Asmara Berdarah 21
Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo Bagian 21
Seperti telah kita ketahui, Toan Jitong dan isterinya pada tiga tahun yang lalu telah mengumpulkan para datuk sesat untuk mengadakan pertemuan dan di dalam pertemuan ini Raja Iblis dan isterinya mengangkat diri mereka sendiri menjadi pimpinan para datuk untuk merencanakan pemberontakan. Pada waktu diadakan pertemuan itu, Siang Hwa berusia dua puluh satu tahun dan ia sendiri tidak memperlihatkan diri dalam pertemuan itu karena ia mempunyai tugas lain yang diberikan gurunya kepadanya. Ia harus bersembunyi dan melakukan penjagaan rahasia bersama belasan orang teman yang menjadi kaki tangan gurunya. Setelah pertemuan para datuk itu selesai, Raja Iblis dan isterinya lalu menggembleng lagi murid mereka sambil mengatur persiapan untuk melakukan rencana pemberontakan mereka.
Murid inilah yang mendapat tugas mewakili mereka mengadakan pertemuan-pertemuan dan persekutuan rahasia dengan para tokoh dan juga para pembesar penting. Berkat kecantikannya, kecerdikan dan juga kepandaiannya, Siang Hwa berhasil melaksanakan tugasnya dengan baik sekali dan pada waktu itu, sudah banyaklah pembesar-pembesar yang mempunyai kekuatan pasukan telah diam-diam menjadi sekutu para pemberontak yang sudah siap siaga dan sewaktu-waktu mereka akan dapat mengerahkan pasukan untuk bersama-sama menggempur kota raja dan merampas kekuasaan dari Kaisar Ceng Tek! Selain membujuk para pembesar untuk bersekutu, juga Siang Hwa bertugas membujuk orang-orang gagah dari dunia kang-ouw, yang biasanya bahkan menjadi lawan kaum sesat, untuk bekerja sama demi perjuangan membasmi kelaliman! Dalam rangka tugas inilah Siang Hwa berada di dusun Lokcun itu.
Dara ini mempergunakan kuil sunyi yang ditakuti orang itu untuk tempat tinggal sementara sehingga ia dapat melakukan pertemuanpertemuan rahasia dengan para pembantunya tanpa dilihat orang. Sungguh tidak disangkanya bahwa malam hari itu ia akan bertemu dengan seorang pemuda yang selain amat tampan dan ganteng, juga amat gagah perkasa sehingga ia sendiri tidak mampu mengalahkannya dengan ilmu silat. Munculnya pemuda seperti Hui Song ini sungguh di luar dugaan Siang Hwa dan begitu bertemu ia sudah jatuh cinta! Inilah pemuda yang selama ini diidam-idamkannya. Banyak sudah ia bertemu dengan pemuda tampan, bahkan sudah sering pula ia menyerahkan diri kepada pria-pria yang disukainya, akan tetapi belum pernah ia bertemu dengan seorang pemuda yang tampan dan disukainya, yang memiliki kepandaian lebih tinggi darinya.
Akan tetapi para pria itu tidak masuk hitungan, hanya merupakan alat penghiburnya saja untuk melampiaskan nafsu. Ia hanya mau menjadi isteri seorang pemuda yang selain disukanya juga memiliki kepandaian lebih tinggi darinya, dan pemuda ini sungguh amat lihai. Maka, terpaksa ia harus mempergunakan akal dan saputangannya yang berbahaya itu, yang kalau tidak dikehendakinya merupakan saputangan biasa, akan tetapi pada saat ia terdesak, ia dapat menarik alat halus pada saputangan itu yang akan membuka tempat penyimpanan bubuk beracun wangi yang amat ampuh. Selain tugas untuk menghubungi para orang gagah di dunia kang-ouw agar mau bekerja sama menentang kaisar, juga ada suatu tugas rahasia lain, yang pada waktu itu amat menganggu hati Siang Hwa.
Gurunya menunjuk ia untuk memimpin teman-teman yang boleh dipercaya dan yang memiliki kepandaian tinggi, untuk menyelidiki dan mencari sebuah harta karun yang berada di sebuah tempat rahasia yang amat sulit dan sukar dikunjungi. Ia sudah berkali-kali mencoba dengan teman-temannya menyelidiki tempat itu, namun selalu gagal, bahkan beberapa orang temannya berkorban nyawa di tempat itu sedangkan tempat penyimpanan harta karun itu tetap saja belum dapat ia temukan. Gurunya berpesan bahwa kalau ia tidak mampu, barulah kedua orang gurunya akan turun tangan sendiri. Teman-temannya sudah menganjurkan dan menasihatkannya untuk melapor kepada Raja dan Ratu Iblis saja bahwa ia dan teman-temannya tidak sanggup lagi. Akan tetapi Siang Hwa adalah seorang gadis yang keras hati dan angkuh.
Ia merasa malu kalau harus menghadap kedua orang gurunya dan melaporkan kegagalannya. Ini berarti mengakui kelemahan sendiri! Tidak, ia harus mencoba lagi dan untuk itu ia harus mendapatkan seorang kawan yang lihai, setidaknya memiliki tingkat kepandaian, terutama ginkang yang setingkat dengannya! Di antara para pembantunya, terdapat dua orang kakek yang menjadi orang-orang kepercayaan gurunya. Mereka itu adalah Huito Cinjin (Manusia Sakti Pisau Terbang) dan Kangthouw Lomo (Setan Tua Kepala Baja) yang siang hari tadi sudah pernah berjumpa dengan Hui Song. Mereka adalah dua orang kakek yang tadi membunuh empat orang pemuda mabok di dalam restoran. Dua orang kakek ini bukan orang sembarangan, bukanlah penjahat biasa. Mereka itu adalah dua di antara Cap-sha-kui yang tentu saja memiliki kepandaian hebat!
Dan dari dua orang kakek inilah Siang Hwa mendengar bahwa di dusun itu muncul seorang pemuda yang amat lihai, seorang pemuda bernama Cia Hui Song yang bukan hanya mampu menghindarkan diri dari sambaran pisau-pisau maut yang dilempar oleh Huito Cinjin, akan tetapi bahkan sanggup menahan pukulan Kangthouw Lomo yang amat kuat itu. Mendengar ini, Siang Hwa merasa tertarik sekali, juga curiga. Jangan-jangan pemuda itu adalah mata-mata pihak musuh, pikirnya. Ia tahu bahwa gerakan gurunya mengumpulkan orang-orang kang-ouw dan niat hendak memberontak itu tentu sudah terdengar oleh dunia persilatan dan tidak merupakan hal aneh kalau ada pihak yang akan menentangnya. Ruangan yang meniadi tempat tidur itu tidak berapa luas dan keadaannya tidak dapat dibilang bagus, apalagi mewah. Namun, kalau orang melihat keadaan kuil yang sudah tidak dipakai dan rusak itu,
Dia akan heran melihat betapa di dalam kuil kosong yang rusak itu terdapat sebuah kamar di dalamnya, kamar yang cukup teratur dan terawat. Kamar itu bersih walaupun sederhana dan berbau harum. Di dalam kamar itu hanya terdapat sebuah dipan kayu dan sebuah meja kayu. Satu-satunya hiasan hanyalah sehelai tirai sutera yang juga dipergunakan sebagai penutup jendela yang sudah berlubang dan daun jendelanya rusak. Inilah ruangan yang dipergunakan oleh Siang Hwa untuk menjadi kamar tidurnya, sementara ia bersembunyi di dalam kuil itu. Dan setelah berhasil membuat Hui Song pingsan dan tidak berdaya lalu menawannya, ia membawa pemuda itu ke dalam kamar dan setelah mendudukkan tubuh Hui Song ke atas pembaringan dan mengikat kedua tangan pemuda itu dengan erat,
Ia lalu menyandarkan Hui Song dengan usapan-usapan pada muka, terutama di depan hidungnya, menggunakan obat bubuk penawar racun yang membuat pemuda itu jatuh pingsan. Tak lama kemudian, sadarlah Hui Song. Dia menggerakkan cuping hidungnya karena yang pertama terasa olehnya adalah keharuman yang menusuk hidungnya. Lalu dia membuka mata dan terbelalak menatap wajah manis yang berada begitu dekat dengan mukanya. Wajah cantik manis yang berbau harum, dengan sepasang mata setengah terpejam, bibir setengah terbuka, menantang dengan tahi lalat kecil di atas dagu. Dia terkejut dan otomatis meronta, akan tetapi dia semakin kaget mendapat kenyataan bahwa kedua lengannya tak dapat digerakkan, terbelenggu pada pergelangan tangannya.
Diapun teringat kini dan alisnya berkerut, matanya menatap tajam wajah cantik yang amat dekat itu. Siang Hwa juga merasa bahwa tawanannya sadar, maka ia membuka mata menatap sambil tersenyum dan semakin mendekat sehingga tangannya menyentuh dada Hui Song. Pemuda itu bergidik ketika jari-jari tangan halus itu menyentuh dadanya yang ternyata sudah telanjang karena baju di bagian dadanya terbuka. Jari-jari tangan itu bergerak halus seperti cecak merayap di sepanjang dadanya, membuat Hui Song merasa malu dan canggung, akan tetapi dia tidak mampu mengelak karena punggungnya bersandar pada kepala dipan dan kedua lengannya tidak mampu digerakkan, Dia hanya dapat menarik kepalanya ke belakang untuk menjauhi muka manis yang begitu dekat sehingga napas gadis itu menyapu pipinya.
"Ehh...? Kau... kau perempuan curang!"
Dia membentak, teringat bagaimana dia sampai tertawan oleh gadis ini.
"Kau... kau laki-laki yang gagah perkasa, seorang jantan perkasa yang mengagumkan hatiku..."
Siang Hwa berbisik dan merangkul, mendekap dan membenamkan mukanya di dada yang bidang dan telanjang itu.
Sejenak mereka diam saja dan gadis itu dapat merasakan dan mendengar degup jantung yang amat kuat di balik dada itu, sedangkan Hui Song memejamkan kedua matanya. Seluruh tubuhnya tergetar oleh dekapan yang penuh gairah dan nafsu ini. Terasa olehnya betapa dari seluruh tubuh wanita ini seperti keluar hawa panas yang membakarnya dan dia terpaksa harus mengerahkan sinkang untuk melawan dorongan nafsu yang mulai timbul dalam benaknya. Pengerahan sinkang ini menolongnya dan dia membuka mata. Pada saat itu, dia melihat berkelebatnya bayangan orang di luar jendela! Ada seorang wanita yang mengintai ke dalam! Penglihatan ini sungguh amat membantunya dan seketika kegelisahan dan kebimbangannya lenyap. Tidak, dia tidak boleh jatuh ke dalam rayuan gadis jalang ini!
"Pergilah kau, perempuan curang dan jalang!"
Dia membentak. Siang Hwa tidak menjadi marah, melainkan memandang dengan sinar mata lembut dan sikap memikat.
"Kalau aku menghendaki tetap tadi aku sudah membunuhmu. Akan tetapi tidak, aku tidak ingin membunuhmu, karena itu aku harus menggunakan siasat untuk mengalahkanmu tanpa melukaimu atau membunuh. Kau maafkanlah aku."
"Hemm, siapakah engkau dan mengapa engkau menawanku?"
"Aku... namaku Siang Hwa, Gui Siang Hwa, seorang yatim piatu yang hidup sebatangkara. Aku ingin sekali bersahabat denganmu, akan tetapi engkau begitu gagah perkasa, tanpa menggunakan akal aku tidak akan dapat merobohkanmu. Engkau... yang bernama Cia Hui Song, bukan?"
Diam-diam pemuda itu terkejut. Kiranya wanita ini bukan saja lihai dan berbahaya, akan tetapi juga cerdik sekali. Dia sendiri belum mengenal gadis ini, bahkan mendugapun tidak dapat siapa gerangan gadis cantik ini, akan tetapi gadis ini sudah mengenal namanya.
"Engkau sudah mengenalku. Engkau bilang ingin bersahabat dengan aku, akan tetapi engkau menyerangku, kemudian merobohkan aku dengan bubuk beracun dan kini menawanku, siapa mau percaya omonganmu?"
"Cia-taihiap, aku... begitu melihatmu, kemudian melihat kepandaianmu, aku... suka sekali kepadamu, aku... jatuh cinta dan aku ingin sekali bersahabat denganmu. Akan tetapi karena aku takut engkau akan memberontak dan tidak percaya kepadaku, maka terpaksa aku merobohkanmu secara itu dan kalau sekarang engkau berjanji mau menerima uluran tangan dan hatiku, aku tentu akan segera melepaskan ikatan kedua tanganmu..."
"Hemm, apa yang kau maksudkan dengan uluran tangan dan hati itu?"
Hui Song sudah berusia dua puluh empat tahun, akan tetapi dia masih asing dengan istilahistilah mengenai cinta dan dia belum berpengalaman tentang wanita. Siang Hwa tersenyum, mendekat dan meraba lalu mengelus dada telanjang itu, dan ia mendekatkan mukanya, bibirnya bergerak hendak mencari dan mencium bibir pemuda itu. Hui Song terpaksa menarik kepalanya ke belakang dan terdengar gadis itu berbisik,
"Taihiap, uluran tangan dan hatiku adalah penyerahan seluruh jiwa ragaku kepadamu, aku cinta padamu, taihiap..."
Dan Siang Hwa tiba-tiba mencium bibir Hui Song yang tidak dapat mengelak lagi.
"Perempuan hina tak tahu malu!"
Tiba-tiba terdengar bentakan halus dari luar jendela dan mendengar ini, tiba-tiba Siang Hwa melepaskan rangkulannya dan sekali meloncat ia sudah keluar dari dalam kamar itu. Begitu ia tiba di luar kamar, seorang gadis yang manis menyambutnya dengan serangan sepasang pedang mengeluarkan sinar berkilat. Siang Hwa terkejut bukan main. Sebagai seorang ahli silat pandai, ia mengenal gerakan pedang yang amat lihai, maka iapun cepat mengelak dengan loncatan ke belakang. Akan tetapi gadis itu mendesaknya dengan kilatan-kilatan sepasang pedang yang dimainkan dengan cepat, indah dan berbahaya.
"Siapa engkau?"
Siang Hwa membentak sambil meloncat mundur lagi ke ruangan depan kamarnya yang luas.
"Perempuan hina, aku adalah algojomu untuk mengakhiri kecabulanmu!"
Gadis itu berteriak semakin marah dan penasaran melihat betapa serangan-serangannya tidak pernah berhasil. Ia menerjang lagi ke depan dan sepasang pedang di kedua tangannya itu berkelebatan membentuk dua gulungan sinar yang berkilauan.
"Bagus! Ilmu pedangmu bagus juga!"
Siang Hwa berseru dan begitu tangan kanannya meraba pinggang, ia telah mengeluarkan sebatang pedang yang kebiruan. Kiranya pedangnya itu terbuat dari baja yang tipis sekali, tipis dan lemas sehingga dapat disimpan di pinggang sebagai ikat pinggang! Dan begitu ia mengelebatkan pedangnya, nampak sinar kebiruan.
"Trang! Cringg..."
Gadis itu mengeluarkan seruan kaget. Pedang kebiruan itu dengan gerakan aneh dan cepat, telah menangkis dan begitu membentur sepasang pedangnya, ia merasa betapa tangannya kesemutan. Cepat ia meloncat ke belakang sambil memutar sepasang pedangnya untuk melindungi dirinya. Terdengar Siang Hwa terkekeh dan iapun kini membalas dengan serangan-serangan dahsyat yang membuat gadis pemegang siang-kiam (sepasang pedang) itu menjadi repot untuk menangkis dan menghindarkan diri dari sambaran sinar biru yang amat lihai itu.
Mendengar suara gadis di luar kamar itu, Hui Song segera mengenalnya. Itulah suara Tan Siang Wi, sumoinya! Tentu saja dia merasa gelisah sekali karena dia tahu bahwa sumoinya bukanlah lawan Siang Hwa yang amat lihai itu. Dia berusaha melepaskan diri, akan tetapi pengaruh obat bius masih melemaskannya dan tali yang mengikat kedua pergelangan tangannya juga amat kuat. Dia harus menanti sampai tenaganya pulih kembali akan tetapi saat itu sumoinya berada dalam bahaya maut. Dia sudah mendengar suara berdencingan senjata pedang yang saling beradu dan dengan pendengarannya diapun dapat mengenal gerakan sumoinya yang kini mulai kacau dan terdesak, lebih banyak menangkis dari pada menyerang.
"Gui Siang Hwa, jangan celakai sumoiku..."
Akhirnya karena khawatir sumoinya celaka, dia berteriak. Terdengar suara ketawa merdu wanita itu disusul tangkisantangkisan yang menimbulkan suara berdenting.
"Hihik, kiranya sumoimu sendiri? Tentu saja aku tidak akan membunuhnya kalau begitu!"
Dan suara ini disusul keluhan Tan Siang Wi dan terdengar jatuhnya tubuh gadis Cin-Ling-Pai itu.
"Sumoi, awas bubuk beracun obat biusnya!"
Kembali Hui Song berteriak dengan khawatir. Akan tetapi sumoinya tidak menjawab dan suasana menjadi sunyi. Yang terdengar hanyalah suara ketawa Siang Hwa dan tak lama kemudian wanita itu masuk lagi ke dalam kamar sambil mengempit tubuh Siang Wi yang sudah pingsan! Kiranya suara terjatuh tadi adalah robohnya Siang Wi terkena obat bius seperti yang pernah dialaminya tadi. Sambil tersenyum kepada Hui Song, Siang Hwa berkata,
"Lihat, kalau tidak berat kepadamu, tentu ia telah menjadi mayat. Cia-taihiap, dengan perbuatanku tidak membunuh engkau dan sumoimu, bukankah sudah cukup bukti bahwa aku ingin bersahabat denganmu?"
Hui Song maklum bahwa pada saat itu, sebelum dia dapat membebaskan dirinya, keselamatan nyawanya dan nyawa sumoinya memang berada di tangan gadis lihai ini.
"Baiklah, kalau memang benar engkau ingin bersahabat denganku, apa salahnya? Akan tetapi, engkau tidak boleh memaksakan kehendakmu mengenai... mengenai cinta. Hal seperti ini tidak boleh dipaksakan, sama sekali tidak boleh!"
Siang Hwa mengerutkan alisnya. Belum pernah atau jarang sekali ada pria menolak cintanya. Hampir semua pria yang disenanginya menyambut cintanya dengan kedua tangan terbuka, sebagian kecil saja karena takut kepadanya dan sebagian besar karena memang mereka tergila-gila oleh kecantikannya. Akan tetapi pemuda Cin-Ling-Pai ini, ia yakin benar bahwa tentu pemuda she Cia ini adalah pemuda Cin-Ling-Pai karena ia tadi mengenal beberapa macam gerakan dasar dari Cin-Ling-Pai, pemuda ini tidak tergila-gila kepadanya, juga sama sekali tidak takut walaupun sudah tertawan dan tidak berdaya! Belum pernah ia bertemu dengan seorang pemuda seperti ini. pemuda gagah perkasa seperti ini selain amat mengagumkan hatinya dan menjatuhkan hatinya seperti yang belum pernah dialaminya,
Juga dapat merupakan seorang sahabat dan sekutu yang amat baik. Gurunya tentu akan girang sekali kalau bisa mendapatkan pembantu seperti Cia Hui Song ini dan tentu akan memujinya sebagai seorang yang pandai menarik tenaga yang amat kuat sebagai sekutu. Hatinya amat kecewa dan nafsu berahinya yang tadinya memuncak itu tiba-tiba saja menjadi menurun banyak. Baiklah, bagaimanapun juga, aku harus dapat memanfaatkan pertemuannya dengan pemuda istimewa ini. Kalau tidak dapat menariknya sebagai kekasih, setidaknya untuk saat ini, biarlah ia menariknya sebagai sahabat dan sekutu. Kalau sudah menjadi sahabat, perlahan-lahan ia akan dapat merayunya dan ia masih penuh kepercayaan akan kemampuan dirinya dalam hal ini, bahkan hampir merasa yakin bahwa akhirnya pemuda ini akan roboh ke dalam pelukannya juga.
"Cia-taihiap, kau kira aku ini orang macam apakah? Aku tidak biasa memaksakan cinta, dan walaupun aku jatuh hati kepadamu dan mencintamu sejak pertama kali bertemu, akan tetapi aku hanya mengharapkan engkau akan dapat menerima uluran tangan dan hatiku, aku tidak akan memaksamu. Baiklah, apakah engkau mau berjanji untuk bersahabat denganku?"
Hui Song juga bukan orang bodoh. Dia tahu bahwa gadis ini lihai dan berbahaya sekali dan dalam keadaan seperti itu, dia tidak dapat memilih. Dia sendiri sudah merasa betapa tenaganya sudah pulih dan dia merasa yakin bahwa kalau dia menghendaki, pada saat itupun dia akan mampu mengerahkan tenaga dan membebaskan diri dari belenggu. Akan tetapi, dengan adanya Siang Wi yang masih tak mampu bergerak, akan berbahaya sekali kalau dia melakukan hal itu. Dan wanita ini hanya minta kepadanya untuk bersahabat. Apa salahnya?
"Baiklah, apa salahnya kalau kita bersahabat? Akan tetapi sikapmu tidak seperti bersahabat. Engkau menawan aku dan sumoi..."
"Sabarlah, aku akan membebaskanmu. Dalam keadaan sekacau ini, bagaimana aku tahu bahwa kalian adalah orang baik-baik? Siapa tahu kalau-kalau kalian ini mata-mata dari pihak pemberontak? Kalau kau mau berjanji menjadi sahabatku dan membantuku dengan suatu urusan, aku tentu akan membebaskanmu dan juga sumoimu dan minta maaf."
Diam-diam Hui Song merasa heran. Wanita ini agaknya tahu pula akan rencana pemberontakan para datuk sesat. Akap tetapi hal inipun tidaklah berapa aneh. Bukankah berita itu telah tersiar di dunia kang-ouw dan melihat kepandaiannya, wanita inipun tentu seorang kang-ouw yang lihai dan sudah mendengar pula akan berita itu. Dan agaknya wanita ini menentang kaum pemberontak, akan tetapi dia harus yakin akan hal ini.
"Nona, seorang dengan kepandaian seperti engkau ini mana takut akan segala kekacauan? Dan pemberontakan apa yang nona maksudkan?"
(Lanjut ke Jilid 20)
Asmara Berdarah (Seri ke 08 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 20
"Hemmm, tidak tahukah engkau bahwa kini ada rencana pemberontakan yang diatur oleh para datuk di dunia kang-ouw?"
Hui Song mengangguk.
"Aku sudah mendengar. Bukan datuk kang-ouw, melainkan datuk kaum sesat, bahkan Cap-sha-kui bersatu dan bersekutu dengan para datuk jahat dan dipimpin oleh Raja dan Ratu Iblis!"
Hui Song memandang tajam untuk melihat reaksi pada wajah gadis itu.
"Ihh..."
Siang Hwa menarik muka kaget dan ngeri.
"Sampai sedemikian jauh dan hebat? Kalau begitu, kerajaan terancam bahaya!"
"Nona, engkau mempunyai kepandaian tinggi, lalu dengan adanya kenyataan ini apakah yang akan kau lakukan? Apakah engkau hendak bergabung dengan mereka yang akan memberontak itu?"
Muka Siang Hwa menjadi merah, sebetulnya mukanya merah karena malu dan tidak enak hati, akan tetapi Hui Song mengiranya merah karena marah sehingga diam-diam dia merasa girang dan menduga bahwa gadis ini bukan teman para pemberontak.
"Hemm, Cia-taihiap, apakah engkau juga hendak membantu Cap-sha-kui dan para pemberontak itu?"
Siang Hwa yang cerdik balas bertanya sambil menatap tajam. Hui Song menggeleng kepala.
"Aku bukan penjahat dan bukan pula pemberontak, dan aku lebih suka menentang Cap-sha-kui dari pada menjadi sahabat mereka!"
"Bagus, kalau begitu kita sepaham!"
Siang Hwa berkata dengan senyum lebar.
"Tadinya aku meragukan apakah engkau dan sumoimu itu mata-mata pemberontak. Maafkan aku, kalau begitu aku harus membebaskanmu, taihiap."
Berkata demikian, ia mendekat dan hendak melepaskan tali yang mengikat kedua pergelangan tangan Hui Song. Akan tetapi ia berhenti dan menatap wajah itu.
"Tapi... kau belum berjanji untuk membantuku."
"Setelah kita bersahabat, tentu saja aku akan membantumu, asal saja bukan untuk perkara kejahatan."
"Hemm, apakah kau belum percaya padaku, taihiap? Aku bukan penjahat. Berjanjilah bahwa engkau akan membantuku, dan aku akan membebaskan kau dan sumoimu. Akan tetapi, sumoimu tidak boleh ikut serta."
"Mengapa?"
"Urusan itu adalah rahasiaku sendiri, orang lain, kecuali engkau yang kuminta bantuan tidak boleh tahu."
Hui Song mengangguk, mengerti. Pula, diapun tidak senang kalau sumoinya mencampuri urusannya. Pertama, watak sumoinya itu angkuh dan keras sehingga di mana-mana mudah menimbulkan keributan dan permusuhan, kedua, tingkat ilmu kepandaian sumoinya, walaupun pada umumnya dapat dianggap cukup lihai, akan tetapi belum boleh diandalkan kalau bertemu dengan datuk-datuk sesat dan ke tiga, dia tahu betapa sumoinya mencintanya dan mengharapkan dia menjadi suaminya dan hal ini membuat dia merasa canggung dan tidak enak untuk berhadapan dengan gadis itu.
"Kalau begitu, aku akan membebaskanmu sekarang!"
Siang Hwa mendekat tetapi Hui Song tersenyum.
"Tidak perlu lagi, nona. Kalau aku mau, sejak tadipun aku sudah bisa membebaskan diri sendiri."
Berkata demikian, dia mengerahkan tenaga sinkang, disalurkan kepada lengannya dan sekali kedua lengan itu bergerak merenggut, terdengar suara keras, dan belenggu itupun putusputus.
"Ihhh..."
Siang Hwa terkejut dan melompat ke belakang, meraba pinggang dan matanya terbelalak. Akan tetapi Hui Song tersenyum.
"Jangan kaget dan jangan khawatir, nona. Aku tadi hanya ingin melihat apakah benar-benar engkau berniat baik maka aku sengaja membiarkan diri terbelenggu."
"Aihh... engkau... sungguh hebat, taihiap,"
Katanya kagum.
"Dan sekarang aku akan membebaskan sumoimu,"
Iapun cepat menghampiri Siang Wi, menggunakan obat penawar racun bius tadi.
Tak lama kemudian terdengar Siang Wi mengeluh dan membuka mata. Begitu melihat gadis yahg tadi merayu suhengnya itu duduk berjongkok di dekatnya, Siang Wi mengeluarkan teriakan marah dan langsung saja ia mengirim pukulan-pukulan bertubi ke arah tubuh lawan yang amat dibencinya karena cemburu itu. Siang Hwa meloncat ke belakang dan mengelak sambil menangkis beberapa kali. Gerakannya amat diperhatikan Hui Song dan pemudia ini diam-diam harus mengakui bahwa tingkat ilmu silat dari Gui Siang Hwa memang amat tinggi, gerakannya cekatan, cepat sekali dan juga indah walaupun aneh dan liar sifatnya. Mudah nampak olehnya bahwa gerakan gadis itu jauh lebih lihai dari pada gerakan sumoinya dan kalau dilanjutkan, tentu sumoinya akan kalah walaupun Siang Hwa tidak mempergunakan racun bius.
"Sumoi, hentikan seranganmu!"
Bentak Hui Song. Mendengar bentakan ini, Siang Wi menahan serangannya dan membalik, memandang kepada Hui Song dengan mata terbelalak mengandung sinar marah penasaran.
"Suheng, ia... ia... si wanita cabul ini, tak tahu malu dan patut dibunuh!"
"Sumoi, tenanglah. Nona Gui ini adalah segolongan, tadi hanya terjadi salah paham antara kami..."
"Tapi... tapi aku melihat dengan mataku sendiri, mendengar dengan telingaku sendiri betapa ia telah menawanmu, dan merayumu secara tak tahu malu..."
"Sstt, sumoi. Sudahlah. Kukatakan tadi hanya salah paham. Kini kami sudah bersahabat, dan kami akan melakukan kerja sama untuk suatu urusan yang tak boleh diketahui orang lain. Karena itu, kuminta agar engkau suka meninggalkan tempat ini sekarang juga. Kembalilah kau ke Cin-ling-san dan jangan mengikuti aku lagi."
"Tapi... suheng..."
"Sudahlah, sumoi. Kau jangan banyak membantah. Ketahuilah bahwa kalau tidak berniat baik, kita berdua tadi sudah tewas di tangan nona Gui. Pergilah!"
Tan Siang Wi berdiri dengan muka pucat, kedua tangan dikepal dan kini kedua matanya mulai basah. Ia memandang kepada dua orang itu secara bergantian, tatapan matanya pada Siang Hwa penuh kebencian, sedangkan kalau ia memandang suhengnya sepasang matanya memancarkan permohonan dan kekecewaan.
"Suheng... haruskah aku pergi... Engkau mengusir aku begitu saja?"
Hui Song mengangguk. Dia tidak ingin menyakiti hati sumoinya, akan tetapi mengingat akan watak sumoinya yang keras, dia harus bersikap tegas. Dia sudah berjanji kepada Siang Hwa dan dia tidak boleh melanggar janji itu. Pula, diam-diam dia menaruh hati curiga kepada Siang Hwa dan ingin menyelidiki siapa sesungguhnya wanita ini dan peran apa yang dipegangnya. Dia merasa bahwa ada sesuatu di balik diri wanita ini, karena seorang wanita selihai Siang Hwa tidak mungkin secara kebetulan saja bertemu dengan dia, mengajak bersahabat dan minta bantuannya untuk mengurus sesuatu yang rahasia.
"Sumoi, harap jangan banyak bicara lagi. Pergi dan kembalilah ke Cin-ling-san."
Kini beberapa tetes air mata jatuh menitik.
"Suheng... engkau... selalu mengecewakan dan menyakiti hatiku..."
"Maafkan, sumoi..."
Akan tetapi Tan Siang Wi sudah menyambar sepasang pedangnya yang tadi jatuh ke atas lantai ketika ia roboh pingsan dan berloncatan pergi meninggalkan tempat itu. Sunyi keadaan di dalam ruangan itu setelah Siang Wi pergi dan akhirnya terdengar tarikan napas panjang dari Siang Hwa.
"Aihhh... agaknya dengan kegantengan dan kegagahanmu engkau ditakdirkan untuk menjatuhkan dan mengecewakan hati wanita, taihiap. Sudah dua orang wanita kulihat hari ini yang menjadi korbanmu. Pertama adalah diriku sendiri, dan kedua adalah sumoimu!"
Hui Song juga menarik napas panjang. Diam-diam dia merasa kasihan sekali kepada Siang Wi, sumoinya itu. Sejak kecil sumoinya mencintanya dan cinta kanak-kanak itu makin lama semakin kuat dan akhirnya menjadi cinta kasih seorang wanita terhadap seorang pria, cinta kasih yang mengharapkan untuk diikat dan dikukuhkan menjadi perjodohan suami isteri. Dan dia tahu benar bahwa hatinya tidak mencinta sumoinya, walaupun dia sayang kepada sumoinya itu yang dianggap sebagai adik sendiri. Akan tetapi gadis di depannya ini? Dia belum mengenalnya benar dan tidak tahu apakah benar gadis ini cinta kepadanya seperti yang diakuinya. Dia harus bersikap hati-hati terhadap wanita ini.
"Maafkan aku kalau memang demikian, nona. Akan tetapi semua itu terjadi tanpa kesengajaan dari pihakku, dan ingat, cinta tidak mungkin dapat dipaksakan."
Siang Hwa tersenyum pahit dan mengangguk-angguk, diam-diam dia semakin kagum dan membayangkan betapa akan nikmatnya kelak kalau sampai ia berhasil membujuk pria ini menjadi kekasihnya dan berada dalam dekapannya.
"Aku tidak menyalahkanmu, Cia-taihiap, dan aku merasa kasihan kepada sumoimu itu yang agaknya mencintamu dengan amat mendalam."
"Nona, ingin sekali aku mengetahui bagaimana engkau dapat mengenal namaku?"
Mereka kini duduk berhadapan di atas dua buah bangku yang berada di dalam ruangan itu, terhalang sebuah meja kecil. Siang Hwa tersenyum.
"Aku mendengar dari Ciang-tosu dan Ciong-hwesio yang menjadi teman-temanku dalam urusan yang kumintakan bantuanmu ini."
Hui Song teringat akan dua orang kakek itu dan diapun tersenyum mengejek.
"Wah, Jangan-jangan dua orang kakek berpakaian tosu dan hwesio yang kejam itu, yang membunuh empat orang muda di dalam restoran dan..."
"Benar mereka!"
Kata Siang Hwa dengan sikap sungguh-sungguh.
"Dan harap taihiap jangan mentertawakan dan salah sangka terhadap mereka! Mereka itu adalah bekas-bekas tosu dan hwesio dan biarpun kini bukan lagi terikat agama, mereka sudah terbiasa memakai jubah seperti yang dahulu mereka pakai ketika masih menjadi pendeta. Kini mereka adalah pertapapertapa dan mereka juga turun di dunia ramai untuk menentang kaum pemberontak."
"Ahh..."
Hui Song terheran dan juga kagum.
"Akan tetapi mengapa mereka begitu kejam, menyebar maut di restoran, membunuh empat orang muda yang tidak berdosa?"
Gadis itu tersenyum, manis sekali kalau tersenyum, terutama karena tahi lalat kecil di atas dagu itu.
"Orang-orang muda yang tidak berdosa? Taihiap tidak tahu..."
"Mungkin mereka melakukan kesalahan, akan tetapi kesalahan itu hanyalah berupa ejekan terhadap mereka yang berpakaian pendeta, dan itupun dilakuken dalam keadaan mabok."
Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Taihiap salah mengerti. Empat orang muda itu tidaklah sebersih itu, tidak seperti yang taihiap sangka. Mereka adalah mata-mata pemberontak yang menyamar, sebagai pemuda-pemuda pemabokan dan kalau Ciang-tosu dan Ciong-hwesio tidak mempergunakan pukulan beracun, mereka tentu tidak mudah dikalahkan dan tempat kami tentu sudah ketahuan dan kami diserbu oleh para pemberontak."
Hui Song terbelalak heran, juga terkejut karena sungguh hal itu tidak pernah disangkanya sama sekali.
"Aku merasa gembira sekali dapat bersahabat dengan taihiap, apalagi akan mendapatkan bantuanmu. Ketika kedua orang locianpwe itu memberi tahu kepadaku tentang diri taihiap, kami bertiga sudah mengambil kesimpulan bahwa tentu engkau adalah seorang tokoh Cin-Ling-Pai dan ternyata dugaan kami benar seperti yang taihiap nyatakan sendiri ketika taihiap bicara dengan sumoi taihiap itu dan menyebutnyebut Cin-ling-san."
"Memang aku adalah putera ketua Cin-Ling-Pai,"
Kata Hui Song yang merasa tidak ada gunanya lagi menyembunyikan keadaan dirinya.
"Ahh..."
Gadis itu bangkit dan menjura.
"Kalau begitu aku telah berlaku kurang hormat dan maafkanlah kelancanganku, taihiap."
"Sudahlah, nona. Kedudukan dan nama tidak merubah keadaan seseorang. Sebaiknya nona ceritakan, urusab apakah itu yang membutuhkan bantuanku?"
"Urusan ini amat penting dan rahasia, taihiap. Ketahuilah bahwa kami yang mewakili beberapa orang-orang kang-ouw di wilayah selatan, mengutus aku dan dibantu oleh dua orang locianpwe itu untuk menyelidiki sebuah harta karun."
"Hemm..."
Hui Song termenung. Tak disangkanya bahwa urusan itu hanyalah urusan menyelidiki dan mencari harta karun!
"Bukan sembarang harta karun, taihiap. Kalau engkau mengira bahwa kami adalah orang-orang yang haus akan harta karun, engkau keliru! Ketahuilah bahwa kami mencari harta karun itu justeru dalam usaha kami menentang usaha para pemberontak. Para pemberontak itu akan menjadi kuat sekali kalau harta karun itu tidak kita dahului dan kita ambil."
"Apa maksudmu? Aku tidak mengerti, nona."
"Begini, taihiap. Tempat di mana harta karun itu berada kini juga diintai oleh para pemberontak. Kabarnya malah Raja dan Ratu Iblis sendiri juga mencarinya. Akan tetapi, kami lebih beruntung karena kami sudah dapat menemukan tempat itu. Hanya saja... tempat itu sukar didatangi, bahkan aku telah kehilangan nyawa beberapa orang teman ketika mencoba untuk mencari harta karun di tempat itu."
"Ah, begitu berbahayakah? Apa yang menyebabkan bahaya itu?"
"Tempatnya amat sukar dilalui dan tempat itu terkenal dengan nama Gua Iblis Neraka! Agaknya tempat itu memang sengaja dibuat agar tidak ada orang yang berani memasuki. Kabarnya, dahulu dibuat oleh seorang tosu sakti, yang mencuri harta karun dari kaisar lalim dan disimpan di tempat itu, dan disediakan untuk mereka yang akan menentang kaisar lalim di kemudian hari. Harta karun itu sudah hampir seribu tahun umurnya dan sampai kini belum juga ada yang berhasil menemukannya."
"Kalau demikian sukarnya, mengapa engkau minta bantuanku? Kalau orang seperti engkau dan teman-temanmu tidak sanggup, mana mungkin aku akan bisa membantumu?"
"Begini, taihiap. Di antara kami yang depat menyeberangi jembatan batu pedang, hanya aku seorang. Kedua locianpwe itupun hanya sanggup maju belasan meter saja. Dan aku sudah menyeberangi jembatan batu pedang itu, namun selanjutnya aku tidak sanggup menggerakkan batu penutup lubang di sebelah dalam. Aku membutuhkan bantuan orang yang memiliki ginkang dan sinkang yang melebihi aku dan ternyata engkau amat lihai, jauh melampaui tingkatku dan..."
"Dan dengan mudah aku yang lebih lihai ini tertawan olehmu!"
Hui Song mengejek. Siang Hwa tertawa.
"Aih, engkau sakit hati benarkah, taihiap? Sudahlah, biar aka mengaku bahwa aku telah bertindak curang dan maafkanlah aku. Nah, rahasia itu sudah kuceritakan dan kalau engkau membantu kami, hal itu berarti bahwa engkau sudah menentang para pemberontak. Kalau kita berhasil, berarti kita telah memukul para pemberontak dan melumpuhkan setengah dari kekuatan mereka!"
Tentu saja Hui Song tertarik sekali. Biarpun dua orang kakek itu dianggapnya kejam, dan ternyata tidak dapat dinamakan kejam kalau empat orang muda itu adalah mata-mata pentberontak, dan biarpun gadis ini pernah bersikap tidak menyenangkan hatinya, akan tetapi mereka ini adalah orang-orang yung menentang pemberontak yang dipimpin Raja dan Ratu Iblis, berarti masih rekan sendiri dalam usahanya menentang para pemberontak.
"Baik, kapan kita berangkat ke sana?"
"Sekarang juga, taihiap."
"Baik, mari kita berangkat, singgah di rumah penginapan karena aku akan mengambil buntalan pakaianku lebih dahulu."
Wanita itu tertawa, pergi ke sebelah kamar dan kembali membawa sebuah buntalan yang terisi semua pakaian Hui Song yang tadi ditinggalkan di dalam kamar rumah penginapan itu.
"Eh? Bagaimana... kapan..."
"Taihiap, ketika aku mendengar dari kedua locianpwe tentang dirimu, aku tertarik sekali dan aku lalu pergi ke rumah penginapan itu, diam-diam memasuki kamarmu. Ternyata engkau tidak ada, maka aku lalu mengambil pakaianmu, kubawa ke sini karena aku bermaksud untuk mencarimu sampai dapat. Ketika kulihat engkau berada di balik pohon, aku menyimpan pakaian ini, lalu aku pergi lagi untuk muncul berlarian di atas genteng agar nampak olehmu dan selanjutnya kita bertanding..."
Ia terkekeh lirih dan menutupi mulut, gayanya manis sekali. Wajah Hui Song menjadi kemerahan.
"Sudahlah, mari kita pergi."
"Pakaianmu biar disimpan di sini dulu."
Berangkatlah mereka berdua, seperti dua sahabat lama, meninggalkan kuil tua itu setelah Siang Hwa memadamkan penerangan dan menutupkan pintu kamar sederhana itu. Dari luar, kuil itu nampak sunyi dan menyeramkan. Mereka melakukan perjalanan cepat keluar dusun menuju ke arah timur. Pada pagi harinya, setelah melakukan perjalanan beberapa jam lamanya, mereka tiba di kaki bukit dan di luar sebuah hutan telah menanti dua orang yang dari jauh sudah dikenal oleh Hui Song, yaitu dua orang kakek yang pernah bertanding dengan dia, si tosu tinggi kurus dan si hwesio gendut! Dua orang itu nampak terkejut melihat Hui Song, akan tetapi Siang Hwa segera tersenyum dan memperkenalkan.
"Jiwi locianpwe jangan khawatir. Cia-taihiap telah menjadi sahabat kita yang sehaluan dan sudah kujelaskan semua tentang jiwi kepadanya. Cia-taihiap adalah putera ketua Cin-Ling-Pai dan agaknya dialah yang memiliki kemampuan untuk membuat usaha kita berhasil."
Dua orang itu kini sikapnya berbeda dengan ketika pertama kali bertemu dengan Hui Song. Mendengar ucapan Siang Hwa, mereka segera menjura kepada Hui Song dengan sikap hormat dan ramah.
"Cia-taihiap, maafkan kami yang telah bersikap tidak patut kepadamu,"
Kata Ciang-tosu yang sebenarnya adalah Huito Cinjin, seorang di antara Cap-sha-kui yang belum pernah dikenal Hui Song.
"Ha-ha-ha, ada peribahasa mengatakan bahwa Tidak Berkelahi Maka Tidak Kenal ternyata benar! Cia-taihiap, kita sudah saling bertanding, maka saling mengenal isi perut masing-masing! Ha-ha-ha!"
Ciong hwesio yang sebenarnya adalah Kangthouw Lomo juga berkata.
"Cia-taihiap, harap maafkan. Ciang-tosu memang selalu serius dan Ciong-hwesio sebaliknya suka bergurau!"
Siang Hwa cepat berkata untuk memberi isyarat kepada kedua orang temannya bahwa ia memperkenalkan mereka kepada Hui Song sebagai Ciang-tosu dan Ciong-hwesio.
"Siancai... memperoleh seorang pembantu seperti Cia-taihiap sungguh merupakan suatu kebahagiaan besar!"
Kata Ciang-tosu.
"Omitohud, sungguh pinceng yang tidak becus sehingga merepotkan saja kepada putera ketua Cin-Ling-Pai."
Kata pula Ciong-hwesio.
Berangkatlah empat orang itu melanjutkan perjalanan menuju ke utara. Perjalanan itu dilakukan dengan cepat dan setelah mereka melewati dan menyeberangi Sungai Chingho, tibalah mereka di kaki Pegunungan Luliangsan yang amat luas itu. Perjalanan sampai ke situ sudah makan waktu lima hari dan selama lima hari itu, Siang Hwa dan dua orang kakek itu selalu bersikap ramah dan sopan sehingga keraguan dan kecurigaan hati Hui Song semakin menipis. Gadis itu memang seorang pendekar wanita, pikirnya, hanya agaknya memiliki kelemahan terhadap pria yang menarik hatinya, ataukah memang gadis ini benar-benar jatuh cinta kepadanya. Di sepanjang perjalanan, Siang Hwa tidak memperlihatkan sikap genit. Bujuk rayu yang amat berani, yang dilakukan ketika Hui Song tertawan itu, kini sama sekali tidak nampak lagi dan ia hanya kelihatan amat memperhatikan Hui Song dan selalu berusaha menyenangkan hatinya, seperti biasanya seorang wanita yang jatuh cinta.
Setelah melewatkan malam di kaki bukit, pada keesokan harinya pagi-pagi sekali mereka sudah berangkat lagi, sekali ini memasuki hutan dan melalui jalan yang amat sukar, naik turun bukit dan jurang, melalui jalan liar berbatu-batu yang runcing dan tajam. Jelas bahwa orang biasa akan sukar melalui jalan seperti itu, dan kalaupun ada orang pandai yang dapat, untuk apa mereka bersusah payah mendatangi tempat ini? Tanpa tujuan penting, kiranya tidak akan ada orang begitu gila untuk menyusahkan diri memasuki daerah yang liar dan sukar dilalui ini. Setelah matahari naik tinggi, di bawah pimpinan Ciang-tosu yang agaknya mengenal baik jalan liar itu, tibalah mereka di daerah berbukit-bukit dan mereka berhenti di depan sebuah bukit yang dikelilingi jurang. Hui Song terbelalak kagum. Bukit ini seperti sebuah rumah besar saja, dan pintunya adalah sebuah gua yang besar.
Agaknya gua ini dahulunya ditutup dengan pintu batu yang amat besar. Akan tetapi pintu batu itu kini sudah terbuka miring dan pada pintu batu yang amat tebal dan beratnya tentu ribuan kati itu terdapat ukiran tulisan tiga huruf yang berbunyi GUA IBLIS NERAKA. Sungguh amat indah, megah dan juga menyeramkan. Siapakah orangnya yang sudah dapat membuat pintu batu seperti itu dan siapa pula yang kuat membukanya? Kalau menggunakan tenaga manusia biasa, sedikitnya membutuhkan lima puluh orang yang menggabungkan tenaganya. Dan gua yang sudah terbuka itu nampak begitu luas, seolah-olah bukan gua melainkan sebuah pintu tembusan menuju ke sebuah dunia yang lain lagi, dunia penuh dengan batu-batu raksasa yang aneh-aneh bentuknya, seperti diukir saja. Ataukah ini merupakan istana besar yang dihuni setan?
Empat orang itu begitu terpesona dan asyik memandang ke dalam, berdiri seperti patung-patung di depan gua yang pintunya terbuka itu sehingga mereka tidak tahu sama sekali bahwa sejak tadi, sebelum mereka tiba di tempat itu, jauh tinggi di atas pohon terdapat seorang gadis yang mendekam di atas dahan dan bersembunyi di balik daun-daun lebat, mengintai ke arah mereka! Seorang gadis manis yang cantik jelita, berusia kurang lebih sembilan belas tahun, berwajah periang dan bermata kocak, berpakaian sederhana. Kalau saja Hui Song dapat melihat gadis itu, tentu dia akan berteriak kegirangan karena gadis itu adalah wanita yang selama ini selalu terbayang olehnya, dibawa ke dalam mimpi, dan tak pernah dilupakannya. Gadis itu adalah Ceng Sui Cin!
"Sebaiknya kita masuk sekarang sebelum gelap,"
Kata Ciang-tosu atau Huito Cinjin sambil menunjuk ke dalam dengan tangan kirinya.
"Mari, taihiap, kita masuk, biar aku yang menjadi penunjuk jalan karena aku yang sudah beberapa kali pernah masuk ke sini!"
Kata Siang Hwa. Hui Song yang sudah tertarik sekali mengangguk. Mereka berempat lalu masuk ke dalam gua, Siang Hwa dan Hui Song di depan, diikuti oleh dua orang kakek itu.
Setelah mereka berempat masuk, Sui Cin dari atas "melayang! ke bawah. Ya, gerakannya itu seperti seekor burung melayang saja, demikian ringan dan cepatnya. Ternyata gadis ini jauh berbeda dengan Sui Cin tiga tahun yang lalu. Gerakannya sungguh luar biasa dan ia telah benar-benar menguasai ilmu Bueng Huiteng (Lari Terbang Tanpa Bayangan) dengan baik. Dengan gerakan yang amat sigap, iapun menyelinap mesuk ke dalam gua di sebelah sana pintu dan ternyata di bagian dalam itu merupakan daerah yang luas dan berbatu-batu sehingga memudahkan gadis ini untuk menyelinap di antara batu-batu, bersembunyi dan membayangi empat orang yang berloncatan di sebelah depan. Setelah melalui perjalanan berlikuliku di antara batu-batu besar, empat orang itu berhenti di depan terowongan dan memandang ke depan.
"Inilah jembatan batu pedang itu!"
Kata Siang Hwa dan Hui Song memandang terbelalak ke depan. Hebat memang. Bukan jembatan, melainkan lorong yang penuh dengan batu-batu meruncing seperti dibuat oleh tangan manusia sakti saja. Lorong itu demikian penuh dengan batu-batu meruncing ini sehingga untuk melewati lorong itu, satu-satunya jalan haruslah berloncatan dari batu ke batu, di atas ujungujung batu runcing seperti pedang itu! Dan untuk mengerjakan ini bukanlah hal yang mudah, membutuhkan ginkang yang sudah matang dan juga tenaga sinkang yang kuat.
"Nah, di sinilah semua teman mogok. Ciang-tosu dan Ciong-hwesio sudah pernah mencoba, akan tetapi mereka hanya sampai beberapa meter saja. Aku sendiri sudah tiga kali melewati jembatan ini dengan hasil baik, akan tetapi selanjutnya aku tidak sanggup lagi. Di sebelah depan sana terlalu berbahaya dan sukar,"
Siang Hwa menerangkan.
"Apakah kesukarannya?"
Hui Song bertanya.
"Menuturkannya membuang-buang waktu saja dan tidak ada gunanya. Marilah kita melewati jembatan ini dulu, di depan engkau akan dapat melihatnya sendiri, taihiap. Mulai dari sinilah aku membutuhkan bantuan seorang seperti engkau maka selanjutnya engkaulah yang memimpin karena kepandaianmu jauh lebih lihai dan dapat dipercaya dari pada aku sendiri."
"Nanti dulu, nona. Selama beberapa hari aku mengikutimu dan membantumu tanpa banyak bertanya. Kini kita telah tiba di tempat ini dan kukira aku berhak mengetahui segala sesuatu tentang pekerjaan yang kita lakukan. Tempat apakah ini sebenarnya dan harta pusaka itu milik siapakah? Bagaimanapun juga, aku sungguh tidak akan mau membantu kalau terdapat kenyataan bahwa kita sedang melakukan pencurian atau perampasan."
Mendengar ini, Siang Hwa dan dua orang kakek itu saling pandang dan nampak keraguan pada pandang mata dua orang kakek itu. Akan tetapi Siang Hwa mengangguk dan berkata.
"Memang sudah sepatutnya kalau taihiap mengetahuinya, dan orang yang lebih mengetahuinya mengenai harta pusaka itu adalah Ciang-tosu."
Dan ia menoleh kepada kakek berpakaian tesu itu.
"Cianglocianpwe, Cia-taihiap adalah orang segolongan dan sehaluan, tiada salahnya kalau mendengar tentang harta pusaka ini. Harap locianpwe suka menjelaskannya."
"Siancai, sesungguhnya cerita mengenai harta pusaka ini merupakan rahasia besar, tadinya rahasia keluarga pinto, kini menjadi rahasia kita yang menentang pemberontakan. Akan tetapi karena Cia-taihiap, biarlah pinto membuka rahasia dan menceritakannya."
Kakek yang berlagak seperti pendeta beragama To itu mulai bercerita. Kiranya dia adalah keturunan Bangsa Mongol, bahkan nenek moyangnya pada hampir dua ratus tahun yang lalu merupakan pejabat tinggi atau ningrat dalam Kerajaan Goan yang berbangsa Mongol. Ketika itu pemerintahan Mongol yang memakai nama Dinasti Goan menguasai seluruh Tiongkok dan cerita tosu ini terjadi pada waktu pemerintahan dipegang oleh Kaisar Shun Ti (1333-1368). Pada waktu itu hasil tanah rampasan dari daerahdaerah yang tadinya masih belum mau mengakui kekuasaan Kerajaan Goan kemudian ditaklukkan, dibagi-bagi di antara para ningrat Mongol. Pembagian itu amat besar karena paling kecil tanah yang dibagikan kepada mereka itu mencapai luas seratus hektar!
Terjadilah perampasan-perampasan karena para pejabat tinggi menjadi "mabok tanah"
Dan timbullah tuantuan tanah dalam arti yang sebenarnya karena mereka itu masing-masing memiliki tanah yang ratusan, bahkan ribuan hektar luasnya! Tentu saja orang yang menguasai tanah sampai sekian luasnya itu merupakan raja kecil dalam tanah yang dikuasainya. Tanahtanah itu oleh para tuan tanah disewakan kepada buruhburuh tani dengan memungut hasil tanah yang amat menekan, seolah-olah para petani itu diperas keringatnya dan dihisap sebagian besar hasil tenaga mereka. Dan para petani itu tetap mau saja diperas seperti itu karena mereka hanya bermodal tenaga, tidak memiliki tanah secuilpun. Tanpa adanya tanah, kepandaian dan tenaga mereka untuk bercocok tanam tidak ada artinya dan mereka perlu makan setiap hari.
Dengan adanya kekuasaan mutlak yang dipergunakan dengan sewenang-wenang ini, maka banyak di antara para pejabat tinggi dan ningrat ini yang berhasil menumpuk harta kekayaan yang sukar dibayangkan banyaknya. Dan di antara mereka itu terdapat nenek moyang Ciang-tosu atau yang sesungguhnya berjuluk Huito Cinjin itu! Pembesar Mongol ini menumpuk harta kekayaan yang amat besar, kemudian menurunkan harta kekayaan itu kepada keturunannya sampai akhirnya pemerintah Mongol ditumbangkan oleh rakyat yang memberontak pada tahun 1368 dan brakhirlah pemerintahan penjajah Mongol dan lahirlah Dinasti Bengtiauw yang dipimpin oleh bangsa sendiri sampai saat Hui Song mendengar cerita itu dituturkan oleh Ciang-tosu.
Akan tetapi, seperti juga banyak pembesar tinggi pemerintah Mongol lainnya, nenek moyang Ciang-tosu berhasil melarikan sebagian besar harta kekayaannya dan menyembunyikannya ke dalam tempat rahasia yang dinamakan Gua Iblis Neraka itu. Dengan bantuan beberapa orang pandai, pembesar Mongol itu menyembunyikan harta kekayaan berupa emas dan batu-batu permata dan setelah berhasil menyembunyikannya, pembesar ini memerintahkan para pengawalnya untuk membunuh semua pembantu sehingga tempat itu menjadi rahasia yang hanya diketahuinya sendiri saja. Rahasia ini dibawanya lari ketika pemerintahan bangsanya jatuh dan hanya sedikit harta benda yang dapat dibawanya lari ke utara.
Dan rahasia itu menjadi warisan bagi anak cucunya. Akan tetapi, tidak mudah bagi anak cucunya untuk dapat mengambil harta pusaka yang tersimpan di tempat yang rahasia dan berbahaya itu. Ketika menyimpan rahasia itu, orang-orang pandai yang membantunya menggunakan ala-talat rahasia sehingga ketika mereka keluar, ala-talat itu digerakkan dan batu-batu runtuh menimbun dan menghapus jejak sehingga amatlah sukar bagi orang untuk menemukan harka itu, biarpun dia sudah tahu di mana letaknya. Apalagi bagi orang luar. Dan jalan menuju ke harta karun itupun amatlah sulit dan berbahayanya. Inilah sebabnya, mengapa sampai hampir dua ratus tahun, tidak ada orang yang menemukan harta itu yang masih tersimpan dan tertimbun dengan aman di tempat yang menyeramkan itu.
"Keturunan pembesar penyimpan harta karun itu, yang terakhir adalah pinto sendiri. Akan tetapi, biarpun pinto juga mewarisi pengetahuan tentang harta itu dan memiliki peta yang menunjukkan tempatnya, untuk apakah harta itu bagi pinto yang sejak muda menjadi pendeta? Pula, kepandaian pinto terlalu rendah untuk dapat menggali dan menemukan harta pusaka itu, maka sampai kini pinto tinggal diam saja. Barulah setelah pinto mendengar bahwa rahasia harta karun ini sampai ke telinga para pemberontak dan mereka berusaha mencari dan menguasainya untuk dipakai biaya melakukan pemberontakan, hati pinto tergerak dan bersama kawan-kawan sehaluan pinto berusaha mendapatkan harta karun itu mendahului para pemberontak!"
"Jalan selanjutnya bukan terjun ke bawah, melainkan melompati sumur pasir itu dan berusaha mendarat di seberang,"
Kata Siang Hwa.
"Menyeberang ke sana? Tapi, di depan itu hanya tebing..."
"Inilah mengapa aku mengatakan bahwa tempat ini amat sukar, taihiap. Dan bagian ini bukanlah yang paling sukar. Aku sendiri sudah sampai ke sana. Kau lihat batu menonjol di tebing itu, yang berwarna agak kehitaman? Nah, tonjolan batu itu dapat dipakai tempat mendarat. Di sebelah atas tonjolan itu terdapat lekukan yang cukup dalam dan lebar untuk tangan berpegangan dan bergantung, sedangkan di bawah tonjolan batu itu terdapat pula lekukan yang lebih besar lagi untuk tempat kaki berpijak. Kau dapat melihatnya, taihiap?"
Hui Song mengangguk-angguk dan dia merasa kagum kepada nona ini. Seorang diri, Siang Hwa dapat menemukan tempat mendarat yang luar biasa itu, sungguh merupakan kecerdikan dan juga keberanian yang jarang terdapat. Dia sendiri, kalau tidak diberi tahu, belum tentu akan dapat menemukan kemungkinan meloncati sumur pasir dan mendarat di tebing yang curam itu.
"Kalau ragu-ragu, biarlah aku yang melompat lebih dulu, taihiap,"
Kata Siang Hwa. Mendengar ini, tersinggung rasa harga diri Hui Song. Kalau gadis itu berani meloncati, mengapa dia tidak? Dan pula, setelah melihat tonjolan batu dan lekukan-lekukan pada dinding itu, dia maklum bahwa meloncati dan hinggap di tebing itu bukan merupakan pekerjaan yang terlalu sukar baginya.
"Tidak, biarkan aku melompat lebih dulu."
Tanpa menanti jawaban, Hui Song mengerahkan tenaganya dan meloncat. Dengan mudah saja tubuhnya melayang ke depan dan di lain saat dia sudah hinggap di tebing itu, tangan kanannya mencengkeram lekukan di atas tonjolan batu dan kaki kirinya hinggap di lekukan bawah.
"Bagus, sekarang harap merayap ke kiri. Di balik batu itu terdapat batu datar, harap berputar di balik batu dan meninggalkan tempat mendarat itu untukku, taihiap."
Hui Song merayap ke kiri, berpegang kepada lekukan-lekukan di permukaan tebing yang tidak rata dan sebentar saja dia menemukan tempat yang dimaksud oleh gadis itu. Memang, di balik tebing terdapat batu datar dan diapun berputar dan berdiri di atas batu datar itu. Kiranya di balik tebing terdapat lereng yang batunya datar. Dia memandang ketika gadis itu meloncat dan ternyata Siang Hwa mampu pula meloncati sumur pasir itu dengan mudah, hinggap di tempat dia mendarat tadi. Tak lama kemudian gadis itu telah berdiri di sampingnya, dan sebuah tangan yang hangat lunak memegang tangannya. Dia merasa betapa tangan gadis itu agak dingin gemetar.
"Kenapa?"
Tanyanya heran. Jari-jari tangan itu mencengkeram dengan hangat, lalu melepaskan kembali pegangannya.
"Maaf, taihiap. Aku selalu merasa tegang sekali kalau sudah meloncati sumur mengerikan itu, teringat kepada teman-teman yang telah ditelannya."
Ia bergidik. Kemarahan Hui Song karena kemesraan yang lancang itu lenyap dan dia merasa kasihan.
"Engkau tidak sendirian, nona. Akupun merasa tegang dan ngeri. Tempat ini memang sungguh menyeramkan dan sukar dilalui. Akan tetapi aku berjanji akan membantu sampai engkau dapat menemukan tempat penyimpanan harta karun itu, terutama demi untuk menentang para penjahat yang hendak memberontak."
"Terima kasih, Cia-taihiap, mari kita lanjutkan perjalanan ini. Tidak jauh lagi, akan tetapi masih harus melalui dua tempat yang lebih sukar dan lebih berbahaya lagi. Nah, Kau lihat, di depan itu terbentang rawa yang menghalang perjalanan menuju ke tempat penyimpanan harta karun itu. Perjalananku yang sudah-sudah, untuk pertama kalinya ketika aku melakukan perjalanan seorang diri menyelidik, hanya sampai di tepi rawa ini dan aku tidak mampu melanjutkan. Kemudian aku datang lagi dibantu oleh seorang yang cukup lihai dan kami berhasil menyeberang, akan tetapi pada rintangan terakhir kami gagal dan pulangnya, temanku itu celaka dan tewas di rawa itu."
Kalau saja Hui Song tahu akan kebohongan gadis ini, tentu dia akan bergidik ngeri. Memang benar gadis itu pernah berhasil menyeberangi rawa dengan bantuan seorang gagah, akan tetapi setelah gagal menemukan harta pusaka, khawatir karena rahasia harta karun itu telah diketahui orang luar, secara keji ia lalu membunuh orang gagah yang tadinya membantunya itu di tengah rawa! Mendengar ini, Hui Song memandang rawa itu dengan penuh perhatian. Mereka kini sudah tiba di tepi rawa. Sebuah rawa yang kecil saja, akan tetapi sungguh tidak mungkin dilewati tanpa mempergunakan alat. Melompati rawa ini hanya mampu dilakukan oleh burung dan binatang bersayap lainnya saja. Rawa itu merupakan air lumpur yang ditumbuhi bermacam tumbuh-tumbuhan yang biasa hidup di atas lumpur dan tidak melihat perahu atau alat lain untuk menyeberang.
"Bagaimana cara menyeberangi rawa ini dan apa bahayanya, nona?"
Pendekar Lembah Naga Eps 56 Harta Karun Jenghis Khan Eps 8 Pendekar Sadis Eps 3