Ceritasilat Novel Online

Asmara Berdarah 41


Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo Bagian 41



Karena Ci Kang hendak melindungi Hui Song yang diketahuinya menjadi pilihan hatinya. Juga ia maklum bahwa biarpun tidak menyatakan sesuatu, Cia Sun juga patah hati karena cinta kepadanya dan tidak dibalasnya. Hatinya telah melekat kepada Hui Song dan hanya pemuda itulah yang telah menawan hatinya. Ia mencinta Hui Song dan mengharapkan untuk menjadi isteri putera ketua Cin-Ling-Pai itu. Akan tetapi, ayah dan ibunya tidak setuju! Dan mengingat betapa setelah bertahun-tahun berpisah dari ayah bundanya, kini begitu bertemu ia terpaksa berselisih paham dengan mereka, sungguh merupakan peristiwa yang amat menyedihkan hatinya. Kalau menurutkan perasaan hatinya, ia boleh tidak ambil perduli terhadap ayah bundanya dan langsung saja menemui Hui Song dan hidup bersama pemuda itu selamanya. Akan tetapi ia tahu bahwa perbuatannya itu akan menghancurkan perasaan hati orang tuanya yang hanya mempunyai anak ia seorang saja.

   "Huhuhuuuhhh..."

   Ia tersedu lagi dan menyembunyikan mukanya di antara lengan, tubuhnya terguncang karena tangisnya. Sebuah tangan dengan halus menyentuh pundaknya dan terdengar suara ketawa terkekeh.

   "Heh-heh-heh, sungguh lucu melihat engkau menangis! Engkau sama sekali tidak pantas kalau menangis, Sui Cin, seperti masakan kurang garam!"

   Sui Cin mengangkat mukanya dan memandang kepada kakek katai yang menjadi gurunya itu dengan mulut cemberut.

   "Suhu malah mengejek, ya? Tidak tahu orang sedang susah, malah diejek. Apa artinya orang menangis seperti masakan kurang garam?"

   Katanya dengan marah.

   "Heh-heh-heh, bagaimana rasanya masakan kurang garam? Tentu saja hambar dan tidak enak. Tangismu juga demikian, tidak enak dipandang, tidak sedap didengar, tidak menyedihkan malah menggelikan. Maka, jangan menangis!"

   Akan tetapi, Sui Cin teringat kembali akan keadaan dirinya dan tanpa memperdulikan ejekan gurunya, iapun menangis lagi.

   "Ha-ha-ha, muridmu ternyata hanya seorang bocah perempuan yang cengeng dan lemah sekali, Ciu-sian! Ha-ha-ha!"

   Sui Cin kembali mengangkat mukanya dan memandang kepada Siangkiang Lojin dengan mata melotot.

   "Siapa cengeng?"

   Katanya marah.

   "Kalau kalian berdua yang mengalami hal seperti aku, mungkin sudah membunuh diri!"

   Dua orang kakek itu saling berpandangan lalu keduanya tertawa bergelak.

   "Kami tidak pernah jatuh cinta, apalagi kerepotan dalam memilih jodoh!"

   Kata kakek pendek berjenggot panjang Wuyi Lojin atau Dewa Arak.

   "Sudahlah, Sui Cin, engkau adalah muridku yang baik, yang gagah perkasa, yang berbatin kuat. Kenapa kini menangis seperti anak kecil hanya karena sikap orang tuamu?"

   "Aih, suhu. Bagaimana aku tidak akan menjadi sedih? Ayah dan ibu memperlihatkan sikap keras dan terang-terangan menolak ikatan jodoh antara aku dan Song-ko. Lalu apa yang harus kulakukan? Menurut mereka yang hendak menjodohkan aku dengan putera Gubernur Cekiang? Aku tidak sudi!"

   "Wah, kenapa harus memikirkan orang tua yang tidak ingin membahagiakan anak?"

   Kakek pendek itu berseru.
"Tapi, suhu. Ayah Song-ko juga mengambil sikap tidak perduli, bahkan tidak mau mengambil keputusan ketika suhu berdua mengajukan pertanyaan. Lalu apa yang dapat kulakukan?"

   "Ha ha ha, kenapa gelisah? Kalau ayah Hui Song tidak mau mengurusi lagi puteranya, masih ada aku gurunya yang dapat mewakili dan akulah yang akan mengajukan pinangan untuk muridku Hui Song. Beres, kan?"

   "Tapi, kalau locianpwe meminangku kepada ayah dan ditolak?"

   "Heh heh heh, masih ada aku di sini! Jangan perdulikan orang tuamu yang mau senang sendiri itu. Aku adalah gurumu dan aku berhak mewakili mereka dan menerima pinangan si gendut ini!"

   Kata Wuyi Lojin. Siangkiang Lojin tertawa bergelak.

   "Benar! Benar! Orang-orang tua yang tidak becus seperti ayah bundamu dan ayah Hui Song itu biar kita tinggalkan saja!"

   "Itu benar, Sui Cin. Kalau ayah bundamu hendak memaksamu menikah dengan orang yang tidak kau sukai, biarkan mereka berdua saja yang menikah dengan pilihan mereka!"

   Kata Wuyi Lojin penuh semangat.

   "Tepat! Orang tua yang tidak dapat membahagiakan anaknya, berarti orang tua itu tidak mencinta anaknya, melainkan mencinta dirinya sendiri saja dan patut kita tentang!"

   Sambung Siangkiang Lojin.

   "Jangan takut, Sui Cin. Kalau ayah ibumu marah dan hendak memaksamu, kami berdua yang akan menentang mereka dan melindungimu!"

   Gurunya berkata dengan penuh semangat. Tiba-tiba saja kedua orang kakek itu berhenti bicara dan memandang ke kiri. Sui Cin juga mendengar suara mencurigakan dari sebelah kiri dan terkejutlah gadis ini ketika melihat berkelebatnya bayangan orang dan tahu-tahu di situ telah muncul Pendekar Sadis Ceng Thian Sin, ayahnya! Pendekar ini nampak gagah perkasa, dengan pakaiannya yang indah dan baru, dengan topinya yang dihias bulu. Seorang pendekar yang tampan gagah walaupun usianya sudah hampir lima puluh tahun dan sikapnya penuh wibawa ketika dia berdiri memandang kepada Sui Cin dengan sinar mata mencorong marah.

   "Sui Cin!"

   Bentak pendekar ini.

   "Engkau hendak menentang orang tuamu?"

   Suara pendekar ini penuh kemarahan dan Sui Cin menjadi gentar sekali. Belum pernah ayahnya marah seperti itu terhadap dirinya. Belum pernah ia melihat sinar mata ayahnya mencorong seperti itu, seolah-olah mengeluarkan api yang hendak membakar dirinya. Gadis ini dengan sikap gentar lalu menyembunyikan diri atau beraling di belakang tubuh Wuyi Lojin yang pendek kecil. Sejenak, Dewa Arak dan Dewa Kipas terbelalak memandang kepada Pendekar Sadis yang sudah berdiri di depan mereka dengan gagahnya. Kalau tadi mereka mengeluarkan ucapan-ucapan keras terhadap Pendekar Sadis dan isterinya, hal itu hanya mereka lakukan untuk menghibur hati Sui Cin. Kini, setelah orang yang tadi dicela dan ditantangnya berdiri di depan mereka, keduanya menjadi bingung dan tak tahu harus berkata atau berbuat apa.

   "Suhu... locianpwe... lekas kalian bertindak..."

   Sui Cin berbisik dari belakang tubuh Dewa Arak, karena ia sendiri merasa takut untuk menghadapi ayahnya yang sedang marah itu. Akan tetapi dua orang itu hanya saling pandang, lalu memandang kepada Ceng Thian Sin, saling pandang lagi dan keduanya seperti sudah kehilangan suara.

   "Suhu... locianpwe... ingat janji kalian tadi..."

   Kembali Sui Cin berbisik.

   "Heh, kerdil tua bangka, muridmu benar, engkau harus ingat janjimu tadi!"

   Tiba-tiba Dewa Kipas berkata sambil menudingkan telunjuknya ke arah dahi Dewa Arak.

   "Apa? Gendut brengsek! Engkau yang berjanji akan melindunginya!"

   Si kakek kerdil membalas, tangan kanannya mendorong perut gendut dan telunjuk kirinya membalas menuding ke arah dahi si gendut dan untuk ini, terpaksa dia harus berjingkat karena terlalu pendek.

   "Kau yang berjanji!"

   "Kau juga berjanji!"

   Keduanya tidak mau mengalah dan agaknya siap untuk saling hantam sendiri. Sebetulnya, tentu saja dua orang sakti seperti Dewa Arak dan Dewa Gendut bukan orang-orang pengecut yang tidak berani bertanggung jawab. Akan tetapi karena mereka tidak setulus hati menentang Pendekar Sadis dan kini mereka saling dorong dan saling tuduh, maka terjadilah keributan di antara mereka sendiri yang memang suka bersaing. Ceng Thian Sin tadinya berdiri dengan sikap marah dan kedua tangan terkepal, akan tetapi melihat tingkah dua orang kakek itu, sinar matanya yang tadi mencorong marah kini berobah.

   Mulut yang tadi cemberut kini mengarah senyum. Memang sebenarnya Ceng Thian Sin tidak benar-benar marah. Tadi, dengan ilmu kepandaiannya, dia dan isterinya sebentar saja dapat menyusul Sui Cin dan ketika mereka tiba di tempat itu, mereka berdua sempat mendengar bualan atau tantangan-tantangan yang diucapkan oleh dua orang kakek sakti. Biarpun mereka berdua tadi mengeluarken kata-kata yang kasar dan keras seolah-olah menantang, akan tetapi Pendekar Sadis dan isterinya adalah dua orang pendekar yang berpengalaman dan mereka berduapun maklum bahwa dua orang kakek sakti itu sudah tahu akan kedatangan mereka dan bahwa kedua orang kakek itu sengaja menantang-nantang sambil mengerahkan khikang agar suara mereka terdengar oleh suami isteri yang sudah datang dan bersembunyi di balik batu karang itu.

   Dua orang suami isteri itu mendengar semua percakapan dan semua tantangan, dan mereka berdua kinipun yakin bahwa puteri mereka mencinta Hui Song dan betapa dua orang kakek yang menjadi guru Hui Song dan Sui Cin itu telah menyetujui perjodohan mereka. Hal ini saja sudah meyakinkan hati keduanya bahwa pilihan hati puteri mereka tidaklah keliru, karena kalau demikian halnya, tentu dua orang kakek sakti itu tidak akan mati-matian membelanya. Pendekar Sadis yang berpura-pura marah itu, ketika melihat betapa dua orang kakek saling tuding, tidak dapat menahan kegelian hatinya dan pada saat itu, bayangan lain lalu berkelebat dan isterinya sudah berdiri di sisinya. Melihat ini, dua orang kakek itu agaknya menjadi semakin ketakutan.

   "Nah, hayo keluarkan kegarangarmu tadi, tua bangka kerdil!"

   Bentak Dewa Kipas.

   "Dan, di mana kegagahanmu? Engkau memikirkan enaknya perutmu sendiri saja, tidak memikirkan kepentingan muridmu!"

   Balas Dewa Arak. Tiba-tiba terdengar Pendekar Sadis tertawa bergelak, diikuti oleh isterinya. Melihat kedua suami isteri ini tertawa-tawa, Sui Cin terbelalak heran dan dua orang kakek yang tadinya ribut-ribut itupun berdiri bengong memandang.

   "Sudahlah, jiwi locianpwe tidak perlu bersandiwara lagi. Kami berdua bukanlah orang tua yang tidak ingin melihat kebahagiaan anak tunggal kami,"

   Kata Toan Kim Hong dengan suara lantang kepada dua orang kakek itu.

   "Ayah... Ibu..., Benarkah... benarkah ayah ibu menyetujui...?"

   Sui Cin berteriak dan lari menghampiri ayah bundanya. Dua orang tua itu hanya membuka lengan mereka menyambut dan di lain saat Sui Cin sudah berada dalam rangkulan ayah bundanya, menangis terisak-isak tanpa dapat mengeluarkan kata-kata lagi, sekali ini menangis saking bahagia dan terharu. Toan Kim Hong menciumi muka anaknya dan Ceng Thian Sin menepuk-nepuk pundak Sui Cin sambil berkata,

   "Kami hanya ingin menguji dan melihat sampai di mana cintamu terhadap Hui Song, maka kami berpura-pura tidak setuju."

   "Ayah dan ibu... ah, betapa bahagianya hatiku. Suhu dan Siangkiang Locianpwe, lihat betapa ayah ibuku sudah setuju. Tinggal kalian yang harus memenuhi janji!"

   Kini Sui Cin dengan muka masih basah air mata, dengan sepasang mata masih basah kemerahan, menghadapi dua orang kakek itu sambil tersenyum.

   "Wah, cebol, kita ditagih!"

   Siangkiang Lojin berseru tertawa dan tiba-tiba dia menjura kepada Wuyi Lojin sambil berkata dengan sikap sungguh-sungguh dan serius sekali.

   "Wuyi Lojin, aku sebagai guru dari Cia Hui Song, dengan ini menyatakan meminang muridmu yang bernama Ceng Sui Cin!"

   Wuyi Lojin juga menanggalkan sikap pura-pura dan gurauannya, kini diapun menjura dengan hormat kepada Siangkiang Lojin dan berkata,

   "Aku sebagai guru Ceng Sui Cin, menerima dengan baik pinangan itu dan merasa setuju sekali kalau muridku menjadi calon jodoh muridmu."

   Setelah berkata demikian, dua orang kakek itu menghadapi Ceng Thian Sin dan isterinya, memandang tajam dan seolah-olah menanti keputusan mereka. Ceng Thian Sin menarik napas panjang.

   "Perjodohan adalah urusan yang ditentukan oleh Thian, dan syarat utamanya adalah cinta kasih antara pria dan wanita yang hendak mengikatkan diri satu sama lain melalui pernikahan. Kami sebagai orang tua pihak wanita, hanya dapat menanti datangnya pinangan dari orang tua pihak pria. Hal ini tentu saja jiwi locianpwe cukup maklum dan kami menanti di Pulau Teratai Merah! Sui Cin, mari kita pulang."

   Sui Cin yang sudah merasa berbahagia sekali melihat orang tuanya menyetujui perjodohannya dengan Hui Song, mengerti akan maksud ayahnya. Tentu saja, sebagai seorang gadis, ia hanya dapat menanti datangnya pinangan dari orang tua atau wakil Hui Song. Maka iapun menghadapi dua orang kakek itu,

   "Sampai sekarang, janji-janji kalian dua orang kakek yang kucinta dan kuhormati belum dipenuhi. Aku hanya dapat menanti kalian di Pulau Teratai Merah dan di sana aku akan membuatkan masakan-masakan istimewa untuk kalian."

   Ceng Thian Sin, Toan Kim Hong, dan Sui Cin memberi hormat kepada dua orang kakek itu lalu berkelebat pergi. Tinggal dua orang kakek itu yang bengong lalu saling pandang dan menarik napas panjang.

   "Waaah, ini akibat kelancanganmu main-main, gendut!"

   Kata Wuyi Lojin sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tak berambut.

   "Kini kita harus mendatangi ketua Cin-Ling-Pai dan harus dapat membujuknya untuk pergi ke Pulau Teratai Merah untuk melakukan pinangan itu."

   "Jangan khawatir!"

   Dewa Kipas menepuk-nepuk perutnya yang gendut.

   "Aku yakin ketua Cin-Ling-Pai akan cukup bijaksana untuk mau mengunjungi Pulau Teratai Merah. Pengalaman pahitnya dalam urusan pemberontakan itu tentu merupakan obat yang membuatnya sadar bahwa hidup ini tidak berguna kalau tidak dapat membahagiakan orang lain, terutama orang-orang yang terdekat dengannya. Demi kebabagiaan puteranya, tentu dia mau merendahkan diri sedikit untuk berkunjung ke Pulau Teratai Merah. Mari kita berdua pergi mengunjunginya dan membujuknya."

   Dua orang kakek itupun lalu pergi dengan langkah santai.

   Pesta pernikahan yang dirayakan di puncak Pegunungan Cin-ling-san, di rumah perkumpulan Cin-Ling-Pai itu meriah sekali. Lebih dari seribu orang tamu memerlukan datang menghadiri perayaan itu dari berbagai penjuru. Sebagian besar dari para tamu adalah golongan kang-ouw atau tokoh-tokoh dunia persilatan. Hal ini tidaklah mengherankan karena nama besar Cin-Ling-Pai sudah dikenal di dunia persilatan. Apalagi mengingat siapa adanya keluarga besan-besan dari ketua Cin-Ling-Pai yang sekaligus merayakan pernikahan dari puteranya dan murid perempuannya itu. Putera ketua Cin-Ling-Pai, Cia Hui Song, menikah dengan Ceng Sui Cin, puteri tunggal Pendekar Sadis Ceng Thian Sin dan isterinya yang amat terkenal. Sedangkan murid perempuannya yang disayang seperti puteri sendiri, Tan Siang Wi, menikah dengan Cia Sun, putera tunggal dari ketua Pek-Liong-Pang, pendekar dari Lembah Naga yang juga terkenal.

   Tiga besar itu, Cia Kong Liang, Cia Han Tiong, dan Ceng Thian Sin, bersepakat untuk merayakan dua pernikahan itu di Cin-Ling-Pai, karena bagaimanapun juga, mereka semua adalah pendekar-pendekar yang mewarisi ilmu-ilmu dari Cin-Ling-Pai. Nama besar tiga keluarga ini menjamin terlaksananya perayaan pesta pernikahan itu dengan aman. Tidak ada yang berani mati mengganggu dan semua orang bergembira. Pesta dilakukan sejak pagi sampai jauh malam dan semua tamu meninggalkan Cin-Ling-Pai setelah malam dengan hati gembira dan kagum, dengan perut kenyang. Setelah semua tamu pulang, keadaan di Cin-Ling-Pai sunyi kembali. Dua pasang pengantin sudah memasuki kamar pengantin masing-masing dan hanya mereka berempat yang dapat merasakan kebahagiaan mereka, sedangkan orang-orang lain hanya tersenyum penuh arti menduga-duga atau membayangkan saja betapa bahagianya dua pasang pengantin yang kini tinggal berdua saja dalam kamar mereka.

   Akan tetapi, di dalam bayangan pohon-pohon yang gelap, tidak jauh dari rumah besar di mana dua pasang pengantin itu berasyik-mesra, nampak sesosok bayangan. Bayangan ini tidak gembira sama sekali, bahkan sejak berjam-jam ia berada di dalam kegelapan itu seperti sebuah patung, dan kini nampak tubuhnya terguncang-guncang. Bayangan itu menangis. Lirih hampir tanpa suara, akan tetapi air matanya bercucuran yang dicobanya untuk diusap dengan kedua tangannya yang gemetar. Bayangan itu adalah Toan Hui Cu! Gadis ini merasa betapa hancur perasaan hatinya melihat pria yang dikasihinya, yang diharapkannya, Cia Sun, kini menikah dengan seorang gadis lain! Terasa olehnya betapa malang nasibnya, betapa sengsara keadaan dirinya. Semenjak kecil ia hidup terasing, kemudian ia terancam oleh ayah kandungnya sendiri yang jahat seperti iblis.

   Ayah ibunya adalah raja dan ratu penjahat dan kini mereka telah tewas. Ia tidak mempunyai siapapun lagi di dunia ini, sebatangkara, tidak memiliki apa-apa dan terpaksa harus menghadapi kehidupan yang dianggapnya amat mengerikan dan kejam. Ia tidak berpengalaman hidup di dunia ramai. Satu-satunya harapan dalam hatinya digantungkan kepada Cia Sun. Akan tetapi kini pemuda itu telah menjadi milik wanita lain dan ia tahu bahwa bagaimanapun juga, ia tidak berhak mendekati Cia Sun, tidak dapat mengharapkan lagi perlindungannya. Melihat Cia Sun menikah dengan wanita lain, baginya seperti melihat Cia Sun juga telah mati meninggalkan dirinya, seperti ayah bundanya. Maka, dapat dibayangkan betapa sedihnya, membuatnya hampir putus asa dan membuatnya tidak berani melanjutkan hidup yang dianggapnya kejam dan mengerikan itu.

   "Ibu... oh, ibu... bagaimana dengan aku ini, ibu..."

   Ia merintih dan tangisnya makin menjadi, sesenggukan karena pada saat itu yang dapat disambati hanyalah ibunya, satu-satunya orang yang pernah mencintanya dan kini ibunyapun sudah meninggalkannya.

   "Ibu..."

   Kedua pundaknya terguncang-guncang.

   "Hui Cu..."

   Suara ini lirih dan ada tangan menyentuh pundaknya dengan halus. Hui Cu tertegun. Suara Cia Sunkah itu? Ia cepat menoleh penuh harapan dan di bawah sinar bulan yang bercahaya terang, ia melihat wajah yang amat dikenalnya, wajah Siangkoan Ci Kang, orang kedua setelah Cia Sun yang dikaguminya. Wajah yang gagah, agak pucat dan basah air mata! Seketika tahulah Hui Cu bahwa Ci Kang juga seperti ia sendiri, sudah lama berada di situ, menangis seperti ia sendiri, menangisi kepergian Sui Cin!

   "Hui Cu, engkau menangis?"

   "Engkau juga menangis..."

   Engkau... kehilangan Cia Sun...?"

   "Dan engkau kehilangan Sui Cin..."

   Hui Cu berhenti sebentar dan memandang ke arah lengan kiri yang buntung itu,

   "... dan kehilangan lengan kirimu karena Sui Cin pula..."

   Mengertilah Ci Kang bahwa agaknya ketika melarikan dirinya, Hui Cu tidak pergi jauh dan mengintai sehingga tahu akan apa yang terjadi selanjutnya, tentang buntungnya lengannya. Dia mengangguk dan keduanya berdiam diri. Kini tangis mereka terhenti, agaknya memperoleh hiburan setelah saling bertemu dan saling mengerti akan kesengsaraan hati masing-masing. Setelah keduanya diam sampai beberapa saat lamanya sambil saling berpandangan, Ci Kang menarik napas panjang dan mengangguk.

   "Ya, aku kehilangan lengan kiri, aku seorang yang bodoh, dan aku... aku hanya anak seorang penjahat kawakan yang rendah dan hina."

   "Akupun anak penjahat, bahkan raja dan ratu iblis, penjahat yang paling besar. Kita sama-sama keturunan penjahat, orang-orang hina dan rendah..."

   Tangan kanan yang kuat itu makin erat memegang pundak Hui Cu.

   "Engkau benar, Hui Cu. Kita sama-sama keturunan penjahat, bagaikan burung gagak yang paling rendah dan dianggap kotor, mana bisa disamakan dengan burung-burung Hong? Biarlah burung gagak berkawan dengan burung gagak pula, keturunan penjahat bersanding dengan keturunan penjahat pula. Hui Cu, bagaimana pendapatmu kalau kita, yang senasib sependeritaan ini, mulai sekarang hidup bersama? Maukah engkau melanjutkan hidup yang kejam ini di sampingku, untuk selamanya, suka sama dinikmati, duka sama diderita? Maukah engkau?"

   Mereka saling berpandangan. Dua pasang mata itu sampai lama tidak berkedip, saling pandang dengan tajam, seolah-olah ingin menyelami isi hati masing-masing.

   "Tapi... tapi... apakah engkau cinta padaku, Ci Kang?"

   Senyum pahit menghias bibir pemuda itu.

   "Aku tidak tahu, Hui Cu. Sesungguhnya aku tidak pernah tahu apa artinya cinta itu. Akan tetapi aku kasihan padamu, dan aku suka dan kagum padamu."

   Hui Cu menarik napas panjang dan Ci Kang merasa betapa pundak yang tadinya meregang kaku di bawah telapak tangannya itu kini menjadi lunak dan hangat.

   "Akupun kagum padamu, suka dan akupun kasihan padamu. Aku tidak tahu apakah perasaan kita yang sama ini, kagum suka dan kasihan, dapat memupuk cinta. Akan tetapi, aku menerima tawaranmu seperti seorang kehausan mendapatkan air jernih, Ci Kang. Aku sudah putus harapan dan kau tiba-tiba datang dan aku... aku... ahhh..."

   Gadis itu tiba-tiba menjadi lemas dan ia menjatuhkan dirinya di atas dada yang bidang itu sambil menangis, menyembunyikan mukanya di dada yang kokoh kuat itu. Dengan hati merasa seperti tanah kering merekah menerima siraman air segar, Ci Kang merangkulkan lengan kanannya ke pundak gadis itu. Sejenak mereka berdiri seperti itu, tak bergerak kecuali pundak Hui Cu yang bergoyang-goyang oleh tangisnya yang tidak berbunyi. Setelah tangis itu mereda, Ci Kang berbisik,

   "Hui Cu, sudah bulatkah hatimu menerimaku? Ingat, aku seorang yang cacat, lengan kiriku buntung..."

   "Tapi hatimu tidak cacat, Ci Kang."

   Dan gadis itupun membiarkan dirinya ditarik dan diajak pergi dari situ. Mereka berjalan perlahan-lahan, dengan lengan kanan Ci Kang masih merangkul dan perlahan-lahan hati mereka menjadi semakin cerah dan tabah karena kini mereka merasa yakin akan kuat menempuh hidup baru berdua, tidak sendirian lagi, dan mereka akan hadapi dengan tabah apapun yang akan mereka hadapi dalam kehidupan selanjutnya.

   Sampai di sini, ijinkan pengarang menyudahi kisah Asmara Berdarah ini dengan harapan mudah-mudahan di samping merupakan sebuah bacaan penghibur hati di kala senggang, cerita inipun mampu menyuguhkan sesuatu yang bermanfaat bagi para pembaca. Sampai jumpa di kisah PENDEKAR MATA KERANJANG

   T A M A T

   Lereng Lawu, akhir Mei 1979

   dino, http://indozone.net/literatures/literature/77
26 Oktober 2005 jam 9:22pm

   


Siluman Gua Tengkorak Eps 5 Harta Karun Jenghis Khan Eps 1 Pendekar Sadis Eps 13

Cari Blog Ini