Asmara Berdarah 40
Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo Bagian 40
"Cepat kejar!"
Hui Song berseru dan mereka berempat lalu mengejar, diikuti oleh empat orang kakek, Cia Kong Liang dan para murid Cin-Ling-Pai yang tertinggal jauh di belakang. Kakek dan nenek itu berlari seperti terbang cepatnya menuju ke arah gedung kuno di lereng bukit. Melihat ini, Ci Kang berseru,
"Cepat, kalau mereka memasuki gedung, akan sukar bagi kita karena gedung itu menyimpan banyak rahasia! Mungkin mereka bisa lolos melalui jalan rahasia!"
Mendengar ucapan ini, semua orang melakukan pengejaran secepatnya. Akan tetapi mereka kalah dulu dan kini kakek dan nenek itu sudah tiba di depan gedung. Hal ini membuat delapan orang pengejar itu menjadi gelisah. Juga Cia Kong Liang mendengar ucapan Ci Kang tadi dan diapun yang berada agak jauh di belakang delapan orang itu merasa gelisah. Tiba-tiba terdengar suara ledakan yang keras sekali dan gedung kuno di depan itu hancur berantakan! Kakek dan nenek itu tentu saja merasa terkejut sekali dan Raja Iblis terbelalak memandang kepada seorang gadis yang baru saja muncul dari belakang gedung yang sudah hancur itu.
"Hui Cu..."
Ratu Iblis berseru kaget.
"Apa yang telah kau lakukan?"
Gadis itu memandang kepada ibunya dengan wajah muram, lalu berbalik memandang kepada Raja Iblis dengan sinar mata penuh kemarahan.
"Maafkan aku, ibu. Terpaksa aku menghancurkan gedung ini. Bagaimanapun juga aku harus menentang kejahatannya!"
Ia menuding ke arah muka Raja Iblis.
"Anak keparat! Kalau begitu, engkau harus mampus!"
Raja Iblis tiba-tiba meloncat ke depan dan menyerang Hui Cu dengan pukulannya yang dahsyat. Pukulan itu dahsyat bukan main, datang menerjang Hui Cu seperti kilat menyambar. Gadis itu menggerakkan kedua tangannya menangkis untuk melindungi tubuhnya.
"Desss..."
Tubuh gadis itu terlempar sampai beberapa meter ke belakang dan terbanting ke atas tanah. Akan tetapi, berkat Latihan-latihan yang diterima dari ibunya, gadis itu tadi dapat melindungi dirinya dengan sinkang sehingga ia hanya kesakitan saja dan tidak sampai terluka parah, maka ia hanya mengeluh dan perlahan-lahan bangkit lagi. Melihat ini, Raja Iblis menjadi penasaran dan semakin marah.
"Heh, satu kali pukulan belum cukup, ya?"
Katanya dan dia sudah menerjang lagi ke depan untuk menyusulkan pukulan maut kepada puterinya. Akan tetapi pada saat itu, Ratu Iblis sudah meloncat mendahului suaminya dan menghadang di depan suaminya.
"Jangan bunuh anakku!"
Katanya dengan sinar mata mencorong seperti seekor harimau betina yang melindungi anaknya. Sepasang mata Raja Iblis yang biasanya jarang bergerak itu kini terbelalak. Hampir dia tidak percaya melihat isterinya kini berdiri menghadang dan menentangnya. Selama ini, isterinya amat taat kepadanya, melaksanakan segala perintahnya dengan taruhan nyawa sekalipun. Akan tetapi sekali ini, isterinya menghadapinya dengan sikap seorang musuh! Dia tidak tahu betapa di atas segalanya, seorang ibu mencinta anak tunggalnya dan berani menentang apa saja, berani kehilangan apa saja demi anaknya itu.
"Kau... kau berani menentang aku?"
Tanyanya, masih tidak dapat percaya.
"Jangan bunuh anakku!"
Hanya itulah yang dapat dikatakan Ratu Iblis karena sesungguhnya, nenek ini amat takut dan juga cinta kepada Raja Iblis, akan tetapi agaknya, kasihnya terhadap anak kandung yang tunggal itu lebih besar lagi.
"Kau membela anak keparat yang sudah menghancurkan tempat kita itu?"
Tanyanya lagi.
"Jangan bunuh anakku!"
"Hemm, kalau begitu kalian harus mampus!"
Dan Raja Iblis sudah menerjang isterinya dengan dahsyat. Ratu Iblis menangkis dan iapun terjengkang, sungguhpun tidak sehebat puterinya tadi.
Ia meloncat bangun dan kini Hui Cu juga sudah meloncat dekat ibunya. Ketika Raja Iblis menyerang lagi, dia disambut oleh isterinya dan puterinya! Terjadilah perkelahian yang seru dan yang membuat para pendekar yang sudah tiba di situ memandang bengong dan mereka tidak tahu harus berbuat apa. Mereka mengejar Raja dan Ratu Iblis, akan tetapi kini musuh-musuh yang dikejar itu bahkan saling hantam sendiri. Hal ini membuat mereka bingung, tidak tahu harus membantu siapa! Betapapun lihainya Ratu Iblis, menghadapi suaminya sama saja dengan menghadapi gurunya. Dan kepandaian Hui Cu belum ada artinya kalau dibandingkan dengan ayahnya itu, maka dalam waktu tiga puluh jurus saja, pukulan tangan kiri Raja Iblis telah menyambar dengan tepat mengenai dada isterinya sendiri.
"Dukkk..."
Tubuh nenek itu terjengkang dan terbanting keras.
"Ibu..."
Hui Cu menubruk ibunya dan pada saat itu, dengan kemarahan meluap Raja Iblis menyerang anaknya. Akan tetapi, Sui Cin, Hui Song, Ci Kang dan Cia Sun seperti dikomando telah menerjang maju, menyerang Raja Iblis yang sedang hendak membunuh puterinya itu. Serangan empat orang muda yang parkasa itu sungguh dahsyat, membuat Raja Iblis terpaksa menarik kembali serangannya terhadap Hui Cu dan berloncatan ke belakang untuk menghindarkan diri dari hujan serangan yang berbahaya itu.
Kini, gedung kuno yang menjadi harapannya untuk dapat menyembunyikan atau melarikan diri telah dihancurkan puterinya sendiri, dan pembantunya yang paling dapat diandalkan, yaitu Ratu Iblis, telah tewas atau setidaknya sudah tidak mampu membantunya lagi. Melarikan diri dari empat orang muda perkasa inipun percuma karena dia sendiri sudah amat lelah dan kalau disuruh berlomba lari, tentu dia akan kehabisan napas dan akhirnya tersusul juga. Kini, lalu mengeluarkan suara pekik melengking dan selagi tenaganya masih ada, tiada lain jalan bagi Pangeran Toan Jit Ong atau Raja Iblis kecuali melawan dan berusaha mengamuk, menjatuhkan semua lawan yang empat ini karena empat orang kakek itu tidak ada yang berani maju melanggar sumpah mereka sendiri.
Oleh karena itu, Raja Iblis lalu mengeluarkan suara pekik melengking dan membalas serangan empat orang pengeroyoknya yang cepat menghindar pula. Kini terjadilah perkelahian yang hebat dan mati-matian antara Raja Iblis yang dikeroyok oleh empat orang pendekar muda perkasa itu. Dan kini, empat orang kakek sakti tidak perlu lagi memberi petunjuk kepada murid masing-masing. Dengan hilangnya Ratu Iblis, maka kekuatan Raja Iblis banyak berkurang dan empat orang muda itu mulai mendesak dan memperketat pengepungan mereka. Bahkan Ci Kang dan Hui Song berhasil menyarangkan pukulan masing-masing ke tubuh Raja Iblis. Akan tetapi, kakek ini memiliki kekebalan yang amat kuat sehingga nampaknya pukulan dua orang muda itu tidak berbekas.
Betapapun juga, sama sekali tidak berarti bahwa pukulan itu tidak ada artinya. Biarpun kulit kebal dapat membuat pukulan-pukulan itu membalik, namun di sebelah dalam tubuhnya, Raja Iblis mengalami getaran hebat dan diapun telah mengerahkan terlampau banyak tenaga untuk menahan pukulan-pukulan tadi. Gerakannya jelas nampak semakin lemah dan semakin lambat. Hal ini membuat empat orang pengeroyoknya bertambah semangat dan kembali tubuh kakek itu terkena pukulan, sekali ini Sui Cin yang menampar lambungnya, disusul Cia Sun mendaratkan pukulannya ke arah pundak. Kakek itu terhuyung ke belakang dan ketika Hui Song menyusulkan sebuah tendangan keras yang mengenai perutnya, kakek itu mencelat ke belakang dan dari mulutnya tersembur darah segar.
Namun, dia memekik dan menubruk maju. Hampir saja Sui Cin kena dicengkeram kalau saja Hui Song tidak cepat menolongnya dengan tangkisan yang membuat pemuda itu terjengkang, akan tetapi Sui Cin luput dari cengkeraman maut! Ci Kang menampar pula dari belakang, tamparan yang keras mengenai tengkuk Raja Iblis. Tubuh kakek itu terputar dan kembali dia terhuyung-huyung. Dan tiba-tiba saja kakek itu terpelanting dan jatuh menelungkup tak bergerak lagi. Empat orang pendekar muda itu tidak berani mendekat, khawatir kalau-kalau Raja Iblis hanya pura-pura roboh dan kalau mereka mendekat dengan gegabah, mereka mungkin celaka oleh serangan mendadak. Akan tetapi, beberapa menit mereka menanti, tubuh kakek itu tetap tidak bergerak dan tiba-tiba terdengar Ciu-sian Lokai terkekeh.
"Ha-ha, akhirnya Raja Iblis mati juga!"
Mendengar ucapan suhunya ini, barulah Ci Kang berani menghampiri dan membalikkan tubuh yang menelungkup itu. Nampak darah memenuhi tanah di bawah tubuh dan ternyata sebatang pedang telah menancap di dada kakek itu. Pedangnya sendiri! Kakek itu, setelah melihat bahwa dia tidak akan menang, lalu membunuh diri, memilih mati di tangan sendiri dari pada di tangan empat orang muda itu! Kini mereka semua menujukan perhatian kepada Hui Cu yang masih menangisi ibunya. Nenek itu masih belum tewas walaupun napasnya sudah empas-empis. Tiba-tiba ia berkata,
"Yang mana yang bernama Cia Sun...?"
Mendengar pertanyaan ini, Cia Sun mendekat dan berlutut di sebelah Hui Cu yang masih terisak menangis. Melihat Cia Sun, nenek itu mengangguk lemah. Ia sudah mengenal pemuda ini, sudah pernah jumpa di dalam gua bawah tanah.
"Engkau seorang pemuda yang gagah, dan aku girang Hui Cu mencintamu. Cia Sun, maukah kau berjanji untuk melindungi anakku Hui Cu dan menjadi suaminya? Ia mencintamu..."
Suaranya lemah dan agaknya nenek ini telah mengerahkan tenaga terakhir untuk bicara itu. Cia Sun mengerutkan alisnya. Dia tidak perduli terhadap nenek ini yang dia tahu adalah seorang nenek yang keji dan jahat sekali. Akan tetapi dia harus mengakui pada diri sendiri bahwa dia merasa suka dan sayang kepada Hui Cu yang dianggapnya seorang gadis yang amat baik. Tadi saja sudah terbukti bahwa Hui Cu menentang kejahatan dengan membakar gedung kuno itu. Akan tetapi, dia tidak mencinta Hui Cu dan hal ini sudah dia katakan terus terang kepada Hui Cu! Hal seperti ini mana mungkin dibicarakan di depan orang banyak? Hanya akan membuat Hui Cu berduka dan malu saja. Akan tetapi, nenek itu berada dalam sakratulmaut dan dia harus bicara terus terang.
"Sayang, aku tidak bisa memenuhi permintaanmu. Aku akan melindungi Hui Cu sebagai seorang sahabat, akan tetapi... aku tidak bisa menjadi suaminya..."
Nenek itu terbelalak dan tangis Hui Cu semakin menjadi.
"Apa? Kau... kau tidak cinta padanya? Engkau berani menolak?"
Nenek itu tiba-tiba bangkit dan mengerahkan tenaga untuk menyerang Cia Sun, akan tetapi ia terpelanting dan napasnya putus. Hui Cu bangkit, mukanya pucat ketika ia memandang kepada mayat ibunya.
"Ibu... kau... kau kejam... kejam..."
Dan gadis itupun melarikan diri dengan amat cepatnya.
"Hui Cu..."
Cia Sun memanggil, akan tetapi gadis itu tidak menoleh dan terus lari dengan amat cepatnya. Cia Sun tidak dapat berbuat lain kecuali menghela napas panjang. Sementara itu, Hui Song menghampiri ayahnya dan merekapun saling pandang dengan wajah muram dan hati berduka.
"Ayah... kongkong dan ibu..."
Cia Kong Liang mengangguk.
"Aku sudah tahu, mereka tewas oleh Raja dan Ratu Iblis, dan engkau sudah membalaskan kematian mereka."
"Ayah..."
Hui Song menahan air matanya, mendekati ayahnya dan merekapun saling berpegang tangan. Dari tangan mereka terasa getaran dan kedua orang pria yang kuat ini saling menghibur dengan pegangan tangan mereka itu.
"Aku telah tertipu, Song-ji..."
"Sudahlah, ayah. Aku sudah mendengar dari para suheng. Akan tetapi, ayah telah cepat berbalik pikiran setelah mengetahuinya dan bagaimanapun juga, Cin-Ling-Pai telah banyak membantu pemerintah dalam menentang pemberontak."
"Song-ji, perkenalkan aku dengan para locianpwe ini. Apakah locianpwe itu gurumu?"
Ketua Cin-Ling-Pai berkata.
"Juga siapakah gadis gagah itu? Siangkoan Ci Kang dan Cia Sun aku sudah kenal."
Hui Song lalu memperkenalkan Siangkiang Lojin sebagai gurunya, juga Wuyi Lojin guru Sui Cin, Ciu-sian Lokai guru Ci Kang dan Gobi Sanjin guru Cia Sun.
"Dan ini adalah nona Ceng Sui Cin, puteri tunggal dari locianpwe Ceng Thian Sin di Pulau Teratai Merah."
"Ah, puteri Pendekar Sadis?"
Ketua Cin-Ling-Pai bertanya sambil memandang penuh perhatian kepada Sui Cin.
"Pantas lihai bukan main!"
"Dan ia adalah gadis yang kucinta, ayah, sudah kucalonkan ia menjadi isteriku!"
Kata Hui Song dengan cepat sambil mengerling ke arah Ci Kang dan Cia Sun. Dia tahu bahwa dua orang muda itu agaknya juga menaruh hati kepada Sui Cin, maka kini di depan banyak orang, dengen terang-terangan dia mengaku cintanya kepada gadis itu kepada ayahnya. Mendengar ucapan muridnya itu, Siangkiang Lojin tertawa dan perutnya yang gendut itu bergerak-gerak.
"Ha-ha-ha-ha, ketua Cin-Ling-Pai sungguh beruntung mempunyai seorang putera yang jujur dan berani berterus terang tidak malu-malu kucing!"
Cia Kong Liang tersenyum. Di dalam hati kecilnya, dia kurang suka kalau puteranya berjodoh dengan puteri Pendekar Sadis, karena dalam pandangannya, Pendekar Sadis adalah seorang pendekar yang terlalu kejam terhadap musuhnya. Akan tetapi dia sudah memperoleh banyak pengalaman dalam peristiwa pemberontakan itu sehingga dia menekan perasaannya dan dia menjura kepada kakek gendut itu.
"Berkat bimbingan locianpwe anakku yang bodoh menjadi tabah. Nona Ceng, terus terang saja, setelah mendengar kata-kata anakku, bagaimana pendapatmu tentang itu?"
Pertanyaan yang diajukan ketua Cin-Ling-Pai ini lebih terang-terangan lagi dari pada puteranya. Pendekar ini bertanya kepada seorang gadis begitu saja tentang pendapatnya mengenai pemyataan cinta puteranya! Sui Cin adalah seorang gadis yang berwatak polos, jenaka dan bebas. Terutama sekali ia mencinta kebebasan yang sejak kecil memang diberikan oleh ayah bundanya kepadanya maka sikap Hui Song dan ayahnya itu tidak membuat ia bingung walaupun kedua pipinya kini menjadi lebih merah dari pada biasanya.
"Locianpwe, Song-ko adalah seorang sahabatku yang baik. Aku suka kepadanya..."
"Suka ataukah cinta? Hehe, kukira muridku juga bukan seorang yang pemalu dan berpura-pura. Sui Cin, suka berbeda dengan cinta!"
Tiba-tiba Wuyi Lojin berkata sambil terkekeh. Sui Cin melirik kepada gurunya. Sialan. Gurunya ini lebih terang-terangan lagi sehingga ia merasa tersudut.
"Yaah, mungkin aku juga cinta padanya dan tentang perjodohan... wah, biarlah hal itu ayah ibuku yang memutuskan!"
Jawaban ini membuat semua orang tersenyum dan Hui Song nampak girang bukan main. Cia Sun diam-diam menarik napas panjang dan diapun hanya menundukkan muka saja, sedangkan Ci Kang juga menundukkan muka. Hanya mereka sendirilah yang dapat merasakan kepahitan yang sejenak menyelubungi hati mereka mendengar jawaban Sui Cin yang terang-terangan menyatakan cintanya kepada Hui Song itu. Cia Kong Liang mengangguk-angguk.
"Baiklah, kalau memang kalian saling mencinta, kelak aku akan menemui Pendekar Sadis untuk membicarakan soal perjodohan kalian. Sekarang aku harus mengucapkan terima kasih kepada para locianpwe yang telah menolong calon mantuku ini, juga tidak lupa aku berterima kasih sekali kepada Ci Kang dan Cia Sun, terutama Ci Kang karena tanpa adanya dia ini, mungkin aku sekarang sudah mati dikeroyok oleh para pemberontak anak buah Raja Iblis."
"Nanti dulu, ayah!"
Tiba-tiba Hui Song berkata dengan suara nyaring sehingga mengejutkan hati semua orang. Hati pendekar muda ini yang sedang bergelora penuh cinta asmara terhadap Sui Cin, agaknya masih belum dapat melenyapkan rasa marah dan cemburu teringat akan perbuatan yang pernah dilakukan Siangkoan Ci Kang kepada kekasihnya. Membayangkan peristiwa yang lalu, betapa Ci Kang dengan kekerasan merangkul dan menciumi Sui Cin, hatinya menjadi panas dan kini mendengar Ci Kang dipujipuji ayahnya, dia tidak dapat menerimanya.
"Kita tidak dapat menilai hati orang melalui satu perbuatannya saja. Siapa tahu ketika Siangkoan Ci Kang menolong ayah, hal itu dilakukan secara kebetulan atau memang untuk mencari muka. Dia itu sesungguhnya seorang yang jahat, seorang tokoh sesat, ayah!"
Siangkoan Ci Kang mengangkat muka memandang kepada Hui Song. Sedikitpun tidak nampak penyesalan pada wajahnya yang gagah, bahkan sinar matanya masih lembut seperti biasa. Dia maklum apa yang sedang terjadi di dalam batin pemuda tampan itu. Dia tahu betapa cemburu dan kemarahan membuat Hui Song membenci padanya, atas perbuatannya kepada Sui Cin tempo hari. Dan dia tidak menyalahkan Hui Song. Apalagi Hui Song, dia sendiripun marah dan menyesal sekali atas peristiwa yang terjadi itu dan sukar baginya untuk memaafkan diri sendiri. Oleh karena itu, dia menanti saja apa yang hendak dikatakan Hui Song yang nampaknya penasaran sekali dan siap membuka keburukan namanya di depan semua orang. Akan tetapi, jawaban Cia Kong Liang sungguh di luar dugaan semua orang, terutama sekali Hui Song. Ketua Cin-Ling-Pai itu menjawab tenang,
"Hui Song, agaknya aku lebih mengenal dia dari pada engkau. Aku sudah tahu, dan dia mengaku sendiri bahwa dia adalah putera tunggal mendiang Siangkoan Lojin..."
"Baik sekali kalau ayah sudah mengetahuinya,"
Kata Hui Song memotong.
"Akan tetapi tahu jugakah ayah bahwa Siangkoan Lojin itu adalah Si Iblis Buta, yang sebelum muncul Raja dan Ratu Iblis menjadi datuk kaum sesat yang dibantu oleh Cap-sha-kui!"
Ayahnya menarik napas panjang dan mengangguk.
"Aku tahu kesemuanya itu, Song-ji, dan keadaan keluarganya itu bahkan semakin mengagumkan hatiku terhadap Ci Kang, karena dia bagaikan sekuntum bunga teratai yang hidup di tengah lumpur, tetap indah dan bersih. Aku melihat sendiri betapa hebat sepak terjangnya dalam menentang kejahatan..."
"Ayah belum tahu apa yang tersembunyi di balik kedok domba itu! Ayah, dia jahat sekali! Dia pernah berusaha untuk memperkosa adik Sui Cin..."
"Song-ko..."
Sui Cin terkejut dan menegur karena ia menganggap bahwa tidak pantas pemuda itu membuka rahasia itu.
"Cin-moi, kalau tidak kuberitahukan sekarang, tentu semua orang menganggap dia seorang yang sebaik-baiknya dan hal itu amat berbahaya,"
Bantah Hui Sang.
Cia Kong Liang mengerutkan alisnya, sejenak matanya memandang kepada puteranya dengan marah. Sebagai seorang yang berpandangan tajam diapun dapat menduga bahwa di dalam batin puteranya itu penuh dengan kebencian dan cemburu. Kemudian dia mengalihkan pandang matanya, memandang wajah Siangkoan Ci Kang dan pemuda itu sama sekali tidak membantah, hanya menundukkan mukanya yang menjadi agak pucat, wajah yang membayangkan penyesalan besar. Ucapan Hui Song itu membuat semua orang terkejut. Bahkan Cia Sun yang tadinya amat percaya dan suka kepada Ci Kang yang gagah perkasa, kini memandang dengan alis berkerut dan kakek Ciu-sian Lokai yang biasanya suka berkelakar dan jenaka itu, wajahnya berobah dan alisnya berkerut ketika dia memandang kepada muridnya.
"Siangkoan Ci Kang!"
Tiba-tiba kakek tinggi kurus yang berpakaian pengemis ini berkata, suaranya keras galak, matanya mengeluarkan sinar berkilat.
"Benarkah apa yang dituduhkan orang kepadamu? Benarkan itu bahwa engkau pernah hendak memperkosa nona Ceng Sui Cin ini?"
Semua orang kini memandang kepada Ci Kang, terutama sekali Cia Sun yang merasa bingung dan sukar dapat mempercaya berita bahwa sahabatnya itu pernah hendak memperkosa Sui Cin. Ci Kang mengangkat mukanya yang agak pucat itu, pertama-tama memandang ke arah Sui Cin yang juga memandang kepadanya, kemudian dia memandang kepada gurunya, lalu menunduk kembali dan suaranya lirih dan jelas.
"Benar, suhu. Saya pernah melakukan hal itu."
Sepasang mata Ciu-sian Lokai terbelalak, juga semua orang terkejut mendengar pengakuan blak-blakan ini.
"Ci Kang! Engkau memalukan aku yang menjadi gurumu! Aku tidak pernah mengajarkan engkau untuk bertindak biadab seperti itu!"
Dengan sikap tenang Ci Kang menjawab,
"Suhu mengajarkan agar saya bersikap jujur dan berani mempertanggung-jawabkan semua tindakan saya."
"Hemm, engkau telah melakukan perbuatan terkutuk, lalu apa tanggung jawabmu?"
Desak kakek tinggi kurus itu dengan marah.
"Saya akan menerima segala hukuman yang dijatuhkan kepada saya untuk perbuatan itu, suhu,"
Jawab Ci Kang dengan tenang dan sedikitpun tidak kelihatan gentar. Kakek tinggi kurus itu menarik napas panjang dan wajahnya nampak lega.
"Ah, setidaknya engkau cukup gagah untuk mengakui kesalahan dan menerima hukuman. Nah, aku yang akan menghukummu di depan orang banyak ini. Aku harus mencabut sebagian kepandaianmu dan melumpuhkan separuh badanmu!"
Berkata demikian, Ciu-sian Lokai melangkah maju menghampiri muridnya dan Ci Kang hanya berdiri tenang sambil menundukkan mukanya saja, menanti datangnya hukuman dengan pasrah.
"Nanti dulu!"
Tiba-tiba Cia Sun meloncat ke depan dan menghadang Ciu-sian Lokai.
"Locianpwe, harap maafkan kalau aku mencampuri urusan ini karena Ci Kang adalah sababatku yang baik dan aku mengenal benar kegagahannya. Kita semua sudah mendengar tuduhan paman Cia Hui Song dan juga Ci Kang tidak menyangkal tuduhan itu dan dia demikian gagahnya untuk mempertanggunjawabkan perbuatan yang dituduhkan kepadanya. Akan tetapi di sini kita mempunyai seorang saksi utama yang belum menyatakan kesaksiannya. Cin-moi, mengapa engkau berdiam diri saja? Pendapat semua orang bisa saja keliru, hanya engkau seoranglah yang dapat menjelaskan apa sesungguhnya yang telah terjadi. Aku hanya dapat mempercaya keteranganmu saja dalam hal ini. Benarkah tuduhan paman Hui Song terhadap Ci Kang tadi?"
Kini semua orang memandang kepada Sui Cin. Gadis itu sejak tadi menjadi merah mukanya dan ia sampai kehilangan suaranya saking kaget dan malunya mendengar betapa Hui Song membuka rahasia Ci Kang itu. Kini, secara langsung Cia Sun bertanya kepadanya dan iapun menarik napas panjang lalu memandang kepada Ci Kang dengan sinar mata kasihan.
"Apa yang dituduhkan Song-ko memang benar dan tadinya akupun menyangka bahwa saudara Ci Kang melakukan perbuatan yang amat jahat terhadap diriku. Hal itu terjadi ketika dia dan aku menjadi wakil suku bangsa untuk memilih pimpinan dan dia terluka oleh Jarum-jarumku. Karena merasa menyesal, akupun mengunjunginya dalam perkemahan dan mengobatinya. Akan tetapi, setelah dia sadar, dia malah melakukan usaha untuk memaksaku... dan pada saat itu, Song-ko muncul dan terjadi perkelahian sampai saudara Ci Kang melarikan diri. Pada waktu itu, tentu saja Song-ko menyangka bahwa saudara Ci Kang hendak memperkosaku, bahkan aku sendiripun mempunyai dugaan demikian."
"Nah, sudah jelas! Tunggu apa lagi?"
Seru Hui Song.
"Nanti dulu, Song-ko!"
Kata Sui Cin, mengerutkan alisnya.
"Hati yang penuh cemburu mengundang kebencian dan selalu berprasangka buruk. Aku tadi mengatakan bahwa pada waktu peristiwa itu terjadi, akupun menduga bahwa saudara Ci Kang telah melakukan perbuatan yang rendah dan jahat. Akan tetapi, kemudian baru aku tahu bahwa hal memalukan itu terjadi bukan karena kesalahannya! Sama sekali dia tidak bersalah!"
Hui Song memandang dengan mata terbelalak dan wajah Cia Sun berseri. Sudah dia duga. Dia tidak akan mungkin dapat percaya bahwa sahabatnya itu melakukan hal yang sedemikian rendahnya. Dia, biarpun belum lama bergaul dengan Ci Kang, sudah mengenal pemuda ini sebagai seorang jantan yang berjiwa gagah perkasa.
"Nona Ceng Sui Cin, bicaralah yang jelas. Nona mengakui bahwa muridku ini telah berusaha memperkosamu, akan tetapi selanjutnya nona katakan bahwa dia tidak bersalah! Apa artinya keteranganmu yang bertentangan itu?"
Ciu-sian Lokai mendesak. Kini Ci Kang sendiri merasa amat tertarik. Selama ini, dia hanya merasa amat menyesal atas perbuatannya terhadap Sui Cin itu. Dia sendiri tidak tahu mengapa dia sampai melakukan hal terkutuk itu. Kini, mendengar keterangan Sui Cin, tentu saja dia tertarik sekali dan dia mengangkat muka memandang kepada gadis itu.
"Ketika aku mengunjungi perkemahan saudara Ci Kang untuk mengobatinya, aku membawa juga obat dari subo Yelu Kim. Dan ternyata obat itu manjur. Akan tetapi baru kemudian aku mendengar dari subo Yelu Kim bahwa obat itu mengandung racun perangsang dan racun inilah yang membuat saudara Ci Kang melakukan perbuatan itu terhadap diriku. Dia keracunan, bukan sengaja hendak berbuat keji terhadap diriku. Dia tidak bersalah, yang salah adalah obat pemberian subo Yelu Kim itu."
Bukan main lega rasa hati Cia Sun, Ciu-sian Lokai dan terutama Ci Kang sendiri. Pemuda ini menjadi merah lagi mukanya dan dia memandang kepada Sui Cin dengan perasaan terima kasih yang besar. Gadis itu seolah-olah telah mengangkatnya keluar dari dalam jurang kehinaan yang membuatnya berduka dan murung. Akan tetapi diapun marah kepada nenek Yelu Kim dan dia mengepal tinju.
"Ah, nenek Yelu Kim sungguh keji dan jahat!"
Katanya.
"Saudara Ci Kang hendaknya tidak salah sangka terhadap subo Yelu Kim!"
Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sui Cin berkata melihat sikap pemuda itu.
"Subo Yelu Kim tidak berniat jahat dengan pemberian obat itu."
"Tidak jahat? Nona, ia hampir membuat aku menjadi seorang hina, membuat aku hampir putus asa karena penyesalan, dan engkau masih mengatakan bahwa dia tidak jahat?"
Ci Kang berseru heran. Sui Cin menggeleng kepala dan tersenyum simpul.
"Tidak, ia sama sekali tidak jahat, saudara Ci Kang. Semua terjadi karena selah pengertian. Ketika subo melihat betapa aku merasa menyesal melukaimu dan hendak mengobatimu, ia salah sangka. Ia mengira bahwa aku jatuh cinta padamu... dan... dengan obat itu, ia bermaksud hendak membantuku..."
Ingat, subo adalah pemimpin suku-suku liar, jadi... dalam hal itu, mungkin saja cara berpikirnya dan kebiasaan suku liar itu sendiri jauh berbeda dengan kita..."
Cia Kong Liang memandang kepada puteranya.
"Song-ji, engkau sudah mendengar sendiri sekarang! Lain kali, jangan sembarangan menjatuhkan tuduhan kalau belum mengerti benar apa yang menjadi sebab-sebab perbuatan itu. Tuduhan yang tanpa dasar bisa merupakan fitnah keji."
Wajah Hui Song menjadi merah padam, akan tetapi dengan gagah diapun menjura kepada Ci Kang.
"Siangkoan Ci Kang, maafkanlah aku. Akan tetapi, siapa dapat menduga tentang racun itu? Cin-moi sendiri sebelum mendengar dari nenek Yelu Kim juga tidak tahu. Jadi, aku tidak menuduh secara membabi-buta, harap kau dapat memakluminya."
Diam-diam Ci Kang merasa kagum. Pemuda itu, biarpun karena cemburunya menjatuhkan tuduhan penuh kebencian kepadanya, namun kini mau mengakui kesalahannya secara gagah perkasa dan minta maaf. Seperti juga ayahnya yang telah melakukan salah langkah yang amat hebat dan membawa anak buah membantu para pemberontak, akan tetapi setelah sadar berani bertindak membetulkan langkah, bahkan dengan pengorbanan nyawa isteri dan ayah mertuanya, dan banyak pula anak murid yang menjadi korban.
"Sui Cin! Apa saja yang telah kau lakukan selama ini?"
Tiba-tiba terdengar suara teguran yang nyaring, suara seorang wanita dan begitu suara itu berhenti, nampak dua bayangan orang berkelebat dan di situ telah berdiri seorang pria berusia hampir lima puluh tahun yang tampan dan gagah, bersama seorang wanita yang usianya sebaya, cantik dan berpakaian mewah indah seperti pria itu pula. Mereka ini adalah Ceng Thian Sin atau Pendekar Sadis, bersama isterinya, Toan Kim Hong yang pernah berjuluk Lamsin (Malaikat Selatan).
"Ayah... Ibu..."
Sui Cin berseru girang bukan main dan cepat ia lari menghampiri mereka dan saling rangkul dengan ibunya. Gadis itu pakaiannya sederhana saja, bahkan agak nyentrik, sedangkan ibunya berpakaian rapi dan mewah, sungguh besar perbedaan pakaian mereka. Akan tetapi wajah mereka sama-sama cantik dan manis.
"Ayah, ibu, mari kuperkenalkan kepada orang-orang gagah ini!"
Kata Sui Cin dengan lincah gembira sambil menuntun tangan ibunya.
"Cuwi yang gagah, mereka ini adalah ayahku dan ibuku! Ayah, ibu, empat orang kakek ini adalah tokoh-tokoh sakti yang memimpin para pendekar menghadapi Raja Iblis dan kaki tangannya. Ini adalah suhu Wuyi Lojin yang terkenal dengan sebutan Dewa Arak dan beliau ini telah menjadi guruku, membimbingku selama tiga tahun."
"Heh heh , aku tua bangka ini telah lancang dan tak tahu diri berani menjadi guru puteri Pendekar Sadis yang amat lihai!"
Kata Wuyi Lojin. Akan tetapi sambil tertawa Ceng Thian Sin menjura.
"Bimbingan locianpwe terhadap anak kami yang bodoh merupakan budi yang besar sekali dan kami berterima kasih."
Sui Cin melanjutkan.
"Dan ini adalah locianpwe Siangkiang Lojin yang disebut Dewa Kipas, lihai dan lucu, juga amat baik hati. Dan yang ini locianpwe Ciu-sian Lokai dan Gobi Sanjin. Pemuda ini adalah Cia Sun toako, putera dari paman Cia Han Tiong..."
Cia Sun cepat memberi hormat kepada Pendekar Sadis dan isterinya. Ceng Thian Sin girang sekali melihat Cia Sun dan memegang pundak pemuda itu sambil memandang wajahnya dengan penuh perhatian.
"Ah, kanda Cia Han Tiong memiliki seorang putera yang gagah perkasa, aku girang sekali."
"Ayah dan ibu, ini adalah enci Tan Siang Wi dan ini koko Cia Hui Song dan ayahnya, ketua Cin-Ling-Pai, lociawpwe Cia Kong Liang."
Mereka berhadapan dan saling pandang, kemudian Ceng Thian Sin dan isterinya menjura dengan hormat kepada ketua Cin-Ling-Pai yang dibalas dengan sikap sederhana oleh Cia Kong Liang sambil berkata,
"Gembira sekali dapat bertemu lagi dengan jiwi di tempat ini."
Sebelum mereka sempat bercakap-cakap, tiba-tiba nampak seorang laki-laki berlari-lari mendatangi dan dengan napas agak terengah-engah, pria ini lalu maju dan menudingkan telunjuknya ke arah Hui Song.
"Itu dia! Itulah dia si Jahanam Cia Hui Song, keparat tak mengenal budi. Penjahat keji yang terkutuk itu!"
Orang itu lalu menoleh ke arah Pendekar Sadis dan isterinya.
"Orang gagah, engkau telah berjanji, cepat tangkap dan seret dia seperti yang telah kau janjikan!"
Sementara itu, melihat pria ini, Hui Song sudah melangkah maju.
"Eheh, saudaraku, Lamnong, apakah yang telah terjadi? Kenapa engkau bersikap seperti ini?"
Lamnong meloncat ke belakang dan matanya melotot.
"Jangan sentuh aku! Apakah engkau mau bunuh aku juga? Sebelum engkau membunuhku, biarlah semua orang gagah ini mendengar perbuatan apa yang telah kau lakukan kepada keluargaku, kepada suku kami!"
Hui Song mengerutkan alisnya dan memandang bingung. Apakah Lamnong telah menjadi gila, pikirnya.
"Saudara Lamnong, mengapa kau begini?"
"Tak usah berpura-pura. Anak buahku sendiri melihat dengan mata sendiri, dan dia tidak mungkin berbohong. Kami telah menerimamu sebagai seorang sahabat baik, membagimu makanan yang kami makan, minuman yang kami minum. Akan tetapi engkau telah membalas dengan perbuatan terkutuk! Engkau telah membantu pemberontak, menghancurkan semua anak buahku, bahkan engkau telah merampas Isteri-isteriku, memaksa mereka untuk berjina denganmu dan akhirnya membunuh mereka. Engkau manusia iblis! Terkutuk!"
Lamnong maju menyerang dengan nekat, akan tetapi sekali dorong saja Hui Song membuat dia terpelanting. Ceng Thian Sin sudah maju dan menangkis tangan Hui Song yang hendak menampar Lamnong.
"Dukkk..."
Dan Hui Song merasa lengannya tergetar hebat, maka diapun meloncat ke belakang.
"Aku dan isteriku bertemu dengan dia ini yang hampir gila karena duka mendengar betapa keluarganya hancur. Dan anak buahnya melihat sendiri semua yang telah diceritakannya tadi, karena itu, sebelum kesemuanya jelas, jangan persalahkan dia."
"Tapi, tapi... saya tidak..."
Hui Song tergagap, tentu saja tidak berani melawan ayah Sui Cin!
"Song-ji!"
Tiba-tiba terdengar suara ayahnya membentak marah.
"Apa yang sesungguhnya telah terjadi? Tak mungkin orang menuduhmu membabi-buta tanpa sebab! Hayo ceritakan sejujurnya!"
"Ayah, sungguh mati aku tidak pernah melakukan perbuatan itu..."
"Cia Hui Song, engkau selain jahat juga pengecut, tidak berani mengakui perbuatan sendiri! Anak buahku melihat dengan mata kepala sendiri. Dia melihat engkau dalam kamar bersama Isteri-isteriku yang kau paksa melayanimu! Hayo katakan, tidak benarkah engkau berada di dalam kamar tidur bersama mereka?"
Hui song maklum bahwa terjadi kesalah-pahaman yang hebat. Memang kalau orang melihat ketika dia ditawan Sim Thian Bu, melihat betapa selir-selir Lamnong dipaksa datang melayaninya, orang bisa saja salah paham.
"Aku tidak menyangkal. Memang aku berada dalam kamar bersama Isteri-isterimu, akan tetapi..."
"Nah, taihiap sudah mendengar sendiri. Harap taihiap tangkapkan penjahat ini untukku seperti yang telah taihiap janjikan!"
Kata Lamnong kepada suami isteri Pulau Teratai Merah itu.
"Pemuda tak tahu malu!"
Tiba-tiba Toan Kim Hong membentak dan tubuhnya sudah menyambar ke depan, ke arah Hui Song. Tangannya terulur untuk mencengkeram pundak Hui Song karena nyonya ini sudah menjadi marah sekali dan merasa yakin akan keterangan Lamnong.
"Dukkk..."
Tiba-tiba Ci Kong Liang menggerakkan tubuhnya dan dengan cepatnya dia telah menangkis lengan wanita itu sehingga keduanya merasa betapa lengan mereka tergetar hebat oleh pertemuan tenaga dahsyat itu. Toan Kim Hong memandang dan tersenyum mengejek, sinar matanya berkilat.
"Hemmm, bagus sekali! Tadinya ketua Cin-Ling-Pai telah melakukan salah perhitungan dan membantu pemberontak yang bersekutu dengan kaum sesat, apakah kini hendak mengulang lagi dengan membantu anak yang menyeleweng dan melakukan perbuatanperbuatan rendah?"
Akan tetapi dengan sikap angkuh dan tenang, Cia Kong Liang menjawab,
"Kesalahan anak harus dipertanggung-jawabkan orang tuanya! Aku sebagai ayahnya masih hidup, mana bisa aku membiarkan saja orang lain hendak menghukum anakku? Aku sendiri masih dapat menghajarnya!"
Campur tangan Toan Kim Hong tadi membuat ketua Cin-Ling-Pai tersinggung sekali dan kemarahannya tentu saja ditumpahkannya kepada Hui Song yang dianggap menjadi biang keladinya. Tangannya bergerak ke kiri dan tahu-tahu dia sudah mencabut pedang yang tadinya tergantung di punggung Siang Wi. Muridnya terkejut bukan main.
"Suhu..."
Siang Wi berseru dengan muka pucat, akan tetapi gurunya memandang dengan mata penuh teguran sehingga gadis ini menunduk dan takut, akan tetapi mukanya yang pucat menjadi semakin pucat ketika ia melirik ke arah Hui Song.
"Hui Song, engkau tahu bahwa kita orang-orang Cin-Ling-Pai selalu berani mempertanggung-jawabkan perbuatan kita dan bahwa kita selalu siap menerima hukuman untuk perbuatan kita. Nah, untuk perbuatanmu itu, aku perintahkan engkau untuk membuang sebelah lenganmu. Engkau hendak melakukannya sendiri ataukah harus aku yang melaksanakannya?"
Semua orang terbelalak dan Sui Cin mengeluarkan seruan tertahan, matanya dibuka lebarlebar memandang kepada Hui Song. Ia sendiri tidak dapat percaya bahwa pemuda yang dicintanya itu telah melakukan perbuatan yang demikian jahatnya seperti yang dituduhkan Lamnong.
Akan tetapi kalau saksi telah ada, bahkan ayah bundanya sendiri sudah percaya, apa yang dapat ia lakukan? Hatinya merasa tegang bukan main dan rasanya ia ingin lari saja meninggalkan tempat yang menegangkan itu. Hui Song yang biasanya lincah gembira itu, kini wajahnya menjadi agak pucat dan lesu. Dia mengenal watak ayahnya yang keras dan memegang peraturan dengan patuh, sedikitpun tidak dapat ditawartawar lagi. Membantah ayahnya tiada gunanya, hanya menimbulkan gambaran bahwa dia tidak berani menghadapi akibat dari pada hukuman itu saja. Akan tetapi, menerima hukuman itupun merupakan sesuatu yang amat penasaran karena dia sama sekali tidak pernah melakukan perbuatan laknat seperti yang dituduhkan Lamnong kepadanya.
"Ayah, aku bukan seorang pengecut yang suka mengelak hukuman, kalau memang aku bersalah. Dan aku merasa tidak bersalah. Akan tetapi, kalau ayah menetapkan demikian, terserah kepada ayah!"
Dengan berani dia menatap pandang mata ayahnya dan melihat betapa sinar mata orang tua itu suram dan layu. Teringatlah dia bahwa baru saja ayahnya kehilangan ibunya dan juga kongkongnya. Dia tahu betapa hebat penderitaan yang terasa dalam batin ayahnya dan kini harus menghadapi urusannya pula. Dia merasa kasihan sekali.
"Ayah, kalau hal itu menyenangkan hatimu, laksanakanlah hukuman itu!"
Katanya dengan gagah dan ikhlas. Ucapan Hui Song ini oleh Cia Kong Liang yang sedang merasa terhimpit batinnya itu diterima sebagai tantangan dan keikhlasan itu dianggap sebagai pengakuan bersalah, maka dia mengambil keputusan bulat untuk melaksanakan hukuman itu atas diri putera tunggalnya! Hatinya akan hancur dan kecewa sekali,
Akan tetapi di samping itu masih akan terhibur oleh rasa bangga bahwa keluarganya tetap bersikap jantan dan tidak lari dari pada pertangungan jawab! Maka, karena tahu akan kelihaian puteranya, diapun menggerakkan pedangnya dengan jurus yang diambil dari ilmu Pedang Siangbhok Kiamsut. Bukan main hebatnya serangan ini, ketika pedang yang dipinjamnya dari Siang Wi karena pedangnya sendiri lenyap ketika dia tertawan, berkelebat menyambar ke arah lengan Hui Song! Biarpun yang hadir di situ adalah orang-orang sakti yang berilmu tinggi, namun tak seorangpun di antara mereka yang berani mencampuri. Apa yang sedang terjadi itu adalah urusan antara anak dan ayah dan sang ayah adalah ketua Cin-Ling-Pai yang sikapnya demikian keras, angkuh dan penuh wibawa. Mereka semua hanya memandang dengan mata terbelalak dan hati diliputi ketegangan.
"Crakkkk..."
Terdengar jeritan Siang Wi dan Sui Cin dan nampak sebuah lengan kiri sebatas siku terbabat putus dan jatuh ke atas tanah, darahpun muncrat keluar dari lengan yang buntung.
"Ci Kang..."
Cia Sun dan Ciu-sian Lokai menubruk Ci Kang yang agak terhuyung itu. Kiranya tadi, ketika melihat pedang menyambar ke arah tubuh Hui Song, Ci Kang yang berdiri dekat dengan Hui Song, cepat menangkis dengan lengan kirinya. Dia sudah mengerahkan sinkang ketika menangkis. Akan tetapi, gerakan pedang itu bukanlah gerakan biasa, melainkan merupakan jurus ampuh dari Ilmu Pedang Siangbhok Kiamsut (Ilmu Pedang Kayu Harum), maka tak dapat dihindarkan lagi, lengan kiri Ci Kang mulai bawah siku terbabat buntung! Cia Sun merangkul sahabatnya dan Ciu-sian Lokai menyuruh muridnya duduk bersila, lalu dia menotok jalan darah di pundak dan pangkal lengan untuk menghentikan darah yang bercucuren keluar.
"Aku membawa obat luka yang amat manjur!"
Kata Toan Kim Hong yang bersama suaminya bersikap biasa saja. Mereka berdua ini sudah terlalu sering menyaksikan Hal-hal yang amat hebat terjadi di dunia persilatan, dilakukan oleh kaum persilatan yang memang berwatak aneh-aneh.
Biarpun mereka terkejut juga melihat kenekatan Ci Kang, namun mereka tidak sampai menjadi bingung seperti yang lain. Dengan cekatan nyonya ini lalu menaruhkan obat bubuknya pada lengan yang buntung dan membalut lengan buntung itu dengan sehelai saputangan bersih. Ci Kang tadi duduk bersila dan mengumpulkan hawa murni untuk melawan rasa nyeri dan kini sudah bersikap biasa. Cia Kong Liang yang terbelalak kaget melihat betapa pedangnya ditangkis orang dan malah membuntungkan lengan Ci Kang yang dikaguminya, melepaskan pedang itu dan dia hanya dapat mengeluh dan menghapus peluhnya dengan saputangan, tak mampu mengeluarkan kata-kata. Setelah pemuda itu diobati dan semua orang memandang kepadanya, barulah ketua Cin-Ling-Pai itu berkata kepada Ci Kang,
"Ci Kang, apa artinya perbuatanmu itu? Mengapa engkau melakukan itu?"
Ci Kang mengangkat muka memandang ketua Cin-Ling-Pai itu dan tersenyum masam.
"Locianpwe tidak boleh menghukum orang yang tidak bersalah dan akulah agaknya satu-satunya orang yang menjadi saksi bahwa Cia Hui Song memang tidak bersalah."
Tentu saja ketua Cin-Ling-Pai itu terkejut bukan main, juga semua orang yang hadir di situ kini memandang Ci Kang dengan penuh perhatian. Lamnong melangkah maju dengan marah.
"Orang muda, apa yang kau lakukan ini memang aneh dan gagah perkasa, dan untuk pengorbanan lenganmu guna orang lain ini sudah membuat aku kagum sekali. Akan tetapi jangan kau main-main dengan kesaksian itu. Ingat, orang-orangku sendiri sampai mati tidak akan berbohong dan mereka melihat dengan mata kepala sendiri betapa Cia Hui Song ini telah..."
"Harap suka dengarkan dulu penjelasanku. Akupun mendengar rahasia itu secara kebetulan saja dan dibicarakan oleh pelaku-pelakunya sendiri."
Dia lalu dengan singkat menceritakan betapa dia melihat Hui Song ditawan oleh Sim Thian Bu dan kemudian mendengar pula percakapan antara Sim Thian Bu dan Hui Song, betapa Sim Thian Bu membujuk Hui Song untuk menakluk kepada Raja Iblis, juga mendengar betapa Thian Bu telah memaksa Isteri-isteri Lamnong untuk merayu Hui Song dan sengaja membiarkan kakek anak buah Lamnong untuk melihat adegan itu sehingga nama baik Hui Song akan tercemar dan akan terjadi bentrok antara Lamnong dan Hui Song.
"Semua itu kudengar sendiri dan aku tahu siapa Sim Thian Bu. Dia adalah bekas suteku dan aku tahu akan kejahatannya. Cia Hui Song telah difitnah dan laporan kakek anak buah bangsa Mancu itu memang benar, hanya dia tidak tahu bahwa pada waktu dia melihat empat orang Isteri-isteri
(Lanjut ke Jilid 38 - Tamat)
Asmara Berdarah (Seri ke 08 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 38 (Tamat)
saudara Lamnong berada dalam satu kamar bersama Hui Song, dia sedang dalam keadaan tertotok dan tidak mampu bergerak."
"Ahhh..."
Lamnong berseru dan laki-laki ini lalu menangis! Dia sudah dihimpit kedukaan karena keluarganya binasa semua, kini ditambah lagi dengan kekeliruan sangka sehingga mengakibatkan sahabat baiknya Cia Hui Song hampir saja terhukum.
"Hemm..."
Cia Kong Liang juga mengeluarkan seruan tertahan dan bermacam perasaan terkandung dalam seruan itu. Ada perasaan lega karena ternyata putera kandungnya itu tidak berdosa, akan tetapi juga ada perasaan menyesal karena pedangnya, walaupun tidak disengaja, telah membuntungkan lengan Ci Kang yang gagah perkasa.
"Ci Kang... ah, Ci Kang..."
Tiba-tiba Hui Song menjatuhkan dirinya berlutut di depan Ci Kang dan merangkul pundak pemuda tinggi besar itu. Biarpun Hui Song seorang pemuda perkasa yang gagah berani dan berbatin kuat, namun sekali ini keharuan membuat dia tidak kuasa menahan mengalirnya air matanya.
"Aku... aku telah berdosa kepadamu dan engkau malah melimpahkan budi tiada hentinya kepadaku! Engkau pernah membebaskan aku dari tawanan Sim Thian Bu dan aku malah mengajakmu berkelahi. Engkau datang ke benteng Jeng-hwa-pang untuk bergabung dengan para pendekar dan aku malah menghinamu dan mengajak para pendekar menyerangmu karena engkau putera mendiang Iblis Buta. Dan aku... tadi aku telah menuduhmu melakukan perbuatan keji terhadap Cin-moi... dan kini... engkau malah membelaku, engkau membersihkan namaku dan engkau... engkau bahkan rela mengorbankan sebuah lenganmu untukku... Ci Kang, mengapa engkau begini baik sedangkan aku begini jahat dan kejam karena cemburu?"
Ci Kang menepuk-nepuk pundak Hui Song dengan tangan kanannya, lalu dia bangkit berdiri, mengebutngebutkan bajunya dengan tangan kanan, wajahnya pucat dan senyumnya pahit.
"Sudahlah Hui Song. Aku melakukan ini memang sudah seharusnya, dan di samping itu, aku... aku..."
Dia mellrik ke arah Sui Cin.
"aku tidak ingin melihat nona Sui Cin menderita, dan kalau lenganmu buntung, tentu nona Sui Cin akan menderita. Aku... aku hanya anak seorang datuk sesat yang amat jahat, biarlah buntungnya lenganku ini sedikit meringankan hukuman bagi ayah kandungku di neraka... nah, selamat tinggal. Suhu, ampunkan teecu, selamat tinggal!"
Dia menjura kepada Ciu-sian Lokai, lalu memungut buntungan lengannya dari atas tanah.
"Ci Kang... Kau... maafkanlah aku..."
Sui Cin terisak sambil menyentuh lengan kanan pemuda itu. Sejenak Ci Kang memandang kepada wajah gadis itu, menarik napas panjang dan berbisik lirih.
"Nona... semoga engkau berbahagia..."
Dan diapun cepat meloncat dan melarikan diri pergi dari tempat itu. Tiba-tiba Ciu-sian Lokai tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, Gobi Sanjin, bagaimana sekarang? Masih engkau menganggap keliru sikap pendekar besar Cia Han Tiong? Lihat, bagaimana seorang putera datuk sesat yang amat kejam dan jahat telah berobah menjadi seorang pendekar budiman yang mengagumkan. Ha ha ha!"
Gobi Sanjin mengelus mukanya dan diapun menarik napas panjang.
"Engkau benar... engkau benar... akan tetapi bagaimanapun juga, muridku tidak berobah menjadi seorang yang jahat, melainkan tetap seorang pendekar yang adil dan jujur."
Tentu saja tidak ada yang mengerti apa maksudnya percakapan antara dua orang kakek itu, bahkan Cia Sun sendiri hanya memandang heran mendengar betapa nama ayahnya terbawa dalam percakapan itu. Sementara itu, Wuyi Lojin dan Siangkiang Lojin melangkah maju dan keduanya tertawa ha-ha-hi-hi setelah tadi saling memberi isyarat dengan pandang mata mereka. Mereka itu seperti saling dorong dengan sikap mereka, seperti dua orang anak-anak yang malu-malu ingin mengatakan sesuatu, dan akhirnya Wuyi Lojin mengalah dan kakek pendek inilah yang bicara.
"Heh heh heh, kebetulan sekali di sini hadir orang-orang gagah Cia Kong Liang dan suami isteri Ceng Thian Sin, dan juga anak-anak mereka atau murid-murid kami. Sungguh kebetulan sekali karena saat inilah yang teramat baik untuk bicara soal perjodohan. Pangcu dari Cin-Ling-Pai sudah mendengar bahwa puteranya jatuh cinta kepada muridku, Ceng Sui Cin dan bagaimana pendapat pangcu kalau saat pertemuan ini, selagi kita semua berkumpul, dibicarakan tentang ikatan jodoh antara Hui Song dan Sui Cin?"
Ketua Cin-Ling-Pai itu mengerutkan alisnya, memandang kepada kakek pendek itu lalu menarik napas panjang dua kali.
"Locianpwe, sudah banyak aku mencampuri urusan dan semuanya menjadi gagal dan rusak. Oleh karena itu, urusan perjodohan Hui Song terserah kepadanya dan kepada locianpwe yang sudah menjadi gurunya. Aku sih setuju saja, akan tetapi sekarang aku masih mempunyai kepentingan lain, biarlah lain hari saja kita bicarakan hal itu. Cuwi maafkan, aku harus pergi dulu. Song-ji, mari bantu aku mencari dan mengurus jenazah ibumu dan kongkongmu."
Mendengar ini, semua orang terkejut dan baru teringat bahwa ketua Cin-Ling-Pai ini baru saja tertimpa musibah, bahkan belum sempat mencari jenazah isterinya dan ayah mertuanya. Juga Hui Song tidak berani membantah perintah ini, maka pemuda itupun menoleh kepada Sui Cin, melempar pandang mata penuh arti lalu memberi hormat kepada empat orang kakek itu dan juga kepada Ceng Thian Sin dan isterinya. Kemudian ketua Cin-Ling-Pai menjura kepada semua orang lalu pergi dengan cepat diikuti Hui Song, Siang Wi dan para anggota Cin-Ling-Pai. Wuyi Lojin dan Siangkiang Lojin saling pandang, keduanya menggerakkan pundak seperti kehabisan akal, akan tetapi Siangkiang Lojin tidak kekurangan akal.
"Aha, sayang sekali ketua Cin-Ling-Pai mempunyai urusan yang amat penting, akan tetapi di sini masih ada orang tua dan juga guru dari Ceng Sui Cin, masih ada kesempatan untuk membicarakan urusan itu walaupun hanya sepihak."
Mendengar ini, Wuyi Lojin juga tertawa.
"Heh-heh, benar juga, benar juga. Bagaimana, Ceng-sicu dan juga toanio, jiwi sudah mendengar bahwa antara puteri jiwi dan putera ketua Cin-Ling-Pai itu ada hubungan kasih dan mereka berdua sudah bersepakat untuk mengikat perjodohan, dan kami berdua sebagai guruguru mereka sudah merasa cocok sekali!"
"Hemm, aku tidak suka mempunyai mantu pemuda itu!"
Tiba-tiba Toan Kim Hong berseru. Suaminya menyambung,
"Sesungguhnya, keluarga Cia dari Cin-Ling-Pai itu terlalu angkuh dan ketinggian hati itu membuat kami tidak suka untuk berbesan dengan mereka..."
"Ayah! Ibu!"
Sui Cin berteriak marah.
"Agaknya ayah dan ibu masih ingin memaksaku untuk menerima pinangan si pesolek Can Koan Ti itu, ya? Ayah dan ibu ingin sekali berbesan dengan Pangeran Can Seng Ong, seorang pangeran dan juga gubernur di Cekiang! Baiklah, ayah dan ibu saja yang menikah dengan mereka. Akan tetapi aku tidak sudi!"
Setelah berkata demikian, Sui Cin meloncat dan melarikan diri sambil menangis!
"Sui Cin..."
Teriak Pendekar Sadis marah, akan tetapi anaknya tidak perduli dan sudah lari cepat lenyap dari situ. Ketika dia mendengar suara gerakan halus dan menengok, ternyata Wuyi Lojin dan Siangkiang Lojin, dua orang kakek, telah lenyap pula dari situ.
Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hemm, anak itu menjadi besar kepala karena ulah dua orang kakek itu,"
Kata Toan Kim Hong marah.
"Setelah merantau dan berguru, Sui Cin malah menjadi seorang anak yang durhaka terhadap orang tuanya! Kakek itu perlu dihajar!"
Dan nyonya yang galak itu sudah melompat untuk melakukan pengejaran. Akan tetapi ia dipeluk dari belakang oleh suaminya.
"Eh, eh, eh, jangan marah-marah dulu. Ingat, dua orang kakek itu adalah orang-orang sakti yang mencinta Sui Cin dan bermaksud baik. Pula, jangan kira bahwa kita akan mudah saja dapat mengalahkan mereka."
"Aku tidak takut!"
"Eit eitt, nanti dulu. Tentu saja kita tidak mengenal takut, akan tetapi itu kalau berhadapan dengan orang-orang jahat dan untuk menentang kejahatan. Sekarang persoalannya lain lagi. Mereka bukan orang jahat, bahkan guru Sui Cin dan mereka berniat baik. Mari kita kejar mereka dan kita bicara dengan baik. Ingat, Sui Cin hanya anak tunggal kita, demi kebahagiaannya kita harus dapat merundingkan hal ini dengan perlahan dan dengan baik."
Setelah dibujuk suaminya, Toan Kim Hong mulai sabar dan merekapun meninggalkan tempat itu. Kini di situ tinggal Cia Sun dan dua orang kakek, Ciu-sian Lokai dan Gobi Sanjin yang sejak tadi hanya menjadi penonton. Ciu-sian Lokai tertawa bergelak.
"Ha ha ha, betapa lucunya manusia di dunia ini, sungguh dunia ini tiada lain hanya sebuah panggung sandiwara dan manusia-manusianya menjadi badut-badut yang Kadang-kadang tidak lucu sama sekali. Lihat itu Raja Iblis dan Ratu Iblis. Raja Iblis tadinya seorang pangeran besar, bahkan kemudian dia sudah merobah diri menjadi seorang pertapa yang berilmu tinggi sekali. Akan tetapi, ternyata dia masih belum puas dengan hidupnya dan menjangkau yang lebih tinggi. Dan apa jadinya sekarang? Dia dan isterinya hanya merupakan seonggok daging!"
Kakek itu menggeleng-geleng kepala. Gobi Sanjin juga menarik napas panjang.
"Manusia berbunuh-bunuhan, mayat berserakan, semua itu hanya untuk mengejar cita-cita kosong dan saling mempertahankan kebenaran masing-masing, kebenaran kosong! Lihat itu..."
Dia menunjuk ke arah pasukan yang sudah tiba di situ dan kini sedang mengurus mayat-mayat yang berserakan.
"Semua kalau sudah menjadi mayat, ya sama saja, sama-sama membusuk. Ketika masih hidup, juga bergelimang dalam kebusukan walaupun semua cita-cita untuk kebaikan. Betapa lucunya, lucu dan menyedihkan. Betapa hidup hampir dipenuhi sengsara belaka."
Mendengar percakapan kedua orang kakek itu, Cia Sun teringat kepada ayahnya dan tiba-tiba saja dia melihat betapa ayahnya adalah seorang bijaksana dan berbatin mulia. Ayahnya tidak mendendam, walaupun kehilangan isteri. Ayahnya dapat menerima segala hal yang menimpa dirinya dengan tenang, penuh kewaspadaan, tidak dikuasai oleh nafsu-nafsu amarah dan kebencian.
Dan tiba-tiba saja dia merasa rindu kepada ayahnya. Juga dia harus menemui ayahnya untuk suatu hal. Dia tahu bahwa Sui Cin tidak dapat diharapkannya lagi, bahwa Sui Cin mencinta Hui Song. Akan tetapi pertemuan dan perkenalannya dengan Tan Siang Wi, murid Cin-Ling-Pai itu, menghidupkan kembali harapannya untuk dapat berbahagia di samping seorang wanita. Dia amat tertarik kepada Siang Wi, gadis yang manis dan gagah perkasa itu. Diapun tahu bahwa gadis itu sebetulnya mencinta Hui Song, dan seperti juga dia mencinta tanpa balasan, hanya bertepuk tangan sebelah. Siang Wi mencinta Hui Song dan dia mencinta Sui Cin, akan tetapi dua orang yang mereka cinta itu ternyata saling mencinta. Maka, kalau kini dia tertarik kepada Siang Wi, alangkah baiknya kalau dia berjodoh dengan Siang Wi, dengan demikian, rasa penasaran terobati dan mereka dapat saling menghibur!
"Suhu, teecu ingin menengok ayah,"
Tiba-tiba dia berkata kepada Gobi Sanjin. Kakek ini maklum akan isi hati muridnya. Dia tahu bahwa muridnya ini agaknya patah hati karena cintanya terhadap Sui Cin tidak terbalas. Sebagai orang-orang yang waspada, baik Ciu-sian Lokai maupun Gobi Sanjin sama-sama maklum bahwa murid masing-masing itu telah jatuh cinta kepada puteri Pendekar Sadis, dan keduanya telah ditolak karena gadis itu ternyata mencinta putera ketua Cin-Ling-Pai.
"Engkau mau pulang ke Lembah Naga? Baiklah, karena pekerjaan di sinipun sudah selesai, pulanglah dan laporkan segala yang terjadi kepada ayahmu. Kelak, kalau ada jodoh kita pasti akan bertemu lagi,"
Kata Gobi Sanjin. Cia Sun lalu pergi dan diikuti pandang mata dua orang kakek itu. Mereka berdua itu masih tenggelam ke dalam pikiran masing-masing, menyaksikan semua peristiwa di dunia ini, melihat semua ulah manusia yang berlomba mencari kebahagiaan namun hanya berakhir dengan kesengsaraan.
Gadis itu menangis sejadi-jadinya sambil duduk di bawah pohon di tempat sunyi itu. Ia tidak perduli pakaiannya kotor terkena tanah yang agak basah. Ia duduk dan menopang kepala yang ditundukkan, muka yang disembunyikan di antara kedua lengannya yang bersilang dan melintang di atas kedua lututnya. Sui Cin adalah seorang gadis yang biasanya keras hati, berandalan, gembira dan tidak pernah menangis. Bahkan tangis dianggapnya suatu kecengengan yang tidak sepatutnya dilakukan oleh seorang gagah. Akan tetapi sekali ini, makin diingat keadaan dirinya, makin sedih hatinya dan makin keras tangisnya. Apalagi di situ tidak terdapat orang lain sehingga ia boleh menangis sepuas hatinya tanpa dilihat orang lain. Betapa hatinya tidak akan berduka? Peristiwa yang menimpa diri Ci Kang, yang mengakibatkan buntungnya lengan kiri pemuda itu, membuat hatinya terasa pedih karena ia tahu bahwa Ci Kang mengorbankan lengannya semata-mata untuk dirinya,
Pendekar Sadis Eps 45 Siluman Gua Tengkorak Eps 1 Pendekar Sadis Eps 25