Pendekar Sadis 42
Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo Bagian 42
"Jangan kejar!"
Kui Yang Tosu memperlihatkan jarum merah itu kepada suhengnya.
"Suheng mengenal ini?"
Kui Im Tosu memeriksa jarum itu.
"Hemmm, bukankah jarum seperti ini, juga permainan rambut itu, menjadi ilmu yang terkenal dari datuk sesat bagian selatan yang berjuluk Lam-sin?"
Kui Yang Tosu mengangguk-angguk.
"Benar, suheng. Jelaslah bahwa Nona Toan puteri mendiang Pangeran Toan Su Ong itu tentu ada hubungannya dengan Lam-sin. Akan tetapi, menurut berita tingkat kepandaian Lam-sin seperti tingkat para datuk lain, jadi tidak banyak berbeda dengan tingkat kita. Dan gadis itu lihai bukan main, agaknya tidak mudah bagi pinto untuk mengalahkannya, agaknya kami setingkat. Kalau ia murid Lam-sin, apakah ia telah mencapai tingkat seperti gurunya?"
Kui Im Tosu menggeleng kepala.
"Pinto rasa tidak begitu, sute. Menurut perasaan pinto, ia sendirilah Lam-sin itu!"
"Ehh...?"
Kui Yang Tosu memandang kepada suhengnya dengan heran.
"Akan tetapi, bukankah menurut berita Lam-sin adalah seorang nenek yang lihai sekali?"
"Seorang nenek yang jarang sekali bertindak sendiri, bukan? Hanya perkumpulannya saja yang bernama Bu-tek Kai-pang yang mewakilinya dan bukankah berita terakhir mengatakan bahwa setelah Pendekar Sadis muncul maka nenek itupun menghilang, dan Bu-tek Kai-pang juga dibubarkan? Kemudian, ke manapun Pendekar Sadis pergi, gadis yang lihai itu ikut, ikut pula menyerbu See-thian-ong, Pak-san-kui dan bahkan Tung-hai-sian? Pinto berpendapat bahwa gadis itulah yang dahulu menjadi Lam-sin, mungkin menggunakan alat penyamaran sebagai seorang nenek."
Sutenya mengangguk-angguk. Kini dia dapat melihat kemungkinan itu dan biasanya, biarpun suhengnya tidak pernah keluar, namun suhengnya memiliki kecerdasan yang luar biasa.
"Kita harus mengumpulkan para tokoh pendekar dan membicarakan urusan ini. Tak mungkin sepak terjang Pendekar Sadis dibiarkan saja,"
Katanya. Kui Im Tosu mengangguk-angguk.
"Dia sudah berani mengacau ke sini, dan pula sedikit banyak Cin-ling-pai bertanggung jawab, karena bukankah Pangeran Ceng Han Hduw itu masih ada hubungannya dengan Cin-ling-pai? Menurut kabar yang kita peroleh, dia adalah anak pungut Pendekar Lembah Naga. Nah, kita harus minta pertanggungan jawab para pendekar itu."
Demikianlah, orang-orang Kun-lun-pai lalu mengurus jenazah Jit Goat Tosu kemudian mereka mengirim undangan kepada para tokoh pendekar dan wakil partai-partai persilatan besar untuk membicarakan tentang Pendekar Sadis yang biarpun termasuk pendekar yang menentang orang-orang jahat, namun sepak terjangnya liar dan kekejamannya tidak patut dilakukan oleh seorang pendekar. Di samping itu, juga Kun-lun-pai perlu memberitahukan tentang pembunuhan yang terjadi di Kun-lun-pai dan minta pertanggungan jawab para pendekar yang masih ada hubungannya dengan Pendekar Sadis. Maka, tidak lupa dia mengundang Cin-ling-pai, juga mengirim utusan untuk mengundang Pendekar Lembah Naga!
Telah lama sekali kita tidak bertemu dengan Cia Han Tiong, putera tunggal Pendekar Lembah Naga itu. Seperti telah diketahui, Han Tiong merasa berduka sekali ketika adik angkat yang amat dicintainya, yaitu Thian Sin, pergi meninggalkan Lembah Naga. Diapun mulai merantau dan mencari adik angkatnya, juga mencari dara yang dicintanya dan yang telah ditunangkan dengannya, yaitu Ciu Lian Hong. Akhirnya, dia berhasil menemukan Ciu Lian Hong di selatan, bersama datuk selatan Lam-sin karena dara itu selain telah ditolong oleh datuk ini, juga telah menjadi muridnya. Dengan bantuan ayah bundanya, Han Tiong berhasil minta kembali tunangannya itu dan Lian Hong ikut pulang bersama calon mertuanya ke Lembah Naga.
Adapun Han Tiong sendiri belum mau pulang, hendak mencari adik angkat yang amat disayangnya itu. Akan tetapi, berbulan-bulan lamanya dia mencari dengan sia-sia saja. Sejak adik angkatnya itu lenyap sama sekali seperti ditelan bumi. Hal ini tidak mengherankan karena pada waktu dia mencari-cari itu, Thian Sin sedang tekun bertapa dan melatih diri dengan ilmu peninggalan ayah kandungnya, di Pegunungan Himalaya. Setelah merantau hampir setahun lamanya dan tidak berhasil menemukan adik angkatnya, akhirnya dengan hati berat karena kecewa dan berduka Han Tiong pulang ke Lembah Naga, disambut dengan gembira oleh ayah bundanya dan juga tunangannya. Melihat wajah Han Tiong yang muram dan berduka, ayahnya menghibur,
"Han Tiong, sudahlah jangan terlalu memikirkan adikmu. Dia sudah cukup dewasa, bukan anak kecil lagi. Kalau dia mau mengambil jalannya sendiri, bagaimana kita dapat menghalanginya? Biarkanlah saja, kelak kalau dia teringat kepada kita, tentu dia akan kembali juga."
"Ucapan ayahmu benar, Han Tiong. Watak adikmu itu agak keras dan manja maka kalau terlalu kau perlihatkan rasa sayangmu kepadanya, dia akan menjadi semakin manja kelak hanya akan menimbulkan hal-hal yang memusingkan saja,"
Sambung ibunya.
"Justeru karena itulah, ibu, karena mengingat betapa keras hatinya, maka aku merasa khawatir sekali. Dia masih seperti anak kecil saja, belum mampu berpikir secara mendalam dan memandang jauh,"
Kata Han Tiong menarik napas panjang.
"Habis, setelah engkau tidak berhasil mencarinya, apa yang dapat kau lakukan, Han Tiong?"
Tanya ayahnya.
"Kalau saja aku dapat menemukan dia, tentu aku akan dapat membujuknya untuk pulang dulu, ayah. Aku hanya ingin melihat dia berbahagia, dan hanya kalau dia dekat dengan kitalah maka ada yang mengamati dan menasihatinya."
Ibunya tersenyum, diam-diam kagum atas besarnya kasih sayang dalam hati puteranya.
"Sudahlah, ayahmu benar, Thian Sin bukan anak kecil lagi. Dan setelah kami menanti-nanti engkau pulang, kami berbahagia melihat engkau pulang dalam keadaan sehat, anakku. Dan, perkabungan Lian Hong juga sudah hampir habis dan begitu ia tidak berkabung lagi, kita dapat merayakan pernikahan kalian."
"Kata-kata ibumu memang tepat. Pernikahan itu tidak mungkin dapat ditunda lebih lama lagi,"
Sambung ayahnya. Mendengar betapa percakapan menjurus ke urusan pernikahan, Lian Hong menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali dan ia lalu berpamit untuk menyiapkan makan siang. Kedua orang mertuanya memandang sambil tersenyum ketika gadis itu tergesa-gesa meninggalkan ruangan itu.
"Hong-ji, engkau tidak tahu betapa baiknya tunanganmu itu. Ia anak yang baik sekali, manis budi dan kami sayang sekali kepadanya,"
Kata ibunya.
"Hemm, yang lebih dari itu, ia amat mencintaimu Han Tiong,"
Sambung ayahnya.
"Kau tidak percaya?"
Kata ibunya ketika melihat puteranya memandang kepada ayahnya. Dia tidak pernah membicarakan engkau, akan tetapi aku tahu bahwa setiap hari ia mengharapkan kedatanganmu. kau tahu, setiap malam jam dua balas tengah malam ia pasti bersembahyang di pekarangan, bersembahyang untukmu, Han Tiong! Bersembahyang untuk keselamatanmu dan agar engkau lekas pulang dalam keadaan selamat."
Keharuan mencekam hati Han Tiong dan diapun menunduk. Keharuan disertai kebahagiaan hati. Benarkah Lian Hong mencintanya begitu mendalam? Dan dia selama ini mempunyai keinginan dan harapan gila, yaitu ingin menjodohkan Lian Hong dengan Thian Sin, kalau hal itu akan membahagiakan hati Thian Sin! Kini baru terbuka matanya bahwa dia hanya memikirkan Thian Sin saja dan dia lupa bahwa Lian Hong juga seorang manusia yang berhak menentukan pilihannya sendiri. Lian Hong bukan boneka yang dapat dioper-operkan begitu saja!
"Menurut perhitungan kami, tiga bulan lagi Lian Hong bebas dari perkabungan dan kita dapat melangsungkan pernikahan kalian,"
Kata pula ibunya.
"Kuharap saja Sin-te sudah pulang pada waktu itu, ibu."
"Hemm, kenapa begitu?"
Tanya ayahnya.
"Ayah, kalau tidak ada kehadiran Sin-te, tentu aku merasa bahwa kebahagiaanku itu tidak lengkap. Aku akan bergembira, akan tetapi kalau teringat kepadanya, mungkin dia terancam bahaya dan malapetaka, bagaimana hatiku dapat berbahagia?"
Ayah ibunya saling pandang, dan ayahnya berkata,
"Ah, anak itu hanya membikin pusing saja. Biarlah aku akan menyuruh beberapa orang muda dusun di luar lembah untuk pergi menyelidiki kalau-kalau mereka akan berhasil menemukan atau mendengar tentang Thian Sin. Biarpun harapannya hanya tipis, namun hatinya agak lega mendengar janji ayahnya itu.
Hatinya terhibur, apalagi di situ terdapat Lian Hong yang dicintanya dan setelah dia pulang, maka pergaulannya dengan Lian Hong semakin akrab. Gadis itu memang manis budi, bukan hanya manis wajahnya, dan dari gerak-geriknya, ucapannya, senyumnya, pandang matanya, terasa benar oleh Han Tiong bahwa memang gadis itu amat mencintanya! Ah, betapa berbahagia hidupnya, kalau saja Thian Sin juga berada di situ! Kurang lebih dua bulan kemudian, seorang di antara pemuda dusun itu pulang dan membawa kabar tentang munculnya seorang pendekar yang berjuluk Pendekar Sadis! Mendengar berita tentang sepak terjang pendekar itu yang membunuh tokoh-tokoh pengemis Hwa-i Kai-pang, seketika tahulah Han Tiong bahwa yang disohorkan sebagai Pendekar Sadis itu pastilah Thian Sin orangnya!
"Belum tentu dia, Tiong-ji,"
Kata ibunya dengan khawatir melihat kegelisahan puteranya.
"Siapa lagi, ibu, kalau bukan Sin-te? Sudah pasti dia orangnya dan aku akan mencarinya dan akan mencegahnya terseret lebih jauh ke dalam kekejaman yang terdorong oleh sakit hatinya."
Ayah bundanya, juga tunangannya, tidak dapat menahan pemuda itu untuk pergi lagi mencari adik angkatnya yang diduganya telah menjadi seorang tokoh kejam yang dijuluki Pendekar Sadis. Ibunya hendak berkeras menahan, akan tetapi Cia Sin Liong mencegah isterinya, dan membiarkan pemuda itu pergi dan memberi waktu enam bulan. Setelah pemuda itu pergi, barulah Sin Liong berkata kepada isterinya dan calon mantunya yang menangis dan saling rangkul itu.
"Sudahlah, tidak perlu ditangisi. Han Tiong adalah seorang laki-laki sejati yang mencinta adiknya dan watak seperti itu amat baik. Kalian sepatutnya berbangga akan dia. Andaikata kita larang, dia tentu akan menjadi berduka. Biarlah dia berhasil menemui Thian Sin lebih dulu, agar hatinya tenteram dan pernikahan dapat dilangsungkan dalam keadaan gembira."
Akan tetapi, baru satu bulan kemudian, Cia Sin Liong terkejut menerima surat undangan dari Kun-lun-pai yang mengundangnya untuk menghadiri pertemuan para tokoh pendekar untuk membicarakan Pendekar Sadis Ceng Thian Sin dan minta pertanggungan jawab keluarga pendekar itu yang telah berani mengacau di Kun-lun-pai dan membunuh saudara tua dari para ketua Kun-lun-pai.
Tentu saja Cia Sin Liong merasa terkejut bukan main dan setelah memesan kepada calon mantunya untuk tinggal di Istana Lembah Naga, dia bersama isterinya lalu berangkat karena isterinya berkeras mau ikut karena merasa khawatir akan keadaan Han Tiong yang belum ada beritanya. Sementara itu, di dalam perjalanannya sambil mencari keterangan, Han Tiong mendengar sepak terjang yang hebat dari Pendekar Sadis. Betapa pendekar itu membunuh seorang pangeran di kota raja, membunuh pula Tok-ciang Sian-jin dan mengacau Pek-lian-kauw. Yang lebih mengejutkan hatinya adalah ketika dia mendengar betapa Pendekar Sadis yang kini sudah dikenal orang sebagai putera Pangeran Ceng Han Houw itu telah membasmi See-thian-ong dan anak buahnya, juga telah mengamuk dan membinasakan Pak-san-kui dan murid-muridnya!
Tentu saja Han Tiong merasa terkejut bukan main. Bagaimana adik angkatnya dapat menjadi selihai itu, mengalahkan dan membunuh para datuk? Juga cara-cara kejam yang dipergunakan oleh Pendekar Sadis membuat hatinya berduka sekali dan dia makin mempercepat perjalanannya agar dapat segera bertemu dengan adiknya. Ketika dia mendengar tentang sepak terjang Pendekar Sadis di Kun-lun-pai yang beritanya cepat tersiar di seluruh kang-ouw itu, dia makin terkejut dan cepat pergi menyusul adiknya ke barat. Demikian tekun sekali ini Han Tiong menyelusuri jejak adik angkatnya dan karena nama Pendekar Sadis sedang menjadi buah bibir semua orang kang-ouw, lebih mudah baginya kini mencari adiknya sebagai pendekar itu daripada ketika dia mencari sebagai Thian Sin yang tidak dikenal orang.
Maka, tidak mengherankanlah kalau berkat ketekunannya ini pada suatu pagi dia berhasil berhadapan dengan Thian Sin dan Toan Kim Hong! Ketika itu, Thian Sin dan Kim Hong sedang menuruni sebuah bukit sambil bergandengan tangan. Dua sejoli ini telah dua hari tinggal di puncak bukit itu, puncak yang amat indah di mana terdapat hutan yang kaya akan binatang buruan dan pohon-pohon yang buahnya dapat dimakan. Mereka berdua tinggal di situ, seperti sepasang pengantin baru yang setiap saat bermesraan dan berkasih sayang, bermain cinta sepuasnya tanpa ada orang lain yang mengganggu mereka. Dan pada pagi hari itu mereka menuruni puncak sambil bergandengan tangan. Setelah menuruni puncak, barulah menjadi persoalan dalam pikiran mereka ke mana akan pergi.
"Eh, ke manakah kita menuju sekarang...?"
Tanya Kim Hong. Thian Sin merangkul leher kekasihnya dan sambil berangkulan mereka berjalan terus perlahan-lahan.
"Kekasihku, aku sudah mempunyai rencana untuk itu, untuk masa depan kita."
Kim Hong juga tertawa.
"Akupun sudah mempunyai rencana yang baik sekali."
"Bagus!"
Kata Thian Sin.
"Kita berdua sudah mempunyai rencana, khawatir apa lagi?"
"Tapi,"
Kata Kim Hong.
"Bagaimana kalau rencana kita berbeda dan saling bertolak belakang?"
"Ah, mana bisa? Kita kan sudah sepaham, senasib sependeritaan, dan kita saling mencinta, bukan?"
Kata Thian Sin.
"Benar, Thian Sin. Untuk membuktikan cintamu kepadaku, engkau tentu akan menyetujui rencanaku."
"Dan kalau memang benar cinta padaku seperti aku cinta padamu, Kim Hong, kau tentu tidak akan menentang rencanaku untuk hari depan kita yang amat baik."
Kim Hong melepaskan diri dari rangkulan dan mundur beberapa langkah, lalu memandang pemuda itu dengan alis berkerut.
"Nah, nah hal ini perlu dibereskan sekarang juga. Coba katakan bagaimana rencanamu, baru aku akan menceritakan rencanaku."
"Rencanaku baik sekali. Kita memerlukan tempat untuk hidup tenteram, Kim Hong. Setelah kita terlibat dalam pertengkaran dengan Kun-lun-pai, aku merasa tidak enak sekali dan kita perlu beristirahat di tempat yang aman. Dan satu-satunya tempat yang aman bagiku adalah Lembah Naga. Kita pergi ke Lembah Naga..."
"Apa? Ke tempat tinggal Pendekar Lembah Naga?"
Kim Hong bertanya dan nampak terkejut, matanya terbelalak memandang kekasihnya itu.
"Mengapa tidak? Pendekar Lembah Naga adalah ayah angkatku, dan Cia Han Tiong, putera tunggal mereka adalah kakak angkatku yang amat kuhormati dan kucinta. Engkau akan merasa seperti berada di rumah sendiri, antara keluarga sendiri. Mereka adalah keluarga yang terhormat, keluarga gagah perkasa dan budiman..."
"Tidak! Aku tidak akan ke sana!"
Kim Hong berseru marah, teringat betapa ketika masih menjadi Lam-sin, ia pernah ditolak untuk berkenalan dengan keluarga itu.
"Dan di sana bertemu dengan gadis yang kau cinta itu, Ciu Lian Hong?"
"Ah, mengapa engkau berkata demikian? Yang kucinta adalah engkau, dan dara itu telah menjadi jodoh kakak angkatku, mungkin sekarang telah menjadi isterinya. Percayalah, Kim Hong. Keluarga Cia akan menerimamu dengan manis budi kalau mereka mendengar bahwa engkau adalah kekasihku, tunanganku. Dan kita sekalian minta doa restu mereka untuk dapat berjodoh..."
"Apa? Maksudmu menjadi suami isteri?"
"Habis, apa lagi? Bukankah kita sudah menjadi suami isteri? Tinggal pengesahannya saja, tinggal upacara pernikahannya saja."
"Tidak! Urusan pernikahan adalah urusan kelak. Kalau kita memang menganggap perlu, kita menikah, kalau tidak ya tidak."
"Apa... apa maksudmu?"
"Lupakah engkau, Thian Sin, ketika pertama kali kita bertemu, sudah kunyatakan bahwa aku menyerahkan diri bukan untuk menjadi isterimu melainkan untuk memenuhi sumpahku kepada ibuku? Kalau kemudian kita saling jatuh cinta, itu adalah urusan sama kita. Sedangkan pernikahan, secara umum, berarti hanya pengakuan saling mencinta kita itu kepada umum. Kalau kita tidak membutuhkan umum itu? Asal kita saling mencinta, apa hubungannya dengan umum, apakah cinta kita itu disahkan, dirayakan atau tidak? Yang penting bukan pernikahan itu, melainkan tempat kita hidup selanjutnya. Aku tidak mau di Lembah Naga."
Thian Sin merasa penasaran.
"Habis, kalau menurut rencanamu, di mana kita harus mengasingkan diri?"
"Ada suatu tempat yang paling baik, yaitu di Pulau Teratai Merah!"
"Hemmm, tempat ayah dan ibumu mengasingkan diri berdua sampai mati itu?"
"Ya, apa salahnya? Tempat itu cukup indah, tanahnya subur, dan kita dapat berhubungan dengan dunia luar melalui laut, hanya berlayar selama setengah hari. Di sana aman, kita takkan terganggu..."
"Dan begitu amannya sampai ayah bundamu cekcok dan saling bunuh?"
"Thian Sin! Kalau engkau tidak maupun tidak mengapa, tidak perlu engkau mencela ayah bundaku, keparat!"
"Eh, engkau memaki?"
"Ya, aku memaki karena engkau memualkan perut, menggemaskan. Habis, kau mau apa?"
"Engkau makin kurang ajar, Kim Hong!"
"Eh, kurang ajar? kau kira aku takut padamu? kau kira aku ini apamu, harus taat kepadamu, ya?"
Setelah berkata demikian, Kim Hong meloncat ke depan menampar dengan amat kerasnya. Thian Sin menangkis sambil mengerahkan tenaganya.
"Plak!"
Tangkisan yang tidak disangka oleh Kim Hong itu membuat lengan dara itu terasa nyeri dan iapun menjadi semakin marah.
Dengan mata berlinang iapun lalu menyerang kalang kabut, menyerang dengan sungguh-sungguh, terdorong hati yang marah. Thian Sin terpaksa melayani karena diapun sudah marah. Dua orang muda itu kini saling serang dengan ganas dan seru, lupa bahwa baru beberapa jam yang lalu mereka itu saling mencumbu rayu, dan saling menumpahkan rasa sayang masing-masing dengan hati penuh kemesraan! Tingkat kepandaian kedua orang muda ini memang seimbang, dan andaikata mereka berdua itu saling serang untuk saling membunuh juga, kiranya Thian Sin hanya akan menang setelah lewat waktu yang cukup lama. Apalagi kini mereka saling serang hanya karena terdorong rasa marah, maka perkelahian itu seru sekali dan agaknya keduanya tidak mau saling mengalah.
Debu mengepul di sekeliling mereka dan kedua lengan mereka telah terasa nyeri dan matang biru karena mereka saling tangkis dengan pengerahan sin-kang sekuatnya, walaupun mereka tidak mempunyai niat untuk saling bunuh. Keunggulan Thian Sin dalam tenaga sin-kang diimbangi oleh keunggulan serangan Kim Hong yang dibantu oleh rambutnya yang amat lihai. Beberapa kali Thian Sin sempat terdesak oleh totokan-totokan yang dilakukan dengan kuncir rambut itu. Lebih dari lima puluh jurus mereka berkelahi dan keduanya menjadi semakin marah karena tidak mau saling mengalah, menganggap bahwa masing-masing sudah saling membenci. Tiba-tiba berkelebat bayangan putih dan tahu-tahu ada seorang pemuda terjun ke dalam medan perkelahian itu sambil membentak nyaring,
"Perempuan kejam, jangan ganggu adikku!"
Orang ini bukan lain adalah Cia Han Tiong! Dia telah menemukan jejak adiknya dan cepat melakukan pengejaran dan di tengah jalan dia melihat betapa Thian Sin sedang saling serang dengan seorang wanita yang lihai bukan main. Dia melihat betapa adiknya itu nampak sibuk dan terdesak menghadapi totokan-totokan kuncir rambut yang amat berbahaya.
Karena gerakan wanita itu amat cepat dan rambutnya merupakan bayangan hitam menyambar-nyambar, maka Han Tiong tidak dapat melihat wajah wanita itu dengan jelas, hanya mengira bahwa tentu wanita itu seorang wanita iblis jahat maka menggunakan senjata yang demikian aneh dan mengerikan. Begitu dia terjun ke dalam pertempuran, dia sudah mengulur tangan hendak mencengkeram bayangan hitam rambut itu! Kim Hong terkejut bukan main. Rambutnya hampir kena dicengkeram pendatang baru ini, maka ia mengelak ke samping sambil menggerakkan kepala menarik kembali kuncirnya, dan kakinya menendang dengan gerakan kilat ke arah pusar orang yang baru datang itu. Han Tiong terkejut, tidak mengira bahwa gerakan wanita itu sedemikian cepatnya, maka diapun menangkis dengan lengan kanannya.
"Dukkk!"
Akibatnya, tubuh Han Tiong tergetar akan tetapi kaki yang menendang itupun terpental. Han Tiong makin kaget karena sekarang dia dapat melihat bahwa wanita itu sama sekali bukan merupakan seorang wanita iblis yang mengerikan, melainkan seorang dara muda yang amat cantik jelita dan manis, akan tetapi yang nampak marah bukan main. Juga Kim Hong mengenal Han Tiong putera Pendekar Lembah Naga yang pernah dilihatnya ketika ia masih menjadi Lam-sin itu. Han Tiong yang mengira bahwa wanita itu adalah musuh adik angkatnya, dan tahu bahwa wanita itu lihai sekali, sudah maju menyerang lagi.
"Dukkk!"
Serangannya ditangkis oleh Thian Sin yang sudah meloncat maju ke depan.
"Tiong-ko, tahan, jangan serang, ia adalah teman sendiri!"
Han Tiong kaget, lalu menjura ke arah wanita itu.
"Harap maafkan saya."
Kemudian dua orang pemuda itu saling pandang. Sampai lama mereka hanya saling pandang dan seperti didorong oleh sesuatu yang amat kuat, keduanya lalu saling tubruk dan saling rangkul.
"Sin-te...!"
"Tiong-ko...!"
Sampai lama mereka berangkulan seperti itu dan ketika mereka saling melepaskan, mata kedua orang pemuda ini menjadi basah. Mereka saling pandang dengan senyum tapi mata mereka basah, dan saling berpegangan tangan. Baru terasa oleh mereka betapa di antara mereka terdapat getaran kasih sayang yang amat besar.
"Sin-te, mengapa kau meninggalkan kami begitu lama tanpa berita?"
Han Tiong menegur dengan suara mengandung penyesalan. Thian Sin menunduk, merasa bersalah. Berhadapan dengan kakaknya ini, lenyaplah semua keangkuhannya, dan dia selalu merasa kecil, selalu merasa betapa dia harus mentaati kakaknya ini.
"Maafkan Tiong-ko, aku... aku harus melaksanakan urusan pribadiku... yang berhubungan dengan mendiang ayah..."
"Hemm, membalas dendam, ya? Melepas dendam hati sepuasnya dan menghukum musuh-musuh secara keji sekali sehingga engkau dijuluki orang Pendekar Sadis?"
"Tiong-ko, bukan keinginanku berjuluk demikian. Aku memang menghukum mereka, membunuh mereka yang kuanggap jahat, untuk memuaskan dendam hatiku yang bertumpuk-tumpuk. Aku membunuh mereka semua yang telah menyebabkan kematian ayah bundaku. Salahkah itu, Tiong-ko?"
Kim Hong mendengarkan dengan penuh keheranan. Suara kekasihnya itu kini seperti anak kecil yang minta dikasihani!
"Sin-te, aku tidak menyalahkan kalau engkau mengandung sakit hati mengingat akan kematian orang tuamu, dan memang sudah menjadi tugasmu sebagai seorang pendekar untuk menentang kejahatan dan membela kebenaran dan keadilan. Akan tetapi, kalau engkau melakukan penentangan itu dengan hati penuh kebencian lalu melakukan kekejaman, lalu apa bedanya antara mereka? Kebenaran yang dibela dengan kekejaman bukanlah kebenaran lagi, adikku, melainkan menjadi kejahatan pula! Tujuan tidak menentukan, akan tetapi kenyataannya terletak pada pelaksanaan. Kalau pelaksanaannya buruk, maka tujuannyapun tak dapat dinamakan baik. Kalau caranya kotor, maka tujuannyapun tentu tidak bersih. Tak mungkin tujuan bersih dicapai dengan melalui cara yang kotor. Seorang pendekar yang kejam bukanlah pendekar lagi namanya, melainkan seorang penjahat."
Hening sejenak, dan akhirnya, dengan lemah Thian Sin mencoba untuk membela diri.
"Kalau begitu, apakah aku harus mengampuni mereka semua itu, Tiong-ko?"
Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apa salahnya mengampuni orang yang pernah melakukan penyelewengan dalam hidupnya kalau memang dia itu ingin kembali ke jalan benar dan sudah insyaf akan penyelewengannya? Adikku yang baik, bukalah mata dan lihatlah kenyataan di dunia ini. Siapakah orangnya yang tidak pernah melakukan penyelewengan yang dinamakan kesalahan atau dosa? Penyelewengan dalam hidup sama dengan sakit, walaupun bukan badannya yang sakit, melainkan batinnya. Setiap orang tentu pernah dilanda penyakit ini, baik badan maupun batinnya. Kalau ada orang yang melakukan penyelewengan, berarti dia itu baru sakit, apakah kita harus membunuhnya saja, menyiksanya untuk memuaskan hati kita? Bukankah sepatutnya kalau kita mengulurkan tangan membantunya keluar dari jurang kesesatannya, membantunya sembuh dari penyakitnya? Ingatlah, orang yang sakit itu sewaktu-waktu dapat sembuh. Orang yang tadinya menyeleweng dan dianggap jahat tidak selamanya demikian, sekali waktu dapat saja dia menjadi orang baik atau orang waras. Sebaliknya, yang sedang dalam keadaan sehat jangan sekali-kali memandang rendah kepada orang yang sedang sakit, karena yang sehat itu sewaktu-waktu dapat saja jatuh sakit atau menyeleweng."
Kim Hong ikut mendengarkan dan hatinya tersentuh. Iapun merasa bahwa ia pernah menyeleweng, bahkan lebih dari penyelewengan biasa. Ia pernah menjadi Lam-sin, menjadi datuk kaum sesat di dunia selatan, bahkan membentuk Bu-tek Kai-pang yang menjagoi seluruh dunia selatan. Pernah membiarkan anak buahnya melakukan kesewenang-wenangan mengandalkan kepandaian, pernah melakukan kejahatan apapun juga. Akan tetapi semenjak ia bertemu dengan Thian Sin, semenjak ia menanggalkan penyamarannya sebagai Lam-sin, ia seolah-olah hidup di dunia lain. Iapun ingin menjadi orang sehat, bahkan lebih dari itu, ia ingin menjadi pendekar! Maka semua kata-kata pemuda putera Pendekar Lembah Naga itu terasa benar oleh sanubarinya. Ia sendiripun bukan keturunan penjahat! Ayahnya adalah seorang pangeran dan ibunya seorang pendekar wanita!
"Ah, Tiong-ko, betapa aku merindukan semua kata-kata dan nasihatmu selama ini..."
Akhirnya terdengar Thian Sin mengeluh.
"Akan tetapi, apa hendak dikata, semua itu telah kulakukan, Tiong-ko, terdorong oleh rasa sakit hatiku yang bertumpuk-tumpuk. Semua telah terlewat, lalu apa yang dapat kulakukan?"
"Yang sudah-sudah memang tak dapat diperbaiki kembali, Sin-te. Akan tetapi aku mendengar bahwa akhir-akhir ini engkau juga telah menyerbu Kun-lun-pai. Benarkah berita yang kudengar itu? Bahwa engkau telah membunuh seorang tokoh Kun-lun-pai yang sudah tua dan sedang bertapa?"
Thian Sin melirik ke arah Kim Hong, melihat dara itu diam mendengarkan diapun mengangguk.
"Ahh, Sin-te... Sin-te...! Engkau ini pendekar bagaimana? Apakah engkau tidak tahu bahwa Kun-lun-pai adalah perguruan dan perkumpulan silat para pendekar yang terkenal di dunia kang-ouw? Yang menyerbu Kun-lun-pai, pantasnya hanya para penjahat! Bagaimana engkau sampai bisa memusuhi Kun-lun-pai, Sin-te? kau tahu, sekarang Kun-lun-pai hendak mengadakan pertemuan para pendekar untuk menuntut pertanggungan jawab dan mau tidak mau, ayah kita tentu akan terbawa-bawa. Sin-te, seorang pendekar harus berani mempertanggungjawabkan semua perbuatannya. Dan aku ingin agar engkau, sebagai adikku yang tercinta, juga mau mempertanggungjawabkan perbuatanmu terhadap Kun-lun-pai!"
"Maksudmu bagaimana, Tiong-ko?"
"Mari kau ikut bersamaku menghadap para pimpinan Kun-lun-pai dan pertemuan antara para pendekar itu, untuk mempertanggungjawabkan perbuatanmu."
"Ah, tidak mungkin, Tiong-ko. Aku tidak mungkin menghadap mereka!"
Thian Sin menolak dengan suara terkejut sekali. Menghadap pimpinan Kun-lun-pai sama saja dengan mencari mati!
"Engkau harus, Sin-te! Dan aku akan menanggungmu, aku akan membelamu, kalau perlu aku akan membelamu dengan nyawaku. Akan tetapi, mati atau hidup, kita harus tetap bersikap sebagai seorang pendekar yang berani bertanggungjawab atas semua perbuatannya!"
"Tidak, Tiong-ko, aku tidak mau..."
Han Tiong maju selangkah.
"Sin-te mungkin ilmu kepandaianmu sudah jauh melampaui tingkatku, akan tetapi adalah menjadi kewajibanku sebagai pendekar, terutama sekali sebagai kakakmu yang mencintamu, untuk menyadarkanmu dan kalau perlu aku akan memaksamu untuk pergi bersamaku menghadap ke Kun-lun-pai."
Thian Sin memandang kakaknya dengan muka berubah dan mata terbelalak.
"Maksud... maksudmu...?"
"Kalau engkau tidak mau ikut dengan suka rela, aku akan menggunakan kekerasan, menawanmu dan membawamu menghadap dalam pertemuan para pendekar itu, atau... biarlah aku tewas dalam tanganmu demi membawamu ke jalan yang benar, adikku!"
"Tidak, Tiong-ko... engkau tidak mungkin..."
Akan tetapi Han Tiong sudah menerjang maju untuk menotok jalan darah di kedua pundak adiknya dan karena dia tahu benar akan kelihaian adiknya itu, begitu menyerang dia sudah mempergunakan ilmu andalannya, yaitu It-sin-ci, ilmu menotok yang mempergunakan satu jari. Ilmu ini hebat bukan main dan jarang ada lawan yang mampu menghindarkan diri dari serangan It-sin-ci. Akan tetapi pada waktu itu, tingkat kepandaian Thian Sin sudah amat tinggi, tidak kalah lihainya dibandingkan dengan kakak angkatnya, maka dengan tidak begitu sukar dia berhasil menangkis totokan-totokan itu sambil meloncat ke belakang.
"Tidak, Tiong-ko, jangan...!"
Akan tetapi Han Tiong terus mendesak dan Thian Sin yang tidak mau melawan kakaknya hanya mengelak, menangkis sambil mundur terus. Melihat ini tiba-tiba Kim Hong meloncat ke depan dan ia menangkis totokan berikutnya sambil membentak,
"Tahan dulu!"
"Dukk!"
Kembali Han Tiong mengadu tenaga dengan Kim Hong dan sekali ini, Kim Hong yang menangkis dan kembali keduanya merasa tergetar oleh kekuaten lawan.
"Nona, urusan kami adalah urusan kakak dan adik, tidak perlu dicampuri oleh orang luar!"
"Cia Han Tiong Taihiap, aku bukanlah orang luar! Bahkan dalam urusan Kun-lun-pai, akulah yang menyerbu ke sana, dan akulah yang memusuhi pertapa itu. Thian Sin hanya kumintai bantuan saja, jadi akulah pula yang bertanggung jawab, bukan dia!"
Mendengar ucapan ini, tentu saja Han Tiong menjadi terkejut dan memandang kepada adik angkatnya dengan penuh perhatian dan alis berkerut ketika dia bertanya,
"Sin-te, apa artinya ini? Siapakah nona ini?"
"Ia... ia adalah tunanganku, Tiong-ko..."
"Ahh...!"
Seketika wajah Han Tiong berseri gembira dan dia cepat menoleh dan memandang kepada Kim Hong penuh perhatian. Makin giranglah hatinya ketika dia mendapat kenyataan betapa nona itu memang sungguh amat cantik setelah kini dia memandang dengan jelas, cantik jelita tidak kalah dibandingkan dengan Lian Hong!
"Begitukah? Kionghi, Sin-te, kiong-hi...! Ah, aku girang sekali... dan suara nona... seperti... pernah aku mendengarnya!"
Kim Hong tersenyum dan nampak semakin manis.
"Memang sebelumnya pernah kita saling bertemu, Taihiap."
Thian Sin hendak memberi isyarat agar kekasihnya jangan memperkenalkan dirinya, akan tetapi Kim Hong yang masih mendongkol karena pertengkarannya dengan Thian Sin tadi, melanjutkan.
"Mungkin Taihiap teringat kalau kukatakan bahwa tunangan Taihiap, Nona Ciu Lian Hong, pernah menjadi muridku..."
Han Tiong terkejut dan terbelalak heran memandang wajah nona itu. Kini dia teringat! Memang, suara nona ini sama benar dengan suara nenek datuk kaum sesat di selatan itu, yaitu Nenek Lam-sin yang lihai! Tentu saja dia tidak percaya dan berkata,
"Tapi... tapi... Hong-moi ditolong dan menjadi murid Nenek Lam-sin..."
"Semenjak bertemu dengan adikmu, Taihiap, nenek Lam-sin sudah tidak ada lagi dipermukaan bumi ini, yang ada hanyalah aku, Toan Kim Hong."
Han Tiong masih belum yakin benar dan dia menoleh kepada adiknya, diguncang-guncangnya.
"Apa artinya ini, Sin-te? Apa artinya ini?"
Thian Sin memegang tangan kakaknya,
"Tiong-ko, jangan kau serang aku lagi, sampai matipun aku tidak mungkin mau melawan. Marilah kita bicara baik-baik dan dengarkan ceritaku. Yang menjadi Nenek Lam-sin itu adalah nona ini, Toan Kim Hong dan dia telah menjadi kekasihku, tunanganku, isteriku..."
Pemuda itu menarik tangan kakaknya diajak duduk di atas padang rumput tak jauh dari tempat itu,
Diikuti oleh Kim Hong yang tersenyum melihat betapa Han Tiong kini menurut saja ditarik adiknya, tidak lagi marah-marah seperti tadi. Dengan panjang lebar Thian Sin lalu menceritakan segala pengalamannya, tidak ada yang dirahasiakan kepada kakak angkatnya itu. Betapa dia pernah gagal membalas kepada See-thian-ong dan betapa dia telah mempelajari ilmu-ilmu peninggalkan ayah kandungnya di Himalaya. Diceritakannya ketika dia membalas dendam kepada semua musuh-musuh orang tuanya, dan juga musuh-musuh yang telah membuat keluarga Ciu terbinasa. Betapa dia bertemu dengan Lam-sin yang kemudian menjadi Kim Hong dan menjadi isterinya dan dibantu oleh wanita itu dia berhasil membunuh See-thian-ong dan Pak-san-kui berikut semua muridnya.
"Memang dalam dendam dan sakit hatiku, aku berlaku kejam terhadap mereka, Tiong-ko. Juga para penjahat yang bertemu denganku, kubasmi secara kejam. Aku sakit hati sekali kepada mereka, sakit hati sejak orang tuaku terbunuh, sampai ketika keluarga Ciu terbasmi. Diam-diam aku sudah bersumpah untuk membasmi semua penjahat di dunia ini!"
Han Tiong mendengarkan dengan penuh perhatian dan kadang-kadang menahan napas ketika adiknya menceritakan cara adiknya itu menyiksa dan membunuh para penjahat dan musuh besar itu. Lalu dia berkata,
"Akan tetapi, engkau telah membunuh Pangeran Toan Ong yang terkenal budiman..."
"Itu merupakan kesalahanku mudah terbujuk fitnah seorang wanita jahat,"
Katanya dan diapun terang-terangan menceritakan tentang pertemuannya dengan Kim Lan dan betapa dia dibohongi Kim Lan sehingga membunuh Toan Ong. Kemudian betapa setelah tahu akan rahasia Kim Lan dia lalu merusak muka wanita itu. Kakak angkatnya bergidik mendengar semua penuturan yang diceritakan dengan terang-terangan itu.
"Nona Toan, engkau tadi mengatakan bahwa urusan di Kun-lun-pai adalah urusanmu. Sesungguhnya, bagaimanakah hal itu terjadi dan mengapa sampai bentrok dengan Kun-lun-pai?"
"Begini, Taihiap..."
"Nanti dulu, nona. Kalau engkau bakal menjadi isteri adikku, mengapa engkau menyebutku Taihiap segala? Membuat hatiku menjadi tidak enak saja."
"Baiklah... Tiong-ko,"
Kata Kim Hong sambil tersenyum, meniru panggilan Thian Sin terhadap Han Tiong. Han Tiong tersenyum gembira.
"Nah, begitu lebih baik bukan, Sin-te? Kelak kalau kalian sudah punya anak, boleh sebut toa-pek (uwak) padaku!"
Mereka bertiga tertawa lagi dengan gembira akan tetapi tak lama kemudian Kim Hong lalu menceritakan tentang riwayatnya, tentang kematian ayahnya,
Seorang pangeran yang dianggap buronan oleh kaisar dan dikejar-kejar sampai akhirnya hidup sengsara dan mati sebagai buronan. Diceritakannya mengapa ia mendendam kepada supeknya, yaitu Gouw Gwat Leng yang kemudian menjadi Jit Goat Tosu dan bertapa di Kun-lun-pai, betapa ia dibantu oleh Thian Sin lalu mendatangi Kun-lun-pai, dengan baik-baik minta menghadap ketua Kun-lun-pai dan minta bertemu dengan Jit Goat Tosu tanpa melibatkan Kun-lun-pai sama sekali. Kemudian tentang pertemuannya dengan supeknya yang amat lihai sehingga terpaksa mereka berduapun akan kalah kalau saja supeknya itu tidak mengalah, bahkan akhirnya supek mereka itu membunuh diri untuk menebus penyesalannya tentang kesengsaraan hidup sutenya, yaitu Pangeran Toan Su Ong.
"Urusan antara keluargaku dan supek Gouw Gwat Leng adalah urusan pribadi dan kami sama sekali tidak menyangkutkan Kun-lun-pai. Akan tetapi sungguh para tosu Kun-lun-pai itu tidak tahu diri. Supek mati karena membunuh diri, karena dia merasa menyesal dan baru setelah dia membunuh diri aku melihat kenyataan bahwa sebenarnya supek amat mencinta mendiang ayahku. Kematian supek sungguh sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan Kun-lun-pai, akan tetapi para tosu itu dengan membabi buta mengeroyok kami, bahkan kini melaporkan kami kepada tokoh-tokoh kang-ouw!"
Kim Hong mengepal tinjunya. Gadis ini dengan terus terang menceritakan semua riwayatnya. Mendengar cerita nona itu, Han Tiong menarik napas panjang. Dia merasa kagum sekali kepada kakek yang bernama Couw Gwat Leng atau Jit Coat Tosu itu.
"Beliau seorang bijaksana, sayang kalian tidak tahu akan hal itu sebelumnya sehingga terpaksa nyawa seorang yang demikian bijaksana dikorbankan dengan sia-sia. Tahukah kalian mengapa beliau membunuh diri? Bukan hanya karena penyesalan, melainkan untuk mencegah engkau berdua, karena kalau sampai beliau mati di tanganmu, hal itu akan membuat engkau seorang murid durhaka dan selamanya engkau akan menyesali perbuatanmu itu. Di atas dunia ini, segala perkara tidak akan dapat diatasi dengan kekerasan. Ilmu silat hanya patut dipergunakan mencegah terjadinya kejahatan melindungi diri sendiri dan juga orang-orang lain yang terancam bahaya. Akan tetapi, kalau ilmu silat dipergunakan untuk melampiaskan dendam, maka itu menjadi ilmu terkutuk, menjadi ilmu hitam."
Dua orang itu mendengarkan sambil bertunduk. Berhadapan dengan kakaknya, Thian Sin merasa kehilangan semua semangat perlawanannya, membuat dia seperti mati kutu. Hal ini adalah karena perasaan cinta kasih dan hormat yang amat besar, membuat dia tidak mungkin dapat menentang atau membantah. Bukan karena takut, melainkan karena cinta dan juga apapun yang keluar dari mulut kakaknya itu terasa olehnya amat tepat dan tidak mungkin dapat dibantah kebenarannya lagi. Keadaan menjadi serius lagi setelah Han Tiong bicara dengan sungguh-sungguh. Menghadapi keadaan ini, di mana dia merasa dirinya tenggelam tak berdaya dan bahkan Kim Hong yang agaknya berwatak pemberontak itupun terdiam, Thian Sin merasa tidak enak sekali dan diapun mencoba untuk memecahkan suasana itu dengan berkelakar.
"Aduh, Tiong-ko, lama tidak bertemu denganmu, sekali berjumpa, engkau agaknya seperti telah menjadi seorang pendeta! Kuliahmu penuh dengan hal-hal batiniah belaka!"
Han Tiong tersenyum, akan tetapi jawabannya tetap saja serius,
"Sin-te, mana mungkin kita mengabaikan soal-soal batiniah? Hidup ini bukan hanya lahiriah belaka, bukan? Lahir dan batin, haruslah serasi, maju bersama, karena kalau tidak demikian, kita tentu akan terjeblos ke dalam lembah sengsara. Batin yang waspada membuat orang menjadi bijaksana, Sin-te."
"Semua ucapanmu memang benar, Tiong-ko. Akan tetapi aku ingin mendengar tentang segi lain dari hidupmu semenjak kita berpisah. Bagaimana keadaan ayah dan ibu? Dan bagaimana dengan keadaan Lian Hong?"
Kini ringan saja lidah Thian Sin menyebut nama ini, tidak ada rasa berat sedikitpun di hatinya, tanda bahwa dia memang sama sekali sudah tidak mengharapkan gadis itu, dan hal inipun terasa oleh Han Tiong yang menjadi lega. Dia tahu bahwa adiknya telah memperoleh seorang pengganti, seorang gadis yang harus diakuinya dalam segala hal tidak kalah dibandingkan dengan Lian Hong. Bahkan lebih cantik dan dalam hal ilmu silat jauh lebih lihai.
"Ayah dan ibu baik-baik saja, sungguhpun mereka juga amat mengharapkan kedatanganmu, Sin-te. Dan Adik Lian Hong juga baik-baik saja, kini sudah tinggal di Lembah Naga bersama kami. kau tahu, Sin-te, di mana aku menemukan Hong-moi? Di sarang datuk sesat Lam-sin, bahkan sempat menjadi murid datuk itu yang ternyata juga telah menolongnya ketika terjadi keributan itu."
Han Tiong tersenyum dan memandang kepada Kim Hong yang hanya tersenyum saja. Tentu saja Thian Sin sudah tahu akan hal itu dari Kim Hong. Dia hanya mengangguk-angguk dan berkata,
"Syukurlah kalau ia sudah berada di Lembah Naga. Bukankah kalian sudah menikah sekarang, Tiong-ko?"
Han Tiong menggeleng kepala dan memandang kepada adiknya.
"Aku selalu mengulur waktu untuk itu, Sin-te. Aku tidak mau menikah sebelum engkau pulang..."
"Eh, kenapa begitu?"
Thian Sin bertanya kaget. Han Tiong mengerling kepada Kim Hong, lalu berkata,
"Tadinya aku selalu meragu, adikku... mana mungkin aku hidup bersenang-senang sendiri saja sementara engkau masih belum kuketahui keadaanmu? Tapi sekarang, ah, sekarang lain lagi. Tapi sudahlah, ada hal yang lebih penting yang perlu kubicarakan denganmu, Sin-te, juga denganmu, Nona Toan."
"Hal penting apakah, Tiong-ko?"
Jawab kedua orang itu hampir berbareng dan mereka berdua memandang kepada Han Tiong dengan penuh perhatian.
"Bukan lain tentang pertanggungan jawab, adik-adikku. Tanggung jawab akan perbuatan sendiri merupakan syarat mutlak bagi seorang pendekar. Oleh karena itu, aku minta kepadamu, Sin-te, agar engkau suka mempertanggungjawabkan perbuatanmu di Kun-lun-pai dan menyerahkan diri!"
"Tiong-ko...!"
Thian Sin memandang dengan mata terbelalak.
"Tiong-ko, sudah kukatakan bahwa urusan Kun-lun-pai adalah urusanku sendiri!"
Kim Hong membantah.
"Thian Sin tidak bertanggung jawab, aku yang bertanggung jawab!"
Han Tiong menggeleng kepala dan menghela napas.
"Adik Kim Hong, biarpun aku tahu bahwa ilmu silatmu amat hebat, akan tetapi agaknya namamu tidaklah sedahsyat nama julukan Sin-te sebagai Pendekar Sadis, sehingga Kun-lun-pai menekankan Pendekar Sadis dalam peristiwa di Kun-lun-pai itu sebagai pelaku utamanya. Pula, jelas bahwa Sin-te ikut pula turun tangan maka dia tidak mungkin dapat lepas dari tanggung jawab. Selain itu, setelah kalian berdua menjadi calon jodoh, bukankah berarti tanggung jawab yang seorang juga menjadi tanggung jawab yang lain? Maka, kuminta, marilah pergi ke Kun-lun-pai, biar aku yang antar kalian. Kun-lun-pai adalah perkumpulan orang-orang gagah yang tentu akan bersikap bijaksana."
Thian Sin menggeleng kepalanya lalu memegang lengan kakaknya.
"Tiong-ko, engkau tidak tahu. Mereka itu memusuhi aku, memusuhi kami. Mereka itu membenciku! Ketika kami berada di Kun-lun-pai, kami sudah menjelaskan bahwa kami tidak memusuhi Kun-lun-pai, bahkan ketika mereka itu mengeroyok dan hendak menangkap kami, kami mengalah dan tidak membunuh seorangpun. Kami melarikan diri. Mana mungkin sekarang kami harus menyerahkan diri begitu saja padahal kami tidak bersalah terhadap mereka?"
Han Tiong membalas pegangan adiknya.
"Adikku, sudah kukatakan bahwa Kun-lun-pai bukanlah perkumpulan jahat, melainkan perkumpulan para pendekar dan dijunjung tinggi oleh para pendekar di seluruh dunia persilatan. Kalian telah menyebabkan kematian Jit Goat Tosu yang dianggap sebagai saudara sendiri oleh para pimpinan Kun-lun-pai, dan kematian itu terjadi di Kun-lun-pai, dan engkau masih mengatakan bahwa Kun-lun-pai tidak ada sangkut-pautnya sama sekali? Biarpun begitu, Kun-lun-pai tidak mau membalas dendam begitu saja terhadapmu, Sin-te, melainkan mau minta pertimbangan dan keadilan dalam pertemuan para pendekar. Mereka hendak menangkap kalian untuk dimintakan pengadilan, bukan untuk membalas dendam dan mencelakai kalian. Tahukah engkau bahwa menurut kabar yang kudapatkan di jalan, pihak Kun-lun-pai bahkan akan minta pertanggungan jawab Cin-ling-pai dan ayah kita di Lembah Naga? Nah, sebagai seorang gagah, marilah kuantar engkau menghadap ke Kun-lun-pai, menyerahkan diri dan menghadapi pengadilan dengan gagah pula. Percayalah, kalau terjadi ketidakadilan nanti, aku yang akan membelamu, kalau perlu dengan taruhan nyawaku!"
Thian Sin menjadi ragu-ragu dan menoleh kepada Kim Hong. Akan tetapi Kim Hong mengerutkan alisnya dan gadis itu kemudian menggeleng kepala.
"Aku tidak akan menyerahkan diri kepada tosu-tosu bau itu!"
Thian Sin juga membayangkan betapa akan malunya untuk menyerahkan diri, dan tentu para tosu yang merasa sakit hati itu akan berdaya sedapat mungkin untuk membalas dendam. Pula, dia tidak mau kalau sampai perbuatannya harus dipertanggungjawabkan oleh semua keluarga Cin-ling-pai, apalagi harus ayah angkatnya ikut-ikut bertanggung jawab.
"Tiong-ko, ah, Tiong-ko, mengapa begitu? Mengapa engkau malah hendak membantu mereka yang hendak menangkap kami?"
Dia mengeluh sambil memandang kepada kakaknya dengan sinar mata sedih. Han Tiong mengerutkan alisnya.
"Adikku, ke manakah kegagahanmu? Lupakan engkau bahwa seorang pendekar adalah pembela kebenaran, bahwa matipun bukan apa-apa, asal mati dalam kebenaran? Aku bukan membantu mereka yang hendak menangkapmu, adikku, melainkan membantumu kembali ke jalan lurus seorang pendekar. Marilah kuantar engkau. Biarlah kalau Adik Kim Hong tidak mau pergi, sudah sepatutnya kalau engkau yang mempertanggungjawabkan pula perbuatan calon isterimu."
Kembali Thian Sin menjadi ragu-ragu. Menurutkan kata kesadarannya, apa yang dikatakan oleh kakaknya itu memang benar. Kalau dia mempertanggungjawabkan semua perbuatannya, apapun akibatnya, maka urusan akan menjadi selesai dan selanjutnya dia tidak akan merasa dikejar-kejar dan dimusuhi orang lagi. Akan tetapi ketika dia melihat wajah Kim Hong yang cemberut, diapun maklum bahwa kalau dia menuruti kata-kata kakaknya, Kim Hong akan menentang dan marah sekali dan bukan tidak mungkin hubungan antara mereka akan putus sampai di situ saja.
"Tiong-ko, makilah aku, pukullah aku, suruh melakukan apa saja, akan tetapi jangan menyerahkan diri kepada Kun-lun-pai!"
Akhirnya Thian Sin berkata. Han Tiong bangkit berdiri dan mukanya menjadi merah, alisnya berdiri dan matanya terbelalak.
"Sin-te! Masih begitu lemahkah engkau? Sudah kupikirkan masak-masak dan satu-satunya jalan bagimu untuk dapat kembali ke jalan lurus dan membersihkan namamu, hanyalah menyerahkan dan membiarkan dirimu diadili!"
Akan tetapi Thian Sin sudah mengambil keputusan bulat. Dia menggeleng kepala dan wajahnya menjadi agak pucat. Sakit sekali hatinya bahwa dia terpaksa harus menentang kehendak kakaknya yang amat disayangnya dan yang telah lama sekali baru saja dijumpainya kembali itu.
"Tidak, Tiong-ko. Aku tidak akan menyerahkan diri kepada Kun-lun-pai. Maafkan aku, Tiong-ko, akan tetapi sungguh aku tidak bisa menyerahkah diri kepada mereka."
"Sin-te, apakah engkau sudah menjadi seorang penakut? Engkau takut menghadapi hukuman? Takut mati?"
Thian Sin menggelengkan kepalanya,
"Tidak, aku hanya tidak mau diperlakukan tidak adil. Aku tidak merasa bersalah, maka tidak mungkin aku menyerahkan diri seperti orang yang bersalah."
"Akan tetapi, engkau akan diadili!"
"Hemm, pengadilan terhadap Pendekar Sadis yang dibenci sudah dapat dibayangkan lebih dulu akan bagaimana jadinya."
"Sin-te, sekali lagi, demi membersihkan nama Cin-ling-pai dan Lembah Naga yang terlibat namanya olehmu, mari ikut aku ke Kun-lun-pai."
"Sekali lagi, tidak, Tiong-ko, dan maafkan aku."
"Kalau aku menggunakan kekerasan terhadapmu?"
Thian Sin tersenyum.
"Terserah, engkau tahu aku tidak akan melawanmu, aku tidak akan dapat mengangkat tangan terhadapmu. Akan tetapi engkau harus tahu benar bahwa engkau takkan dapat membawaku dan memaksaku ke Kun-lun-pai selama aku masih bernyawa. Engkau harus membunuh aku lebih dulu sebelum dapat memaksa pergi, Tiong-ko. Ah, Tiong-ko, mengapa kita harus begini?"
Dan tiba-tiba Thian Sin menubruk, merangkul dan menangis! Kim Hong memandang dengan wajah pucat dan bengong. Tak pernah dapat disangkanya bahwa kekasihnya, Pendekar Sadis yang demikian gagah perkasa, berani mati, dan keras hati itu kini seakan-akan mencair semua kekerasannya dan menjadi lembek dan lunak dan lemah sekali! Han Tiong sendiri merangkul adiknya dan menengadah, mukanya pucat sekali.
"Kaupun tahu bahwa tak mungkin aku dapat melakukan kekerasan terhadap dirimu, adikku,"
Katanya dengan suara serak penuh keharuan.
"Akan tetapi engkaupun tahu bahwa tak mungkin aku membiarkan saja namamu berlepotan noda dan membawa pula nama Lembah Naga menjadi tercemar. Kalau engkau berkeras tidak mau ikut aku ke Kun-lun-pai, nah, selamat tinggal, adikku. Semoga Thian memberkahimu dan engkau dapat hidup bahagia bersama isterimu. Selamat tinggal, adikku, dan akulah yang akan menebus segalanya, selamat tinggal!"
Setelah berkata demikian, pemuda itu lalu pergi meninggalkan Thian Sin dan Kim Hong yang memandang dengan muka pucat sampai akhirnya bayangan Han Tiong lenyap dari pandang mata mereka. Thian Sin menjatuhkan dirinya duduk di atas rumput dan menggunakan kedua tangannya untuk menutupi mukanya. Kesedihan besar mencekam hatinya. Dia merasa berduka sekali bahwa pertemuannya dengan kakaknya yang tersayang, terpaksa harus berakhir seperti itu. Kakaknya yang selama ini merindukannya, mencintanya, bahkan tidak mau menikah sebelum bertemu dengannya!
Dia tahu bahwa kakaknya itu menunggunya, bahkan dia tahu pula bahwa kakaknya itu akan mau mengalah untuk mundur dan membiarkan Lian Hong menikah dengan dia! Dia tahu benar akan isi hati dan watak kakaknya, tahu akan kasih sayang kakaknya itu terhadap dirinya yang amat mendalam. Kim Hong hanya memandang saja, membiarkan kekasihnya terbenam dalam lamunannya sendiri. Iapun dapat mengerti akan kesedihan Thian Sin. Setelah agak lama, barulah Kim Hong mendekati kekasihnya duduk di dekatnya di atas rumput, memegang tangannya tanpa bicara. Thian Sin yang merasa tangannya dipegang dan digenggam kekasihnya, lalu mengangkat muka dan menurunkan tangannya. Mukanya pucat dan matanya agak kemerahan, pipinya masih basah air mata. Mereka saling pandang sejenak, kemudian Kim Hong mengangguk perlahan dan berkata lirih.
"Engkau benar, Thian Sin. Kakakmu itulah yang terlalu lemah, mau mengalah saja terhadap orang lain. Pihak manapun juga, kalau mau menang sendiri dan terlalu mendesak, harus kita tandingi, bukannya mengalah dan membiarkan diri dihina."
Thian Sin memandang wajah kekasihnya lalu menarik napas panjang.
"Engkau tidak tahu, Kim Hong. Engkau belum mengenal Tiong-ko. Dia sama sekali bukan orang lemah, bukan mengalah begitu saja, dan sama sekali tidak takut. Akan tetapi Tiong-ko selalu bertindak demi kebenaran, dan untuk membela kebenaran, dia tidak segan-segan untuk mengorbankan dirinya sendiri. Dia seorang manusia yang gagah perkasa lahir batin, yang berhati tulus dan cintanya amat tulus. Aku khawatir sekali..."
"Khawatir apa, Thian Sin?"
"Aku tidak dapat menduga apa yang akan dilakukannya di Kun-lun-pai. Aku hanya merasa tidak enak sekali. Apa kata-katanya yang terakhir tadi? Selamat tinggal, akulah yang akan menebus segalanya. Nah, itulah yang membuat hatiku merasa gelisah sekali."
Kim Hong mengerutkan alisnya.
"Lalu, apa yang akan dilakukannya?"
Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kita harus membayanginya, Kim Hong. Aku harus melihat apa yang akan dilakukan Tiong-ko. Kalau sampai terjadi sesuatu dengan dirinya, karena aku, maka selama hidupku aku akan menderita penyesalan batin yang lebih hebat daripada kematian. Mari, kita bayangi dia dan lihat apa yang akan dilakukannya."
Kim Hong lalu mengangguk dan keduanya lalu bangkit dan lari cepat mengejar Han Tiong, menuju ke Kun-lun-san.
Para tokoh kang-ouw sudah mulai berdatangan ke Kun-lun-pai. Undangan dari sebuah partai persilatan seperti Kun-lun-pai tentu saja merupakan peristiwa besar dan memperoleh perhatian dari mereka yang diundang, apalagi dalam undangan itu Kun-lun-pai dengan terus terang menyatakan
(Lanjut ke Jilid 41)
Pendekar Sadis (Seri ke 05 "
Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 41
bahwa pertemuan antara para tokoh pendekar itu dimaksudkan untuk membicarakan tentang sepak terjang Pendekar Sadis yang namanya sudah menggemparkan seluruh dunia persilatan itu. Sehari sebelum hari yang ditetapkan, di Kun-lun-pai telah hadir belasan orang tokoh pendekar dari berbagai aliran. Kui Im Tosu, ketua Kun-lun-pai, ditemani oleh sutenya yang menjadi wakilnya, yaitu Kui Yang Tosu, telah menyambut dan menemani para tamu-tamu yang awal datang itu di ruangan tamu yang luas itu.
Di antara belasan orang tamu yang telah datang itu terdapat pula tiga orang Shan-tung Sam-lo-eng (Tiga Pendekar Tua dari Shan-tung) dan Hwa Siong Hwesio, tokoh hwesio Siauw-lim-pai. Mereka ini bersama dengan Kui Yang Tosu pernah menemui Pendekar Sadis untuk menegur pendekar itu karena telah membunuh Toan-ong-ya di kota raja. Selain empat orang pendekar itu, telah hadir pula beberapa orang yang benar-benar merupakan pendekar yang dihormati dan disegani orang, antara lain Lo Pa San yang berjuluk Hui-to-sian (Dewa Golok Terbang), seorang pendekar yang terkenal gagah perkasa bertubuh tinggi besar dan bermuka merah. Pendekar ini terkenal sekali di daerah pantai Lautan Po-hai. Thian Heng Losu, kakek tinggi kurus bertongkat bambu kuning berusia enam puluh tahun lebih,
Ketua Bu-tong-pai yang berkenan datang sendiri karena selain ingin mendengar tentang Pendekar Sadis, juga ketua Bu-tong-pai ini ingin bertemu dengan para pendekar. Juga hadir pula Liang Sim Cianjin, seorang pendekar yang terkenal sebagai seorang bun-bu-coan-jai (ahli silat dan surat) berusia enam puluh lima tahun. Pertapa ini pakaiannya seperti petani, bercaping lebar dan sikapnya halus, tubuhnya kecil kurus sama sekali tidak membayangkan bahwa dia memiliki kepandaian yang tinggi. Kehadiran ketua Bu-tong-pai, juga dari perkumpulan-perkumpulan besar seperti Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, Thai-san-pai dan lain-lain tentu saja membawa beberapa orang anak murid yang kini berkumpul di lain bagian karena kini kedua orang ketua Kun-lun-pai itu sedang menyambut para tamu yang sejajar atau setingkat dengan mereka berdua.
Keadaan dalam kamar tamu yang cukup luas itu meriah namun pembicaraan terjadi dengan serius. Kui Yang Tosu menceritakan kepada belasan orang tamunya itu dalam suasana ramah tamah karena pertemuan yang resmi belum dilakukan, tentang peristiwa yang terjadi di situ ketika Pendekar Sadis dan gadis lihai itu datang sehingga mengakibatkan kematian Jit Goat Tosu yang telah menjadi saudara yang dihormati dari para pimpinan Kun-lun-pai. Sebagai seorang yang gagah dan jujur, Kui Yang Tosu tidak menyembunyikan sesuatu, menceritakan pula alasan-alasan dua orang itu datang ke Kun-lun-pai dan hubungan antara Toan Kim Hong dan Jit Goat Tosu. Mereka juga menceritakan hendak menangkap mereka namun gagal.
"Kami hendak menahan mereka, minta pertanggungan jawab mereka dan pertimbangan rapat para pendekar, namun Pendekar Sadis dan nona itu mengamuk dan melarikan diri. Ilmu kepandaian mereka memang tinggi sekali dan kamipun tidak berniat untuk membunuh, melainkan hendak menahan mereka, namun kami gagal. Oleh karena itu kami mengundang para orang gagah untuk dimintai pertimbangan."
Pendekar Lembah Naga Eps 49 Pendekar Lembah Naga Eps 56 Pendekar Lembah Naga Eps 35