Ceritasilat Novel Online

Pendekar Sadis 25


Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo Bagian 25



"Apa... apa maksudmu?"

   "Mudah saja. Engkau menyewakan anakmu itu agar... eh, bekerja melayani majikan, dan engkau akan memperoleh uang dari majikan."

   "Melayani majikan? Menjadi pelayan? Benarkah, apakah loya mau menerima sebagai pelayan untuk selama satu bulan? Berapa dia mau memberikan untuk itu?"

   "Berapa kau butuh?"

   "Hutangku empat puluh lima, kalau dia mau menambah lima belas lagi untuk modal judi, biarlah anakku bekerja sebulan di sini... anakku tentu mau menolongku, dia anak baik..."

   "Kalau begitu, bawalah besok pagi-pagi anakmu itu ke sini menemui loya, aku akan melaporkannya. Dan kalau berhasil, jangan lupa padaku, A Piang."

   Demikianlah awal mulanya mengapa A Piang mengajak anak perempuannya pergi menemui majikan rumah perjudian itu. Semalam dia membujuk anaknya dan akhirnya Kui Cin mau juga untuk menolong ayahnya. A Piang bukanlah seorang anak kecil. Dia sudah dapat menduga apa yang tersembunyi di balik semua itu.

   Akan tetapi dasar hati ayah ini sudah kecanduan judi, dan di dunia ini tidak ada apa-apa lagi yang penting kecuali berjudi mengejar kekalahannya, maka dia pun tidak begitu peduli. Bahkan ada timbul pikiran bahwa kalau anak perempuannya disuka oleh majikan rumah judi itu, tentu dia akan enak! Siapa tahu dia malah akan diangkat menjadi kuasa rumah perjudian itu! Memang mengerikan sekali akibat seorang yang gila judi. Dan hal ini bukan dongeng belaka. Bahkan banyak sudah terjadi orang rela menjual isterinya, anaknya dan siapa saja. Mau mempergunakan uang siapa saja, untuk berjudi. Banyak pula yang berusaha mengelak, berusaha melepaskan kebiasaan berjudi, namun tidak dapat. Timbul pertanyaan besar dalam benak para penjudi yang sudah melihat akan bahayanya perjudian dan ingin melepaskannya namun tidak mampu,

   Bagaimanakah caranya agar terbebas dari penyakit judi ini? Hendaknya diketahui benar bahwa kegemaran berjudi bukan datang dari luar, melainkan dari diri sendiri, dari dalam batin. Timbul karena adanya harapan dan keinginan untuk menangkan banyak uang, untuk memperoleh uang secara mudah, untuk dapat memperoleh kembali kekalahan-kekalahan yang lalu. Judi hari ini adalah kelanjutan dari judi kemarin dan yang lalu. Sekali batin telah waspada dan sadar, maka batin akan dapat membikin putus tali lingkaran setan itu. Melepaskan ingatan akan kalan dan menang. Kalau terdapat pikiran bahwa akan berjudi sekali lahi, sekali lagi saja lalu berhenti, maka dia tidak akan dapat berhenti! Begitu melihat kepalsuannya lalu berhenti! Sampai di situ, sekarang juga, saat ini juga, dan tidak mengingatnya lagi, atau menatapnya, mengamati diri sendiri penuh kewaspadaan,

   Maka kebiasaan itupun akan terhentilah. Bukan melarikan diri dari kebiasaan. Melarikan diri percuma saja karena kebiasaan itu dapat dilakukan di manapun juga. Yang penting, terbebas dari kebiasaan ini, dengan jalan menghadapinya dengan penuh kewaspadaan, mengamatinya sehingga nampak seluruhnya, latar belakangnya, sebab-sebabnya. Kui Cin adalah seorang anak perempuan yang baru berusia hampir lima belas tahun. Ia masih terlalu murni dan polos, tidak tahu bahwa manusia merupakan mahluk yang amat kotor dan jahat, yang pandai menyembunyikan segala kekotorannya ditopengi kebersihan. Ia mengira bahwa tuan yang berada di dalam kamar ini telah menolong ayahnya, dan iapun siap untuk melakukan pekerjaan betapa beratpun untuk membalas budi.

   "Siapa namamu?"

   Terdengar pria itu bertanya. Kui Cin sejak tadi berdiri sambil menunduk, dan kini ia memberanikan diri menjawab lirih.

   "Nama saya Kui Cin, loya."
(Lanjut ke Jilid 24)

   Pendekar Sadis (Seri ke 05 "

   Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 24
"Coba angkat mukamu dan pandang aku."

   Kui Cin merasa malu-malu dan takut. Lebih baik dia disuruh bekerja berat daripada menerima perintah ini. Akan tetapi iapun segera mengangkat mukanya memandang wajah yang bermata tajam itu. Wajah seorang pria yang kelihatan galak, dengan kumis melintang dan mulut tersenyum menyeringai, dan sepasang mata liar seperti menelanjanginya.

   "Ke sinilah kau , Kui Cin."

   Gadis itu melangkah maju, kedua kakinya agak gemetar. Entah mengapa, ia seperti mendapat firasat buruk, seolah-olah merasa ada bahaya mengancamnya. Setelah tiba dalam jarak dua meter dari orang yang duduk di atas pembaringan itu, ia berhenti dan menunduk.

   "Majulah mendekat."

   "Di... di sini saja, loya..."

   "Eh, baru diperintah mendekat saja sudah hendak membantah, ya? Apalagi kalau disuruh melakukan pekerjaan berat!"

   Orang itu membentak. Kui Cin terkejut dan seperti didorong dari belakang, iapun melangkah maju beberapa tindak sampai ia berdiri dekat di depan laki-laki itu.

   "Engkau manis...!"

   Kata orang itu sambil menyentuh dagunya.

   "Ah, loya...!"

   Kui Cin berkata dengan suara gemetar.

   "Sayang pakaianmu agak kotor. Kui Cin, kau buka dan tanggalkan semua pakaianmu itu!"

   Dara itu terbelalak dan mukanya berubah merah. Lalu ia mundur dan menggeleng-geleng kepalanya.

   "Tidak...! Tidak mau...!"

   Orang itu melepaskan huncwenya dari mulutnya dan menggoyang-goyang huncwe sambil tersenyum.

   "Hemm, ingat engkau harus mentaati semua perintahku. Ingatkah engkau janjimu tadi?"

   "Tapi... tapi... saya akan mentaati semua perintah untuk bekerja. Pekerjaan apapun akan saya lalukan, bukan... bukan ini..."

   "Taat tetap taat, dan inipun pekerjaan namanya. Hayo tanggalkan semua pakaianmu, ini perintah pertama!"

   "Tidak...! Tidak...!"

   "Hemm, apakah engkau lebih suka melihat aku memaksamu dengan kekerasan? Ingat, engkau sudah disewakan selama sebulan. Selama satu bulan engkau adalah milikku dan engkau harus mentaati apapun yang kuperintahkan. Tahu? Hayo ke sini dan tanggalkan seluruh pakaianmu!"

   "Tidak...! Ohh, ayaaahh...!"

   Kui Cin lalu melarikan diri menuju ke pintu. Akan tetapi baru saja pintu terbuka, tukang pukul tinggi besar sudah menghadangnya dan Kui Cin didorong kembali ke dalam kamar, pintu lalu ditutup dan tukang pukul itu berdiri di situ dengan sikap mengancam.

   "Tutup pintunya dan jaga di luar. Anak ini minta main kucing-kucingan!"

   Kata si majikan sambil tertawa dan meletakkan huncwenya di atas meja.

   Kemudian sambil tertawa dia maju mencoba untuk menangkap Kui Cin. Gadis ini menjerit dan mengelak, lalu berlari ke sana-sini dalam kamar itu. Agaknya hal ini menambah kegembiraan dan gairah majikan itu, karena permainan seperti itu sudah sering dilakukannya. Dia senang mengejar-ngejar sampai akhirnya, karena kamar itu tidak terlalu luas, gadis itu akan dapat ditangkapnya juga dan dia sendiri yang membuka pakaiannya satu demi satu. Menghadapi perlawanan seperti ini menambah gairahnya. Kui Cin menjadi pucat mukanya dan ia berusaha lari terus dan mengelak dari tubrukan-tubrukan itu, membuat pengejarnya semakin gembira. Jeritan-jeritannya, teriakannya memanggil ayahnya tidak terdengar oleh telinga ayahnya yang sedang menghadapi meja judi dan ruangan itupun sudah cukup bising dengan suara orang.

   Hanya dua orang penjaga di luar pintu itu saja yang mendengar jeritan-jeritan kecil itu, seolah-olah suara yang sudah sering mereka dengar itu merupakan pendengaran yang mengasyikkan dan menggembirakan pula. Biasanya, tidak akan lama gadis yang dikejar-kejar majikan mereka itu akan mampu mengelak terus. Mereka itu yang berdiri di luar pintu tentu akan segera mendengar gadis itu menjerit, mendengar suara kain dirobek-robek, dan dilanjutkan dengan pendengaran suara gadis itu merintih-rintih dan menangis, dan suara-suara lain yang cukup menimbulkan gairah mereka. Akan tetapi, kini jeritan-jeritan itu tiba-tiba berhenti dan mereka mengira bahwa gadis itu telah terpegang, seperti seekor tikus yang tadinya dikejar-kejar kini telah diterkam kucing yang mengejarnya. Mereka menanti, tentu akan terdengar kain robek-robek, akan tetapi, tidak terdengar hal itu,

   Malah kini terdengar suara majikan mereka mengeluarkan jerit mengerikan. Dua orang tukang pukul itu terkejut sekali, mata mereka terbelalak! Di dalam kamar itu telah berdiri seorang pemuda tampan yang berpakaian seperti seorang siucai, pakaiannya indah dan rapi, rambutnya ditutup sebuah topi pelajar yang indah, dan tangan kirinya memegang sebatang kipas yang dipakainya mengipasi tubuhnya, dan mulutnya tersenyum. Ketika mereka mengerling, gadis itu meringkuk di sudut kamar seperti seekor kelinci ketakutan, pakaiannya masih utuh akan tetapi tubuhnya menggigil ketakutan, sedangkan majikan mereka itu meringkuk di atas pembaringan dalam keadaan ketakutan pula, agaknya tadi telah dilemparkan ke atas pembaringan karena orang itu meringis kesakitan sambil memegangi kepalanya yang menjendol di bagian dahinya.

   Melihat dua orang tukang pukulnya masuk, majikan po-koan itu memperoleh kembali keberaniannya. Dia tadi terkejut bukan main karena pada saat dengan hati girang dia berhasil menangkap Kui Cin, merangkulnya dan mencengkeramnya seperti seekor kucing menerkam tikus, siap untuk mencabik-cabik pakaiannya, tiba-tiba muncul pemuda itu. Muncul seperti iblis karena tidak tahu dari mana masuknya. Melihat pemuda itu seorang siucai lemah, dia berusaha memukul, akan tetapi sekali tampar saja, dia seperti disambar geledek dan tubuhnya terlempar ke atas pembaringan, kepalanya terbentur dinding dan kepalanya menjadi pening. Dia terkejut, kesakitan dan ketakutan, akan tetapi begitu melihat dua orang penjaganya masuk, dia berseru,

   "Tangkap penjahat ini! Bunuh dia!"

   Dua orang penjaga itu sudah mencabut golok masing-masing dan menubruk dari kanan kiri, mengirim bacokan dan tusukan yang dahsyat ke arah pemuda itu. Mereka adalah penjaga-penjaga pilihan yang pada pagi hari itu bertugas jaga di depan kamar majikan mereka, dan pemuda ini dapat memasuki kamar tanpa mereka ketahui. Hal ini saja sudah membuat mereka penasaran dan marah, maka begitu menerima perintah, mereka hendak merobohkan pemuda itu dengan sekali serang. Akan tetapi, entah bagaimana mereka sendiripun tidak mengerti, tiba-tiba saja mereka merasa kedua kaki mereka lumpuh dan tak dapat dihindarkan lagi keduanya roboh terguling!

   "Hemm, tukang-tukang pukul memilki tangan yang amat kejam!"

   Pemuda itu mencokel dengan kakinya dan sebatang golok yang tadi terlepas dari tangan tukang pukul melayang ke atas, disambarnya dengan tangan kanan, kemudian nampak sinar berkilat beberapa kali disusul teriakan-teriakan mengerikan dari dua tukang pukul itu.

   Darah bercucuran membasahi lantai. Kui Cin dan majikan rumah judi itu memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat ketika melihat betapa dua orang tukang pukul itu mengaduh-aduh dan bergulingan di atas lantai, mandi darah mereka sendiri yang bercucuran dari kedua lengan mereka yang sudah buntung karena tangan mereka sudah terpisah dari lengan! Pemuda itu telah membuntungi kedua tangan dua orang tukang pukul itu! Pemuda itu membalikkan tubuhnya, menghadapi majikan rumah judi sambil tersenyum, dan anehnya, golok yang membuntungi empat buah tangan tadi sama sekali tidak bernoda darah! Hal ini saja sudah membuktikan betapa hebatnya gerakan golok itu, demikian cepatnya membuntungi pergelangan tangan! Dan terdengar ucapannya yang halus dan seperti orang bersajak.

   "Memetik buah daripada kejatannya sendiri, itu sudah adil namanya! Engkau ini cukong mata keranjang, entah sudah berapa banyak gadis tak berdosa yang kau perkosa di tempat terkutuk ini?"

   Dan dengan langkah perlahan pemuda itu menghampiri majikan itu yang menjadi ketakutan dan berlutut menyembah-nyembah di atas pembaringan.

   "Taihiap... ampunkan saya... ampunkan saya... engkau boleh mengambil berapapun banyak uangku, tapi jangan... jangan membunuhku..."

   Dan seorang di antara dua tukang pukul yang tadi merintih-rintih itu tiba-tiba berseru dengan suara penuh ketakutan.

   "Pendekar... Pendekar Sadis...!"

   Mendengar ini, majikan itu menjadi semakin ngeri ketakutan.

   "Celaka, mati aku..."

   Tubuhnya menggigil, celananya mendadak menjadi basah. Memang orang yang ketakutan setengah mati dapat saja terkencing seketika. Dia sudah sering mendengar tentang nama yang baru saja muncul di dunia kang-ouw ini, sebagai nama seorang pendekar pembasmi kejahatan yang amat kejam. Dan tadi dia sudah melihat betapa orang ini membuntungi kedua tangan dua orang tukang pukulnya begitu saja, dengan darah dingin!

   "Ampun... ampunkan..."

   Dia meratap. Akan tetapi Thian Sin, pemuda itu, hanya tersenyum.

   "Betapa seringnya engkau sendiri mendengarkan ratapan minta ampun dari gadis-gadis yang kau perkosa, dan pernahkah engkau mengampunkan mereka? Engkau malah semakin bergairah dan semakin senang kalau mereka itu minta-minta ampun, menangis dan meronta-ronta, bukan? Nah, hukumanmu harus kau terima!"

   Golok itu menyambar, didahului tamparan tangan kiri yang mengenai pundak majikan rumah judi itu. Tubuh majikan itu terjengkang, golok itu menyambar dan majikan itu menjerit, tubuhnya berkelojotan di atas pembaringan, dari celananya di antara kedua pahanya bercucuran darah karena alat kelaminnya telah disambar golok dan buntung! Tentu saja kecil sekali harapan hidup lagi bagi orang ini.

   "Kau keluarlah dari sini dan pulanglah."

   Kata Thian Sin kepada gadis itu yang masih menggigil ketakutan dan karena dua orang tukang pukul dan majikannya itu kini menjerit-jerit, dengan tenang Thian Sin melemparkan golok ke atas tanah dan keluar dari dalam kamar, tidak mempedulikan lagi gadis cilik itu dan dengan sikap tenang-tenang saja dia melangkah menuju ke ruangan judi! Sebelum tiba di ruangan itu, dia sudah disambut oleh lima orang tukang pukul yang mendengar jeritan-jeritan tadi. Melihat seorang pemuda asing keluar dari dalam kamar, lima orang itu menjadi curiga dan membentak.

   "Siapa engkau? Apa yang terjadi?"

   Dan seorang diantara mereka telah lari ke dalam kamar di mana dia melihat majikannya berkelojotan dan dua orang rekannya merintih-rintih. Dan gadis cilik itu sudah menyelinap pergi. Maka diapun berteriak-teriak dan lari kembali sambil mencabut senjata.

   "Loya telah dibunuh orang dan dua orang teman kita dilukai!"

   Teriaknya.

   "Setiap perbuatan jahat akan berakibat dan akibatnya akan menimpa diri sendiri! Mereka telah menerima hukuman dari perbuatan mereka sendiri!"

   Kata Thian Sin dengan suara lembut dan bibir masih tersenyum.

   "Apakah kalian berlima ini juga tukang-tukang pukul?"

   "Bunuh penjahat ini!"

   Teriak seorang di antara mereka dan lima orang tukang pukul itu sudah mencabut golok masing-masing dan serentak mereka menyerang Thian Sin.

   Pemuda ini tentu saja memandang rendah kepada segala tukang pukul kasar seperti itu. Dengan tenang-tenang saja dia mengelak ke kanan kiri sehingga golok-golok itu menyambar-nyambar merupakan sinar-sinar menyilaukan, akan tetapi di lain saat terdengar teriakan susul-menyusul dan lima orang tukang pukul itupun sudah roboh semua. Dan, sebelum mereka sempat bangun berdiri, Thian Sin sudah menyambar sebatang golok dan seperti tadi, dia menggerakkan goloknya membuntungi semua tangan mereka. Keadaan sungguh menyeramkan. Tangan-tangan yang buntung berserakan di tempat itu dan lantai banjir darah yang bercucuran dari lengan-lengan buntung itu. Lima orang tadi merintih-rintih dan kembali ada yang sadar bahwa mereka berhadapan dengan pendekar yang namanya baru-baru ini mereka dengar.

   "Pendekar Sadis...!"

   "Pendekar Sadis...!"

   Akan tetapi Thian Sin tidak mempedulikan itu semua, membuang goloknya dan memasuki ruang judi. Gempar di situ.

   Semua perjudian berhenti dan para tamu mau penjudi ketakutan, ada yang bersembunyi di kolong meja, ada yang mepet tembok dengan tubuh gemetaran. Dan sebentar saja Thian Sin sudah dikepung dan dikeroyok oleh belasan orang pegawai rumah perjudian itu. Thian Sin mengamuk, merampas pedang dan dengan pedang ini dia merobohkan mereka satu demi satu, dan sengaja menghukum mereka dengan membuntungi tangan, atau hidung, atau telinga. Pendeknya tidak ada seorangpun dari mereka yang tidak mengalami hukuman yang mengerikan. Dalam waktu singkat saja pertempuranpun berhenti dan yang ada hanya orang-orang yang merintih-rintih dan memegangi bagian tubuh mereka yang terluka atau buntung. Dengan pedang di tangan, Thian Sin memandang ke sekeliling, lalu terdengar dia membentak halus.

   "Mana yang bernama Kakek A Piang? Majulah ke sini!"

   A Piang yang sejak tadi mepet di tembok dengan tubuh gemetar, kini melangkah maju dengan kedua kaki menggigil. Sejenak Thian Sin memandang kakek ini, alisnya berkerut.

   "Seorang ayah yang menjual anak sendiri untuk berjudi, sudah selayaknya kalau dibikin mampus. Akan tetapi, aku mengingat anakmu maka engkau hanya menerima hukuman agar menjadi peringatan bagimu selama hidup!"

   Pedangnya bergerak seperti kilat dan kakek itu menjerit lalu mendekap kepalanya sebelah kiri yang sudah tidak bertelinga lagi itu. Daun telinga kirinya terlepas dan darah mengucur deras. Thian Sin lalu melangkah ke meja judi, mengambil sekepal uang perak, memasukkannya ke dalam kantung uang yang terdapat di situ, menyerahkannya kepada A Piang dan berkata lagi.

   "Bawa uang ini untuk modal bekerja, dan ajak anakmu pindah keluar kota! Awas, kalau engkau masih berani berjudi, lain kali lehermu yang kubiking buntung!"

   A Piang tidak dapat mengeluarkan suara karena seluruh tubuhnya menggigil, dengan tangan kanan menerima kantong uang dan tangan kiri mendekap telinga kirinya, dan dia hanya mengangguk-angguk lalu berjalan keluar.

   "Semua orang boleh pergi!"

   Kata pula Thian Sin dan para penjudi dengan penuh rasa takut lalu berlarian keluar. Thian Sin mengambil beberapa potong uang emas dan perak, menyimpannya dalam bungkusannya sendiri karena dia teringat bahwa bekalnya tinggal sedikit, kemudia dengan pedang rampasan itu dia menghancurkan semua alat judi yang berada di situ. Dia tidak mempedulikan betapa para tukang pukul tadi dengan tertatih-tatih berlarian keluar untuk memanggil pasukan penjaga keamanan. Ketika pasukan tiba di situ, Pendekar Sadis sudah tidak nampak lagi, sudah kembali ke dalam kamarnya di rumah penginapan dan mengaso. Thian Sin merasa puas dengan apa yang telah dilakukannya.

   Sebenarnya dia tidak mau mempedulikan rumah-rumah perjudian, atau rumah rumah pelacuran karena orang-orang yang datang berkunjung ke situ adalah orang-orang yang mencari penyakit dan tidak perlu ditolong atau dipedulikan. Akan tetapi, karena Kui Cin tadilah maka secara kebetulan saja dia mengamuk d rumah judi itu. Perbuatan Ceng Thian Sin yang dijuluki orang Pendekar Sadis itu sungguh menggemparkan seluruh kota itu. Kota Si-ning mempunyai wilayah yang luas dan menjadi pusat dari golongan liok-lim dan kang-ouw. Menjadi pusat pula dari para penjahat yang melakukan operasi di daerah Si-ning. Seperti terjadi di kota-kota besar lainnya, juga di Si-ning, semua rumah-rumah pelacuran, rumah-rumah perjudian dan tempat-tempat maksiat lainnya, semua dikuasai oleh para penjahat.

   Biarpun rumah-rumah judi itu mempunyai majikan masing-masing akan tetapi para hartawan ini membayar semacam "pajak"

   Kepada para kepala penjahat yang berkuasa dengan mendapatkan semacam "perlindungan". Dan tentu saja para kepala penjahat dan para cukong ini mempunyai hubungan rapat dengan para pejabat, karena hal seperti ini menjadi pertanda akan keadaan negara yang sedang lemah. Kalau para penjahat dan para pejabat sudah bersekutu, dapat dibuyangkan bagaimana keadaan kehidupan rakyat jelata. Tidak ada lagi tempat berlindung bagi rakyat. Si pelindung berubah menjadi si penindas. Pagar makan tanaman. Satu-satunya jalan hanya tunduk kepada yang lebih kuat. Hukum rimba berlakulah. Yang punya uang mempergunakan uang untuk menyogok yang berkuasa, yang tidak punya uang mempergunakan ketaatan untuk mencari selamat. Keluh kesah ditekan dalam-dalam di dalam perut.

   Perbuatan Thian Sin merupakan peristiwa besar. Baru sekarang ada kekuatan baru yang berani menentang mereka yang sedang berkuasa. Para penjahat mengadakan pertemuan. Mereka tahu bahwa pemuda itu adalah pendekar baru yang mulai terkenal, yaitu Pendekar Sadis. Dan mereka tahu pula bahwa pemuda itu memasuki Si-ning sebagai pelancong dan kini masih beristirahat di dalam sebuah rumah penginapan kecil di sudut kota. Kota Si-ning dikuasai oleh lima orang kepala penjahat dan di antara mereka, yang dianggap sebagai saudara tua adalah jagoan yang terkenal lihai bernama Ji Beng Tat berjuluk Hui-to (Si Golok Terbang). Mendengar akan peristiwa yang terjadi Hok-khi Po-koan yang termasuk sumber penghasilannya, Hui-to Ji Beng Tat marah sekali dan dia sudah mengumpulkan empat orang kawan-kawannya untuk berunding.

   "Kita serbu saja ke rumah penginapan itu. Kalau kita berlima maju bersama, tak mungkin dia dapat lolos!"

   Kata seorang di antara mereka yang bertubuh kecil dan agak bongkok, akan tetapi Si Kecil Bongkok ini lihai sekali ilmu silatnya, terutama senjata rahasianya berupa jarum-jarum beracun.

   "Nanti dulu, kita harus berhati-hati,"

   Kata Hui-to Ji Beng Tat.

   "Menurut berita yang kuterima dari barat, Pendekar Sadis ini memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi. Bahkan gerombolan Panji Tengkorak dari Yu-shu kabarnya telah dibasmi olehnya. Kita harus mempergunakan siasat halus, kalau gagal barulah kita mempergunakan kekerasan."

   "Aku mendengar bahwa Pendekar Sadis tidak menolak bujuk rayu wanita cantik. Bagaimana kalau kita mempergunakan Si Bunga Bwee Merah? Ang Bwe-nio tentu akan dapat menundukkan hatinya. Kalau berhasil membujuk rayunya, dan memberinya minum obat bius, tentu kita akan dapat menangkapnya dengan mudah,"

   Kata orang ke tiga yang berwajah tampan dan matanya membayangkan sifat mata keranjang.

   "Tapi, Pendekar Sadis lihai sekali, aku khawatir gagal,"

   Kata orang pertama Si Kecil Bongkok.

   "Ha-ha-ha, jangan khawatir. Ang Bwe-nio tak mungkin gagal merayu pria. Ingat saja dua orang pendekar Siauw-lim-pai itu, merekapun dengan mudah jatuh dalam rayuan Ang Bwe-nio. Kalau sudah berada dalam pelukannya, pria mana yang menolak untuk menerima minuman yang dihidangkannya?"

   Kata pula Si Tampan.

   "Sebaiknya kitapun harus bersiap-siap di dekatnya dan membiarkan Ang Bwe-nio mencoba kelihaiannya, sehingga kalau gagal, kita dapat segera turun tangan,"

   Kata Ji Beng Tat dan semua rekannya menyetujui ini. Pemilik rumah penginapan segera dihubungi dan diam-diam para tamu lain di rumah penginapan itu telah dipersilakan keluar dan tanpa diketahui oleh Thian Sin, dialah satu-satunya tamu yang berada di rumah penginapan itu. Thian Sin dapat menduga bahwa perbuatannya di po-koan itu tentu akan berakibat. Dan diapun sudah siap menghadapi segala kemungkinan, kalau perlu dia akan membasmi para penjahat yang berani untuk menuntut balas. Kalau malam ini tidak terjadi sesuatu, besok dia akan melanjutkan perjalanannya ke utara, mencari neneknya. Sore itu, setelah mandi, dilayani oleh seorang pelayan yang bersikap amat hormat, pelayan itu berkata,

   "Taihiap, kami semua telah mendengar akan sepak terjang Taihiap di po-koan itu. Kami semua merasa kagum sekali, bahkan majikan kami bermaksud untuk menjamu Taihiap malam ini."

   "Ah, tidak perlulah. Aku tidak mau merepotkan orang,"

   Jawab Thian Sin yang memang tidak suka menerima sanjungan. Dia tahu benar bahwa sanjungan jauh lebih berbahaya daripada celaan. Dengan celaan dia akan dapat melihat kekurangan dirinya sendiri dan dapat bersikap waspada, sebaliknya, sanjungan akan membuat orang mabuk dan lupa akan kewaspadaan, membuat orang menjadi lengah. Akan tetapi baru saja dia selesai berganti pakaian dan hendak keluar mencari makanan malam, tiba-tiba majikan rumah penginapan itu mengunjunginya, memberi hormat dengan membongkok-bongkok amat menghormat,

   "Taihiap, kami merasa terhormat sekali bahwa rumah penginapan kami yang kecil ini telah menerima kunjungan Taihiap. Seorang pendekar besar seperti Taihiap telah sudi bermalam di dalam kamar rumah penginapan kami, hal itu akan menjadi reklame yang amat baik. Oleh karena itu, perkenalanlah kami menjamu Taihiap dengan sedikit arak kehormatan dan kami ingin memperkenalkan keponakan wanita kami kepada Taihiap untuk melayani Taihiap makan minum."

   "Ah, membikin repot saja..."

   Kata Thian Sin, akan tetapi hatinya sudah tergerak ketika tuan rumah penginapan itu sambil membungkuk-bungkuk dan tiba-tiba dia bertepuk tangan. Sebarisan pelayan terdiri dari lima orang membawa baki terisi masakan-masakan yang masih mengepul panas dan guci-guci arak datang dan memasuki kamar Thian Sin.

   Dengan cekatan mereka membersihkan meja dalam kamar itu dan mengatur hidangan. Kemudian mereka membungkuk dan meninggalkan kamar itu. Dari luar nampak seorang wanita muda dan diam-diam Thian Sin terkejut. Tak disangkanya bahwa keponakan majikan rumah penginapan ini demikian cantiknya. Pakaiannya sederhana saja, bedaknya juga tipis-tipis, akan tetapi wanita yang usianya sekitar dua puluh lima tahun itu benar-benar cantik dan manis sekali. Sepasang matanya lebar dan bening, penuh daya pikat, bibirnya yang merah basah tanpa pemerah itu seperti menantang, senyumnya dikulum dan membuat sudut pipinya membentuk lekuk yang mungil. Dengan langkah lemah gemulai ia menghampiri dan tersipu-sipu malu ketika pamannya, majikan rumah penginapan itu memperkenalkan.

   "Taihiap, inilah keponakan saya, bernama Ang Bwe-nio dan kami semua, termasuk keponakan saya, merasa kagum kepada Taihiap yang sudah melakukan pekerjaan besar yang menggemparkan itu. Silakan, Taihiap, biar keponakan saya menemani Taihiap."

   Setelah berkata demikian, pemilik rumah penginapan itu lalu menjura dan pergi. Sejenak mereka hanya berdiri saling berpandangan. Thian Sin tersenyum dan wanita itupun tersenyum dan berkata,

   "Taihiap, silakan makan."

   Thian Sin tersenyum dan mengangguk, lalu duduk di atas bangku menghadapi meja yang penuh hidangan itu. Ang Bwe-nio, wanita cantik itu, dengan gerakan lemah gemulai dan manis sekali lalu menuangkan arak ke dalam cawan Thian Sin.

   "Silakan minum arak dan makan hidangannya, Taihiap..."

   "Bagaimana aku enak makan kalau engkau berdiri saja di situ, nona? Pula, sungguh tidak senang makan sendirian saja. Mari, kau temani aku makan. Duduklah, nona."

   "Ah, mana pantas? Aku mewakili paman sebagai tuan rumah..."

   Kata Ang Bwe-nio dengan sikap manis dan kemalu-maluan, wajahnya yang cantik manis itu berubah merah, matanya mengerling tajam dan mulutnya mengulum senyum malu-malu. Thian Sin semakin tertarik. Memang pemuda ini berwatak romantis walaupun tak dapat dibilang mata keranjang. Tidak semberangan wanita dapat menarik hatinya, walaupun dia selalu awas dan suka memandang wajah yang cantik manis.

   "Marilah, tidak apa-apa, nona. Bukankah di sini hanya ada kita berdua saja? Mari, kalau kau tidak mau temani aku makan minum, akupun tidak dapat menerima suguhan ini."

   "Aih, mengapa Taihiap begitu...?"

   Dengan gerakan manja wanita itu mendekat dan hendak mengambil cawan untuk diberikan kepada Thian Sin, akan tetapi Thian Sin memegang lengannya dan dengan lembut menariknya sehingga wanita itu terduduk di sampingnya, di atas sebuah bangku. Thian Sin lalu menuangkan secawan arak sampai penuh.

   "Nah, mari kita sama-sama minum untuk perkenalan ini."

   Dengan tertawa malu-malu Ang Bwe-nio lalu mengangkat juga cawan araknya dan merekapun minum arak bersama. Ang Bwe-nio lalu mengambilkan makanan dengan sumpit, dengan gerakan tangan cekatan dan manis sekali, menaruh potongan-potongan daging ke dalam mangkok di depan Thian Sin. Pemuda inipun tidak mau kalah, mengambil daging-daging kecil dimasukkan ke dalam mangkok depan wanita itu. Merekapun lalu makan minum, tanpa kata-kata, hanya kadang-kadang saling pandang dan Ang Bwe-nio tak pernah berhenti tersenyum malu-malu. Sedikit minyak yang terdapat pada daging mengenai bibirnya, membuat bibir itu nampak semakin segar kemerahan.

   "Siapakah nama nona tadi? Kalau tidak salah dengan she Ang..."

   "Namaku Ang Bwe-nio, Taihiap. Dan nama Taihiap siapakah? Aku hanya mendengar sebutan orang yang mengerikan, Pendekar Sadis..."

   Thian Sin tersenyum.

   Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Memang benarlah. Aku Pendekar Sadis, hanya sadis terhadap diri penjahat saja. Dan namaku sendiri... ah, aku sudah melupakan nama itu. Engkau sebut saja aku Pendekar Sadis."

   "Eh, mana bisa begitu?"

   Wanita itu tertawa manja.

   "Nona, aku merasa heran. Mengapa pamanmu menyuruh seorang gadis sepertimu menemani aku?"

   "Aku... aku bukan gadis, aku... seorang janda..."

   "Ahhh...!"

   Hati Thian Sin berdebar girang. Tadinya dia merasa curiga terhadap sikap pemilik rumah penginapan itu. Tidak sepatutnya seorang gadis disuruh melayani seorang pria, seolah-olah gadis itu bukan seorang terhormat saja. Akan tetapi kalau janda, dia mengerti juga! "Kiranya nyonya seorang janda... hemm, masih begini muda..."

   "Usiaku sudah dua puluh lima tahun, Taihiap. Sudah tua..."

   "Siapa bilang usia sekian sudah tua? Engkau memang sungguh cantik manis!"

   "Sudahlah, lelaki memang pandai merayu. Lebih baik Taihiap makan, nih potongan daging pilihanku,"

   Wanita itu dengan sikap menarik sekali sudah menyumpit sepotong daging dan mengulurkan tangannya, membawa potongan daging di ujung sumpit itu ke dekat mulut Thian Sin! Tentu saja pemuda ini tertarik sekali dan sambil tertawa dia menerima suapan itu, menggigit daging dari ujung sumpit Ang Bwe-nio. Diapun membalas dan tak lama kemudian keduanya sudah saling menyuapkan daging ke mulut masing-masing. Sikap mereka menjadi semakin berani, dan ketika Ang Bwe-nio menahan tangan Thian Sin yang hendak melolohnya dengan daging lagi, mereka saling berpegang tangan dan jari-jari tangan mereka saling mencengkeram.

   "Bwe-nio, engkau cantik sekali!"

   Thian Sin memuji sambil mengelus kulit lengan itu melalui bajunya yang tipis.

   "Dan engkau sungguh gagah dan tampan, Taihiap..."

   Bwe-nio balas memuji, pujian yang jujur karena memang sesungguhnya ia amat kagum kepada pemuda yang menyenangkan ini. Sayang bahwa ia "dalam tugas"

   Sehingga ia tidak dapat mencurahkan seluruh kekagumannya itu kepada pemuda perkasa ini. Ia tidak berani mengkhianati mereka yang menyuruhnya menundukkan pemuda berbahaya ini.

   Thian Sin sudah setengah mabuk, bukan mabuk arak karena dengan kekuatan dalamnya yang luar biasa, dia dapat menahan pengaruh arak yang bagaimana keraspun. Akan tetapi dia mabok akan kecantikan dan rayuan wanita itu. Betapapun lihainya, pemuda ini dapat dibilang masih hijau dalam pengalamannya dengan wanita, dan memang dia memiliki kelemahan terhadap wanita. Maka melihat sikap yang demikian memikat dan penuh daya tarik dari Ang Bwe-nio, pemuda ini jatuh dan merasa tertarik sekali. Apalagi melihat wanita itu demikian beraninya, dengan jelas memberi tanda-tanda bahwa wanita itu takkan menolak untuk bermain cinta dengannya. Pada saat itu, sambil tersenyum lebar memperlihatkan deretan gigi mutiara yang putih dan rapi, Ang Bwe-nio kembali menyumpit sepotong daging dan hendak menyuapkannya ke mulut Thian Sin. Akan tetapi, Thian Sin sekali ini menarik mukanya ke belakang.

   "Eh, kenapa Taihiap?"

   "Bwe-nio, sekali ini aku hanya mau menerima suapanmu kalau engkau melakukannya dengan mulut, bukan dengan sumpit,"

   Kata Thian Sin berani sambil menatap tajam wajah yang cantik itu. Sebetulnya Ang Bwe-nio bukanlah seorang wanita yang asing dengan kemesraan-kemesraan dalam permainan cinta, akan tetapi ia demikian pandainya sehingga mendengar permintaan Thian Sin ini, ia dapat bersikap seperti seorang wanita baik-baik yang tak pernah mendengar permintaan seperti itu. Wajahnya menjadi kemerahan tersipu-sipu malu. Ia mengerling dan cemberut, berkata sambil bersikap malu-malu dan takut-takut,

   "Iiiihhh... Taihiap... mana bisa begitu...?"

   "Kenapa tidak bisa? Engkau mempunyai mulut, bukan? Mulut yang manis sekali malah..."

   "Aihhh... aku... aku... ah, malu dan takut... aku tidak mengerti..."

   "Bwe-nio, engkau bukan anak kecil lagi, engkau seorang janda, tentu tahu apa yang kumaksudkan. Kalau engkau tidak mau menyuapkan dengan mulut, akupun tidak akan mau menerima pemberianmu."

   "Aihhh... Taihiap..."

   Ang Bwe-nio mengeluh, akan tetapi kemudian iapun menggigit potongan daging itu dengan giginya yang putih, lalu mengajukan mukanya dengan bersuara "mmmmm"

   Dan menutup kedua matanya.

   Melihat ini, Thian Sin terangsang hebat dan dirangkulnya wanita itu, diambilnya daging itu dari mulut Bwe-nio dengan mulutnya. Tentu saja dua mulut itu bertemu dalam sebuah ciuman yang mesra dan hangat dan penuh nafsu. Dan di lain saat mereka telah saling peluk, saling rangkul dan saling cium. Ang Bwe-nio mengeluarkan suara rintihan-rintihan kecil dari dalam lehernya dan memejamkan kedua matanya, akan tetapi membalas belaian dan ciuman pemuda itu dengan penuh gairah. Akan tetapi, semua itu sebenarnya hanya permainan belaka darinya, karena dengan cerdik sekali, selagi Thian Sin menciumi seluruh bagian tubuhnya, diam-diam wanita cantik ini mengeluarkan sebuah bungkusan kecil dari balik kutangnya, dan selagi Thian Sin membenamkan mukanya di dadanya, wanita ini menaburkan bubuk putih ke dalam cawan arak pemuda itu!

   "Kita pindah ke pembaringan..."

   Thian Sin berbisik di dekat telinga kiri wanita itu, suaranya tersendat-sendat penuh nafsu.

   "Baik, Taihiap, aku... aku mau... aku akan memberikan segala-galanya kepadamu, aku cinta padamu... ohhh... tapi nanti dulu... aku haus, mari kita minum dulu..."

   Thian Sin tersenyum dan melepaskan rangkulannya. Dia melihat wanita itu mengisi cawannya yang tinggal setengahnya itu sampai penuh.

   "Minumlah, Taihiap, setelah itu baru kita..."

   Pandang matanya penuh daya pikat.

   "Katamu tadi engkau haus, engkau minumlah."

   Thian Sin hendak meminumkan arak di cawannya itu kepada Bwe-nio, akan tetapi wanita itu nampak ketakutan dan menolak.

   "Tidak, aku sudah terlalu banyak minum arak, sudah pusing kepalaku, aku mau minum air teh saja..."

   Wanita itu lalu menuangkan air teh ke dalam mangkok. Ia tidak tahu bahwa pada saat itu, Thian Sin memandang kepadanya dengan sinar mata yang aneh dan penuh wibawa, bibir pemuda itu berkemak-kemik dan kedua tangan pemuda itu diarahkan kepadanya. Setelah menuangkan air teh, wanita itu mengangkat mangkok tehnya dan tersenyum menghadapi pemuda itu.

   "Taihiap.... kokoku yang tampan... marilah, mari kita minum dulu, setelah itu baru... ehmmm..."

   Ia tersenyum lebar dan sepasang mata yang indah jeli ini berkedip penuh arti. Senyumnya makin melebar ketika ia melihat pemuda itu minum arak dari cawan itu, ditenggaknya sampai habis, ia sendiripun hanya mencucuk sedikit air teh itu. Bwe-nio menahan ketawanya ketika melihat Thian Sin melepaskan cawan araknya, bangkit berdiri, terhuyung memegangi dahi lalu menghampiri pembaringan sambil berkata lirih,

   "Ke sinilah... sayang, ke sinilah..."

   Dan tergulinglah pemuda itu ke atas pembaringan, terlentang dalam keadaan tidur pulas atau pingsan! Bwe-nio menghampiri pembaringan, memandang kepada wajah pemuda itu yang memejamkan mata, lalu ia menunduk dan mencium bibir pemuda itu.

   "Sayang... kau ganteng... terpaksa aku harus membunuhmu, kalau tidak, aku sendiri terbunuh..."

   Wanita itu lalu mengeluarkan sebatang pisau belati yang runcing tajam dari pinggangnya, kemudian mengayunkan pisau itu ke arah ulu hati pemuda yang sedang tidur terlentang itu.

   "Wuuuuuttt... cesss...!"

   Sepasang mata yang indah itu terbelalak ketika melihat betapa pisau belatinya "menembus"

   Tubuh pemuda itu dan mengenai kasur! Dan tubuh itu ternyata hanya seperti bayangan saja, tidak berdaging dan kini perlahan-lahan bayangan itupun lenyap.

   "Sungguh tak kusangka, wajah secantik itu, tubuh seindah itu, dihuni oleh hati yang palsu."

   Mendengar suara ini, Ang Bwe-nio terkejut setengah mati dan hampir ia menjerit ketika ia menengok. Ia melihat Thian Sin masih duduk di atas bangku dekat meja dan kini dengan tenangnya minum arak dari cawannya!

   Mimpikah ia? Jelas bahwa tadi pemuda itu mabuk dan rebah di atas pembaringan dalam keadaan terbius. Lalu siapa tadi yang rebah kemudian "menghilang"? Dan bagaimana pemuda itu masih duduk di situ dan sama sekali tidak terpengaruh obat biusnya yang amat manjur itu? Obat biusnya itu telah teruji, jangan hanya seorang saja, biar diminum oleh tiga empat orangpun tentu mereka akan terbius semua. Dan tadi ia sudah memasukkan semua isi bungkusan ke dalam cawan dan isi cawan itu sudah ditenggak habis oleh Thian Sin! Tentu saja Ang Bwe-nio tidak tahu bahwa Ceng Thian Sin pernah mempelajari ilmu sihir dari kakek pertapa di Pegunungan Himalaya dan bahwa pemuda itu tadi tentu saja telah dapat mengetahui bahwa gadis cantik itu membawa sebatang pisau di pinggangnya.

   Ketika Thian Sin memeluknya dan menciuminya, pemuda yang berilmu tinggi ini sudah dapat merasakan adanya ganjalan pada perutnya, ganjalan yang terdapat di pinggang Bwe-nio dan dia sudah dapat meraba-raba, yaitu ketika dia membelai dan meraba-raba tubuh wanita itu. Maka tahulah dia bahwa wanita itu membawa pisau itu, biarpun kelihatannya dia dimabuk nafsu berahi, namun dia selalu waspada dan dapat melihat ketika Bwe-nio menaruh obat bubuk ke dalam cawan araknya. Maka, ketika Bwe-nio menuangkan air teh ke dalam mangkok, kesempatan itu dipergunakan untuk mengerahkan kekuatan sihirnya. Bwe-nio terkena sihir dan wanita ini melihat Thian Sin mabuk dan terhuyung ke pembaringan, padahal sebenarnya pemuda itu masih duduk di dekat meja.

   "Bagus sekali! Jadi engkau merayuku dan pura-pura mencinta dengan hati mengandung kepalsuan, ya? Hendak membunuhku?"

   Thian Sin bangkit berdiri, pandang mata dan suaranya dingin seperti menusuk jantung terasa oleh Ang Bwe-nio. Wanita itu menjadi ketakutan, ia melepaskan pisaunya dan menjatuhkan diri berlutut di atas lantai.

   "Taihiap... ampunkan aku..."

   Thian Sin menyambar pisau yang amat tajam itu dan tersenyum.

   "Mengampunkanmu? Hemm... engkau ini wanita cantik yang berhati palsu dan jahat. Hampir saja aku mati olehmu dan engkau masih mengharapkan ampunan dariku? Tidak, wanita macam engkau sudah sepatutnya mampus!"

   Dua kali pisau menyambar dan nampak sinar berkelebat di dekat leher Bwenio. Wanita itu menahan jeritnya ketika mendengar suara berkerincingan dan ternyata dua anting-antingnya telah putus oleh sambaran sinar itu. Wajahnya menjadi semakin pucat. Tahulah ia bahwa pemuda itu memiliki kepandaian yang luar biasa tingginya dan melawanpun tidak akan ada artinya sama sekali.

   "Ampun, Taihiap..."

   Suaranya bercampur isak dan tubuhnya menggigil seperti orang diserang demam.

   "Mudah saja mengampunimu, akan tetapi katakan, siapa yang menyuruhmu? Apakah pemilik rumah penginapan ini? Bukankah dia itu pamanmu?"

   "Bukan... bukan dia, dia hanya terpaksa, seperti aku... diapun bukan pamanku. Aku diperintah oleh lima orang yang menguasai dunia hitam di daerah ini, yang dikepalai Hui-to Ji Beng Tat..."

   "Dapatkah engkau memanggil mereka berlima itu ke sini? Aku ingin sekali tahu mengapa mereka menggunakan engkau untuk merayu dan merobohkan aku, bahkan membunuhku."

   "Dapat... dapat Taihiap...!"

   Bwe-nio berkata dan timbul harapan di dalam hatinya.

   Memang tadinyapun ia sudah ingin menjerit untuk memanggil mereka. Ia tahu bahwa mereka berlima itu sudah siap berkumpul di rumah penginapan itu, untuk berjaga-jaga kalau ia gagal. Dan sekarang benar saja, ia telah gagal. Akan tetapi, ia tadi tidak berani menjerit karena kalau ia melakukan hal itu, sebelum mereka berlima datang, tentu ia akan dibunuh lebih dulu oleh Pendekar Sadis ini. Teringat akan semua perbuatan yang telah dilakukan oleh pendekar ini sudah merasa ngeri bukan main. Kini, mendengar betapa pendekar itu ingin bertemu dengan lima orang kepala itu, hatinya girang dan timbul harapannya. Mungkin saja ia dapat menyelamatkan diri kalau lima orang itu sudah muncul menghadapi pendekar ini.

   "Panggil mereka baik-baik, seolah-olah engkau telah berhasil dengan usahamu. Awas, kalau engkau bertindak curang, aku akan membunuhmu sekarang juga,"

   Kata Thian Sin dan pemuda ini telah merebahkan diri di atas pembaringan, pura-pura terbius.

   Kalau saja ia tidak merasa yakin benar akan kelihaian pemuda itu, ingin rasanya Ang Bwe-nio lari dari pintu yang hanya tertutup saja daun pintunya tidak terkunci itu. Akan tetapi, ia tahu bahwa kalau ia melakukannya hal ini, tentu sebelum tiba di pintu ia akan roboh dan tewas secara mengerikan. Ia hanya mengangguk dan menelan ludah untuk menenangkan hatinya yang berdebar keras, kemudian ia bertepuk tangan tiga kali berturut-turut. Thian Sin mendengar langkah-langkah kaki dari luar menghampiri pintu itu, dan tak lama kemudian daun pintu kamarpun terbuka. Lima orang memasuki kamar itu, dipimpin oleh seorang laki-laki tinggi besar bermuka brewok. Melihat betapa di pinggang orang brewok ini terdapat sebuah kantong berisi pisau-pisau kecil, Thian Sin yang melihat dari balik bulu matanya itu dapat menduga bahwa tentu orang inilah yang dijuluki Hui-to (Golok Terbang).

   "Bagus, Bwe-nio, agaknya engkau sudah berhasil. Kenapa tidak kau bereskan sekali?"

   Kata Si Golok Terbang ketika melihat pemuda itu rebah tak bergerak di atas pembaringan. Akan tetapi Ang Bwe-nio dengan muka pucat menggeleng-geleng kepala.

   "Tidak... tidak berhasil... dia... dia..."

   Pada saat itu, Thian Sin meloncat dari atas pembaringan dan dengan beberapa lompatan saja dia sudah berada di pintu. Tentu saja lima orang itu terkejut bukan main, cepat mencabut senjata masing-masing. Akan tetapi pendekar itu tertawa dan menutupkan pintu, lalu menguncinya, dengan tenang sekali.

   "Bagus, kalian berlima sudah datang di sini. Nah, kita bisa bicara dengan baik."

   Thian Sin menghampiri dengan sikap tenang, tidak peduli lima orang itu bersiap-siap menyerangnya, lalu dia duduk di atas bangku dekat meja, mengisi cawan dengan arak dari guci dan meminumnya.

   "Nah, kita sekarang bisa bicara. Ang Bwe-nio ini telah berusaha untuk merayuku dan membunuhku, akan tetapi ia telah gagal. Dan menurut pengakuannya, kalian berlimalah yang memerintahnya melakukan percobaan itu. Nah, apa yang kalian bilang sekarang?"

   "Pendekar Sadis, ia boleh jadi gagal, akan tetapi kami berlima tidak akan gagal,"

   Kata Hui-to Ji Beng Tat dengan geram.

   "Begitukah? Dengan golok terbangmu itu? Engkau tentu Hui-to Ji Beng Tat. Kenapa kalian hendak membunuhku?"

   "Karena engkau telah mengacau wilayah kami!"

   "Hemm, tahukah kalian siapa aku?"

   "Pendekar Sadis!"

   "Ya, pembasmi para penjahat dan sekarang kalian telah datang untuk menyerahkan nyawa. Bagus sekali, aku tidak perlu susah-susah mencari kalian lagi."

   "Keparat sombong!"

   Teriak kepala penjahat yang bertubuh kecil bongkok dan tiba-tiba saja di sudah menggerakkan tangannya, menyerang dengan jarum-jarum beracun yang disambitkan dari jarak dekat. Thian Sin tahu bahwa sinar hitam itu adalah jarum-jarum kecil yang mungkin sekali beracun, akan tetapi dia memang telah bersikap waspada sejak tadi. Dengan pengerahan tenaga Thian-te Sin-ciang dia melindungi tubuhnya dan tangannya menyambar ke depan muka untuk melindungi mukanya dari sambaran jarum-jarum itu.

   Semua jarum runtuh ke atas lantai, terkena tangan dan juga yang mengenai tubuhnya. Melihat ini, Si Kecil Bongkok terkejut setengah mati, akan tetapi kini pendekar itu telah bangkit dan melangkah menghampirinya. Si Kecil Bongkok yang tadi telah mencabut pedangnya, menyambutnya dengan tusukan kilat. Namun, Thian Sin tidak mengelak, bahkan tangan kirinya menyambar ke depan menangkap pedang itu. Pedang itu ditangkap begitu saja! Melihat ini, tentu saja Si Kecil Bongkok menjadi girang dan berusaha menarik pedangnya untuk melukai tangan lawan yang memegang pedang. Akan tetapi, pedangnya seperti terjepit baja, sama sekali tidak dapat digerakkan. Kemudian, sekali Thian Sin mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang, terdengar suara "krek"

   Dan pedang itu telah patah-patah! Melihat ini, Si Kecil Bongkok terbelalak ketakutan.

   Pada saat itu, Hui-to Ji Beng Tat dan tiga orang kawannya yang lain tidak tinggal diam saja, mereka sudah menerjang maju dan menyerang Thian Sin dari lima jurusan. Tempat itu sempit, akan tetapi Thian Sin sama sekali tidak menjadi gugup. Kedua tangannya bergerak memutar dan senjata empat orang itupun beterbangan terlepas dari pegangan masing-masing. Mereka itu adalah kepala-kepala penjahat yang tingkat kepandaiannya masih jauh sekali dibandingkan dengan Thian Sin, maka tentu saja ditangkis dengan kedua lengan yang penuh dengan tenaga Thian-te Sin-ciang, mereka itu tidak mampu mempertahankan senjata masing-masing. Thian Sin lalu mencabut pisau tajam yang dirampasnya dari Ang Bwe-nio tadi,

   Pisau yang dimaksudkan untuk membunuhnya. Sebelum lima orang itu dapat menyerangnya lagi, tubuhnya bergerak ke depan, pisau itu berubah menjadi sinar berkilat menyambar leher Si Kecil Bongkok. Si Kecil Bongkok ini berusaha mengelak, namun kurang cepat dan tahu-tahu tubuhnya terjengkang roboh dan kepalanya tertinggal di tangan kiri Thian Sin! Kiranya pemuda ini tadi sudah membabat leher lawan dan menjambak rambutnya sehingga begitu leher itu terbabat putus tubuhnya terjengkang dan kepalanya tertinggal di tangannya, dijambak rambutnya! Sungguh mengerikan sekali melihat tubuh tanpa kepala itu, dengan leher berlubang dan menyemburkan darah, sedangkan kepala Si Kecil Bongkok itu dengan mata melotot tergantung pada rambutnya yang riap-riapan dan dicengkeram tangan kiri Thian Sin!

   Ang Bwe-nio menjerit dan terbelalak dengan muka pucat, lalu dengan lemas ia menjatuhkan diri duduk di atas pembaringan. Sementara itu, empat orang kepala penjahat menjadi amat marah sekali di samping rasa ngeri. Dengan nekad mereka sudah menyerbu dengan senjata mereka. Akan tetapi, dengan amat tenang Thian Sin melayani mereka, tangan kiri mencengkeram kepala Si Kecil Bongkok tadi, tangan kanan menggunakan pisau kecil untuk menangkis. Sekali menangkis, pisaunya sudah melesat dari bawah dan menerobos di antara pertahanan lawan dan kembali pisau itu menyambar leher. Orang ke dua berusaha menangkis, namun tangkisannya tembus dan leher itupun terbabat oleh pisau kecil dan tubuhnya terjengkang, kepalanya terlempar, akan tetapi sebelum jatuh ke atas tanah, sudah disambar oleh tangan kiri yang memegang kepala pertama tadi.

   "Bwe-nio, kau peganglah dulu kepala-kepala ini!"

   Thian Sin berseru dan melemparkan dua buah kepala itu ke atas pembaringan di mana Bwe-nio sedang duduk ketakutan.

   "Ayaaaaauuuwww...!"

   Bwe-nio menjerit dan dengan muka pucat dan mata terbelalak, seluruh tubuhnya menggigil ketika ia memandang kepada dua buah kepala yang matanya melotot lebar memandangnya itu. Tilam tempat tidur itu sudah berlepotan darah yang keluar dari kepala itu. Tiga orang yang lain masih mati-matian melawan Thian Sin. Namun, satu demi satu, dua orang lagi kehilangan kepala mereka melayang ke atas pembaringan, membuat Ang Bwe-nio hampir pingsan melihatnya.

   Tinggal Hui-to Ji Beng Tat yang masih nekad melakukan perlawanan menggunakan golok besarnya. Diapun sudah ketakutan dan terdesak oleh pisau kecil yang seperti beterbangan haus darah dan mencari kepala itu. Tiba-tiba Hui-to Ji Beng Tat mengeluarkan teriakan keras dan tubuhnya sudah mencelat ke arah pintu. Tangan kirinya bergerak dan sinar terang berturut-turut menyambar ke arah Thian Sin. Itulah golok terbang atau hui-to yang membuat namanya terkenal di daerah itu. Akan tetapi, senjata-senjata terbang itu tidak ada artinya bagi Thian Sin. Dengan menangkis dengan tangan kirinya, semua golok itu runtuh dan pada saat itu, Hui-to Ji Beng Tat telah mempergunakan kesempatan untuk melarikan diri. Dia sudah berhasil membuka daun pintu, akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan Thian Sin,

   "Pengecut, hendak lari ke mana kau ?"

   Dan pemuda ini sudah melemparkan pisau rampasannya yang meluncur cepat sekali.

   "Creppp...!"

   Pisau itu menancap sampai dalam sekali, sampai ke gagangnya, di tengkuk Hui-to Ji Beng Tat. Kepala penjahat ini terpelanting, akan tetapi sebelum tubuhnya roboh, Thian Sin sudah meloncat di belakangnya, menangkap gagang pisau kecil, menggerakkannya sedemikian rupa sehingga ketika tubuh itu roboh, kepalanya tertinggal di tangannya karena lehernya sudah putus! Ang Bwe-nio sudah tidak dapat mengeluarkan kata-kata lagi ketika kepala yang ke lima itu menggelinding di atas pembaringan. Seperti mayat hidup ia hanya dapat memandang kqada Thian Sin yang kini melangkah menghampirinya sambil tersenyum. Pisau di tangan pemuda itu sama sekali tidak terkena darah, demikian pula pakaiannya, sedikitpun tidak terkena darah. Hal ini saja sudah membuktikan betapa lihainya pemuda ini.

   "Nah, sekarang tiba giliranmu, Bwe-nio!"

   Kata Thian Sin menghampiri dan tubuh wanita itu menggigil, mulutnya sudah tidak dapat mengeluarkan suara lagi saking takutnya.

   "Wajahmu cantik akan tetapi hatimu jahat. Ingin aku melihat jantungmu, apakah berbulu atau tidak!"

   Berkata demikian, Thian Sin membuat gerakan seperti hendak menusuk. Ang Bwe-nio menjerit.

   "Ampun... jangan... bunuh aku..."

   "Hemm, engkau begitu sayang nyawamu? Akan tetapi kalau kubiarkan kau hidup, tentu engkau akan menggunakan kecantikanmu untuk merayu dan mencelakakan laki-laki saja. Kalau begitu, biar kubiarkan kau hidup, akan tetapi kecantikanmu harus lenyap!"

   Tiba-tiba nampak sinar berkelebat, darah mengucur dan Ang Bwe-nio menjerit-jerit sambil mendekap hidungnya. Batang hidung yang kecil mancung itu telah buntung dan lenyap, hanya lubang mengerikan saja yang nampak di tempat hidungnya berdiri.

   Sambil mendekap mukanya yang berdarah, wanita itu berlari keluar dari kamar itu, tidak peduli lagi apakah ia akan dibunuh kalau lari keluar. Sambil tersenyum, Thian Sin membawa lima buah kepala itu pada rambut mereka, dan diapun keluar dari dalam kamar yang sudah banjir darah yang keluar dari leher lima batang tubuh tanpa kepala itu. Pemilik rumah penginapan dan para pembantunya berada di ruangan depan rumah penginapan itu, dan mereka terbelalak melihat Ang Bwe-nio berlari-lari keluar menutupi muka dengan kedua tangan dan darah bercucuran diantara sela-sela jari tangannya. Dan mereka itu terkejut ketika melihat pemuda tampan itu keluar pula dan membawa lima buah kepala! Pemilik rumah penginapan menjerit dan berusaha melarikan diri, akan tetapi tiba-tiba sebuah kepala melayang terbang mengejarnya.

   "Dukkkk!"

   Kepala yang terbang melayang itu menghantam kepala pemilik rumah penginapan yang roboh dan pingsan karena kepalanya menjadi benjol dibantam kepala lain itu. Thian Sin tertawa dan melemparkan kepala yang lain di atas meja penerima tamu, kemudian diapun pergi dari situ tanpa mempedulikan apa-apa lagi. Peristiwa ini amat menggemparkan dan nama Pendekar Sadis makin terkenal. Semua orang bergidik menyaksikan kekejaman yang luar biasa ini dan terutama sekali para penjahat menjadi kecil nyalinya. Nama Pendekar Sadis menjadi semacam momok yang menakutkan bagi dunia hitam, dan di samping mereka itu berjaga-jaga agar jangan sampai bertemu dengan pendekar itu, Juga banyak penjahat yang mengadakan perundingan bagaimana untuk menghadapinya dan membalas semua kekejaman yang telah dilakukan oleh pendekar itu terhadap para penjahat.

   Ada perbedaan besar antara mendiang Raja Sabutai dan Raja Agahai yang kini mengepalai beberapa bangsa Nomad itu. Raja Sabutai dahulu dicintai rakyatnya karena raja yang gagah perkasa itu juga mencinta rakyatnya, menggembleng rakyatnya, menjadi rakyat yang gagah dan raja itu selalu berusaha untuk meningkatkan kehidupan rakyatnya bahkan bercita-cita membawa rakyatnya ke dalam kebesaran dengan menundukkan raja-raja bangsa lain, bahkan pernah hampir saja berhasil mengalahkan Kerajaan Tiongkok di selatan. Dan biarpun kekuasaannya muntlak dan seluruh rakyatnya cinta dan taat kepadanya, Raja Sabutai tidak pernah bersikap sewenang-wenang terhadap rakyatnya dan tidak pernah mengejar kesenangan diri sendiri dan mengorbankan rakyatnya.

   Tidak demikian dengan Raja Agahai. Raja ini adalah seorang yang lemah, malas dan juga hanya mengejar kesenangan diri sendiri saja, menjadi hamba nafsu, senang bermewah-mewah dan senang mengumpulkan harta kekayaan dan membiarkan diri terseret ke dalam pemuasan nafsu berahi dengan memaksa gadis-gadis bangsanya menjadi selirnya yang selalu bertambah itu. Tentu saja dia tidak mendapat hati dalam batin rakyatnya. Diam-diam, rakyatnya membencinya, akan tetapi rakyatnya tidak berani berbuat apa-apa, karena Raja Agahai mengandalkan pasukannya. Raja ini memanjakan pasukannya dan biarpun dia tidak mempedulikan rakyatnya, namun dia bersikap royal terhadap pasukannya. Oleh karena ini, dia ditaati oleh pasukannya yang juga mencontoh perbuatannya dan menindas rakyat dengan tindakan sewenang-wenang. Dengan demikian, terdiapat perpisahan antara rakyat dan tentara.

   Tidak seperti di jaman Raja Sabutai dahulu, di mana tentara dan rakyat menjadi kesatuan yang tak terpisahkan. Ketika itu, tentaranya kuat karena dukungan rakyat, sedangkan rakyatnya merasa aman tenteram karena merasa memiliki pelindung, yaitu pasukan kerajaan. Kini, rakyat memandang pasukan seperti orang memandang penjahat, dengan rasa takut-takut karena biasanya, setiap berdekatan atau berkenalan dengan tentara, berarti mereka akan menemui kesulitan dan kekerasan, atau setidaknya mereka tentu akan terganggu dan menderita kerugian. Raja Agahai memerintah rakyatnya dengan tangan besi melalui pasukan-pasukannya. Pasukan-pasukannya itu kini seperti tentara bayaran saja, yang menjadi tentara karena menghenraki kehidupan yang layak dan kekuasaan yang melebihi rakyat biasa, bukan sekali-kali menjadi tentara karena panggilan tugas membela negara dan bangsa.

   

Dewi Maut Eps 38 Pendekar Lembah Naga Eps 4 Pendekar Lembah Naga Eps 26

Cari Blog Ini