Ceritasilat Novel Online

Asmara Berdarah 38


Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo Bagian 38



"Pangcu, aku menerima perintah dari Toan Ongya untuk menjatuhkan hukuman mati kepadamu. Maka, kuminta agar engkau suka menyerahkan nyawa dengan ikhlas dan memasang dirimu agar pedang ini dapat melaksanakan tugas sebaiknya!"

   Cia Kong Liang memandang wajah pemuda itu dan diapun menjawab dengan suara lantang dan gagah,

   "Aku akan menghadapi kematian dengan berdiri!"

   Dan diapun menjulurkan kedua lengan yang diikat menjadi satu, juga kedua kakinya agak direntangkan.

   "Baik, bersiaplah!"

   Cia Sun berkata dan semua mata kini dengan terbelalak memandang ke arah pedang yang sudah diangkat ke atas kepala oleh Cia Sun. Tiba-tiba pedang itu berkelebat ke bawah dua kali dan putuslah tali sutera pengikat lengan dan kaki Cia Kong Liang sehingga ketua itu menjadi bebas!

   "Heiii..."

   Perwira itu berteriak akan tetapi teriakannya terhenti di tengah jalan karena dia sudah roboh dan pingsan oleh tamparan Ci Kang yang mengenai tengkuknya. Gegerlah keadaan di situ! Pedang yang tadi membikin putus belenggu kaki tangan Cia Kong Liang, kini telah berada di tangan ketua itu dan bersama Cia Sun dan Ci Kang, dia mengamuk dan merobohkan banyak pengeroyok yang masih panik karena perubahan keadaan yang tiba-tiba dan tidak disangka-sangka itu.

   "Locianpwe, mari kita pergi!"

   Ci Kang berkata sambil mendekati Cia Kong Liang yang mengamuk dengan pedangnya itu.

   "Baik!"

   Kata ketua Cin-Ling-Pai karena diapun tahu bahwa mereka bertiga saja, betapapun lihainya, tidak mungkin akan mampu menghadapi pengeroyokan banyak sekali perajurit, apalagi mereka berada di dalam benteng musuh.

   Untung bagi mereka bahwa pada saat itu, pasukan pemerintah yang mengepung benteng itu mulai bergerak dan pertempuran mulai terjadi di sepanjang tembok benteng sehingga ketika ketiganya melarikan diri, keadaan di luar penjara cukup kacau balau sehingga sukarlah bagi para pengejar mereka untuk dapat mengikuti jejak mereka. Apalagi para pengejar itupun merasa gentar menyaksikan kelihaian tiga orang itu yang dalam waktu singkat saja sudah merobohkan puluhan orang pengeroyok. Setelah menyusup-nyusup, akhirnya dua orang pendekar muda itu berhasil mengajak Cia Kong Liang memasuki gua rahasia di bawah tanah dan mereka disambut dengan girang oleh Hui Cu. Melihat gadis ini, Cia Kong Liang merasa heran dan dia segera bertanya.

   "Siapakah nona ini?"

   Bagaimanapun juga, dia tentu saja ingin mengenal semua orang yang berada di situ, mengingat bahwa mereka semua masih berada di tempat yang berbahaya.

   "Lociainpwe, nona ini adalah Toan Hui Cu, puteri dari... Pangeran Toan Jit Ong."

   Ci Kang hampir saja menyebut nama Raja Iblis, akan tetapi diubahnya ketika dia teringat bahwa gadis itu tentu akan merasa tersinggung dan tidak enak kalau ayahnya disebut Raja Iblis. Akan tetapi, mendengar bahwa gadis itu puteri Pangeran Toan Jit Ong, berarti puteri Raja Iblis, ketua Cin-ling-pai itu terbelalak dan mukanya berobah merah. Tangannya yang masih memegang pedang tadi bergerak dan dia sudah menyerang Hui Cu dengan pedangnya! Akan tetapi dia terkejut karena tiba-tiba saja tubuh gadis itu lenyap dan ternyata dengan gerakan yang luar biasa ringan dan cepatnya, gadis itu telah melompat jauh ke belakang sambil mengerutkan alisnya.

   "Toako, kenapa kalian membawa orang sejahat itu ke sini?"

   Teriak Hui Cu penasaran. Sementara itu, Cia Sun dan Ci Kang cepat melerai dan berkata.

   "Harap locianpwe suka menyimpan kembali pedang itu. Biarpun ia puteri Pangeran Toan, akan tetapi ia sama sekali tidak boleh disamakan dengan ayahnya atau ibunya. Ia menentang kejahatan orang tuanya dan ia pernah menyelamatkan nyawa kami, bahkan sekarangpun kalau tidak ada ia yang menunjukkan tempat rahasia ini, kita bertiga jangan harap dapat lolos dari Sanhaikoan."

   Cia Kong Liang menarik napas panjang dan diapun melepaskan pedangnya yang jatuh berdenting ke atas lantai. Dia teringat akan isterinya. Bukankah isterinya juga puteri seorang datuk sesat? Isterinya juga tidak dapat dikatakan berwatak penjahat, walaupun dia tahu bahwa ayah mertuanya, yang sudah lama mencuci tangan, kini agaknya kumat lagi dan bersekutu dengan pemberontak yang dipimpin datuk-datuk sesat.

   "Maafkan aku,"

   Katanya lirih kepada Hui Cu yang kini berani mendekat lagi.

   "Nona Toan Hui Cu ini bahkan dimusuhi oleh ayahnya sendiri,"

   Ci Kang menambahkan. Cia Kong Liang menggeleng-geleng kepala keheranan, lalu memandang kepada Ci Kang dengan sinar mata mengandung kagum dan terima kasih.

   "Dan sekarang baru kita sempat bicara, orang muda. Siapakah engkau dan mengapa engkau dengan berani mati telah menolongku?"

   Ci Kang tersenyum pahit dan diapun menjawab,

   "Locianpwe, keadaan saya tidak banyak bedanya dengan keadaan nona Hui Cu. Nama saya Siangkoan Ci Kang dan ayah saya adalah mendiang Siangkoan Lojin..."

   "Ahhh..."

   Kembali Cia Kong Liang terkejut sekali. Dia tahu siapa adanya Siangkoan Lojin alias Si Iblis Buta! Seorang datuk sesat yang terkenal jahat, yang mengepalai para datuk sesat untuk mengeruhkan dunia kang-ouw. Dan pemuda yang amat disukanya dan dikaguminya ini, pemuda yang sudah menolongnya secara cerdik dan berani, adalah putera datuk sesat itu!

   "Saudara Siangkoan Ci Kang ini, walaupun orang tuanya menjadi datuk sesat, namun dia sendiri berjiwa pendekar sejati yang selalu menentang kejahatan, dan memang benar bahwa agaknya keadaannya tidak berbeda dengan nona Toan Hui Cu."

   Cia Sun menerangkan. Cia Kong Liang menarik napas panjang beberapa kali sambil mengangguk-angguk dan memandang kepada Ci Kang.

   "Siangkoan Ci Kang,"

   Akhirnya dia berkata.

   "kalau melihat putera seorang pendekar menjadi orang gagah, hal itu tidaklah aneh dan tidak perlu dibicarakan lagi. Akan tetapi putera seorang raja datuk sesat menjadi seorang pendekar budiman, sungguh hal ini merupakan suatu yang luar biasa dan amat mengagumkan."

   Kemudian dia memandang kepada Cia Sun.

   "Dan engkau sendiri, orang muda. Siapakah kau?"

   Cia Sun menjura dengan hormat.

   "Harap locianpwe suka memaafkan kalau saya bersikap kurang pantas. Sesungguhnya, saya adalah cucu keponakan locianpwe sendiri, nama saya Cia Sun dan ayah bernama Cia Han Tiong."

   Sepasang mata ketua Cin-Ling-Pai itu terbelalak dan wajahnya berseri ketika dia mengulur tangan dan memegang lengan pemuda itu.

   "Ahh..."

   Kiranya engkau putera Cia Han Tiong? Pantas... Cia Sun, bagaimana kabarnya dengan ayah dan ibumu? Apakah masih tinggal di Lembah Naga?"

   "Terima kasih, ayah baik-baik saja dan masih berada di Lembah Naga, akan tetapi ibu telah tewas terbunuh orang jahat."

   Cia Sun lalu menceritakan keadaan keluarganya dengan singkat dan percakapan lalu menjurus ke arah pemberontakan itu sendiri.

   "Aku telah tertipu! Aku telah khilaf karena kesembronoanku sendiri!"

   Ketua Cin-Ling-Pai itu mengepal tinju dan mukanya menjadi merah sekali.

   "Tanpa penyelidikan lebih dahulu aku telah membawa keluarga dan murid-murid Cin-Ling-Pai untuk membantu pasukan pemberontak, karena tadinya kukira bahwa pemberontak Ji-ciangkun adalah suatu perjuangan yang menentang pemerintah lalim. Siapa kira, Ji-ciangkun sendiri diperalat oleh para datuk sesat yang hendak mencari kedudukan. Aku memberontak terhadap mereka dan ditawan, dan entah bagaimana nasib keluarga dan para muridku di Cengtek."

   Tiba-tiba terdengar suara keras dan gaduh di sebelah atas.

   "Ah, di atas terjadi pertempuran besar!"

   Kata Hui Cu ketika mereka semua terkejut mendengar kegaduhan itu.

   "Kota ini telah dikepung oleh pasukan besar pemerintah dan mungkin sekali kini telah terjadi pertempuran,"

   Kata Ci Kang.

   "Bagus!"

   Cia Kong Liang bangkit berdiri dan mengambil pedang yang tadinya dilemparkan ke atas lantai.

   "Inilah kesempatan baik begiku untuk menebus dosa. Aku harus keluar membantu pasukan pemerintah dan menyerang para pemberontak laknat itu!"

   "Akan tetapi kita harus bertindak hati-hati, locianpwe. Sebelum benteng ini bobol, kita bertiga saja mana mungkin dapat menghadapi pasukan besar,"

   Ci Kang membantah.

   "Tentu saja kita harus melihat keadaan,"

   Kata Cia Kong Liang yang sudah bangkit kembali semangatnya.

   "Mari kita keluar, kita melakukan pembakaran-pembakaran dan pengrusakan-pengrusakan untuk menimbulkan kekacauan dari dalam."

   Cia Sun memandang kagum. Ketua Cin-Ling-Pai ini memang gagah perkasa dan penuh semangat, sayang sekali tadinya agak ceroboh sehingga mudah tertipu.

   "Memang sebaiknya kalau kita keluar melakukan penyelidikan dari pada menduga-duga di tempat ini dan tidak berbuat apa-apa."

   "Harap kalian jangan pergi meninggalkan aku lagi!"

   Kata Hui Cu.

   "Atau kalau kalian terpaksa pergi juga, aku akan ikut!"

   "Hui Cu, kami keluar untuk melawan anak buah orang tuamu, sebaiknya engkau tinggal saja di sini menunggu kedatangan ibumu. Tak mungkin engkau melawan ayahmu sendiri,"

   Kata Ci Kang. Mendengar ini, wajah yang cantik dan agak pucat itu menjadi murung dan gadis itu hampir menangis, kini memandang kepada Cia Sun dengan sinar mata penuh permohonan. Cia Sun merasa kasihan dan memegang tangan gadis itu.

   "Hui Cu, kami terpaksa meninggalkanmu di sini. Tinggallah kau di sini. Kalau engkau ikut dan terlihat oleh ayahmu, tentu engkau terancam bahaya besar dan kami sudah berjanji kepada ibumu untuk menjagamu. Tinggallah di sini dan aku berjanji bahwa kalau pertempuran sudah selesai, aku pasti menjemputmu di sini."

   Akhirnya Hui Cu tidak membantah lagi, akan tetapi tidak lama setelah tiga orang itu keluar, Hui Cu tidak tahan untuk berada di tempat itu seorang diri saja dan iapun segera menyelinap keluar.

   Hati Sui Cin girang sekali bahwa ia telah berhasil mengantar Hui Song, Siang Wi dan para murid Cin-Ling-Pai keluar dari dalam benteng Cengtek dengan selamat. Ia berpisah dari mereka dan kembali ke Cengtek untuk membantu pasukan suku bangsa, yang dipimpin Yelu Kim menyerbu Cengtek. Ia bergerak di antara para perajurit dan mencari gurunya. Pasukan para suku bangsa utara itu telah memperoleh kemajuan, telah menyerbu ke dalam dan kini terjadi pertempuran-pertempuran sengit di sebelah dalam kota benteng Cengtek di mana pihak penyerbu mulai mendesak pasukan pemberontak yang bertahan. Akhirnya Sui Cin menemukan gurunya, nenek Yelu Kim sedang memimpin pasukan pengawal di depan sebuah gedung.

   Yelu Kim juga girang melihat muridnya. Tadi ia sudah merasa khawatir karena belum juga melihat gadis itu yang bertugas sebagai penyelundup untuk mengacau sebelah dalam benteng musuh. Tiba-tiba dari dalam gedung itu bermunculan serombongan orang yang langsung menyerbu pasukan pengawal Yelu Kim. Ada tiga belas orang yang menerjang itu dan ternyata mereka semua memiliki gerakan yang cepat dan kuat, tanda bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki ilmu silat tinggi. Beberapa orand perajurit pengawal Yelu Kim sudah roboh dalam segebrakan saja. Ketika Sui Cin memandang, ternyata mereka itu adalah datuk-datuk sesat yang diperbantukan di Cengtek oleh Raja Iblis. Tiga belas orang itu dipimpin oleh Koai-pian Hek-mo, Hwa Hwa Kuibo dan Tho-tee-kwi, tiga orang dari Cap-sha-kui yang lihai!

   "Hati-hati, subo, tiga orang itu adalah orang-orang Cap-sha-kui yang lihai!"

   Katanya memperingatkan gurunya dan ia sendiri sudah menerjang maju dengan cepatnya. Gerakannya yang lincah ini disambut oleh Koai-pian Hek-mo dan Hwa Hwa Kuibo. Koai-pian Hek-mo sudah menggerakkan pecut bajanya yang panjang dilecutkan ke arah kepala Sui Cin, sedangkan Hwa Hwa Kuibo juga sudah menyambut dengan tusukan pedang.

   "Wuuuuttt..."

   Secara luar biasa sekali tubuh Sui Cin yang masih melayang di udara itu menukik dan mengelak bagaikan seekor burung walet saja gesitnya dan serangan dua orang itu luput. Kini Sui Cin sudah turun dan berhadapan dengan mereka sambil tersenyum-senyum ia bertolak pinggang. Ia mentertawakan dua orang musuh besarnya ini dan teringat betapa kurang lebih empat tahun lalu ia pernah bertanding menghadapi dua orang tokoh Cap-sha-kui ini.

   "Hihik, kiranya dua orang tua bangka Cap-sha-kui yang sudah bosan hidup! Beberapa tahun yang lalupun kalian tidak menang melawanku, apalagi sekarang. Kalian sudah menjadi semakin tua, sedangkan kepandaianku semakin maju!"

   Tadinya dua orang tokoh Cap-sha-kui itu tidak mengenal Sui Cin, akan tetapi setelah gadis itu bicara dan tertawa, mereka teringat dan keduanya merasa kaget dan marah sekali. Sepasang mata di balik kedok hitam dari Hwa Hwa Kuibo itu mengeluarkan sinar berapi dan mulutnya yang lebar dengan gigi besar-besar putih itu terbuka.

   "Kiranya engkau bocah setan! Sekarang aku tidak akan mengampuni kamu lagi!"

   Dan secepat kilat tangan kirinya bergerak dan dua sinar hitam menyambar ke arah tubuh Sui Cin. Gadis ini sudah maklum bahwa nenek ini pandai menggunakan Jarum-jarum beracun sebagai senjata rahasia, maka ia sudah siap siaga dan sekali ia mengebutkan tangan kirinya,

   Ada angin menyambar kuat sekali dan Jarum-jarum itu runtuh, bahkan ada sebagian yang menyambar kembali ke arah muka berkedok itu! Hwa Hwa Kuibo terkejut, mengeluarkan teriakan dan mengelak, lalu pedangnya bergerak melakukan serangan ganas. Gerakannya ini diikuti pula oleh menyambarnya paku di ujung pecut baja di tangan Koai-pian Hek-mo. Dua orang tokoh muara Sungai Huangho ini lalu mengamuk dengan buasnya mengeroyok Sui Cin. Akan tetapi, gadis ini mengeluarkan suara ketawa mengejek dan tubuhnya sudah berkelebatan di antara gulungan sinar senjata lawan, dengan enaknya ia mempermainkan dan semua sambaran senjata lawan selalu luput, sebaliknva iapun membagi-bagi tamparan dan tendangan yang tidak kalah dahsyatnya, bahkan yang membuat dua orang itu gentar dan terdesak mundur.

   Tho-tee-kwi (Setan Bumi), kakek raksasa yang menyeramkan itu, yang memiliki kebiasaan mengerikan, yakni makan daging anak-anak manusia, seorang tokoh Cap-sha-kui yang memiliki kepandaian jauh lebih tinggi dari pada Koai-pian Hek-mo dan Hwa Hwa Kuibo, kini ditandingi oleh Yelu Kim yang dibantu oleh perwira-perwira pengawal yang lihai pula. Adapun para datuk lain dikeroyok oleh pasukan pengawal. Terjadilah pertempuran yang seru dan mati-matian. Akan tetapi karena pihak pasukan pengawal jauh lebih banyak jumlahnya, kini para datuk itu segera terdesak hebat. Sui Cin tadinya ingin mempermainkan dua orang musuh lama itu, sesuai dengan wataknya yang memang nakal. Akan tetapi iapun tahu betapa lihainya Tho-tee-kwi dan ia harus dapat cepat membantu gurunya menghadapi kakek raksasa itu. Maka iapun mempercepat gerakannya.

   "Singggg..."

   Tiba-tiba Hwa Hwa Kuibo yang licik itu menyerangnya dengan merendahkan diri dan pedang itu membabat ke arah kedua kaki Sui Cin. Serangan ini berbahaya sekali karena pada saat itu Sui Cin sedang menghadapi serangan paku di ujung cambuk Koai-pian Hek-mo yang menyambar ke arah matanya.

   "Tingggg..."

   Sui Cin menggunakan jari tangannya menyentil ke arah paku sehingga paku di ujung cambuk itu mencelat dan membalik, menyambar ke arah muka pemiliknya sedangkan tubuh gadis itu meloncat ke atas untuk menghindarkan babatan pedang nenek Hwa Hwa Kuibo. Gerakannya cepat dan kuat. Koai-pian Hek-mo terkejut melihat pakunya membalik dan menyambar ke arah mukanya.

   Akan tetapi sekali menggerakkan gagang cambuk, paku itu berhenti menyambar dan kini cambuknya yang panjang ia gerakkan ke arah tubuh Sui Cin yang masih meloncat ke atas ketika menghindarkan babatan pedang tadi. Sui Cin mengulur tangan menangkap ujung cambuk! Gerakan ini terlalu berani akan tetapi gadis itu telah membuat perhitungan yang matang. Ketika jari tangannya berhasil menangkap paku di ujung cambuk, secepat kilat ia meminjam tenaga gerakan cambuk, melontarkan paku itu ke arah Hwa Hwa Kuibo. Paku di ujung cambuk itu meluncur bersama cambuk panjang itu ke arah kepala Hwa Hwa Kuibo. Nenek ini sama sekali tidak pernah menyangka dan tahu-tahu ujung cambuk kawannya sendiri telah melayang ke arah kepalanya. Ia tidak keburu mengelak lagi.

   "Cappp... Aiiiiiihhh..."

   Nenek itu menjerit, paku menancap batok kepalanya dan melihat ini, Koai-pian Hek-mo terkejut setengah mati. Ditariknya cambuknya dan paku itu tercabut keluar, diikuti muncratnya darah dari kepala nenek itu.

   Dengan mata mendelik yang memandang dari belakang kedoknya, Hwa Hwa Kuibo menubruk ke depan dan tahu-tahu pedangnya telah menembus dada Koai-pian Hek-mo! Dasar orang sesat, karena paku di ujung cambuk temannya mengenai kepalanya, Hwa Hwa Kuibo sudah menjadi marah kepada temannya sendiri dan menyerangnya dengan tiba-tiba. Koai-pian Hek-mo berteriak dan terjengkang roboh, darah muncrat dari dadanya. Hwa Hwa Kuibo tertawa bergelak akan tetapi lalu terjengkang juga dan berkelojotan, tewas dalam waktu hampir berbareng dengan temannya. Sui Cin sudah tidak memperdulikan mereka lagi, langsung saja ia terjun ke dalam pertempuran membantu nenek Yelu Kim yang dibantu oleh beberapa orang perwira pengawal mengepung Tho-tee-kwi yang lihai. Majunya Sui Cin membawa perubahan.

   Kalau tadinya Tho-tee-kwi masih nampak gagah perkasa dan agaknya sukar bagi Yelu Kim untuk dapat merobohkan raksasa ini walaupun ia dibantu oleh para perwira pasukan pengawal, kini setelah Sui Cin maju dan menghujankan pukulan dan tamparan ampuh kepada Tho-tee-kwi, kakek itu terdesak hebat! Bahkan sebuah tamparan yang amat kuat dari tangan kiri Sui Cin mengenai pundak kakek itu yang membuatnya terhuyung ke belakang. Kesempatan ini dipergunakan oleh Yelu Kim untuk menggerakkan kebutannya yang berwarna putih. Ujung kebutan menjadi kaku dan menotok ke arah tiga jalan darah di tubuh kakek raksasa. Tho-tee-kwi sempat menangkis dua totokan, akan tetapi totokan ketiga mengenai tengkuknya dan tubuhnya seketika menjadi kejang. Saat ini kekebalannyapun lenyap dan ketika dua orang perwira pengawal menusukkan pedangnya,

   Pedang itu amblas dan memasuki lambung dan dadanya. Padahal tadi, sebelum terkena totokan, pedang para perwira itu tidak mampu menembus kekebalan kulitnya! Robohnya Tho-tee-kwi berarti berakhirnya perlawanan gigih para datuk sesat. Tiga orang Cap-sha-kui yang menjadi pimpinan mereka itu telah roboh dan tewas, tentu saja semangat mereka menjadi kecil dan dengan mudah merekapun dapat dirobohkan. Habislah tiga belas orang datuk sesat itu, semua tewas di tangan rombongan Yelu Kim walaupun pihak Yelu Kim juga menderita kematian belasan orang pasukan pengawal. Setelah bertempur semalam suntuk, Cengtek jatuh ke tangan pasukan Yelu Kim. Akan tetapi, kini datanglah balabantuan dari Sanhaikoan, yaitu pasukan pemberontak sehingga kembali terjadi pertempuran yang lebih sengit lagi.

   Akan tetapi kini pihak Yelu Kim yang mempertahankan benteng Cengtek, sedangkan pihak pasukan pemberontak yang menjadi penyerang dari luar. Hebat bukan main pertempuran ini. Pihak pasukan Yelu Kim sudah lelah setelah mengerahkan tenaga merebut benteng Cengtek, sedangkan pasukan pemberontak dari Sanhaikoan masih segar dan jumlah merekapun lebih banyak. Akan tetapi, dengan pandainya Yelu Kim dapat menyusun kekuatan dan benteng Cengtek yang pintupintunya rusak telah diperbaiki. Kini benteng itu menjadi kokoh kuat sehingga tidak mudah bagi pasukan pemberontak untuk merebut kembali benteng itu. Sampai lima hari lamanya pasukan pemberontak mengepung Cengtek dan setiap hari terjadi penyerbuan, namun tetap saja benteng itu dapat dipertahankan oleh pasukan Yelu Kim. Bagaimanapun juga, nenek itu mulai merasa gelisah.

   Kalau pengepungan itu dilanjutkan, paling lama sebulan saja pasukannya akan kehabisan ransum dan ini berarti mereka akan menderita kekalahan dan terpaksa melepaskan kembali Cengtek yang telah mereka kuasai. Bagaimanapun juga, nenek itu mengambil keputusan untuk mempertahankan Cengtek sampai kekuatan terakhir, karena sekali mereka meninggalkan benteng itu, akan sukarlah bagi mereka untuk memperoleh benteng baru di mana mereka akan dapat menyusun kekuatan untuk melakukan penyerangan ke selatan. Sui Cin masih tinggal di Cengtek mendampingi gurunya. Gadis ini sudah bertekad membantu pasukan Yelu Kim selama pasukan ini bertempur melawan pasukan pemberontak dan iapun ikut prihatin melihat betapa pasukan gurunya terkurung di Cengtek dan benteng itu sudah dikepung oleh pasukan pemberontak yang besar jumlahnya.

   Sementara itu, pertempuran di Sanhaikoan juga terjadi dengan amat serunya. Sisa pasukan pemberontak yang berada di Sanhaikoan terkejut bukan main melihat betapa tiba-tiba saja pasukan pemerintah yang berjumlah besar sekali telah mengepung Sanhaikoan. Mereka dipimpin oleh Ji-ciangkun dan para pembantunya melawan dengan gigih dan mempertahankan benteng Sanhaikoan mati-matian. Juga para pembantu Raja Iblis, yaitu datuk-datuk sesat dan tokoh-tokoh dunia hitam, membantu pasukan pemberontak mempertahankan benteng itu. Akan tetapi, pasukan pemerintah jauh lebih kuat dan pasukan inipun dibantu oleh para pendekar yang kini membalas dendam kepada pasukan pemberontak, maka dalam waktu sehari semalam saja benteng itupun bobol dan pertempuran terjadi dengan serunya di dalam kota Sanhaikoan.

   Cia Sun dan Ci Kang kini mengikuti Cia Kong Liang yang memimpin mereka untuk menggempur para pemberontak dari dalam. Mereka bertiga mengamuk sampai mereka dapat bertemu dengan para pendekar yang membantu pemerintah. Melihat betapa ketua Cin-Ling-Pai kini membantu pasukan pemerintah menggempur pemberontak, para pendekar menjadi girang dan mereka menganggap bahwa berita tentang Cin-Ling-Pai yang bersekutu dengan pemberontak ternyata tidak benar, atau mungkin juga ketua Cin-Ling-Pai menggunakan siasat pura-pura bersekutu dengan pemberontak untuk dapat menggempur dari sebelah dalam! Setelah para pemberontak akhirnya tidak mampu melawan lagi, sebagian besar tewas, sebagian melarikan diri dan sebagian pula menakluk,

   Ci Kang dan Cia Sun cepat kembali ke tempat rahasia di mana Hui Cu tadi mereka tinggalkan. Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget dan gelisah hati mereka ketika mereka tidak lagi melihat gadis itu di tempat itu. Hui Cu telah hilang dan mereka berdua tidak tahu apakah gadis itu pergi sendiri dari situ ataukah dilarikan orang. Juga dalam penyerbuan itu, walaupun mereka semua sudah mencari-cari bersama para pendekar lain, tidak ditemukan jejak Raja dan Ratu Iblis bersama Hui-thian Sukwi dan beberapa orang datuk sesat lain. Juga Gui Siang Hwa dan Sim Thian Bu tidak dapat mereka temukan. Hanya Ji-ciangkun yang akhirnya dapat tertawan hidup-hidup dalam keadaan luka-luka dan panglima pemberontak inipun tidak dapat menjawab ke mana larinya Raja Iblis dan kaki tangannya itu.

   Tentu saja para pendekar merasa menyesal sekali. Mereka tadinya sudah siap-siap untuk mengeroyok dan membasmi para datuk sesat. Kiranya tokoh-tokoh terpenting mereka dapat melarikan diri. Setelah Sanhaikoan jatuh tanpa mengerahkan terlalu banyak tenaga bagi pasukan pemerintah, Yang-ciangkun lalu mengerahkan pasukan untuk menuju ke Cengtek. Seperti yang telah diperhitungkannya, pasukan-pasukan pemberontak sedang mengepung Cengtek dan menghamburkan banyak tenaga untuk mencoba membobolkan benteng Cengtek yang sudah diduduki puukan Yelu Kim. Dan selagi kedua pihak itu kelelahan, muncullah pasukan pemerintah dari Sanhaikoan yang keadaannya masih segar dan dalam jumlah yang besar, dibantu pula oleh para pendekar yang penuh semangat.

   Tentu saja pasukan pemberontak yang sedang mengepung Cengtek menjadi terkejut dan panik ketika tiba-tiba mereka diserang oleh pasukan pemerintah dari belakang. Apalagi setelah mereka mendengar berita bahwa benteng pertama mereka, Sanhaikoan, telah direbut kembali oleh pasukan pemerintah. Berarti mereka telah kehilangan kedua benteng itu. Cengtek direbut oleh pasukan suku bangsa utara dan Sanhaikoan dirampas oleh pasukan pemerintah. Pasukan pemberontak mencoba untuk melakuken perlawanan, akan tetapi mereka dihimpit dari depan dan belakang dan dalam waktu sehari saja merekapun hancur lebur dan cerai berai, sebagian besar melarikan diri atau menakluk.

   Dan terjadilah perubahan pula di Cengtek. Pasukan Yelu Kim masih tetap mempertahankan kota itu dan kini yang mengepung kota itu adalah pasukan pemerintah yang jauh lebih kuat lagi dibandingkan pasukan pemberontak tadi. Yang-ciangkun adalah seorang panglima yang pandai dan bijaksana. Biarpun dia sudah mendengar bahwa Yelu Kim memimpin para kepala suku bangsa utara untuk bergerak, pertama-tama menduduki benteng Cengtek untuk kemudian menyerbu ke selatan untuk menegakkan kembali kekuasaan bangsa utara di selatan, namun dia menganggap bahwa Yelu Kim telah berjasa bagi pemerintah dalam menghadapi para pemberontak.

   Dia tahu bahwa tidak ada untungnya menanam bibit permusuhan dengan suku-suku bangsa liar yang kalau sudah bersatu akan menjadi amat kuat itu. Lebih baik mengambil jalan damai dengan mereka, baru kalau tidak ada jalan lain, terpaksa harus dipergunakan kekerasan. Oleh karena itu, Yang-ciangkun lalu menyuruh para pembantunya untuk menyuruh penyiar yang suaranya keras untuk menyampaikan pesan dan usulnya kepada pimpinan pasukan para suku bangsa utara. Beberapa orang yang memiliki suara nyaring dan memang bertugas untuk itu, maju ke depan dengan corong-corong di depan mulut mereka dan terdengarlah teriakan-teriakan mereka bergema dengan amat kuatnya.

   "Para pimpinan suku bangsa yang gagah, dengarlah baik-baik pesan Yang-ciangkun! Kami tidak menganggap kalian sebagai musuh, melainkan sebagai sahabat yang telah membantu kami membasmi para pemberontak. Oleh karena itu, kami harap agar suka menyerahkan benteng Cengtek kembali kepada kami agar persahabatan di antara kita tidak terganggu!"

   Berkali-kali kalimat-kalimat itu diteriakkan oleh para penyiar sehingga terdengar oleh mereka yang berjaga di pintu gerbang atau di atas tembok benteng dan tentu saja segera disampaikan kepada Yelu Kim. Nenek itu berada di atas menara yang menjadi pusat di mana ia memimpin para kepala suku bangsa dan pasukan mereka. Nenek ini merasa bimbang sekali dan ia duduk berdua saja dengan Sui Cin. Ketika menerima laporan tentang usul yang diteriakkan oleh Yang-ciangkun, nenek itu mengepal tinju dan mukanya menjadi merah sekali. Ia merasa penasaran, akan tetapi juga ragu-ragu.

   "Keparat! Dengan susah payah kita merebut kota ini, dengan pengorbanan ribuan jiwa pasukan, dengan cucuran keringat dan darah. Dan sekarang hendak diminta begitu saja? Mana mungkin aku dapat memberikan kepada mereka?"

   Sui Cin sejak tadi memandang wajah nenek itu. Ia merasa kagum terhadap nenek ini yang dengan gagah dan pandainya memimpin pasukan utara itu sehingga berhasil menduduki Cengtek. Akan tetapi iapun tahu bahwa kini, setelah pasukan pernerintah datang dan berhadapan dengan pasukan Yelu Kim, ia sendiri tidak mungkin membantu nenek yang menjadi penolong dan gurunya ini. Maka, mendengar usul yang diajukan oleh Yang-ciangkun, Sui Cin melihat suatu cara yang baik untuk turun tangan, yaitu membujuk nenek ini agar suka menerima uluran tangan Yang-ciangkun.

   "Subo..."

   Katanya lirih dan hati-hati.

   "Hemm...?"

   Nenek yang sedang tenggelam dalam lamunannya sendiri itu agak kaget dan memandang muridnya.

   "Subo tentu percaya kepadaku, bukan?"

   "Percaya apa?"

   "Percaya bahwa aku selalu beriktikad baik terhadap subo dan pasukan yang subo pimpin."

   Nenek itu memperlebar matanya dan memandang tajam.

   "Tentu saja. Sudah banyak yang kau lakukan untukku, Sui Cin, dan untuk itu aku berterima kasih sekali. Kalau aku tidak percaya padamu, tentu engkau tidak kuberi tugas yang panting-penting selama ini."

   "Terima kasih! Aku suka menjadi murid dan pembantu subo, bukan hanya karena terikat perjanjian, bukan pula hanya karena aku sudah menerima budi pertolongan subo, melainkan karena aku merasa suka kepada subo yang gagah perkasa dan bijaksana, juga aku suka melihat pasukan suku bangsa utara yang demikian gagah berani. Nah, karena rasa suka saya itulah maka aku hendak mengemukakan pendapatku tentang penawaran Yang-ciangkun kepada subo, akan tetapi kuharap subo tidak akan merasa tersinggung dan menjadi marah."

   Nenek itu tersenyum dan memandang lembut.

   "Muridku, apa kau kira aku belum mengenalmu dan tidak tahu akan isi hatimu? Engkau membantuku karena melihat aku menentang para pemberontak. Engkau seorang gadis pendekar dan tentu engkau menentang para kaum sesat yang menunggangi pasukan pemberontak. Kalau kami berhadapan dengan pasukan pemerintah, jelas bahwa engkau tidak akan membantu kami walaupun aku percaya engkau tidak akan tega untuk mengkhianatiku. Bukankah demikian?"

   Sui Cin terkejut dan memandang nenek itu dengan kagum. Sungguh seorang wanita tua yang cerdik dan bijaksana. Pantaslah kalau menjadi keturunan Yelu Cetai yang amat terkenal di jaman awal pemerintah Mongol itu.

   "Sungguh tepat sekali wawasan subo."

   "Nah, sekarang katakanlah apa yang menjadi pendapatmu mengenai keadaan kita sekarang ini."

   "Begini, subo. Cengtek telah dikepung oleh pasukan pemerintah yang amat besar jumlahnya. Tanpa diserang sekalipun, baru dikepung saja sampai sebulan lebih, kita akan kehabisan ransum dan akan celaka. Andaikata kita melawanpun, tidak mungkin dapat menang. Aku yakin subo tidak akan sebodoh itu, membiarkan pasukan hancur lebur hanya untuk mempertahankan sebuah benteng kecil seperti Cengtek ini. Kalau menurut pendapatku, jauh lebih menguntungkan untuk menerima usul Yang-ciangkun, menyerahkan kembali benteng ini dalam suasana damai dan bersahabat dari pada mempertahankannya dengan kekerasan untuk akhirnya melihat pasukan subo dihancurkan."

   "Pendapatmu memang tepat dan cocok sekali dengan apa yang kupikirkan, muridku. Akan tetapi, pantaskah kalau aku memberikan kota ini begitu saja sehingga semua pengorbanan yang telah kita lakukan itu, kematian ribuan orang saudara itu, menjadi sia-sia dan tanpa guna sama sekali bagi bangsa kami?"

   "Subo, Yang-ciangkun mengulurkan tangan sebagai sahabat. Seorang sahabat yang baik tentu tidak hanya pandai minta saja, akan tetapi juga pandai pula memberi. Minta dan memberi merupakan syarat persahabatan yang baik. Kalau subo menyerahkan kota ini dengan damai, tentu subo dapat pula mengajukan permintaan-permintaan yang kiranya berguna bagi bangsa-bangsa di utara sehingga pengorbanan itu tidak sia-sia belaka melainkan ada pula hasilnya, bukan?"

   "Aih, benar sekali, Sui Cin!"

   Nenek itu bangkit dan merangkul muridnya.

   "Mengapa aku tidak berpikir sampai ke situ? Engkau benar sekali. Aku akan menyusun permintaan-permintaan itu dan aku tahu siapa yang akan menjadi utusan dan wakilku. Engkau lah orangnya yang akan menyampaikan permintaan dan usul kami itu kepada Yang-ciangkun!"

   Sui Cin gembira sekali.

   
Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Aku bersedia, subo!"

   Nenek itu lalu memerintahkan pembantunya untuk menjawab teriakan-teriakan dari bawah itu, menyatakan bahwa jawabannya akan dikirim besok pagi-pagi setelah matahari terbit. Setelah jawaban diteriakkan ke bawah, tidak terdengar lagi teriakan-teriakan dari bawah dan keadaan menjadi sunyi.

   Yang mengepung kota tinggal diam saja dan tidak melakukan gerakan apa-apa, malam itu membuat api unggun, sedangkan yang melakukan penjagaan di pintu gerbang dan atas tembok benteng juga nampak tenangtenang saja. Bahkan kedua pihak begitu percaya satu sama lain sehingga para pemimpinnya dapat tidur nyenyak pada malam hari itu. Pada keesokan harinya, setelah matahari terbit, Sui Cin menerima gulungan kertas berisi permintaanpermintaan atau usul-usul dari Yelu Kim yang ditujukan kepada pemerintah Bengtiauw melalui Yang-ciangkun yang tentu saja berwenang memutuskan peraturan di perbatasan utara karena di perbatasan, yang berlaku adalah peraturan-peraturan militer. Akan tetapi gadis itu tidak keluar sendirian, melainkan diantar sampai keluar pintu gerbang oleh Yelu Kim sendiri.

   Hal ini selain untuk memperlihatkan niat baik Yelu Kim, juga nenek ini merasa khawatir kalau-kalau ada di antara para kepala suku bangsa yang tidak setuju dan hendak mengganggu muridnya. Untuk keperluan menyampaikan surat itu, Sui Cin menunggang seekor kuda putih yang telah dipersiapkan oleh penjaga di pintu gerbang. Pintu gerbang dibuka dan dengan diantar oleh Yelu Kim sampai keluar pintu gerbang, Sui Cin menuntun kuda putih dan setelah berpamit kepada gurunya, gadis itu lalu meloncat ke atas kudanya sambil membawa gulungan kertas itu. Tiba-tiba nampak berkelebat dua bayangan orang yang menghadang kuda yang ditunggangi Sui Cin. Gadis ini terkejut sekali, apalagi setelah mengenal bahwa dua orang itu bukan lain adalah Raja dan Ratu Iblis sendiri! Gadis itu berpikir cepat. Tentu kemunculan dua iblis ini ada huburgannya dengan surat yang dibawanya.

   "Kalian mau apa?"

   Bentaknya marah.

   "Menyerahlah dengan baik!"

   Kata Ratu Iblis.

   "Huh, kalian kira aku takut? Sampai mati aku tidak sudi menyerah!"

   Dan tiba-tiba Sui Cin membalapkan kudanya. Akan tetapi ia tidak mudah lolos begitu saja. Tangan Raja Iblis bergerak dan hawa pukulan yang amat kuat membuat kuda yang ditungganginya terpelanting ke kiri! Untung Sui Cin masih memiliki ketenangan sehingga dengan ginkangnya yang tinggi, ia dapat melompat dan tidak ikut terbanting. Kuda itu terbanting akan tetapi tidak terluka, hanya terkejut saja dan meringkik ketakutan. Sementara itu, nenek Yelu Kim yang juga melihat munculnya dua bayangan itu, tidak masuk kembali ke dalam pintu gerbang, melainkan cepat lari menghampiri tempat itu yang tidak begitu jauh dari tempat ia berdiri.

   "Sui Cin, suratnya..."

   Nenek ini berseru. Sui Cin maklum apa yang dikehendaki gurunya, cepat gulungan kertas itu ia lemparkan ke arah nenek yang cepat menyambarnya. Nenek itu langsung meloncat ke atas punggung kuda yang ketakutan dan ia membalapkan kuda itu untuk menggantikan Sui Cin menghadap Yang-ciangkun menyerahkan sendiri surat tuntutan atau permintaan bangsanya itu.

   Akan ketapi kembali Raja Iblis menggerakkan tangannya dan sekali ini bukan untuk melakukan
(Lanjut ke Jilid 36)
Asmara Berdarah (Seri ke 08 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 36
pukulan jarak jauh seperti yang dilakukan terhadap kuda tadi, melainkan ada benda bersinar putih meluncur dari tangan itu menuju ke arah tubuh Yelu Kim yang sedang melarikan kuda. Benda itu berputar-putar cepat seperti hidup dan tahu-tahu sudah hinggap di atas punggung Yelu Kim. Nenek ini merasa betapa punggungnya panas dan perih sekali. Ia cepat mencengkeram ke arah benda di punggungnya itu dan menariknya dari punggung. Ketika dilihatnya, ternyata itu adalah sebuah tengkorak kecil, agaknya tengkorak seorang anak kecil. Nenek ini terkejut dan membanting tengkorak itu ke atas tanah.

   Tengkorak pecah berantakan dan dari dalamnya keluar asap hitam! Nenek itu merasa betapa rasa panas menjalar cepat ke seluruh tubuh dan tahulah ia bahwa ia terkena senjata beracun yang amat ampuh. Akan tetapi ia terus saja membalapkan kuda ke depan, ke arah perkemahan pasukan pemerintah yang mengepung kota Cengtek dari jarak antara dua tiga li jauhnya. Ia menahan rasa nyeri yang menyengat-nyengat tubuhnya, terus melarikan kuda putihnya yang kabur karena sudah ketakutan. Nenek itu berhasil mencapai perkemahan dan terpelanting dari atas kudanya sambil masih mencengkeram gulungan kertas. Para prajurit yang menyaksikan peristiwa itu cepat mengangkutnya ke dalam kemah besar, ke hadapan Yang-ciangkun. Panglima ini cepat menerima gulungan kertas dan nenek Yelu Kim hanya sempat mengeluarkan kata-kata begini,

   "Taiciangkun... demi kejujuran seorang pemimpin, kota Cengtek kuserahkan akan tetapi penuhilah permintaan-permintaan kami yang pantas ini..."

   Dan nenek yang gagah perkasa inipun menghembuskan napas terakhir di depan Yang-ciangkun. Berita tentang kegagahan nenek Yelu Kim ini tersiar luas dan sampai puluhan tahun mendatangkan namanya menjadi kebanggaan suku bangsa di timur dan dikagumi pula para pendekar selatan. Tuntutannya adalah pembebasan pajak bagi suku bangsa utara yang membawa barang dagangan keluar masuk perbatasan dan hal ini disetujui oleh Yang-ciangkun sehingga keadaan para pedagang suku bangsa utara menjadi jauh lebih baik. Sementara itu, Sui Cin dengan nekat melakukan perlawanan. Melihat betapa nenek Yelu Kim berhasil lari walaupun agaknya terluka, gadis ini menjadi marah.

   "Kalian ini iblis-iblis busuk!"

   Bentaknya dan iapun sudah menerjang mereka dengan tangan kosong, menggunakan ilmu pukulannya yang ampuh sambil mengerahkan tenaga sinkangnya. Akan tetapi, yang diserangnya adalah Raja Iblis yang luar biasa tangguhnya. Setiap kali kakek bermuka pucat kehijauan itu menangkis, Sui Cin merasa betapa lengannya nyeri dan tergetar hebat. Akan tetapi ia tidak takut dan menyerang terus sehingga kakek itu menjadi marah. Bagaimanapun juga, tingkat kepandaian Sui Cin tidak dapat dibilang rendah dan sampai belasan kali tubrukan balasan Raja Iblis tidak mampu menangkap Sui Cin yang lincah dan menggunakan ginkangnya untuk mengelak ke sana-sini itu.

   Sui Cin tidak membiarkan dirinya ditangkap, bahkan membalas dan ketika ia mengelak dari cengkeraman kedua tangan Raja Iblis, tiba-tiba ia membalik dan dengan kedua tangannya yang terbuka telapak tangannya, ia melakukan pukulan yang dilakukan dengan mengerahkan seluruh tenaga sinkangnya. Angin dahsyat menyambar ke arah Raja Iblis yang diam-diam merasa kagum juga kepada gadis yang pernah membikin ia penasaran dan repot ketika Sui Cin dahulu merampas Tongkat Suci dari tangannya. Kini, kembali dia tidak mampu menangkap gadis ini dalam waktu singkat. Raja Iblis merasa penasaran sekali. Dia dan isterinya telah gagal dalam pemberontakan membonceng pasukan Ji-ciangkun dan kedua kota benteng telah jatuh ke tangan pemerintah.

   Melihat betapa pasukan pemerintah berhadapan dengan pasukan liar dari utara, dia masih mempunyai harapan agar kedua pihak berperang sehingga keduanya lemah. Akan tetapi ternyata Yelu Kim menerima tawaran dan uluran tangan Yang-ciangkun untuk berdamai. Oleh karena itu, dia lalu keluar bersama isterinya untuk menggagalkan ini, merampas surat dan juga menawan Sui Cin untuk dijadikan sandera. Akan tetapi, terayata nenek Yelu Kim berhasil melarikan surat, dan mengorbankan nyawa sendiri dan kini tinggal gadis itu yang juga tidak mudah ditangkap! Melihat betapa gadis itu malah menyerangnya dengan dahsyat, kakek seperti setan itu mengeluarkan suara mencicit seperti burung dari dalam mulutnya dan diapun mengulur kedua tangan ke depan menyambut pukulan Sui Cin.

   "Plakk!"

   Dua pasang telapak tangan itu bertemu dan Raja Iblis merasa betapa tubuhnya tergetar! Semakin kagumlah dia, akan tetapi sebaliknya Sui Cin merasa betapa telapak kedua tangannya melekat pada telapak tangan Raja Iblis. Dia berusaha menarik kedua tangannya akan tetapi merasa betapa ada tenaga menyedot dari kedua telapak tangan iblis itu yang membuat kedua tangannya melekat. Dan pada saat itu, Ratu Iblis sudah bergerak menotok punggungnya. Sui Cin tidak mampu mengelak dan iapun roboh dengan lemas lalu dipanggul oleh Ratu Iblis. Pada saat itu, serombongan perajurit Yelu Kim sudah menghampiri tempat itu dan mengurung dengan senjata ditodongkan. Akan tetapi nenek Ratu Iblis membentak mereka,

   "Majulah dan nona ini akan kubunuh dulu, baru kalian!"

   Melihat betapa Sui Cin yang mereka kenal sebagai pembantu dan murid nenek Yelu Kim sudah tertawan, dan mendengar ancaman Ratu Iblis, pasukan itu tidak berani menyerang dan terpaksa membiarkan saja kakek dan nenek itu berlari cepat sekali meninggalkan tempat itu sambil membawa tubuh Sui Cin yang sudah tidak mampu bergerak. Sementara itu, Cia Sun dan Ci Kang yang bersama Cia Kong Liang sudah bergabung dengan para pendekar dan ikut pula membantu pasukan pemerintah yang mengurung Cengtek, melihat betapa nenek Yelu Kim tewas di tangan Raja Iblis. Dari jauh mereka melihat kakek dan nenek itu yang melarikan diri tanpa diganggu oleh pasukan suku utara. Keduanya segera berlari cepat menuju ke depan pintu gerbang Cengtek. Semua orang mengenal Ci Kang yang gagah perkasa karena Ci Kang pernah dicalonkan menjadi jagoan bahkan hampir memperoleh kemenangan kalau tidak dikalahkan oleh Sui Cin.

   "Apa yang terjadi? Kenapa kalian tidak menahan dua orang kakek dan nenek itu tadi?"

   Tanya Ci Kang.

   "Mereka menawan nona Sui Cin, kami tidak berani turun tangan."

   "Apa?"

   Cia Sun terkejut mendengar bahwa Sui Cin ditawan Raja dan Ratu Iblis.

   "Ke mana mereka lari?"

   "Ke sana..."

   Seorang perwira menunjuk ke arah sebuah bukit yang nampak gundul dari tempat itu. Tanpa banyak cakap lagi, seperti sudah berunding lebih dahulu, Siangkoan Ci Kang dan Cia Sun berlari menuju ke bukit itu, mempergunakan ilmu berlari cepat. Ketika keduanya tiba di kaki bukit itu, mereka bertemu dengan Hui Song dan sisa murid-murid Cin-Ling-Pai. Seperti kita ketahui, Hui Song dan Siang Wi bersama murid-murid Cin-Ling-Pai, berhasil dibawa keluar dari Cengtek oleh Sui Cin.

   Akan tetapi ketika mereka pergi ke Sanhaikoan untuk mencari ketua mereka, ternyata Sanhaikoan sedang dalam perang sehingga mereka tidak dapat masuk kota benteng itu. Terpaksa mereka menjauhkan diri karena mereka merasa khawatir terjadi salah paham dari pasukan pemerintah yang agaknya sudah mendengar bahwa Cin-Ling-Pai bersekutu dengan pemberontak. Barulah setelah perang berakhir, Hui Song, Siang Wi dan saudara-saudara seperguruan mereka mendengar bahwa Cia Kong Liang kini membantu pasukan pemerintah menyerang ke Cengtek, sehingga mereka merasa gembira sekali dan merekapun mengejar ke Cengtek. Biarpun hati Hui Song tetap tidak senang melihat Ci Kang, akan tetapi malihat Cia Sun dia segera bertanya,

   "Cia Sun, engkau hendak ke manakah dan bagaimana dengan keadaan di Cengtek? Apakah engkau bertemu dengan ayah?"

   Cia Sun mengangguk.

   "Kami bersama-sama dengan ayahmu dan beliau kini berada di antara pasukan yang mengepung Cengtek. Kami berdua hendak mengejar Raja dan Ratu Iblis yang telah menawan dan melarikan nona Sui Cin..."

   "Apa...?"

   Hui Song menjadi pucat wajahnya.

   "Ke mana ia dibawa lari?"

   "Ke bukit itu, dan kita akan mencarinya!"

   Kata Cia Sun dan diapun cepat mengejar Ci Kang yang agaknya tidak mau banyak cakap dan sudah lari lagi.

   "Aku ikut..."

   Kata Hui Song.

   "Sumoi, bawa saudara-saudara menemui ayah di luar Cengtek!"

   Dan diapun cepat mengerahkan tenaganya untuk mengejar Ci Kang dan Cia Sun. Mereka bertiga seperti orang berlomba lari menuju ke bukit yang nampak gundul dan hitam dari tempat itu. Bukit itu memang gundul dan kering. Setelah didekati, nampak bahwa bukit itu hanya terdiri dari padang pasir dan batu-batu karang belaka, tidak nampak sedikitpun tumbuh-tumbuhan. Dan di sebuah lereng bukit karang, mereka melihat pemandangan yang menegangkan hati dari jauh sehingga dengan sendirinya ketiganya berhenti dan memandang ke arah depan. Di sana, dalam jarak puluhan meter, nampak Sui Cin sedeng berdiri bersandar tiang dan jelas bahwa gadis itu diikat pada tiang itu.

   "Itu Sui Cin..."

   Hui Song berteriak dan dialah yang lebih dulu meloncat dan lari, diikuti oleh Cia Sun dan Ci Kang.

   "Cin-moi..."

   Hui Song berseru setelah tiba dekat.

   "Song-ko! Jangan mendekat..."

   Tiba-tiba Sui Cin berseru dan seruan ini mengejutkan tiga orang pemuda itu. Mereka berdiri memandang dengan alis berkerut dan memperhatikan keadaan. Ternyata Sui Cin terikat pada sebuah tiang baja yang terletak di tengah-tengah lingkaran segi delapan.

   Patkwa atau Segi Delapan itu terbuat dari batu dan bentuknya biasa saja, akan tetapi amat mencurigakan. Garis tengahnya kurang lebih enam meter dan jarak dari sisi segi delapan itu ke tiang di mana Sui Cin terikat, sekitar tiga meter. Tempat di mana Sui Cin diikat itu tidak dapat dijangkau dengan tangan dan untuk meghampiri atau menolongnya, orang terpaksa harus naik dan menginjak batu segi delapan yang tebalnya antara dua kaki itu. Dilihat begitu saja, tentu akan mudah melepaskan belenggu yang mengikat kedua lengan Sui Cin pada tiang di belakangnya. Akan tetapi tiga orang muda itu bukan orang sembarangan, apalagi ada cegahan Sui Cin yang membuat mereka mengerti bahwa segi delapan ini merupakan jebakan yang mengandung rahasia yang amat berbahaya apabila diinjak oleh orang yang hendak menolong gadis itu.

   "Jangan mendekat dari depan. Tadi ada seorang pendekar yang tewas karena hendak menolongku. Pasir di depan itu adalah pasir yang dapat membunuh, menyedot orang yang menginjaknya. Ah, mengerikan sekali..."

   Aku melihat orang yang hendak menolongku itu tersedot, menangis tanpa aku mampu menolongnya sampai dia lenyap ke bawah permukaan pasir..."

   Suara gadis itu tergetar hebat.

   "Raja Iblis sengaja menaruh aku di sini untuk menjebak kalian yang tentu datang mencoba untuk menolongku. Hati-hati, jangan sembarangan bergerak."

   Tentu saja tiga orang pemuda itu menjadi terkejut sekali dan bingung. Mereka berdiri agak jauh di depan Sui Cin. Kini gadis itu dapat melihat mereka semua dan wajahnya berseri gembira. Tak disangkanya bahwa tiga orang pemuda itulah yang datang hendak merolongnya, tiga orang pemuda yang begitu dekat dengan hatinya! Baru kini seperti terbuka matanya bahwa mereka itu, Cia Sun, Cia Hui Song, dan Siangkoan Ci Kang, semua mencintanya, jatuh hati kepadanya!

   Dan melihat mereka bertiga itu berdiri barjajar di depannya, hati Sui Cin yakin bahwa sesungguhnya perasaan hatinya lebih condong kepada Hui Song. Apapun kekurangan pemuda ini kalau dibandingkan dengan dua orang pemuda yang lain, tetap saja perasaan Sui Cin lebih dekat dengannya dan ia tahu bahwa Hui Song memiliki watak dan citarasa yang mirip dengannya. Hanya dengan Hui Song dia dapat bergembira, dapat bertengkar, berbaik kembali, berbantahan dan saling mengalah. Cia Sun terlalu serius, terlalu halus perasaannya sehingga tentu mudah tersinggung. Siangkoan Ci Kang mungkin yang paling gagah di antara mereka, penuh daya tarik kejantanan, akan tetapi juga pendiam dan bahkan agak dingin. Kini, dalam keadaan terancam bahaya seperti itu, memang lucu sekali, gadis ini mengambil keputusan bahwa yang dicintanya hanyalah Hui Song.

   "Cin-moi, aku harus menolongmu. Aku dapat meloncat ke atas batu dan membebaskanmu, tanpa menginjak tanah di tepi batu patkwa ini!"

   Kata Hui Song.

   "Jangan..."

   Berhati-hatilah, Song-ko, engkau akan celaka nanti. Batu patkwa ini mengandung Alat-alat rahasia yang mengerikan. Aku melihat sendiri betapa Raja dan Ratu Iblis melakukan langkah-langkah aneh ketika menginjak batu patkwa ini, dan aku yakin bahwa sekali saja salah langkah dan menginjak bagian yang ada alat rahasianya, akan terjadi Hal-hal yang mengerikan."

   "Aku tidak takut, kalau perlu aku boleh saja mati untuk menolongmu!"

   "Nanti dulu, paman Hui Song! Kalau alat rahasia itu mengakibatkan kematianmu masih baik, akan tetapi bagaimana kalau alat rahasia itu bekerja membunuh Sui Cin?"

   Kata Cia Sun dan Hui Song berubah agak pucat wajahnya karena dia teringat akan kemungkinan ini dan membayangkan kematian mengerikan bagi Sui Cin sebagai akibat perbuatannya yang gegabah!

   "Begini saja!"

   Tiba-tiba Ci Kang berkata.

   "Aku yang mencoba menghampiri nona Ceng dengan jalan di atas batu patkwa. Kalau terjadi apa-apa dengan diriku, biarlah, aku rela mati. Dan kalau terjadi sesuatu dengan nona Ceng, kalian berdua berjaga-jaga dan melindunginya."

   "Biar aku saja yang mencobanya, Ci Kang,"

   Kata Cia Sun.

   "Engkau dan paman Hui Song yang berjagajaga melindungi Cin-moi."

   "Jangan..."

   Kini Hui Song yang berteriak.

   "Apakah kalian mau mempermainkan keselamatan Cin-moi? Tidak, tidak boleh gegabah! Kita harus menyelidiki dulu keadaan batu patkwa ini dan sekelilingnya!"

   "Lalu apa yang akan kau lakukan, paman Hui Song?"

   "Kita selidiki dulu tanah di sekelilingnya patkwa ini."

   Hui Song mengambil batu-batu sebesar kepala orang. Dia melemparkan batu itu di dekat batu patkwa di depan Sui Cin dan benar saja, tiba-tiba begitu tersentuh batu, pasir di depan batu patkwa itu bergerak memutar dan batu itupun disedot dengan cepat sekali ke bawah! Hui Song mencoba lagi untuk melihat di mana batas pasir berputar itu dan ternyata sampai sejauh tiga meter di bagian itu masih berbahaya.

   Kini Cia Sun dan Ci Kang tanpa diminta membantu pemuda Cin-Ling-Pai itu. Mereka menggunakan batu untuk menyelidiki tanah di sekeliling batu untuk menyelidiki tanah di sekeliling batu patkwa. Ada bagian yang kalau diinjak atau kejatuhan batu mengeluarkan paku-paku beracun, ada pula yang mengeluarkan asap beracun sehingga tidaklah mungkin menghampiri batu patkwa dengan menginjak tanah di sekelilingnya, kecuali satu bagian saja yang ketika dijatuhi batu tidak mengakibatkan apa-apa. Bagian ini berada di sebelah kiri Sui Cin. Ketika beberapa kali mereka melempukan batu di segi itu dan tidak terjadi reaksi apa-apa seperti yang terjadi pada tujuh segi yang lain, mereka menjadi girang.

   "Bagian ini tidak mengandung perangkap!"

   Kata Hui Song.

   "Biar aku sekarang mencoba naik ke batu patkwa,"

   Kata Ci Kang sambil melangkah maju.

   "Tidak! Engkau tidak boleh mendekatinya. Akulah yang berhak menolong Cin-moi, bukan engkau!"

   Hui Song yang masih membenci Ci Kang karena perbuatannya yang lalu terhadap Sui Cin, membentak marah.

   "Hemm, mengapa harus engkau saja?"

   Ci Kang merasa mendongkol dan membantah.

   "Karena ia... ia... adalah orang yang kucinta!"

   Dengan jujur Hui Song mengaku begitu saja sehingga wajah Sui Cin menjadi merah dan hatinya juga mendongkol mengapa Hui Song begitu lancang untuk bicara soal cinta di depan orang-orang lain dalam keadaan seperti itu.

   "Hemm, engkau sungguh terlalu tinggi hati,"

   Kata Ci Kang tak puas.

   "Paman Hui Song, siapapun orangnya boleh saja jatuh cinta kepada Cin-moi dan hanya ialah yang akan menentukan siapa yang berhak memiliki hatinya. Akan tetapi untuk menolongya kukira tidak ada perbedaan, semuapun berhak."

   "Tidak! Biar aku yang mencobanya lebih dulu, dan kuharap engkau suka menjaga kalau-kalau ada sesuatu yang mengancam dirinya, Cia Sun."

   Tanpa memberi kesempatan kepada dua orang pemuda yang lain, Hui Song melangkah ke atas tanah yang tadi sudah dicoba berkali-kali dengan lemparan batu dan tidak terjadi sesuatu. Sui Cin yang tadi merasa bingung melihat betapa terjadi pertengkaran di antara mereka, memandang dengan hati khawatir.

   Tiba-tiba terdengar ledakan dan Hui Song cepat meloncat ke belakang sambil berjungkir balik. Untung dia dapat bergerak cepat dan bersikap waspada. Kiranya tanah yang tadi sudah dicoba dengan lemparan batu dan tidak berbahaya itu, begitu terkena injakan kakinya lalu melemparkan batu dan pasir ke atas disertai suara ledakan dari bawah!

   "Sungguh aneh! Kenapa tadi ketika dicoba dengan batu tidak apa-apa?"

   Tanya Hui Song. Cia Sun juga merasa heran dan dia sudah melemparkan lagi sebuah batu ke tempat itu. Kembali terdengar ledakan dan pasir bersama batu menyambar ke atas disertai ledakan dari bawah!

   "Ah, aku tahu sekarang!"

   Kata Ci Kang yang menusuk-nusukkan sebatang kayu yang didapatnya ke atas tanah di sebelah kanan bagian yang meledak tadi. Dan di bagian itu, ketika ditusuk-tusuk, tidak terjadi apa-apa. Padahal tadi bagian itu kalau disentuh mengeluarkan paku-paku beracun! "Aku mengerti sekarang. Lihat, bayangan tiang itu tadi tiba di segi yang meledakkan pasir dan ketika dicoba tidak apa-apa. Kini bayangan tiang sudah bergeser ke kanan, jatuh di bagian ini dan bagian ini yang tadi menyemburkan paku kini tidak berbahaya. Sebaliknya, bagian yang tadi terkena bayangan dan tidak berbahaya, kini menjadi berbahaya! Agaknya bayangan tiang itu membuat alat rahasia di bagian atau segi yang tertutup bayangan menjadi lumpuh dan alat rahasia itu tidak bekerja!"

   Dua orang pemuda yang lain mencoba-coba dan memang benar. Kini bagian yang terkena bayangan yang nampak melintang hitam di satu segi dari batu patkwa, ketika dilempar batu tanah di depannya, tidak terjadi apa-apa.

   "Aku akan naik, harap kalian menjaga nona Sui Cin!"

   Kata Ci Kang dan dengan berani dia sudah melangkah ke depan. Tanah itu diinjaknya dan tidak terjadi apa-apa. Dia melangkah menghampiri batu patkwa, dipandang dengan jantung berdebar oleh Sui Cin. Dua orang pemuda yang lain, karena kedahuluan Ci Kang terpaksa hanya berdiri dengan sikap penuh kewaspadaan mereka menjaga kalau-kalau Sui Cin akan terancam bahaya bekerjanya alat rahasia. Ci Kang sudah tiba di dekat batu patkwa. Dia tidak mau gegabah naik ke atas batu-batu patkwa itu, akan tetapi lebih dahulu menggunakan tongkat kayu tadi memukul permukaan batu pada kotak pertama.

   Setelah tidak terjadi sesuatu, dia lalu naik dan menginjak bagian itu. Dengan tongkatnya, dia memukul lagi bagian depan, juga tidak terjadi apa-apa. Kotak ketiga di depan dibagi menjadi dua oleh sebuah garis. Ci Kang meragu. Yang mana yang harus dipukul untuk mencari landasan yang aman. Dia memukulkan tongkatnya dengan hati-hati ke atas kotak yang kiri dan tiba-tiba saja bagian itu terbuka dan nampak berkelebat dua sinar hitam, satu ke arah Ci Kang dan yang lain ke arah Sui Cin! Ci Kang cepat melempar tubuh ke belakang dan berjungkir balik melompat ke bawah batu patkwa sehingga anak panah hitam itu meluncur lewat dan tidak mengenai tubuhnya. Dan pada saat itu, Hui Song melemparkan sebuah batu besar menyambit anak panah yang meluncur dan menyambar ke arah Sui Cin.

   

Pendekar Sadis Eps 25 Harta Karun Jenghis Khan Eps 3 Siluman Gua Tengkorak Eps 1

Cari Blog Ini