingga kini pulau itu penuh dengan bunga-bunga teratai merah yang tumbuh subur di empang-empang air yang mereka buat di seluruh permukaan pulau.

   Ceng Sui Cin yang berusia lima belas tahun lebih itu seperti setangkai teratai merah yang baru mekar. Wajahnya cantik jelita dan manis sekali seperti wajah ibunya, sepasang matanya bersinar tajam seperti mata ayahnya. Sepak terjangnya di pintu gerbang Ceng-tao dan di kuil Dewi Laut membuktikan bahwa ia seorang dara yang gagah, ringan tangan tapi adil dan hatinya tidak kejam, tidak mudah membunuh orang. Hal ini, yaitu jangan mudah membunuh, ditanamkan oleh ayah bundanya sejak ia kecil. Ayah bundanya di waktu muda amat bengis, bahkan ayahnya dijuluki Pendekar Sadis karena terlalu suka membunuh. Agaknya mereka menyesali perbuatan itu dan menanamkan ke dalam batin anak tunggal mereka agar jangan terlalu mudah membunuh orang.

   Demikianlah sekelumit keterangan tentang siapa adanya gadis yang bernama Ceng Sui Cin itu. Kini ia, sebagai akibat dari kebengalan dan keinginan tahunya, telah dijebloskan ke dalam sel besi yang sempit dan gelap, tak tahu apa yang akan terjadi pada dirinya. Setelah para petugas itu pergi, diam-diam Sui Cin lalu mencoba kekuatan pintu sel itu. Ternyata pintu baja itu amat kuat dan tidak mungkin dengan tenaga kasar saja membongkarnya. Akan tetapi, karena ia tidak dibelenggu, iapun merasa tenang dan leluasa. Dicobanya pula kekuatan jeruji besi sebesar-besar lengannya itu. Tergetar sedikit, akan tetapi tidak melengkung. Ia menghentikan percobaannya dan menghimpun udara untuk memulihkan pernapasannya yang agak memburu. Sementara itu, di luar mulai gelap dan di dalam sel yang tidak diberi penerangan itupun menjadi semakin gelap.

   "Sialan, lilinpun tidak diberi!"

   Sui Cin mengomel akan tetapi ia diam saja, bahkan lalu duduk bersila di tengah ruangan sempit itu untuk menghimpun tenaga.

   Ia menanti karena merasa yakin bahwa tentu pemuda yang nampak bergantung di luar jendela sore tadi tidak akan berhenti sampai di situ saja, dan ia ingin melihat apa yang akan dilakukan olehnya. Kalau sampai semalam ini dia tidak muncul, terpaksa ia besok pagi akan mencari daya upaya untuk dapat meloloskan diri. Akan tetapi ternyata ia tidak perlu menanti terlalu lama. Menjelang tengah malam, tiba-tiba pendengarannya yang amat tajam dapat menangkap suara angin dari tubuh orang yang berkelebat dan tak lama kemudian wajah pemuda sore tadi muncul di depan jeruji pintu sel. Penerangan yang berada di luarpun hanya remang-remang sehingga wajah pemuda itu tidak nampak jelas. Akan tetapi Sui Cin yakin bahwa tentu inilah pemuda yang sore tadi bergantung di luar jendela dan telah menyemburkan benda kecil yang mengenai pelipis komandan yang memeriksanya.

   "Sssttt..."

   Pemuda itu memberi isyarat dengan telunjuk ke depan mulut ketika Sui Cin bangkit menghampiri daun pintu.

   "Aku datang untuk membebaskanmu dari tempat ini..."

   Melihat sikap pemuda itu dan mendengarnya berbisik-bisik serius, Sui Cin yang biasanya menghadapi segala sesuatu dengan gembira dan lincah, diam-diam tersenyum dan merasa geli.

   "Bagaimana aku dapat keluar dari sini?"

   Bisiknya juga, ingin tahu bagaimana akal pemuda itu untuk membebaskannya. Kalau ia menjadi pemuda itu, untuk membebaskan tawanan ia akan merobohkan penjaga, merampas kuncinya dan membuka pintu tahanan itu dengan kunci.

   "Begini..."

   Kata pemuda itu sambil memegang dua buah jeruji baja dengan kedua tangannya, lalu dia mengerahkan tenaga menariknya ke kanan kiri. Melihat ini, Sui Cin memandang penuh perhatian dan kagumlah dara remaja ini melihat betapa jeruji besi sebesar lengannya itu kini melengkung ke kanan kiri! Ia sendiri tadi sudah mencobanya dan mendapat kenyataan betapa kuatnya baja itu. Akan tetapi pemuda ini dapat menariknya sampai melengkung. Hal ini membuktikan bahwa pemuda ini memiliki tenaga yang amat kuat.

   "Cepat, keluarlah, kita pergi dari sini,"

   Kata pemuda itu setelah dua batang jeruji ditariknya bengkok dan membuat lubang yang cukup besar untuk dapat dilalui Sui Cin. Dara itu merangkak melalui lubang itu dan berhasil keluar dari kamar tahanan sempit. Ia ingin sekali melihat sampai di mana kelihaian pemuda yang menolongnya ini, maka iapun lalu berkata dengan suara lantang sekali,

   "Anjing-anjing di sini sungguh menjemukan sekali! Orang-orang tak bersalah ditangkapi dan disiksa..."

   "Ssttt..."

   Harap jangan keras-keras kau bicara!"

   Pemuda itu berkata lirih.

   "Kenapa tidak boleh keras-keras? Biar mereka semua mendengarnya. Memang anjing-anjing itu kurang ajar sekali, terutama srigala gendut yang melakukan pemeriksaan!"

   "Hushhhh..."

   Pemuda itu mencegah dan memegang lengan Sui Cin, namun terlambat. Teriakan-teriakan gadis itu terdengar sudah oleh para penjaga dan dari segala penjuru berdatangan mengepung tempat itu.

   "Tawanan lolos..."

   "Kepung! Tangkap..."

   Para penjaga berteriak-teriak dan mengepung pemuda itu bersama Sui Cin yang diam-diam tersenyum gembira. Sekali ini ia akan dapat menyaksikan kelihaian pemuda itu menghadapi pengeroyokan para penjaga yang telah mengepung ketat. Pemuda itu mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala dengan gemas. Kini para penjaga menyalakan obor yang menerangi tempat itu dan Sui Cin dapat melihat wajah pemuda itu dengan jelas. Wajah yang sederhana saja, seperti wajah pemuda-pemuda biasa, akan tetapi sepasang mata itu bersinar tajam dan sikapnya penuh kegagahan.

   "Mari kita pergi..."

   Kata pemuda itu tiba-tiba sambil menarik lengan Sui Cin.

   "Ke mana harus pergi?"

   Sui Cin pura-pura bertanya, karena sesungguhnya ia belum ingin pergi sebelum menyaksikan bagaimana pemuda itu akan menghadapi para pengeroyok. Pemuda itu nampak semakin tidak sabar.

   

Harta Karun Jenghis Khan Eps 7 Pendekar Sadis Eps 8 Pendekar Sadis Eps 22

Cari Blog Ini