Ceritasilat Novel Online

Pendekar Lembah Naga 56


Pendekar Lembah Naga Karya Kho Ping Hoo Bagian 56



Besar hatinya mendengar pendapat calon ayah mertuanya ini, Beng Sin lalu menceritakan segala-galanya. Betapa ayah dan ibunya telah berpisah, dan ibunya kini menjadi nikouw dan tidak mau lagi mencampuri urusan duniawi.

   Betapa dia sendiri menjadi bentrok dengan ayahnya karena peristiwa kematian kakak tirinya itu dan dia sendiri tidak ingin kembali kepada ayah kandungnya. Betapa ibunya, sebagai nikouw, merestui perjodohan yang diusulkan oleh keluarga Ciook. Semua itu didengarkan oleh suami isteri dengan penuh kesungguhan hati dan juga kagum. Pemuda calon mantunya ini benar-benar seorang yang amat jujur, tidak mau menutupi segala keburukan keluarganya sendiri. Jauh lebih baik mempunyai seorang mantu yang jujur seperti ini daripada kalau menyembunyikan dan merahasiakan segala kebusukan keluarganya. Dengan sikap jujur seperti itu, Beng Sin sudah membuktikan bahwa dia tidaklah busuk seperti kakak tirinya atau ayah kandungnya sendiri!

   "Saya sendiri sungguh mati tidak pernah dapat mengerti mengapa ayah kandung dan kakak tiri saya begitu tega untuk mencelakakan Lan-moi dan Lin-moi, menyerahkan mereka kepada pangeran keparat itu!"

   Akhirnya Beng Sin berkata sambil mengepal tinjunya.

   "Kalau saya berkepandaian, tentu akan saya tolong Lan-moi dan Lin-moi! Akan tetapi apa daya saya terhadap seorang seperti pangeran itu?"

   "Tenangkan hatimu, Beng Sin,"

   Kata calon ayah mertuanya.

   "Kedua orang adikmu itu telah selamat."

   "Eh? Bagaimana... eh, gak-hu (ayah mertua) bisa tahu...?"

   Biarpun agak malu-malu, dia tidak ragu-ragu lagi menyebut ayah mertua sehingga menggirangkan hati Ciook-piauwsu.

   "Mereka telah diselamatkan oleh kakak tiri mereka yang bernama Liong begitu, demikian menurut pendengaranku, dan mereka kini bahkan telah kembali ke rumah Ciang-piauwsu ketua Hek-eng-piauwkiok yang menganggap mereka seperti anak sendiri, bahkan mereka datang bersama ayah mereka."

   Muka yang gemuk itu memandang dengan melongo, terheran-heran akan tetapi juga girang sekali mendengar bahwa Lan Lan dan Lin Lin selamat.

   "Ah, tentu Sin Liong yang menyelamatkan mereka! Sin Liong hebat sekali! Dan mereka berada di kota ini? Bersama ayah?"

   Pertanyaan terakhir ini bernada tak senang.

   "Benar, dan mereka kini telah membeli rumah sendiri. Engkau harus cepat mengunjungi ayahmu dan adik-adikmu itu, Beng Sin. Kami girang bahwa engkau dapat berkumpul dengan keluargamu yang kini telah pindah ke sini. Sungguh kebetulan sekali dan mudah untuk mengesahkan perjodohan antara engkau dan Siu Lan."

   Akan tetapi wajah yang gemuk dan bulat itu menjadi muram dan dia menggeleng kepala.

   "Saya tidak akan mengunjungi ayah..."

   Suami isteri itu saling pandang, kemudian Ciook-piauwsu berkata, nada suaranya bersungguh-sungguh,

   "Beng Sin, kami mengharap engkau tidak mengecewakan hati kami dengan melesetnya pandangan kami tentang dirimu. Kami memandangmu sebagai seorang pemuda gagah perkasa yang baik budi dan bijaksana. Akan tetapi, semua itu akan tidak ada gunanya kalau engkau sekarang hendak bersikap murtad dan kejam terhadap ayah kandung sendiri."

   "Akan tetapi, gak-hu..., hanya sayalah yang tahu betapa jahatnya dia... betapa kejamnya... ah, sudah terlalu banyak hal keji dilakukan ayah... saya merasa malu sendiri... bahkan puteri-puterinya sendiripun hendak diserahkan kepada pangeran itu, seperti domba-domba diserahkan kepada jagal untuk disembelih..."

   "Cukup, Beng Sin!"

   Tiba-tiba Ciook-piauwsu berkata dengan suara keras dan tegas.

   "Kami tidak ingin mendengar keburukan-keburukan orang, apalagi kalau orang itu adalah ayah kandungmu. Betapapun banyak penyelewengan yang pernah dilakukannya, apakah engkau sebagai puteranya tidak menaruh hati kasihan dan tidak mau memaafkannya? Dia sekarang... ah, sakit parah..."

   "Ahhh...?"

   Beng Sin terkejut.

   "Benar, Beng Sin,"

   Sambung ibu mertuanya.

   "Ayahmu itu sedang menderita penyakit yang payah, maka sebaiknya kalau engkau cepat menengoknya agar terhibur hati orang tua itu. Juga, kasihan dua orang adikmu itu yang merasa bingung melihat ayah mereka sakit."

   Mendengar betapa Kui Hok Boan sakit payah, dan dua orang gadis kembar itu menjadi bingung, timbul rasa kasihan dalam hati Beng Sin. Betapapun juga, ayah kandungnya atau bukan, Kui Hok Boan adalah orang yang telah melimpahkan banyak budi kebaikan kepadanya. Dan dia amat menyayang dua orang dara kembar itu, bahkan pernah dia jatuh hati kepada Lin Lin sebagai seorang pria yang mencinta wanita, sungguhpun kini cintanya itu berubah menjadi cinta seorang kakak terhadap seorang adiknya.

   "Baik, saya akan pergi mengunjungi mereka."

   Giranglah hati ayah dan ibu mertua ini dan mereka lalu menunjukkan jalan ke arah rumah tinggal Lan Lan, Lin Lin, dan ayah mereka.

   Dengan jantung berdebar Beng Sin menuju ke rumah yang cukup besar itu. Kiranya, dengan bantuan keluarga Ciang-piauwsu, Kui Hok Boan kini membeli sebuah rumah, tentu saja, yang mengurusnya adalah Ciang-piauwsu bersama Kui Lan dan Kui Lin, dan tinggal di rumah ini, Kui Lan dan Kui Lin mempergunakan uang hasil penjualan perhiasan untuk membeli rumah dan perabot-perabot rumah, kemudian sisa harta mereka itu mereka serahkan kepada ayah angkat mereka, Ciang-piauwsu ketua Hek-eng-piauwkiok, untuk "dijalankan"

   Sehingga modal itu dapat meng-hasilkan keuntungan dan tidak akan habis dimakan menganggur begitu saja. Ketika Kui Lan dan Kui Lin melihat siapa orangnya yang datang berkunjung, keduanya menjadi girang dan juga terharu. Mereka menubruk dan memegangi kedua tangan Beng Sin sambil menangis.

   "Sin-ko...!"

   Kui Lan terisak.

   "Sin-ko, kenapa baru sekarang kau muncul?"

   Kui Lin juga menangis. Beng Sin tidak dapat menahan runtuhnya beberapa butir air matanya melihat dua orang dara kembar yang disayangnya ini.

   "Lan-moi... Lin-moi... terima kasih kepada Thian bahwa kalian dalam selamat..."

   Katanya berulang-ulang. Dia terharu sekali memandang wajah Kui Lan yang ternyata sekarang adalah adik tirinya, sedarah dengan dia, seayah!

   "Kami diselamatkan oleh Liong-koko,"

   Kata Kui Lan.

   "Dan Liong-koko yang menyuruh kami membawa ayah pindah ke sini,"

   Sambung Kui Lin. Sukar bagi mulut Beng Sin untuk bertanya tentang ayahnya. Ah, sudah tahukah dua orang kembar ini bahwa dia adalah saudara sedarah dengan mereka? Dan sudah dengarkah mereka tentang kematian Siong Bu? Yang paling buruk harus dibicarakan lebih dulu, pikirnya, maka dia lalu berkata,

   "Lan-moi dan Lin-moi, aku... aku telah... membunuh Bu-ko..."

   Dua orang dara itu mengangguk dan mengusap air mata,

   "Kami sudah mendengar semua itu dari Liong-koko, Sin-ko,"

   Kata Kui Lan.

   "Bukan salahmu, Sin-ko, Bu-ko memang jahat dan dia tewas dalam perkelahian karena engkau membela kami... ah, kami sudah tahu akan semua itu dari Liong-koko dan dari... dari ayah..."

   "Kamipun sudah tahu bahwa engkau adalah putera kandung ayah pula, seperti juga mendiang Bu-ko. Ah, kami sudah mendengar banyak, Sin-ko... tentang ayah... dia... dia..."

   Kui Lan tak dapat melanjutkan kata-katanya dan menangis. Dari kata-kata ayah mereka yang sering mengigau dan bicara sendiri itu, akhirnya keluarlah semua rahasia Kui Hok Boan dan tahulah dua orang dara kembar itu betapa ayahnya dahulu adalah seorang yang amat kejam dan jahat, yang telah menganiaya dan merusak banyak sekali wanita. Ayah mereka adalah seorang laki-laki mata keranjang yang suka merayu dan menyia-nyiakan wanita yang telah menjadi korbannya. Bahkan mereka tahu pula bahwa pembunuh ayah Bhe Bi Cu, teman Sin Liong itu, juga adalah ayah mereka sendiri. Beng Sin mengangguk-angguk. Agak ringan hatinya setelah mendengar bahwa dua orang adiknya inipun sudah tahu segala hal tentang ayah mereka.

   "Bagaimana... ayah...?"

   Tanyanya dengan kaku karena dia masih belum dapat menerima kenyataan bahwa Kui Hok Boan adalah ayah kandungnya sendiri.

   "Aku mendengar dari keluarga Ciook bahwa dia sakit payah?"

   Kui Lan hanya mengangguk, akan tetapi Kui Lin menerangkan,

   "Tubuhnya tidak apa-apa, Sin-ko. Jasmaninya tidak sakit akan tetapi..."

   "Tetapi bagaimana?"

   Beng Sin mendesak, alisnya berkerut dan jantungnya berdebar, dia hampir merasa dapat mengerti.

   "Pikirannya... batinnya terpukul hebat dan dia... dia..."

   "Seperti anak kecil, atau seperti orang bingung, selalu dalam duka dan sesal. Sungguh kasihan sekali dia, Sin-ko,"

   Kui Lan menyambung. Beng Sin lalu diantar oleh dua orang adiknya, digandeng di kanan kiri, menuju ke dalam dan dengan hati-hati Kui Lan membuka kamar ayahnya. Terharu bukan main hati pemuda gemuk yang memang berbudi ini ketika melihat orang tua itu. Kui Hok Boan yang dulu terkenal sebagai seorang pria tampan dengan pakaian yang selalu rapi itu kini seperti seorang jembel tua saja. Pakaiannya kusut, rambutnya kusut, tu-buhnya kurus kering, matanya sayu dan biarpun kamar itu lengkap dengan pembaringan dan kursi, namun orang tua itu rebah di atas lantai kamar! Dia menoleh dan ketika bertemu pandang dengan Beng Sin, dia bangkit duduk dan melebarkan matanya.

   "Ayah, ini Sin-ko datang menjenguk,"

   Kata Kui Lan.

   "Ayah, ini kakak Beng Sin. Lupakah ayah kepadanya?"

   Kui Lin mengingatkan.

   "Beng Sin... Beng Sin... anakku..."

   Kata orang tua itu lirih seperti berbisik. Beng Sin tak dapat menahan keharuan hatinya. Dia menjatuhkan diri berlutut di depan orang tua itu sambil menitikkah air mata.

   "Ayah...!"

   Dia tidak dapat bicara apa-apa lagi kecuali menyebut ayah kepada orang tua itu. Mau bicara apakah?

   "Beng Sin, engkau anakku... ya, engkau telah membunuh Siong Bu! Kenapa engkau tidak membunuh aku sekalian? Bunuhlah aku, Beng Sin, seperti aku telah membunuh ibumu, Tee Cui Hwa, seperti aku membunuh ibu Siong Bu, Kwan Siang Li, seperti aku telah membunuh Liong Si Kwi. Ya, ibu-ibu kalian telah mati di tanganku semua... hu-huk, mati karena aku... bunuhlah aku... hu-huk-huhhhh..."

   Dan orang tua itupun menangis seperti anak kecil! Beng Sin terkejut den momandang dengan muka pucat. Kui Lin lalu menarik tangan Beng Sin, diajaknya bangun den mereka lalu meninggalkan orang tua itu. Kui Lan menutupkan kembali daun pintu kamar itu perlahan-lahan. Suara isak tangis orang tua itu masih terdengar.

   "Dia selalu begitu..."

   Kata Kui Lin berbisik.

   "Kalau ditanggapi, makin menjadi-jadi. Sebaiknya didiamkan dan dia akan tertidur."

   Beng Sin menggeleng-geleng kepalanya.

   "Sungguh kasihan sekali ayah kita... dia harus menderita batin seperti itu..."

   "Itukah hukum karma? Siapa menanam bibitnya dia akan memetik buahnya?"

   Kata Kui Lin meragu.

   "Betapapun juga, itu merupakan pelajaran bagi kita. Ayah kita pernah melakukan kesesatan dalam kehidupannya, biarlah itu memperingatkan kita agar kita tidak sampai melakukan penyelewengan dan menjadi sesat,"

   Kata Kui Lan. Memang tiga orang anak dari Kui Hok Boan ini tadinya merasa tidak senang akan segala perbuatan jahat ayah kandung mereka dan ada perasaan benci dalam hati mereka. Akan tetapi setelah menyaksikan keadaan ayah mereka yang begitu mengenaskan, lebih menyedihkan daripada mati sendiri, hidup akan tetapi menderita dalam kedukaan dan penyesalan yang tiada habisnya, timbullah rasa iba.

   Apakah artinya segala penyesalan setelah terlambat? Apakah gunanya penyesalan? Penyesalan dianggap benar oleh umum karena penyesalan akan membuat orang itu sadar kembali. Akan tetapi benarkah demikian? Ataukah penyesalan sekedar merupakan hiburan saja bagi si pelaku, hiburan untuk menutupi batinnya yang menderita akibat perbuatannya sendiri? Betapa seringnya kita menyesal, akan tetapi betapa seringnya pula perbuatan yang sama kita lakukan dan kita ulang kembali! Orang yang berbatin lemah dan tumpul selalu berada dalam keadaan tidak waspada dan tidak sadar, sehingga mudah saja dibuai oleh bayangan kesenangan, dan kalau sudah menghadapi kesenangannya, maka tidak teringat apa-apa lagi, tidak teringat akan akibatnya. Orang yang batinnya lemah dan tumpul seperti itu hanya mementingkan kesenangan.

   Baru setelah kesenangan yang dinikmatinya itu kemudian mendatangkan akibat yang tidak menyenangkan, dia merasa menyesal! Coba andaikata tidak ada akibat yang mendatangkan derita, apakah dia akan menyesali perbuatannya mengejar kesenangan itu? Tentu saja tidak! Sama halnya dengan orang makan sambal. Setiap kali habis makan, kepedasan dan menyesal, menyatakan tobat dan kapok. Akan tetapi lain saat dia sudah makan sambal lagi! Demikian pula orang yang melakukan penyelewengan, menyesal dan menangis, bertobat melalui mulut kepada Tuhan. Akan tetapi begitu berhadapan dengan bayangan kesenangan yang sama, maka diulanglah perbuatan itu untuk kemudian menyesal dan bertobat kembali. Kalau kita mau membuka mata melihat kenyataan dalam kehidupan kita sehar-hari, dapatkah kita menyangkal kenyataan yang benar ini?

   Bukanlah penyesalan yang kita perlukan dalam hidup. Yang terpenting adalah kewaspadaan dan kesadaran yang timbul karena mengamati diri sendiri setiap saat. Pengamatan inilah yang akan menimbulkan kebijaksanaan dan kecerdasan, yang akan meniadakan penyelewengan dan kesesatan. Dan kalau tidak ada penyelewengan dan kesesatan, tidak perlu lagi ada penyesalan dan bertobat. Kalaupun kecerdasan dan kebijaksanaan yang timbul dari kewaspadaan melihat bahwa apa yang kita lakukan tidak benar, maka seketika itu juga kita menghentikan perbuatan tidak benar itu dan habis sampai di situ saja. Tidak ada penyesalan, juga tidak ada kerinduan terhadap perbuatan yang lalu itu. Yang lalu sudah mati, sudah habis dan kewaspadaan adalah sekarang, saat ini, saat demi saat. Hidup adalah saat demi saat, bukan kemarin, bukan esok. Akan tetapi sekarang. Maka hidup waspada dan sadar adalah sekarang ini!

   Yang teramat penting dalam hidup adalah sekarang ini. Sekarang benar! Apakah benar itu? Tak dapat diterangkan, karena yang dapat diterangkan adalah benarnya sendiri, benarnya masing-masing, maka terjadilah perebutan kebenaran sendiri-sendiri, dan jelas hal ini adalah tidak benar lagi! Akan tetapi, apapun yang kita lakukan, kalau didasari dengan cinta kasih, maka benarlah itu! Dan cinta kasih tidak akan ada selama di situ ada si aku yang ingin benar, ingin senang, ingin baik dan sebagainya! Melihat keadaan ayahnya, Beng Sin minta kepada calon mertuanya agar pernikahan diundurkan, menanti sampai ayahnya sembuh atau setidaknya agak normal keadaannya. Karena pada waktu itu, mendengar laporan anak-anaknya tentang perjodohan itu, dia hanya mengangguk saja atau menangis!

   Beberapa hari sebelum hari yang ditetapkan untuk pertemuan para tokoh kang-ouw itu tiba, daerah Lembah Naga telah dibanjiri oleh banyak orang kang-ouw. Juga banyak partai-partai persilatan yang mengutus serombongan anak murid untuk datang berkunjung, bukan untuk memperebutkan kedudukan bengcu atau jago nomor satu di dunia, melainkan untuk menyaksikan pemilihan itu dan untuk melihat siapa yang akan menjadi bengcu. Tentu saja para utusan itu diberi wewenang untuk menentang kalau pemilihan itu kurang tepat, dan tentu saja merekapun boleh turun tangan kalau untuk membela nama partainya sendiri.

   Partai-partai persilatan yang termasuk golongan putih atau bersih tentu telah memesan kepada para utusannya agar tidak mencari permusuhan, dan membuka mata dan telinga dengan waspada menyaksikan perkembangan pemilihan bengcu itu. Selain tokoh-tokoh kang-ouw perorangan, baik dari golongan hitam maupun putih, maka nampak bendera-bendera yang dibawa oleh para anak murid dari partai persilatan Kun-lun-pai, Bu-tong-pai, Hoa-san-pai, dan bahkan Siauw-lim-pai juga mengutus rombongannya. Selain empat partai besar ini, masih terdapat banyak pula partai-partai kecil. Di antara banyak orang itu, yang jumlahnya hampir ada dua ratus orang, terdapat empat orang pendekar atau due pasang suami isteri yang berpakaian sederhana, akan tetapi kalau para tokoh kang-ouw itu mendengar nama mereka, tentu orang-orang itu akan menjadi gempar.

   Dua pasang suami isteri ini adalah Yap Kun Liong tersama Cia Giok Keng, dan Cia Bun Houw bersama Yap In Hong. Cia Bun Houw dan Yap In Hong terkejut bukan main ketika mereka bertemu dengan kakak-kakak mereka itu dan mendengar bahwa kakak-kakak mereka itu menerima surat dari Lie Ciauw Si bahwa dara itu telah menikah dengan Pangeran Ceng Han Houw dengan upacara pernikahan di kuil tanpa disaksikan keluarga! Karena pangeran berada dalam keadaan terancam bahaya dan terdesak, maka kami terpaksa mengambil keputusan menikah di kuil, demikian antara lain bunyi surat Ciauw Si. Selain mohon maaf kepada ibu kandungnya, juga dara itu menyatakan bahwa dia dan sang pangeran sudah saling mencinta dan hanya kematian saja yang akan mampu memisahkan mereka satu dari yang lain.

   "Aihh, kenapa anak-anakku begitu bodoh..."

   Keluh Cia Giok Keng, keluhan yang sudah dikeluarkan berkali-kali. Hati ibu ini berduka sekali mengingat akan nasib Lie Seng dan Lie Ciauw Si, dua orang anaknya yang dianggap keliru memilih jodoh. Juga Cia Bun Houw dan Yap In Hong merasa penasaran sekali mengapa Ciauw Si dapat terpikat oleh pangeran pemberontak murid Hek-hiat Mo-li itu. Hanya Yap Kun Liong seorang yang tidak mengeluarkan kata, akan tetapi di dalam hatinya pendekar yang sudah matang oleh gemblengan pengalaman hidup ini mengerti apa artinya orang jatuh cinta dan dia sama sekali tidak dapat menyalahkan Lie Seng maupun Lie Ciauw Si.

   "Lalu apa yang harus kita lakukan, enci Keng?"

   Cia Bun Houw bertanya kepada encinya.

   "Kita datang ke Lemhah Naga ini sebagai utusan kerajaan untuk menyelidiki dan kalau perlu menentang gerakan Ceng Han Houw, akan tetapi ternyata pangeran itu telah menjadi mantumu dan Ciauw Si berada di fihaknya sebagai isterinya!"

   Memang amat sukar untuk mengambil keputusan, menghadapi keadaan seperti itu. Akan tetapi dengan suara gemetar tanda bahwa hatinya terguncang hebat, Cia Giok Keng yang kini mulai nampak tua dalam usianya lima puluh tahun itu, berkata lantang,

   "Biar anak sendiri sekalipun, kalau salah harus kita tentang, dan biar orang sendiri, kalau benar juga haruslah kita bela!"

   Yap Kun Liong merasa kasihan sekali kepada isterinya yang tercinta ini. Dia berkata dengan suara yang halus,

   "Kita lihat saja bagaimana keadaannya nanti dan bagaimana perkembangannya. Sama sekali kita tidak boleh menurutkan dorongan perasaan hati. Seorang gagah harus adil dan bijaksana, oleh karena itu kita harus waspada dan dapat mengambil tindakan yang setepat-tepatnya. Menyalahkan atau membenarkan orang lain menurutkan perasaan hati sendiri sering kali menyesatkan."

   Tiga orang pendekar lainnya mengangguk dan diam-diam membenarkan ucapan itu. Memang teringat oleh mereka betapa keluarga Cin-ling-pai sejak dahulu dilanda kekecewaan-kekecewaan dan penyesalan-penyesalan, bahkan nyaris dilanda bahaya perpecahan karena pandangan-pandangan yang terlalu menurutkan perasaan hati sendiri. Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng sudah mengalami pahit getirnya akibat dari pandangan seperti itu. Juga Cia Bun Houw dan Yap In Hong sudah merasakan betapa sampai bertahun-tahun mereka berdua meninggalkan keluarga Cin-ling-pai karena pandangan mendiang ayah Bun Houw yang menentang perjodohan itu.

   Kemudian, terjadi pula pada diri Lie Seng yang memilih jodoh yang tidak disetujui oleh ibu kandungnya dan keluarganya. Kini terulang kembali oleh Ciauw Si! Dan justeru apa yang dilakukan oleh Ciauw Si merupakan puncaknya, yang paling hebat di antara semua keturunan Cin-ling-pai. Ciauw Si memilih sebagai jodohnya orang yang justeru menjadi musuh keluarga Cin-ling-pai, dan bahkan kini menjadi musuh kerajaan, menjadi pemberontak besar! Benar-benar sukar bagi mereka membayangkan kemungkinan seperti ini. Lembah Naga menjadi ramai dan kini tampaklah barisan penjaga yang berpakaian indah dan bersenjata lengkap, memenuhi kedua tepi jalan semenjak dari luar daerah sampai ke daerah Lembah Naga, berdiri dengan hormatnya menyambut para tokoh kang-ouw yang berbondong-bondong memasuki daerah itu.

   Orang-orang kang-ouw itu diam-diam terkejut juga menyaksikan betapa tempat itu telah terjaga sedemikian kuatnya oleh pasukan yang ratusan orang jumlahnya, bahkan mungkin tidak kurang dari seribu orang! Dan ketika mereka tiba di Istana Lembah Naga, ternyata tempat itu telah dihias dengan meriah seperti hendak mengadakan pesta besar. Ruangan depan yang amat luas dan dapat menampung seribu orang itu dihias dan nampak meja kursi dijajar rapi, sedangkan bagian tengahnya dibiarkan kosong. Pangeran Ceng Han Houw memang cerdik. Dia segera tahu dari para penyelidiknya siapa-siapa yang menghadiri rapat itu, maka diapun sengaja menyuruh para pembantunya yang tidak terkenal untuk menyambut di depan istana dan mempersilakan semua tamu itu duduk ke ruangan depan.

   Dengan demikian, maka di antara para tamu itu tidak ada yang merasa sungkan. Apalagi dia mendapat kabar bahwa empat orang pendekar Cin-ling-pai yang tadinya menjadi buronan pemerintah itupun datang! Kalau dia sendiri yang maju menyambut, tentu dia harus memberi hormat kepada ibu kandung Ciauw Si dan keluarganya, dan dia belum dapat membayangkan bagaimana sikap mereka setelah mendengar bahwa Ciauw Si menjadi isterinya. Dan tindakannya ini melegakan hati banyak tamu, terutama sekali empat orang pendekar Cin-ling-pai itu yang juga belum dapat menentukan bagaimana sikap mereka seandainya pangeran itu sendiri yang menyambut. Mereka menyusup di antara banyak tamu dan memilih tempat duduk agak di sebelah luar sehingga tidak terlalu menyolok.

   Ketika empat orang pendekar Cin-ling-pai ini sudah mengambil tempat duduk dan mereka mencari-cari dengan pandang mata mereka, tidak atau belum nampak adanya Pangeran Ceng Han Houw, atau Lie Ciauw Si. Bahkan juga Sin Liong tidak nampak. Memang mereka masih berada di dalam istana, mereka berempat, yaitu Ceng Hang Houw, Lie Ciauw Si, Sin Liong dan Bi Cu. Baru saja Pangeran Ceng Han Houw mengumpulkan pembantu-pembantunya yang lain, yaitu Kim Hong Liu-nio, Hek-hiat Mo-li, Hai-liong-ong Phang Tek dan yang lain-lain, memberi perintah-perintah kepada mereka. Barulah dia kini mengadakan perundingan dengan isterinya, yang dihadiri oleh Sin Liong dan Bi Cu. Wajah Ciauw Si nampak agak pucat. Jelas bahwa dia merasa gelisah sekali mendengar bahwa ibu kandungnya hadir pula di situ bersama ayah tirinya, paman dan bibinya.

   "Aku... aku bingung sekali, tidak tahu bagaimana harus bertemu dengan ibuku,"

   Katanya "Bagaimana kalau beliau dipersilakan masuk sehingga aku dapat menghadapnya di sini saja?"

   Ceng Han Houw menggelengkan kepalanya.

   "Kurasa hal itu kurang biiaksana, Si-moi. Ingat bahwa beliau pada saat ini adalah tamu agung di antara orang-orang kang-ouw, maka kalau dipersilakan masuk, tentu beliau merasa tersinggung karena tentu akan menjadi bahan percakapan para tamu lainnya. Biarlah urusan pribadi dapat kita selesaikan kemudian, Si-moi. Yang terpenting sekarang kita harus menyelesaikan urusan perjuangan seperti yang telah kita rundingkan bersama sebelumnya. Kita berdua, ditemani oleh Liong-te, harus keluar menyambut tamu."

   Pangeran itu memandang isterinya yang sudah berpakaian indah.

   "Kulihat engkau sudah siap, Si-moi, dan engkau juga, Liong-te. Kalian menemaniku keluar, sebagai isteriku dan sebagai adik angkatku, juga sebagai pembantu-pembantuku yang paling dapat kuandalkan. Hanya kalian yang mendampingi aku keluar. Engkau harap tinggal di dalam istana, nona Bhe, karena selain kurang baik memperkenalkan engkau sebagai tunangan Liong-te, juga kami menghadapi orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi dan berbahaya sekali, maka lebih aman kalau berada di sini saja."

   Bi Cu tidak menjawab melainkan memandang kepada Sin Liong. Jelas bahwa dia menyerahkan keputusannya kepada kekasihnya itu. Sin Liong memandang Bi Cu dengan mengangguk.

   "Memang sebaiknya engkau menanti di dalam, Bi Cu. Di luar berbahaya kalau sampai terjadi keributan, kuharap saja tidak demikian,"

   Katanya melirik kepada sang pangeran yang hanya tersenyum. Mendengar ucapan ini, Bi Cu mengangguk.

   "Baiklah, sungguhpun aku akan merasa jauh lebih aman kalau berada di dekatmu, Sin Liong. Akan tetapi akupun tidak mau menjadi pengganggu kalian."

   Setelah berkata demikian, Bi Cu bangkit dari kursinya dan kembali ke dalam kamarnya. Jelas bahwa dia kecewa sekali, akan tetapi Sin Liong merasa bahwa memang lebih baik kalau Bi Cu tinggal di kamarnya, daripada harus menghadapi peristiwa besar itu, di mana dia harus waspada dan siap untuk turun tangan apabila perlu, sedangkan kalau Bi Cu berada di depan, dia kurang leluasa karena harus melindungi kekasihnya itu. Dengan jantung berdebar penuh ketegangan, Sin Liong dan Ciauw Si berjalan keluar mengapit sang pangeran yang tampak tenang-tenang saja, senyumnya tidak pernah meninggalkan bibirnya. Ciauw Si berjalan di sebelah kanannya, sedangkan Sin Liong berjalan di sebelah kirinya. Semua tamu mengangkat kepaka memandang ke dalam ketika terdengar pengumuman keras dari seorang komandan yang berpakaian gagah bahwa sang pangeran akan keluar menyambut para tamu terhormat.

   Pintu sebelah dalam ruangan itu terbuka lebar dan muncullah tiga orang muda itu yang membuat para tamu terbelalak penuh kagum. Pangeran Ceng Han Houw nampak gagah dan tampan sekali dalam pakaiannya yang serba indah, pakaian seorang pangeran dari sutera biru dengan baju tertutup mantel bulu yang amat indah. Sebuah topi bulu yang sama dengan mantelnya itu menutupi kepalanya, dihias dengan sehelai bulu burung yang berwarna merah. Dia berjalan tegak dan halus, pandang matanya bersinar-sinar, menyambar-nyambar ke ruangan yang luas itu, mulutnya tersenyum dan sedikitpun dia tidak kelihatan canggung atau gugup, Sikap seorang pangeran tulen, juga sikap seorang yang gagah perkasa. Lie Ciauw Si nampak cantik sekali dalam pakaiannya yang juga mewah dan indah. Wajahnya gemilang dan jelita sekali, dan diapun melangkah dengan sikap tenang dan gagah di samping suaminya.

   Sungguh seorang puteri yang cantik jelita dan agung, dan kelihatan begitu serasi dengan pangeran di sampingnya. Betapapun juga, karena maklum bahwa di antara ratusan pasang mata yang menatapnya itu terdapat sepasang mata ibunya, jantung Ciauw Si terasa berdebar kencang. Cia Giok Keng tak dapat menahan diri dan dia cepat-cepat mengusap air matanya dengan saputangan ketika melihat puterinya demikian cantik dan agungnya di samping sang pangeran. Harus diakui bahwa pilihan puterinya itu memang tidak keliru. Pangeran itu amat tampan dan gagah. Akan tetapi kalau dia mengingat bahwa pangeran itu adalah seorang pemberontak, dan bahkan murid dari musuh besar Cin-ling-pai, hatinya seperti ditusuk. Dia merasa tangannya digenggam tangan lain dengan halus dan mesra.

   Tahulah dia bahwa tangan suaminya yang menggenggam tangannya itu maka dia menarik napas panjang dan dapat menahan perasaannya, dapat memandang pula dan air matanyapun berhenti mengalir. Empat orang pendekar ini mengerutkan alisnya ketika melihat Sin Liong berjalan di samping sang pangeran pula. Hati mereka diliputi perasaan marah, bahkan Yap Kun Liong yang biasanya tidak mudah marah dan mempunyai pandangan yang luas itupun mengerutkan alisnya. Sungguh dia tidak dapat mengerti mengapa anak itu bisa diperalat oleh Pangeran Ceng Han Houw. Bukankah anak itu pernah menjadi pilihan orang-orang sakti seperti mendiang Cia Keng Hong dan mendiang Kok Beng Lama? Mungkinkah dua orang sakti itu salah pilih dan di dalam tubuh anak yang berbakat ini terdapat batin yang rendah?

   Dia bergidik melihat sepasang mata anak muda itu yang mencorong, lebih tajam daripada sinar mata sang pangeran sendiri, dan wajah pemuda itu membayangkan keteguhan dan kekerasan hati. Bagaimana mungkin wajah seperti itu kini dimiliki seorang yang dapat diperalat sedemikian mudahnya oleh pemberontak ini? Dari tempat duduk para tamu, semua orang dapat melihat pangeran dan dua orang pendampingnya itu, karena memang tempat itu lebih tinggi dan ketika pangeran dan Ciauw Si dan Sin Liong telah mengangguk ke arah tamu, mereka lalu duduk di kursi-kursi yang sudah disediakan, yaitu di bagian dalam ruangan dan kurang lebih satu meter lebih tinggi daripada tempat duduk para tamu. Dari tempat duduknya pangeran menyapu semua tamu dengan sinar matanya dan dia dapat melihat keluarga Cin-ling-pai di sebelah luar,

   Akan tetapi dia pura-pura tidak melihat mereka, sungguhpun hatinya merasa girang sekali. Kalau saja dia mampu membujuk mereka itu membantunya, tentu kedudukannya akan menjadi semakin kuat. Selain itu, andaikata tidak berhasil sekalipun, dia akan dapat membuktikan bahwa dia lebih lihai daripada mereka sehingga julukan jago nomor satu di dunia patut dia miliki! Akan tetapi, Ciauw Si yang memang merasa ngeri untuk bertemu pandang dengan ibu kandungnya di tempat penuh orang itu, lebih banyak menunduk dan membatasi pan-dang matanya agar jangan sampai bentrok dengan pandang mata ibu kandungnya. Sebaliknya, dengan berani Sin Liong juga menyapukan pandang matanya ke arah semua tamu, dan dia melihat betapa empat pasang sinar mata keluarga Cin-ling-pai memandangnya dengan marah.

   Diapun mengerti akan isi hati mereka, akan tetapi, dia tidak peduli. Kalian akan melihat bahwa aku bukan membantu pangeran ini, melainkan melindungi Bi Cu, pikirnya. Kini semua tamu sudah berkumpul semua dan ternyata jumlah mereka tidak kurang dari tiga ratus orang! Namun ruangan yang luas itu sama sekali tidak kelihatan penuh, bahkan masih tampak kursi yang kosong di sebelah luar. Semua tamu merasa tegang dan juga gembira. Ruangan itu selain luas dan sejuk karena memperoleh angin dari luar yang terbuka, juga dihias indah dan megah. Pilar-pilarnya yang besar itu dicat putih, dan dihias kertas-kertas kembang. Langit-langitnya juga penuh dengan kertas-kertas berwarna dan lampu-lampu teng bermacam-macam bentuk dan warna.

   Kain-kain sutera warna-warni menghias pula tempat yang luas itu. Kursi-kursinya terbuat dari kayu terukir halus, demikian pula meja-mejanya. Guci-guci kuno terdapat di sudut-sudut dengan ukiran arca-arca binatang yang seperti hidup. Ketika para pelayan datang menyuguhkan arak yang amat baik dengan guci-guci perak, para tamu menjadi semakin gembira. Setiap orang tamu menerima sebuah cawan perak yang terukir indah, dan mulailah mereka minum arak sehingga ruangan itu penuh bau arak yang sedap. Setelah melihat semua tamu sudah menerima hidangan arak, Pangeran Ceng Han Houw lalu bangkit berdiri. Tubuhnya yang tinggi sedang itu nampak tegak lurus dan nampak wajahnya yang tampan berseri-seri. Tiba-tiba terdengar suara mengguntur dari komandan jaga yang juga bertugas sebagai pengatur tata tertib,

   "Silakan cu-wi menaruh perhatian, sang pangeran hendak bicara!"

   Sebetulnya tidak perlu komandan ini berteriak karena semua tamu sudah memandang ke arah pangeran itu, dan semua suara berisik telah berhenti. Suasana menjadi sunyi sekali, semua mata ditujukan kepada orang yang telah berani mengundang seluruh kaum kang-ouw tanpa pilih bulu itu. Biasanya pertemuan orang kang-ouw hanyalah memillh golongan mereka sendiri. Andaikata partai Siauw-lim-pai yang mengadakan pertemuan untuk membicarakan keadaan masyarakat, atau juga membicarakan soal persilatan, tentu yang diundang oleh partai itu hanyalah partai-partai bersih lainnya atau tokoh-tokoh golongan bersih, sama sekali tidak akan mengundang tokoh-tokoh sesat.

   Sebaliknya, kaum sesatpun kalau mengadakan pertemuan tidak akan mengundang golongan bersih yang dianggap sebagai orang-orang sombong dan selalu menentang mereka. Akan tetapi sekali ini, Pangeran Ceng Han Houw mengundang semua golongan, pendeknya dunia persilatan tanpa membedakan antara yang manapun juga! Tentu saja hal ini amat menarik, apalagi ketika di undangan itu disebutkan bahwa pertemuan itu dimaksudkan untuk memilih jago silat nomor satu di dunia! Mereka sudah mendengar pula akan sepak terjang pangeran itu yang sudah menundukkan tidak sedikit tokoh-tokoh persilatan, bahkan telah berani menantang ketua Siauw-lim-pai dan mengalahkan tokoh-tokohnya! Mereka mendengar berita bahwa pangeran ini memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa!

   "Cu-wi yang mulia,"

   Terdengar suara pangeran itu, suaranya halus dan diucapkan perlahan saja akan tetapi dapat terdengar sampai jauh di luar ruangan itu karena dia mengerahkan tenaga khi-kangnya sehingga pidato itu sekaligus merupakan demonstrasi kekuatan khi-kangnya yang mengagumkan semua orang.

   "Kami mengucapkan terima kasih atas kehadiran cu-wi. Seperti telah kami sebutkan dalam surat selebaran atau undangan, pertemuan ini dimaksudkan untuk mengadakan pemilihan bengcu. Mengapa kita harus memilih seorang bengcu yang memimpin pergerakan seluruh rakyat jelata? Cu-wi tentu telah mendengar akan tindakan-tindakan pemerintah yang kurang bijaksana! Semua orang tahu belaka betapa Kaisar telah melakukan tindakan lalim, dengan menjatuhkan tuduhan memberontak kepada orang-orang gagah perkasa! Akhir-akhir ini banyak pejabat tinggi yang bijaksana telah ditangkapi, dah banyak perkumpulan-perkumpulan orang gagah di selatan telah diobrak-abrik oleh pasukan pemerintah! Oleh karena itu, kita orang-orang yang menjunjung tinggi kegagahan, haruslah bertindak, menghimpun kekuatan untuk me-nentang kelaliman. Dan hal ini baru dapat dilaksanakan dengan baik apabila kita mempunyai seorang bengcu yang bijaksana dan tangguh! Maka dari itu, kita berkumpul semua ini untuk lebih dulu memilih seorang yang memiliki ilmu kepandaian silat paling tinggi, merupakan seorang yang paling lihai dan paling tangguh sehingga boleh disebut jago silat nomor satu di dunia dan dialah yang patut kita angkat menjadi seorang bengcu!"

   Tiba-tiba terdengar suara nyaring berseru,

   "Kami tidak setuju...!"

   
Pendekar Lembah Naga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Dan seorang pemuda berusia kurang lebih dua puluh dua tahun, bertubuh tinggi tegap berwajah tampan gagah seperti tokoh Si Jin Kui, berpakaian sederhana telah bangkit dari kursinya dan mengacungkan kepalan tangan kanan ke atas. Semua orang tentu saja terkejut dan menoleh kepadanya. Kiranya pemuda itu berdiri di antara kelompok yang membawa bendera Siauw-lim-pai. Pangeran Ceng Han Houw memandang dan tersenyum tenang.

   "Setiap orang tamu berhak untuk bicara. Harap enghiong (orang gagah) yang bicara memperkenalkan diri sebelum mengemukakan alasannya tidak setuju!"

   Pemuda Siauw-lim-pai yang gagah perkasa itu memandang kepada pangeran yang masih berdiri dengan sinar mata berapi-api, sedikitpun tidak nampak gentar oleh wibawa pangeran itu, dan terdengar dia menjawab lantang.

   "Saya bernama Ciu Khai Sun sebagai murid dan utusan Siauw-lim-pai kami. Atas nama Siauw-lim-pai saya menyatakan tidak setuju dengan apa yang dikemukakan oleh pangeran tadi. Memilih seorang bengcu tidaklah disamakan dengan memilih seorang kepala tukang pukul. Seorang bengcu adalah pemimpin rakyat, yang harus dipilih berdasarkan kebijaksanaannya dan cinta kasihnya terhadap rakyat, bukan diukur dari kepandaiannya bersilat. Kalau memilih kepala tukang pukul tentu saja dipilih yang paling kuat."

   Terdengar suara ketawa di sana-sini yang disambut oleh tepuk tangan menyambut ucapan lantang dari pemuda Siauw-lim-pai ini. Pangeran Ceng Han Houw juga tersenyum lebar dan mengangkat kedua tangan ke atas minta agar suasana menjadi tenang kembali.

   "Harap Ciu-enghiong suka melanjutkan,"

   Katanya tenang.

   "Kami fihak Siauw-lim-pai juga tidak setuju kalau memilih bencu mengingat akan keadaan negara, apalagi kalau dipergunakan untuk menentang pemerintah! Itu namanya berbau pemberontakan. Bengcu di kalangan persilatan adalah seorang bijaksana yang akan mencegah bentrokan-bentrokan, mengambil kebijaksanaan dengan musyawarah apabila terjadi kesalahlahaman, bukan sekali-kali untuk menuntun kita semua dalam pem-berontakan terhadap pemerintah."

   Setelah berkata demikian, pemuda gagah itu berhenti sebentar, memandang ke kanan kiri kemudian berkata lagi.

   "Hanya itulah pernyataan kami yang tidak setuju."

   Suasana menjadi berisik kembali karena para tamu berbisik-bisik dan saling bicara sendiri.

   "Cu-wi harap tenang!"

   Tiba-tiba terdengar suara pangeran itu yang mengatasi semua suara berisik. Semua orang memandang dan suasana menjadi tenang lagi. Ceng Han Houw masih tersenyum ramah dan dia segera menyambung kata-katanya.

   "Terima kasih atas sambutan Cui Khai Sun enghiong wakil dari Siauw-lim-pai. Memang setiap orang atau golongan boleh saja mempunyai pendapat masing-masing. Akan tetapi kita berkumpul di sini bukan untuk memperebutkan kebenaran pendapat masing-masing. Kita berkumpul untuk melakukan pemilihan bengcu! Dan apa yang akan diperbuat oleh bengcu yang kita pilih kemudian, itu adalah urusan bengcu itu, dan setuju atau tidak setuju di antara kita boleh diajukan kepada bengcu. Mengatur apa yang akan dan tidak akan dilakukan oleh seorang bengcu, sedangkan bengcu itu sendiri belum dipilih, merupakan hal yang sia-sia saja, bukan? Kita akan memilih bengcu berdasarkan suara. Akan tetapi karena kita adalah orang-orang yang semenjak kecil belajar silat, maka pertemuan ini tidak akan lengkap kalau tidak diadakan pertunjukan ilmu silat. Dan untuk itu, akan meriah dan menarik sekali kalau kita mengadakan pemilihan jagoan nomor satu di dunia. Siapapun boleh mengajukan diri sebagai calon dan aku sendiri sebagai fihak tuan rumah juga mengajukan diri, bersama jago pilihan kami, yaitu adik angkatku sendiri yang bernama Cia Sin Liong!"

   Sin Liong terkejut bukan main. Pertama dia terkejut karena namanya disebut-sebut sebagai calon jago pilihan pangeran dan sebagai adik angkat, ke dua dia terkejut karena she-nya disebut sebagai she Cia. Rahasianya telah dibongkar oleh pangeran itu di tempat itu, di mana hadir pula keluarga Cip-ling-pai, bahkan hadir pula di situ ayah kandungnya!

   "Houw-ko,"

   Bisiknya.

   "Aku tidak dapat menerima ini!"

   Sin Liong bangkit berdiri dan di antara para tamu ada yang bertepuk dan bersorak menyambut jago muda pilihan pangeran ini, akan tetapi Sin Liong segera berseru nyaring.

   "Cu-wi, maafkan. Akan tetapi aku tidak berniat menjadi jago apapun, tidak ingin ikut-ikut memperebutkan pilihan jago silat. Pangeran hanya berkelakar saja!"

   Dan diapun duduk kembali. Ceng Han Houw tertawa dan berkata lagi dengan lantang,

   "Cu-wi, lihat betapa sederhana dan pemalunya adik angkatku ini. Akan tetapi tentang ilmu silat... kiranya aku sendiri masih harus banyak belajar dari dia! Dia tidak mau menjadi calon jagoan, tidak mengapalah, akan tetapi aku mengangkat dia menjadi penguji! Calon-calon yang hendak memasuki pemilihan jago nomor satu di dunia harus dapat melawan dan menandingi kepandaian adik angkatku ini lebih dulu!"

   Kembali semua orang bertepuk tangan dan bersorak.

   "Houw-ko, aku tidak mau!"

   Sin Liong berbisik. Han Houw mundur dan mendekati Sin Liong, menghardik dalam bisikan pula.

   "Liong-te, mengapa engkau hendak mengacau aku? Ingat, Bi Cu berada di tanganku, dia kusuruh jaga subo dan suci. Engkau harus membantuku kalau tidak..."

   Lie Ciauw Si mendengar bisikan-bisikan ini dan dia memandang dengan mata terbelalak. Sedangkan Sin Liong sudah menjadi kaget setengah mati mendengar ucapan itu. Tak disangkanya bahwa dalam saat terakhir itu pangeran ini masih hendak bersikap curang dan ternyata bahwa dia sengaja dipisahkan dari Bi Cu agar pangeran itu dapat menguasai Bi Cu untuk memaksanya! Akan tetapi dia melihat betapa amat berbahayanya paksaan yang dilakukan oleh pangeran itu. Dia tidak mungkin mau memenuhi permintaan gila itu, dan lebih baik dia dan Bi Cu mati daripada dia harus membantu pangeran dengan rencana gilanya.

   "Aku tidak sudi!"

   Katanya dan diapun sudah meloncat dan pergi dari situ, menuju ke dalam untuk mencari Bi Cu. Para tamu yang sedang berbisik itu hanya melihat Sin Liong melarikan diri ke dalam dan hal ini menambah kuat pernyataan sang pangeran tadi betapa pemuda perkasa itu wataknya sederhana dan amat pemalu. Agaknya saking malunya pemuda itu telah melarikan diri ke dalam maka merekapun makin keras tertawa dan bersorak. Sementara itu, Ciauw Si berbisik kepada suaminya,

   "Apa yang telah kau lakukan ini, pangeran?"

   "Sstt, Si-moi, tanpa siasat tidak mungkin kita akan berhasil."

   Pangeran itu berbisik kembali dan dia sudah mengangkat tangan memberi tanda agar para tamu tidak berisik.

   "Cu-wi yang mulia! Adik angkatku itu memang pemalu sekali. Akan tetapi jangan cu-wi khawatir. Setiap orang boleh mengajukan diri sebagai calon dan selain adik angkatku itu, aku masih mempunyai seorang penguji lain, yaitu isteriku sendiri! Jangan cu-wi memandang rendah kepada isteriku yang tercinta ini, karena kepandaian silatnya tidak berselisih jauh dari kepandaianku sendiri. Nah, siapa yang mampu menandingi isteri saya dalam lima puluh jurus, dia berhak menjadi calon jago nomor satu di dunia! Inilah isteri saya, Lie Ciauw Si!"

   Di bawah tepuk tangan dan sorak-sorai, terpaksa Ciauw Si bangkit berdiri dan menjura ke arah penonton yang menjadi semakin riuh bertepuk tangan memuji karena memang Ciauw Si nampak
(Lanjut ke Jilid 53)
Pendekar Lembah Naga (Seri ke 04 "

   Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 53
cantik jelita dan menarik sekali. Wajah Ciauw Si agak pucat, apalagi ketika dia bertemu pandang dengan sepasang mata yang berapi-api, sepasang mata ibu kandungnya! Dia menjadi lemas dan cepat duduk kembali ke kursinya. Betapapun juga, dia harus membela suaminya yang tercinta, pikirnya sambil mengepal tinju kirinya. Sementara itu, keluarga Cin-ling-pai, empat orang pendekar itu sejak tadi sudah berbisik-bisik saling bicara dengan serius dan juga penuh keheranan.

   "Pangeran gila, kenapa dia menyebut she Sin Liong sebagai she Cia?"

   Kata Bun Houw dengan marah.

   "Apa dia sengaja hendak menghina keluarga Cia kami?"

   "Mungkin dia hehdak memancing agar kita turun tangan membantah,"

   Bisik Cia Giok Keng.

   "Akan tetapi dia tidak menyinggung-nyinggung tentang Ciauw Si."

   Mereka berempat merasa bingung dan tidak mengerti, apalagi ketika melihat Sin Liong melarikan diri ke dalam. Apakah yang sedang terjadi? Permainan apakah yang dilakukan oleh Pangeran itu? Ketika pangeran itu mengangkat Ciauw Si yang diperkenalkan sebagai isterinya sebagai penguji, Giok Keng dengan gemas memandang kepada puterinya yang menerima pujian para tamu itu dan dia berbisik dengan suara mendesis,

   "Biar aku maju sebagai calon menghadapinya!"

   "Ah, jangan begitu, enci Keng!"

   Adiknya menyela.

   "Ingat, kita menghadapi banyak orang, jangan menimbulkan keributan yang hanya akan mendatangkan aib bagi nama keluarga."

   Kata Yap Kun Liong menyabarkan isterinya. Para tamu menjadi semakin berisik ketika mereka melihat seorang laki-laki yang bertubuh tinggi besar dan bermuka merah, rambutnya riap-riapan dan pakaiannya kasar, meloncat dengan gerakan yang cukup lincah ke depan dan tiba di tengah-tengah ruangan yang tinggi itu, tersenyum dan memberi hormat ke arah pangeran. Orang ini adalah seorang laki-laki berusia empat puluh tahun, tubuhnya yang tinggi besar itu membayangkan kekuatan dahsyat, sikap dan pakaiannya yang kasar itu menunjukkan bahwa dia adalah seorang petualang di dunia kang-ouw. Wajahnya lebar dan matanya, hidungnya serta mulutnya juga serba besar.

   "Pangeran, saya Loa Khi berjuluk Tiat-pi-ang-wan (Lutung Merah Berlengan Besi) sama sekali tidak berani mengajukan diri sebagai calon jago nomor satu di dunia, akan tetapi saya mempunyai semacam penyakit, yaitu di mana terdapat pertandingan pibu, tangan saya menjadi gatal-gatal. Biarlah saya memelopori para enghiong di sini agar pertemuan ini menjadi lebih gembira."

   Sambil berkata demikian, matanya yang lebar itu melirik ke arah Ciauw Si. Mengertilah Pangeran Ceng Han Houw bahwa yang mendorong laki-laki kasar ini untuk maju adalah karena pengujinya adalah isterinya yang cantik jelita. Atau kasarnya, pria itu ingin bersilat menandingi Ciauw Si yang cantik! Akan tetapi Han Houw hanya tersenyum dan dia berkata kepada isterinya dengan suara halus.

   "Isteriku, harap kau suka melayani Loa-eng-hiong."

   Sebetulnya di dalam hatinya Ciauw Si merasa mendongkol sekali. Dia harus melayani segala macam orang kasar seperti itu! Akan tetapi karena dia maklum bahwa suaminya itu sedang berusaha untuk menentang kelaliman Kaisar, dan karena betapapun juga dia harus membela suaminya yang tercinta, dia tidak berkata sesuatu melainkan bangkit berdiri dan menghampiri orang yang berjuluk Lutung Merah Berlengan Besi itu.

   Jantung di dalam dada yang bidang itu terguncang dan berdebar-debar penuh kegirangan. Loa Khi adalah seorang kang-ouw golongan sesat dan merupakan seorang yang kasar, gila akan kecantikan wanita. Tadi dari jauh dia melihat betapa cantiknya isteri pangeran itu, dan kini setelah berhadapan, dia terpesona. Belum pernah rasanya dia berhadapan dengan wanita secantik ini! Sungguh tidak rugi sekali ini, pikirnya. Dapat bersentuhan lengan dan tangan dengan wanita seperti ini sungguh merupakan hal yang amat menyenangkan, apalagi kalau diingat bahwa wanita ini bukanlah sembarangan wanita, melainkan isteri se-orang pangeran dan tentu saja merupakan seorang puteri bangsawan simpanan! Maka diapun menyeringai dan mematut-matut diri agar kelihatan tampan dan gagah.

   "Orang she Loa, kau mulailah!"

   Ciauw Si berkata, membuyarkan lamunannya itu.

   "Eh... oh... mana saya berani mendahului?"

   Kata Loa Khi yang meringis seperti seekor lutung aseli. Bicara demikian, selain meringis Loa Khi juga memainkan matanya yang bundar besar dan menggerak-gerakkan alisnya. Melihat lagak ini hati Ciauw Si menjadi muak dan panas, dan kalau dia tidak mengingat bahwa suaminya sedang berusaha mengambil hati dunia kang-ouw, tentu dia sudah menjatuhkan tangan maut menyerang orang ini.

   "Hemm, kalau begitu sambutlah seranganku!"

   Kata Ciauw Si. Dia memberi kesempatan kepada orang itu untuk memasang kuda-kuda dan memang Loa Khi dengan mulut masih menyeringai telah memasang kuda-kuda dengan gaya yang gagah. Kedua kakinya dipentang lebar, kedua lutut ditekuk rendah dan kedua lengan disilangkan, tangannya dibuka membentuk cakar naga, tubuh atasnya tegak lurus dan matanya mengerling ke arah lawan yang berada di samping kanan. Semua tamu menyambut pasangan kuda-kuda ini dengan berbagai macam sikap. Mereka yang memiliki ilmu kepandaian tinggi memandang dengan senyum mengejek,

   Karena mereka tahu bahwa kuda-kuda seperti itu hanya indah dipandang saja akan tetapi sesungguhnya tidak memiliki inti yang kuat. Sebaliknya, mereka yang belum begitu tinggi tingkatnya, merasa kagum karena memang Loa Khi kelihatan gagah dan kokoh kuat dengan kuda-kudanya itu. Ciauw Si yang sudah tidak sabar lagi melihat lagak orang, mengeluarkan seruan lembut dan mulai menyerang dengan kedua tangannya, menyambar dari kanan kiri, yang kiri menampar ke arah pelipis lawan sedangkan yang kanan menotok ke arah lambung. Serangan ini sebetulnya hanya merupakan pancingan saja karena pendekar wanita itu tidak mau sembarangan mengeluarkan ilmunya yang tinggi hanya untuk menghadapi seorang seperti laki-laki sombong ini. Dan melihat serangan yang cukup cepat dan dahsyat ini,

   Loa Khi cepat menggerakkan kedua tangannya untuk menangkap pergelangan tangan lawan. Memang yang mendorongnya maju adalah untuk dapat menyentuh tubuh atau memegang lengan wanita cantik itu, maka melihat serangan lawan, dia berusaha secepatnya untuk menangkap pergelangan tangan lawan dan akan memegangnya dengan kuat dan mesra! Namun Ciauw Si tentu saja maklum akan hal ini dan diapun tidak sudi membiarkan kedua lengannya dipegang. Dengan cepat dia sudah menarik kembali kedua tangannya dan kini kaki kirinya bergerak menendang dengan cepat. Akan tetapi, sambil tersenyum lebar lawannya menggerakkan tangan ke bawah dengan maksud menangkis atau kalau mungkin menangkap kaki yang kecil itu! Sedangkan tangan kiri Loa Khi sudah menyelonong ke depan, ke arah dada Ciauw Si!

   "Hemmm...!"

   Ciauw Si mendengus marah dan tiba-tiba tubuhnya bergerak cepat, kedua tangannya bergerak mendorong ke depan. Itulah pukulan sakti yang merupakan jurus ke tiga dari Ilmu San-in-kun-hoat, ilmu ampuh dari Cin-ling-pai! Angin pukulan dahsyat menyambar ke depan. Loa Khi terkejut bukan main dan cepat dia berusaha menangkis sambil mengerahkan tenaga kepada kedua kakinya dan tubuhnya untuk menjaga diri.

   "Desss...!"

   Betapapun kuatnya dia menangkis, tetap saja kedua tangan Ciauw Si dapat menerobos di antara lengan lawan yang menangkis dan terus menghantam dada. Untung bagi Loa Khi bahwa Ciauw Si masih ingat bahwa dia hanya bertugas menguji kepandaian lawan, maka dia tidak mempergunakan seluruh tenaga sin-kangnya. Akan tetapi biarpun demikian, tetap saja tubuh Loa Khi yang tinggi besar itu terjengkang dan terbanting ke atas lantai.

   Dia terengah-engah, merasa dadanya sesak dan sukar bernapas! Karena Loa Khi tidak datang bersama teman-teman dan tidak mempunyai rombongan, maka tidak ada yang menolongnya dan Han Houw memberi isyarat kepada pengawal-pengawalnya. Dua orang pengawal cepat maju membantu Loa Khi berdiri dan membawa orang yang masih terengah-engah itu ke tempat duduknya yang agak di belakang. Loa Khi tidak berani banyak cakap lagi dan membiarkan dirinya dituntun kembali ke kursinya, mukanya pucat sekali. Dia telah dirobohkan kurang dari lima jurus! Berisiklah para tamu melihat kehebatan Ciauw Si. Mereka yang tadinya berminat untuk memasuki pemilihan jagoan itu, menjadi kecil nyalinya dan mengurungkan niat hati mereka. Tentu saja tidak demikian dengan mereka yang memiliki ilmu kepandaian tinggi.

   Seorang tosu sudah mengeluarkan seruan dan tubuhnya melayang ke tengah ruangan itu. Tosu ini tinggi kurus, mukanya pucat seperti orang berpenyakitan, jubahnya kuning dan matanya sipit seperti orang mengantuk. Setelah dia menjura ke arah pangeran, dia melangkah maju tiga langkah dan terkejutlah pangeran itu melihat betapa di atas lantai itu nampak jejak kaki tosu itu sedalam dua senti! Tahulah dia bahwa tosu ini amat lihai dan telah mendemonstrasikan kelihaiannya dengan mengerahkan tenaga pada kedua kakinya yang melesak ke dalam lantai ketika dia melangkah perlahan-lahan. Kalau tadi Han Houw menyebutkan nama isterinya, memperkenalkannya sebagai pembantunya untuk menguji calon jagoan, maksudnya hanyalah untuk memperlihatkan kepada para tokoh kang-ouw,

   Khususnya kepada keluarga Cin-ling-pai bahwa Lie Ciauw Si selain telah menjadi isterinya juga membantunya untuk menghimpun tenaga dan menentang Kaisar lalim! Akan tetapi tentu saja bukan maksud hati Han Houw untuk membiarkan isterinya menghadapi semua orang yang ingin mencoba kepandaian. Dia hanya mengajukan isterinya untuk menghadapi kalau-kalau ada di antara tokoh Cin-ling-pai yang maju, maka kini melihat kelihaian tosu itu, tentu saja Han Houw merasa khawatir dan tidak membiarkan isterinya menghadapi bahaya. Tosu itu setelah menjura dan memperlihatkan tenaganya melalui injakan kaki yang meninggalkan jejak dalam di atas batu, lalu berkata kepada Ceng Han Houw, suaranya seperti suara ular mendesis namun dapat terdengar satu-satu sampai di bagian luar tempat itu,

   "Pangeran, harap maafkan kelancangan pinto. Sesungguhnya pinto datang bukan sekali-kali untuk memperebutkan kedudukan bengcu atau jagoan nomor satu, melainkan karena telah lama pinto mendengar nama besar pangeran sebagai seorang ahli silat yang pandai dan pinto ingin sekali menguji kebodohan sendiri untuk membuktikan sampai di mana kelihaian pangeran."

   Ini merupakan tantangan langsung! Semua orang kang-ouw memandang dengan penuh perhatian karena mereka semua maklum bahwa ucapan itu merupakan tantangan yang tentu didasari urusan pribadi antara tosu itu dan Pangeran Ceng Harl Houw! Han Houw sendiri mengerutkan alisnya, akan tetapi mulutnya masih tersenyum ramah ketika dia berkata halus dan lantang,

   "Dalam menghadapi urusan besar ini, kami terpaksa melupakan urusan pribadi. Akan tetapi kalau totiang ingin saling menguji kepandaian dengan aku, dapat saja totiang memasuki pemilihan jago menurut yang telah ditentukan. Akan tetapi lebih dulu hendaknya totiang memperkenalkan diri."

   "Pinto bernama Ciu Hek Lam dan banyak orang menyebut pinto dengan julukan yang amat buruk, yaitu Tok-ciang Sian-jin (Manusia Dewa Bertangan Racun). Tentu pangeran tidak mengenal nama pinto akan tetapi perlu kiranya diketahui bahwa mendiang Gak Song Kam ketua Jeng-hwa-pang adalah sute dari pinto."

   Mendengar ini, sebagaian besar di antara para tokoh kang-ouw terkejut.

   Memang nama tosu ini tidak terkenal dan hanya beberapa orang saja di antara mereka yang banyak melakukan perjalanan ke utara melewati Tembok Besar mengenal namanya, akan tetapi nama Jeng-hwa-pang tentu saja dikenal mereka. Kiranya tosu yang lihai ini adalah saudara tua dari mendiang ketua Jeng-hwa-pang, maka tentu saja ilmu kepandaiannya amat tinggi. Diam-diam Ceng Han Houw mengerti sekarang, Gak Song Kam, ketua Jeng-hwa-pang itu tewas di tangan dia dan Sin Liong, maka agaknya tosu ini datang dengan maksud untuk membalas dendam atas kematian ketua Jeng-hwa-pang itu! Dia sama sekali tidak merasa takut menghadapi tosu ini, akan tetapi untuk menjaga kewibawaannya, dia tidak mau begitu saja terjun ke dalam urusan pribadi di tempat itu, apalagi karena dia sedang menghadapi urusan besar.

   "AH, kiranya totiang ingin menguji kepandaianku. Baiklah, akan tetapi kita tidak boleh melewati peraturan. Cu-wi yang mulia, kami sekarang menunjuk bengcu dari selatan, yaitu locianpwe Hai-liong-ong Phang Tek dan Kim-liong-ong Phang Sun untuk menjadi penguji. Siapa dapat mengalahkan mereka berdua berarti cukup berharga untuk menjadi calon jago nomor satu di dunia!"

   

Dewi Maut Eps 45 Dewi Maut Eps 36 Dewi Maut Eps 24

Cari Blog Ini