Ceritasilat Novel Online

Harta Karun Jenghis Khan 1


Harta Karun Jenghis Khan Karya Kho Ping Hoo Bagian 1



Harta Karun Jenghis Khan (Seri ke 06 "

   Serial Pedang Kayu Harum)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 01

   Kota An-keng terletak di tepi Sungai Yang-ce, sebuah kota besar di utara Sungai itu dari Propinsi An-hwi. Karena letaknya yang strategis, dekat dengan Sungai besar Yang-ce yang datang dari kota besar Wu-han dan menuju ke kota Nan-keng, maka kota An-keng ini amat ramai dan menjadi pusat perdagangan yang diangkut melalui Sungai itu. Perdagangan yang amat ramai di kota itu membuat An-keng menjadi tempat yang banyak dikunjungi para pedagang sehingga bukan hanya toko-toko besar, akan tetapi juga restoran-restoran dan hotel-hotel tumbuh bagaikan jamur di musim hujan.

   Selain terkenal sebagai kota dagang yang ramai, juga An-keng mempunyai tempat plesiran di tepi Sungai Yang-ce yang sengaja dibuat oleh pemerintah daerah. Tempat ini adalah sebuah telaga buatan yang mendapatkan airnya dari sungai itu dan di sekitar telaga ini ditanami bunga-bunga yang indah. Juga telaga itu sendiri merupakan tempat bersantai yang menarik. Di satu bagian terdapat tanaman bunga teratai merah putih yang melatarbelakangi angsa-angsa putih berleher panjang yang berenang-renang dengan cantiknya di sekitar bunga-bunga teratai itu. Ada bagian di mana orang dapat memancing ikan, berperahu, atau duduk dengan santainya di restoran-restoran di tepi danau buatan, minum arak sambil menikmati pemandangan indah, melihat perahu-perahu berlalu lalang ditumpangi muda mudi yang asik berpacaran.

   Angin yang sejuk membuat orang makin betah dan suasana yang nyanian itu membuat orang lupa bahwa dia telah menghabiskan seekor bebek panggang yang terkenal di tempat itu, ditemani arak seguci kecil! Makin mabok, makin menarik dan indahlah suasana di sekitar Telaga Teratai Merah Putih di kota An-keng dan di sana sini terdengar sasterawan-sasterawan yang sudah mabok bernyanyi atau membaca sajak-sajak yang indah. Makin siang, suasana menjadi semakin meriah, apa lagi karena beberapa orang hartawan telah menyewa sekelompok wanita pemain musik dan penyanyi, membawa mereka ke dalam perahu dan suara nyanyian dan yang-kim mengalun bersama-sama permukaan air danau yang diguncang oleh perahu-perahu itu.

   Di dalam sebuah di antara restoran-restoran yang dibangun di tepi pantai, bangunannya merupakan panggung agak tinggi yang menjulur ke air sehingga para tamu yang duduk makan minum seolah-olah merasa berada di atas perahu besar yang tidak bergerak, nampak sepasang orang muda duduk sambil menghadapi bebek panggang dan arak. Mereka itu merupakan pasangan yang cocok dan sedap dipandang. Yang pria berusia kurang lebih duapuluh tiga tahun, berkulit muka putih dengan sepasang alis hitam berbentuk golok, wajahnya tampak sekali dan gerak-geriknya amat halus. Pakaiannya seperti pakaian seorang pemuda pelajar, akan tetapi kulau biasanya para pelajar itu berpakaian dan bersikap sederhana, sebaliknya pakaian pemuda itu rapi sekali,

   Bahkan mendekati pesolek walaupun sikapnya tidak berlebih-lebihan seperti biasa sikap pemuda-pemuda bangsawan yang kerjanya hanya menjual tampang dan memamerkan kekayaan padahal batinnya kosong. Pemuda ini berpakaian rapi, bersikap halus dan senyum manis selalu tersungging di bibirnya. Akan tetapi, kalau ada orang yang sudah biasa berkecimpung di dunia persilatan dan mempunyai pandang mata seorang ahli, tentu dia curiga terhadap pemuda halus tampan ini. Sepasang matanya mencorong penuh kekuatan, tajam menusuk seperti hendak menembus dada orang lain untuk menjenguk isi hatinya. Selain itu, juga ada sesuatu tersembunyi dalam gerakan halus itu, sesuatu yang membayangkan kekuatan yang amat hebat. Regangan-regangan jari tangannya kalau bergerak, kedudukan tubuh dan kedua lengannya,

   Bagi orang yang berpemandangan tajam tentu akan mengenal gerakan otomatis seorang ahli silat! Temannya juga amat menarik perhatian. Seorang wanita muda yang usianya sebaya, andaikata lebih tua sedikitpun tidak akan ketahuan karena memang wanita itu cantik sekali dan ada kelembutan yang membuat ia nampak lebih muda dari pada temannya. Wanita muda itu cantik jelita dan manis, kulitnya putih kemerahan dan seperti juga temannya itu, iapun berpakaian indah. Wajahnya yang cantik manis itu tidak memakai hiasan terlalu tebal, dan memang hal itu tidak perlu, bahkan mungkin akan merusak kecantikannya yang aseli. Bibir yang tipis penuh itu memang tidak membutuhkan pemerah lagi karena sudah merekah merah dan selalu seperti basah. Alisnya yang kecil panjang itu memang sudah hitam sekali, tidak perlu ditambah penghitam alis lagi.

   Ketawanya cerah dan suaranya merdu. Sepasang matanya juga akan membuat ahli silat yang berpemandangan tajam terkejut karena mata itu kadang-kadang mencorong, kadang-kadang mengeluarkan sinar yang demikian dingin menyeramkan, akan tetapi kadang-kadang juga penuh gairah yang hangat dan hidup. Sejak tadi keduanya duduk di restoran itu, makan minum, bercakap-cakap, kadang-kadang berbisik-bisik dan nampak nyata kasih sayang terpancar pada pandang mata mereka kalau mereka sudah berbisik-bisik saling pandang seperti itu. Ada kalanya mereka kelihatan seperti sepasang muda mudi yang asik berpacaran, akan tetapi kadang-kadang mereka bicara serius. Ketika terdengar suara nyanyian dan suara sasterawan-sasterawan tua yang mabok bersajak di atas perahunya yang meluncur tanpa tujuan di atas air, terdengar wanita muda itu tertawa merdu dan tangan kirinya menutupi mulut dengan gaya yang menarik.

   "Apa yang kau ketawakan?"

   Tanya pemuda itu sambil menatap wajah temannya dengan penuh kagum.

   Sudah tiga tahun dia hidup di samping gadis ini namun setiap kali dia masih terpesona mengagumi kecantikannya. Kalau gadis itu sudah tertawa, dengan sepasang matanya ikut tertawa, hidungnya yang kecil itu agak dikernyitkan seperti itu, ada sesuatu yang membuatnya merasa terharu, keharuan yang muncul karena rasa sayang yang amat besar yang seolah-olah menembus jantungnya dan membuat dia yakin betapa besar rasa cintanya kepada gadis ini. Rasa cinta inilah yang mendatangkan semua keindahan dan kecantikan itu. Bagi pandang mata orang lain, belum tentu gadis itu akan nampak sedemikian cantik dan indahnya di waktu tertawa seperti itu, akan tetapi bagi dia, dunia seolah-olah ikut tertawa bersama mata yang bersinar-sinar, hidung yang tertarik ke atas dan gigi yang mengintai sekilas di balik sepasang bibir merah basah yang terbuka itu.

   "Kau tidak dengar sajak sasterawan tua yang berdiri bergoyang-goyang mabok di atas perahunya yang lewat tadi?"

   "Tentu saja. Sajaknya indah dan dia mengeluh tentang hari tuanya. Dia ingin selamanya tinggal muda untuk menikmati keindaban Danau Teratai Merah Putih."

   Jawab si pemuda.

   "Sajak itu menyedihkan, kenapa kau tertawa mendengarnya? Kurasa tidak ada lucunya di situ."

   "Hi-hik, itulah karena engkaupun sama dengan dia. Beberapa tahun lagi dan engkaupun akan menangisi usia tuamu seperti dia, hidup sebatang-kara dan kesepian, hi-hik!"

   "Ihh, mana mungkin? Kan ada engkau di sisiku?"

   "Akupun akan tua dan meratapi nasibku kalau aku bersikap sepertimu. Itulah yang lucu. Kenapa dia menyesali hari tuanya? Lihat, bukankah danau ini, Sungai Yance itu, jauh lebih tua dari pada kita, dari pada sasterawan cengeng tadi? Namun lihat, berkurangkah keindahannya? Nampakkah tuanya? Adakah penyesalan pada danau dan sungai, dan pohon-pohon tua di seberang itu, akan ketuaannya? Sama sekali tidak, mereka semua itu masih tetap muda, cantik menarik bahkan dalam ketuaan mereka sekalipun."

   Pemuda itu memandang serius dan mengangguk-angguk.

   "Ada isinya dalam ucapanmu itu, sayang. Memang. keindahan dan kebahagiaan terdapat di mana-mana dan pada saat apapun. Seorang mudapun tidak akan dapat melihat keindahan dan menikmati kebahagiaan kalau dia tidak mengenal indahnya SAAT INI. Dia, seperti sasterawan itu, hanya akan menyesali diri, menyalahkan nasib, menginginkan hal-hal yang tidak ada, maka datanglah kekecewaan, penyesalan dan duka cita. Wah, wah, sepagi ini engkau sudah mulai berfilsafat!"

   Gadis itu tertawa.

   "Alam seindah ini, cuaca senyaman ini, hawa sesejuk ini, siapa orangnya yang tidak berobah menjadi penyair dan ahli filsafat?"

   Tiba-tiba pemuda itu menyentuh tangan si gadis yang terletak di atas meja. Gadis itu terkejut karena sentuhan itu bukan sentuhan biasa, melainkan sentuhan yang menyatakan guncangan perasaan. Maka iapun menengok dan memandang ke arah pemuda itu memandang ke luar jendela dan iapun melihat seorang laki-laki mendayung perahunya lewat di bawah tempat itu dengan tergesa-gesa. Laki-laki itu sudah setengah tua dan dari pakaiannya mudah diketahui bahwa dia adalah seorang dusun sederhana.

   Akan tetapi wajahnya pucat dan matanya terbelalak ketakutan. Dan agak jauh di belakangnya, sebuah perahu lain meluncur dengan cepatnya. Perahu ini ditumpangi oleh dua orang laki-laki yang kelihatan kokoh kuat dan kasar, yang mendayung perahu itu dengan amat cepatnya, mengejar perahu pertama itu dan pada wajah mereka terbayang kemarahan dan keganasan. Karena banyak perahu berlalu lalang di situ, orang tidak akan tahu bahwa perahu yang ditumpangi oleh kakek dusun itu sedang dikejar oleh dua orang dalam perahu yang lebih besar itu. Hanya karena pemuda dan gadis itu duduk di atas dan kebetulan memandang ke telaga dan melihat wajah orang di perahu pertama, mereka melihat hal yang tidak wajar ini. Apa lagi karena memang keduanya memiliki pandang mata yang amat tajam, berbeda dari kebanyakan orang lain.

   "Lihat, dia terluka..."

   Bisik gadis itu. Pemuda itu mengangguk. Diapun sudah tahu bahwa kakek petani yang dikejar-kejar itu telah mengalami beberapa luka di tubuhnya. Luka memar dan gosong akibat pukulan-pukulan berat di leher dan tengkuknya yang coba ditutupinya dengan leher baju dan juga lengan bajunya yang kanan berlepotan darah yang sudah mulai mengering. Dan semua ini dapat nampak oleh pemuda dan gadis itu dari jarak jauh! Hal ini saja sudah membuktikan bahwa sepasang muda mudi ini memiliki ketajaman mata yang lain dan jauh lebih dari pada mata orang biasa. Kini perahu petani itu sudah tiba di darat dan petani itu naik ke darat, lalu tergesa-gesa meninggalkan perahunya.

   "Mari kita lihat!"

   Kata pemuda itu dengan tenang dan diapun memanggil pelayan, membayar harga makanan minuman, kemudian bersama gadis itu mereka keluar dari restoran, agaknya tidak tergesa-gesa akan tetapi langsung mereka menuju ke arah larinya petani yang kini dikejar-kejar oleh dua orahi itu. Petani itu bukan lari ke arah kota An-keng, melainkan keluar kota, ke tempat yang sunyi, agaknya memang ingin melarikan diri dari kejaran dua orang itu. Dia seorang petani biasa agaknya, usianya kurang lebih lima puluh tahun, tubuhnya kurus dan kasar, kulitnya kehitaman karena terlalu sering tertimpa terik matahari.

   Jelas merupakan seorang miskin yang biasa bekerja keras dan kasar. Sepasang matanya yang kadang-kadang dipakai memandang ke belakang dengan ketakutan itu kini terbelalak. Mukanya pucat dan jalannya terpincang-pincang, tanda bahwa di bagian kakinyapun sudah menderita luka. Dari belakang, dua orang yang tadi mengejarnya dengan perahu, sudah hampir dapat menyusulnya. Seorang di antara mereka bertubuh tinggi kurus, mulutnya yang lebar itu menyeringai dan selalu seperti mengejek, matanya yang sipit sekali itu seperti terpejam dan lehernya mengeluarkan suara ah-uh-ah-uh seperti orang yang berpenyakit batuk kering. Orang ke dua gemuk pendek, dengan mata lebar yang mengeluarkan sinar kejam, mukanya seperti muka babi dengan kulit bertotol-totol merah. Di kedua punggung mereka nampak tergantung sebatang golok besar.

   "Petani busuk, kau hendak lari ke mana? Ha-ha-ha!"

   Si gendut berteriak mengejar dan tentu saja petani yang berlari menggunakan kekuatan biasa, apalagi dengan kaki terpincang-pincang itu, bukan lawan dua orang yang agaknya mempunyai kepandaian ilmu silat dan pandai berlari cepat itu. Tahu-tahu dua orang itu telah menghadang dari depan dan melihat ini, kakek petani itu dengan mata terbelalak lalu membalik ke kanan dan lari sekuatnya, kembali ke arah danau! Akan tetapi sekali ini dia tiba di bagian tepi danau yang sunyi dan tidak ada orangnya. Sambil tertawa mengejek, dua orang itu mengejar, mempermainkannya seperti dua ekor kucing yang mempermainkan seekor tikus yang sudah tersudut, tidak segera menerkamnya, seolah-olah hendak menikmati lebih dulu melihat tikus itu ketakutan setengah mati.

   "Heh-heh-heh, petani tua bangka, lebih baik lekas berikan benda itu kepada kami dan kami akan membunuhmu dengan lunak."

   "Tidak, tidak! Sampai mati tidak!"

   Petani itu berteriak dan tiba-tiba dia menubruk seorang di antara mereka yang menghadang di depannya. Tubrukan petani ini sama sekali tidak memakai perhitungan, tidak memakai teori ilmu berkelahi, melainkan tubrukan yang dilakukan karena terjepit dan terpaksa. Akan tetapi justeru serangan seperti ini yang kadang-kadang membingungkan ahli silat yang masih rendah tingkatannya dan tanpa dapat dicegah lagi, tubuh kakek itu menabrak dada orang tinggi kurus itu sampai terjengkang!

   "Keparat! kau berani melawan?"

   Bentak si gendut dan nampak sinar golok berkelebat ketika goloknya membacok. Kakek petani yang sudah nekat itu tidak mengelak, melainkan terus menubruknya. Mengelakpun akan sia-sia karena dia tidak biasa berkelahi dan tidak tahu bagaimana caranya mengelakkan diri dari sambaran golok itu.

   "Crakkk...!"

   Tubuh kakek itu terguling, pundaknya terluka parah oleh bacokan golok dan sebuah tendangan mengenai lambungnya, membuat dia terguling-guling. Kembali golok itu menyambar ke arah leher kakek petani.

   "Desss... aughhh...!"

   Si gendut berteriak mengaduh ketika pergelangan tangannya bertemu dengan sepatu yang menendangnya dari samping. Demikian kerasnya tendangan pemuda tampan itu, sehingga bukan hanya golok yang terlempar, akan tetapi juga pergelangan tangan itu menjadi patah tulangnya. Si tinggi kurus menjadi marah. Goloknya menyambar, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara "ngekkk!"

   Dan diapun roboh terguling karena tengkuknya disambar tangan halus gadis teman pemuda itu. Pasangan muda mudi itu ternyata telah tiba di situ, agak terlambat sehingga kakek petani telah menerima bacokan dan tendangan, akan tetapi masih belum terlambat untuk mencegah terjadinya pembunuhan. Mereka menggerakkan kaki menendang dan tubuh dua orang penjahat itu terlempar ke arah danau.

   "Byurrrr...!"

   Dua orang itu gelagapan dan berdaya upaya sekuatnya agar jangan sampai tenggelam. Mereka telah terluka, akan tetapi karena terancam bahaya mati tenggelam, mereka seperti memperoleh tenaga baru dan berenang ke darat, menjauhi pemuda dan gadis yang amat lihai itu. Sepasang muda mudi yang lihai ini tidak lagi memperdulikan mereka, melainkan cepat menolong petani tua yang menggeletak dengan napas empas-empis.

   "Bagaimana keadaanmu, lopek?"

   Tanya si pemuda sambil memeriksa luka-luka yang diderita oleh kakek itu.

   "Lekas... lekas bawa aku pergi... tolonglah... auhhh... jumlah para penjahat itu banyak sekali... lekas sembunyikan aku... ahhhh!"

   Dan kakek itu tak sadarkan diri. Pemuda dan gadis itu saling pandang dan mereka melihat dua orang penjahat tadi telah berhasil mendarat dan melarikan diri.

   "Bagaimana?"

   Tanya si gadis tenang.

   "Kita menanti di sini dan menghajar mereka semua?"

   Pemuda itu menggeleng.

   "Lebih baik kita sembunyikan dia dan merawatnya. Kurasa ada tersembunyi rahasia yang menarik di balik peristiwa ini. Aneh kalau penjahat-penjahat itu mengejar-ngejar dan mendesak seorang kakek petani miskin seperti ini. Dan tadi agaknya mereka menghendaki suatu benda..."

   "Baik,"

   Jawab gadis itu. Pemuda itu memondong tubuh si kakek petani dan sebentar saja dia bersama temannya telah berlari dengan cepat meninggalkan tempat itu. Cara mereka berjalan cepat tentu akan mengejutkan hati seorang ahli silat kelas tinggi sekalipun karena mereka telah mempergunakan gin-kang atau ilmu meringankan tubuh yang amat luar biasa Siapakah gerangan pemuda dan gadis yang luar biasa ini?

   Orang yang mengenal mereka tentu tidak akan heran menyaksikan kehebatan ilmu kepandaian mereka karena pemuda itu bukan lain adalah tokoh dunia persilatan yang pernah menggegerkan dunia persilatan dengan julukannya yang menyeramkan, yaitu Pendekar Sadis! Dan temannya, gadis cantik jelita itupun pernah menjadi datuk kaum sesat yang berjuluk Lam-sin atau Malaikat Selatan! Pendekar Sadis itu bernama Ceng Thian Sin. Dalam usianya yang baru dua puluh tiga tahun, pemuda ini telah berhasil mewarisi ilmu-ilmu yang amat hebat dan yang pada waktu itu jarang dapat dicari bandingannya. Dia bukan keturunan sembarangan orang, karena mendiang orang tuanya adalah Pangeran Ceng Han Houw atau Pangeran Oguthai, seorang pangeran yang pernah berambisi untuk menjadi Jagoan Nomor Satu di dunia, sedang mendiang ibunya adalah Lie Ciauw Si, cucu dari ketua Cin-ling-pai!

   Pendekar Sadis ini bukan hanya mewarisi ilmu-ilmu dari Cin-ling-pai, bahkan telah menerima gemblengan banyak orang sakti, dan terutama sekali dia telah mewarisi peninggalan ilmu yang mujijat dari mendiang ayah kandungnya. Adapun temannya itu, yang pernah menyamar sebagai seorang nenek dengan julukan Lam-sin sebagai datuk selatan, bernama Toan Kim Hong, juga bukan orang sembarangan. Seperti juga Ceng Thian Sin, nona cantik ini adalah keturunan bangsawan karena ia adalah puteri seorang pangeran bernama Toan Su Ong yang sakti, ibu kandungnya adalah seorang wanita sakti pula bernama Ouwyang Ci yang mewarisi ilmu rahasia dari Perdana Menteri The Hoo yang terkenal itu. Seperti juga Thian Sin, orang tua Kim Hong telah tiada dan ia hidup seorang diri, mewarisi ilmu-ilmu yang hebat.

   Kedua orang muda yang sama-sama keturunan bangsawan tinggi ini, dalam petualangan mereka, berjumpa dan saling tertarik, saling mencinta. Sudah tiga tahun mereka hidup bersama, hidup sebagai kekasih, sebagai suami isteri walaupun mereka berdua tidak pernah menikah dengan sah. Hal ini sudah mereka kehendaki berdua, dan walaupun mereka tidak disahkan dengan upacara pernikahan, namun mereka saling mencinta, melebihi suami isteri yang menikah dengan sah. Thian Sin dan Kim Hong hidup berdua di sebuah pulau kosong yang bernama Pulau Teratai Merah, jauh dari daratan Tiongkok. Mereka hidup di pulau kosong itu dengan penuh kebahagiaan, tetangga mereka hanya penghuni pulau-pulau lainnya yang berdekatan dan kadang-kadang mereka naik perahu mendarat.

   Sudah tiga tahun lamanya mereka bertualang berdua, penuh kasih sayang, penuh kebahagiaan dan menghadapi apapun, mereka bersatu padu, saling mencinta, saling setia, walaupun kekerasan hati masing-masing membuat mereka kadang-kadang bercekcok! Akan tetapi, setiap percekcokan mereka seolah-olah merupakan pupuk bagi cinta kasih mereka karena setiap kali habis bercekcok, mereka menjadi lebih mesra lagi! Demikianlah riwayat singkat dari Ceng Thian Sin dan Toan Kim Hong, dua sejoli yang sama cantik sama tampan, juga sama lihai ini. Telah lama Ceng Thian Sin tidak lagi mau menggunakan nama julukan Pendekar Sadis, juga Toan Kim Hong tidak lagi menggunakan nama julukan Lam-sin. Betapapun juga, para tokoh kaum sesat masih ngeri mendengar kedua nama julukan ini.

   Setelah berkenalan sejenak dengan Thian Sin dan Kim Hong, mari kita lanjutkan dengan mengikuti perjalanan mereka yang penuh dengan petualangan itu. Luka-luka yang diderita oleh petani tua itu amat parah, Thian Sin dan Kim Hong melihat kenyataan ini dan mereka berdua hanya dapat memberi obat untuk mengurangi rasa nyeri saja, akan tetapi mereka maklum bahwa nyawa petani itu tidak mungkin dapat ditolong lagi. Petani itu agaknya juga merasa bahwa keadaannya amat parah dan bahwa dia harus meninggalkan rahasianya kepada dua orang yang telah menolongnya itu, maka dengan suara tersendat-sendat dan napas terengah-engah dia lalu menceritakan keadaannya. Petani itu bernama Ciang Gun, hidup di dusun Cin-bun-tang bersama dengan isterinya dan seorang puteranya yang sudah berusia duapuluh lima tahun.

   Keadaan mereka sedemikian sederhana dan miskinnya sehingga untuk mengawinkan Ciang Kim Su saja, yaitu putera tunggal mereka, tidak ada biaya. Sebidang tanah yang tidak begitu subur menjadi sumber nafkah mereka, hanya cukup untuk mencegah mereka mati kelaparan saja. Itupun mereka bertiga, Ciang Gun, isterinya dan Ciang Kim Su, harus mengerahkan tenaga bekerja di ladang mereka. Pada suatu hari, kurang lebih setahun yang lalu, karena membutuhkan air yang mahal karena musim kering terlampau lama, keluarga ini menggali sumur di tengah ladang mereka. Ketika mereka sudah menggali tanah sedalam kurang lebih dua meter, cangkul mereka bertemu dengan sebuah peti hitam kecil. Dengan hati penuh ketegangan mereka mengeluarkan peti itu, membukanya dan di dalam peti itu mereka menemukan sebuah peta dengan catatan huruf-huruf kuno, dan sebuah kunci yang terbuat dari pada emas.

   "Kunci ini terbuat dari emas!"

   Kata isteri Ciang Gun.

   "Cukup untuk dapat ditukar dengan beberapa karung gandum!"

   "Dan sebaglan untuk membeli bibit!"

   Kata Ciang Gun girang. Akan tetapi Kim Su, putera mereka yang pernah duduk di bangku sekolah walaupun hanya untuk dua tahun, menggeleng kepala.

   "Ayah dan ibu, kurasa kita telah menemukan sesuatu yang amat berharga, yang jauh lebih berharga dari pada kunci emas ini."

   Ayah itu memandang wajah puteranya dengan heran.

   "Maksudmu, gambaran corat-coret ini?"

   Kim Su mengangguk.

   "Ini adalah sebuah peta dan kurasa peta ini menunjukkan tempat penyimpanan sesuatu yang amat berharga dan kunci ini untuk membukanya. Bayangkan saja. Baru kuncinya terbuat dari emas, apa lagi barang-barang yang disimpan di dalam tempat terkunci itu!"

   "Harta karun...?"

   Ayahnya bertanya dan ibunya terbelalak.

   "Aku belum tahu benar, ayah. Itu hanya dugaanku. Sayang bahwa huruf-huruf ini amat kuno dan aku tidak dapat membacanya. Akan tetapi, bukankah paman Su yang tinggal di kota raja mengenal banyak sasterawan pandai?"

   "Kau benar, Kim Su!"

   Kata ibunya yang merasa bangga akan adiknya yang tinggal di kota raja dan yang dianggapnya memiliki pengetahuan banyak dan kenalan-kenalan orang besar.

   "Dia tentu dapat membantumu membaca huruf-huruf itu."

   "Sebaiknya, sekarang juga aku berangkat ke kota raja membawa peta ini, ayah. Dan kuncinya ayah simpan saja baik-baik, jangan sampai hilang dan menunggu sampai aku pulang dari kota raja dan mengetahui rahasia peta ini."

   Berangkatlah Kim Su ke kota raja dan ayah ibunya menanti dengan penuh harapan. Akan tetapi, bulan berganti bulan dan sampai setahun lamanya Kim Su tidak pulang, juga tidak pernah ada beritanya ke rumah. Setelah lewat setahun lebih, pada suatu siang muncullah empat orang laki-laki yang sikapnya kasar. Kakek Ciang Gun menerima kedatangan mereka dengan heran dan menanyakan maksud kedatangan mereka. Seorang di antara mereka yang bercodet di pipi kirinya, dengan suara lantang menerangkan maksud kedatangan mereka.

   "Kami disuruh oleh Ciang Kim Su..."

   Baru sampai di sini, kakek dan isterinya itu girang bukan main.

   "Bagaimana kabarnya dengan Kim Su? Di mana dia sekarang dan mengapa sampai sekarang dia tidak pulang dan tidak memberi kabar? Apakah dia telah bertemu dengan pamannya?"

   Pertanyaan bertubi-tubi diajukan oleh suami isteri itu kepada empat orang pengunjung ini.

   "Dia baik-baik saja dan dia menyuruh kami untuk datang mengabarkan kepada lopek berdua bahwa semua urusan berjalan beres. Dia menyuruh kami datang untuk menerima sebuah kunci dari lopek."

   Sambil berkata demikian, si codet ini memandang tajam kepada petani tua itu. Ciang Gun mengerutkan alisnya.

   "Kunci? Kunci apa?"

   Biarpun dia seorang petani dusun, namun dia telah hidup cukup lama untuk dapat mengenal ciri-ciri orang yang tidak dapat dipercaya dan dia tidak percaya kepada empat orang ini. Selain itu, puteranya ketika hendak pergi dahulu pernah berpesan bahwa kunci emas itu tidak boleh diberikan kepada siapapun juga selain kepadanya sendiri. Bahkan membicarakan soal kunci emas itupun dilarang.

   "Sebuah kunci emas!"

   Si codet mendesak.

   "Kunci emas...? Aku tidak mengerti."

   Ciang Gun menjawab. Tiga orang tamu yang lain mengerutkan alis dan kelihatan marah, akan tetapi si codet memberi isyarat dengan tangannya agar mereka bersabar.

   "Kamipun tidak tahu. Puteramu itu, Ciang Kim Su, hanya menyuruh demikian dan katanya engkau akan mengerti sendiri, lopek."

   "Tapi... tapi..."

   "Jangan ragu-ragu, lopek. Kami berempat adalah sahabat-sahabat baik puteramu dan Kim Su yang mengutus kami. Serahkan saja kunci emas itu kepadaku, lopek."

   "Tidak mungkin!"

   Tiba-tiba isteri petani itu berteriak.

   "Tidak mungkin Kim Su bersahabat dengan kalian!"

   Empat orang itu kini menjadi marah dan mereka mengurung suami isteri itu. Si codet kini menanggalkan kedok matanya dan dengan suara geram dia mendekati petani itu dan menghardik,

   "Tidak perlu banyak cerewet lagi. Serahkan kunci emas itu kalau engkau ingin selamat!"

   Ciang Gun terkejut sekali dan mukanya pucat, matanya terbelalak dan dia cepat mundur-mundur sambil menggeleng kepala. Isterinya, seorang wanita yang berani karena sejak kecil sudah terlampau kenyang menghadapi hidup sukar, kini melangkah ke depan, seperti hendak melindungi suaminya dan membentak dengan suara marah,

   "Kalian ini orang-orang jahat! Sejak tadi aku tidak percaya bahwa anak kami bersahabat dengan orang-orang seperti kalian. Hayo kalian pergi dari sini! Kami orang-orang miskin tidak mempunyai apa-apa..."

   "Pkakkk!"

   Sebuah tamparan yang keras membuat tubuh wanita itu terpelanting dan roboh di atas tanah. Suaminya berteriak kaget, akan tetapi hanya dapat memandang dengan mata terbelalak saja ketika melihat si codet itu menubruk ke depan, menginjak punggung isterinya dengan lutut dan mencengkeram rambut wanita itu keras-keras ditarik ke belakang.

   "Petani busuk! Serahkan kunci emas atau leher binimu akan kupatahkan!"

   "Tidak... tidak... jangan kau lakukan itu. Lepaskan isteriku... harap kalian jangan sekejam itu..."

   Petani itu meratap.

   "Serahkan kunci emas dan kalian akan selamat!"

   Si codet menghardik lagi.

   "Jangan berikan!"

   Tiba-tiba isteri petani itu berteriak lantang kepada suaminya.

   "Jangan berikan. Ingat, mungkin anak kita telah mereka bunuh pula!"

   Teriakan isterinya ini mengingatkan si petani dan wajahnya menjadi pucat, matanya terbelalak memandang kepada si codet yang membekuk isterinya itu dan petani ini menggeleng kepala keras-keras.

   "Ciang Gun, lekas berikan kunci emas itu kepada kami, atau engkau akan melihat isterimu kami siksa sampai mati, kemudian engkau sendiripun akan kami siksa sampai mati dan akhimya kunci itupun akan dapat kami rampas!"

   "Jangan percaya! Mereka ini penjahat-penjahat kejam, pembohong dan penipu semua!"

   Isterinya menjerit lagi memperingatkan suaminya.

   "Tangkap dia, geledah seluruh rumah!"

   Bentak si codet kepada teman-temannya dan seorang di antara mereka menubruk kakek Ciang Gun, merobohkannya dan mengikat kaki tangannya. Isteri petani itu juga diikat kaki tangannya dan empat orang itu lalu menggeledah-geledah pakaian yang mereka pakai sampai hampir menelanjangi mereka. Setelah tidak berhasil menemukan kunci emas pada tubuh mereka, empat orang itu menggeledah seluruh tempat di dalam rumah itu, mengobrak-abrik semua barang. Akan tetapi tetap saja kunci itu tidak dapat mereka temukan. Mengertilah si codet bahwa kunci emas itu tentu disembunyikan oleh suami isteri itu di suatu tempat yang sukar untuk dapat dia temukan tanpa pemberitahuan mereka berdua.

   "Hayo katakan, di mana kunci emas itu!"

   Si codet menghardik sambil menjambak rambut isteri petani itu. Akan tetapi wanita tua yang sudah nekat ini memandang penuh kebencian dan ia meludah.

   "Cuhh! Engkau boleh membunuh kami, akan tetapi jangan harap dapat menemukan kunci itu!"

   "Plak! Plakk!"

   Dua kali si codet menampar lalu meninggalkan wanita itu yang berdarah pada mulutnya akan tetapi yang sedikitpun tidak mengeluh. Kini codet kejam itu menghampiri Ciang Gun.

   "Hayo katakan, di mana kunci itu? Atau engkau lebih senang melihat isterimu kusembelih di depan matamu?"

   "Suamiku, jangan katakan! Jangan kira dia akan melepaskanmu kalau kunci kau serahkan. Kita serahkan, tetap saja kita akan mereka bunuh. Biarlah kita mati, berkorban demi anak kita. Jangan beritahukan, jangan serahkan kunci!"

   
Harta Karun Jenghis Khan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Perempuan keparat!"

   Si codet meninggalkan petani itu, melompat ke dekat si wanita dan menendang tubuh yang terbelenggu itu sampai bergulingan dekat suaminya. Kakek Ciang Gun memejamkan matanya dan menangis.

   "Kuatkan hatimu, suamiku. Paling-paling kita mati, akan tetapi mereka ini, binatang-binatang buas ini takkan dapat merampas kunci kita, demi untuk Kim Su... aughhh..."

   Sebuah tendangan mengenai dadanya dan wanita itu tak mampu bicara lagi. Si codet mencabut goloknya dan memodongkan goloknya pada leher wanita yang sudah setengah pingsan itu.

   "Petani busuk, engkau lebih memberatkan kunci keparat itu dari pada nyawa isterimu? Lihat ini!"

   Ujung golok itu menggores sedikit kulit leher. Darah muncrat membasahi leher dan baju. Melihat ini, kakek Ciang Gun kembali memejamkan matanya dan dia tidak mampu bersuara lagi, hanya menggeleng-geleng kepala keras-keras sambil menangis.

   "Hi-hi-hik! Kalian anjing-anjing busuk, tak mungkin dapat memaksa suamiku. Dia adalah seorang gagah, benar, suamiku seorang gagah perkasa yang tak takut mati!"

   Ujung golok itu menusuk dada dan kembali darah muncrat.

   "Petani Ciang, sekali lagi, kunci emas itu atau nyawa isterimu?"

   "Suamiku, kutunggu engkau di akhirat..."

   Isterinya masih sempat menjerit sebelum golok itu membacok lehernya dan iapun tewas seketika. Biarpun dia memejamkan kedua matanya, petani itu dapat mengikuti penderitaan isterinya melalui pendengarannya dan telinga pulalah yang memberi tahu kepadanya akan keadaan isterinya. Dia membuka matanya dan melihat isterinya menggeletak dengan mandi darah dan tidak bergerak-gerak lagi. Dia hanya dapat merintih dan memanggil nama isterinya sambil menangis.

   "Lihat, isterimu mati karena membandel. Hayo kau katakan, di mana kunci itu!"

   Si codet membentak.

   "Kalian bunuhlah aku! Bunuhlah aku...!"

   Kakek Ciang Gun berteriak-teriak dan menangis. Si codet menendang dan memukulinya, akan tetapi tidak sampai membunuhnya karena para penjahat ini maklum bahwa mayat tidak mungkin dapat memberitahukan di mana adanya kunci emas yang mereka cari-cari itu. Bahkan atas isyarat si codet, mereka lalu meninggalkan kakek Ciang Gun setelah membebaskannya dari belenggu, membiarkan kakek itu menangisi isterinya.

   Kakek itu, dibantu oleh para tetangganya yang tidak ada yang berani mencampuri urusan itu, mengubur jenazah isterinya dan berkabung dengan penuh kedukaan. Empat orang penjahat itu tidak muncul lagi. Akan tetapi kakek Ciang teringat akan nasihat dan kata-kata isterinya yang diucapkan di waktu mereka menghadapi penjahat-penjahat itu, maka diapun dapat menduga bahwa tentu para penjahat itu tidak mau melepaskan dia begitu saja. Dia menduga bahwa para penjahat itu tentu diam-diam membayanginya. Untuk meyakinkan dugaan hatinya, beberapa hari kemudian, pada tengah malam, kakek Ciang diam-diam meninggalkan rumahnya lalu pergi ke sudut ladangnya, berindap-indap. Kemudian, seperti habis mengambil sesuatu, dia kembali ke rumahnya dan benar saja seperti yang telah diduganya, begitu memasuki rumahnya, di situ telah menanti empat orang penjahat itu!

   "Ha-ha-ha, bagus sekali. Engkau telah mengambilkan kunci itu untuk kami, ya? Serahkan kepadaku!"

   Kata si codet. Kakek Ciang menggeleng kepala.

   "Tidak ada kunci!"

   Si codet marah dan menubruk maju. Kakek itu dipegangi dan digerayangi seluruh tubuhnya, akan tetapi memang benar tidak ada ditemukan kunci padanya. Kembali, seperti tempo hari, rumah itu diobrak-abrik, akan tetapi semua usaha itu sia-sia saja, tidak mereka temukan kunci yang dicari-cari. Setelah memukuli kakek itu tanpa membunuhnya untuk melampiaskan kedongkolan hati,

   Mereka lalu meninggalkan Ciang Gun yang hanya dapat mengeluh dan meratapi nasibnya yang buruk. Semenjak ditemukan benda aneh dari dalam tanah itu, keluarganya tertimpa malapetaka hebat. Isterinya mati dibunuh penjahat, anaknya masih belum diketahui nasibnya dan dia sendiri kini berada dalam ancaman penjahat-penjahat kejam. Kakek Ciang tahu bahwa dia harus melakukan sesuatu. Pertama-tama, dia harus dapat melepaskan diri dari pengamatan para penjahat itu, kemudian mengambil kunci emas yang disimpannya di suatu tempat tersembunyi. Setelah itu, dia harus cepat pergi ke kota raja menyusul anaknya. Hanya itulah satu-satunya jalan. Dia pernah pergi ke kota raja menengok adik laki-laki isterinya, yaitu alamat yang hendak dikunjungi oleh Kim Su ketika pemuda itu meninggalkan dusun menuju ke kota raja.

   Kakek Ciang mencari kesempatan dan kesempatan itu terbuka baginya ketika dia mengadakan sembahyangan untuk arwah isterinya. Para tetangga berdatangan pada malam hari itu dan seperti telah diduganya, dalam keadaan menerima tamu-tamu para tetangga, para penjahat agak lengah. Para penjahat yang mengamati dan membayanginya tentu sama sekali tidak pernah menyangka bahwa kakek itu akan melarikan diri justeru pada malam hari ketika para tetangga menjadi tamunya itu. Petani Ciang Gun berhasil menyelinap pergi malam itu. Bahkan para tetangganya yang menjadi tamunya pada malam itupun tidak tahu akan kepergiannya. Mereka mengira bahwa tuan rumah itu pergi ke belakang, ke kamar mandi untuk buang air atau sebagainya. Setelah lama dia tidak muncul, barulah para tamu menjadi heran dan mencari-carinya tanpa hasil. Kakek Ciang telah pergi dan tak seorangpun tahu ke mana perginya!

   Tentu saja empat orang penjahat yang mengamati tempat itu dari jauh menjadi bingung dan marah-marah. Mereka mencari ke sana sini tanpa hasil pula. Sambil menyumpah-nyumpah mereka lalu berpencaran dan mencari terus. Ciang Gun berhasil menyelinap pergi dan mengambil kunci emas yang disembunyikan di antara akar pohon besar. Kemudian dia membawa kunci itu, diikatkannya di pinggang dan larilah petani ini pada malam hari itu juga meninggalkan dusunnya, menuju ke kota raja. Karena para penjahat yang mengamatinya tidak mengira bahwa kakek ini berani melarikan diri ke kota raja, maka mereka mencari di sekitar dusun dan karena ini, petani Ciang memperoleh banyak waktu untuk melarikan diri dengan aman. Akan tetapi, bagaimanapun juga, dia hanyalah seorang petani lemah biasa saja sedangkan para pengejarnya adalah penjahat-penjahat yang ulung.

   Empat orang penjahat itu berpencar, bahkan mereka sudah menghubungi kawan-kawan mereka yang mencari ke berbagai jurusan. Oleh karena itu, tidak aneh ketika tiba di daerah An-keng, jejak petani Ciang itu ditemukan dan dia dikejar-kejar oleh dua orang penjahat. Dan seperti telah kita ketahui, secara kebetulan dia tertolong oleh sepasang pendekar yang sakti, yaitu Pendekar Sadis dan kekasihnya, yang berhasil menyelamatkannya setelah petani itu menderita luka-luka berat. Setelah selesai menceritakan riwayatnya, kakek petani itu memandang kepada Thian Sin dan Kim Hong dengan napas empas-empis, tinggal satu-satu. Diapun tahu bahwa tidak ada harapan lagi baginya untuk hidup, maka harapannya untuk dapat menyampaikan kunci emas kepada puteranya hanyalah muda mudi yang gagah perkasa ini.

   "Ji-wi (anda berdua)... telah menolongku... ji-wi terimalah ini..."

   Dia mengeluarkan kunci emas yang digantungkan pada lehernya itu.

   "Carilah Kim Su di kota raja... petanya ada padanya... ji-wi adalah orang-orang gagah yang baik... bantulah dia membuka rahasia harta karun itu... bagi-bagilah antara kalian... dan..."

   Kakek itu tidak dapat melanjutkan kata-katanya, terkulai dan tewas. Thian Sin cepat memeriksa dan saling pandang dengan Kim Hong. Kemudian dengan sederhana mereka berdua lalu mengubur jenazah kakek itu di tepi telaga. Karena adanya rahasia kunci emas di tangan mereka, kedua orang ini merasa tidak perlu untuk memberi tahu orang lain atau melaporkan kepada petugas keamanan tentang adanya peristiwa itu. Setelah mereka selesai mengubur jenazah petani itu, Kim Hong bertanya,

   "Apa yang akan kita lakukan sekarang dengan kunci emas ini? Mencari orang bernama Ciang Kim Su itu?"

   "Kau tertarik?"

   Balas tanya Thian Sin. Yang ditanya tersenyum, semacam senyuman yang tak pernah gagal mengguncangkan hati pemuda yang jatuh cinta itu. Diciumnya Kim Hong karena Thian Sin tidak pernah dapat menahan hatinya untuk tidak mencium setiap kali melihat senyum khas ini, sehingga bagi keduanya, senyuman khas itu seperti menjadi tanda agar Thian Sin mencium Kim Hong! Cinta kasih antara pria dan wanita memang melahirkan atau menciptakan bahasanya sendiri tanpa kata!

   "Kau tahu, aku bukan gila harta. Akan tetapi aku kasihan kepada petani itu yang telah menjadi korban kejahatan dan ingin tahu apakah anaknya itu masih hidup. Selain itu, biarpun kita tidak gila harta, kalau benar ada harta karun sampai terjatuh ke tangan penjahat, kan sayang?"

   Thian Si mengangguk.

   "Bagaimanapun juga, kakek petani itu telah percaya kepada kita dan pesan terakhir seorang yang mati sungguh tak baik untuk diabaikan begitu saja."

   "Jadi kita ke kota raja?"

   "Bagaimana kau pikir sebaiknya?"

   Thian Sin balas bertanya sambil memandang dengan sikap bertanya dan menguji. Kim Hong memang tidak perlu banyak bicara dengan kekasihnya ini. Dari pandang mata saja mereka sudah dapat saling mengutarakan isi hati masing-masing. Dara cantik itu tersenyum manis, bukan senyuman khas minta cium.

   "Mari kita tulis pendapat masing-masing,"

   Katanya sambil membalikkan tubuhnya dan berjongkok, membuat corat-coret di atas tanah. Thian Sin tersenyum dan juga membalikkan tubuhnya, seperti juga yang dilakukan kekasihnya itu dia mencorat-coret di atas tanah. Hampir berbareng mereka selesai dan tanpa bicara, keduanya membaca tulisan masing-masing. Mereka lalu tertawa dan saling rangkul. Tulisan mereka, walaupun dengan kalimat yang berbeda, isinya sama!

   Mereka berdua berpendapat bahwa mereka akan mempergunakan kunci itu untuk memancing datangnya para penjahat sebagai pintu atau jembatan pertama ke arah perkara kakek petani itu! Mereka masih tertawa-tawa geli dan juga girang ketika mereka kembali ke rumah penginapan mereka di kota An-keng, berjalan bergandeng tangan dan tidak tergesa-gesa karena mereka sengaja hendak meninggalkan jejak atau memberi kesempatan kepada para penjahat untuk membayangi mereka dan mengetahui di mana mereka tinggal. Akan tetapi, begitu tiba di dalam kamar di rumah penginapan, diam-diam Thian Sin mempergunakan kepandaiannya untuk lolos dari dalam kamar, membawa kunci emas itu dan pergilah dia ke tukang pembuat perhiasan emas dan minta kepada tukang itu untuk membuatkan sebuah kunci emas untuknya.

   Tentu saja banya bentuknya yang mirip, akan tetapi dengan mata kunci yang jauh berbeda. Setelah selesai, dibawanya kunci emas palsu itu kembali ke hotel dan dia memberikan kunci emas yang aseli kepada Kim Hong, sedangkan yang palsu dia simpan dalam saku bajunya. Setelah membuat persiapan ini merekapun hanya tinggal menanti. Dan mereka tidak usah menanti terlalu lama. Malam itu juga, selagi keduanya duduk di serambi samping rumah penginapan, menghadapi taman bunga yang diatur cukup nyeni bercakap-cakap menikmati malam cerah penuh bintang dan merasakan nyamannya angin malam bersilir sepi, tiba-tiba nampak sinar berkelebat karena adanya benda meluncur tertimpa sinar lampu. Akan tetapi, dua orang muda perkasa itu dapat mengikuti luncuran benda ini dengan pandang mata mereka dan maklum bahwa benda itu masih jauh dari tubuh mereka.

   "Ceppp!"

   Sebatang pisau runcing menancap di daun jendela di belakang mereka, hanya lewat beberapa belas sentimeter di atas kepala mereka. Kalau bukan ahli yang telah memiliki kematangan dalam ilmu silat sehingga ilmu itu seolah-olah sudah mendarah daging di tubuh mereka,

   Tentu keduanya tadi sudah kaget dan mengelak. Kim Hong hendak meloncat ke arah datangnya pisau, akan tetapi sentuhan halus tangan Thian Sin menahannya dan iapun melirik ke arah jendela, melihat bahwa pisau itu membawa sesampul surat yang kini tertancap di daun jendela. Mengertilah ia akan maksud kekasihnya. Pihak lawan telah mulai mengadakan hubungan dan karena lawan mengirim surat, maka tidak baik kalau mempergunakan kekerasan. Pula, yang melemparkan pisau secara ahli itupun tentu hanya merupakan anak buah belaka dan tidak ada artinya kalau hanya berurusan dengan anak buah. Isi surat itu singkat saja, ditulis oleh orang yang agaknya lebih biasa memegang golok dan pedang dari pada pena. Namun cukup jelas bagi Thian Sin dan Kim Hong yang membaca bersama.

   "Kalian mengetahui rahasia Ciang Gun, kami mengetahui rahasia Ciang Kim Su. Kita dapat saling menukar pengetahuan itu besok pagi di hutan cemara sebelah utara telaga."

   Surat itu tidak ditandatangani akan tetapi isinya sudah jelas. Pihak penjahat, agaknya teman-teman dari dua orang penjahat yang menyerang mendiang Ciang Gun, menawarkan semacam kerjasama atau saling menukar rahasia. Tentu maksud mereka untuk mengetahui sebagian dari rahasia yang ditemukan keluarga petani Ciang.

   "Hemm, umpan mulai didekati ikan,"

   Kata Thian Sin sambil merobek-robek surat itu.

   "Baik kalau yang mendekati itu ikan kakap, bagaimana kalau hanya teri?"

   Kata Kim Hong.

   "Kakap atau teri, setidaknya lebih mendekatkan kita kepada rahasia Ciang Kim Su. Melalui mereka kita dapat mengetahui tentang putera petani itu dan ke mana harus mencarinya, atau apa yang telah terjadi dengan dirinya. Nah, kita boleh bersabar sampai besok pagi."

   Pada keesokan harinya, setelah semalam tidak terjadi sesuatu yang mengganggu tidur mereka, pergilah Thian Sin dan Kim Hong menuju ke luar kota An-keng, ke hutan cemara yang berada di sebelah utara telaga.

   Sunyi sekali tempat di hutan itu, bukan hanya karena hari masih terlalu pagi, melainkan karena memang tempat ini jarang didatangi pelancong. Tempat ini agak liar dan pemandangannya juga tidak indah, di antara pohon-pohon cemara terdapat banyak semak-semak belukar yang berduri dan jalannyapun tidak rata. Karena sunyinya, jarang ada yang tertarik untuk mendatangi tempat ini, apa lagi tempat-tempat yang sunyi biasanya merupakan daerah rawan. Dengan sikap tenang, seperti sepasang suami isteri muda pelancong saja, Thian Sin dan Kim Hong memasuki hutan ini. Biarpun hutan, akan tetapi karena pohon-pohonnya adalah pohon cemara, maka tidaklah begitu rimbun dan gelap. Cahaya matahari pagi mulai menerobos di antara celah-celah batang dan daun pohon, menciptakan berkas-berkas cahaya yang putih kekuningan dan amat indahnya.

   Burung-burung pagi berkicau di antara pohon-pohon cemara, menambah indahnya suasana dan kegembiraan yang mendalam terasa sekali dalam hati muda mudi itu. Mereka adalah dua orang pendekar yang sudah terlalu sering menghadapi bahaya-hahaya besar, maka urusan yang mereka hadapi sekarang ini merupakan persoalan kecil saja yang sama sekali tidak mengganggu ketenangan batin mereka, bahkan ketika mereka berdua menikmati suasana hening di pagi hari itu, urusan kunci emas sudah mereka lupakan! Akan tetapi, panca indera mereka yang terlatih dan amat tajam segera membuyarkan keheningan itu. Mereka maklum bahwa terdapat banyak sekali orang, ada dua puluh orang lebih yang diam-diam berada di sekitar tempat itu dan diam-diam telah mengurung mereka dari jarak jauh.

   Akan tetapi keduanya hanya saling pandang saja sambil tersenyum-senyum, seperti dua orang dewasa yang melihat tingkah anak-anak kecil yang nakal. Kemudian, muncullah dua orang laki-laki dari balik semak-semak. Seorang di antara mereka adalah seorang kakek yang pendek, gendut berkepala botak bermata lebar. Di punggungnya tergantung sebatang ruyung yang besar dan berat dan kakek yang usianya sudah lima puluh lebih ini nampak kuat sekali. Orang ke dua adalah seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih, tubuhnya kurus kering dan mukanya seperti tikus, membayangkan kelicikan dan kecerdikan. Melihat dua orang ini menghadang di depan dan bersikap seolah-olah mereka itu hanya berdua saja, Thian Sin dan Kim Hong kembali saling pandang dan mengulum senyum. Mereka segera maju menghampiri dan Thian Sin lalu bertanya dengan suara ramah.

   "Maaf, kami mencari orang yang mengenal Ciang Kim Su. Dapatkah ji-wi menunjukkan?"

   Si pendek gendut tertawa bergelak, suara ketawa yang kasar dan biarpun dia sudah mendengar bahwa sepasang orang muda ini sudah mengalahkan dua orang pembantunya yang paling lihai, yaitu si codet dan temannya, akan tetapi melihat keadaan pemuda dan gadis itu, si gendut ini memandang rendah. Betapapun juga, karena dia membutuhkan kunci emas yang diduganya tentu berada pada muda mudi ini, dia memaksa diri bersikap ramah. Setelah tertawa, dia berkata,

   "Kamilah orangnya yang mengenal Ciang Kim Su. Kalian berdua mengenal Ciang Gun. Nah, mari kita saling menukar pengetahuan kita."

   Thian Sin mengangguk-angguk, nampak gembira seperti sikap seorang pemuda yang masih hijau dan bodoh, mudah untuk ditipu orang.

   "Baik sekali. Nah, harap engkau suka memberi tahu kepada kami tentang Ciang Kim Su, dan kami akan memberi tahu tentang rahasia Ciang Gun."

   "Tentang kunci emas?"

   Tanya si gendut sambil memandang tajam. Dia masih meragukan dan tidak mau lancang turun tangan sebelum dia tahu pasti apakah muda mudi ini telah menguasai kunci emas. Kalau belum, dia tidak akan turun tangan, karena kini setelah kakek Ciang Gun meninggal dunia, kiranya orang-orang yang tahu akan kunci emas itu hanyalah muda-mudi ini.

   "Benar, tentang kunci emas. Nah, ceritakan dulu tentang pemuda putera petani itu."

   "Dan engkau akan menunjukkan kepada kami di mana adanya kunci emas?"

   "Benar sekali."

   Jawab Thian Sin. Tentu saja kakek gendut yang merupakan kepala gerombolan penjahat itu menjadi girang sekali. Kegirangan ini dicobanya untuk ditutupi, akan tetapi masih nampak jelas oleh Thian Sin dan Kim Hong.

   "Baik, dengarlah ceritaku. Pemuda petani tolol Ciang Kim Su itu telah tiba di kota raja setahun yang lalu. Dia berhasil menemui pamannya, yaitu Su Tong Hak yang menjadi pedagang rempah-rempah di kota raja. Mereka berdua membagi peta rahasia harta karun yang dibawa pemuda dari dusun itu menjadi dua dan masing-masing menyimpan potongan peta. Akan tetapi, tiba-tiba saja pemuda itu menghilang dan karena mereka berdua itu ceroboh, rahasia mereka ketahuan oleh Mo-ko."

   Si gendut itu berhenti dan menarik napas panjang.

   "Mo-ko? Siapakah itu?"

   "Ah, engkau tidak mengenal Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng yang menjadi raja dunia hitam di kota raja?"

   Si gendut itu bertanya dengan heran. Hampir semua orang kang-ouw mengenal Mo-ko, kenapa muda mudi ini tidak mengenalnya?

   "Kami tidak mengenalnya, akan tetapi... lanjutkanlah ceritamu dan bagaimana engkau sendiri sampai mengetahui rahasia itu?"

   Kata Thian Sin. Si gendut pendek itu tertawa,

   "Pat-pi Mo-ko boleh jadi lihai dan menjadi raja dunia hitam di kota raja, akan tetapi aku Liong-tut-pian Ban Lok, tidak ada keduanya di kota raja dalam hal membongkar rahasia orang! Sebelum diketahui oleh Mo-ko, aku telah mengetahui lebih dahulu rahasia besar yang dibawa dari dusun oleh pemuda she Ciang itu, bahkan aku tahu bahwa selain peta rahasia itu, terdapat pula kunci emasnya yang dipegang oleh ayah pemuda itu. Tanpa adanya kunci emas ini, peta itupun tidak akan ada gunanya."

   "Jadi peta itu dibagi dua, masing-masing bagiannya disimpan oleh Su Tong Hak dan Ciang Kim Su yang lenyap secara tiba-tiba?"

   Tanya pula Thian Sin. Si gendut mengangguk.

   "Benar dan apa yang kuceritakan ini adalah yang sebenarnya. Nah, aku telah menceritakan tentang peta dan Ciang Kim Su, sekarang giliranmu untuk menukarnya dengan penjelasanmu tentang kunci emas..."

   Thian Sin menepuk kantung di bajunya.

   "Kunci emas itu telah berada di sini, oleh kakek Ciang Gun diberikan kepadaku sebelum dia tewas karena luka-luka di tubuhnya yang dilakukan oleh anak buahmu."

   Mendengar ini, sinar aneh terpancar dari sepasang mata kakek gendut itu ketika dia memandang ke arah baju Thian Sin. Akan tetapi, si gendut yang mengaku bernama Ban Lok dan berjuluk Liong-kut-pian (Ruyung Tulang Naga) itu agaknya menahan keinginan hatinya untuk dapat segera merampas kunci yang diinginkannya itu.

   "Kalau aku tidak melihat sendiri, bagaimana aku dapat percaya omonganmu? Siapa tahu engkau membohong atau kunci itu hanya kunci palsu belaka?"

   "Kalau orang tidak percaya kepada kita, perlu apa kita melayaninya?"

   Tiba-tiba Kim Hong berkata dengan sikap mendongkol.

   "Mari kita pergi saja mencari kerjasama dengan orang lain yang akan lebih dapat menghargai dan percaya kepada kita!"

   Melihat Tbian Sin dan Kim Hong hendak pergi, Ban Lok cepat berkata,

   "Eiit, nanti dulu. Aku sudah memberi keterangan tentang rahasia pemuda she Ciang itu, dan kalian belum memberi penukarnya. Bukan aku tidak percaya, hanya aku harus berhati-hati karena aku belum mengenal kalian. Nah, biarkan aku melihat kunci itu."

   Thian Sin memperlihatkan sikap ragu-tagu dan khawatir, sikap orang yang merasa enggan berpisah dari sebuah benda yang amat berharga, lalu mengeluarkan kunci emas dari saku bajunya sebelah dalam. Setelah mengirim pandang mata curiga, dia lalu mengacungkan kunci emas itu ke atas dan berkata,

   "Nih, lihatlah. Kunci emas yang tulen!"

   Sinar matahari pagi menimpa kunci emas itu dan nampaklah sinar mencorong membuat Ban Lok menelan ludahnya dan matanya bersinar-sinar. Memang sebuah kunci emas tulen! Dia mengulur tangan hendak meraih, akan tetapi Thian Sin menariknya kembali.

   "Lihat sajapun cukuplah...!"

   Katanya. Si gendut itu mendelik.

   "Kau tidak percaya padaku? Bagaimana hatiku dapat yakin kalau hanya melihat? Aku harus memegangnya dan memeriksanya dengan teliti."

   Dia menghardik disertai sikap mengancam.

   "Berikanlah, dari pada ribut-ribut!"

   Terdengar Kim Hong berkata, sikapnya agak takut-takut membuat kepala penjahat itu tersenyum mengejek. Thian Sin menyerahkan kunci emas itu dan Ban Lok yang gendut cepat menyambarnya dan memeriksanya dengan jantung berdebar penuh rasa tegang dan gembira. Sebuah kunci yang benar-benar terbuat dari pada emas dan bentuknya aneh dan kuno. Emas itu saja sudah menjanjikan harta karun yang tentu luar biasa besarnya. Tiba-tiba, sambil menyimpan kunci emas itu di dalam saku bajunya sebelah dalam, Ban Luk meloncat ke belakang dan berteriak kepada anak buahnya yang masih bersembunyi di belakangnya.

   "Serbu dan bunuh mereka!"

   Thian Sin dan Kim Hong sama sekali tidak merasa kaget melihat betapa dari balik semak-semak dan pohon-pohon besar muncul berlompatan banyak sekali orang-orang kasar. Jumlah mereka kurang lebih ada tiga puluh orang dan mereka semua membawa senjata tajam dan kini mereka telah bergerak mengurung. Akan tetapi, Thian Sin bersikap kaget dan penasaran.

   "Eh, apa artinya ini? Kembalikan kunci emas itu kepadaku!"

   Kepala penjahat yang gendut itupun membuang sikap palsunya dan dia tertawa bergelak.

   "Ha-ha-ha-ha! Kalian sudah mendengar rahasia peta yang kuceritakan tadi, berarti kalian tidak boleh hidup lebib lama lagi. Sudah berbulan-bulan aku mencari kunci ini, setelah kudapatkan, mana mungkin kulepas lagi?"

   "Curang! Engkau sudah berjanji saling menukar keterangan!"

   Kim Hong berteriak. Kembali kepala penjahat itu tertawa bergelak.

   "Engkau seorang wanita yang cantik sekali, untung bertemu denganku sehingga engkau akan mati tanpa ternoda. Kalau engkau bertemu dengan Pat-pi Mo-ko, jangan harap dapat mati seenak itu, tentu engkau akan dipermainkannya sampai rusak binasa. Ha-ha-ha! Hayo serbu...!"

   Dia memberi aba-aba lagi. Puluhan orang itu memperketat kurungan dan mereka mulai mendekat dengan senjata ditodongkan. Tentu saja ancaman maut yang bagi orang lain tentu akan menimbulkan kengerian itu, bahkan nampak menggelikan bagi pasangan pendekar yang memiliki kepandaian amat tinggi itu. Thian Sin membuang sikapnya yang pura-pura takut tadi dan diapun tersenyum.

   "Baiklah, kalian mencari penyakit sendiri!"

   Dia dan Kim Hong masih berdiri dengan sikap seenaknya saja, sama sekali tidak memasang kuda-kuda seperti biasanya ahli silat kalau menghadapi ancaman lawan menghadapi ancaman begitu banyak orang. Mereka hanya saling pandang dan keduanya mengerti apa yang mereka harus kakukan, yaitu menghajar para pengepung itu habis-habisan tanpa melakukan pembunuhan.

   Beberapa tahun yang lalu, Ceng Thian Sin terkenal dengan julukan Pendekar Sadis. Dari julukannya ini (Lanjut ke Jilid 02)
Harta Karun Jenghis Khan (Seri ke 06 "

   Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 02
saja mudah diduga bahwa dia mempunyai hati yang amat kejam terhadap para penjahat. Dia amat membenci para penjahat sehingga setiap kali bentrok dengan tokoh-tokoh penjahat, dia bukan hanya menurunkan tangan sakti membunuhnya, akan tetapi menyiksanya terlebih dahulu dengan cara-cara yang amat sadis. Dia memperoleh kenikmatan dengan menyiksa orang-orang yang dianggapnya jahat itu sebagai peluapan rasa dendamnya yang amat besar terhadap para penjahat. Semenjak kccil, dia telah mengalami banyak kesengsaraan hidup sebagai akibat dari perbuatan para penjahat sehingga dia menaruh dendam yang amat hebat.

   Adapun Toan Kim Hong, wanita muda yang cantik jelita itu, tadinya pernah menyamar sebagai seorang nenek yang berjuluk Lam-sin (Malaikat Selatan) yang merupakan seorang di antara empat datuk kaum sesat. Iapun amat ganas dan kejam, membunuh lawan dengan tangan dingin (baca tentang Pendekar Sadis dan Lam-sin dalam cerita Pendekar Sadis). Akan tetapi, semenjak keduanya saling bertemu, saling jatub cinta, kemudian bersama-sama menghadapi para pendekar sakti, Sampai akhirnya mereka berhadapan dengan para pendekar Cin-ling-pai dan Lembah Naga yang mereka cinta, puja dan takuti, keduanya telah berubah. Mereka berdua kini tinggal di Pulau Teratai Merah dan tidak lagi menuruti hati yang ingin membasmi para penjahat.

   

Pendekar Sadis Eps 16 Pendekar Lembah Naga Eps 47 Pendekar Lembah Naga Eps 47

Cari Blog Ini