Ceritasilat Novel Online

Pendekar Sadis 33


Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo Bagian 33



"Menggegerkan kota raja? Siapakah yang menggegerkan kota raja akhir-akhir ini selain Pendekar Sadis itu?"

   "Itulah dia orangnya yang akan kami laporkan kepada locianpwe."

   Nenek itu nampak tertarik.

   "Ah, benarkah? Benarkah Pendekar Sadis itu yang kini datang ke sini menentang Bu-tek Kai-pang? Ceritakan semua!"

   Ang-i Kai-ong lalu mewakili para sutenya menceritakan semua peristiwa yang terjadi dengan sejelasnya, dimulai peristiwa di rumah makan di mana ada seorang pemuda yang telah menghina seorang pengemis, kemudian dua orang pengemis dilukainya dengan tulang ayam dan disertai penghinaan agar tulang-tulang ayam itu disampaikan kepada raja pengemis.

   "Bahkan dia berani menyebut-nyebut dan menantang nama locianpwe. Inilah yang membuat kami berpikir lebih baik melaporkan kepada locianpwe."

   Nenek itu tidak marah. Nenek itu tidak pernah memperlihatkan kemarahan. Bahkan ada kalanya dia membunuh orang sambil tersenyum saja!

   "Menarik sekali!"

   Katanya dan sepasang matanya itu bersinar-sinar, nampak tertarik benar.

   "Lalu bagaimana? Teruskan dan ceritakan bagaimana kepandaiannya!"

   "Menurut laporan para anggauta, kepandaiannya tidaklah seberapa hebat. Memang dia telah merobohkan dua orang pengemis tingkat rendahan. Kemudian kami mengutus Lima Ular Hitam untuk menangkapnya di rumah penginapan."

   "Hemm, kalau mereka juga gagal, maka menarik sekali,"

   Kata Si Nenek yang sudah mengenal kelihaian serta kelicikan Lima Ular Hitam itu.

   "Memang mereka telah gagal, locianpwe. Akan tetapi menurut seorang di antara mereka yang hanya buntung lengannya, tingkat kepandaian pemuda itu seimbang saja dengan mereka berlima, jadi menurut pikiran kami, bukan merupakan bahaya besar."

   Dia lalu menceritakan semua peristiwa di rumah penginapan itu, tentang matinya empat di antara Lima Ular Hitam dan seorang lagi dibuntungi lengannya dan kembali dalam kesempatan itu, Si Pemuda tanpa menyebutkan namanya menantang Lam-sin. Lam-sin mengangguk-angguk.

   "Hemm, agaknya lancang juga pemuda itu, dan sombong sekali."

   "Memang dia sombong sekali, locianpwe, akan tetapi kami masih cukup kuat untuk menundukkannya dan menyeret ke hadapan kaki locianpwe, kalau locianpwe menghendaki,"

   Kata Ang-i Kai-ong dengan penasaran sekali. Akan tetapi nenek itu tersenyum.

   "Dia sudah berulang kali menantangku, kalau aku diam saja bisa disangka bahwa aku tidak berani kepadanya. Akan tetapi, sebelum kau menyerahkan surat tantanganku kepadanya, selidiki lebih dulu apakah benar dia adalah Pendekar Sadis yang disohorkan itu atau bukan. Kalau bukan, jangan berikan suratku dan bunuh saja dia, aku tidak mau mencampurinya lagi. Kalau benar dia Pendekar Sadis, serahkan surat tantanganku dan aku akan melihat dulu bagaimana kelihaiannya menghadapi kalian. Kalau kuanggap dia patut untuk melawanku, baru aku akan menemuinya."

   Lam-sin memanggil pelayan dan membuat coretan-coretan di atas kertas merah muda, lalu memasukkan surat itu ke dalam amplop yang ditulis dengan huruf-huruf halus : PENDEKAR SADIS!

   Sehari lewat tanpa ada apa-apa. Thian Sin masih menanti di rumah penginapan itu. Dia tidak merasa heran bahwa semua orang di dalam rumah penginapan itu bersikap seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa. Padahal malam tadi ada empat orang tewas di ruangan depan, dan seorang lagi buntung lengannya. Dia tahu bahwa semua bekas telah dibersihkan dan para pengurus rumah penginapan itu tidak berani membuka mulut, tentu telah dipesan oleh pihak Bu-tek Kai-pang. Dia tidak tahu bahwa sehari itu dipergunakan oleh para anggauta kai-pang untuk melakukan penyelidikan, mendengar tentang Pendekar Sadis. Setelah mereka memperoleh berbagai keterangan, tentang pendekar itu yang dikabarkan masih muda, berpakaian sasterawan, pandai bersajak dan suka bernyanyi, bersikap lemah lembut, murah senyum, mereka tidak ragu-ragu lagi bahwa pemuda yang bermalam di rumah penginapan Lok-nam itu sudah pasti adalah Pendekar Sadis! Maka pada hari berikutnya, pagi-pagi sekali seorang pelayan mengetuk pintu kamar Thian Sin.

   "Masuk saja, pintuku tidak dikunci!"

   Kata Thian Sin yang sedang duduk termenung di dalam kamarnya. Pintu terbuka dan pelayan itu menyerahkan sebuah amplop.

   "Ada orang menyerahkan surat ini, kongcu, akan tetapi biarpun nomor kamarnya nomor lima, kami tidak tahu apakah benar surat ini untuk kongcu ataukah bukan."

   Thian Sin menerima surat beramplop merah muda itu, membaca tulisannya di luar KEPADA PENDEKAR SADIS. Dia tersenyum dan mengangguk.

   "Benar, surat ini untukku. Terima kasih!"

   Itulah tindakan terakhir dari pihak kai-pang untuk meyakinkan bahwa memang pemuda itu Pendekar Sadis, yaitu melalui pelayan itu.

   Pelayan itu membungkuk, agak terlalu dalam karena dia terkejut dan ketakutan, lalu mengundurkan diri keluar dari kamar itu. Thian Sin tersenyum dan merobek amplop, mengeluarkan kertas merah muda. Dia bersikap hati-hati, tidak ceroboh ketika membuka surat karena dia maklum bahwa seorang penjahat yang lihai dapat saja membunuh lawan melalui surat. Akan tetapi, tidak ada jarum rahasia atau asap beracun yang menyambar keluar dari amplop, juga tidak tercium sesuatu kecuali sedikit keharuman minyak wangi, maka dia membuka kertas tertulis itu dengan senyum geli. Namanya juga datuk kaum sesat, pikirnya. Menulis surat dengan amplop dan kertas berwarna merah muda dan berbau harum pula! Dengan tenang namun tertarik dibacanya tulisan yang goresannya halus dan rapi itu.

   Lam-sin menantang kepada Pendekar Sadis untuk mengadu kepandaian melawan murid-muridnya di Lembah Gunting Cemara sebelah timur kota Heng-yang, kalau memang Pendekar Sadis berani! Lewat tengah hari menjelang sore hari ini

   Tertanda : Lam-sin

   Thian Sin tertawa dan merasa girang sekali. Akhirnya sang kakap mulai memperlihatkan dirinya, walaupun masih bersembunyi di balik murid-muridnya.

   "Ha-ha-ha, menghadapi engkau sendiri aku tidak takut, apalagi murid-muridmu, Lam-sin!"

   Katanya sambil tersenyum dan tak lama kemudian, sudah terdengar pemuda ini bernyanyi-nyanyi di dalam kamarnya, sikapnya tenang-tenang saja sehingga anak buah kai-pang yang dipasang di situ untuk menyelidiki, cepat melaporkan kepada tiga orang ketua kai-pang yang menjadi semakin terheran-heran, akan tetapi juga mendongkol dan penasaran sekali. Pemuda itu sudah menerima tantangan Lam-sin, tentu sudah membacanya, akan tetapi malah bernyanyi-nyanyi. Manusia ataukah setan orang itu?

   Siang hari itu Thian Sin memesan makanan yang cukup mewah seperti orang berpesta-pora seorang diri. Tadinya timbul pikiran para ketua kai-pang untuk meracuni pemuda ini, akan tetapi mereka takut kepada Lam-sin, karena satu di antara hal-hal yang dibenci oleh datuk itu, kecuali perkosaan yang merupakan hal terutama, adalah kecurangan dalam menghadapi lawan. Lam-sin kini sudah mengirim surat sendiri, menantang, maka kalau sampai mereka melakukan penyerangan melalui makanan dengan racun, kalau sampai gagal, tentu Lam-sin akan mendapat malu dan akan menjadi marah kepada mereka. Dan mereka bergidik kalau membayangkan datuk itu marah kepada mereka. Sehabis makan, setelah beristirahat beberapa jam lamanya, pada saat matahari mulai condong ke arah barat, Thian Sin keluar dari kamarnya, langsung menghampiri meja pengurus rumah penginapan itu dan bertanya dengan ramah,

   "Tolong kalian beritahukan di mana aku dapat menemukan lembah Gunung Cemara di sebelah timur kota ini."

   Para pengurus itu gemetar ketakutan. Alangkah beraninya pemuda ini, pikir mereka. Tentu pemuda ini sudah menduga bahwa para pengurus di rumah penginapan ini juga tunduk kepada kai-pang akan tetapi sikapnya demikian tenang seperti berada di antara sahabat-sahabat sendiri saja. Tergopoh-gopoh pengurus rumah penginapan yang memang sudah menerima pesan itu memberitahukan jalan dan arah tempat yang hendak dikunjungi oleh pemuda yang kini diam-diam mereka kenal sebagai Pendekar Sadis sehingga pandang mata mereka berbedap penuh kengerian dan ketakutan.

   Lembah itu merupakan padang rumput yang rata dan lembut, nampak kehijauan seperti permadani dihamparkan. Tempat itu dikelilingi hutan-hutan kecil, akan tetapi di padang rumput itu sendiri tidak ada pohonnya. Ketika Thian Sin sedang berjalan seorang diri menuju ke lembah ini, melalui hutan cemara seperti yang diberitahukan oleh pengurus rumah penginapan, tempat yang sunyi dan tidak nampak ada seorangpun manusia, tiba-tiba dia dikejutkan oleh suara ketawa dan berkelebatnya orang tak jauh di sampingnya. Yang amat mengejutkan hatinya adalah karena orang itu bergerak sedemikian cepatnya seperti menghilang saja. Thian Sin seakan tenang-tenang saja dan tidak akan mengambil peduli kalau saja yang bergerak itu orang biasa, atau dengan gin-kang biasa saja.

   Akan tetapi gerakan orang ini mengejutkan hatinya. Demikian cepatnya seperti terbang. Maka ia merasa penasaran dan diapun lalu mengerahkan gin-kang dan melakukan pengejaran. Bayangan itu masih nampak di depan, akan tetapi bayangan itu sungguh luar biasa cepatnya. Lenyap di balik pohon di depan, tahu-tahu muncul di sebelah kirinya. Dia mengejar, lenyap lagi dan muncul di sebelah kanan. Thian Sin semakin penasaran, jelas bahwa bayangan itu mempermainkannya, atau setidaknya, tentu hendak menguji kecepatan gerakannya. Dia lalu meloncat dan mengerahkan seluruh tenaganya untuk mengejar, akan tetapi bayangan itu lenyap ketika dia tiba di padang rumput dan di situ ternyata telah berkumpul tiga orang ketua berikut sedikitnya tiga puluh orang anak buah Bu-tek Kai-pang yang tinggi tingkatnya.

   Thian Sin teringat bahwa dahulu, menurut penuturan Cia Kong Liang, Bu-tek Kai-pang dipimpin oleh seorang pengemis sakti bernama Lam-thian Kai-ong. Dia tidak tahu bahwa kini telah terjadi perubahan besar, Lam-thian Kai-ong telah meninggal dunia dan kini Bu-tek Kai-pang telah berganti pimpinan, yaitu ketiga orang pengemis setengah tua yang berdiri dengan gagahnya di depannya itu. Maka, melihat tiga orang pengemis yang berdiri dengan kedua kaki tegak agak dipentang dengan sikap gagah, dia lalu melangkah maju, menghampiri mereka dan setelah memandang ke kanan kiri, dia lalu berkata, suaranya halus, wajahnya berseri, seolah-olah dia tidak sedang menghadapi calon lawan melainkan berada di antara para sahabat!

   "Manakah ketua Bu-tek Kai-pang yang bernama Lam-thian Kai-ong? Dan mana pula datuk Lam-sin yang telah mengirim surat tantangan kepadaku? Aku telah datang, harap mereka berdua suka memperkenalkan diri."

   "Pendekar Sadis, kalau engkau mencari ketua Bu-tek Kai-pang, kamilah ketuanya!"

   Thian Sin memandang kepada tiga orang itu dengan penuh perhatian. Yang bicara tadi adalah seorang kakek berusia kurang lebih enam puluh tahun, berjubah merah tambal-tambalan, di sampingnya berdiri kakek berjubah hijau dan seorang lagi berjubah putih. Usia mereka sebaya dan ketiganya memegang sebuah tongkat yang ujungnya runcing.

   "Yang manakah di antara sam-wi yang bernama Lam-thian Kai-ong?"

   Ang-i Kai-ong menjawab,

   "Pendekar Sadis, orang yang kau cari itu, Lam-thian Kai-ong telah meninggal dunia dan kini yang menjadi ketua Bu-tek Kai-pang adalah kami bertiga."

   "Ah, begitukah? Dan di mana adanya locianpwe yang berjuluk Lam-sin? Aku datang untuk memenuhi panggilan dan tantangannya."

   "Bocah sombong!"

   Bentak Jeng-i Kai-ong dengan marah.

   "Tidak sembarangan orang boleh berhadapan dengan Locianpwe Lam-sin! Engkau telah mengacau dan menghina Bu-tek Kai-pang, nah, kini engkau sudah berhadapan dengan kami, ketuanya. Kalau engkau mampu mengalahkan kami, barulah boleh bicara tentang bertemu dengan Lam-sin!"

   Thian Sin mengangguk-angguk dan tersenyum. Dia sudah menduga akan hal ini, maka diapun tertawa bergelak dan berkata lantang, dengan harapan agar suara ketawanya dan kata-katanya dapat terdengar oleh Lam-sin yang dia kira tentu bersembunyi tidak jauh dari situ. Dia keliru karena Lam-sin sama sekali tidak mendekati tempat itu kecuali ketika mencoba gin-kangnya tadi, lalu terus pulang dan hanya mengutus seorang pelayannya untuk menyaksikan jalannya pertempuran sambil bersembunyi.

   "Ha-ha-ha-ha! Kiranya yang bernama Lam-sin hanyalah seorang licik yang bersembunyi dan berlindung di belakang sekumpulan pengemis tukang pukul!"

   Ucapan Thian Sin ini merupakan penghinaan yang luar biasa. Para pengemis Bu-tek Kai-pang memandang Lam-sin sebagai seorang junjungan yang ditakuti, dikagumi dan dihormati. Sekarang pemuda ini memaki nenek itu, tentu saja mereka menjadi marah sekali. Akan tetapi, tiga orang ketua Bu-tek Kai-pang itu sudah mendengar tentang Pendekar Sadis yang telah menggegerkan kota raja, telah mengacau Hwa-i Kai-pang di kota raja, membunuh dua orang ketua Hwa-i Kai-pang, bahkan telah membunuh Toan-ong-ya, kemudian terdengar desas-desus bahwa pemuda ini telah mengacau Pek-lian-kauw dan membunuh Tok-ciang Sian-jin yang amat lihai itu. Maka, mereka bertiga tidak berani ceroboh dan Ang-i Kai-ong lalu berteriak kepada para anak buahnya, yaitu para tokoh Bu-tek Kai-pang yang sudah mempunyai tingkat tinggi, untuk maju mengepung dan mengeroyok!

   Kurang lebih tiga puluh orang tenaga Bu-tek Kai-pang segera maju mengepung dan mereka bergerak mengitari pemuda itu sambil mengeluarkan senjata masing-masing. Sebagian besar di antara mereka, memegang tongkat pendek dari baja, akan tetapi ada pula yang membawa tombak, golok atau pedang. Thian Sin yang datang memang dengan maksud membasmi Bu-tek Kai-pang yang pernah membantu ketika keluarga Ciu Khai Sun diserbu, berdiri tegak dengan sikap tenang sekali. Sepasang matanya mengerling ke depan kanan dan kiri, sedangkan telinganya mengikuti gerak-gerik para pengurung yang tidak dapat dilihat oleh sepasang matanya, yaitu mereka yang berada di belakangnya. Setiap urat syaraf di tubuhnya menegang dan siap. Dia berdiri tegak dan diam bukan karena menanti mereka menyerang lebih dulu, melainkan terutama sekali membuat perhitungan, mempelajari kedudukan mereka.

   Dia melihat bahwa para pengemis itu bergerak dengan teratur, dengan barisan yang terlatih bukan sekedar mengeroyok secara awut-awutan belaka. Oleh karena itu diapun bersikap waspada. Dia melihat betapa ketua baju merah berdiri di belakang barisan yang berada di depannya, ketua baju hijau memimpin barisan yang berdiri di belakang barisan yang berada di depannya, ketua baju hijau memimpin barisan di sebelah kanannya sedangkan ketua baju putih memimpin barisan yang berdiri di sebelah kirinya. Sisa pasukan pengemis itu berada di belakangnya. Tiba-tiba mereka yang berada di belakangnya itu bersorak dan dia mendengar mereka itu sudah menggerakkan senjata dan menyerbu ke arahnya. Menurut pendengarannya, kiranya tidak kurang dari sepuluh orang yang menerjangnya dari belakang.

   Akan tetapi dia masih sempat memperhatikan ke depan, kanan dan kirinya dan tahulah dia bahwa bahaya datangnya dari tiga orang ketua itu. Dia melihat betapa mereka, tiga golongan ini telah siap untuk menyerbu dan menanti kesempatan. Diapun dapat menduga bahwa barisan belakang yang agaknya tidak dipimpin langsung oleh para ketua itu hanya dipergunakan untuk menggertak atau mengacau saja, untuk memecah perhatiannya, padahal yang menjadi inti pasukan penyerang adalah dari depan, kanan dan kiri itu. Karena itu, Thian Sin seperti tidak mempedulikan serangan dari belakang, melainkan tetap memperhatikan musuh-musuh di depan. Baru setelah dia merasa adanya sambaran senjata sudah dekat sekali dengan tubuh belakangnya, dia membalik dan menggerakkan kedua tangan yang mengandung tenaga sakti Thian-te Sin-ciang.

   Terdengar teriakan-teriakan, dan nampak senjata-senjata terlempar lalu disusul robohnya lima orang penyerang terdepan yang terjengkang dan tidak berkutik lagi karena mereka telah tewas oleh sambaran hawa pukulan Thian-te Sin-ciang yang meretakkan kepala dan memecahkan dada mereka itu! Memang Thian Sin tidak mau berlaku kepalang tanggung, begitu memapaki serangan dia telah mengerahkan tenaga sin-kang yang kuat sekali. Melihat ini, sisa penyerang dari belakang itu terbelalak dan muka mereka pucat, hati mereka gentar sekali. Belum pernah mereka melihat ada lawan yang diserbu, sekali membalikkan tubuh mendorong dengan kedua tangan membunuh lima orang teman mereka! Ketika Ang-i Kai-ong menggerakkan pasukannya menyerbu, Thian Sin sudah membalikkan tubuhnya lagi. Dia melihat bahwa Jeng-i Kai-ong dan Pek-i Kai-ong telah menggerakkan barisan masing-masing maka senjata dari depan, kiri dan kanan datang bagaikan hujan saja.

   Thian Sin menyambut semua serangan itu dengan tangkisan, elakan, dan juga tidak tinggal diam melainkan membagi-bagi tamparan dan tendangan. Hebatnya, setiap serangan balasan dari kaki dan tangannya tentu membuat roboh seorang pengeroyok untuk tidak bangun lagi karena tewas seketika! Terjadi pengeroyokan dan perkelahian yang seru dan mengerikan. Karena datangnya senjata seperti hujan, dan penyerangan itu amat teratur, maka biarpun Thian Sin dapat melindungi dirinya dengan pengerahan sin-kang yang membuat tubuhnya kebal dan tidak dapat terluka oleh senjata, namun dia tidak dapat melindungi bajunya yang menjadi robek-robek di sana-sini! Dia menjadi marah. Memang penyerangan itu teratur sekali, kalau dia menghadapi barisan kiri, maka barisan kanan menyerbu, kalau dia membalik ke kanan, maka yang dari depan menyerbu dan demikian sebaliknya.

   Dia mengamuk terus dan kini sudah ada kurang lebih dua belas orang roboh dan tewas oleh amukannya. Dan ketika dia memperoleh kesempatan, melihat Ang-i Kai-ong yang terdekat, dia meloncat, membiarkan senjata para pengemis menghantaminya dan melindungi dirinya dengan kekebalan, dia langsung menyerang Ang-i Kai-ong! Kakek ini terkejut dan menggerakkan tongkatnya, menyambut tubuh Thian Sin dengan tusukan tongkat dengan ujung tongkat yang runcing itu meluncur ke arah ulu hati Thian Sin. Pemuda ini cepat miringkan tubuhnya sehingga tusukan itu luput. Akan tetapi dengan gerakan kilat, tongkat berujung runcing itu sudah membalik dan dari samping menusuk ke arah lambung. Melihat kecepatan gerakan tongkat ini, maklumlah Thian Sin bahwa ilmu kepandaian si jubah merah ini hebat juga.

   "Dukkk!"

   Dia menangkis dengan lengannya dan mengerahkan tenaga. Kini giliran Ang-i Kai-ong terkejut. Tangkisan pemuda itu mengandung tenaga yang sedemikian besarnya sehingga dia terdorong mundur dan terhuyung. Cepat dia memberi isyarat dan kedua orang adiknya, yaitu Jeng-i Kai-ong dan Pek-i Kai-ong sudah cepat meloncat datang dan tongkat mereka menyambar ganas. Tongkat Jeng-i Kai-ong meluncur ke arah pusarnya dan tongkat Pek-i Kai-ong menghantam ke arah kepalanya.

   "Plak! Plak!"

   Dua tangan Thian Sin berhasil menangkis dua batang tongkat itu dan seperti juga Ang-i Kai-ong, dua orang ketua pengemis ini terkejut karena tangkisan itu membuat mereka terpelanting dan hampir terbanting roboh. Mereka lalu bergerak cepat dan mengeroyok dengan permainan tongkat mereka yang lihai. Karena mereka telah menerima latihan dari Lam-sin, maka permainan tongkat mereka dengan Ilmu Hok-mo-pang (Tongkat Penakluk Iblis) sungguh hebat dan tingkat kepandaian mereka itu tidak di sebelah bawah mendiang Lo-thian Sin-kai dan Hek-bin Mo-kai, kedua orang ketua Hwa-i Kai-pang di kota raja itu!

   Para anggauta Bu-tek Kai-pang terlalu kaget dan gentar menyaksikan betapa pemuda yang terkenal dengan julukan Pendekar Sadis itu telah membunuh dua belas orang teman mereka! Oleh karena itu, melihat betapa kini tiga orang ketua mereka telah maju bertiga dan mengeroyok Pendekar Sadis, mereka hanya mengurung tempat itu dan membiarkan tiga orang ketua mereka membereskan pemuda yang lihai itu dengan senjata siap di tangan. Masih ada dua puluh orang yang mengepung tempat itu. Sementara itu, Thian Sin mengamuk dengan hebat. Biarpun tiga orang itu memiliki Hok-mo-pang yang tangguh dan senjata mereka yang terbuat dari baja tulen itu juga ampuh sekali, apalagi gerakan mereka bertiga demikian teratur, saling mengisi dan saling melengkapi, namun berhadapan dengan Thian Sin mereka seolah-olah bertemu dengan gurunya.

   Pemuda ini menghadapi tiga tongkat mereka dengan tangan kosong saja dan sama sekali tidak pernah terdesak! Bahkan sebaliknya malah, dengan mainkan Thai-kek Sin-kun, dan mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang, pemuda itu membuat mereka repot sekali dan sering kali mereka terhuyung-huyung dan terpaksa memutar tongkat melindungi diri dan cepat-cepat dibantu oleh temannya. Thian Sin memang sengaja hendak memamerkan kepandaian dan juga hendak mengenal Ilmu Tongkat Hok-mo-pang, karena dia harus mempersiapkan diri menghadapi Lam-sin yang tentu lebih lihai lagi daripada tiga orang ini. Setelah dia mengenal liku-liku Ilmu Tongkat Hok-mo-pang yang harus diakuinya memang hebat itu, dia mengambil keputusan untuk mengakhiri perkelahian itu.

   "Plakkk!"

   Tongkat Ang-i Kai-ong yang menghantam punggungnya, dia terima dengan punggungnya tanpa mengelak atau menangkis. Tongkat itu tetap melekat. Sepasang mata Ang-i Kai-ong terbelalak dan wajahnya pucat sekali. Dia meronta, akan tetapi semakin hebat tenaga sin-kang mengalir keluar dari kedua tangannya yang memegang tongkat. Hal ini terasa olehnya, membuat dia panik.

   "Tolong... tolong...!"

   Teriaknya dan terus berusaha menarik-narik tongkatnya. Melihat ini, Jeng-i Kai-ong dan Pek-i Kai-ong cepat membantu. Si jubah hijau cepat memasukkan tongkatnya ke arah lambung Thian Sin. Dan Pek-i Kai-ong menghantamkan tongkatnya ke punggung pemuda itu untuk membantu kakaknya melepaskan diri.

   "Plakk! Bukk!"

   Thian Sin menangkap tongkat yang menusuk lambungnya dan membiarkan tongkat Pek-i Kai-ong menghantam punggungnya pula. Tenaga Thi-khi-i-beng yang dia kerahkan kini bekerja sepenuhnya dan tiga batang tongkat itu melekat di tangan dan punggungnya. Tiga orang pengemis tua itu terkejut, akan tetapi makin hebat mereka mengerahkan tenaga, makin keras pula tenaga sin-kang mereka membanjir keluar tersedot oleh tubuh pemuda itu! Para pengemis yang melihat tiga orang ketua mereka itu memegangi tongkat dan meronta-ronta seperti hendak menarik kembali tongkat mereka, dengen muka pucat mata terbelalak dan terengah-engah, menjadi terheran-heran.

   Mereka tidak tahu apa yang terjadi. Karena mengira bahwa para ketua mereka itu hendak menarik kembali tongkat itu yang agaknya secara aneh dipertahankan oleh si pemuda, maka beberapa orang lalu meloncat maju dan membantu ketua mereka, memegang tongkat dan bantu menarik. Namun mereka inipun berteriak kaget ketika tenaga merekapun tersedot. Lebih banyak lagi yang datang ikut membantu dan kini ada belasan orang menarik-narik tongkat-tongkat itu, dan lebih banyak orang lagi tenaga sin-kangnya tersedot oleh Thian Sin! Sisa para pengemis memandang bengong. Pada saat itu, nampak ada bayangan berkelebat di atas kepalanya. Thian Sin terkejut melihat bayangan orang yang gerakannya cepat sekali dan ketika bayangan itu melayang lewat, ada dua buah benda kecil hitam menyambar ke arah kedua pundak Thian Sin!

   "Tuk! Tuk!"

   Dua buah batu hitam sebesar ujung jari tangan menyambar dengan lembut ke arah kedua pundak pemuda itu. Akan tetapi ternyata dua buah batu kecil itu tepat mengenai jalan darah yang membuat Thian Sin seketika merasa tubuhnya tergetar hebat. Dia terkejut bukan main, maklum bahwa orang itu merupakan lawan yang amat tangguh dan kini keadaannya menjadi terancam. Maka dia menarik kembali tenaga sedotan Thi-khi-i-beng dan menggunakan tenaga yang telah disedotnya itu untuk dihempaskan keluar melalui kedua tangan dan seluruh badannya, membuat gerakan seperti seekor anjing berkirik mengusir air dari tubuhnya. Akibatnya, terdengar teriakan-teriakan dan belasan orang itu terlempar sampai jauh.

   Banyak di antara mereka yang tidak begitu kuat, roboh dan tewas, sedangkan tiga orang ketua Bu-tek Kai-pang itu hanya merasa dada mereka sesak dan mereka muntah darah. Akan tetapi mereka masih mempunyai sisa tenaga untuk bangkit dan melarikan diri secepatnya! Thian Sin berloncatan mengejar bayangan tadi. Akan tetapi dia melihat bayangan itu telah berada jauh sekali di depan, melintasi sebuah lereng bukit. Dia terus mengejar, akan tetapi akhirnya bayangan itu lenyap dan kemanapun dia mencari, hasilnya sia-sia. Akhirnya dia kembali ke tempat pertempuran tadi dan di situ telah sunyi, tidak nampak seorangpun pengemis, juga mayat-mayat para anggauta pengemis telah lenyap. Hanya darah-darah yang berceceran di situ saja yang membuktikan bahwa di tempat itu baru saja terjadi perkelahian yang hebat.

   Tiba-tiba Thian Sin tertarik oleh bentuk ceceran darah di atas rumput. Ceceran darah itu membentuk huruf-huruf!

   LAM-SIN MENANTANG PENDEKAR SADIS DI RUMAHNYA.

   Membaca huruf-huruf itu, Thian Sin tertawa.

   "Ha-ha-ha, Lam-sin, biarpun engkau main curang, jangan mengira aku takut padamu!"

   Thian Sin lalu berlari cepat memasuki kota dan segera mencari sarang Bu-tek Kai-pang. Sarang itu megah dan menyeramkan, akan tetapi dengan langkah tenang pemuda itu memasuki pintu gerbang yang terjaga oleh beberapa orang pengemis Bu-tek Kai-pang.

   Para penjaga itu berdiri berbaris di kanan kiri pintu gerbang, sama sekali tidak melarang atau bertanya kepada Thian Sin, bahkan rata-rata mereka memperlihatkan sikap tegang dan gentar terhadap pemuda ini. Thian Sin berlenggang kangkung, masuk menuju ke gedung di belakang perumahan Bu-tek Kai-pang itu sambil tersenyum. Akan tetapi tentu saja dia tidak pernah melepaskan kewaspadaannya karena dia maklum bahwa dia telah memasuki tempat tinggal Lam-sin, datuk dari selatan yang amat terkenal itu. Dia telah memasuki gua naga dan harimau! Kelengahan di tempat seperti ini berarti ancaman maut. Keadaan di tempat itu sunyi saja. Hanya nampak beberapa orang anggauta Bu-tek Kai-pang yang berdiri seperti patung. Seolah-olah tempat itu diselubungi suasana berkabung dan memanglah, selain gentar,

   Juga para anggauta Bu-tek Kai-pang berkabung karena kematian para anggauta yang dua belas orang itu, ditambah lagi enam orang yang tewas ketika Thian Sin mempergunakan Thi-khi-i-beng. Di dalam gedung Bu-tek Kai-pang, tiga orang ketuanya sedang rebah dengan muka pucat, karena mereka telah menderita luka dalam yang cukup parah. Ketika Thian Sin tiba di depan gedung yang menjadi tempat tinggal Lam-sin, dia memandang kagum. Gedung itu mungil dan nyeni, dengan tanaman-tanaman yang amat terawat rapi dan indah. Halaman depan dihias petak rumput yang hijau segar dan rata, dan di sana-sini tumbuh pohon kembang mawar dan bermacam-macam bunga. Jalan menuju ke pintu depan ditutup dengan kerikil yang merupakan kerikil yang putih kebiruan. Ketika menginjak jalan berkerikil itu, terdengar suara berisik dan Thian Sin lalu mengerahkan gin-kangnya.

   Kini dia berjalan melalui kerikil itu tanpa mengeluarkan suara sedikitpun seolah-olah tubuhnya hanya seringan bulu saja! Dua orang wanita muda yang menyambutnya di pintu depan, memandang dengan wajah tak berhasil menyembunyikan keheranan dan kekaguman mereka melihat betapa pemuda itu dapat berjalan di atas jalan kerikil tanpa menimbulkan suara. Ini saja merupakan demontrasi gin-kang yang hebat, dan yang mereka ketahui hanya dapat dilakukan oleh majikan mereka, Lam-sin. Ketika Thian Sin berdiri di depan pintu, dua orang wanita yang berpakaian rapi dan memiliki wajah yang manis itu cepat memberi hormat. Seorang di antara mereka, yang mempunyai tahi lalat kecil di dagu sehingga ia nampak manis sekali, berkata dengan suara halus dan merdu,

   "Kongcu, silakan masuk. Pangcu sedang menghadapi meja makan dan mempersilakan kongcu untuk masuk saja."

   "Pangcu juga mengundang kongcu untuk makan malam bersamanya,"

   Kata wanita ke dua. Thian Sin tersenyum. Dua orang gadis muda ini sungguh cantik dan berpakaian mewah, sama sekali tidak nampak seperti pelayan. Maka diapun mengangguk.

   "Pangcu kalian sungguh baik hati."

   Maka diapun melangkah ke dalam gedung itu, diiringkan oleh dua orang, satu di depan dan satu lagi di belakangnya. Ketika memasuki gedung kecil itu, Thian Sin merasa semakin kagum. Lantainya begitu bersih dan licin mengkilat, langit-langitnya agak tinggi dan banyak terpasang lubang angin berukir sehingga ruangan di dalam gedung terasa sejuk sekali. Dan di dinding tergantung lukisan-lukisan indah dan tulisan-tulisan huruf indah yang tentu terbuat oleh ahli-ahli yang pandai dan berharga mahal sekali.

   Kain-kain sutera dan beludru menghias ruangan, dan perabot-perabot yang mungil. Sebuah rumah gedung kecil mungil yang dalamnya indah seperti istana saja! Ketika mereka berdua membawanya masuk ke sebuah ruangan yang cukup luas, dia melihat seorang nenek duduk menghadapi meja makan yang panjang, dilayani oleh tiga orang gadis muda lain yang pakaiannya juga mewah dan wajahnya manis-manis seperti dua orang gadis pertama. Kini lima orang gadis itu berkumpul dan berdiri seperti hiasan ruangan, berjajar di latar belakang, membiarkan nenek itu menghadapi Thian Sin. Akan tetapi nenek itu masih duduk sambil menyumpit sepotong daging kecil, lalu dimasukkan ke mulutnya, mengunyah daging itu dengan cara sopan tanpa membuka mulutnya, dan dengan sikap tenang seolah-olah tidak tahu bahwa ada tamu datang.

   Thian Sin sendiri hanya berdiri dan memandang dengan sikap tenang pula, memandang penuh perhatian. Diam-diam hati pemuda ini kecewa. Kalau yang berjuluk Lam-sin hanya seorang nenek tua renta yang sudah mendekati lubang kubur ini, maka sia-sialah agaknya perjalanannya yang jauh ini. Dia sudah melihat tiga orang di antara empat datuk empat penjuru, Tung-hai-sian Bin Mo To adalah seorang tokoh yang nampak kebesaran dan keangkerannya sebagai datuk wilayah timur, dan memang kakek itu memiliki kepandaian yang hebat. Pak-san-kui Siangkoan Tiang juga pantas dinamakan datuk wilayah utara karena memang memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, juga mempunyai pengaruh dan wibawa yang tak dapat dibantah lagi kekuatannya.

   Demikian pula See-thian-ong amat gagah perkasa dan menyeramkan, pantas menjadi datuk wilayah barat. Akan tetapi mengapa datuk wilayah selatan hanya seorang nenek tua renta seperti ini. Nampaknya lemah dan sudah pikun. Melawan seorang nenek seperti ini saja sudah merupakan hal yang memalukan. Akan tetapi, melihat sikap nenek ini yang agaknya sama sekali tidak mempedulikannya, diam-diam Thian Sin merasa penasaran sekali. Dia terbatuk beberapa kali untuk menarik perhatian nenek pikun itu, akan tetapi nenek itu agaknya tidak mendengarnya. Ketika Thian Sin mengulangi batuknya, nenek itu mengerutkan alisnya, tanpa menengok ia berkata kepada seorang di antara lima orang gadis cantik itu.

   "A-bwee, suara apakah itu? Tikus? Anjing?"

   Thian Sin mendongkol sekali. Dia dianggap tikus atau anjjng! Dan lima orang gadis cantik itu tidak menjawab, melainkan menutupi mulut mereka dengan saputangan sutera untuk menyembunyikan senyum dan tawa mereka. Hal ini saja sudah membuat Thian Sin mengerti bahwa Si Nenek memang sengaja hendak menghina, mempermainkan dan memandang rendah kepadanya. Tentu saja dia menjadi semakin gemas.
(Lanjut ke Jilid 32)
Pendekar Sadis (Seri ke 05 "

   Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 32
"Nenek tua bangka! Apakah engkau yang berjuluk Lam-sin?"

   Akhirnya dia bertanya dengan suara nyaring. Dia melihat betapa wajah lima orang gadis itu menjadi pucat dan mereka memandang kepada nenek itu dengan sinar mata mengandung kengerian. Dari sikap ini saja Thian Sin maklum bahwa kata-katanya itu tentu luar biasa sekali, dan agaknya nenek ini amat ditakuti, maka gembiralah dia dapat membalas dengan cara demikian. Thian Sin, dan tangan yang menjepit sumpit itu nampak gemetar. Akan tetapi sebentar saja lalu sumpit itu melanjutkan pekerjaannya menjepit makanan. Tanpa menoleh, nenek itu berkata dengan suaranya yang lirih namun halus,

   "Bocah ingusan, apakah engkau yang berjuluk Pendekar Sadis?"

   Kembali Thian Sin merasa mendongkol sekali. Nenek ini sungguh memandang rendah kepadanya, menyebutnya bocah ingusan! Sekaligus, rasa gembira karena perasaan menang dengan pertanyaannya yang menghina itu lenyap, dan hatinya merasa semakin panas. Akan tetapi dia menjawab juga.

   "Benar, akulah yang dijuluki Pendekar Sadis!"

   "Dan akulah yang dijuluki Lam-sin!"

   "Huh, tidak pantas seorang nenek tua bangka yang lemah dijuluki Malaikat Selatan, datuk kaum sesat di dunia selatan!"

   "Heh, engkau lebih tidak patut lagi dijuluki Pendekar Sadis, karena engkau hanya seorang kanak-kanak hijau yang pantasnya hanya menjadi kacung di sekolah yang berusaha meniru lagak seorang siucai!"

   Hampir meledak rasanya dada Thian Sin saking mendongkolnya. Nenek ini ternyata seorang yang pandai berdebat dan pandai menghina. Teringatlah Thian Sin bahwa semakin tua wanita, semakin cerewet, maka dia pikir kalau harus berdebat adu mulut, dia akan kalah. Lebih baik menghentikan adu sindir-menyindir agar dia tidak menjadi semakin mendongkol.

   "Lam-sin, engkau telah mengundangku dan aku sudah datang! Nah, engkau mengundangku mau apakah?"

   Nenek itu menengok ke kiri, ke arah pemuda itu. Thian Sin kini melihat dari samping sebuah wajah yang berkeriputan kedua pipinya, dengan hidung kecil dan bibir kering mengejek.

   "Aku sedang makan, apa engkau tidak melihatnya? Aku tidak bisa bicara sambil makan, dan karena kau datang pada saat aku makan maka aku mengundangmu untuk makan bersamaku. Tidak tahu apakah engkau berani makan bersamaku dan apakah engkau masih ada selera makan menghadapi kematianmu."

   Thian Sin merasa dipandang rendah sekali dan ditantang. Seolah-olah nenek ini sudah merasa begitu yakin bahwa sebentar lagi nenek itu akan mampu membunuhnya. Dia melangkah maju dan berkata dengan nada tidak kalah mengejeknya,

   "Memang sebaiknya orang yang akan mati makan dulu sekenyangnya. Dan aku memang senang menemani calon pecundangku makan bersama. Hendak kulihat racun apa yang hendak kau serahkan dan gunakan untuk bertindak curang."

   Dan Thian Sinpun lalu duduk menghadapi meja makan, mengambil bangku yang berhadapan dengan nenek itu sehingga mereka kini dapat saling pandang, terhalang meja makan yang penuh dengan bermacam-macam masakan yang masih mengepulkan uap dengan bau yang sedap.

   Tidak kurang dari dua puluh macam masakan sedap yang masih panas-panas terhidang di atas meja itu, disamping arak dan anggur wangi. Akan tetapi, setelah kini mereka duduk saling berhadapan dan melihat sinar mata nenek itu, diam-diam Thian Sin terkejut bukan main dan merasa serem sehingga bulu kuduknya meremang. Nenek ini dilihat dari jauh nampak seperti seorang nenek tua renta yang lemah dan biasa saja, sama sekali tidak menimbulkan segan. Akan tetapi begitu dia saling pandang dengan nenek itu, dia melihat sinar mata yang luar biasa, sepasang mata yang begitu tajam dan mencorong penuh wibawa, sepasang mata yang terang dan jernih, tidak pantas dimiliki seorang nenek tua renta, sepantasnya menjadi mata seorang anak kecil yang masih bersih batinnya!

   Kontras antara wajah tua keriputan dan sinar mata inilah yang membuat nenek itu amat berwibawa dan juga amat menyeramkan, juga menakutkan. Kini Thian Sin tidak merasa heran lagi mengapa lima orang gadis pelayan itu kelihatan begitu ketakutan tadi melihat betapa dia berani mengeluarkan kata-kata menghina kepada nenek luar biasa ini. Setelah sejenak saling pandang dan nenek itupun agaknya nampak tercengang setelah menatap wajah pemuda itu karena agaknya baru pertama kali inilah dia melihat wajah pemuda itu dengan jelas, saling berhadapan dalam jarak yang tidak jauh, nenek itu sampai lama tidak mengeluarkan kata-kata. Sinar matanya seperti menjelajahi seluruh bagian muka Thian Sin. Setelah pemuda itu tersenyum seperti mengejek, barulah nenek itu nampak gugup dan sambil menoleh kepada para pelayannya ia berkata,

   "Nyalakan lampu, tak enak makan agak gelap begini!"

   Memang saat itu sudah menjelang senja dan cuaca di dalam ruangan makan itu yang jendela-jendelanya menghadap ke timur sudah tidak kebagian sinar matahari lagi dan menjadi agak remang-remang. Dua orang pelayan sibuk menyalakan beberapa buah lampu yang digantung di sudut-sudut ruangan itu dan sebentar saja ruangan itu menjadi terang. Karena lampu-lampu itu ditutup kain warna-warni, ada yang merah, ada yang kuning, ada yang biru dan hijau, maka suasana berubah menjadi romantis dan indah sekali, sungguhpun wajah nenek yang keriputan itu menjadi semakin jelas setelah tertimpa sinar yang berwarna-warni itu. Sebaliknya wajah lima orang gadis pelayan menjadi semakin manis dan bercahaya, dan demikian pula Thian Sin nampak semakin ganteng.

   "Tuangkan arak untuk Pendekar Sadis!"

   Kata pula nenek itu yang cepat ditaati oleh seorang pelayan. Ketika pelayan yang berbaju ungu ini mendekat dan menuangkan arak ke dalam cawan di depan Thian Sin, pemuda ini mencium bau harum semerbak keluar dari lengan baju gadis, itu.

   Akan tetapi dia bersikap tenang dan tidak memandang wajah halus cantik yang dekat dengannya itu, melainkan dia tetap mengamati gerak-gerik nenek di depannya karena dia maklum bahwa orang seperti nenek itu yang menjadi datuk kaum sesat, mempunyai watak aneh yang tidak terduga-duga. Dia tidak akan merasa heran kalau pada saat dia mencurahkan perhatiannya kepada lain hal, misalnya kepada gadis pelayan cantik itu, Si Nenek akan tiba-tiba melakukan serangan gelap yang amat berbahaya. Maka, dia tetap memandang wajah nenek itu. Baru setelah gadis itu memenuhi cawan araknya dan mundur, Thian Sin melirik ke cawan araknya yang sudah penuh dengan arak wangi. Nenek itu tersenyum dan mulutnya menjadi miring, bibirnya tinggi dan sepasang mata itu berkilat-kilat.

   "Pendekar Sadis, beranikah engkau minum arak dalam cawanmu itu?"

   Berkata demikian, nenek itu mengisi cawannya sendiri dengan arak sampai penuh, dari guci arak yang sama. Thian Sin adalah seorang pemuda yang selain berkepandaian tinggi, juga amat cerdik. Dia maklum bahwa seorang datuk besar seperti nenek ini yang sudah berani mengangkat diri sebagai datuk wilayah selatan, yang merajai seluruh wilayah selatan, biasanya, seperti para datuk lain, memiliki ketinggian hati yang luar biasa.

   Seorang datuk sudah terlalu percaya kepada dirinya sendiri dan selalu menjaga kehormatan namanya sebagai seorang yang berada di tingkatan atas. Maka, kiranya tidak mungkinlah kalau seorang datuk seperti Lam-sin ini akan sudi menggunakan racun, suatu perbuatan yang amat rendah dan hanya dilakukan golongan penjahat rendahan saja. Perbuatan seperti ini akan menghancurkan nama besarnya sendiri dan Lam-sin tentu akan menggunakan kepandaiannya untuk menjatuhkannya, bukan dengan menggunakan racun. Apalagi Lam-sin belum pernah mencoba sendiri kepandaiannya sehingga datuk ini tidak mungkin merasa gentar kepadanya sehingga sampai begitu merendahkan diri menggunakan bantuan racun. Dengan pikiran ini, Thian Sin tersenyum memandang kepadanya.

   "Andaikata engkau menggunakan racun, Lam-sin, maka aku akan mati sebagai pendekar gagah perkasa yang tidak takut akan kecuranganmu, akan tetapi sebaliknya engkau akan hidup sebagai seorang datuk yang paling rendah di dunia ini, akan dikutuk sebagai seorang datuk yang wataknya tidak lebih tinggi daripada seorang penjahat yang paling hina sekalipun! Nah, takut apa minum arak suguhanmu?"

   Berkata demikian, Thian Sin mengangkat cawan araknya dan minum arak itu sampai habis.

   "Heh-heh-heh, bagus sekali. Engkau memang cukup bernyali!"

   Nenek itupun lalu minum araknya, akan tetapi bukan seperti lagak seorang jago minum yang kawakan, melainkan seperti seorang nenek lemah yang tidak begitu suka minum arak. Arak di cawan itu hanya diteguk seperempat saja, lalu ia letakkan kembali cawannya di atas meja.

   "Nah, silakan, Pendekar Sadis. Makanlah seadanya dan jangan malu-malu, setelah kita makan baru kita bicara nanti!"

   Dan mereka berdua makanlah. Sungguh luar biasa sekali suasana di saat itu. Dua orang tokoh silat yang pada masa itu mendatangkan rasa serem di hati siapapun jugap bahkan para pendekar menjadi kecil nyalinya apabila mendengar nama mereka, duduk berhadapan sambil makan bersama! Padahal, keduanya sudah saling tantang-menantang dan dapat dibayangkan bahwa tak lama lagi mereka itu akan saling serang dan saling berusaha untuk membunuh lawan. Namun, melihat betapa mereka itu duduk semeja menghadapi hidangan yang banyak macamnya, makan dengan selera yang balk dan kelihatan enak,

   
Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Seolah-olah mereka berdua itu bukan dua orang lawan yang sebentar lagi akan mengadu nyawa melainkan seperti dua orang sahabat lama yang saling jumpa dan kini merayakan perjumpaan mereka dengan gembira! Dan anehnya, mereka itu makan tanpa saling pandang, tanpa mengeluarkan sepatahpun kata. Keduanya makan dengan enak, menyumpit sayur ini dan daging itu, tanpa saling menawarkan, seolah-olah mereka itu berlumba makan. Biarpun keduanya nampak makan bersama, namun terasa suatu tegangan luar biasa diantara mereka, bahkan lima orang pelayan yang berada di pinggiran itu dapat merasakan ketegangan luar biasa yang memenuhi kamar itu. Ketegangan yang panas dan yang sebentar lagi akan meledak menjadi suatu perkelahian seru dan mati-matian antara kedua orang yang kini makan minum bersama itu.

   Thian Sin makan lebih banyak, juga minum arak lebih banyak. Nenek itu biarpun kelihatan makan dengan sama gembiranya, akan tetapi sepasang sumpitnya hanya mendorong nasi sedikit demi sedikit saja, juga mengambil sayur atau daging yang kecil-kecil potongannya. Malah araknyapun dilanjutkan dengan anggur yang tidak begitu keras. Akhirnya, keduanya meletakkan sumpit dan mangkok kosong di atas meja, merasa puas dan kenyang. Setelah membersihkan mulut dengan minum teh yang dihidangkan oleh para pelayan, keduanya duduk diam seperti orang bersamadhi sementara lima orang pelayan yang tahu akan kewajiban mereka itu, maklum bahwa makan minum telah selesai dan mereka tanpa diperintah lagi membersihkan meja, membawa pergi sisa-sisa makanan sehingga sebentar saja meja makan itupun bersih dan tidak ada sedikitpun sisa makanan. Bersih mengkilap setelah digosok kain.

   "Keluarlah kalian, tinggalkan kami sendiri,"

   Tiba-tiba nenek itu berkata kepada lima orang pelayannya dan sungguh aneh, nada suaranya seperti orang yang merasa tak senang. Lima orang pelayan itu saling pandang, nampak ragu-ragu.

   "Dan para pengawal...?"

   Tanya Si Baju Ungu.

   "Tinggalkan! Pergilah kalian semua dan jangan perbolehkan siapapun juga memasuki rumahku. Dan kalian jangan keluar dari kamar kalau tidak kupanggil!"

   "Baik, pangcu..."

   Jawab mereka berlima dengan sikap takut-takut karena nenek itu kelihatan marah.

   Setelah menjura ke arah Thian Sin merekapun segera pergi dari situ, dengan langkah ringan dan cepat tanda bahwa mereka berlima itu bukanlah wanita-wanita cantik lemah. Hal inipun dimengerti oleh Thian Sin semenjak dua di antara mereka tadi menyambutnya. Nenek ini sungguh tinggi hati, pikirnya. Begitu pasti akan dapat memenangkan sehingga ia tak mau dibantu oleh siapapun juga! Pantaslah menjadi datuk kaum sesat. Dan agaknya memang tentu memiliki ilmu yang hebat maka berani bersikap sesombong ini. Setelah lima orang pelayannya itu pergi dan meninggalkan mereka berdua saja, nenek itu lalu mengangkat muka memandang kepada Thian Sin. Pemuda itupun balas memandang dan menanti dengan sikap waspada. Karena nyonya rumah belum bangkit, diapun masih enak-enak saja duduk, berhadapan dengan nenek itu, terhalang meja.

   "Nah, sekarang kita hanya berdua saja di sini. Gedung ini kosong sama sekali, hanya ada kita berdua. Percayakah engkau bahwa Lam-sin bukanlah penjahat kecil yang curang?"

   Thian Sin tersenyum dan mengangguk.

   "Sampai detik ini memang benar demikian, akan tetapi untuk menentukannya harus ditunggu sampai saat terakhir."

   Lam-sin mengeluarkan suara mendengus dari hidungnya.

   "Huh, aku tidak pernah membunuh orang tanpa alasan, juga tidak sudi mengotorkan tangan pada orang yang tidak ada nama dan tidak kuketahui riwayatnya. Walaupun jangan dikira bahwa aku tidak dapat menebak siapa adanya engkau ini, Pendekar Sadis!"

   Thian Sin tersenyum mengejek. Dia tidak percaya bahwa nenek yang belum pernah dijumpai selamanya ini dapat tahu siapa dia sesungguhnya. Karena tidak ada yang tahu siapakah sebenarnya Pendekar Sadis. Paling-paling nenek ini hanya tahu bahwa dia adalah Pendekar Sadis.

   "Benarkah engkau tahu siapa diriku sebenarnya?"

   Thian Sin memancing dengan suara menantang.

   "Kalau aku dapat mengetahui siapa dirimu, tahu pula mengapa engkau mencariku dan mengapa engkau memusuhi Bu-tek Kai-pang, kalau aku tahu pula semua riwayatmu sejak kau kecil, siapa orang tuamu. Nah, kalau aku tahu semua itu, maukah engkau mendengarkan semua kata-kataku dan menemaniku bercakap-cakap, sebelum kita sampai pada akhir tujuan pertemuan ini, yaitu bertanding mati-matian untuk menentukan siapa yang menang siapa kalah di antara kita?"

   Cerewetnya nenek ini, pikir Thian Sin sebal. Akan tetapi dia tertarik juga. Tidak mungkin nenek ini mengetahui semua itu tentang dirinya.

   "Baik, nah coba kau katakan sekarang siapa aku."

   "Namamu adalah Ceng Thian Sin. Benarkah?"

   Thian Sin memandang dengan sepasang mata terbelalak. Nenek ini menyebut namanya seolah-olah nama itu tidak asing baginya.

   "Dan engkau adalah putra tunggal dari Pangeran Ceng Hen Houw. Ibumu adalah keturunan Cin-ling-pai. Benarkah?"

   Thian Sin memandang dan menatap sepasang mata yang bersinar-sinar itu. Luar biasa sekali nenek ini.

   "Hemmm, kiranya engkau memiliki jaringan mata-mata yang amat luas, Lam-sin. Aku tidak perlu menyangkal, memang benarlah semua yang kau katakan itu. Nah, selanjutnya bagaimana?"

   "Ayah bundamu meninggal karena dikeroyok oleh pasukan dan setelah engkau mempelajari banyak ilmu, engkau lalu membalas kematian ayah bundamu dan engkau membasmi musuh-musuh mereka, termasuk ketua-ketua Hwa-i Kai-pang dan Tok-ciang Sian-jin, dan karena hatimu sakit maka engkau menjadi kejam terhadap musuh-musuhmu dan engkau menjadi Pendekar Sadis. Benarkah?"

   Thian Sin bangkit berdiri, akan tetapi lalu duduk kembali. Ini sudah keterlaluan! Bagaimana nenek ini sampai dapat mengetahui segala hal itu tentang dirinya?

   "Aku tidak dapat menyangkalnya pula dan hanya iblis yang tahu bagaimana engkau dapat mengetahui semua itu. Dan ingin kudengar apakah engkau juga tahu mengapa aku mencarimu? Mengapa aku menantangmu?"

   Nenek itu menyeringai yang tentu saja dimaksudkan tersenyum. Thian Sin membuang pandang matanya agar tidak usah melihat keburukan muka itu terlalu lama ketika Si Nenek menyeringai. Lalu nenek itu berkata,

   "Aha, itu mudah saja. Engkau sengaja memancing dan sengaja mengacau dan menghina Bu-tek Kai-pang untuk memancing aku keluar, bukan? Dan engkau mempergunakan Thi-khi-i-beng untuk mengalahkan tiga orang ketua pembantuku."

   "Hemm, jadi engkaukah kiranya bayangan itu yang menyerangku dengan dua kerikil kecil?"

   "Hanya untuk memperingatkan padamu bahwa aku tahu tentang Thi-khi-i-beng dan aku tidak takut menghadapinya! Heh-heh, dan kau kira engkau akan dapat lolos sekiranya aku mempergunakan Bu-tek Kai-pang mengeroyokmu dan aku sendiri keluar?"

   "Hemm, kenapa tidak kau lakukan kecurangan itu! Sekarangpun masih belum terlambat. Kalau kau hendak mengerahkan anak buahmu untuk mengeroyokku, akupun tidak takut, Lam-sin. Karena agaknya engkau tahu semua tentang diriku, tentu engkau tahu pula mengapa aku menantangmu dan tahu bahwa aku tidak akan undur selangkahpun andaikata engkau mengeroyokku."

   "Tentu saja aku tahu. Engkau datang untuk membalaskan kematian keluarga Ciu Khai Sun, bukan? Engkau datang untuk mencari pula Ciu Lian Hong, bukan? Heh-heh-heh!"

   Thian Sin bangkit berdiri dan memandang tajam.

   "Lam-sin! Kalau engkau menyembunyikan Hong-moi atau mengganggunya, aku akan..."

   Lam-sin masih menyeringai ketika ia mengeluarkan selipat surat.

   "Aku sudah cukup bicara, lebih baik engkau membaca sendiri surat dari Lian Hong yang sengaja ditulisnya untukmu ini!"

   Thian Sin terlalu kaget dan heran mendengar ucapan ini sampai dia tidak mampu mengetuarkan sebuah katapun melainkan menerima lipatan kertas itu, lalu dibuka dan dibacanya. Surat itu singkat saja, ditulis dan ditandatangani oleh Lian Hong, dan memang ditujukan kepadanya.

   Sin-ko,

   Lam-sin adalah suboku dan juga subo Lam-sin yang menyelamatkan aku ketika terjadi penyerbuan keluargaku.

   Ciu Lian Hong.

   Sambil membaca surat itu sekali lagi, Thian Sin merasa jantungnya berdebar keras. Kemudian, setelah dia merasa yakin bahwa dia tidak salah baca, dia mengepal kertas itu dan memandang Lam-sin.

   "Bagaimana aku dapat merasa yakin bahwa ini tulisan Hong-moi? Aku tidak pernah mengenal tulisannya."

   "Terserah kepadamu. Itu juga bukan aku yang minta, melainkan ia sendiri yang meninggalkan surat, katanya untuk mencegah kesalahfahaman seperti yang terjadi ketika pemuda bernama Cia Han Tiong, putera Pendekar Lembah Naga itu datang ke sini."

   "Apa? Tiong-ko sudah datang ke sini?"

   "Ya, malah juga Pendekar Lembah Naga dan isterinya. Mereka bertiga membawa pergi muridku begitu saja. Keluarga sombong dan tinggi hati! Huh, mual aku mengingat kesombongan mereka!"

   Dan memang nenek itu masih merasa sakit hatinya kalau mengingat betapa keluarga itu memandang rendah kepadanya, bahkan menolak untuk diajak berkenalan dan bersahabat!

   Thian Sin termenung. Hatinya kecewa bukan main. Lagi-lagi Han Tiong yang menang, kalau pencarian mereka terhadap diri Lian Hong dapat dikatakan suatu perlumbaan. Kakak angkatnya itu yang lebih dulu menolong Lian Hong walaupun Lian Hohg agaknya tidak terancam bahaya, malah ditolong dan menjadi murid Lam-sin!

   Saking kecewanya, Thian Sin menjatuhkan dirinya duduk di atas bangku lagi, tak dapat berkata apa-apa dan berulang kali menarik hapas panjang dengan wajah muram tanpa disadarinya sendiri. Akan tetapi sepasang mata nenek itu sejak tadi mengikuti semua gerak-gerik dan sikapnya, dan tiba-tiba nenek itu terkekeh. Suara ketawa ini seperti menarik Thian Sin kembali ke alam sadar dan dia memandang kepada nenek itu, kini dengan pandangan lain karena ternyata nenek ini adalah penolong, malah menjadi guru Lian Hong. Tentu saja kedudukan ini membuat nenek ini menjadi seorang yang lain lagi, sukar dianggap sebagai musuh! Apalagi dia tadinya menganggap nenek ini sebagai musuh untuk membalaskan sakit hati Lian Hong, siapa kira dara itu malah diselamatkan olehnya dan malah diambil sebagai murid!

   "Heh-heh-heh, tak usah menjadi patah hati, orang muda. Dunia tidak hanya sesempit telapak tangan, melainkan luas sekali dan di dunia ini, selain Lian Hong, masih banyak terdapat wanita lain!"

   Thian Sin terkejut sekali mendengar ini.

   "Apa...? Apa maksudmu...?"

   "Maksudku sudah jelas, engkau mencinta Lian Hong dan merasa kecewa karena kedahuluan Cia Han Tiong."

   Kata-kata itu cepat sekali menghantam perasaan Thian Sin karena memang demikianlah keadaan hatinya. Dia memandang tajam. Setankah nenek ini sehingga tahu akan segala hal mengenai dirinya, bahkan tahu juga apa yang terasa oleh hatinya pada saat itu? Akan tetapi dia cepat menggeleng kepala dan membantah.

   "Tidak, engkau salah. Hong-moi itu adalah tunangan Tiong-ko, calon isterinya. Sudah sepatutnya kalau ia pergi bersama Tiong-ko dan keluarga Cia."

   "Hemm, tak perlu kau berbohong. Engkau nampak muram dan kecewa, juga berduka. Apalagi kalau bukan karena patah hati? Seorang wanita tua seperti aku dapat dengan mudah melihat kenyataan itu!"

   "Engkau keliru. Aku memang berduka karena aku merasa betapa hidupku sebatangkara di dunia ini."

   Thian Sin menarik napas panjang dan benar-benar dia merasa betapa dia kesepian, tiada seorangpun yang mencintanya! Sejenak mereka diam. Kalau Thian Sin tenggelam ke dalam kekecewaan dan kesedihan, nenek itupun tenggelam ke dalam lamunan. Tiba-tiba nenek itu berkata, suaranya halus dan ramah.

   "Ceng Thian Sin, kita ini sama!"

   Thian Sin memandang heran.

   "Sama? Sama bagaimana?"

   "Sama sebatangkara, sama kesepian."

   "Ah, tidak mungkin! Engkau adalah Lam-sin, datuk wilayah selatan, ketua dari Bu-tek Kai-pang. Engkau dilayani dan dihormati oleh banyak anak buahmu, bagaimana engkau bisa sebatangkara dan kesepian?"

   "Huh, apa itu Bu-tek Kai-pang? Sebelum aku tiba di sini, perkumpulan itu sudah ada. Aku hanya menundukkannya saja, dan aku tidak peduli dengan mereka. Bu-tek Kai-pang bukan apa-apa bagiku, melainkan bekas lawan yang sudah menyerah. Aku sungguh sebatangkara dan kesepian, tiada bedanya dengan dirimu, Ceng Thian Sin."

   Pemuda itu memandang kepada nenek yang luar biasa itu penuh perhatian. Sukar untuk dapat diterimanya betapa seorang datuk seperti nenek ini, yang kaya raya dan juga berpengaruh, memiliki kedudukan tinggi dan kekuasaan tak terbatas di selatan, dapat hidup kesepian dan berduka!

   "Apakah engkau tidak mempunyai keluarga? Suami, anak atau cucu?"

   Nenek itu menggeleng kepala.

   "Aku hanya sebatangkara, seperti engkau. Aku... aku tidak pernah tidak mempunyai keluarga..."

   Thian Sin terkejut. Kalau seorang nenek setua ini tidak pernah menikah, tentu saja tidak memiliki anggota keluarga seorangpun. Lalu ia menggeleng kepala dan menarik napas.

   "Sukar dapat dipercaya bahwa seorang datuk seperti engkau dapat hidup menderita duka."

   Nenek itu terkekeh.

   "Sudah cukup segala cerita sedih ini. Nah, aku sudah dapat mengenal semua keadaanmu, bukan? Sekarang engkau harus memenuhi permintaanku, menemaniku bercakap-cakap sebelum kita bertanding. Nah, mari kuperlihatkan engkau keadaan istana kecilku ini. Engkau adalah seorang tamuku sebelum kita nanti berhadapan sebagai lawan."

   

Pendekar Lembah Naga Eps 25 Pendekar Lembah Naga Eps 31 Pendekar Lembah Naga Eps 48

Cari Blog Ini