Ceritasilat Novel Online

Asmara Berdarah 34


Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo Bagian 34



Agaknya rombongan orang kaya raya yang kini berada di dusun ini, pikirnya dengan mulut berliur. Karena lima orang wanita itu membawa keranjang berisi pakaian dan keluar dari pondok menuju ke sebuah sungai kecil yang mengalir tidak jauh dari tempat itu. Thian Bu tidak dapat menahan diri lagi dan diam-diam dia membayangi mereka. Soal menyerbu rombongan orang Mancu dalam dusun itu adalah soal nanti, yang terpenting baginya sekarang juga dia harus dapat melarikan seorang di antara lima gadis cantik itu. Selama menjadi pembantu Raja Iblis, dia kekurangan hiburan karena waktu luangnya habis oleh Siang Hwa yang tidak pernah mau melepaskannya. Dan wataknya sebagai seorang penjahat cabul, membuat dia tidak puas kalau hanya berdekatan dengan satu orang wanita yang itu-itu juga.

   Dapat dibayangkan betapa girang rasa hati laki-laki cabul ini ketika dia melihat lima orang wanita itu menuruni lorong kecil menuju ke anak sungal itu dan mereka berlima lalu melepas jubah luar dan mandimandi sambil mencuci pakaian! Dia dapat melihat dengan jelas sekali bentuk tubuh mereka dan kecantikan mereka sehingga sukarlah dia memilih yang mana yang akan dilarikannya. Kesemuanya cantik manis dan memiliki daya tarik khas sendiri-sendiri. Bagaikan seorang anak nakal Thian Bu bersembunyi, mendekam di balik semak-semak tak jauh dari tempat mereka mencuci pakaian dan berendam di air atau duduk di batu-batu besar itu. Matanya tak pernah berkedip, mukanya menjadi kemerahan dan buah lehernya turun naik.

   "Laki-laki tidak sopan, tidak malu kau mengintai wanita-wanita mandi?"

   Tiba-tiba terdengar bentakan yang mengejutkan hati Thian Bu. Dia terkejut bukan karena perbuatannya diketahui orang, melainkan karena ada orang yang muncul di situ dan berada di belakangnya tanpa dia ketahui kedatangannya. Thian Bu menoleh dan melihat bahwa yang menegurnya adalah seorang pemuda yang berwajah tampan dan periang. Karena hatinya sedang gembira, diapun menaruh telunjuk ke depan mulut dan berbisik,

   "Sobat, kalau engkau ingin menikmati pemandangan indah bersamaku, ke sinilah dan jangan ribut-ribut!"

   Pemuda itu mengerutkan alisnya dan mukanya berobah merah, pandang matanya mengandung kemarahan.

   "Aku bukan laki-laki cabul macam engkau! Sobat, pergilah dan jangan kurang ajar, kalau tidak..."

   "Kalau tidak, bagaimana?"

   Thian Bu menjadi marah pula dan meloncat dari balik semak-semak, berdiri menghadapi pemuda itu sambil bertolak pinggang. Orang ini mengganggu kesenangannya, dan karena menganggap pemuda ini seorang pemuda biasa saja, maka diapun bersikap sabar.

   "Kalau tidak, terpaksa aku menyeretmu dan melemparmu pergi dari tempat ini!"

   Kata pemuda itu dengan suara tegas. Tentu saja Sim Thian Bu menjadi marah bukan main. Dia, yang jarang menemui tandingan, bahkan kini menjadi seorang penting dari pasukan pemberontak, pembantu Raja Iblis dan Panglima Ji yang dipercaya, juga kekasih murid Raja Iblis, mau diseret dan dilempar begitu saja oleh seorang pemuda dusun!

   "Jahanam lancang mulut! Engkau tidak tahu dengan siapa engkau berhadapan maka berani membuka mulut sembarangan. Untuk itu engkau pengganggu kesenanganku. harus mampus!"

   Berkata demikian, Sim Thian Bu lalu menyerang dengan pukulan tangannya yang ampuh, mengerahkan tenaga sinkang karena dia ingin sekali pukul membuat kepala pemuda dusun ini pecah untuk melampiaskan kemengkalan hatinya. Apalagi lima orang wanita cantik itu mendengar suara ribut-ribut lalu berkemas dan meninggalkan tempat itu, membawa cucian mereka sambil berlari-lari kecil! Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Thian Bu melihat pemuda dusun yang pakaiannya aneh-aneh itu berani menangkis pukulannya yang mengandung sinkang kuat itu. Dia tersenyum mengejek dan melanjutkan pukulannya dengan keyakinan hati bahwa tulang lengan lawan itu akan patah-patah dan tangannya tentu akan tetap dapat mengenai kepalanya.

   "Dukkk..."

   Untuk kedua kalinya Thian Bu terkejut, akan tetapi sekali ini dia terkejut dan heran, juga kesakitan karena tubuhnya terdorong ke belakang dan lengannya yang kena tangkis tadi tergetar hebat dan terasa nyeri seolah-olah tulang lengannya akan patah rasanya! Barulah dia tahu bahwa pemuda dusun ini ternyata seorang yang memiliki kepandaian silat yang tinggi!

   "Siapa... siapakah engkau?"

   Tanyanya terdorong oleh rasa kaget dan heran yang besar. Pemuda itu tersenyum dan sepasang matanya yang tajam itu ikut tersenyum, dan kelihatan jenaka dan nakal.

   "Manusia cabul, kiranya engkau memiliki pula kepandaian yang tidak rendah. Aku tidak tahu orang macam apa adanya engkau dan apa keinginanmu maka mengintai para wanita yang sedang mandi, akan tetapi kalau kau ingin tahu namaku adalah Cia Hui Song."

   Thian Bu terkejut. Dia sudah mendengar nama ini walaupun belum mengenal orangnya. Dengan hati-hati dia bertanya,

   "Apa hubunganmu dengan ketua Cin-Ling-Pai yang bernama Cia Kong Liang?"

   Kini Hui Song terkejut. Kiranya orang ini sudah mengenal nama dan kedudukan ayahnya. Tentu bukan orang sembarangan. Tadipun dia sudah merasakan betapa orang itu memiliki tenaga sinkang yang kuat sekali.

   "Dia adalah ayahku. Sobat, siapakah engkau yang mengenal nama ayahku?"

   "Pendekar manakah yang tidak mengenal nama besar Cin-Ling-Pai dan ketuanya? Maafkan tadi aku tidak mengenalmu, Cia-taihiap. Aku bernama Sim Thian Bu. Maafkan, ketika aku melakukan perjalanan lewat di sini, melihat wanita-wanita itu mandi... mereka begitu gembira, aku tertarik dan mengintai..."

   Kalau saja ketika terjadi penyergapan oleh pasukan gerombolan terhadap para pendekar di bekas benteng Jeng-hwa-pang terjadi pada siang hari, tentu Hui Song akan mengenal orang ini sebagai pembantu Gui Siang Hwa yang memimpin penyergapan itu. Akan tetapi malam itu gelap sehingga dia tidak mengenal Thian Bu dan dia percaya akan keterangannya. Bagaimanapun juga, dia maklum kalau seorang laki-laki mengintai wanita-wanita yang sedang mandi, apalagi kalau yang mandi itu adalah selir-selir Lamnong yang demikian cantik manis dan periang.

   "Sudahlah, harap engkau tinggalkan tempat ini. Wanita-wanita itu adalah isteri dari Lamnong, harap jangan diganggu karena Lamnong adalah sahabatku."

   "Lamnong...? Siapa dia?"

   Thian Bu bertanya, tidak mau sembrono menentang pemuda putera ketua Cin-Ling-Pai ini yang sekarang telah menjadi sekutu Raja Iblis, apalagi karena amat berbahaya melawan pemuda yang tadi sudah dia rasakan kekuatannya ketika menangkis pukulannya.

   "Lamnong adalah kepala suku Mancu Timur. Eh, saudara Sim, apakah engkau juga hadir ketika terjadi penyergapan terhadap para pendekar oleh pasukan pemberontak?"

   Dengan cerdik dan hati-hati Thian Bu menggeleng kepala dan menark napas panjang.

   "Sayang sekali aku datang terlambat, taihiap. Ketika aku datang ke benteng Jeng-hwa-pang, tidak ada seorangpun di sana kecuali bekas-bekas pertempuran hebat. Lalu apakah yang menjadi keputusan para pendekar yang mengadakan pertemuan di tempat itu?"

   Akan tetapi Hui Song juga bukan seorang yang bodoh dan ceroboh. Dia belum mengenal betul laki-laki ini, tidak tahu siapa dia sebenarnya, oleh karena itu tentu saja dia tidak mau sembarangan saja menceritakan tentang hasil pertemuan para pendekar yang diserbu oleh pasukan pemberontak itu.

   "Keputusan-keputusan itu hanya boleh diketahui oleh mereka yang hadir. Maaf, aku tidak dapat memberi tahu padamu."

   Diam-diam Thian Bu merasa penasaran. Dia tahu bahwa putera ketua Cin-Ling-Pai tidak percaya kepadanya dan dia dapat menduga pula bahwa Hui Song ini tentu belum tahu bahwa ayahnya kini berada di Cengtek membantu Raja Iblis, membantu para pemberontak! Bagaimanapun juga, dia gembira sekali mendengar keterangan tentang Lamnong, kepala suku Mancu Timur yang kini bersama rombongannya berada di dusun itu.

   "Sekali lagi maafkan kelancanganku, taihiap, dan perkenankan aku pergi,"

   Akhirnya dia berkata karena dia melihat datangnya beberapa orang Mancu menuju ke tempat itu. Hui Song mengangguk dan Sim Thian Bu lalu pergi dengan cepat, diikuti pandang mata Hui Song yang masih menduga-duga orang macam apa adanya laki-laki yang berpakaian mewah dan berkepandaian tinggi itu. Enam orang Mancu yang datang itu adalah Lamnong dan para pengawalnya. Melihat Hui Song, Lamnong segera mengulur tangan dan memegang tangan sahabatnya itu.

   "Isteri-isteriku telah bercerita bahwa engkau datang dan bertengkar dengan seorang laki-laki. Apakah yang telah terjadi dan siapakah dia?"

   Hui Song tidak mau menyembunyikan urusan itu kepada sababatnya.

   "Dia kulihat mengintai Isteri-isterimu yang sedang mandi, maka kutegur dia dan kusuruh dia pergi. Saudara Lamnong, engkau dan rombonganmu hendak pergi ke manakah?"

   "Ke mana lagi kalau tidak pulang? Daerah ini berbahaya. Pasukan pemberontak membuat pembersihan di mana-mana. Mereka menyerbu dusun-dusun, membunuhi orang-orang dan merampok. Lihat, dusun inipun habis dirampok dan dibakar. Kami hanya beristirahat dan bermalam di sini, besok pagi kami melanjutkan perjalanan ke timur, pulang ke kampung halaman kami sendiri."

   "Engkau tidak membantu nenek Yelu Kim?"

   Lamnong menggeleng kepala dan menggandeng tangan sahabatnya diajak kembali ke dalam dusun. Mereka memasuki sebuah pondok yang telah dibersihkan dan dijadikan tempat bermalam Lamnong dan para selirnya. Kedatangan Hui Song disambut dengan gembira oleh para selir yang sudah mengenalnya dan mereka semua lalu duduk di atas lantai yang ditilami tikar. Sambil menjamu sahabatnya, Lamnong mengajak Hui Song bercakap-cakap, sedangkan para selir hanya duduk mendengarkan. Mereka semua suka kepada Hui Song yang gagah, tampan dan sopan itu. Menghadapi pemuda ini dan bicara dengannya, para selir ini tidak merasa canggung atau malu-malu lagi, apalagi karena suami mereka juga amat suka dan percaya kepada pendekar itu.

   "Bagaimana mungkin aku merendahkan diri mentaati perintah-perintah seorang wanita, sudah nenek-nenek pula? Tidak, aku tidak akan begitu merendahkan diri, lebih baik aku kembali ke timur dan lebih baik aku membantu seorang pemimpin bangsa Mancu yang kupercaya sekali waktu akan bangkit dan menjadi lebih besar dari pada suku-suku lain di utara,"

   Lamnong berhenti sebentar, lalu memandang kepada pendekar itu.

   "Dan engkau sendiri, dari mana dan hendak ke mana, Cia-taihiap? Bagaimana kabarnya dengan kepergianmu yang katanya hendak mengunjungi kawan-kawanmu itu?"

   "Tidak baik sekali, kami yang sedang mengadakan pertemuan telah diserbu oleh pasukan pemberontak. Banyak di antara teman-teman kami tewas."

   "Ah, kalau begitu mari engkau ikut bersama kami saja ke timur, Cia-taihiap. Aku akan merasa beruntung sekali kalau kelak engkau dapat membantu pergerakan kami orang-orang Mancu, kalau waktunya sudah tiba untuk itu,"

   Kata Lamnong yang merasa amat suka kepada sahabat barunya ini. Hui Song menarik napas panjang, memandang kepada Lamnong dan Isteri-isterinya. Mereka semua menatap wajahnya dengan sinar mata penuh harapan agar dia mau menemani mereka. Betapa baiknya orang-orang ini, pikirnya.

   "Sayang sekali, saudara Lamnong. Sebetulnya aku sendiripun merasa amat suka bersama dengan kalian, akan tetapi kiranya tidak mungkin. Aku harus menentang para pemberontak, karena mereka dipimpin oleh orang-orang jahat. Andaikata suku bangsamu mengangkat senjata menentang mereka, sudah pasti aku akan membantumu sekuat tenaga."

   Lamnong juga menarik napas panjang.

   "Sayang sekali. Akan tetapi aku tidak akan melakukan gerakan sekarang. Untuk itu bangsaku belum siap dan untuk bekerja di bawah perintah seorang nenek-nenek akupun tidak sudi. Marilah kita bersenang-senang malam ini sebagai malam perpisahan, Cia-taihiap. Siapa tahu kita tidak akan saling bertemu kembali walaupun aku sungguh mengharapkan itu."

   Hui Song dijamu dan mereka makan minum dengan gembira pada malam harinya. Hui Song ditahan untuk bermalam di situ bukan bermalam untuk tidur melainkan melewatkan malam bercakap-cakap dan makan minum dengan gembira bersama Lamnong dan Isteri-isterinya. Mereka yang sedang bergembira dalam malam perpisahan ini sama sekali tidak pernah menyangka bahwa malam perpisahan itu merupakan malam perpisahan yang sungguh-sungguh dan amat menyedihkan, menjadi malam malapetaka besar bagi keluarga Lamnong dan rombongannya yang tidak besar jumlahnya itu.

   Bencana ini datang dari Sim Thian Bu. Pria ini tentu saja mempersiapkan segalanya karena yang diincarnya ini bukan hanya rombongan yang diduganya membawa banyak harta, melainkan juga rombongan di mana terdapat wanita-wanita mudanya yang cantik manis! Pertemuannya dengan Hui Song yang memberi tahu kepadanya bahwa rombongan Lamnong itu adalah sahabat putera ketua Cin-Ling-Pai itu, membuat Thian Bu semakin hati-hati. Pemuda itu tinggi ilmu silatnya dan amat berbahaya, pikirnya. Apalagi pemuda itu adalah putera ketua Cin-Ling-Pai yang tentu saja tidak boleh dibunuh. Akan tetapi, kalau pemuda itu memihak Lamnong dan rombongannya, terpaksa dia turun tangan dan mengandalkan pasukannya yang amat besar itu, dia tidak takut menghadapi Cia Hui Song! Maka, untuk meyakinkan keberhasilan pasukannya, dia mengerahkan pasukannya yang berjumlah seribu orang itu!

   Anak buah pasukan itu sendiri mengira bahwa mereka tentu dibawa menyerbu musuh yang besar jumlahnya dan kuat kedudukannya, maka tentu saja mereka merasa terheran-heran ketika mendapat kenyataan bahwa yang mereka serbu itu hanyalah serombongan orang yang kekuatannya tidak lebih dari tiga puluh orang lebih saja! Dapat dibayangkan betapa paniknya tiga puluh orang lebih itu ketika tiba-tiba dusun itu sudah dikurung dan banyak sekali pasukan menyerbu mereka. Lamnong yang sedang makan minum bersama Hui Song, terkejut dan bersama pendekar itu mengamuk dan membela diri mati-matian. Bahkan selir-selirnyapun, yang sedikit banyak pernah belajar ilmu membela diri karena mereka hidup di perantauan, ikut melawan dan membela diri. Hui Song marah sekali dan dialah yang mengamuk seperti harimau kelaparan.

   Begitu ada penyerbuan itu, dia sudah dapat menduga bahwa penyerbu ini tentulah pasukan pemberontak, sama dengan pasukan yang menyergap para pendekar di benteng kuno Jeng-hwa-pang. Maka diapun mengamuk dengan hebatnya dan entah berapa banyak anak buah pasukan yang roboh dan terlempar oleh tamparan-tamparan dan tendangannya. Akan tetapi jumlah lawan terlampau banyak dan Hui Song maklum bahwa betapapun gagahnya, menghadapi lawan yang nampaknya tidak pernah akan habis ini, akhirnya dia akan celaka sendiri, dan yang terpenting adalah menyelamatkan Lamnong. Maka, melihat Lamnong yang membela diri dengan pedangnya dan mengamuk dengan gagahnya itu dikepung oleh belasan orang musuh, diapun mengeluarkan suara melengking dan merobohkan beberapa orang ketika dia menerjang dan mendekati Lamnong.

   "Mari kita pergi, biar kulindungi engkau!"

   Katanya kepada Lamnong. Kepala suku inipun maklum betapa sia-sianya melawan. Diapun lalu mengikuti Hui Song yang membuka jalan keluar dan setelah merobohkan belasan orang dan membuat yang lain menjadi gentar dan mundur, diapun menyambar tubuh kawannya itu dan dibawanya berloncatan dan lari menjauhkan diri. Akhirnya mereka dapat terbebas dan lolos dari kepungan pasukan dan Hui Song melarikan kawannya itu ke dalam hutan yang dekat.

   "Berhenti... lepaskan aku di sini, Cia-taihiap..."

   Kata Lamnong yang masih terengah-engah. Dan ketika Hui Song melepaskannya, Lamnong berkata.

   "Taihiap, kasihanilah aku, engkau bebaskanlah Isteri-isteriku... kasihan mereka..."

   Hui Song berdiri dan tertegun, kemudian menggeleng kepala dan menarik napas panjang.

   "Saudara Lamnong, betapa mungkin itu? Kulihat pasukan itu besar sekali jumlahnya, tentu ada ratusan orang. Mana mungkin aku dapat menyelamatkan Isteri-isterimu yang begitu banyak?"

   Tiba-tiba Lamnong menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Hui Song.

   "Tidak semua, taihiap, hanya seorang saja, hanya isteri ke tujuh. Engkau tahu yang mana yang kumaksudkan. Aku cinta sekali padanya dan tanpa ia di sampingku, aku takkan dapat hidup lagi. Tolonglah, tolonglah aku, taihiap, selamatken kekasihku itu..."

   Hui Song merasa kasihan sekali. Dia tahu betapa bahayanya memasuki dusun itu kembali, seperti orang menolong orang dari dalam sebuah rumah yang sudah terbakar dan apinya sedang berkobar saja. Akan tetapi, dia merasa kasihan kepada Lamnong dan diapun merasa bahwa kalau hanya menyelamatkan seorang saja, kiranya dia masih akan sanggup dan akan dapat berhasil. Bagaimanapun banyaknya, para perajurit pasukan pemberontak itu hanyalah orang-orang yang hanya mengandalkan pengeroyokan saja dan tidak ada yang memiliki kepandaian yang berarti.

   "Baiklah, tunggu saja di sini, aku akan berusaha menyelamatkannya!"

   Kata Hui Song dan tanpa menanti sahabatnya itu berterima kasih, dia sudah berkelebat lenyap. Dengan cepat dia memasuki dusun yang masih ribut itu dan menyerbu ke dalam. Dan mudah saja baginya untuk memasuki rumah di mana tadi Lamnong dan Isteri-isterinya tinggal. Akan tetapi rumah itu telah kosong! Dan selagi dia kebingungan tidak tahu harus mencari ke mana, terdengar sorak sorai dan rumah itupun sudah dikepung dengan ketat. Kiranya dia memang dijebak dan kini seperti seekor harimau yang jatuh ke dalam perangkap, dan para perajurit pasukan pemberontak itu menyorakinya! Hui Song menggigit gigi dan mengepal tinju.

   Dia akan membela diri dan melawan mati-matian, kalau perlu dia akan menumpas semua anak buah pasukan pemberontak ini, walau hal itu nampaknya tidak mungkin mengingat betapa banyaknya jumlah mereka. Akan tetapi, diapun yakin bahwa andaikata dia tidak dapat menemukan lagi Isteri-isteri Lamnong yang entah berada di mana itu, masih tidak terlalu sukar baginya untuk menerjang ke luar dan membuka jalan darah meloloskan diri. Akan tetapi tiba-tiba muncul seorang laki-laki yang membuat Hui Song terbelalak dan mukanya menjadi merah, metanya memancarkan api kemarahan. Laki-laki itu bukan lain adalah Sim Thian Bu! Kini mengertilah dia! Kiranya siang tadi orang ini datang bukan hanya untuk mengintai wanita mandi, melainkan untuk memata-matai dan menyelidiki keadaan di dusun itu! Dan orang ini ternyata adalah seorang pemimpin pasukan pemberontak!

   "Jahanam busuk! Kiranya engkau adalah seorang pemberontak?"

   Bentak Hui Song.

   "Bagus, aku tidak akan dapat mengampunimu lagi!"

   Akan tetapi, Sim Thian Bu melintangkan pedangnya dan berkata,

   "Cia-taihiap, aku tidak ingin memusuhimu. Ketahuilah bahwa banyak orang gagah membantu kami untuk menghadapi kaisar lalim. Menyerahlah dan engkau akan kami sambut sebagai seorang pembantu kami yang terhormat."

   "Tutup mulutmu yang busuk! Siapa sudi bersekutu dengan pemberontak busuk?"

   Hui Song menyerang dengan cepat sekali. Akan tetapi, Sim Thian Bu menyelinap di antara para perajurit dan belasan orang perajurit dengan berbagai macam senjata menyambut terjangan Hui Song. Dua orang terdepan terjengkang muntah darah diterjang Hui Song dan yang lain-lain mundur. Akan tetapi, kepungan semakin diperketat dan puluhan batang senjata menyambar-nyambar. Hui Song yang hanya bertangan kosong itu, cepat merampas dua batang pedang dan kini dengan sepasang pedang,

   Dia mengamuk, menangkisi semua senjata dengan sepasang pedangnya dan merobohkan banyak sekali pengeroyok dengan tendangan-tendangannya! Akan tetapi, betapapun lihainya, dia hanya seorang manusia biasa dan tenaganya tentu saja terbatas. Setelah merobohkan tiga puluh orang lebih, dan bajunya sudah robek-robek terkena senjata, akhirnya Sim Thian Bu berhasil melukai pahanya dan selagi Hui Song terhuyung, belasan orang menubruknya dan diapun akhirnya lemas terkena totokan Sim Thian Bu yang lihai. Thian Bu melarang orang-orangnya untuk membunuh Hui Song dan dia sendiri menyeret tubuh Hui Song ke dalam sebuah kamar. Dia menembahkan beberapa totokan ke pundak dan punggung Hui Song, membuat pemuda ini menjadi lemas dan tidak mampu mengerahkan sinkang, seperti setengah lumpuh kaki tangannya.

   "Ha-ha, Cia-taihiap, Lihat, kalau aku mau membunuhmu, betapa mudahnya. Akan tetapi aku tidak
(Lanjut ke Jilid 32)
Asmara Berdarah (Seri ke 08 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 32
akan membunuhmu. Aku bahkan akan membikin senang hatimu karena aku mengharapkan engkau kelak suka membantu kami."

   "Pemberontak hina, kalau engkau mau membunuhku, lakukanlah, dari pada bersekutu dengan pemberontak, lebih baik aku mati. Kalau engkau gagah dan memiliki kepandaian, mari kita bertanding satu lawan satu!"

   Dengan suara lemah Hui Song berkata, akan tetapi Thian Bu hanya tertawa saja, tertawa dengan sikap mengejek.

   Setelah memerintahkan seregu pasukan pengawal untuk berjaga dengan ketat di luar kamar, dia lalu meninggalkan Hui Song. Hanya Lamnong seorang yang dapat lolos dari serbuan para perajurit pemberontak itu. Belasan orang wanita ditawan dan semua laki-laki dibunuh dengan kejam! Thian Bu sendiri lalu mendatangi para tawanan wanita yang bersimpuh di atas lantai sambil menangis. Di antara para selir dan para pelayan itu, dia memilih empat orang selir Lamnong yang paling muda dan paling cantik, kemudian dia membawa empat orang wanita tawanan ini ke dalam bekas kamar Lamnong. Empat orang wanita itu menangis dan menjatuhkan diri berlutut di lantai kamar itu ketika Thian Bu membawa mereka masuk dan menutupkan pintunya.

   "Ha-ha, nona-nona manis. Sekarang akulah yang menjadi suamimu, pengganti Lamnong. Lihat, aku tidak kalah ganteng dan gagah dibandingkan dengan dia, bukan?"

   Dia menyeringai dan membuka kancing bajunya, memperlihatkan dadanya yang bidang. Pria cabul ini memang berwajah tampan, berpakaian mewah dan bertubuh tegap. Memang dia memiliki daya tarik yang kuat bagi wanita. Akan tetapi, empat orang selir itu yang masih ketakutan dan berduka karena malapetaka yang menimpa suami dan keluarga mereka, tentu saja tidak tertarik oleh gayanya ini dan mereka hanya berlutut di lantai, menundukkan muka dan menangis. Melihat mereka itu menangis, Thian Bu mengerutkan alisnya yang tebal, hatinya merasa jengkel sekali.

   "Sudah, jangan menangis!"

   Bentaknya.

   "Kalian kuajak ke sini bukan untuk bertangis-tangisan, melainkan untuk bersenang-senang!"

   Akan tetapi tiba-tiba terdengar jeritan-jeritan wanita. Mendengar ini, empat orang wanita itupun menjadi ketakutan dan menangis semakin keras. Mereka mengenal suara jerit tangis itu sebagai suara tangis wanita-wanita yang tadi tidak terpilih oleh Thian Bu. Belasan orang wanita, yaitu selir-selir Lamnong dan para pelayan, oleh Thian Bu dihadiahkan kepada para pembantunya yang terdiri dari belasan orang perwira. Tentu saja orang-orang kasar ini segera berebutan dan sebentar saja wanita-wanita itu ditarik dan dibetot sana-sini dan dipondong, dibawa ke tempat-tempat terpisah oleh orang-orang itu dan merekapun menjerit-jerit dan menangis. Mendengar jerit tangis itu, Thian Bu menyeringai.

   "Nah, dengar itu. Mereka terpaksa harus melayani para perajurit itu dan mengingat jumlah para perajurit, tentu mereka akan hancur dan mati sebelum semua orang kebagian. Apakah kalian ingin kulemparkan kepada para perajurit itu?"

   Empat orang wanita itu mengangkat muka dan mata mereka terbelalak memandang kepada Thian Bu. Muka mereka pucat dan mereka menggeleng-geleng kepala, merasa ngeri membayangkan betapa mereka akan menjadi rebutan para perajurit yang kasar itu, seperti seekor kelinci dijadikan rebutan ratusan ekor harimau. Mereka tentu akan dicabik-cabik sampai tubuh mereka hancur binasa!

   "Tidak... tidak... jangan..."

   Teriak mereka memohon. Thian Bu tersenyum.

   "Jadi kalian memilih untuk melayani aku dari pada para perajurit itu? Nah, kalau begitu, hentikan tangis kalian dan bersikaplah manis!"

   Saking takutnya kalau-kalau mereka dilemparkan kepada para perajurit yang buas seperti segerombolan anjing serigala itu, empat orang wanita ini lalu memaksakan diri menghentikan tangis mereka. Sim Thian Bu menjadi girang sekali dan mulailah dia membelai dan mempermainkan mereka. Biarpun hati mereka terasa hancur, empat orang itu terpaksa mandah saja dipermainkan sesuka hati oleh Sim Thian Bu. Pria ini memang ganteng dan banyak pengalamannya dengan wanita. Maka tidaklah mengherankan kalau empat orang wanita yang tadinya menangis sedih itu, akhirnya menyerahkan diri dengan pasrah, bahkan mulai timbul kegembiraan mereka melayani pria yang ganteng dan pandai mengambil hati itu. Ada seorang tawanan lain yang bukan wanita. Seorang kakek yang terluka pundaknya. Oleh Thian Bu, kakek ini tidak boleh dibunuh, bahkan diobati lukanya. Pada keesokan harinya, Thian Bu membawa kakek ini ke sebuah kamar, lalu dia berkata,

   "Lihat baik-baik, dan laporkan kepada Lamnong agar lain kali dia berhati-hati memilih kawan. Kepercayaannya kepada Cia Hui Song menghancurkan dia. Ayah pemuda itu, ketua Cin-Ling-Pai, adalah seorang tokoh di antara pasukan kami yang sedang berjuang. Lihat, kini dia bersenang-senang dengan kami!"

   Setelah berkata demikian, Thian Bu membuka daun pintu kamar itu dan membiarkan kakek Mancu menjenguk ke dalam. Setelah melihat ke dalam, kakek itu terbelalak dan mulutnya mengeluarkan makian. Apakah yang dilihatnya? Cia Hui Song, pemuda yang selama ini dianggap sebagai sahabat baik Lamnong, yang telah disambut sebagai tamu kehormatan oleh kepada sukunya itu, kini nampak rebah di atas pembaringan dengan pakaian setengah telanjang dan empat orang wanita cantik yang hampir tidak berpakaian sama sekali malang melintang rebah di sisi dan di atas tubuh pendekar itu, bahkan ada yang merangkulnya! Melihat ini, tentu saja kakek itu menjadi marah karena empat orang wanita itu adalah selir-selir kepala sukunya!

   "Nah, kau sudah melihat jelas? Kakek, sekarang engkau boleh pergi, cari Lamnong dan laporkan semua yang kau lihat,"

   Kata Thian Bu sambil menutupkan lagi daun pintu kamar itu.

   "Akan tetapi... kenapa... kenapa engkau membebaskan aku sedangkan semua kawanku telah dibunuh?"

   "Kakek, bersyukurlah kepada para dewa bahwa wajahmu mirip sekali dengan mendiang ayahku. Itulah sebabnya mengapa aku tidak membolehkan anak buahku membunuhmu. Nah, pergilah cepat!"

   Katanya dan kakek itupun tanpa banyak cakap lagi lalu pergi meninggalkan dusun itu. Apakah yang telah terjadi? Mengapa empat orang wanita itu kini berada di atas pembaringan bersama Hui Song? Ini adalah akal Thian Bu yang memang licik sekali. Setelah puas bermain-main dengan empat orang wanita itu semalam suntuk, dia lalu menyuruh mereka memasuki kamar di mana Hui Song rebah tak berdaya.

   "Sekarang kalian bantulah aku. Kalian tentu mengenal Cia Hui Song sahabat suami kalian itu, bukan? Nah, kalau kalian tidak ingin kuserahkan kepada para perajurit, kalian berempat sekarang harus melayani dia! Rayulah dia agar suka bermain-main dengan kalian dan kalian boleh tidur di atas pembaringannya melepaskan lelah."

   Empat orang wanita yang kelelahan itu lalu digiring ke dalam kamar di mana Hui Song nampak rebah di atas pembaringan seorang diri. Empat orang wanita itu dalam keadaan setengah atas hampir telanjang sama sekali, menghampiri pembaringan. Melihat Hui Song yang mereka suka dan yang menjadi kepercayaan suami mereka, mereka merasa seperti bertemu dengan seorang sahabat baik, apalagi mengingat akan kelihaian Hui Song, mungkin mereka dapat mengharapkan pertolongannya. Maka tanpa diperintah lagi mereka lalu lari dan menubruk pemuda itu.

   Akan tetapi, pemuda itu hanya dapat bergerak dengan lemah saja. Di dalam hatinya, Hui Song terkejut setengah mati. Tidak disangkanya bahwa ucapan Thian Bu tadi dibuktikannya, yaitu bahwa Thian Bu hendak menyenangkan hatinya, bahkan dengan cara yang membuat darahnya tersirap. Dia menjadi rikuh dan malu sekali melihat betapa empat orang selir-selir Lamnong yang paling cantik menghampirinya dengan pakaian hampir telanjang, apalagi ketika mereka menubruk dan merangkulnya. Akan tetapi dia tidak dapat menggerakkan kaki tangan untuk menolak atau mengelak. Dia diam saja dan membiarkan mereka menangis di pundaknya, di dadanya dan mungkin terpengaruh oleh rayuanrayuan Thian Bu tadi, dan teringat akan ancaman Thian Bu, mereka bahkan mulai membelai tubuh Hui Song!

   "Pergilah... jangan ganggu aku..."

   Kata Hui Song lemah akan tetapi empat orang wanita itu tidak menghentikan usaha mereka. Dalam keadaan seperti itulah tadi kakek Mancu dibawa oleh Thian Bu untuk melihat ke dalam kamar.

   Tentu saja dia merasa terkejut dan marah. Sama sekali tidak disangkanya bahwa pemuda yang diterima dengan ramah dan baik oleh Lamnong itu, yang dianggap sebagai seorang sahabat suku bangsanya hanya untuk menjadi mata-mata, dan setelah terjadi penyerbuan, berbalik malah menjadi musuh dan melakukan Hal-hal yang amat tidak patut, yaitu menzinahi Isteri-isteri kepala sukunya. Kakek Mancu itu tahu bahwa kepala sukunya, Lamnong, berhasil menyelamatkan dirinya, dan dia tahu pula di mana kepala suku itu menyembunyikan diri, karena pernah mereka melewati sebuah hutan sebelum tiba di dusun itu dan Lamnong pernah mengatakan bahwa hutan itu merupakan tempat yang amat baik untuk menyembunyikan pasukan kalau kelak terjadi perang di tempat itu.

   Maka diapun lalu memasuki hutan itu dan menyusup-nyusup, mencari-cari dan memanggil-manggil. Akan tetapi baru dua hari kemudian panggilannya terjawab dan muncullah Lamnong dari balik semak-semak belukar. Melihat pemimpinnya berada dalam keadaan compang-camping itu, kakek Mancu lalu menjatuhkan diri berlutut dan menangis! Lamnong merangkul satu-satunya anak buah yang masih hidup ini dan dapat dibayangkan betapa marah hatinya mendengar laporan orang itu bahwa seluruh anak buahnya dalam rombongannya telah habis dan tewas semua, dan betapa Isteri-isterinya telah menjadi korban perkosaan, dan terutama sekali betapa Cia Hui Song ternyata adalah seorang tokoh pemberontak dan juga ikut pula menjinai empat orang isterinya yang paling disayangnya!

   "Mustahil!"

   Dia membentak.

   "Cia-taihiap adalah seorang sahabat dan dia pula yang telah menyelamatkan aku sampai ke sini!"

   "Saya melihat sendiri dia dan empat orang isteri paduka dalam sebuah kamar, dalam keadaan yang amat tidak sopan dan memalukan. Saya berani bersumpah!"

   Kata kakek itu. Lamnong mengerutkan alianya dan hatinya mulai terasa panas.

   "Akan tetapi... kenapa dia bersikap begitu baik ketika menjadi tamu kita, dan dia sama sekali tidak pernah bersikap kurang ajar atau menggoda Isteri-isteriku. Kenapa sikapnya berbalik secara mendadak seperti itu dan kenapa pula dia menyelamatkan aku kalau memang dia itu berpihak kepada musuh?"

   "Dia tentu bertindak sebagai mata-mata ketika menjadi tamu kita, dan dia sengaja menyelamatkan paduka hanya untuk menutupi niatnya yang busuk terhadap Isteri-isteri paduka. Bagaimanapun juga, sepasang mata saya tidak dapat ditipu dan saya melihatnya sendiri."

   Lalu kakek Mancu ini menceritakan kembali dengan penggambaran yang lebih jelas apa yang dilihatnya di dalam kamar itu, betapa dalam keadaan setengah telanjang Hui Song dipeluki oleh empat orang isteri Lamnong yang telanjang bulat. Mendengar penggambaran itu, hati Lamnong menjadi semakin panas. Dia sudah terpukul sekali mendengar akan terbasminya seluruh anak buahnya, dan kini mendengar akan perbuatan Hui Song terhadap empat orang isterinya yang tercinta, dia mengepal tinju dan mukanya menjadi merah. Hui Song berjanji akan menyelamatkan seorang selirnya yang paling dicinta, siapa tahu pemuda itu malah menjinai selirnya itu dengan selir-selir lain pula.

   "Keparat jahanam Cia Hui Song!"

   Dia mengutuk, akan tetapi Lamnong lalu menutupi mukanya dengan kedua tangannya.

   "Kasihan Isteri-isteriku yang malang..."

   Dan diapun menangis!

   Kakek Mancu itu menjadi terharu sekali melihat pemimpinnya menangis dan diapun teringat akan dua orang anaknya yang menjadi anggota rombongan dan tewas pula, maka tak dapat ditahannya, diapun kini menangis. Dua orang laki-laki itu menangis di dalam hutan yang lebat dan sunyi, dengan hati dilanda duka yang hebat. Dan memang sepatutnya Lamnong menangisi Isteri-isterinya karena nasib wanita-wanita itu memang menyedihkan. Sim Thian Bu adalah seorang laki-laki cabul yang berhati kejam bukan main. Dia tidak pernah merasa puas dengan wanita tertentu dan menganggap wanita seperti makanan atau pakaian saja. Kalau sudah kenyang dimakannya, maka sisanya akan diberikan kepada anjing dan kalau sudah bosan memakainya, bekasnya akan dicampakkan begitu saja. Demikian pula setelah dia merasa kenyang dan bosan terhadap empat orang wanita itu, untuk menyenangkan hati anak buahnya,

   Thian Bu lalu menghadiahkan empat orang tawanan itu kepada anak buahnya. Empat orang wanita yang sejak dahulu hidup berbahagia di samping Lamnong kini mengalami nasib yang mengerikan. Mereka itu diperebutkan dan dipermainkan banyak orang kasar sampai akhirnya mereka tidak tahan dan tewas menyusul teman-temannya yang sudah mendahului mereka! Akan tetapi mengapakah Thian Bu memperlakukan Hui Song seperti itu? Mengapa dia membiarkan kakek Mancu lolos setelah memberinya kesempatan melihat seolah-olah Hui Song sedang berjina dengan empat orang selir Lamnong? Thian Bu melakukannya bukan hanya sekedar untuk melampiaskan kemarahannya kepada Hui Song ketika pemuda itu menggagalkan dia yang hendak menculik wanita ketika dia mengintai wanita-wanita yang sedang mandi itu.

   Dia melakukannya dengan perhitungan. Dia membiarkan kakek Mancu lolos bukan sekali-kali karena kakek itu mirip dengan ayahnya, sama sekali tidak. Itu hanya suatu alasan belaka. Dia sengaja membiarkan kakek itu hidup agar kakek itu dapat menghubungi Lamnong! Dan dia sengaja membiarkan kakek itu melihat seolah-olah Hui Song bermain gila dengan para selir Lamnong agar timbul kebencian dan permusuhan antara suku bangsa itu dengan Hui Song. Dia tidak mau membunuh Hui Song, mengingat bahwa ayah pemuda itu menjadi sekutu Raja Iblis, akan tetapi dia ingin memberi kesan buruk terhadap pemuda ini kepada suku bangsa Mancu. Kalau sudah demikian, tidak mungkin lagi Hui Song kelak membantu orang-orang Mancu.

   Dan dia hendak merusak nama baik Hui Song, bukan hanya untuk melampiaskan kebenciannya terhadap pemuda ini akan tetapi secara tidak langsung dia hendak menghantam pula nama baik ketua Cin-Ling-Pai. Betapapun juga, keluarga Cin-Ling-Pai sejak dahulu adalah musuh-musuh yang dibencinya, orang-orang dari golongan pendekar yang selelu memusuhi golongannya. Dan di samping semua alasan ini, juga Thian Bu hendak main-main untuk merendahkan dan membikin malu Hui Song. Karena memang sudah diaturnya, ketika kakek itu melarikan diri. Diam-diam Thian Bu menyuruh belasan orang pengawalnya untuk membayanginya dan kalau kakek itu sudah bertemu dengan Lamnong, agar menangkap mereka tanpa membunuhnya karena dia masih memiliki rencana lebih jauh dengan kepala suku Mancu Timur itu.

   Demikianlah, ketika Lamnong dan kakek Mancu itu bertangisan di dalam hutan, tiba-tiba muncul tiga belas orang perajurit pengawal pilihan yang sudah mengurung mereka dan membentak agar keduanya suka menyerah tanpa perlawanan. Akan tetapi, Lamnong yang sedang dilanda duka dan dendam itu, tentu saja tidak sudi menyerah. Dia mencabut pedangnya dan mengamuk, dibantu oleh kakek Mancu yang sudah luka pundaknya. Mereka mengamuk dengan nekat tanpa memperdulikan keselamatan nyawa sendiri sehingga agak kewalahanlah tiga belas orang pengawal itu. Kalau saja mereka diperintahkan membunuh, tentu dua orang itu sudah terbunuh sejak tadi. Akan tetapi mereka dilarang membunuh, melainkan disuruh menangkap mereka berdua itu hidup-hidup dan inilah sukarnya. Dua orang itu nekat, membuat para pengeroyok itu sukar menangkapnya hidup-hidup.

   Betapapun juga, karena dikeroyok oleh banyak orang, perlahan-lahan Lamnong dan pembantunya mulai kehabisan tenaga dan napas mereka sudah terengah-engah, tubuh sudah basah oleh keringat. Agaknya tidak lama lagi mereka akan roboh sendiri kehabisan tenaga sehingga akan mudah ditawan. Pemimpin regu pengawal pemberontak itu tahu akan hal ini, maka dalam suatu kesempatan yang baik, kakinya terayun dan tepat mengenai lutut kanan Lamnong yang roboh terguling. Empat orang menubruknya dan kakek Mancu yang sudah kehabisan tenaga itupun dapat tertangkap dari belakang dan keduanya lalu dibelenggu. Lamnong meronta-ronta dan memaki-maki, akan tetapi dia segera tidak berdaya setelah kaki tangannya diikat. Pada saat itu terdengar bentakan nyaring dan dua orang prajurit terpelanting disusul oleh dua orang perajurit juga terpelanting ke kanan kiri.

   
Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Semua orang melihat dan ternyata yang datang adalah seorang laki-laki dan seorang wanita yang gagah perkasa. Begitu mereka berdua itu menggerakkan tangan tadi, empat orang telah terpelanting dan hal ini amat mengejutkan hati pasukan itu, juga membuat mereka marah. Sembilan orang sisa pasukan pengawal itu segera mencabut senjata dan tanpa banyak cakap mereka lalu menerjang dan mengeroyok laki-laki dan wanita yang baru datang itu. Akan tetapi, dengan gerakan ringan dan mudah saja, dua orang itu mengelak dan begitu mereka menggerakkan kaki tangan membalas, sembilan orang itu terpelanting satu demi satu! Untung bagi tiga belas orang perajurit pemberontak itu bahwa laki-laki dan wanita ini agaknya tidak berhati kejam dan tidak bermaksud membunuh sehingga mereka itu hanya menderita luka-luka ringan saja.

   Akan tetapi merekapun maklum bahwa dua orang ini adalah orang-orang sakti. Hati mereka menjadi gentar dan tanpa menanti koniando lagi mereka lalu berloncatan tunggang langgang melarikan diri dari tempat berbahaya itu, meninggalkan dua orang tawanan yang sudah mereka belenggu. Suami isteri setengah tua yang gagah perkasa itu adalah Pendekar Sadis Ceng Thian Sin dan isterinya, Toan Kim Hong. Tidak mengherankan kalau dalam segebrakan saja tiga belas orang perajurit pemberontak itu terpelanting semua. Setelah semua perajurit melarikan diri, Ceng Thian Sin lalu melepaskan ikatan tangan kaki Lamnong dan pembantunya. Setelah dibebaskan dari belenggu, Lamnong berdiri memandang kedua orang penolongnya itu dengan penuh perhatian, kemudian dia bertanya dengan suara kaku, dalam bahasa Han.

   "Apakah kalian ini dua orang pendekar dari selatan?"

   Tentu saja suami isteri itu merasa heran melihat sikap dan mendengar pertanyaan ini. Akan tetapi sambil tersenyum Thian Sin mengangguk.

   "Benar, kami datang dari selatan. Sobat, siapakah engkau dan mengapa kalian ditangkap oleh pasukan itu?"

   Tiba-tiba Lamnong mengepal tinju dan memandang marah.

   "Sudahlah! Aku tidak mau berurusan dengan segala pendekar dari selatan yang berhati palsu. Dari pada nanti kalian akan mengkhianati aku lebih baik kalian membunuhku sekarang juga!"

   Berkata demikian, tiba-tiba saja Lamnong menyerang kalang kabut kepada Thian Sin. Tentu saja pendekar ini menjadi kaget dan terheran-heran, cepat mengelak.

   "Manusia tak kenal budi memang lebih baik mampus!"

   Toan Kim Hong berseru marah dan tangannya bergerak hendak menghajar orang yang diselamatkan akan tetapi berbalik memusuhi mereka itu. Akan tetapi suaminya memegang pundaknya dan mencegahnya menyerang Lamnong. Dan dia sendiri lalu menghadapi Lamnong dan ketika tangan orang itu menyambar ke depan, dia menangkap dan tubuh Lamnong tidak mampu bergerak lagi.

   "Nanti dulu, sobat. Segala perkara harus dibicarakan dulu, tidak membabi buta menuduh dan menyerang orang. Apakah yang telah terjadi dan mengapa engkau membenci para pendekar dari selatan?"

   Akan tetapi Lamnong tidak menjawab dan ketika Thian Sin melepaskan tangannya, diapun menutupi mukanya dan menangis lagi! Hal ini tentu saja mengejutkan hati suami isteri itu dan Thian Sin lalu bertanya kepada pembantu Lamnong yang hanya berdiri dengan wajah kusut dan muram.

   "Sobat, sebenarnya apakah yang telah terjadi kepada kalian?"

   Kakek Mancu itu menarik napas panjang lalu menjawab dalam bahasa Han yang kaku akan tetapi cukup jelas.

   "Dia ini adalah pemimpin kami bernama Lamnong kepala suku Mancu Timur yang biasa hidup tenteram. Akan tetapi dalam perjalanan sekali ini kami tertimpa bencana. Semua anggota rombongan kami terbunuh oleh pasukan pemberontak, harta benda dirampok dan wanita-wanita kami ditawan. Yang amat menyedihkan dan menggemaskan hati, semua ini Gara-gara pengkhianatan seorang pendekar dari selatan."

   "Hemm, Gara-gara seorang pendekar dari selatan? Apa yang telah dilakukan pendekar itu?"

   "Pemimpin kami telah bertemu dan bersahabat dengan seorang pendekar dan memperlakukannya sebagai tamu agung dan sebagai sahabat. Akan tetapi, ketika rombongan kami diserbu dan dibasmi oleh pasukan pemberontak, baru ternyata bahwa pendekar yang tadinya kami kira seorang sahabat itu bukan lain adalah seorang mata-mata pemberontak yang amat keji dan telah mengkhianati kami!"

   Kakek itu mengepal tinju dan suaranya terdengar marah. Agaknya Lamnong kini sudah dapat menguasai dirinya. Dia menambahkan.

   "Coba saja bayangkan, seorang yang kuanggap sebagai sahabat baik, bahkan seperti saudara sendiri, ketika rombonganku, anak buahku semua tertimpa bencana dan tewas, dia... dia malah menodai Isteri-isteriku... dan aku yakin bahwa dia tentu menggunakan paksaan, kalau tidak, tidak mungkin Isteri-isteriku bertindak serong dan berjina!"

   Suami isteri itu terkejut juga. Kalau seperti itu perbuatan pendekar itu, maka dia sama sekali bukan pendekar melainkan seorang penjahat yang mengaku sebagai pendekar.

   "Ah, dia itu penjahat keji yang terkutuk, bukan pendekar!"

   Toan Kim Hong berseru marah.

   "Akan tetapi dia seorang pendekar, bahkan putera seorang tokoh yang terkenal. Menurut keterangannya, ayahnya adalah seorang ketua perkumpulan Cin-Ling-Pai yang besar."

   "Tidak, Cia Hui Song adalah seorang pendekar, akan tetapi ternyata hatinya busuk dan penuh khianat keji!"

   "Apa...? Siapa...?"

   Ceng Thian Sin berseru kaget dan dia memegang lengan Lamnong dengan kuat sehingga kepala suku itu menyeringai kesakitan. Thian Sin sadar dan melepaskan cengkeramannya dan ternyata baju pada lengan Lamnong hancur lebur! Kepala suku itu memandang dengan wajah pucat, akan tetapi dia tersenyum.

   "Aku tahu, pendekar-pendekar selatan memang memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi hatinya palsu dan busuk. Nah, kau bunuhlah aku!"

   Tantangnya.

   "Nanti dulu, saudara Lamnong. Tentu ada kesalah-pahaman di sini. Kalau memang benar dia itu pendekar Cia Hui Song putera ketua Cin-Ling-Pai, tidak mungkin dia melakukan hal yang kotor itu. Dan andaikata benar dia melakukannya, tentu dia bukan putera ketua Cin-Ling-Pai atau semua itu hanya fitnah belaka."

   "Fitnah? Orangku ini menyaksikan dengan kepala sendiri dan masih dianggap fitnah? Kalian pendekar-pendekar selatan tentu saja membela!"

   Kata Lamnong dan dia menyuruh pembantunya menceritakan kembali semua yang telah terjadi. Kakek Mancu itu menceritakan sejak terjadinya penyerbuan pasukan pemberontak sampai ketika dia tertawan dan dia dilepas karena mirip wajah pemimpin pasukan pemberontakg dan betapa dia menyaksikan Hui Song berjina dengan empat orang isteri Lamnong yang tertawan, betapa wanita-wanita lainnya menjadi korban perkosaan yang biadab. Mendengar penuturan ini, Thian Sin dan isterinya saling pandang dan pendekar ini menggeleng-geleng kepalanya,

   "Sungguh sukar untuk dipercaya!"

   Serunya.

   "Sungguh membingungkan!"

   Kata pula Toan Kim Hong. Mereka sudah mendengar dari puteri mereka akan nama Cia Hui Song itu yang oleh puterinya dipujipuji sebagai seorang pendekar yang gagah perkasa.

   Akan tetapi menurut penuturan dua orang Mancu ini, ternyata Hui Song adalah seorang mata keranjang yang cabul dan berwatak busuk dan palsu. Tentu saja mereka belum mau percaya sepenuhnya hanya dengan mendengar penuturan dua orang ini walaupun jelas bahwa dua orang yang keadaannya seperti itu, kehilangan semua kawan yang terbunuh habis, kiranya tidak akan sempat lagi untuk berbohongbohong. Tidak mungkin mereka ini menceritakan fitnah, akan tetapi besar kemungkinannya pendekar yang menjadi sahabat mereka itu bukan putera Cin-Ling-Pai yang sebenarnya, melainkan akuan saja. Betapapun juga, di dalam lubuk hatinya, suami istri ini kurang begitu suka kepada ketua Cin-Ling-Pai yang mereka anggap berwatak angkuh.

   "Kami akan menyelidiki kebenaran keterangan kalian itu,"

   Akhirnya Thian Sin berkata.

   "Kalau benar orang itu melakukan hal yang demikian jahat, kami akan menghajarnya. Akan tetapi, dapatkah kalian menolong kami menceritakan di mana adanya nenek yang bernama Yelu Kim?"

   Mendengar pertanyaan ini, sepasang alis Lamnong berkerut dan diapun memandang penuh kecurigaan dan ejekan.

   "Hemm, kiranya kalian ini pendekar-pendekar dari selatan yang ingin mengabdi kepada nenek Yelu Kim untuk memberontak terhadap pemerintah kalian di selatan?"

   "Tutup mulutmu dan jangan menduga yang bukan-bukan!"

   Toan Kim Hong membentak marah. Akan tetapi Thian Sin tersenyum dan dia maklum mengapa kepala suku ini demikian penuh dendam dan benci kepada para pendekar dari selatan.

   "Sobat Lamnong, mengapa kau menduga demikian?"

   "Karena petualang-petualang dari selatan itu berkeliaran di sini hanya untuk mencari kedudukan atau kekayaan. Nenek Yelu Kim sendiripun sekarang telah dibantu oleh seorang pendekar wanita dari selatan..."

   "Ah, pendekar wanita itulah yang kami cari!"

   Toan Kim Hong berseru.

   "Bukankah ia masih muda sekali, cantik dan lihai, dan namanya Ceng Sui Cin?"

   Lamnong menggeleng kepala.

   "Aku tidak mengenal namanya, akan tetapi memang ia muda, cantik dan lihai bukan main. Aku hanya mendengar bahwa ia menjadi murid dan pembantu nenek Yelu Kim, bahkan ialah yang memenangkan sayembara pemilihan jagoan sehingga kemenangannya membuat nenek Yelu Kim diangkat menjadi pimpinan para kepala suku."

   "Ah, tentu ia itu puteri kami Ceng Sui Cin!"

   Toan Kim Hong berseru dan suaranya agak gemetar.

   "Puteri kalian? Ah, menarik sekali!"

   Kata Lamnong.

   "Saudara Lamnong, berlakulah baik kepada kami dan tolonglah tunjukkan di mana adanya nenek Yelu Kim agar kami dapat mencari puteri kami,"

   Kata Thian Sin, suaranya halus membujuk.

   "Hemm, mengingat betapa kalian tadi baru saja menyelamatkan kami dari tangan pasukan pemberontak sudah cukup untuk kubalas dengan pertolongan apapun. Akan tetapi apakah arti pertolonganmu tadi sebagai pendekar dari selatan dibandingkan dengan kekejian yang dilakukan lain pendekar selatan kepada kami? Oleh karena itu, aku mau membantumu, bahkan bukan hanya menunjukkan melainkan mengantarmu ke sana kalau engkau mau berjanji bahwa engkau akan membantuku pula menangkap dan menyeret si jahanam Cia Hui Song ke depan kakiku! Bagaimana?"

   Thian Sin saling pandang dengan isterinya. Janji yang berat. Bagaimana kalau ternyata bahwa pendekar itu benar-benar putera ketua Cin-Ling-Pai? Bukankah itu berarti bahwa mereka akan berhadapan sebagai lawan dan musuh dengan keluarga Cin-Ling-Pai? Demikian Thian Sin berpikir.

   "Baik, kami setuju!"

   Tiba-tiba Toan Kim Hong berseru.

   "Siapapun juga adanya pendekar itu, kalau benar dia melakukan kekejian seperti itu, tentu akan kami hadapi sebagai lawan dan musuh!"

   Ucapan ini menyadarkan Thian Sin akan kewajibannya sebagai seorang gagah, yaitu menentang siapa saja tanpa pilih bulu, menentang siapa saja yang melakukan perbuatan jahat.

   "Benar, kami setuju. Mari antar kami kepada tempat kediaman nenek Yelu Kim!"

   Katanya. Lamnong nampak gembira. Janji ini merupakan sinar terang dalam kegelapan hatinya. Dia baru akan merasa puas kalau dapat membalas dendam kepada Cia Hui Song, atas perbuatannya yang biadab kepada Isteri-isterinya!

   Memang kelihatannya aneh sikap Lamnong ini, akan tetapi memang sudah demikianlah sifat dendam yang mengotori batin kita semua. Perbuatan merugikan kita yang dilakukan oleh orang yang dekat dengan kita terasa jauh lebih menyakitkan dari pada kalau dilakukan oleh orang lain yang asing bagi kita. Inilah sebabnya mengapa kebencian yang menyelinap dalam batin terhadap seorang bekas teman baik atau keluarga jauh lebih mendalam dari pada kebencian terhadap orang asing. Lamnong seolah-olah melupakan parbuatan para pemberontak yang telah membasmi keluarga dan rombongannya, juga seperti lupa akan cerita kakek pembantunya betapa selir-selirnya yang lain diperkosa secara biadab oleh mereka. Yang diingatnya dengan penuh rasa sakit hati hanyalah perbuatan Hui Song yang berjina dengan empat orang isterinya!

   "Baiklah, akan kuantar sampai ke depan nenek Yelu Nim. Bahkan aku akan mintai pertanggungan jawabnya atas pertstiwa yang menimpa rombonganku, karena bukankah ia telah menamakan dirinya pemimpin para kepala suku? Mari, mari kita pergi. Tapi, siapakah jiwi? Aku belum mengenal nama jiwi."

   Thian Sin tersenyum.

   "Namaku Ceng Thian Sin dan ini adalah isteriku."

   Lamnong mengangguk-angguk, baru sekarang teringat dia betapa lihainya suami isteri ini ketika tadi membubarkan pasukan pemberontak.

   "Mari, taihiap dan toanio, mari kita berangkat."

   Bagaimana dengan Cia Hui Song? Pemuda ini merasa marah dan mendongkol sekali ketika dalam keadaan tertotok dan tidak berdaya, dia melihat empat orang isteri sahabatnya memasuki kamarnya itu dalam keadaan hampir telanjang bulat. Dia melihat betapa wajah mereka pucat, rambut mereka kusut dan pandang mata penuh takut dan duka. Dia tahu bahwa mereka itu ketakutan dan menangis ketika mereka memeluknya seperti hendak minta perlindungan, bahwa mereka itu dipaksa oleh Sim Thian Bu untuk merayunya. Dia tidak marah kepada wanita-wanita ini melainkan merasa kasihan, akan tetapi apa yang dapat dilakukannya? Dia tidak berdaya sama sekali.

   Untung baginya, hanya sebentar saja wanita-wanita itu disuruh merayu atau menemaninya. Dan dia melihat wajah orang Mancu itu ketika pintu dibuka, melihat betapa orang Mancu tua itu terbelalak lalu menyumpah dan pintu ditutup lagi. Agaknya hanya untuk keperluan memperlihatkan adegan itu kepada orang Mancu tadilah maka empat orang wanita itu disuruh naik tempat tidurnya. Tak lama kemudian mereka disuruh keluar lagi, entah dibawa ke mana oleh Thian Bu. Pada keesokan harinya, Sim Thian Bu muncul pula di dalam kamarnya. Totokan pada tubuhnya sudah bebas, akan tetapi malam tadi Thian Bu mengikat tangannya dengan tali sutera yang amat kuat sehingga percuma saja ketika Hui Song berusaha melepaskan diri dengan cara menariknya putus.

   "Aha, Cia-taihiap. Engkau nampak segar pagi ini. Bagaimana, apakah usulku semalam sudah kau pertimbangkan?"

   "Aku tidak sudi bersekutu dengan pemberontak. Biar akan kau-bunuh sekalipun, aku tidak perduli. Akan tetapi ingat, kalau aku sampai dapat lolos dari sini, aku akan mengejar dan mencarimu, dan akan kupaksa engkau bertanding sampai mampus!"

   "Aih, mengapa galak amat? Bukankah aku telah memperlakukanmu dengan amat baik? Bahkan telah kusuguhkan wanita-wanita cantik. Sayang engkau yang bodoh tidak mau menerimanya. Cia-taihitip, ketahuilah bahwa aku bersikap baik kepadamu bukan tanpa sebab. Tahukah engkau bahwa ayah ibumu, juga kakekmu, kini telah berada bersama kami dan bekerja sama dengan kami, bahkan ayahmu kini mengepalai pasukan keamanan di Cengtek?"

   "Bohong! Siapa sudi percaya omongan busukmu?"

   Bentak Hui Song.

   "Sim Thian Bu, aku tidak tahu mengapa engkau memusuhiku, akan tetapi yang jelas engkau adalah tokoh pemberontak rendah. Jangan mencoba-coba untuk membujukku. Perbuatanmu semalam dengan memaksa empat orang isteri Lamnong dalam keadaan tak tahu malu itu ke sini saja sudah melampaui batas dan untuk itu, mau rasanya aku membunuhmu sampai tujuh kali! Sekarang, kau apakan mereka itu?"

   "Ha ha ha, karena mereka tidak berhasil membujukmu, mereka kuhadiahkan kepada orang-orangku dan kau dapat membayangkan apa jadinya kalau empat orang wanita itu harus melayani ratusan orang perajurit..."

   "Jahanam keparat kau!"

   Hui Song membentak dan wajahnya berobah merah sekali, hatinya perih membayangkan nasib para isteri Lamnong.

   Sim Thian Bu sama sekali tidak tahu bahwa semua percakapannya dengan Hui Song itu ada yang mendengarkan. Seorang laki-laki yang berpakaian seragam perajurit berdiri di luar kamar itu, dengan sikap bertugas jaga, akan tetapi sebenarnya dia sedang mendengarkan dengan teliti apa yang sedang dibicarakan di dalam kamar. Prajurit ini bertubuh tinggi tegap dan memiliki sepasang mata yang mencorong tajam. Perajurit ini adalah Siangkoan Ci Kang! Seperti telah kita ketahui, Ci Kang terancam bahaya maut di tangan Raja Iblis Pangeran Toan Jit Ong, akan tetapi secara kebetulan dan tiba-tiba muncul Pendekar Sadis dan isterinya yang menyelamatkannya dan setelah dia memberi tahu kepada mereka tentang Sui Cin, suami isteri yang sakti itu lalu meninggalkannya untuk mencari puteri mereka.

   Setelah berpisah dari suami isteri yang sakti itu, yang membuat Ci Kang merasa semakin nelangsa karena mereka itu adalah ayah bunda Sui Cin yang dicintanya, membuat dia merasa semakin kecil dan rendah, pemuda ini lalu mengambil keputusan untuk mencari Raja Iblis yang melarikan Hui Cu. Dia harus dapat menyelamatkan gadis itu dari tangan ayah kandungnya sendiri yang jahatnya melebihi iblis. Gadis itu sudah dua kali menyelamatkannya, pertama kali ketika dia bersama Cia Sun terjeblos ke dalam gua bawah tanah dan kedua kalinya ketika dia hampir celaka di tangan murid Raja Iblis, Gui Siang Hwa. Sekarang, dia tahu bahwa gadis itu berada dalam cengkeraman iblis yang membahayakan keselamatannya, maka dia harus berusaha untuk menolongnya, biarpun untuk itu keselamatan nyawanya sendiri akan terancam. Dalam perjalanannya mencari Hui Cu inilah secara kebetulan Ci Kang di dusun itu.

   

Pendekar Lembah Naga Eps 57 Pendekar Sadis Eps 42 Pendekar Sadis Eps 16

Cari Blog Ini