Kumbang Penghisap Kembang 1
Si Kumbang Merah Penghisap Kembang Karya Kho Ping Hoo Bagian 1
Ang Hong Cu (Seri ke 10 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 01
Pria itu usianya sudah limapuluh lima tahun, akan tetapi masih nampak tampan, gagah dengan pakaiannya yang rapi, dengan rambutnya yang sudah terhias uban itu tersisir rapi dan halus mengkilap oleh minyak harum. Sepasang matanya memancarkan gairah dan kegembiraan hidup, mulutnya selalu tersenyum dan wajahnya tidak dikotori kumis atau jenggot karena dicukur licin halus seperti wajah seorang pemuda. Dengan langkah-langkah santai dia menuruni bukit pada pagi hari itu, menyongsong matahari pagi yang baru muncul dari balik bukit di depan. Pagi yang cerah itu menambah kegembiraan pria yang tampan gagah itu, dan agaknya kegembiraan pula yang mendorongnya untuk bernyanyi di tempat yang sunyi itu. Suaranya lepas dan merdu, dan lagunya juga gembira.
"Bebas lepas beterbangan
dari taman ke taman
mencari kembang harum jelita
untuk kuhisap sari madunya
setelah puas kumenikmatinya
kutinggalkan kembang layu merana
untuk mencari kembang segar yang baru
Si Kumbang Merah, inilah aku!"
Pria itu bernyanyi dengan suara lantang. Padahal, kalau nyanyiannya itu terdengar orang, apalagi tertangkap oleh pendengaran seorang pendekar, tentu dia akan menghadapi kesulitan. Di dunia persilatan, nama Si Kumbang Merah sudah amat terkenal. Ang-hong-cu (si Kumbang Merah) adalah nama seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga), yaitu penjahat cabul yang suka mempermainkan dan memperkosa wanita, yang dimusuhi oleh semua pendekar. Di dijuluki si Kumbang Merah karena setelah meninggalkan korbannya, baik yang masih hidup maupun yang sudah mati, dia selalu meninggalkan pula tanda mata berupa perhiasan berbentuk kumbang merah terbuat daripada tembaga berlapis emas. Jarang ada yang sempat melihat mukanya, karena penjahat ini bekerja cepat, memperkosa wanita dalam kegelapan atau kalau hal itu dilakukan di siang hari, dia selalu menyembunyikan mukanya di balik bermacam topeng.
Selain tinggi ilmu silatnya, Ang-hong-cu inipun ahli dalam hal menyamar sehingga mukanya dapat berubah-ubah dan tidak ada yang pernah melihat wajahnya yang asli. Karena inilah, maka semenjak dia malang-melintang di dunia kang-ouw dan menjadi seorang jai-hwa-cat yang telah mengorbankan banyak sekali gadis atau isteri orang, ratusan mungkin sudah ribuan, dia selalu dapat lolos dari pengejaran para pendekar yang berusaha untuk menangkap atau membunuhnya. Siapakah pria berusia limapuluh lima tahun yang berjuluk Ang-hong-cu dan yang di benci oleh semua pendekar ini? Dan kenapa pula seorang yang memilki ilmu kepandaian tinggi, wajah yang tampan gagah, seperti dia itu, yang juga agaknya pandai membuat sajak, tanda bahwa dia berpendidikan, dapat menjadi seorang penjahat cabul yang demikian kejam dan ganas? Mari kita menengok kebelakang untuk melihat riwayat hidup Ang-hong-cu ini, semenjak dia masih kanak-kanak.
Tang Siok adalah seorang pejabat tinggi yang mempunyai kedudukan penting di kota raja. Pada waktu itu, Kaisar Ceng Tek baru saja dinobatkan menjadi kaisar dalam usia lima belas tahun, dan karena kaisar yang amat muda ini sama sekali tidak berwibawa, dan hanya mengejar kesenangan, maka tentu saja pengawasan terhadap para pembesar amatlah kurang. Hal ini membuat para pejabat berlaku sewenang-wenang terhadap rakyat, berlomba untuk menggendutkan kantung uang dan perut sendiri. Tidak ketinggalan Tang Siok atau Tang-taijin. Dia hidup mewah dan biarpun usianya sudah lebih dari setengah abad, dia masih saja menambah penghuni harem-nya yang sudah penuh dengan selir-selir yang cantik jelita dan muda belia, diantara para selirnya, yang paling disayang adalah Kui Hui, seorang wanita cantik menarik dan pandai memikat hati. Kui Hui menjadi selir Tang-taijin ketika ia berusia tujuh belas tahun.
Kini ia telah berusia duapuluh enam tahun dan mempunyai seorang anak laki-laki berusia tujuh tahun yang di beri nama Tang Bun An. Karena dapat mempunyai anak laki-laki inilah agaknya yang membuat Tang Siok semakin sayang kepadanya. Selir cantik ini dimanja, lebih daripada selir lainnya, bahkan lebih daripada isteri pertamanya. Karena itu, tentu saja para selir merasa iri hati, namun tak seorangpun berani menantang atau menyatakan kebencian mereka terhadap Kui Hui dengan berterang. Tang-taijin yang sudah berusia enam puluh tahun ketika Kui Hui berusia dua puluh enam tahun itu, juga amat sayang kepada Tang Bu An. Sejak kecil Tang Bun An dimanja oleh ayah dan ibunya dan dia memperoleh pendidikan yang baik, mempelajari ilmu baca tulisn dari seorang guru sastra yang dipanggil oleh ayahnya untuk mengajar Tang Bun An dan saudara-saudara tirinya.
Dia merupakan anak yang paling tampan di antara para saudaranya, dan hal inilah yang membuat ayahnya paling sayang kepadanya. Apalagi selain tampan, ternyata Tang Bun An juga memiliki otak yang cerdas sekali dan dia selalu menonjol dalam mata pelajaran baca dan tulis. Bahkan dalam usianya yang tujuh tahun itu, dia mulai pandai membuat sajak dan syair berpasangan, suatu bentuk kesenian yang membutuhkan penguasaan bahasa, keahlian menulis dan bakat seni yang besar. Akan tetapi, tiada satupun yang sempurna di dunia ini, dan tiada satupun yang kekal. Keadaan yang penuh kemuliaan dan kebahagiaan itu tiba-tiba saja mengalami perubahan yang tidak disangka-sangka oleh Tang Bun An. Anak ini tidak tahu betapa ibu kandungnya mulai merasakan penderitaan hidup dengan semakin menuanya suaminya.
Sebagai seorang wanita cantik jelita berusia duapuluh enam tahun, yang menerima pandang mata penuh kagum dari banyak mata pria muda. Kui Hui tentu saja masih memiliki gairah yang besar. Oleh karena itu, mulailah ia merasa kesepian ketika Tang Siok semakin lama semakin lemah dan tidak hangat lagi seperti dulu-dulu, bahkan semakin jarang tidur di dalam kamar selir tersayang ini. Bukan karena Tang Siok sudah bosan kepadanya, melainkan karena akhir-akhir ini, kesehatan Tang Siok memang menurun banyak. Hal ini mungkin saja di sebabkan karena sewaktu mudanya, dia terlalu mengumbar nafsu sehingga dalam usia enampuluh tahun, dia mulai loyo. Agaknya, perasaan kesepian ditambah dorongan gairahnya yang masih menyala-nyala, maka mudah bagi setan untuk menggoda wanita muda ini.
Di dalam gedung Tang-taijin yang besar dan luas seperti istana, terdapat belasan orang pengawal di sebelah dalam gedung, dan lebih banyak lagi pengawal jaga di luar gedung. Mereka bertugas menjaga keselamatan Tang-taijin sekeluarga. Diantara para pengawal dalam itu terdapat komandan pengawal bernama Ma Cun, seorang laki-laki berusia tigapuluh tahun lebih, tinggi besar dan tampan gagah seperti tokoh Si Jin Kui dalam dongeng. Mula-mula dua pasang mata bertemu pandang sekilas saja yang akhirnya dengan muka ditundukkan oleh Kui Hui sebagai seorang wanita, dan pandang mata dialihkan oleh Ma Cun yang merasa rikuh sebagai seorang pegawai, terhadap nyonya majikannya. Akan tetapi, api gairah cinta mulai membara di dalam lubuk hati masing-masing. Pada kesempatan lain, adu pandang mata itu berlangsung lebih lama, kemudian disusul dengan iringan senyum simpul. Saling tertarik antara pria dan wanita adalah suatu hal yang wajar.
Sudah menjadi pembawaan setiap orang manusia untuk tertarik kepada lawan jenisnya. Hal ini memang penting untuk mendorong dua orang berlawanan jenis saling berdekatan sehingga terjadi hubungan antara keduanya yang menjadi sarana perkembang-biakan manusia di permukaan bumi. Akan tetapi, manusia adalah satu-satunya makhluk yang berakal budi sehingga membentuk hukum dan tata susila, meletakkan batas-batas dan mengenal apa yang mereka namakan baik dan buruk sesuai dengan kebiasaan atau hukum yang dibentuk lingkungannya. Saling tertarik antara pria dan wanita ini biasanya hanya diperbolehkan terjadi kelanjutannya bagi pria dan wanita yang masih bebas, yang belum terikat dalam keluarga sebagai suami isteri. Rasa saling tertarik itu akan segera diusir keluar lagi dari lubuk hati oleh seorang yang telah terikat menjadi suami atau isteri orang lain,
Terutama sekali bagi wanita yang telah menjadi isteri orang lain seperti Kui Hui. Mula-mula memang demikian. Namun, kesepian mendorongnya dan menggodanya. Akhirnya pertemuan yang dimulai dengan dua pasang mata saling beradu pandang itu berkelanjutan menjadi hubungan yang mesra antara Ma Cun dan Kui Hui yang tentu saja dilakukan dengan rahasia dan sembunyi-sembunyi. Hal ini tidak begitu sukar mereka lakukan karena Ma Cun memang seorang komandan atau pengawal dalam, sedangkan Kui Hui adalah selir tersayang yang bebas bergerak pula. Ditambah lagi jarangnya Tang-taijin datang berkunjung membuat kedua orang yang dimabok nafsu birahi itu leluasa menyalurkan gairah memuaskan birahi mereka. Pada suatu pagi, Bun An yang semestinya pergi ke ruangan belajar, pulang ke kamar ibunya tidak seperti biasa.
Kiranya, guru sastra hari itu jatuh sakit dan tidak mengajar, maka anak-anak itu diliburkan. Bun An berlari pulang ketempat tinggal ibunya yang merupakan bagian sebelah belakang kiri dari perumahan besar Tang-taijin dan langsung saja dia berlari memasuki kamar ibunya. Begitu membuka daun pintu, anak laki-laki yang baru berusia tujuh tahun itu terbelalak, mukanya berubah penuh keheranan. Biarpun dia belum begitu mengerti, namun melihat ibunya dalam keadaan bugil berada di atas pembaringan bersama perwira Ma Cun yang juga bugil, dia dapat menduga apa yang terjadi antara ibunya dan perwira itu. Pengertian yang timbul ketika dia melihat perkawinan binatang seperti ayam, cecak, anjing, kucing dan sebagainya ditambah percakapan sembunyi-sembunyi dengan kakak-kakak tirinya yang lebih tahu akan hal itu. Ibunya telah bermain cinta dengan Ma-ciangkun! Perasaannya tidak karuan, berbagai pikiran menyelinap dalam benaknya.
Kui Hui dan Ma Cun terkejut bukan main. Dalam desakan gairah yang menggelora, keduanya sampai lengah dan tidak dikuncinya pintu kamar dari dalam. Hal inipun wajar karena siapakah berani memasuki kamar Kui Hui tanpa ijin? Tang-taijin tak mungkin muncul di pagi hari itu, dan Bun An, satu-satunya orang yang berani masuk tanpa ijin selain Tang-taijin, sedang sibuk di ruang belajar. Sungguh tidak mereka sangka bahwa anak itu akan pulang lagi karena tidak jadi belajar. Setelah hilang rasa kaget yang membuat kedua orang yang sedang berjina itu seperti lumpuh, keduanya cepat meloncat turun dari pembaringan sambil membungkus tubuh dengan selimut. Kui Hui cepat menghampiri Bun An yang masih bengong, lalu menutup pintu dan mengunci dari dalam. Saking malu, kaget dan takutnya kalau sampai perbuatannya terlihat oleh orang lain dan terdengar oleh Tang-taijin, tangan ibu ini menampar kerah pipi puteranya.
"Plakk!!"
Tamparan itu keras sekali, membuat muka Bun An tersentak ke samping dan pipi kirinya menjadi biru kemerahan, matanya terbelalak, bukan hanya karena nyeri yang dideritanya, melainkan lebih lagi karena kagetnya. Belum pernah ia ditampar ibunya seperti sekarang ini.
"Bocah bengal! Mengapa kau berani membuka pintu ini? Kau... kau tidak belajar?"
Betak Kui Hui. Saking kagetnya, Bun An sejenak tidak mampu bicara, hanya memandang kepada ibunya dengan bengong, kedua matanya basah air mata.
"Hayo jawab!"
Bentak ibunya sambil mengguncang tubuhnya dengan mencengkeram pundak dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya memegangi selimut yang hanya menutupi setengah tubuhnya.
"Aku... aku... siang-seng sakit, tidak mengajar..."
Tiba-tiba Ma Cun yang mempergunakan kesempatan itu untuk mengenakan pakaian kembali secara tergesa-gesa sehingga terbalik-balik dan salah memasukkan kancing, sudah menghampiri Bun An. Tiba-tiba dia mencabut pedangnya dan tangan kirinya mencengkeram tengkuk anak itu, tangan kanan yang memegang pedang menempelkan mata pedang ke leher Bun An.
"Anak bodoh! Apa kau ingin aku menyembelih lehermu?"
Bentak Ma Cun. Perwira ini tiba-tiba saja bersikap keras karena takutnya. Kalau sampai anak ini membuka rahasia dan hubungannya dengan Kui Hui diketahui Tang-taijin, dia akan celaka. Tentu akan disiksa dan dibunuh. Karena takutnya, maka kini dia dapat bersikap kejam dan galak. Sedangkan Kui Hui sendiri juga karena takut rahasianya ketahuan, pada saat itu lupa akan kasih sayangnya kepada anaknya sendiri. Ia tahu bahwa tanpa diancam, Bun An tentu akan membuka rahasia itu dan kalau suaminya tahu bahwa ia berjina dengan Ma Cun, tentu ia akan celaka, disiksa dan dibunuh pula, setidaknya diusir dari situ, dari kemuliaan dan kemewahan! Wajah Bun An seketika pucat ketika pedang itu ditempelkan dilehernya. Baru sekali ini selama hidupnya dia merasa ketakutan. Dia tidak mampu menjawab hanya menggeleng-geleng kepalanya.
"Plakk!"
Kini tangan kiri Ma Cun menamparnya dan Bun An merasa kepalanya pening, semua yang dilihatnya berputar dan tubuhnya terpelating roboh terbanting keras.
"Hayo kau berjanji untuk tidak menceritakan apa yang kau lihat disini kepada siapapun juga!"
Bentak Ma Cun. Bun An hanya menggeleng-geleng kepala. Rambutnya dijambak oleh ibunya dan diapun ditarik bangkit berdiri, dia melihat wajah ibunya tidak seperti wajah cantik biasanya, melainkan nampak seperti wajah setan yang mengerikan. Hampir dia menjerit, akan tetapi segera ditahannya karena dia tahu bahwa sekali menjerit, Ma Cun dan ibunya akan membunuhnya.
"Bun An, hayo berjanji!"
Bentak ibunya sambil mengguncang-guncang tubuhnya. Dengan air mata bercucuran Bun An mengeluarkan kata-kata dengan gagap,
"Aku... aku berjanji..."
"Kau harus bersumpah!"
Kata pula Ma Cun dan pedangnya sudah mengancam dada anak itu untuk ditusukkan.
"Aku... aku bersumpah...,"
Kata Bun An ketakutan.
"Bersumpah apa? Hayo yang jelas!"
Bentak pula Ma Cun dan jari tangan Kui Hui menjiwir telinga kiri Bun An dengan keras sehingga anak itu menyeringai kesakitan.
"Ibu..., sakit!"
Bun An mengeluh.
"Lekas bersumpah katakan bahwa engkau tidak akan memberitahukan kepada siapapun juga apa yang kau lihat disini!"
Kui Hui juga membentak dan tidak melepaskan jiwirannya kepada telinga anaknya. Sungguh mengherankan sekali betapa seorang ibu yang tadinya amat sayang kepada puteranya, dalam keadaan ketakutan hebat berubah menjadi sedemikian kejamnya. Rasa takut memang dapat membuat orang menjadi kejam dan jahat. Bun An kini memandang kepada ibunya dan kepada Ma Cun bergantian, dan di dalam sinar matanya yang basah air mata itu, disamping rasa takut, juga terdapat perasaan benci yang luar biasa.
"Aku bersumpah tidak akan menceritakan kepada siapapun juga apa yang kulihat disini,"
Katanya. Jiwiran telinganya dilepaskan dan tiba-tiba saja Kui Hui merangkul anaknya dan menciumi sambil menangis.
"Kau anakku yang baik! Kau Bun An anak ibu tersayang. Ketahuilah, Bun An. Paman Ma Cun ini amat sayang kepada ibu, dan kepadamu juga. Akan tetapi kalau kau bicara tentang apa yang terjadi disini, kita semua termasuk kau akan celaka. Mengertikah kau anakku?"
Tentu saja Bun An tidak mengerti. Ibunya tadi menyiksanya, bersikap demikian kejam, dan sekarang tiba-tiba merangkulnya dan menciuminya. Entah bagaimana, dia merasa jijik dan menarik mukanya kebelakang agar tidak diciumi lagi oleh ibunya. Ma Cun menyimpan pedangnya. Kui Hui mengenakan pakaiannya. Perwira itu kini duduk di kursi dan menarik kedua tangan Bun An anak itu mendekat.
"Dengar, Bun An. Aku sayang kepada ibumu dan sayang kepadamu juga. Mulai sekarang, engkau harus ikut pula merahasiakan pertemuan antara ibumu dan aku, bahkan engkau harus membantu kami melakukan penjagaan agar kalau ada orang datang, engkau dapat memberitahu lebih dulu kepada kami. Mengertikah engkau?"
Karena takut, Bun An mengangguk dan demikianlah, mulai hari itu, kedua orang hamba nafsu birahi itu lebih leluasa lagi mengadakan pertemuan dan hubungan rahasia karena ada Bun An yang "membantu"
Mereka dan melakukan pengawasan di luar kamar apabila ibunya sedang bermain cinta dengan kekasihnya. Bun An taat karena takut, akan tetapi jauh dilubuk hatinya, dia merasa muak melihat perbuatan ibunya dan dia amat membenci Ma Cun. Peristiwa yang terjadi sewaktu dia berusia tujuh tahun ini sungguh merupakan guncangan batin hebat sekali, menggores di hatinya dalam-dalam dan merupakan kesan yang takkan terlupakan selama hidupnya, bahkan menjadi dasar pembentukan wataknya di kemudian hari. Asap tak dapat ditutup, sepandai-pandainya orang menyimpan bangkai busuk, baunya akan tersebar kemana-mana dan akhirnya akan ketahuan juga. Biarpun di jaga dengan hati-hati,
Tetap saja hubungan antara Ma Cun dan selir terkasih dari Tang-taijin itu diketahui oleh beberapa orang anggota pengawal dalam. Sudah wajar kalau diantara mereka itu ada yang merasa iri hati terhadap Ma Cun. Bayangkan saja! Ma Cun hampir setiap hari bermain cinta dengan selir yang cantik jelita itu, tanpa ingat kepada kawan-kawannya! Siapa tidak akan menjadi iri? Mulailah peristiwa itu menjadi bahan pergunjingan dan akhirnya, desas-desus bahwa selirnya tersayang itu nyeleweng, sampai pula ke telinga Tang-taijin. Tang-taijin marah sekali. Kakek ini karena marahnya, bersikap kurang cerdik. Dia tidak mau menanti sampai dia dapat membuktikan sendiri dan menangkap basah selirnya yang melakukan penyelewengan, melainkan langsung saja mendatangi Kui Hui di kamarnya dan pembesar ini memaki-maki Kui Hui. Kui Hui menangis, berlutut di depan kaki suaminya dan dengan gaya yang memikat, yang menimbulkan keharuan, ia bersumpah bahwa ia tidak pernah menyelewengan
"Saya adalah isteri yang paling setia, biarpun sekarang paduka jarang sekali datang berkunjung, saya selalu tetap menanti dengan setia. Saya mendapatkan kasih sayang paduka dan sayapun amat cinta kepada paduka, bukti buah kasih sayang antara kita adalah Bun An. Bagaimana saya berani melakukan penyelewengan? Desas-desus yang paduka dengar itu hanyalah disebarkan oleh mereka yang iri hati kepada saya, yang tidak suka karena paduka terlalu sayang kepada saya!"
Kui Hui menangis sesenggukan.
"Mana buktinya bahwa saya melakukan penyelewengan? Kalau ada buktinya, saya tidak akan ribut-ribut dan saya rela di hukum mati sekarang juga!"
Karena Tang-taijin memang sayang kepada selirnya yang cantik molek dan pandai merayu ini, diapun menjadi bimbang. Dia memang tidak melihat buktinya.
"Sudahlah,"
Katanya sambil merangkul tubuh yang molek itu ketika selirnya menangis sambil memeluk kakinya.
"Biarpun aku tidak melihat buktinya, namun desas-desus itu menunjukkan bahwa ada orang-orang yang memusuhimu. Karena itu, mulai sekarang engkau harus berhati-hati, menjaga diri dan jangan meninggalkan kamar kalau tidak perlu agar tidak ada orang yang dapat menyangka engkau melakukan hal yang bukan-bukan."
Dan mulai hari itu, Tang-taijin menugaskan Ma Cun di bagian luar, juga mengutus pengawal pribadinya yang dipercayainya untuk mengamati "keamanan"
Di dalam gedungnya agar tidak terjadi hal-hal yang akan mengganggu ketentraman rumah tangganya dan mencemarkan nama kehormatan keluarganya.
Tentu saja diam-diam Kui Hui menjadi marah sekali atas tindakan Tang-taijin ini. Ia dikurung dan dijaga, diawasi. Kekasihnya, Ma Cun, dipindahkan keluar sehingga ia tidak berdaya sama sekali. Jangankan untuk mengadakan hubungan dan pertemuan rahasia, bahkan untuk melihat wajah kekasihnya saja tidak ada kemungkinan lagi. Padahal, gairah berahinya sudah menyesak sampai ke ubun-ubun! Kui Hui berpaling kepada puteranya lagi. Dengan bujukan dan ancaman, akhirnya ia berhasil mengirim surat kepada Ma Cun melalui Bun An yang sebagai seorang anak laki-laki tentu saja dapat keluar dan bertemu dengan Ma Cun tanpa menimbulkan kecurigaan. Surat menyuratpun terjadilah dan isi surat itu menjalin rencana yang amat keji. Ma Cun mencarikan racun yang amat keras dan tidak berbau, dikirimnya racun itu melalui tangan Bun An yang tidak menyangka sesuatu. Kemudian, racun itu oleh Kui Hui disuguhkan kepada Tang-taijin pada saat pembesar itu datang menggilirnya dan bermalam di dalam kamarnya.
Tang-taijin jatuh sakit! Sakit yang berat sekali. Tidak ada tabib mampu menyembuhkannya dan seminggu setelah ia bermalam di kamar Kui Hui, Tang-taijin meninggal dunia. Diam-diam Kui Hui sudah mengumpulkan banyak barang berharga, perhiasan emas berlian yang diselundupkan keluar, diserahkan kepada Ma Cun melalui tangan Bun An. Biarpun desas-desus tentang Kui Hui yang menyeleweng itu tidak ada buktinya, namun hal itu membuat Kui Hui dipandang rendah oleh isteri dan para selir mendiang Tang-taijin. Bahkan kematian Tang-taijin lalu dikaitkan dengan desas-desus itu, dianggap bahwa matinya pembesar itu karena malu dan sakit hati oleh ulah selir tersayang itu. Maka, sikap yang tidak ramah diperoleh Kui Hui dan Bun An. Hal ini bahkan merupakan hal yang diharapkan Kui Hui karena ia mendapatkan alasan untuk keluar dari rumah itu dengan baik-baik, dengan alasan pulang ke kampungnya.
Setelah Kui Hui dan Bun An keluar dari rumah keluarga Tang, wanita itu sama sekali bukan pulang ke kampung asalnya, melainkan diterima dengan tangan terbuka oleh Ma Cun, kekasihnya! Apalagi karena wanita itu selain telah menitipkan banyak perhiasan, juga membawa pula barang-barang berharga. Kehidupan Bun An mengalami perubahan besar. Ma Cun yang juga minta keluar sebagai kepala pengawal di rumah keluarga Tang-taijin, menghambur-hamburkan harta yang dibawa oleh Kui Hui. Sikapnya terhadap Bun An, sebagai anak tirinya, amat keras dan Bun An diperlakukan sebagai seorang kacung pelayan saja. Bahkan kadang-kadang dengan alasan pemuda cilik itu malas, Bun An dipukul oleh Ma Cun. Kui Hui yang mabok oleh rayuan dan kejantanan Ma Cun yang tentu saja jauh lebih muda dan gagah daripada mendiang Tang-taijin, tidak pernah menentang suami barunya, bahkan kadang-kadang ikut mengomeli Bun An.
Baru beberapa bulan saja ikut ayah tirinya, Bun An tidak kuat bertahan, dan pada suatu malam, larilah dia, minggat dari rumah ibu dan ayah tirinya. Dalam usia kurang lebih delapan tahun Bun An melarikan diri, tidak membawa apa-apa. Ayah tirinya merasa kebetulan sekali dan tidak mau mencarinya, sedangkan Kui Hui yang tadinya merasa kehilangan, hanya beberapa hari saja sudah terhibur oleh Ma Cun. Bun An hidup sengsara dan terlunta-lunta. Kadang-kadang kalau ada orang menaruh kasihan kepadanya, anak ini bisa mendapatkan pekerjaan ringan, membantu rumah tangga sebagai kacung dan sebagainya. Namum, dia tidak pernah mau lama-lama di suatu tempat sebagai kacung orang, maka untuk mengisi perutnya setiap hari, dia lebih banyak minta-minta.
Pakaiannya sudah compang-camping dan tubuhnya kurus karena seringkali dia menderita kelaparan. Dua tahun lebih Bun An hidup sebagai pengemis kecil. Hidup penuh duka dan sengsara bagi anak kecil ini. Pada suatu hari, dalam perantauannya, dia tiba di kota Wuhan di Propinsi Hopei. Di kota besar ini, dia mencoba pula untuk mencari pekerjaan. Akan tetapi siapakah mau memberi pekerjaan seorang anak jembel yang kurus? Dia malah dicurigai, dituduh hendak mencuri, maka Bun An menjadi putus asa dan untuk mengisi perutnya, kembali dia harus minta-minta untuk mempertahankan hidupnya. Dan kalau malam tiba, diapun tidur dimana saja, kadang-kadang di bawah jembatan, di emper rumah orang, dan kalau sedang mujur, dia mendapatkan tempat di sebuah kuil dimana para pendetanya cukup ramah untuk menerimanya, atau juga di kuil kuno yang kosong.
Akan tetapi di kota Wuhan ini dia mengalami nasib sial. Baru dua hari dia berada di situ dan setiap hari dapat memperoleh makanan yang cukup mengenyangkan perutnya dari rumah-rumah makan yang memberikan sisa-sisa makanan kepadanya, pada hari ketiga, hampir semua restoran tutup! Bahkan yang buka nampak betapa para pelayan dan pengurusnya takut-takut sehingga tidak ada seorangpun yang mau memperdulikan anak jembel itu. Bahkan di mana-mana dia dibentak dan diusir. Ketika Bun An menyelidiki dan bertanya-tanya, dia mendengar bahwa malam tadi terjadi kerusuhan. Segerombolan perampok mengganas di kota itu sehingga keesokan harinya, banyak rumah makan dan toko tidak berani buka! Kabarnya, banyak toko yang dirampok. Bun An kembali ke kuil tua dengan hati mengkal. Hari itu terpaksa dia berpuasa.
"Huh, gara-gara perampok jahanam itu aku kelaparan!"
Berulang kali dia menyumpah sambil mengepal kedua tinju tangannya yang kurus. Apa boleh buat, karena malam hampir tiba, dia lalu memasuki kuil tua di luar kota Wuhan untuk melewatkan malam yang tentu sengsara karena perutnya kosong! Dan hawa mulai dingin bukan main. Karena tubuhnya letih dan lemas karena kelaparan, dapat juga ia tertidur nyenyak, melingkar, menarik kedua kakinya merapat ke dadanya untuk mengurangi rasa lapar dan dingin. Malam telah gelap benar ketika dia terbangun karena di tendang-tendang orang, Bun An membuka matanya dan bangkit duduk, matanya agak silau oleh sinar api unggun yang dinyalakan orang beberapa meter jauhnya dari tempat dia tidur.
"Hayo bangun dan pindah kesana! Jangan disini!"
Terdengar bentakan dan kembali ada kaki yang mendorong-dorongnya untuk pergi.
Bun An membuka mata, sadar benar sekarang dan dia melihat tujuh orang yang kasar sikapnya, tubuhnya tinggi besar dan nampak kuat, wajahnya menyeramkan, berada di dalam kuil tua itu. Memang ruangan yang dia pakai adalah ruangan yang terbersih dan terlindung oleh dinding yang belum runtuh benar seperti bagian lain kuil itu, dan agaknya tempat itu dipilih oleh tujuh orang itu untuk beristirahat. Melihat sikap mereka yang kasar dan menyeramkan, tanpa banyak cakap lagi Bun An lalu meninggalkan ruangan itu ke ruangan sebelah dan diapun duduk diatas lantai sambil memandang kepada mereka yang kini duduk mengelilingi api unggun. Mereka bercakap-cakap sambil tertawa-tawa, mengeluarkan bingkisan berisi makanan dan minuman yang serba lezat. Arak wangi, daging dan roti! Mereka lalu makan minum sambil bersenda gurau.
"Ha-ha-ha-ha, hari ini Wuhan geger! Banyak toko dan rumah makan tidak berani buka!"
"Heh,heh, bahkan kulihat tadi banyak orang kaya yang mengungsi ke kota lain, takut kalau-kalau kita datang lagi!"
"Baru mereka tahu siapa adanya Yang-ce Jit-houw (Tujuh Harimau Sungai Yang-ce)!"
Bun An mendengarkan dengan penuh perhatian. Dia mendengar suara gerakan di belakangnya.
Dengan adanya sinar api unggun, dia dapat melihat bahwa diruangan itu ternyata ada seorang laki-laki berpakaian pengemis yang sedang tidur nyenyak dan agaknya pengemis tua inilah yang membuat gerakan tadi. Akan tetapi, dia sudah menoleh lagi kepada tujuh orang laki-laki kasar itu dengan alis berkerut. Dari percakapan mereka selanjutnya, yakinlah Bun An bahwa mereka itu yang menyebut diri mereka Tujuh Harimau Sungai Yang-ce adalah gerombolan perampok yang mengganggu kota Wuhan dan yang membuat kota itu hari tadi menjadi kota mati dan rumah-rumah banyak yang tutup! Hatinya mulai terasa panas. Jadi mereka inilah yang telah membuat dia kelaparan, yang merampas rejekinya! Lebih lagi melihat betapa mereka minum dengan lahapnya membuat dia makin merasa gigitan kelaparan di dalam perutnya!
"Ha,ha,ha, biar tahu rasa para hartawan yang kita ambil sebagian hartanya itu! Kita mewakili golongan miskin menuntut keadilan!"
"Benar! Kalau tidak begitu, mereka tidak tahu betapa kaum miskin membutuhkan uluran tangan, membutuhkan bantuan!"
"Kita mewakili pengadilan. Hidup haruslah adil, tidak baik ada yang terlalu kaya, akan tetapi banyak yang terlalu miskin!"
Mendengar ucapan-ucapan itu, Bun An merasa betapa perutnya semakin panas.
"Bohong semua itu!"
Tiba-tiba mulutnya membentak dan diapun bangkit berdiri lalu melangkah ke pintu tembusan yang menghubungkan kedua ruangan itu. Tujuh orang itu terkejut dan mereka semua memandang kepada anak kecil yang muncul di ambang pintu tanpa daun itu, dan mengenalnya sebagai jembel kecil yang tadi mereka usir dari dalam ruangan yang kini mereka tempati. Tujuh orang itu adalah jagoan-jagoan besar, orang-orang yang sudah biasa mengandalkan kekuatan dan kekerasan untuk memaksakan kehendak mereka, bahkan pernah mereka menjadi bajak-bajak Sungai Yang-ce sehingga mereka mendapat julukan Tujuh Harimau Sungai Yang-ce. Seorang diantara mereka, yang bertubuh tinggi kurus dengan kepala besar yang tidak lumrah, dua kali besar kepala manusia biasa, bangkit berdiri menatap Bun An dengan sinar mengancam.
"Jembel cilik! Apa maksudmu mengatakan bahwa semua itu bohong? Apa yang bohong?"
"Percakapan kalian itu tadi yang semua bohong!"
Kata Bun An tanpa takut sedikitpun, karena dia sudah marah sekali. Orang-orang inilah yang membuat dia kelaparan, dan masih merampas tempat tidurnya pula di kuil itu, di samping membuat dia semakin lapar dengan makan minum di tempat itu dan percakapan mereka tadi sama sekali bohong. Si kepala besar melangkah maju dan menghardik,
"Bocah setan! Jangan lancang mulut kau! Apa kau ingin aku menampar hancur mulutmu? Bagaimana engkau berani mengatakan bahwa percakapan Tujuh Harimau Sungai Yang-ce semua bohong?"
Dengan berani Bun An memandang mata orang itu, lalu berkata lantang agar keruyuk perutnya tidak sampai terdengar orang.
"Kalian tadi bicara seolah-olah kalian mewakili golongan miskin, seolah-olah kalian ini pembela-pembela keadilan dan penolong rakyat miskin! Akan tetapi buktinya mana? Kalian makan minum tanpa memperdulikan orang lain, bahkan kalian mengusir aku si jembel cilik! Kalian adalah perampok-perampok jahat yang mengacau kota Wuhan sehingga orang-orang seperti aku ini tidak dapat makanan karena warung-warung dan toko-toko tutup semua takut kepada kalian! Nah, bukankah ucapan kalian tadi bohong semua? Mulut mengatakan pembela rakyat miskin akan tetapi kaki tangan malah menindas kaum miskin?"
"Wah, wah, anak setan ini memang bosan hidup!"
Bentak si kepala besar dan diapun cepat melayangkan tangannya yang lebar dan besar, menampar ke arah Bun An.
Kalau muka anak itu terkena tamparan tangan yang mengandung tenaga raksasa itu, tentu akan terkelupas kulitnya, hancur dagingnya dan remuk-remuk tulang dan giginya. Atau mungkin kepala anak itu akan retak-retak dan tewas seketika. Akan tetapi sungguh aneh, sebelum tangan itu mengenai muka Bun An, tiba-tiba saja si kepala besar itu mengeluarkan seruan kesakitan dan tangannya terhenti di udara, tidak jadi melakukan tamparan kuat itu. Sejenak dia terbelalak, akan tetapi lalu kakinya bergerak melakukan tendangan ke arah perut Bun An. Kalau mengenai sasaran, tendangan ini akan lebih hebat akibatnya. Isi perut anak itu akan remuk dan pasti dia akan tewas seketika, tubuhnya akan terlempar jauh menghantam dinding ruangan kuil. Akan tetapi, kembali terjadi keanehan. Sekali ini, bukan saja kaki yang menendang itu terhenti di udara, bahkan tubuh si kepala besar itu lalu terpelanting roboh!
Hanya dia yang tahu betapa terjadi keanehan pada dirinya. Ketika dia memukul tadi, tiba-tiba lengan tangan yang melakukan pukulan itu terasa nyeri dan lumpuh, ada sesuatu seperti seekor lebah yang menyengat sikunya! Dan ketika dia menendang, bukan hanya lutut yang menendang yang di sengat lebah, juga lutut kirinya sehingga dia terjungkal tidak mampu berdiri lagi. Peristiwa ini tentu saja mengejutkan enam orang perampok yang lain. Mereka berloncatan berdiri, dua orang lalu membantu pimpinan mereka, si kepala besar, untuk bangkit berdiri lagi. Semua mata ditujukan kepada Bun An dengan heran dan marah. Akan tetapi anak itu sendiri berdiri bengong saking herannya karena dia sendiri tidak mengerti mengapa perampok yang memukul dan menendangnya itu mengurungkan niatnya bahkan jatuh sendiri!
"Bocah siluman! Berani engkau melawan kami?"
Bentak mereka dan kini tujuh orang itu serentak maju mengepung Bun An yang sudah melangkah maju untuk melihat lebih jelas apa yang sebenarnya terjadi. Kini, tujuh orang itu mengepungnya dan sikap mereka buas, tangan mereka sudah siap untuk mengeroyok dan menghajar Bun An. Pada saat itu, terdengar suara halus.
"Anjing-anjing srigala pengecut tak tahu malu, mengeroyok seekor domba kecil! Kalian ini namanya saja Tujuh Harimau, akan tetapi bernyali srigala yang pengecut!"
Tujuh orang itu terkejut dan cepat memandang orang yang mengeluarkan kata-kata itu. Kiranya hanya seorang kakek tua renta yang melihat pakaiannya tentu hanya seorang pengemis jembel. Kakek itu usianya tentu sudah tua sekali, pakaiannya compang-camping dan tambal-tambalan di sana-sini, rambutnya yang sudah putih semua, juga jenggot dan kumisnya, awut-awutan tidak terpelihara, tangan kanannya memegang sebatang tongkat butut, dan kedua matanya terpejam, seperti orang buta! Tentu saja tujuh orang jagoan itu terkejut dan kini merekapun mengerti bahwa agaknya jembel tua inilah yang tadi telah membantu jembel cilik. Maka, merasa malu untuk mengepung dan mengeroyok seorang anak kecil yang usianya baru sepuluh tahunan, mereka lalu membalik dan kini bergerak mengepung pengemis tua itu.
"Jembel tua, berani engkau mengatakan kami srigala pengecut?"
"Tua bangka ini harus dibunuh, mulutnya terlalu lancang!"
"Hai, pengemis tua, siapakah namamu?"
Menghadapi pertanyaan terakhir ini, jembel tua itu tersenyum memperlihatkan mulutnya yang ompong tanpa gigi lagi, akan tetapi matanya tetap terpejam.
"Namaku ya yang seperti kau tanyakan tadi, ialah Lo-kai (Pengemis Tua)!"
Orang yang bertanya merasa dipermainkan,
"Aku tahu engkau pengemis tua yang busuk, akan tetapi siapa namamu?"
"Namaku tidak ada, orang menyebut aku Lo-kai (Pengemis Tua)."
"Aliok, untuk apa ribut-ribut dengan pengemis tua tanpa nama ini? Orang macam dia ini ada namapun percuma. Bereskan saja!"
Kata pimpinan Yang-ce Jit-houw yang berkepala besar. Temannya yang mukanya hitam itu lalu maju menghantam ke arah dada kakek yang minta di sebut Lo-kai saja itu.
Pukulan yang keras sekali. Si muka hitam agaknya sudah menduga bahwa kakek ini tentu memiliki kepandaian, maka diapun menonjok dengan pengerahan tenaga pada kepalan tangan kirinya, sekuatnya, diarahkan ke ulu hati Lo-kai. Anehnya, kakek tua renta yang selalu memejamkan mata itu agaknya tidak tahu bahwa dia dipukul orang. Dia diam saja! Agaknya karena memejamkan mata, dia tidak melihat serangan itu, ataukah memang dia buta? Namun, simuka hitam adalah jagoan tukang pukul yang sudah biasa melakukan kejahatan dan tindakan sewenang-wenang. Memukuli orang lemah tak melawan baginya adalah hal yang biasa, maka kini, melihat betapa Lo-kai tidak mengelak atau menangkis, dia tidak mengendurkan tenaga pukulannya, apalagi menghentikannya. Pukulan yang keras itu dengan tepatnya menghantam ulu hati kakek tua renta.
"Krekkk...!"
Pukulan keras itu memperdengarkan suara tulang patah, akan tetapi agaknya bukan tulang iga kakek itu yang patah karena dia sama sekali tidak terguncang, masih berdiri tegak sebaliknya, pemukulnya, si muka hitam itu mengaduh-aduh sambil melompat ke belakang lalu memegang-megang tangan kirinya dengan tangan kanan. Kiranya yang bunyi patah tadi adalah tulang tangan kiri si muka hitam. Dari kesakitan, muka hitam itu menjadi marah sekali. Tanpa memperdulikan lagi tangan kirinya yang nyeri, tangan kanannya mencabut golok. Enam orang kawannya juga sudah mencabut golok semua dan kini serentak mereka menerjang maju menyerang kakek jembel itu dengan golok mereka. Seolah-olah tujuh orang itu hendak berlumba siapa yang lebih dulu merobohkan kakek jembel itu!
Bun An terbelalak menonton. Jantungnya hampir berhenti berdetak ketika dia melihat tujuh batang golok berkelebatan mengeluarkan sinar yang mengerikan, menyambar ke arah tubuh kakek itu yang agaknya buta karena sejak tadi tidak membuka matanya. Akan tetapi, dalam pandangan Bun An, Kakek tiba-tiba kakek itu lenyap dan yang nampak hanyalah bayangan berkelebatan disusul robohnya tujuh orang perampok itu seorang demi seorang. Golok mereka terlepas dan jatuh berkerontangan di atas lantai dan tubuh mereka kini terkulai lemas tak mampu bergerak lagi! Ternyata kakek jembel itu tadi mempergunakan tongkat bututnya dengan kecepatan luar biasa, menotok tujuh orang penyerangnya dan merobohkan mereka dengan hanya satu kali totokan saja! Melihat ini, tanpa disadarinya, Bun An bertepuk tangan memuji,
"Bagus! Bagus, kalau saja aku mampu, akupun akan menghajar mereka yang jahat ini!" Kakek jembel itu tersenyum, lalu menggunakan tongkatnya mencongkel tubuh tujuh orang itu, satu demi satu dicokel dan dilontarkan keluar kuil dengan mempergunakan ujung tongkat bututnya, seperti mencokel dan membuang tujuh ekor cacing saja! Sambil melontarkan, kakek itupun membebaskan totokan sehingga ketika tubuh tujuh orang itu, satu demi satu terlempar dan terbanting jatuh berdebuk di luar kuil, mereka mengaduh-aduh dan tanpa menoleh lagi merekapun lari tunggang langgang meninggalkan kuil!
"Lo-kai, engkau hebat sekali!"
Bun An memuji sambil menghampiri kakek jembel itu dan memegang tangan kirinya.
"Siauw-kai (jembel kecil), engkau pun berani sekali!"
Kakek itu tertawa dan menggunakan tangan kirinya untuk mengusap kepala Bun An. Bun An mengira kakek itu buta, maka diapun menuntun kakek itu menghampiri api unggun.
"Kita duduk disini, Lo-kai, dekat api unggun. Biar kutambah lagi kayunya."
Kakek itu menghela napas panjang, lega dan nyaman rasanya ketika dia duduk diatas lantai dekat api unggun. Bun An menambahkan kayu pada api unggun itu sehingga ruangan itu menjadi lebih hangat dan terang. Ketika Bun An menengok, kakek itu ternyata masih saja memejamkan kedua matanya. Melihat roti dan daging masih banyak, sisa makanan perampok tadi, Bun An berkata,
"Lo-kai..., apakah engkau lapar?"
"Hemm...?"
Kakek itu menengok kekanan, ke arah anak itu duduk, akan tetapi kedua matanya tetap terpejam.
"Kalau aku lapar, mengapa?"
Bun An memandang ke arah roti dan daging, masih amat banyak, cukup untuk dimakan empat lima orang dan mulutnya menjadi basah. Dia menelan ludah sebelum menjawab,
Si Kumbang Merah Penghisap Kembang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kalau kau lapar, disini ada roti dan daging, boleh kau makan, Lo-kai."
Pada saat itu, perut Bun An berkeruyuk. Sejak kemarin malam, dia tidak makan apa-apa. Sehari tadi sama sekali perutnya tidak diisi apa-apa, kecuali air jernih.
Dia cepat menengok kepada kakek itu, merasa malu kalau-kalau kakek itu mendengar bunyi perutnya. Sudah terlalu sering selama dua tahun lebih ini dalam perantauannya dia menderita kelaparan. Dia sampai hafal bagaimana rasanya kelaparan itu. Mula-mula, kalau perut mulai lapar, berkeruyuk dan melilit-lilit, seolah ada jari-jari tangan di dalam lambungnya yang bergerak-gerak, menggapai-gapai dan mencakar-cakar. Air mampu mengurangi rasa melilit-lilit ini, dan makin lama, tubuh terasa lemas, ringan dan kepala mulai agak pening, mata terasa mengantuk. Kemudia terasa kembali perut yang melilit-lilit, sebentar saja, dan kembali lemas dan ringan. Kini, perutnya juga melilit-lilit dan berkeruyuk. Maka, dia dengan cepat menelan ludahnya dan menghentikan suara berkeruyuk itu. Biasanya ini dapat menghilangkan atau sedikitnya mengurangi kebisingan perutnya yang menuntut isi.
"Siauw-kai, apakah engkau juga lapar?"
Bun An mengangguk karena merasa agak malu untuk menjawab, akan tetapi dia ingat akan kebutaan kakek jembel itu, maka diapun menjawab lirih.
"Ya, sejak kemarin malam aku tidak makan apa-apa, akibat ulah tujuh orang perampok itu yang mengacau kota sehingga rumah-rumah makan tutup, tak seorangpun mau memberi sedekah makanan kepadaku."
"Kalau begitu, mari kita makan,"
Kata Lo-kai dengan wajah gembira. Bun An mengambilkan roti dan daging terbaik untuk kakek itu dan merekapun mulai makan dengan hati lega. Bun An sudah berpengalaman.
Pernah dia hampir mati karena setelah dia hampir kelaparan dan mendapatkan makanan, dia makan dengan lahap. Perut yang tadinya kosong itu secara tiba-tiba diisi dengan dijejal, dan hampir saja dia mati karena ini. Dia jatuh sakit sampai beberapa hari lamanya. Setelah peristiwa itu, dia berhati-hati dan kini, biarpun menurut nafsunya, ingin dia melahap roti dan daging itu, namun pengertiannya membuat dia makan dengan hati-hati. Dia makan sedikit demi sedikit, dan itupun dikunyah sampai lembut benar baru ditelannya. Dia melihat bahwa kakek itupun makan dengan perlahan-lahan dan hati-hati. Akan tetapi ternyata kakek yang sudah tidak bergigi lagi itu mampu mengunyah daging yang agak keras. Setelah selesai makan, dan sisa makanan dibungkus kembali oleh Bun An, kakek itu minum arak. Bun An juga minum arak sedikit. Dia lebih suka minum teh atau air jernih.
"Siauw-kai, dimanakah rumahmu?"
Tiba-tiba kakek itu bertanya. Bun An menundukkan mukanya, teringat akan ibunya yang menikah dengan Ma Cun yang menjadi ayah tirinya itu. Lalu dia menggeleng kepala.
"Aku tidak mempunyai rumah, Lo-kai."
"Yatim piatu?"
Bun An ingin mengiyakan, akan tetapi tidak tega membohongi kakek tua renta yang buta ini, apalagi kakek ini tadi telah menyelamatkannya dari tangan para perampok.
"Ayahku telah meninggal, ibuku menikah lagi dan ayah tiriku terlalu galak kepadaku, maka aku minggat sudah dua tahun lebih yang lalu."
Kakek itu terdiam, merenung lama.
"Dan kau sendiri, Lo-kai? Dimana rumahmu?"
Kakek itu sadar dari lamunannya.
"Aku tidak punya rumah, akan tetapi aku mempunyai tempat tinggal di dalam goa, di Pegunungan Himalaya sana. Sudah lima tahun aku meninggalkan tempat tinggal itu, dan sekarang aku sudah bosan merantau, ingin tinggal disana, rindu akan keheningan. Kau mau ikut?"
"Ikut padamu, Lo-kai?"
Lalu dia teringat akan peristiwa aneh tadi.
"Lo-kai, kalau aku ikut, apakah kau mau mengajarkan aku cara mengalahkan para perampok seperti tadi?"
Kakek itu mengangguk.
"Tentu saja, kau kira mau apa aku mengajakmu ikut aku? untuk menjadi muridku, tentu saja. Dan kalau engkau sudah tamat belajar, jangankan tujuh orang itu, biar ada seratus orang seperti mereka, engkau takkan dapat terganggu oleh mereka!"
Bun An adalah seorang anak yang cerdik. Biarpun baru sepuluh tahun, namun kepahitan hidup membuat dia matang dan sudah banyak dia mendengar cerita dari para jembel lainnya tentang adanya orang-orang sakti dan para pendekar yang gagah perkasa. Diapun dapat menduga bahwa kakek ini tentulah seorang diantara para tokoh sakti, maka diapun cepat menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu.
"Suhu, teecu (murid) suka sekali ikut denganmu dan menjadi muridmu!"
Kakek itu tertawa. Suara ketawanya demikian nyaring, membuat Bun An terheran dan dia mengangkat muka. Pada saat itu, dia melihat kakek itu sedang memandang kepadanya, dengan sepasang mata terbuka dan mata itu mencorong seperti mata naga dalam dongeng! Kakek itu sama sekali tidak buta!
"Suhu...!"
Katanya ia terkejut dan agak ngeri ketakutan. Kakek itu menyentuh kepalanya.
"Siauw-kai, tidak perlu engkau merubah sebutan. Aku tetap Lo-kai bagimu atau bagi siapapun. Aku tidak pernah mencampuri urusan dunia, dan hanya kebetulan saja kita saling bertemu. Karena itu, namaku tidak ada yang mengenalnya di dunia persilatan. Dan aku tidak mau engkau kelak memperkenalkan namaku. Maka, bagiku engkau tetap Siauw-kai dan bagimu aku adalah Lo-kai! Mengerti!"
"Baik, su... eh, Lo-kai!"
Demikianlah, pada keesokan harinya, Lo-kai mengajak Bun An meninggalkan kuil.
"Akan tetapi, disini banyak sekali barang berharga, hasil perampokan Tujuh Harimau malam tadi, Lo-kai, lihat, ada satu buntalan besar berisi perhiasan, emas dan perak!"
"Hemm, untuk apa?"
"Lo-kai, kita mengemis untuk sepiring makanan, dan disini ada harta yang akan dapat membeli laksaan piring makanan, cukup untuk kita makan selama hidup puluhan tahun!"
"Huh, aku tidak butuh! Di tempat tinggalku sana, emas tidak laku, dan kita tidak bisa makan emas."
"Tapi kalau barang ini ditinggalkan disini, tentu para perampok itu akan kembali datang mengambilnya!"
"Kalau begitu, bawalah, kita bagikan kepada mereka yang membutuhkan di dalam perjalanan nanti."
Biarpun masih merasa penasaran dan heran Bun An tidak membantah lagi dan berangkatlah mereka menuju ke barat. Lebih besar lagi rasa heran dalam hati Bun An ketika melihat betapa kakek itu benar saja membagi-bagikan barang itu kepada rakyat dipedusunan yang miskin.
Tentu saja barang itu dalam waktu sebentar saja habis dan mereka berdua tidak punya apa-apa lagi. Di sepanjang perjalanan untuk mengisi perut, guru dan murid itu mengemis! Lo-kai mengajak Bun An ke Pegunungan Himalaya dan ternyata kakek itu benar saja tinggal di sebuah goa yang terpencil, di puncak sebuah bukit. Hawa di situ dingin bukan main, juga amat sunyi. Namun Bun An sudah mengambil keputusan bulat untuk mempelajari ilmu dari kakek itu, dan biarpun mereka hidup menghadapi keadaan yang serba kurang dan hawa udara yang kadang-kadang demikian dinginnya hampir tak tertahankan, namun anak itu mempunyai kenekatan luar biasa dan dia dapat mengatasi semua kesulitan hidup di tempat terasing ini.
Dan ternyata kakek itu, biarpun sama sekali tidak terkenal di dunia ramai, memiliki ilmu kepandaian yang hebat! Banyak tokoh-tokoh sakti seperti kakek ini yang tidak pernah mau memperkenalkan diri dan lebih suka bersembunyi di tempat-tempat asing, seolah-olah membawa kepandaian dan kesaktian mereka mati bersama mereka! Dari Lo-kai, Bun An mempelajari banyak macam ilmu. Bukan hanya ilmu-ilmu silat tinggi, akan tetapi juga ilmu lain seperti menyamar dan merobah wajah, ilmu pengobatan dan lain-lain. Tidak kurang dari sepuluh tahun lamanya Bun An menerima gemblengan dari kakek sakti yang hanya dikenalnya sebagai Lo-kai dan dia sendiri disebut Siauw-kai oleh kakek sakti itu. Dengan tekun sekali Bun An mempelajari ilmu-ilmu dari kakek itu yang akhirnya,
Betapapun saktinya, tidak dapat melawan usia tua. Kalau ditanya oleh Bun An, Lo-kai sendiri tidak tahu berapa usianya, mungkin sudah ada seratus tahun! Dan pada waktu pagi, ketika Bun An terjaga dari tidurnya dan melihat gurunya, ternyata kakek itu sudah tidak bernapas lagi dalam keadaan duduk bersila! Bun An tidak menangis, bahkan berdukapun tidak. Kakek itu selalu mengingatkan kepadanya bahwa antara mereka tidak ada ikatan apapun! Karena hal ini selalu disinggung, dan karena dia sendiri tidak pernah memperlihatkan keakraban yang menunjukkan kasih sayang, maka biarpun Bun An berterima kasih sekali kepada kakek yang menjadi gurunya itu, namun tidak ada ikatan apapun dalam perasaannya terhadap Lo-kai. Dan jenazah gurunya, kemudian diapun meninggalkan goa itu.
Pakaiannya tambal-tambalan seperti seorang pengemis muda, namun kini Bun An merupakan seorang pemuda yang tampan sekali, penuh semangat dan gairah hidup karena dia percaya penuh kepada diri sendiri yang sudah diisi ilmu-ilmu oleh gurunya, yang membuatnya menjadi seorang pemuda yang amat lihai! Tentu saja Bun An meningggalkan Himalaya, segera menuju ke kota raja, untuk mencari ibunya. Dia tidak takut kepada Ma Cun, bahkan diam-diam dia mengambil keputusan untuk menghajar ayah tirinya itu kalau berani menghinanya lagi! Akan tetapi, setelah dia mendapatkan kenyataan yang sama sekali berubah! Ibu dan ayah tirinya sudah tidak berada di rumah lama itu, dan menurut para tetangga, ayah dan ibunya telah bercerai! Dia melakukan penyelidikan dan akhirnya dia memperoleh keterangan yang menyayat perasaan hatinya.
Menurut keterangan itu, harta benda yang dibawa oleh ibunya dihamburkan dan dihabiskan oleh Ma Cun, kemudian terjadi percekcokan setiap hari dan akhirnya ibunya disia-siakan oleh Ma Cun! Dan dalam keadaan yang amat terjepit itu, ibunya terjepit ke sarang pelacuran dan kini menjadi seorang pelacur! Hebat sekali pukulan batin ini bagi Bun An. Dia ingin mendengar lebih jelas, maka dia cepat pergi kerumah pelacuran untuk mencari ibunya. Para penjaga rumah pelacuran itu, yang juga bertindak sebagai tukang pukul dan pelindung mucikari dan para pelacur, tentu saja menerima kedatangannya dengan marah. Seorang pemuda, biarpun tampan wajahnya, berpakaian seperti pengemis, mau apa datang ke rumah pelacuran? Yang datang kesitu hanyalah pria-pria tua muda yang berpakaian mewah, yang sakunya padat uang, bukan segala macam kaum jembel!
"Hei! Mau apa kau datang kesini?"
Bentak seorang tukang pukul yang bertubuh kurus kering karena suka menghisap madat.
"Kalau mau mengemis jangan ditempat ini! Pergi ke sana ke pasar!"
Bentak orang kedua yang perutnya gendut seperti perut babi dan mukanya bulat itu membayangkan ketinggian hati. Tentu saja sikap kedua orang ini memanaskan hati Bun An, akan tetapi dia masih dapat menahan diri dan masih dapat tersenyum.
"Aku datang bukan untuk mengemis, melainkan untuk mengambil seorang wanita yang bernama Kui Hui. Suruh ia keluar menemuiku, ada urusan penting yang akan kubicarakan dengannya."
Mendengar disebutnya nama ini, dua orang tukang pukul itu saling pandang lalu tertawa. Yang kurus terkekeh menghina dan berkata.
"Kui Hui? Ha, ha! Memang ia paling laku disini, akan tetapi bukan paling murah. Di sini dikenal istilah tua-tua keladi, makin tua semakin jadi! Apakah engkau mempunyai uang maka berani hendak memesan Kui Hui?"
"Keluarkan dulu uangmu, perlihatkan kepada kami!"
Kata si gendut. Bun An mengerutkan alisnya. Memang dia sudah marah sekali mendapat kenyataan bahwa ibunya menjadi pelacur. Hal ini saja sudah mendatangkan kemarahan dan kebencian terhadap wanita yang menjadi ibunya. Maka, dia tidak dapat menahan lagi kesabarannya.
"Mulut kalian sungguh busuk dan pantas dihajar!"
Secepat kilat tangannya bergerak ke depan.
"Plak! Plakkk!"
Dua orang itu terpelanting, tubuh mereka terbanting keras dan mereka memegangi pipi yang di tampar sambil mengaduh-aduh. Sedikitnya ada tiga buah gigi yang copot dan darah mengalir keluar dari ujung bibir mereka yang menjadi bengkak sampai ke telinga. Akan tetapi mereka menjadi marah sekali. Dengan suara tidak jelas karena mulutnya bengkak sebelah, keduanya memaki-maki dan sudah mencabut golok, lalu menyerang kalang kabut. Akan tetapi, menghadapi dua orang tukang pukul di rumah pelacuran ini, tentu saja tidak ada artinya bagi Bun An. Kembali tangannya bergerak dan dua batang golok terlempar, lengan yang memegang golok menjadi lumpuh karena tulang lengan itu patah ditekuk tangan Bun An.
Kini, dua orang itu mengaduh-aduh dan berteriak minta tolong. Muncul empat orang kawan mereka, jagoan-jagoan yang menjadi tukang pukul di tempat pelesir itu. Melihat betapa dua orang teman mereka mengaduh-aduh dan agaknya dihajar oleh seorang pemuda berpakaian jembel, empat orang itu langsung saja menyerang dengan golok mereka. Kembali Bun An berkelebatan dan empat batang golok beterbangan, diikuti robohnya empat orang itu yang merintih kesakitan, tangan kiri memegangi lengan kanan yang patah tulangnya! Melihat kenyataan ini, betapa enam orang tukang pukul itu dalam segebrakan saja roboh dengan patah tulang lengan, barulah mereka sadar bahwa mereka berhadapan dengan seorang pemuda yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Mereka menjadi ketakutan ketika Bun An melangkah maju.
"Kalian masih belum mau memanggil keluar Kui Hui? Ataukah harus kupatahkan dulu batang leher kalian?"
Kata pemuda itu. Si tinggi kurus cepat memberi hormat dengan kaku karena lengannya tak dapat digerakkan.
"Harap ampunkan kami, Taihiap (pendekar besar), saya akan memanggil keluar wanita itu...!"
Dengan terpincang-pincang si kurus itu berlari masuk. Tak lama kemudian keluarlah dia bersama seorang wanita cantik. Usia wanita itu sudah mendekati empat puluh tahun, akan tetapi masih nampak cantik, apalagi karena pakaiannya indah dan mukanya dirias dengan bedak tebal dan gincu, juga penghitam alis. Bun An segera mengenal ibunya dan ia merasa muak.
Ibu kandungnya, seorang pelacur! Hampir saja dia meloncat pergi lagi, akan tetapi terbayang olehnya betapa ketika ia masih kecil, ibunya ini amat sayang kepadanya. Wanita itu memang Kui Hui, ibu Bun An. Tadi ia diberitahu oleh si kurus yang ketakutan bahwa ada seorang tamu, seorang pemuda berpakaian jembel akan tetapi yang memiliki kepandaian tinggi minta agar ia keluar. Kini, melihat seorang pemuda berpakaian tambal-tambalan, berwajah tampan, berdiri disitu sedangkan para tukang pukul masih mengaduh-aduh, Kui Hui menjadi heran. Wajah pemuda tampan yang tidak asing baginya, akan tetapi ia lupa lagi dimana ia pernah bertemu dengan pemuda itu. Biarpun ia merasa ragu untuk menerima tamu yang berpakaian tambal-tambalan, akan tetapi karena takut, iapun tersenyum manis dan melangkah mau lalu memberi hormat.
"Selamat datang, tuan muda. Siapakah tuan muda dan ada keperluan..."
"Aku Tang Bun An!"
Bun An memotong dengan suara lirih, akan tetapi pandang matanya mencorong, penuh kemarahan. Kui Hui menahan jeritnya, menutupi mulut dengan punggung tangan, matanya terbelalak, wajahnya pucat sekali ketika ia memandang kepada wajah pemuda itu. Kini iapun teringat. puteranya! Tanpa dapat dicegah lagi, kedua mata yang terbelalak itu dipenuhi air mata dan berderailah air matanya berjatuhan di atas kedua pipinya.
Pendekar Mata Keranjang Eps 32 Pendekar Mata Keranjang Eps 28 Pendekar Mata Keranjang Eps 5