Ceritasilat Novel Online

Harta Karun Jenghis Khan 5


Harta Karun Jenghis Khan Karya Kho Ping Hoo Bagian 5



"Tidak apa dan terima kasih, Bu-twako. Kita berada di mana? Kita harus dapat keluar dari tempat ini. Tak kusangka bahwa kita telah terjebak."

   "Sudah kuperiksa dengan teliti tadi, akan tetapi baru sebentar karena engkau kulihat jatuh ke bawah. Agaknya tempat ini buntu, merupakan lubang seperti sumur. Tidak ada jalan keluar dari sini kecuali melalui atas."

   "Belum tentu. Mari kita periksa lagi dengan meraba-raba."

   Merekapun mulai meraba-raba di sepanjang dinding yang bentuknya bundar seperti sumur itu.

   "Apakah yang terjadi? Bukankah kita dimasukkan kamar tahanan kantor kejaksaan? Kenapa kita terjebak seperti ini? Mungkinkah di kantor pemerintah ada tempat jebakan seperti ini?"

   Sambil memeriksa dinding, Kok Siang mengomel karena dia sungguh merasa penasaran dan terheran-heran.

   "Ah, twako. Di manapun juga, apapun juga kedudukannya, manusia tetap merupakan mahluk yang palsu dan kejam. Aku sebetulnya sudah tidak setuju menyerahkan diri. Kurasa penangkapan itu memang sudah diatur sebelumnya. Tentu ada hubungannya antara Tiat-ciang Lui Cai Ko dengan perwira itu. Dan kulihat tadi kakek yang menyambut pukulanku ke arah pintu, hemmm... sungguh dia seorang lihai, seorang lawan tangguh."

   "Siapa dia?"

   "Aku tidak pernah mengenalnya, akan tetapi aku dapat menduganya. Mungkin dia itulah yang menjadi dalang dan biang keladi ini semua, yang menjadi raja penjahatnya."

   "Siapa?"

   Pemuda itu berhenti meraba-raba karena memang sekeliling dinding ruangan itu tanah padas belaka.

   "Kalau tidak salah tentu yang bernama Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng."

   "Ahhh...!"

   "Kau mengenal dia?"

   "Mengenal orangnya belum, akan tetapi siapa yang tidak pernah mendengar namanya? Pat-pi Mo-ko adalah nama seorang datuk kaum sesat yang baru. Boleh dibilang semenjak keempat datuk kaum sesat itu lenyap, dia inilah yang terkenal sebagai datuk. Engkau tentu pernah mendengar nama keempat datuk kaum sesat, bukan? Pertama adalah See-thian-ong datuk dunia barat yang kabarnya telah tewas oleh Pendekar Sadis. Ke dua adalah Pak-san-kui Siongkoan Tiang yang kabarnya juga tewas di tangan Pendekar itu. Ke tiga adalah Tung-hai-sian datuk timur yang kini melepaskan kedudukannya dan mencuci tangan, hidup sebagai seorang saudagar dan tidak pernah mencampuri urusan dunia kang-ouw. Ke empat adalah Lam-sin datuk selatan yang lenyap tanpa ada yang tahu ke mana perginya. Nah, setelah empat orang datuk kaum sesat itu lenyap, muncullah Pat-pi Mo-ko ini!"

   Tentu saja apa yang diceritakan oleh Kok Siang itu diketahui dengan baik oleh Kim Hong karena dia sendirilah yang dahulu menyamar sebagai seorang nenek berjuluk Lam-sin. Dengan sendirinya ia tidak tertarik oleh cerita itu, akan tetapi ia amat memperhatikan nama Pat-pi Mo-ko.

   "Jadi Pat-pi Mo-ko ini mengangkat diri menjadi pengganti para datuk itu?"

   "Bukan mengangkat diri menjadi datuk, tetapi semua penjahat di seluruh empat penjuru takut dan menganggap dia sebagai datuk mereka karena ilmunya yang amat hebat dan kekejamannya terhadap siapa saja yang tidak mau tunduk kepadanya. Akan tetapi, dia bekerja secara rahasia, bahkan para anak buahnya sendiri tidak pernah berhubungan langsung dengannya dan siapa saja yang ingin mengetahui rahasianya tentu dibunuhnya. Apa lagi membuka rahasianya. Dia orang aneh dan hanya dugaan orang saja dia berada di kota raja sebagai sarangnya, karena dia sering mengirim perintah dari kota raja. Kalau benar dia yang berdiri di belakang urusan harta karun Jenghis Khan ini..."

   Kok Siang berhenti seolah-olah merasa terlanjur bicara. Keadaan di situ gelap, mereka hanya saling dapat melihat bayangan masing-masing. Akan tetapi suara ini cukup bagi Kim Hong yang segera mendesak.

   "Harta karun Jenghis Khan? Peta dari dusun itu?"

   "Ya, kalau benar dia yang memimpin semua itu, celakalah. Agaknya hanya Pendekar Sadis saja yang akan mampu menghadapinya dan kabarnya, dia tidak pernah muncul karena jerih terhadap Pendekar Sadis yang telah membunuh See-thian-ong dan Pak-san-kui. Dia sendiri kabarnya adalah seorang sute dari mendiang See-thian-ong. Ah, kalau saja Pendekar Sadis dapat muncul... aku... sungguh mengagumi kegagahan pendekar itu."

   Kim Hong diam saja. Iapun memikirkan Thian Sin. Di sini ia terjebak bersama Kok Siang! Apa dayanya? Dan apakah Thian Sin akan dapat menemukannya sebelum terlambat? Tiba-tiba terdengar suara mendesis dan tempat itu segera penuh dengan asap!

   "Celaka, asap beracun!"

   Seru Kok Siang sambil mendekap hidung dan mulutnya.

   "Ah, terlambat...!"

   Kim Hong juga berseru, melanjutkan lamunannya tentang Thian Sin tadi.

   "Cepat tiarap dan rapatkan muka ke lantai!"

   Mereka bertiarap. Akan tetapi usaha ini hanya dapat menclong sejenak saja dan memperpanjang siksaan mereka karena akhirnya tempat itu penuh dengan asap dan setelah hawa udara di atas tanah itu habis, asappun tersedot oleh mereka. Mereka terbatuk-batuk dan akhirnya keduanya roboh pingsan.

   
Thian Sin yang berada sendirian di dalam kamar hotelnya, tersenyum simpul mendengar jejak kaki halus di atas genteng kamarnya. Kim Hong telah pergi menyelidik tentang pemuda sastrawan yang mencurigakan itu dan dia telah pergi menyelidiki ke rumah gedung tempat tinggal Bouw wan-gwe (Hartawan Bouw) di mana tinggal Bouw In Bwee yang cantik jelita. Akan tetapi dia gagal untuk dapat bertemu dengan gadis itu karena agaknya gadis itu tinggal di dalam kamarnya bersama beberapa orang pelayan dan dia tidak berani memaksa masuk ke dalam kamar. Dia hanya menyelidiki keadaan gadis dan keluarganya dengan mencari keterangan di luar dan dia mendengar bahwa Bouw Siocia terkenal sebagai seorang gadis kaya raya yang berhati mulia, suka menolong orang dan selain itu juga gadis ini terkenal memiliki kepandaian silat tinggi sehingga semua orang mengagumi dan menghormatinya.

   Agaknya tidak ada yang mencurigakan pada diri gadis ini. Maka, dia lalu kembali ke kamar hotel, dengan keputusan untuk mengunjungi gadis itu secara berterang pada keesokan harinya, kalau bisa bersama dengan Kim Hong, sebagai sahabat-sahabat baru. Dan pada malam hari ini, menjelang tengah malam, dia mendengar jejak kaki di atas genteng kamarnya itu. Bukan Kim Hong, pikirnya. Kalau Kim Hong yang datang, bahkan dia sendiripun tidak akan dapat mendengar jejak kakinya, kecuali kalau dia sedang dalam samadhi dan mencurahkan seluruh perhatiannya. Dalam keadaan seperti itu, jarum jatuhpun akan terdengar olehnya. Akan tetapi dalam keadaan biasa, sukarlah dicari orangnya yang akan mampu mendengar tapak kaki Kim Hong yang memiliki gin-kang hampir sempuma itu.

   Bukan, ini tentu orang lain. Tidak sehebat Kim Hong gin-kangnya, akan tetapi sudah lumayan, bukan penjahat biasa. Siapa lagi kalau bukan utusan para penjahat itu? Dengan pendengarannya yang tajam, Thian Sin mengikuti gerak gerik orang yang datang itu tanpa bergerak dari atas pembaringannya di mana dia duduk bersila. Karena ia kini memusatkan perhatiannya, maka dengan jelas dia dapat mengikuti gerakan orang itu. Orang itu beberapa lamanya mendekam di atas genteng, membuka genteng mengintai ke dalam, kemudian lari di atas genteng, melompat turun dan menghampiri jendela kamarnya. Thian Sin tersenyum geli. Seorang penjahat yang masih hijau, pikirnya. Akan tetapi, senyumnya segera lenyap dari mukanya ketika tiba-tiba dia mendengar suara berbisik dari luar jendela itu.

   "Taihiap... jangan kaget, aku yang datang..."

   Suara Bouw In Bwee! Tentu saja hal ini sama sekali tidak pernah disangkanya dan jantung pemuda itu berdebar tegang.

   Mau apa gadis itu malam-malan datang mengunjunginya dan dalam keadaan yang demikian mencurigakan? Apakah ini merupakan perangkap dan tipu muslihat pula dari pihak lawan? Dia harus berhati-hati. Pihak lawan agaknya tidak akan pernah berhenti dalam usaha mereka untuk mendapatkan kunci emas itu. Dan siapa tahu, gadis cantik inipun merupakan seorang di antara mereka, walaupun menurut penyelidikannya siang tadi, agaknya tidak mungkinlah kalau seorang gadis seperti In Bwee menjadi kaki tangan penjahat! Akan tetapi siapa tahu? Sebelum dia menjawab, daun pintu didorong jebol dari luar dan gadis itu dengan pakaian serba hitam yang ringkas dan ketat, yang membuat tubuhnya nampak demikian menggairahkan dengan lekuk lengkung sempurna, meloncat masuk dengan ringannya lalu cepat-cepat menutupkan kembali daun pintu itu.

   "Ah, nona Bouw In Bwee...! Kenapa masuk seperti itu dan menutupkan daun jendela?"

   Tegur Thian Sin sambil tersenyum dan melompat turun. In Bwee membalikkan tubuhnya dan sejenak mereka bertukar pandang. Di bawah sinar lilin tunggal itu, wajah yang halus manis itu nampak kemerahan.

   "Habis, apakah aku harus berkunjung dengan terang-terangan dan biar kelihatan oleh orang lain? Betapa janggalnya seorang gadis berkunjung di tengah malam melalui pintu depan begitu saja!"

   "Lalu... tentu ada hal penting sekali maka gadis datang berkunjung di tengah malam melalui atas genteng dan membongkar jendela!"

   Kata pula Thlan Sin, masih tersenyum. Wajah gadis itu menjadi semakin merah seperti terbakar api lilin dan mukanya menunduk, akan tetapi segera diangkatnya kembali dan dengan mata berseri ia memandang pemuda itu.

   "Apakah engkau menyesal atas kedatanganku, taihiap? Kalau begitu, biarlah aku pergi saja..."

   Dan ia membuat gerakan hendak membuka daun jendela. Akan tetapi Thian Sin bukan anak kecil. Sudah beberapa kali dia bergaul dengan wanita dan dia sudah mengenal benar kemanjaan dan kepura-puraan dalam sikap wanita seperti yang diperlihatkan gadis itu. Diapun memegang tangan gadis itu

   "Tunggu dulu, nona. Siapa bilang aku menyesal? Aku merasa girang sekali, seolah-olah kejatuhan bulan dan aku merasa terhormat sekali!"

   In Bwee membalik lagi. Tangan kirinya yang kecil lembut itu dipegang oleh Thian Sin. Tangan itu menggelepar hangat, terasa oleh Thian Sin seperti seekor burung pipit dalam genggamannya. Lalu In Bwee menarik perlahan tangannya, dan sambil tersenyum simpul ia bertanya,

   "Beginikah menerima tamu? Tidak disuruh duduk? Betapa sopannya..."

   Thian Sin tertawa.

   "Aih, maaf. Silahkan duduk, nona."

   In Bwee duduk di atas kursi sedangkan Thian Sin duduk pula di atas pembaringan. Sejenak mereka berpandangan kembali dan gadis itu tersenyum manis.

   "Kau bilang tadi girang seperti kejatuhan bulan? Kalau benar kejatuhan bulan, mungkinkah masih dapat bergirang hati? Aku pernah membaca dalam kitab kuno bahwa bulan hanya indah dan kecil nampak dari sini. Padahal merupakan sebuah dunia yang besar!"

   Thian Sin tersenyum.

   "Bukan itu maksudku. Akan tetapi bulan demikian indahnya dan wajahmu juga indah dan manis seperti bulan..."

   "Ihh...! Engkau perayu benar, Ceng Taihiap!"

   In Bwee melempar senyum dan kerling tajam memikat. Thian Sin menduga-duga apa gerangan yang tersembunyi di balik senyum dan kerling itu. Kalau benar gadis ini merupakan kaki tangan penjahat, tentu mudah diterka. Senyum dan kerling itu adalah daya pikat, untuk memikatnya. Pihak lawan yang agaknya kewalahan untuk menundukkannya melalui kekerasan, tentu mungkin saja mempergunakan kecantikan seorang gadis seperti In Bwee ini untuk menjatuhkannya. Akan tetapi, mungkinkah In Bwee menjadi kaki tangan penjahat? Ia adalah puteri seorang hartawan besar, pandai silat dan hidupnya terhormat, juga terkenal sebagai seorang gadis gagah perkasa yang budiman. Mana mungkin menjadi kaki tangan penjahat?

   "Nona, katakanlah terus terang saja, apa maksud kedatangan nona mengunjungiku di tengah malam seperti ini? Sungguh mati, aku merasa heran sekali dan ingin tahu."

   Gadis itu tersenyum lagi, lebih manis dan ia memandang langsung dengan sinar mata tajam, seolah-olah hendak menembus dan menjenguk isi hati pemuda itu.

   "Ceng Taihiap, coba katakan, apakah sepatutnya yang menyebabkan seorang gadis seperti aku ini malam-malam datang mengunjungi seorang pendekar sepertimu?"

   Sungguh merapakan jawaban yang sekaligus merupakan pertanyaan yang jelas menantang! Diam-diam Thian Sin merasa semakin tegang dan terheran. Apakah gadis ini merupakan seorang petualang asmara? Ini lebih besar kemungkinannya, mengingat ia seorang gadis kaya dan lihai. Apalagi kalau bukan seorang petualang cinta? Akan tetapi, pikirannya masih terikat akan urusan peta dan kunci emasnya, maka iapun mencoba dan memancing.

   "Hemm, kalau gadis itu selihai engkau, nona Bouw, maka besar kemungkinan kunjunganmu ini untuk membalas dendam kepadaku."

   In Bwee menggeleng kepala keras-keras.

   "Tidak ada urusan apa-apa antara engkau dan aku yang boleh membuat aku sakit hati. Pula, kalau aku hendak membalas dendam, apakah caranya mengunjungi seperti ini, dalam keadaan akrab? Tentu sudah tadi-tadi kucoba untuk menyerangmu, baik dari atas genteng, dari luar jendela, atau sekarang. Bukan mengajakmu bercakap-cakap secara santai begini."

   "Kemungkinan ke dua adalah bahwa kunjunganmu ini mengandung suatu maksud tertentu..."

   "Tentu saja, yang kutanyakan adalah apakah kira-kira maksud itu?"

   "Mungkin untuk menyelidiki aku."

   Thian Sin memandang wajah itu dengan tajam ketika mengucapkan kata-kata pancingan ini.

   "Menyelidikimu?"

   Biarpun sinar lilin itu tidak cukup terang, namun Thian Sin yang memandang penuh perhatian itu dapat melihat perobahan pada wajah cantik itu.

   "Menyelidiki apanya?"

   "Hemm... misalnya... menyelidiki tentang kunci emas..."

   Kini gadis itu benar-benar terkejut.

   "Kunci... kunci emas...? Apa... apa maksudmu, taihiap?"

   Thian Sin tertawa.

   "Maksudku adalah seperti yang kau maksudkan."

   "Ah, harap jangan mengada-ada, taihiap. Aku datang sebetulnya..."

   Melihat keraguan gadis itu Thian Sin mendesak.

   "Sebetulnya begaimana?"

   "Karena aku... kagum sekali kepadamu. Semenjak kita bertemu di restoran itu, aku merasa amat kagum dan..."

   "Ya? Bagaimana?"

   "Aku... aku ingin mempererat persahabatanku denganmu."

   "Begitukah? Sungguh beruntung sekali aku! Tentu saja kuterima dengan tangan dan hati terbuka!"

   Gadis itu mengangkat muka. Wajah yang tersorot cahaya lilin kemerahan itu sunggub cantik manis.

   "Dengan hati terbuka? Kulihat hatimu sudah tertutup, penuh oleh enci Kim Hong..."

   Thian Sin tersenyum. Kiranya benar, gadis cantik manis yang kaya raya ini adalah seorang petualang asmara! Mungkin juga hendak memikatnya. Kita sama lihat saja, pikirnya. Siapa yang terpikat nanti!

   "Ha-ha, In Bwee yang manis, dalam hatiku masih terbuka ruang yang lebar untuk seorang gadis seperti engkau!"

   Dan diapun meraih dan menangkap pergelangan tangan gadis itu, lalu ditariknya ke arah dirinya.

   "Ih, mau apa kau !"

   Gadis itu berseru dan kedua tangannya sudah mengirim pukulan bertubi-tubi ke arah muka, leher dan dada Thian Sin. Serangan yang sungguh-sungguh, bukan main-main dan dilakukan pada jarak amat dekat. Namun, tentu saja serangan itu tidak terlalu berbahaya bagi Thian Sin.

   "Plak-plak-plak-plak!"

   Empat kali pukulan gadis itu dapat ditangkis dengan mudahnya oleh Thian Sin dan tangkisan terakhir disertai tangkap pada kedua pergelangan tangan itu sehingga In Bwee hanya dapat mcronta-ronta tanpa dapat memukul lagi.

   "Lepaskan aku! Lepaskan aku!"

   Serunya dengan suara lirih karena iapun tidak ingin membangunkan para tamu di kamar-kamar lain. Akan tetapi Thian Sin belum mau melepaskan pegangan kedua tangannya.

   "Sungguh hebat. Tengah malam engkau datang memasuki kamarku, kemudian merayu lalu sekarang hendak membunuhku. Nona Bouw In Bwee, sebenarnya apa sih yang kau kehendaki dariku?"

   "Lepaskan aku...! kau ... laki-laki kurang ajar!"

   In Bwee masih meronta-ronta, namun pegangan kedua tangan pemuda itu sungguh kuat bukan main.

   "Dengar baik-baik, nona manis. Aku Ceng Thian Sin selama hidupku belum pernah menggunakan kekerasan untuk memaksa seorang wanita mencintaku. Aku bukan seorang jai-hwa-cat, aku bukan pula seorang hidung belang. Aku hanya mau mendekati wanita kalau wanita itupun menghendakiku. Maka, jangan khawatir, nona. Ingat, yang datang ke kamarku malam-malam adalah engkau."

   Setelah berkata demikian, Thian Sin menarik nona itu mendekat, lalu memegang kedua pergelangan tangan yang kecil itu dengan jari-jari tangan kanannya, dan dengan tangan kirinya yang kini bebas itu dia menjambak rambut In Bwee, menarik mukanya mendekat lalu mencium bibir itu.

   "Uhh... uhhh...!"

   In Bwee meronta-ronta, akan tetapi makin meronta, ciuman itu semakin kuat dan akhirnya tubuhnya terkulai lemas, ia menyerah dan terisak. Ketika Thian Sin melepaskannya, ia jatuh terkulai di atas pembaringan.

   "Itu tadi adalah hukumanmu karena engkau telah datang di sini pada tengah malam, mencoba merayuku kemudian menyerangku tanpa memberitahukan sebab-sebabnya. Selayaknya engkau dipukul, akan tetapi aku tidak tega. Nah, ciuman itu tadi adalah hukumannya sebagai pengganti pukulan. Sekarang, bicaralah atau keluarlah!"

   In Bwee yang menerima tugas dari suhunya untuk merayu dan menjatuhkan pemuda ini, mempergunakan kecantikannya, kini mengerti bahwa usahanya yang dilakukan secara terpaksa itu telah gagal sama sekali. Ketika tadi ditangkap kedua lengannya tanpa ia mampu melepaskan diri, kemudian ketika ia dicium, hatinya sudah jatuh terhadap kegagahan pria ini. Seorang pria yang luar biasa! Kini ia mengangkat tubuhnya, duduk dan memandang kepada pemuda itu dengan mata basah dan berlinang air mata. Ia teringat akan keadaan dirinya, akan tekanan yang dilakukan oleh pamannya atau gurunya dan tiba-tiba iapun menangis sesenggukan.

   "Hemm, masih belum terlambat bagimu untuk memperbaiki semua kesalahan, nona. Jangan menangis, aku paling tidak tahan melihat wanita cantik menangis."

   Thian Sin berkata halus sambil meraba pundak yang bergoyang-goyang itu. Mendengar ucapan halus ini, tangis In BWee makin menjadi dan iapun merangkul dan menangis di atas dada Thian Sin, menangis sampai mengguguk. Thian Sin mengerti bahwa tangis ini bukanlah air mata buaya, bukan tangis buatan untak menundukkan hatinya, melainkan tangis yang timbul dari hati duka dan menyesal. Maka diapun merasa kasihan, lalu merangkul dan menggunakan tangannya untuk mengelus rambut kepala yang agak kusut itu. Sentuhan tangannya, rabaan dan elusan tangan yang lembut itu sama sekali tidak mengandung gelora berahi, melainkan rasa iba ygng tulus dan hal ini terasa oleh In Bwee yang menjadi makin terharu.

   "Maafkan aku... ah, Ceng-taihiap, maafkan aku..."

   Demikian ia berbisik-bisik di antara isaknya. Thian Sin mendekap tubuh itu, dipeluknya dengan erat, diciumnya rambut yang harum itu dan diapun berkata.

   "Menangislah sepuasmu, kemudian kalau engkau suka, ceritakan padaku apa artinya semua ini, In Bwee."

   Gadis itu tidak menjawab, menghabiskah isaknya di atas dada pemuda itu, membasahi baju Thian Sin dengan air matanya dan air hidungnya. Setelah hatinya yang tadinya terhimpit itu terasa lapang, seolah-olah himpitannya terbawa keluar oleh air mata, iapun mulai bicara.

   "Taihiap, aku tahu bahwa engkau adalah Pendekar Sadis."

   Tentu saja kalimat pertama ini amat mengejutkan Thian Sin, sungguhpun tidak terlalu mengherankan karena memang sebagai Pendekar Sadis dia pernah menggegerkan kota raja sehingga sedikit banyak tentu ada juga yang mengenalnya. Dia hanya terkejut oleh pernyataan tiba-tiba ini karena tadinya dia tidak pernah menyangka bahwa gadis ini mengenalnya pula. Karena kagetnya, dia memegang kedua pundak gadis itu dan mendorongnya agar dia dapat memandang wajahnya. Wajah itu masih pucat dan basah, dan matanya agak kemerahan, memandang sayu.

   "Taihiap, anak buah suhu mengenalmu dan aku diberi tahu oleh suhuku..."

   "Suhumu...?"

   Kini Thian Sin mengerti. Keluarga gadis itu tidak ada sangkut pautnya dengan rahasia harta karun Jenghis Khan, akan tetapi di sana ada suhunya!

   "Ya, suhuku... juga pamanku..."

   "Ah, sekarang aku mengerti! Tentu dia itu Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng, bukan?"

   Gadis itu menarik napas panjang dan mengangguk.

   "Taihiap, aku bertugas untuk menundukkanmu dengan rayuan, aku terpaksa... akan tetapi... mana mungkin hal itu kulakukan terhadapmu yang telah kukagumi sejak kita pertama kali bertemu?"

   Thian Sin menarik tubuh itu dan kembali memeluknya, diam-diam tersenyum senang.

   "Nona... eh, In Bwee, adik yang manis, di antara kita telah terasa adanya suatu ikatan persahabatan yang akrab. Mana mungkin kita saling menundukkan? Engkau telah tahu bahwa aku dahulu memang pernah berjuluk Pendekar Sadis, julukan yang sebenarnya kubenci. Dan tentu engkau tahu pula bahwa aku datang ke sini sebagai wakil keluarga Ciang yang malang itu, untuk menemukan kembali peta harta karun Jenghis Khan yang dirampas dari tangan Ciang Kim Su. Nah, engkau telah tahu akan semua keadaanku, maka sebagai sahabat, sudah adil kalau akupun mengetahui latar belakang semua perbuatanmu ini."

   Sampai lama In Bwee berdiam diri dalam pelukan Thian Sin. Akhirnya pemuda itu mengangkat mukanya dan mencium bibir itu. Ciuman yang halus dan mesra, bukan paksaan seperti tadi dan sekali ini, terdengar In Bwee mengeluh dan memejamkan kedua matanya, merasa seperti dihanyutkan dan tenggelam ke dalam kemesraan. Setelah Thian Sin melepaskan ciumannya, In Bwee menarik napas panjang dan menyembunyikan mukanya di dada pemuda itu.

   "Taihiap... betapa mudahnya bagiku untuk jatuh cinta kepada seorang pria seperti engkau. Akan tetapi aku tahu bahwa engkau dan enci Kim Hong saling mencinta, hidup sebagai suami isteri..."

   "Hemm, pamanmu itu agaknya menyebar banyak mata-mata."

   "Benar, aku tahu dan aku iri sekali kepada enci Kim Hong. Betapa bahagianya mempunyai seorang suami atau kekasih sepertimu, taihiap. Aku... aku seorang wanita yang malang, yang ternoda dan terhimpit..."

   "Ceritakanlah, aku siap untuk membantumu."

   "Sejak kecil aku dilatih ilmu silat oleh pamanku yang memiliki kepandaian tinggi. Engkau sudah mengenal namanya, yaitu Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng. Dia benar-benar amat sakti, taihiap, harap engkau berhati-hati menghadapi dia. Ah, betapa aku telah mengkhianati guru dan pamanku dan aku takkan dibiarkan hidup kalau dia mengetahui hal ini."

   "Jangan khawatir, aku akan melindungi dan membelamu, adik In Bwee. Teruskan ceritamu."

   "Aku sendiri tidak tahu benar tentang rahasia harta karun Jenghis Khan. Aku tidak pernah mencampuri urusan guruku, karena aku tidak suka akan cara hidupnya yang bergelimang dengan kejahatan dan dia selalu bergaul dengan para tokoh jahat. Ayah sendiri membencinya, bahkan tidak mengakui lagi sebagai adiknya. Yang kutahu dari penuturan suhu hanyalah bahwa dia telah menguasai sebuah peta, akan tetapi tanpa adanya kunci emas, peta itu tidak ada gunanya. Dan menurut suhu kunci emas itu ada pada kalian, yaitu padamu dan enci Kim Hong. Maka aku lalu diperintah oleh suhu untuk menyelidikimu, untuk menundukkanmu dengan rayuan, bahkan kalau perlu mengorbankan diri dan kehormatan asalkan aku bisa mendapatkan kunci emas itu atau setidaknya keterangan darimu tentang kunci emas itu. Nah, sudah kuceritakan semua! Lega hatiku sekarang, akan tatapi juga khawatir, karena pengakuan ini mungkin merupakan keputusan mati bagiku..."

   Wajah itu pucat sekali, matanya terbelalak memandang ke arah pintu dan jendela, seolah-olah ia merasa takut kalau-kalau ceritanya tadi dicuri dengar orang lain.

   "Jangan takut, tidak ada orang yang mendengarkan, kecuali aku. Kalau ada orang mendekat, aku tentu mengetahuinya."

   Kata Thin Sin yang mengerti akan isi hati gadis itu.

   Harta Karun Jenghis Khan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Akan tetapi, Bwee-moi, sungguh aku merasa heran sekali. Kalau engkau memang tidak suka akan semua perbuatan dan watak suhumu, kenapa engkau mau saja diperintah olehnya! Kenapa engkau tidak menjauhinya saja?"

   Ditanya demikian, kembali In Bwew menangis, air matanya mengalir keluar dan dihapusnya dengan ujung lengan bajunya yang sudah basah,

   "Aku terpaksa, terhimpit... aku... aku pernah menyelewang, ketika aku berusia delapan belas tahun, aku menyerahkan diri, ternoda oleh seorang suhengku, murid suhu juga. Semua murid suhu adalah orang-orang dunia hitam! Suhu mengetahui hal ini, murid itu tidak mau bertanggung jawab dan suhu menggunakan rahasia itu untuk menekanku. Kalau aku tidak menurut, bukan saja dio akan membuka rahasiaku itu agar diketahui oleh ayah ibu dan oleh umum, akan tetapi dia mengancam pula untuk membunuh ayah ibu dan keluargaku. Aku terpaksa, taihiap... aku terpaksa dan... aku takut..."

   Thian Sin masih merangkul dan memeluknya. Diam-diam diapun merasa kasihan kepada gadis ini. Seorang gadis yang lemah sehingga dalam hidupnya telah tersandung dan terjatuh. Betapa sukar dan beratnya menjadi wanita, pikirnya. Kehormatan seorang wanita diukur dari keperawanannya. Sekali saja ia lemah dan tergelincir,

   Hal itu merupakan malapetaka yang akan merobah jalan hidupnya, akan mempengaruhi sepanjang kehidupannya. Rasa takut akan membayanginya selalu, takut kalau ketahuan aib yang menimpa dirinya. Noda yang satu kali itu seolah-olah merupakan noda yang melekat kuat lahir batinnya, tidak dapat terhapus lagi sampai orangnya mati! Seolah-olah, tidak ada kejahatan di dunia ini yang lebih hebat dari pada seorang gadis kehilangan keperawanannya! Gadis seperti itu, seperti In Bwee itu, tidak akan diampuni, akan dikutuk, dicaci, dihina dan tidak ada seorangpun laki-laki agaknya yang akan mau mengambilnya sebagai isteri! Seorang gadis yang kehilangan keperawanannya seolah-olah merupakan manusia yang paling kotor di dunia ini! Thian Sin menarik napas panjang. Persoalan ini pernah dia bicarakan dengan Kim Hong dan mereka sependapat.

   Tentu saja, seorang gadis yang menyerahkan keperawanannya begitu saja kepada seorang pria tanpa melalui sebuah pernikahan yang sudah menjadi hukum dan kebiasaan umum, merupakan perbuatan yang bodoh, terdorong oleh nafsu dan kelemahan. Akan tetapi, hal ini bukan berarti bahwa selama hidup yang tak dapat sembuh dan sama sekali tidak adil kalau dijadikan semacam noda kotor yang menjijikkan sehingga para pria menolaknya sebagai barang hina! Apa lagi bagi Kim Hong yang menyerahkan keperawanannya kepada Thian Sin tanpa syarat, karena ikatan sumpah dan karena memang cinta. Anggapan yang sudah merupakan pendapat umum tentang hal itu amat ditentangnya. Kim Hong sudah banyak memperbincangkan hal ini dengan Thian Sin, bahkan berdebat. Upacara dan pesta pernikahan adalah suatu hal untuk umum, akan tetapi hubungan sex dan cinta adalah urusan pribadi dua orang yang bersangkutan.

   Orang yang benar-benar mencinta, tak mungkin akan mau mencelakaken orang yang dicintanya itu. Kalau ada seorang pemuda mencinta seorang dara, benar-benar mencintanya, bukan sekedar suka karena dorongan nafsu, tentu pemuda itu akan selalu menjaga agar orang yang dicintanya itu tidak sampai mengalami bencana, apa lagi kalau bencana itu terjadi karena ulahnya. Pandangan umum dan tradisi memutuskan bahwa hubungan sex di luar nikah adalah suatu hal yang buruk dan hina dan pelanggarnya, khususnya kaum wanita, akan dipandang rendah dan menderita aib. Karena sudah mengerti akan hal itu, pemuda yang mencinta pacarnya, benar-benar mencintainya, tentu tidak akan mau membujuk pacarnya untuk melakukan hubungan sex di luar nikah. Kalau dia melakukannya, berarti bahwa cintanya itu adalah cinta berahi belaka! Untuk memuaskan hasrat berahinya,

   Dia lupa bahwa pacarnya, yang katanya merupakan satu-satunya wanita yang dicintainya, terancam malapetaka hebat kalau terjatuh oleh bujuk rayunya. Dan banyak terjadi kenyataan bahwa setelah nafsu sexnya terpuaskan, pemuda itu baru melihat bahwa sesungguhnya dia tidak mencinta wanita itu, seolah-olah seorang kehausan yang setelah minum air sepuasnya lalu tidak lagi menginginkan air. Akan tetapi, dengan Thian Sin dan Kim Hong soalnya berbeda lagi. Mereka berdua hidup sebagai suami isteri walaupun belum disahkan dengan upacara dan pesta pernikahan, bukan sekedar dorongan sex semata. Ada pertalian cinta yang mendalam di antara mereka dan hanya karena pandangan keduanya yang ingin bebas dan memberontak dari pada segala aturan yang dianggap merupakan ikatan yang memuakkan maka mereka tidak perduli tentang upacara dan pesta pernikahan.

   "Aku memang pengecut..."

   Akhirnya gadis itu mengeluh dan melepaskan diri dari rangkulan Thian Sin.

   "dan aku... aku lemah terhadap rayuan pria. Aku tidak berani menentang pamanku yang sesat itu dan aku... aku begini mudah jatuh hati kepadamu, padahal... padahal aku telah jatuh cinta kepada seorang lain...! Ah, Bu Kok Siang, betapa kelirunya engkau jatuh cinta kepada seorang gadis seperti aku..."

   Dan gadis itu menutupi muka dengan kedua tangan, nampaknya menyesal sekali. Thian Sin memegang kedua lengan gadis itu, tidak lagi bersikap mesra.

   "Maafkan aku, In Bwee, bukan maksudku merayumu. Ah, kita ini memang manusia-manusia lemah. Berdekatan dengan seorang seperti engkau ini, hati siapa takkan tertarik? Engkau saling mencinta dengan sasterawan itu? Bagus, dia seorang pemuda yang hebat. Dan memang sepantasnya seorang gadis seperti engkau ini, tidak usah takut-takut untuk menentang kelaliman dan kejahatan. Matipun tidak akan penasaran kalau kita berada di atas kebenaran, In Bwee. Dan akupun akan melindungimu terhadap ancaman iblis yang menjadi pamanmu itu. Sekarang katakan, di mana aku dapat bertemu dengan Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng itu?"

   "Biarpun namanya amat terkenal di kotar aja, namun tidak ada yang tahu di mana tempat tinggalnya. Bahkan para pendekarpun tidak mampu menemukan tempatnya itu."

   "Tapi engkau tahu tempatnya?"

   Gadis itu mengangguk. Lalu dia mengangkat mukanya memandang wajah Thian Sin yang tampan dan menarik itu.

   "Ceng-taihiap, begitu inginkah engkau dan enci Kim Hong mendapatkan pusaka harta karun Jenghis Khan itu? Kalau cuma uang yang kalian butuhkan, kiranya aku akan dapat membantu..."

   Thian Sin tersenyum.

   "Maksudmu?"

   Tanyanya sambil menatap tajam wajah yang cantik itu.

   "Pamanku itu amat lihai, taihiap. Bukan hanya dia amat lihai, akan tetapi juga dia mempunyai banyak kaki tangan yang pandai. Boleh dibilang semua tokoh sesat di kota raja adalah kaki tangannya, atau setidaknya tunduk kepadanya. Selain itu, juga di belakangnya ada pasukan pemerintah yang mendukung dan siap membantunya. Kalau hanya untuk uang, amat berbahaya kalau taihiap menentangnya. Lebih baik taihiap berikan kunci emas itu kepadanya, dan saya akan suka membantu taihiap, kalau memang uang yang..."

   "Hushhh... kau pikir kami ini orang-orang yang haus akan harta, In Bwee? Tidak, kami tidak butuh uang. Akan tetapi kami adalah petualang-petualang yang selalu tertarik akan hal-hal yang berbahaya dan penuh rahasia. Kami melihat betapa seorang petani tua dibunuh, juga isterinya, bahkan betapa putera petani itupun agaknya sudah dibunuh orang pula. Kami melihat kejahatan dan kesewenang-wenangan terjadi di depan mata kami, tak mungkin kami mendiamkannya saja. Pula, kami ingin juga menemukan pemuda petani itu dan kepadanyalah kami akan menyerahkan harta karun itu, karena dialah satu-satunya orang yang berhak memperolehnya."

   Mendengar ini, gadis itu mengangguk-angguk dan menarik napas panjang.

   "Nama Pendekar Sadis selama ini membuat aku merasa serem dan takut, akan tetapi setelah bertemu orangnya, ternyata taihiap adalah seorang pendekar yang berhati mulia, budiman dan sama sekali tidak menyeramkan, bahkan amat menarik. Betapapun juga, hatiku khawatir sekali membayangkan betapa taihiap akan berhadapan dengan pamanku dan semua kaki tangannya."

   "Jangan khawatir dan engkau tidak perlu ikut-ikut, In Bwee. Katakan saja di mana tempat persembunyian pamarmu yang sesat itu."

   In Bwee kembali menoleh ke luar jendela, seolah-olah takut kalau-kalau kata-katanya itu terdengar orang lain. Kemudian, dengan suara lirih dan agak gemetar, seolah-olah ia membukakan suatu rahasia yang amat besar, ia berkata.

   "Pamanku itu bersembunyi... di gedung jaksa..."

   "Ehh...?"

   Thian Sin terbelalak, merasa heran bukan main.

   "Di rumah jaksa? Bukankah jaksa itu seorang pembesar yang bertugas memberantas dan menuntut para penjahat? Bukankah jaksa itu tugasnya melindungi rakyat dari pada kesewenang-wenangan dan himpitan orang-orang jahat?"

   In Bwee tersenyum pahit.

   "Ceng-taihiap, agaknya biarpun engkau seorang pendekar yang sudah banyak bertualang, akan tetapi engkau masih belum tahu benar akan keadaan di kota raja ini. Di sini, para petugas dan penjaga keamanan itu sama sekali tidak melindungi rakyat, melainkan melindungi orang yang mampu memberi kesenangan kepada mereka, terutama sekali yang mampu memberi uang. Mereka itu tiada bedanya dengan tukang-tukang pukul bayaran, hanya bedanya mereka itu mengandalkan pakaian seragam dan kedudukan. Di sini, uang bisa membeli apa saja, taihiap. Uang bisa membeli kehormatan, bisa membeli kebenaran, bisa membeli keadilan."

   "Hemm, kau hendak mengatakan bahwa keadilan dan kebenaran dapat diperjual-belikan di kota raja ini? Dan apakah jaksa itupun dibeli oleh Pat-pi Mo-ko dengan sogokan harta?"

   "Tidak dengan harta. Paman adalah seorang yang tak dapat dikatakan kaya. Segala harta yang diperolehnya juga dihamburkan seperti pasir. Bahkan dia banyak minta kepadaku. Akan tetapi, sejak dahulu paman menjadi sahabat baik jaksa Phang-taijin. Aku sendiri tidak tahu bagaimana paman dapat mempengaruhi dan menundukkan Phang-taijin seperti itu, akan tetapi persembunyiannya di sanapun hanya aku yang mengetahui, di samping tentu saja kaki tangannya yang telah dipercayanya benar."

   "Seperti Siang-to Ngo-houw, Hai-pa-cu Can Hoa dan Tiat-ciang Lui Cai Ko itu?"

   Gadis itu mengangguk.

   "Akan tetapi harap engkau jangan memandang rendah, taihiap. Mungkin mereka itu tidak merupakan lawan tangguh bagimu, akan tetapi suhu itu..."

   Thian Sin mengusap dagu yang halus itu.

   "Jangan khawatir, kami akan bertindak dengan hati-hati sekali dan terima kasih atas segala keterangambu. Tanpa bantuanmu itu, agaknya kami akan sukar untuk mencari pamanmu itu."

   "Akan tetapi aku... suhu tentu akan marah sekali dan mungkin akan menjatuhken hukuman karena aku telah gagal merayumu..."

   "Siapa bilang gagal? Ah, tidak percayakah engkau bahwa aku sudah hampir jatuh hati kepadamu, In Bwee? Engkau begini manis, jelita dan menawan hati. Kalau saja engkau tadi tidak mengatakan bahwa engkau saling mencinta dengan Bu Kok Siang, hemm... agaknya sekarang juga aku masih akan mau untuk bercinta denganmu. Akan tetapi, tidak! Engkau seorang gadis baik dan engkau tentu akan menjadi seorang isteri yang baik sekali dari Bu Kok Siang."

   In Bwee bangkit dan memandang dengan wajah berseri.

   "Memang, dia amat cinta kepadaku, taihiap. Dia sudah kuberi tahu tentang keadaanku, akan tetapi, seperti juga engkau, dia tidak menghinaku, bahkan dia kasihan kepadaku. Biarlah, kalau suhu hendak membunuhku, terserah! Aku telah berjumpa dengan Bu Kok Siang yang mencintaku, dengan engkau yang begini baik kepadaku, kalau sekarang suhu membunuhkupun aku tidak akan penasaran lagi."

   "Hushh, siapa bicara tentang mati? Engkau akan hidup seratus tahun lagi, In Bwee. Tentang suhumu, jangan khawatir. Kalau dia menuntut hasil rayuanmu, nah, kau berikan ini kepadanya."

   Thian Sin mengeluarkan sebuah kunci emas dari dalam saku bajunya dan memberikannya kepada In Bwee. Gadis ini terbelalak memandang kunci emas itu, lalu ia menatap wajah Pendekar Sadis.

   "Taihiap, bukankah taihiap tadi mengatakan bahwa taihiap harus mendapatkan harta karun itu dan menyerahkan kepada yang berhak?"

   Thian Sin tersenyum dan di dalam hatinya dia tahu bahwa gadis ini benar-benar telah berobah, sudah berpihak kepadanya dan diam-diam mulai menentang dan memusuhi guru atau pamannya. Diapun bangkit berdiri dan memegang kedua lengan gadis itu.

   "In Bwee, adikku yang manis, jangan kau khawatir. Serahkan saja kunci emas ini, karena kunci ini akan menyelamatkanmu dari kecurigaan dan ancamannya. Kunci inipun tidak akan ada gunanya bagi Pat-pi Mo-ko. Percayalah engkau padaku..."

   "Hemm, kunci palsu?"

   Bisik gadis itu. Thian Sin tersenyum.

   "Engkau jauh lebih cerdas dari pada para kaki tangan Pat-pi Mo-ko. Nah, kau kembalilah dan tenangkan hatimu."

   Berseri wajah In Bwee. Memang, dengan membawa kunci emas itu, baik aseli ataupun palsu, akan menolongnya kerena itu merupakan bukti bahwa ia telah menyelesaikan tugasnya dengan baik dan suhunya tidak mempunyai alasan untuk marah kepadanya. Andaikata kunci emas itu palsu sekalipun, hal itu bukanlah kesalahannya, karena mana ia tahu kalau kunci itu palsu? Ia akan selamat, akan dapat bertemu kembali dengan Bu Kok Siang dengan selamat dan siapa tahu, hubungannya dengan Kok Siang akan bertumbuh dengan baik dan akhirnya ia masih akan dapat menjadi isteri orang yang mencintanya dan tidak memandang rendah kepadanya.

   "Terima kasih, taihiap, terima kasih..."

   Katanya dan sejenak In Bwee membiarkan dirinya dipeluk dan mukanya terdekap di dada yang bidang itu. Ia merasa betapa aman dan tenteramnya berada di dalam pelukan pria ini, akan tetapi ia segera teringat akan Kok Siang dan ingat pula kepada Kim Hong, maka dilepaskanya pelukannya dan iapun lalu keluar dari kamar itu, melalui jendela.

   Setelah melihat bahwa gadis itu pergi jauh dan tidak ada gerakan lain yang menunjukkan bahwa ada orang yang membayangi dan mengancam In Bwee, Thian Sin menutupkan kembali jendela dan pintu kamarnya, lalu merebahkan diri terlentang di atas pembaringan kamarnya, tersenyum-senyum puas. Dia mengepal tinju. Dia telah berhasil memperoleh rahasia Pat-pi Mo-ko, di mana sembunyinya iblis itu dan tentu iblis itu yang telah menguasai peta rahasia yang harus dirampasnya kembali. Juga tentu iblis ini yang tahu di mana adanya Ciang Kim Su atau apa yang telah terjadi dengan pemuda petani itu. Hatinya terasa girang dan sambil menanti sampai kembalinya Kim Hong, diapun dapat tidur pulas. Akan tetapi Kim Hong yang ditunggu-tunggu oleh Thian Sin itu tidak juga kunjung datang!

   Tentu saja Thian Sin merasa heran sekali di samping kegelisahannya. Kekasihnya itu melakukan penyelidikan atas diri Bu Kok Siang, sudah sejak kemarin, akan tetapi mengapa sehari semalam telah lewat dan Kim Hong belum juga pulang? Dia tidak merasa khawatir kalau-kalau Kim Hong jatuh cinta kepada sastrawan itu. Cemburu tidak pernah menyelinap di dalam hatinya seperti juga Kim Hong tidak pernah memperlihatkan cemburu terhadap dirinya, walaupan sering gadis itu menyinggung tentang sifatnya yang mata keranjang! Cemburu hanya meracuni cinta! Cinta kasih membutuhkan kepercayaan yang mutlak, cinta kasih berarti memberi kebebasan kepada orang yang dicinta. Cinta kasih antara dua orang, pria dan wanita, adalah cinta kasih kedua pihak, yang dirasakan oleh kedua pihak itu sendiri. Tidak mungkin ada unsur pemaksaan di sini.

   Yang ada hanyalah mencinta atau tidak! Kalau mendrita, dengan sendirinya tidak ada penyelewengen, sebaliknya kalau tidak mencinta, takkan mungkin dipaksakan, karena itu hanya akan menjadi cinta palsu dan pura-pura belaka. Kegelisahan di hati Thian Sin adalah karena mengingat bahwa dia dan kekasihnya menghadapi komplotan yang lihai, orang-orang yang menjadi tokoh-tokoh sesat yang berbahaya. Siapa tahu, sastrawan muda itupun termasuk komplotan jahat, sungguhpun In Bwee telah menyatakan saling mencinta dengan sasterawan muda itu. Tentu saja dia percaya penuh kepada kekasihnya. Tidak sembarangan orang akan mampu menandingi Kim Hong. Akan tetapi, menghadapi orang-orang dari dunia sesat amatlah berbahaya dan tidak boleh hanya mengandalkan kepandaian tinggi saja.

   Kaum sesat itu amat berbahaya dengan kelicikan dan kecurangan mereka, penuh tipu muslihat yang berbahaya. Akan tetapi dia tidak tahu ke mana Kim Hong menyelidiki pemuda sasterawan itu. Pula kalau dia menyusul, tentu Kim Hong akan menjadi marah dan akan mengira bahwa dia tidak percaya kepada Kim Hong, bahkan mungkin akan dikira cemburu! Maka, biarpun hatinya gelisah, Thian Sin terpaksa menanti sampai sehari lagi. Dan malam hari itu, In Bwee kembali datang ke kamarnya melalui jendela! Akan tetapi, begitu melihat bahwa yang masuk adalah gadis itu dan dia segera menyalakan lilin dan memandang kepada wajah yang cantik itu, maklumlah dia bahwa tentu telah terjadi sesuatu yang hebat. Wajah itu amat pucat dan ada bekas-bekas menangis pada mata yang indah namun agak merah itu.

   "Ada apakah, In Bwee?"

   Tanya Thian Sin.
"Celaka, taihiap... celaka, kau tolonglah dia..."

   Kata In Bwee dengan suara setengah meratap. Melihat gadis yang kelihatan amat gelisah dan kedua kakinya gemetaran itu, Thian Sin lalu memegang tangannya dan menariknya ke sebuah kursi, menyuruhnya duduk dengan halus.

   "Tenangkanlah hatimu, In Bwee, dan ceritakan apa yang telah terjadi."

   "Mereka... mereka ditawan... ohhh... aku khawatir sekali..."

   "Tenanglah. Begitukah sikap seorang gagah? Tenanglah dan bicara yang jelas!"

   Sikap Thian Sin itu ada pengaruhnya dan setelah memandang wajah yang tenang itu, In Bwee dapat menguasai keguncangan hatinya.

   "Ceng-taihiap, mereka kemarin telah tertawan. Enci Kim Hong dan Bu-koko... eh, maksudku Bu Kok Siang."

   "Tertangkap oleh Pat-pi Mo-ko maksudmu?"

   Gadis itu mengangguk dan menarik napas panjang, menunduk.

   "Mereka dikeroyok di taman ketika mereka sedang bercakap-cakap, mereka mengamuk akan tetapi akhirnya datang pasukan penjaga keamanan..."

   "Hemm, pasukan yang dikerahkan jaksa Phang?"

   "Benar. Mereka menyerah ketika melihat pasukan pemerintah, mengira akan diadili dengan sebagaimana mestinya. Akan tetapi mereka dibawa ke tempat tahanan jaksa, di mana terdapat kamar jebakan. Mereka terjebak dan dibius, dan tertawan, kini berada dalam kekuasaan suhu..."

   Thian Sin mengerutkan alisnya.

   "Cepat, beritahukan aku di mana tempat tahanan itu dan bagaimana keadaan di sana."

   In Bwee memberitahukan tempat itu, akan tetapi iapun tidak tahu benar seluk-beluk tempat itu karena belum
(Lanjut ke Jilid 06)
Harta Karun Jenghis Khan (Seri ke 06 "

   Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 06
pernah ke sana. Namun bagi Thian Sin hal itu tidak ada artinya. Baginya, yang terpenting tahu di mana kekasihnya itu ditawan.

   "Pulanglah, aku akan cepat menolong mereka. Jangan khawatir."

   Katanya dan gadis itupun lalu pergi meninggalkan rumah penginapan untuk kembali ke rumahnya sendiri dengan hati gelisah. Akan tetapi baru saja tiba tak jauh dari rumahnya, ia terkejut melihat sesosok tubuh tinggi besar menghadangnya di tengah jalan. Gurunya, atau juga pamannya yang amat ditakutinya itu!

   "Paman..."

   "Hemm, apa maksudmu mengunjungi Pendekar Sadis?"

   Suara pamannya penuh dengan kemarahan dan kecurigaan.

   "Aku..."

   In Bwee merasa takut sekali, akan tetapi tiba-tiba ia teringat akan anjuran Thian Sin agar jangan takut menghadapi siapapun juga asalkan berada dalam kebenaran. Maka iapun mengeraskan hatinya, memandang wajah pamannya itu dan berkata lantang.

   "Paman, aku dan Bu Kok Siang saling mencinta. Maka, melihat ia kau tawan, hatiku menjadi gelisah sekali dan aku pergi mengunjungi Pendekar Sadis itu untuk minta tolong agar dia suka menolong dan membebaskan Bu Kok Siang."

   Kakek itu memandang tajam.

   "Hanya untuk itu saja?"

   "Habis untuk apa lagi? Bukankah saya telah mendapatkan kunci emas itu dan sudah saya serahkan kepada paman? Saya tidak akan berani mengkhianati paman, akan tetapi melihat Bu Kok Siang ditawan, saya khawatir dan untuk dia... saya rela mengorbankan nyawa sekalipun."

   Sejenak kakek itu diam, lalu tiba-tiba tangannya bergerak dan sebelum keponakan atau juga muridnya itu mampu menghindarkan diri, kakek itu telah menotoknya, lalu menyambar tubuhnya dan dibawanya pergi dengan cepat. Kejadian itu tak dilihat oleh siapapun juga karena terjadi di tempat sunyi dan gelap.

   "Kalau begitu, engkau harus ikut denganku. Siapa tahu ada gunanya nanti."

   Sementara itu, Kim Hong dan Kok Siang juga tidak mengalami keadaan yang menyenangkan. Seperti kita ketahui, dua orang muda itu terjebak dalam kamar bawah tanah dan kemudian roboh pingsan oleh asap pembius yang tak mungkin dapat mereka elakkan. Ketika mereka siuman kembali, mereka mendapatkan diri mereka telah terbelenggu di atas dua dipan yang terdapat dalam sebuah kamar yang luas. Agaknya dipan itu bukan dipan yang biasa dipakai tidur, melainkan dipan yang khusus dibuat untuk menyiksa orang! Dan teringatlah mereka bahwa mereka kini terjatuh ke dalam tangan petugas pemerintah yang entah mengapa telah menjebak dan menangkap mereka. Dipan itu terbuat dari pada besi, ditanam di dalam lantai dan kuat sekali. Dan dipan itu diperlengkapi dengan kalung-kalung baja untuk membelenggu kaki dan tangan,

   Juga ada alat putaran untuk menyiksa orang, menarik kedua kaki, menjepit jari-jari kaki atau tangan, bahkan ada alat pemanasan untuk dibakar yang berada di bawah dipan. Ketika siuman, Kim Hong segera teringat keadaannya dan sekali pandang, tahulah ia bahwa ia sungguh tidak dapat berdaya. Selain gelang baja yang membelenggu kaki tangannya itu terlalu kuat, juga ia mendapatkan kenyataan bahwa tubuhnya berada di bawah pengaruh totokan. Andaikata pengaruh totokan itu sudah hilang sekalipun. belum tentu ia akan mampu membebaskan diri dari belenggu kaki tangannya. Ia melirik ke kiri dan melihat betapa Kok Siang juga sudah siuman, bahkan pemuda itu menoleh ke kanan, memandang kepadanya dan tersenyum lebar! Tersenyum dalam keadaan seperti itu. Sungguh luar biasa! Diam-diam Kim Hong merasa heran dan juga kagum.

   "Engkau masih bisa tersenyum?"

   Tanyanya.

   "Kenapa tidak?"

   Jawab pemuda itu dan senyumnya melebar.

   "Hadapilah segala sesuatu dalam hidup ini dengan senyum! Kematianpun rasanya ringan jika dihadapi dengan senyum. Sama-sama menggerakkan mulut, dan sama-sama tidak akan mampu merobah keadaan, mengapa tidak memilih senyum di antara senyum dan tangis? Ha-ha, kalau dipikir lucu juga, ya?"

   Diam-diam kekaguman Kim Hong terhadap pemuda ini melonjak. Seorang pemuda yang hebat, pikirnya. Seorang pemuda yang ahli sastra, memiliki ilmu silat yang tidak rendah, juga memiliki keberanian yang mengagumkan, hampir menyamai Thian Sin, dan patut dijadikan seorang sahabat baik. Di samping itu, masih menyimpan rahasia peta yang amat menarik itu!

   "Apanya yang lucu?"

   Tanyanya untuk menanggapi sikap gembira yang mengagumkan hatinya itu.

   "Masa tidak lucu? Kita dikeroyok penjahat di taman, lalu pasukan pemerintah datang untuk menangkap semua orang yang berkelahi, termasuk kita. Tapi, pasukan pemerintah malah menjebak kita dan menawan kita dengan cara kaum penjahat, menggunakan jebakan dan obat bius. Dan sekarang kita telah dibelenggu di sini, seperti penjahat-penjahat besar! Sungguh lucu dan aneh. Siapakah yang jahat? Para pengeroyok itu, pasukan pemerintah, apakah kita?"

   "Tentu saja kita!"

   Kim Hong menjawab sambil tersenyum.

   "Buktinya kita yang dibelenggu dan ditelikung seperti babi akan disembelih di sini!"

   "Ha-ha-ha, seperti babi akan disembelih? Kurang tepat penggambaranmu itu, nona. Kita terlalu kurus kalau disamakan dengan babi, tidak berdaging dan penyembelihnya hanya akan menemukan kulit dan tulang belaka!"

   Tiba-tiba pintu ruangan itu terbuka dan masuklah beberapa orang pria ke dalam kamar yang luas itu. Kalau tadinya Kim Hong dan Kok Siang menduga bahwa mereka berada di tangan pasukan dan yang memasuki ruangan itu tentulah komandan, mereka kecelik. Yang masuk adalah delapan orang yang berpakaian biasa saja, sungguhpun kebanyakan dari mereka besikap keren dan menyeramkan. Kim Hong memandang penuh perhatian dan iapun tahu siapakah mereka itu. Ada empat orang pria berusia empat puluh tahun yang dikenalnya sebagai sisa dari Siang-to Ngo-houw, lima jagoan yang kehilangan seorang anggautanya karena tewas oleh anak panah yang hendak membungkam mulut orang itu, kemungkinan besar dilepas oleh kepala mereka sendiri.

   Kemudian Kim Hong mengenal Hai-pa-cu Can Hoa yang pernah membikin ribut di rumah makan dan dihajar oleh Kok Bu Siang itu. Juga Jiat-ciang Lui Cai Ko yang perutnya gendut, matanya juling dan rambutnym riap-riapan nampak pula di antara mereka. Kim Hong tidak heran pula melihat munculnya Su Tong Hak di antara mereka dan kini orang itu memperlihatkan air mukanya yang sesungguhnya, tanpa kedok manis seperti ketika ia dan Thian Sin mengunjunginya. Pedagang ini sekarang kelihatan sekali betapa mukanya penuh dengan nafsu, mulutnya menyeringai, matanya berkilat penuh kecerdikan dan tahulah Kim Hong bahwa selama ini paman dari Ciang Kim Su ini memang bersekongkol dengan para penjahat.

   Adapun orang yang ke delapan, yang bertubuh tinggi besar berkulit hitam, berusia lima puluh tahun lebih, mudah saja diduganya. Siapa lagi orang ini kalau bukan Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng, pikir Kim Hong. Dari gerak-gerik dan pandang matanya, Kim Hong dapat menduga bahwa orang ini memiliki kepandaian tinggi dan mungkin orang ini pula yang membuatnya gagal mendobrak pintu ketika ia terjeblos ke dalam kamar rahasia itu, yang memiliki hawa pukulan amat kuat. Sementara itu, Kok Siang juga memandang mereka penuh perhatian. Dia sungguh merasa terkejut ketika melihat bahwa yang menjebaknya bukanlah pasukan pemerintah, melainkan orang-orang jahat itu. Dan pemuda yang cerdik inipun tahu bahwa tentu jaksa itu bersekutu dengan para penjahat ini. Akan tetapi dia berpura-pura bodoh dan begitu melihat mereka masuk, diapun berteriak-teriak.

   "Heiii! Apa-apaan ini? Penasaran! Kami tidak berdosa, kenapa ditangkap? Di mana adanya keadilan? Dan siapa kalian ini? Kenapa bukan komandan pasukan yang datang? Kami menuntut keadilan!"

   Hai-pa-cu Can Hoa yang bertubuh tinggi besar, kumis dan jenggotnya malang melintang tak terpelihara itu sudah melangkah maju mendekati Kok Siang, tangan kirinya yang besar itu bergerak menampar.

   "Plakk! Plakk!"

   Dua kali muka Kok Siang ditampar dengan keras dan karena Kok Siang sendiri juga masih terpengaruh oleh totokan sehingga ia tidak mampu mengerahkan sin-kang, maka tentu saja tamparan itu harus diterimanya dengan mandah dan pipi kanannya menjadi merah membengkak.

   "Wah, bukankah engkau ini bajingan yang pernah mengacau di rumah makan? Ha-ha, sobat, kiranya engkaupun seorang pengecut, beraninya hanya setelah aku terjebak dan dibelenggu. Coba lepaskan belenggu ini dan aku akan membuat engkau tak mampu bangun kembali!"

   "Siucai sombong!"

   Kembali tangan kanan Can Hoa bergerak menampar dua kali.

   "Plak! Plakk!"

   "Cukuplah!"

   Tiba-tiba kakek hitam tinggi besar yang sejak masuk tadi memandang kepada Kim Hong, berkata dan Hai-pa-cu Can Hoa menghentikan tamparannya. Kakek hitam itu lalu menghampiri Kok Siang yang kini kedua pipinya telah menjadi merah dan agak membengkak oleh tamparan-tamparan Hai-pa-cu Can Hoa tadi. Sejenak mata yang lebar dan tajam itu seperti hendak menembus dada Kok Siang, kemudian terdengar kakek itu berkata, suaranya dalam dan tenang, namun penuh wibawa.

   "Apa engkau yang dikenal sebagai Im-yang Siang-pit Bu Siucai dari Thian-cin?"

   Seperti juga Kim Hong, pemuda ini sudah dapat menduga siapa adanya kakek hitam tinggi besar ini. Dia belum pernah jumpa dengan kakek ini, akan tetapi nama besarnya sudah lama didengarnya dan bahkan belum lama ini dia tahu bahwa Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng adalah paman dari gadis yang dicintanya, yaitu Bouw In Bwee! Jadi inilah orangnya yang telah menindas kekasihnya itu. Dan dia hampir merasa yakin bahwa orang ini pulalah, atau setidaknya juga kaki tangannya, yang telah membunuh pamannya sendiri, yaitu Louw siucai! Akan tetapi dia menekan perasaannya dan ketika dia ditanya, diapun mengangguk.

   "Benar."

   Jawabnya.

   "Teman-temanku menyebutku Im-yang Siang-pit Bu Siucai, dan aku datang dari Thian-cin. Tidak tahu siapakag engkau! Dan bagaimana kami yang tadinya menjadi tangkapan pasukan pemerintah, kini bisa terjatuh ke tangan kalian?"

   "Tutup mulutmu yang lancang dan jawab saja semua pertanyaan!"

   Harta Karun Jenghis Khan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Bentak Hai-pa-cu dengan sikap galak. Jagoan dari Yen-tai ini nemang merasa sakit hati kepada Kok Siang yang pernah menghajar dan mempermainkannya, membuatnya malu di restoran tempo hari. Kalau tidak takut kepada Pat-pi Mo-ko, tentu dia akan menghajar habis-habisan dan mungkin membunuh pemuda yang dibencinya itu.

   "Bu Siucai,"

   Kata pula Pat-pi Mo-ko, suaranya tenang akan tetapi mengandung nada yang penuh ancaman.

   "Tahukah engkau siapa aku?"

   Kok Siang menggeleng kepalanya.

   "Tidak, aku tidak tahu. Yang kukenal hanyalah penjahat kecil yang pernah mengacau di rumah makan ini, dan juga si juling yang mengeroyok kami di taman. Yang lain-lain, aku tidak tahu..."

   "Engkau berhadapan dengan Pat-pi Mo-ko!"

   Kata kakek hitam itu, dan matanya berkilat ketika dia melihat pemuda yang terbelenggu itu nampak terkejut.

   "Ah...! Tapi... tapi mengapa aku ditangkap? Dan bukankah yang menangkapku adalah pasukan pemerintah?"

   Kok Siang berpura-pura bodoh.

   "Itu bukan urusanmu. Yang jelas, engkau telah berani menentangku dan siapapun yang berani menentangku di dunia ini, tentu dia sudah bosan hidup. Bu Siucai, namamu terkenal di Thian-cin sebagai seorang gagah yang tidak pernah lancang tangan. Sekarang engkau muncul di kota raja, apakah kehendakmu?"

   Sepsang mata itu memandang tajam penuh selidik. Kok Siang bukan seorang yang bodoh. Dia sudah menduga bahwa Louw siucai, pamannya itu, tentu terbunuh oleh iblis-iblis ini, maka kalau dia mengaku bahwa dia adalah keponakan Louw siucai yang hendak mencari pembunuh pamannya, sama saja dengan membunuh diri.

   "Apa yang hendak kulakukan di kota raja? Tentu saja melancong, apa lagi?"

   "Hemm, kalau engkau tidak bergulang-gulung dengan nona ini, mungkin aku dapat percaya omonganmu."

   Pat-pi Mo-ko menuding ke arah Kim Hong.

   "Ah, nona ini? Kami berkenalan secara kebetulan saja, di rumah makan. Tentu jagoan Yen-tai itu sudah menceritakan kepadamu. Pat-pi Mo-ko, namamu terkenal sebagai orang besar, maka harap kau suka membebaskan kami yang tidak bersalah apa-apa. Terutama nona ini. Bagaimana kalau dunia kang-ouw mendengar bahwa Pat-pi Mo-ko yang besat itu menawan seorang nona muda dengan cara menjebaknya dan bersekongkol dengan pasukan pemerintah?"

   "Tutup mulutmu! kau sudah bosan hidup?"

   Hai-pa-cu Can Hoa membentak dan mendekat, akan tetapi Kok Siang hanya tersenyum saja. Dia tadi memang sengaja hendak menggerakkan harga diri Pat-pi Mo-ko, memanaskan hatinya.

   

Pendekar Sadis Eps 16 Pendekar Lembah Naga Eps 60 Pendekar Sadis Eps 33

Cari Blog Ini