Pendekar Mata Keranjang 5
Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Bagian 5
"Pinceng mendengar bahwa Aekau Hwesio (Gagu) ini dapat bicara, oleh karena itu pinceng ingin menguji apakah berita itu benar ataukah tidak."
Kata Ceng Hok Hwesio dan mendengar ucapan ini, lima orang murid itu terkejut dan memandang kepada Si Gagu yang kelihatan tenang-tenang saja karena agaknya dia tidak mendengar dan tidak mengerti apa yang dibicarakan. Akan tetapi di dalam hatinya, Han Siong merasa menyesal. Dia menganggap bahwa keterus-terangan suhunya itu merupakan kebodohan. Kalau betul persangkaannya bahwa Si Gagu ini tidak gagu dan betul pula keterangan orang hukuman itu bahwa kakek yang pura-pura gagu ini seorang tokoh sesat yang lihai, bukankah ucapan suhunya itu sama saja dengan membuka rahasia sehingga kakek itu dapat menjadi berhati-hati dan dapat menjaga diri sebelumnya?
Ceng Hok Hwesio lalu menggapai dan memberi isyarat agar Si Gagu mendekat. Si Gagu menggeser duduknya, menghadap semakin dekat dengan pandang mata bodoh. Lalu Ceng Hok Hwesio menggunakan bahasa isyarat dengan tangan, bertanya apakah Si Gagu dapat bicara. Hwesio tua yang gagu ini menggeleng kepala keras-keras, mengeluarkan suara ah-ah-uh-uh, memberi isyarat dengan tangan bahwa. mulutnya tidak dapat bicara dan telinganya tidak dapat mendengar. Sampai beberapa kali Ceng Hok Hwesio mendesaknya, dibantu oleh lima orang muridnya, namun tukang sapu gagu itu tetap menggelengkan kepala keras-keras, menyangkal bahwa dia dapat bicara atau mendengar.
"Omitohud....semoga Sang Buddha memaafkan pinceng kalau memang dia ini benar-benar gagu dan tuli. Memang sukar membuktikan bahwa dia ini benar gagu atau tidak. Akan tetapi pinceng ada akal untuk membuktikan apakah dia benar-benar tuli ataukah tidak. Kalian berlima harus menutup telinga, dengan rapat dan mengerahkan sinkang melindungi pendengaran kalian. Dan engkau, Han Siong, keluarlah dan pergi jauh dari ruangan ini, dan kalau masih ada suara getaran menyerangmu, cepat tutup kedua telingamu dengan tangan. Beritahu kepada para Suhengmu agar melakukan hal yang sama."
Lima orang murid kepala itu mengerti apa yang akan dilakukan oleh Ceng Hok Hwesio, maka mereka pun cepat menggunakan kedua telapak tangan menutupi telinga, dan mengerahkan tenaga sinkang mereka. Sementara itu, Han Siong juga sudah pergi keluar. Ceng Hok Hwesio lalu mengerahkan sinkang dan tak lama kemudian keluarlah suara melengking tinggi dari dalam dada kakek ketua kuil Siauw-lim-si ini.
Suara itu makin lama semakin tinggi, menggetarkan dan lima orang murid kepala yang sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi itu pun terpaksa harus memejamkan mata dan mengerahkan sinkang sekuatnya untuk melindungi telinga dan jantung mereka. Han Siong yang sudah berada di kebun, biarpun sudah menutupi kedua telinga dengan tangan, masih merasakan getaran hebat. Akan tetapi, kakek gagu tuli itu hanya duduk bersila diam saja, menundukkan muka dan sama sekali tidak terpengaruh oleh suara yang mengandung tenaga khikang amat kuatnya itu! Dari sikap ini saja tahulah ketua kuil itu bahwa kakek tukang sapu yang berada di depannya memang benar-benar tuli! Hanya orang tuli yang akan mampu duduk diam tak terpengaruh sama sekali oleh lengkingannya. Maka dia pun menghentikan ujian itu dan lima orang murid kepala kini baru berani membuka mata.
"Ternyata Aekau Hwesio ini benar gagu dan tuli. Apa yang pinceng dengar hanyalah berita bohong belaka. Sudahlah, ajak dia keluar lagi agar dia bekerja seperti biasa, akan tetapi amat-amati gerak-geriknya."
Pesannya kepada para murid. Mereka semua keluar dan memberi isyarat kepada hwesio gagu itu untuk keluar pula. Setelah hwesio gagu itu keluar. Ceng Hok Hwesio lalu memanggil Han Siong lagi ke dalam ruangan itu.
"Han Siong, mulai sekarang engkau tidak perlu mendengarkan fitnah yang diucapkan oleh dua orang hukuman itu. Kau melihat sendiri, hwesio tukang sapu itu memang tuli dan gagu, pinceng yakin akan hal ini, karena kalau tidak tuli, tentu dia tadi sudah roboh pingsan. Nah, sekarang terbukti bahwa dua orang hukuman itu sama sekali tidak boleh dipercaya. Dasar orang-orang berdosa, mana mungkin ucapan mereka dapat dipercaya?"
Han Siong diam saja, hanya menundukkan mukanya dan tidak menjawab, melainkan mengangguk-angguk saja. Kemudian dia pun keluar dan melanjutkan pekerjaannya. Hatinya merasa penasaran sekali. Benarkah dua orang itu membohong? Akan tetapi, melihat wajah mereka yang menimbulkan rasa suka dan iba di dalam hatinya, Han Siong tidak percaya bahwa mereka itu tukang fitnah dan pembohong yang jahat. Sebaliknya, tentu kakek gagu itu yang pandai membohong dan bersandiwara. Dan, melihat betapa gerakannya amat cepat ketika malam itu dia melihatnya membayangi dua orang yang berkelebat lenyap di dalam pondok hukuman, bukan tidak mungkin Si Gagu yang palsu itu mampu pula bertahan terhadap ujian suara melengking ketua kuil.
Karena merasa penasaran sekali Han Siong malam itu tidak tidur melainkan keluar dari tempat tidur dan kamarnya, dan bersembunyi tak jauh dari kamar hwesio gagu yang berada di samping kanan bangunan, di kamar yang sunyi menyendiri karena dia belum diterima sebagai anggauta kuil, melainkan seorang pembantu. Baru setelah lewat tengah malam, kesabaran Han Siong mendapatkan hasil. Dia mula-mula mendengar suara mendengkur dari dalam kamar itu. Tahu bahwa penghuninya sudah tidur nyenyak, diam-diam dia lalu menyelinap dan berindap-indap mendekati kamar itu. Tak lama kemudian barulah dia mendengar suara orang mengigau, suaranya parau, pecah seperti ringkik kuda! Akan tetapi jelas bahwa igauan itu mengandung kata-kata. Han Siong cepat meninggalkan tempat itu dan berlari menuju ke kamar suhunya. Hatinya lega melihat hwesio itu masih belum tidur, masih duduk bersila sambil membaca kitab agama.
"Suhu..., Suhu!"
Katanya dengan napas agak memburu dan suara berbisik. Ceng Hok Hwesio mengerutkan alisnya, merasa terganggu dengan kemunculan Han Siong.
"Ada apa lagi engkau sekali ini?"
Tanyanya tidak sabar.
"Suhu... Si Gagu itu mengigau lagi..."
"Han Siong! Jangan bicara sembarangan saja!"
"Tidak, Suhu. Teecu tidak berbohong, silakan Suhu membuktikannya sendiri."
Ceng Hok Hwesio memandang wajah anak itu dengan tajam penuh selidik. Wajah anak itu serius dan tegang. Hatinya tertarik dan dia menarik napas panjang.
"Omitohud... engkau ini mengada-ada saja. Han Siong, mengganggu ketenteraman pinceng.."
Akan tetapi karena hatinya tertarik, dia pun turun dari tempat dia bersila bergegas mengikuti Han Siong menuju ke bagian belakang. Setelah mereka tiba di luar kamar kakek gagu, benar saja dalam kamar itu terdengar suara bergumam orang ngelindur! Ceng Hok Hwesio merasa penasaran sekali dan dia menempelkan telinganya pada daun jendela. Terdengar suara parau, pecah dan serak yang menginggatkan orang akan ringkik kuda! Dan memang benar suara itu merupakan igauan yang mengandung kata-kata!
"..kalau tidak diberikan kepadaku kubunuh kalian.."
Ceng Hok Hwesio terkejut sekali mendengar suara yang mengerikan itu. Dan kini mau tidak mau dia harus percaya karena telinganya sudah mendengar sendiri ucapan itu. Jelaslah bahwa Si Gagu itu sebenarnya dapat bicara! Hati Ceng Hok Hwesio yang memang keras sekali itu menjadi marah. Dia telah ditipu dan dikelabuhi oleh hwesio tukang sapu itu. Kalau begini, jelaslah bahwa dulu dia hanya pura-pura saja sakit dan kelaparan, agar memperoleh kesempatan masuk ke kuil tanpa dicurigai. Akan tetapi mengapa hal itu dilakukannya? Apa pun niatnya, tentu niat itu tidak baik dan jahat sekali.
"Manusia palsu, penipu yang jahat!"
Dia membentak dan kedua tangannya mendorong ke arah daun pintu kamar itu.
"Braaakkk..!"
Daun pintu itu pecah dan jebol. Ceng Hko Hwesio meloncat kedalam. Kaget oleh suara itu, hwesio tua tukang sapu sudah terbangun dan kini nampak dia duduk di atas pembaringannya, matanya yang sipit memandang dengan marah dan nampak mencorong di bawah sinar lampu gantung yang menyorot masuk dari pintu yang tak berdaun lagi itu. Ceng Hok Hwesio semakin terkejut melihat sinar mata itu, sungguh jauh bedanya dengan sinar mata yang biasa dilihatnya pada sepasang mata sipit itu.
"Penipu jahat! Berlutut dan menyerahlah!"
Kata Ceng Hok Hwesio dengan suara keren berwibawa. Akan tetapi, orang yang dibentak itu tiba-tiba tertawa dan Han Siong yang berada di luar bergidik mendengar suara ketawa yang tidak patut menjadi suara manusia itu.
"Ha-ha-ha, Ceng Hok Hwesio, engkau jangan berlagak di depanku!"
Ketua kuil itu sampai terbelalak saking kaget dan herannya. Kini sikap orang bermuka kuda itu benar-benar berubah sama sekali. Biasanya, sebagai seorang gagu dia selalu tunduk dan taat, akan tetapi sekarang, begitu bicara berani bersikap demikian angkuhnya sehingga memandang rendah kepadanya!
"Siapakah engkau!"
Bentak Ceng Hok Hwesio, kemudian laporan yang disampaikan oleh Han Siong beberapa hari yang lalu teringat olehnya.
"Benarkah engkau berjuluk Lam-hai Giam-lo, murid mendiang Lam-kwi-ong?"
Kembali kakek itu tertawa dan kamar itu seakan-akan hendak runtuh oleh getaran suara ketawanya,
"Hah-hah-hah, Ceng Hok Hwesio! Kalau sudah tahu, kenapa engkau tidak lekas berlutut di depan kakiku?"
Dapat dibayangkan betapa marahnya Ceng Hok Hwesio mendengar kata-kata yang amat menghinanya itu.
"Omitohud, manusia jahat seperti engkau patut dihajar!"
Dan dia pun menerjang ke depan, menggerakkan kedua tangannya yang membentuk cakar harimau menyerang kakek yang duduk di atas pembaringan itu. Akan tetapi, tiba-tiba bayangan kakek itu berkelebat dan terdengar bunyi kain robek dan kapuk berhamburan ketika kedua cakar tangan Ceng Hok Hwesio mengenai kasur yang tadi diduduki kakek muka kuda itu!
Mendengar suara ketawa di belakangnya, Ceng Hok Hwesio memutar tubuh sambil menyerang lagi, sekali ini serangannya lebih hebat. Ketua kuil ini memang seorang ahli gwakang (tenaga luar) yang selain memiliki tenaga kuat, juga menguasai ilmu-ilmu silat yang sifatnya keras dari Siauw-lim-pai. Membalik sambil menggunakan kedua tangan untuk menyerang dengan bentuk cakar ini luar biasa kuatnya dan kalau mengenai tubuh lawan, tentu kulit dan daging akan terkoyak oleh jari-jari tangan yang seperti berubah menjadi kaitan baja itu, tulang pun akan remuk. Akan tetapi, sambil mengeluarkan suara seperti kuda meringkik, kakek gundul bermuka kuda itu sama sekali tidak kelihatan jerih, bahkan menggunakan lengan kirinya menangkis dari samping dengan memutar siku.
"Desss...!"
Pertemuan antara kedua lengan Ceng Hok Hwesio yang ditangkis oleh lengan kiri kakek yang di kuil itu dikenal sebagai Aekau Hwesio itu hebat sekali karena begitu bertemu, tubuh Ceng Hok Hwesio terpental seperti terdorong oleh angin yang amat kuat! Padahal, gerakan kakek gagu itu nampak lambat dan tidak bertenaga.
"Aihhh!"
Ceng Hok Hwesio sudah berjungkir balik sehingga tubuhnya tidak sampai terbanting. Dia terkejut sekali dan maklum bahwa lawannya memiliki sinkang yang luar biasa kuatnya, maka dia bersikap hati-hati dan maju perlahan-lahan sambil memasang kuda-kuda yang kokoh kuat. Karena maklum bahwa dia berhadapan dengan lawan tangguh, Ceng Hok Hwesio lalu berkata dengan sikap keren.
"Lam-hai Giam-lo, selamanya pinceng dan Siauw-lim-pai tidak pernah ada urusan denganmu, maka apa maksudmu menyamar dan menyelundup ke kuil kami?"
"Ha-ha-ha, Ceng Hok Hwesio. Sudah setahun aku berada di sini. Apa sebabnya aku berada di sini adalah urusanku sendiri. Tidakkah selama ini aku bekerja baik-baik dan tidak pernah mengganggu Siauw-lim-pai? Jangan campuri urusanku dan aku pun tidak akan mengganggumu!"
"Omitohud, kuil kami bukanlah tempat persembunyian segala macam penjahat! Engkau pergilah dengan aman dari sini dan jangan kembali lagi!"
Kini nada suara kakek ketua kuil itu tidak tinggi hati seperti tadi, tidak minta agar Lam-hai Giam-lo berlutut dan menyerah, melainkan minta kepadanya agar pergi dengan aman!
"Ha-ha-ha, engkaulah yang harus pergi dari sini! Aku datang atau pergi sesuka hatiku."
"Keparat! Engkau memang jahat!"
Dan Ceng Hok Hwesio sudah menyerang lagi dengan lebih dahsyat karena merasa bahwa wewenang dan kekuasaannya dilanggar. Namun dengan mudah Pukulan dengan tangan terbuka itu ditangkis oleh lawannya dan kembali dia terhuyung. Pada saat itu, lima orang murid kepala Siauw-lim-pai bersama belasan murid lain sudah tiba di tempat itu dan Lam-hai Giam-lo lalu dikepung.
"Dia ini Lam-hai Giam-lo, penjahat besar yang hendak mengacaukan kuil kita. Usir dia!"
Teriak Ceng Hok Hwesio yang dari dua gebrakan tadi saja sudah maklum bahwa lawannya ini lihai bukan main dan untuk mengusirnya dibutuhkan bantuan murid-muridnya. Para hwesio itu tua muda lalu bergerak mengepung dengan sikap mengancam, walaupun dengan pandang mata penuh keheranan karena mereka sama sekali tidak mengira bahwa hampir tidak dapat percaya bahwa hwesio gagu tukang sapu tua ini sekarang disebut Lam-hai Giam-Io seorang penjahat besar!
"Ha-ha-ha-ha-hiyeeehh...!"
Suara ketawa yang makin mirip dengan kuda itu terdengar berbareng dengan penyerbuan para hwesio Siauw-lim-si, disusul pekik kesakitan dan dua orang murid Siauw-lim-pai roboh ketika Lam-hai Giam-lo menggerakkan kedua tangannya. Lengannya dipentang lebar dan tubuhnya seperti berputar. Dengan gerakan ini, dia sudah menangkis semua Pukulan yang datang dari empat penjuru dan juga merobohkan dua orang pengeroyok dengan amat mudahnya. Melihat kehebatan kakek itu, diam-diam Han Siong yang menonton dari luar, menyelinap pergi. Tak lama kemudian dia sudah mengetuk daun pintu Kamar Renungan Dosa di mana ditahan laki-laki berlengan buntung itu.
"Paman.., Paman..., Bukalah pintu!"
Teriaknya, lupa akan larangan ketua kuil bahwa dia tidak boleh berhubungan dengan orang hukuman itu.
"Anak baik, apakah yang terjadi?"
Terdengar suara pria itu dan daun pintu pun terbuka.
"Paman... terjadi keributan. Kakek gagu palsu itu kini mengamuk, dikeroyok para Suheng dan Suhu, tapi...agaknya dia lihai sekali."
"Ahhh! Sudah kuduga akan begini jadinya!"
Laki-laki itu berkelebat dan Han Siong terbelalak karena orang itu tahu-tahu sudah lenyap dari depan matanya. Dia menjadi bingung, tidak tahu ke mana perginya pria itu, maka dia pun cepat lari ke Kamar Renungan Dosa yang kedua, dengan maksud mengabarkan kepada wanita cantik yang berada di sana. Akan tetapi, ketika dia tiba di depan kamar itu, daun pintu kamar itu sudah terbuka dan tiba-tiba berkelebat bayangan dua orang keluar dari kamar itu. Demikian cepat gerakan mereka sehingga Han Siong hanya dapat melihat bentuk tubuh mereka saja dan dia pun mengenal bahwa mereka adalah pria lengan buntung dan wanita cantik yang sudah dikenalnya itu.
Maka dia pun cepat kembali ke tempat terjadinya pertempuran tadi. Kiranya Ceng Hok Hwesio dan para muridnya kewalahan ketika mengeroyok Lam-hai Giam-lo. Kakek bermuka kuda ini mengamuk, semakin lama semakin beringas dan ganas sekali. Melihat betapa para muridnya roboh berserakan, Ceng Hok Hwesio menjadi marah. Dia menyambar sebatang toya dan dengan senjata andalannya ini, yang diputarnya dengan amat cepat, dia pun menerjang Lam-hai Giam-lo sambil mengeluarkan bentakan nyaring. Namun, lawannya terkekeh dan menyambut serangan ketua kuil itu dengan kedua tangan kosong saja. Dengan lengan tangannya, dia berani menangkis hantaman toya kuningan, bahkan membalas dengan tamparan ke arah kepala hwesio ketua kuil itu.
"Dukk! Wuuuttt...!"
Ceng Hok Hwesio terkejut sekali dan untung dia masih mampu mengelak dengan melompat ke belakang. Tangkisan pada toyanya tadi membuat kedua lengannya tergetar sehingga dia tidak mampu menggerakkan toyanya sebagai lanjutan serangannya, bahkan tidak sempat lagi menangkis ketika tangan yang menampar kepala itu datang menyambar. Namun, kemarahan membuat ketua kuil itu tidak mengenal bahaya dan dia pun sudah menyerbu lagi, toyanya kini menusuk ke arah perut. Kembali yang diserang tertawa dan sekali ini sama sekali tidak mengelak, juga tidak menangkis, melainkan menerima toya yang menusuk itu begitu saja dengan perutnya.
"Cusss!"
Ujung toya kuningan itu seperti amblas ke dalam perut. Akan tetapi sebetulnya bukan menembus kulit daging, melainkan disedot oleh perut itu yang tiba-tiba saja mengempis. Ketika Ketua Siauw-lim-pai itu terkejut karena mengira bahwa toyanya melukai perut dan mungkin membunuh, mendadak kedua tangan Lam-hai Giam-lo sudah bergerak, yang satu menotok pundak yang lain mencengkeram jubah pada tengkuk Ceng Hok Hwesio! Ketua kuil itu seketika lemas dan tengkuk jubahnya kena dicengkeram! Melihat betapa guru mereka tertawan musuh, para murid Siauw-lim-pai terkejut dan marah. Mereka kini sudah memegang senjata di tangan dan siap untuk mengeroyok.
"Saudara sekalian harap mundur dan biarkan kami berdua menghadapi Lam-hai Giam-lo!"
Tiba-tiba terdengar suara yang lembut namun berwibawa.
Semua hwesio mundur ketika melihat bahwa yang muncul adalah seorang pria berlengan kiri buntung dan seorang wanita cantik setelah tadi nampak dua bayangan berkelebat dan tahu-tahu di situ berdiri dua orang itu. Para hwesio yang sudah lama menjadi penghuni kuil itu mengenal siapa adanya dua orang hukuman itu, akan tetapi mereka yang datang belum ada sepuluh tahun, tidak pernah melihat dua orang itu dan kini mereka memandang dengan heran. Baru setelah para hwesio yang lebih tua berbisik-bisik memberi tahu bahwa laki-laki dan perempuan itu adalah dua orang hukuman di Kamar Renungan Dosa, mereka memandang lebih tertarik lagi. Laki-laki berlengan buntung itu kini sudah melangkah maju menghadapi Lam-hai Giam-lo yang masih mencengkeram tengkuk jubah Ceng Hok Hwesio.
"Lam-hai Giam-lo, lepaskan Suhu Ceng Hok Hwesio!"
Sambil berkata demikian, tiba-tiba saja lengan baju kiri yang kosong dan buntung itu bergerak dan ujung lengan baju menyambar ke arah Si Muka Kuda. Ketika ujung lengan baju itu menyambar, terdengar suara berdesing keras seolah-olah yang menyambar itu sebatang pedang, bukan sehelai kain lemas! Lam-hai Giam-lo tadinya memandang rendah, akan tetapi melihat gerakan ini, dia terkejut dan tidak berani sembrono untuk menangkis, melainkan mengelak dengan menarik kepala ke belakang.
Akan tetapi, tiba-tiba nampak bayangar berkelebat dan wanita itu sudah menyerangnya dari samping. Serangannya hebat sekali karena kedua tangan wanita itu bertubi-tubi mengirim totokan-totokan kearah sembilan jalan darah di bagian depan tubuhnya. Lam-hai Giam-lo dapat menduga akan kelihaian wanita ini, maka dia pun terpaksa melepaskan cengkeraman pada tengkuk jubah Ceng Hok Hwesio sambil melontarkan tubuh ketua kuil itu ke arah Si Laki-laki lengan kiri buntung! Lontarannya kuat sekali sehingga tubuh ketua kuil itu seperti sebatang balok yang berat melayang ke arah laki-laki itu. Akan tetapi, Si Lengan Kiri Buntung dengan tenang menggerakkan tangan kanannya dan sekali tangan itu menyambar, dia pun sudah dapat mencengkeram punggung jubah hwesio itu sehingga daya luncurnya tertahan dan sekali menepuk pundaknya,
Ceng Hok Hwesio dapat bergerak lagi dan diturunkan. Dengan muka merah Ceng Hok Hwesio lalu mundur dan berdiri menjadi seorang di antara para penonton. Dia tahu bahwa dia bukan lawan Si Muka Kuda, maka kini dia hanya nonton saja, membiarkan dua orang hukuman itu menghadapinya. Hatinya diam-diam merasa heran sekali karena selama ini dia memandang rendah kepada dua orang bekas hwesio dan nikouw yang telah menjadi orang hukuman menebus dosa di Kamar Renungan Dosa. Akan tetapi, jelas bahwa Si Lengan Kiri Buntung itu lihai, kalau tidak, tentu tidak akan dapat membebaskannya dari cengkeraman Si Muka Kuda sedemikian mudahnya. Hanya satu kali serang saja! Kini, Lam-hai Giam-lo sudah menjadi marah sekali.
"Baiklah, kalian sudah mengenal aku. Memang aku Lam-hai Giam-lo yang tadinya hanya ingin mempergunakan tempat ini sebagai tempat istirahat tanpa bermaksud mengganggu kalian. Akan tetapi karena di sini aku menemukan sesuatu yang menarik sekali, maka biarlah aku berterus terang saja. Heii, kalian dua orang berdosa yang menjalani hukuman. Siapakah sebenarnya kalian berdua ini?"
Tanyanya dan mata yang sipit itu menyapu ke arah laki-laki dan wanita itu. Laki-laki yang buntung lengan kirinya itu menahan senyum, lalu menjawab singkat.
"Sebelum kami menjadi hwesio dan nikouw, namaku adalah Siangkoan Ci Kang dan ia adalah Toan Hui Cu."
Para pembaca cerita Asmara Berdarah tentu masih teringat akan kedua nama ini. Seperti telah diceritakan dalam kisah Asmara Berdarah, Siangkoan Ci Kang adalah putera mendiang Siangkoan Lo-jin yang berjuluk Si Iblis Buta, seorang tokoh datuk sesat yang lihai sekali. Akan tetapi puteranya, yaitu Siangkoan Ci Kang, tidak mewarisi kejahatan ayahnya bahkan sejak muda dia telah menyadari akan kesesatan ayahnya yang tidak disukanya.
Kemudian, dengan beruntung dia menjadi murid Ciu-sian Lokai, seorang sakti yang menurunkan ilmu-ilmunya kepada Ci Kang. Akan tetapi, di dalam kehidupan asmaranya, Ci Kang mengalami kegagalan karena cintanya kepada Ceng Sui Cin tidak dibalas oleh gadis itu yang telah mencinta pria lain, yaitu Cia Hui Song putera ketua Cin-ling-pai. Bahkan, dia masih bersikap demikian bijaksana dan gagah perkasa untuk melindungi Hui Song yang hendak dihukum ayahnya sendiri karena fitnah. Ci Kang dengan jantan melindungi dan bahkan menggunakan lengan kiri menangkis pedang sehingga demi keselamatan Hui Song, dia kehilangan lengan kirinya sebatas siku. Semua ini dilakukannya bukan hanya demi menolong Hui Song yang dia tahu tidak berdosa, juga demi cintanya terhadap Sui Cin!
(Lanjut ke Jilid 05)
Pendekar Mata Keranjang (Seri ke 09 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 05
Setelah Hui Song dan Sui Cin menikah, di kebun pada malam hari itu, Ci Kang yang hatinya merasa duka dan merana itu melihat Toan Hui Cu yang sedang menangis sedih. Dia tahu bahwa mengapa Hui Cu menangis. Keadaan gadis itu tiada bedanya dengan dia. Patah hati, kasih tak sampai, atau bertepuk tangan sebelah. Gadis itu mencinta Cia Sun, pendekar muda yang gagah perkasa dan budiman, akan tetapi sebaliknya Cia Sun sudah menjatuhkan pilihan hatinya kepada Tan Siang Wi, murid terkasih dari Ketua Cin-ling-pai. Dia dan Hui Cu sama-sama patah hati. Bukan hanya itu, akan tetapi juga asal-usul mereka hampir sama. Dia sendiri putera seorang datuk sesat yang amat tersohor, juga Toan Hui Cu lebih hebat lagi karena ayah dan ibunya adalah Raja Iblis, rajanya datuk-datuk sesat!
Karena persamaan keadaan, nasib dan kedukaan, ketika mereka saling jumpa dan mengenal keadaan masing-masing, timbul keakraban pada kedua orang itu dan mereka pun bergandeng tangan untuk bersama-sama menghadapi gelombang kehidupan yang penuh bahaya dan kepahitan itu. Tentu saja sebagai puteri Raja dan Ratu Iblis yang amat sakti, Hui Cu juga mewarisi ilmu-ilmu yang amat dahsyat! Akan tetapi agaknya Lam-haj Giam-lo belum pernah mendengar kedua nama ini. Memang kedua orang ini masih amat muda ketika muncul di dunia kang-ouw dan tentu saja ilmu kepandaian mereka menggemparkan. Akan tetapi, mereka yang patah hati itu lalu masuk menjadi hwesio dan nikouw mempelajari ilmu-ilmu keagamaan dan kebatinan di dalam kuil dan tentu saja nama mereka tidak terkenal. Bahkan para hwesio di kuil tidak ada yang tahu bahwa mereka berdua sesungguhnya adalah dua orang muda yang amat lihai!
"Bagus, kalian berdua adalah orang-orang muda yang berhasil. Nah, setelah aku berada di sini dan melihat kalian berdua latihan, hatiku tertarik sekali. Sekarang, berikanlah kitab kuno itu kepadaku, dan aku akan pergi dari sini tanpa mengganggu kalian lagi!"
Kata Lam-hai Giam-lo. Ci Kang dan Hui Cu saling pandang, dan keduanya menggeleng kepala tanda tidak setuju untuk memenuhi permintaan Si Muka Kuda.
"Enak saja engkau bicara!"
Hui Cu berseru marah.
"Lebih baik engkau pergi sebelum kami turun tangan menghajar muka kudamu!"
Lam-hai Giam-lo membelalakkan mata saking marahnya, akan tetapi karena memang matanya sipit sekali, biar dibelalakkan juga tidak dapat menjadi lebar dan tidak menakutkan, melainkan merobah muka itu semakin buruk dan lucu. Akan tetapi, tangannya bergerak cepat bukan main dan tahu-tahu tangan itu sudah mulur panjang dan membentuk cakar yang mencengkeram ke arah dada Hui Cu.
Jarak antara kakek itu dan Hui Cu cukup jauh, ada empat meter, akan tetapi tangan itu dapat terulur dan tentu dada wanita itu akan kena dicengkeramnya kalau saja Hui Cu tidak cepat menangkis dengan sinar putih. Sinar putih itu mengeluarkan bunyi mencuit nyaring dan ternyata itu adalah ujung sabuk sutera putih yang telah dilolos dari pinggangnya. Ujung sabuk sutera putih yang berubah menjadi sinar dan berkelebat mengeluarkan suara mencicit nyaring itu, bukan menangkis lengan, melainkan menyambut lengan yang mencengkeram kearah dadanya itu dengan totokan mengarah jalan darah di pergelangan tangan. Totokan ini berbahaya sekali dan tentu akan lebih dulu mengenai jalan darah dipergelangan tangan sebelum jari-jari tangan itu sempat mencengkeram dadanya.
"Uhhh...!"
Si Muka Kuda berseru dan tangannya yang tadi mulur itu, seperti karet yang diulur dan dilepas, cepat sekali sudah kembali menjadi normal sehingga totokan sabuk sutera itu pun luput.
"Heh-heh-heh, baiklah. Hari ini aku akan membunuh kalian berdua, kemudian membakar kuil ini dan merampas semua kitab yang ada!"
Berkata demikian, Lam-hai Giam-lo lalu menggerakkan tubuhnya yang segera berpusing dengan cepat.
Tubuh itu kini hanya nampak bayangan yang berpusing dengan amat cepatnya dan dari pusingan itu kadang-kadang menyambar keluar dua buah lengan yang dapat mulur dan melakukan serangan-serangan dahsyat ke arah Ci Kang dan Hui Cu! Ci Kang sudah mencabut keluar sebatang tongkat hitam yang panjangnya hanya tiga kaki. Dia mainkan tongkat ini dengan tangan kanannya, kadang-kadang memegang ujungnya seperti orang bermain pedang, kadang-kadang dipegang di bagian tengah-tengah dan diputar-putar sehingga membentuk segulung sinar hitam. Ayah Ci Kang, mendiang Si lblis Buta, amat terkenal dengan ilmu tongkatnya sehingga biarpun dia buta, jarang ada tokoh yang mampu menandinginya. setelah menjadi murid Ciu-sian Lo-kai yang juga merupakan seorang ahli permainan tongkat, tentu saja ilmu tongkat Ci Kang menjadi semakin matang dan hebat.
Menghadapi permainan tongkat yang dikombinasikan dengan ujung lengan baju itu, ditambah lagi dengan permainan sabuk dari Hui Cu yang kini mengeluarkan pula sebatang tongkat untuk mengimbangi sabuknya, kakek bermuka kuda itu menjadi terkejut karena ilmunya yang hebat itu pun merasa kurang kuat untuk menandingi amukan dua orang yang memainkan dua senjata yang sama itu! Memang hebat ilmu silat kedua orang hukuman itu. Kalau gerakan Siangkoan Ci Kang amat tenang dan kuatnya, sebaliknya gerakan Toan Hui Cu cepat dan ringan bukan main, seperti seekor burung yang menyambar-nyambar saja. Kadang-kadang Hui Cu menyerang dengan cepatnya dari aras seperti burung garuda menyambar-nyambar, sedangkan Ci Kang menyerang dari bawah dengan gerakan yang tenang namun cepat dan amat kuat, seperti serangan seekor ular.
Betapapun hebatnya Ci Kang dan Hui Cu, kini mereka bertemu tanding. Lam-hai Giam-lo adalah murid mendiang Lam-kwi-ong, seorang di antara Empat Setan yang memiliki kesaktian dan kakek muka kuda ini sudah mewarisi seluruh ilmu dari mendiang gurunya. Selain memiliki banyak ilmu silat tinggi, juga kakek ini menang pengalaman dibandingkan kedua orang lawannya. Maka, biarpun dikeroyok dua, Lam-hai Giam-lo dapat mengimbangi Kecepatan dua orang pengeroyoknya dan kedua lengan itu setelah diputar-putar mengeluarkan bunyi berkerotokan dan kini menjadi kebal, mampu menahan tongkat dengan tangkisan, bahkan totokan-totokan ujung lengan baju dan ujung sabuk yang mengenai kedua lengannya tidak mempengaruhi!
Sejak tadi, Ceng Hok Hwesio mengikuti perkelahian itu dengan kedua matanya dan hwesio ketua kuil ini tertegun. Mengertilah dia kini mengapa ketika dia menguji dengan pengerahan khikang, kakek muka kuda itu tidak terpengaruh. Kiranya memang kakek itu memiliki kepandaian yang amat tinggi dan tentu dengan kekuatan sinkangnya yang hebat kakek itu dapat menahan suara khikang yang menyerangnya. Ceng Hok Hwesio juga merasa kagum. Tak disangkanya sama sekali bahwa dua orang hukuman itu memiliki ilmu kepandaian setinggi itu, jauh lebih tinggi daripada tingkatnya sendiri! Teringatlah dia ketika pertama kali mereka datang ke situ. Seorang pemuda dan seorang gadis, gagah dan cantik jelita, yang sambil menangis memohon kepadanya agar diperbolehkan masuk menjadi pendeta untuk menebus dosa-dosa mereka yang lalu.
Nampaknya mereka itu lembut dan biarpun mungkin dapat bermain silat, akan tetapi siapa menduga bahwa mereka sehebat ini dan mampu menandingi seorang sakti seperti Lam-hai Giam-lo? Diam-diam Ci Kang dan Hui Cu juga kagum akan kehebatan ilmu kepandaian lawan mereka. Semenjak mereka mengundurkan diri dari dunia ramai, baru sekali ini mereka berkelahi dan selama hidup mereka, baru sekali ini bertemu orang yang demikian lihainya. Biarpun mereka mengeroyok, sampai lewat lima puluh jurus, belum juga mereka mampu mendesak lawan, bahkan beberapa kali mereka terdorong mundur oleh angin Pukulan kakek yang luar biasa tangguhnya itu. Bahkan mereka tahu kalau dilanjutkan, bukan tidak mungkin mereka akan kalah. Oleh karena itu, tiba-tiba Ci Kang berseru nyaring, ditujukan kepada Hui Cu.
"Kwan Im Hud-couw...!"
Mendengar teriakan ini, berbareng dengan Ci Kang, Hui Cu meloncat mundur dan mereka berdua menyimpan tongkat, juga Hui Cu menyimpan sabuknya. Kemudian, mereka berdiri tegak dan merangkap kedua tangan di depan dada. Tentu saja Ci Kang hanya dapat memiringkan tangan kanan saja depan dada. Mereka mengambil sikap seperti menyembah, sikap yang biasa terdapat pada patung Dewi Kwan Im. Lam-hai Giam-lo tertegun dan tadinya dia tidak mengerti apa yang dimaksud oleh Ci Kang yang meneriakkan sebutan untuk Dewi Kwan Im tadi. Akan tetapi, melihat betapa keduanya memasang kuda-kuda seperti sikap Dewi Kwan Im itu, dia pun dapat menduganya dan wajahnya berubah cerah berseri.
"Ha-ha, akhirnya kalian terpaksa membuka rahasia! Jadi ilmu dari kitab kuno itu adalah ilmu dari Dewi Kwan Im? Perlihatkanlah, anak-anak, biar aku mengujinya!"
Akan tetapi, kedua orang itu tidak menyerang, sebaliknya malah berpencar, dengan menggeser kaki secara lembut dan halus sekali, seperti seorang puteri yang melangkahkan kaki, pendek-pendek dan lembut dan kini mereka berada di kanan kiri lawan. Lam-hai Giam-lo menoleh ke kanan kiri dan tertawa, memandang rendah karena sejak tadi dia pun sudah tahu bahwa betapapun lihainya dua orang pengeroyoknya, namun dia mampu menandingi mereka, bahkan yakin akan dapat mengalahkan mereka.
"Biarlah aku yang memaksa kalian bergerak!"
Teriaknya dan dia pun menerjang ke arah Hui Cu. Seperti tadi, serangannya mengandung keceriwisan karena dia sengaja mencengkeram dengan kedua tangan, satu di dada dan satu ke bawah perut! Akan tetapi, dengan gerakan lembut sekali Hui Cu menggerakkan kakinya melangkah aneh sekali sambil memutar tubuhnya dan serangan itu pun luput! Kakek muka kuda terkejut bukan main.
Dia tadi merasa yakin bahwa serangannya akan berhasil karena gerakan wanita itu lembut dan lambat sekali. Siapa tahu, secara tiba-tiba saja serangannya seperti hanya menyerang bayangan dan mengenai udara kosong! Dia tidak dapat mengikuti bagaimana cara wanita itu mengelak, langkahnya demikian aneh, gerakannya pun lembut, namun nyatanya, cengkeraman kedua tangannya yang dahsyat itu luput! Dan tiba-tiba saja, seperti orang melambaikan tangan Hui Cu sudah "mengusap"
Ke arah leher Lam-hai Giam-lo. Nampaknya memang hanya seperti orang melambaikan tangan dan mengusap mesra saja sehingga mengherankan Si Muka Kuda. Akan tetapi tiba-tiba dia merasa betapa ada hawa yang dingin sekali menyambar dengan kekuatan dahsyat ke arah lehernya, keluar dari jari-jari tangan yang mungil dan halus itu!
"Celaka!"
Teriaknya dan cepat Lam-hai Giam-lo melempar tubuh atas ke belakang sehingga leher itu luput dari totokan jari-jari yang amat lihai. Dengan marah kakek ini lalu memutar lagi tubuhnya berpusingan cepat dan membalas serangan lawan, bahkan bukan hanya Hui Cu yang diserangnya, melainkan juga Ci Kang sekaligus.
"Jurus ke tiga dan ke sebelas!"
Tiba-tiba Ci Kang berseru dan Hui Cu secara otomatis bergerak memainkan jurus ke sebelas sedangkan Ci Kang sendiri memainkan jurus ke tiga dari ilmu silat mereka yang aneh itu. Ci Kang merendahkan tubuhnya dan merangkap kedua tangan ke depan dada, lalu kedua tangan itu bergerak ke depan, kedua lengan dikembangkan dengan penyerangan dahsyat ke arah dada dan perut lawan, sedangkan Hui Cu tiba-tiba melayang ke atas dan turun sambil menotok dengan tangan kanan kiri bergantian dengan gerakan seperti orang memetik sesuatu.
Jurus ke tiga itu adalah jurus Kwan-im-khai-bun (Dewi Kwan Im Membuka Pintu) sedangkan jurus ke sebelas yang dimainkan Hui Cu adalah jurus Kwan Im Mencari Teratai. Kelihatan kedua gerakan itu sederhana sekali, gerakannya lembut dan perlahan, seperti tidak mengandung tenaga. Akan tetapi dengan kaget Lam-hai Giam-lo merasa betapa angin dingin menyambar-nyambar dari empat buah lengan itu dan terdengar suara mendesis seperti benda tajam mengiris udara. Dia masih mengandalkan kecepatan tubuhnya yang berpusing itu dan kedua lengannya yang panjang membalas serangan sambil memutar tubuh lebih cepat. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika melihat betapa tangan dua orang pengeroyoknya mampu menembus gulungan sinar atau bayangannya dan tahu-tahu tangan Ci Kang sudah mengancam lambungnya dan tangan Hui Cu meluncur ke bawah dari atas, mengancam pelipis kepalanya!
"Aihhh..!"
Dia berteriak dan cepat melempar tubuh ke belakang lalu bergulingan di atas lantai. Akan tetapi, dengan langkah-langkah aneh kedua orang pengeroyoknya itu sudah mengejarnya dan bertubi-tubi empat buah lengan melakukan tamparan ke bawah. Yang mengerikan adalah hawa dingin dari serangan mereka. Namun, kakek bermuka kuda itu memang lihai bukan main. Biarpun dia sedang bergulingan dan dihujani tamparan, sambil bergulingan itu dia masih mampu menggerakkan kedua tangan, bahkan kedua kakinya, untuk menangkis. Dia merasa betapa hawa dingin menyergap ke dada melalui tangannya yang menangkis, juga menyergap ke dalam perutnya melalui kaki yang menangkis. Betapapun juga, tamparan-tamparan itu demikian aneh dan hebat sehingga masih ada sebuah tamparan dari Ci kang yang sempat mengenai pundaknya.
"Plakk.."
Lam-hai Giam-lo mengeluarkan suara parau yang panjang dan dari mulutnya keluar darah segar. Teriakannya yang parau itu mengandung daya serangan yang ampuh karena dikeluarkan dengan pengerahan khikang. Hui Cu dan Ci Kang terkejut, cepat melompat mundur dan melindungi dada dan telinga dengan pengerahan sinkang. Akan tetapi kesempatan itu dipergunakan oleh Lam-hai Giam-lo untuk melarikan diri. Dengan lompatan panjang dia menghilang ke luar dan ketika kedua orang lawannya mengejar, dia sudah lenyap ditelan kegelapan malam. Hui Cu tidak melanjutkan pengejaran, melainkan kembali ke ruangan itu, disambut oleh Ceng Hok Hwesio dan para penghuni kuil dengan pandang mata kagum.
"Wah, sungguh berbahaya sekali Lam-hai Giam-lo..."
Kata Ci Kang sambil menggeleng kepala dan menarik napas panjang. Semenjak dia dahulu ikut mengeroyok Raja Iblis, baru sekarang dia bertemu dengan orang yang luar biasa lihainya. Andaikata dia dan Hui Cu tidak memiliki ilmu baru yang sedang mereka latih berdua, biarpun melakukan pengeroyokan, agaknya dia dan Hui Cu tidak akan dapat menandingi kakek muka kuda itu! Ceng Hok Hwesio merangkapkan kedua tangan di depan dada. Hwesio ini masih belum pulih dari keadaan terheran-heran dan terkejut mendapat kenyataan bahwa dua orang hukuman itu ternyata memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat!
"Omitohud, kalian telah menolong kami, semoga amal perbuatan kalian itu diterima oleh Sang Buddha dan dapat meringankan dosa kalian. Sekarang harap kalian suka kembali ke dalam Kamar Renungan Dosa diiringi ucapan terima kasih kami."
Ci Kang dan Hui Cu saling pandang, maklum bahwa ketua kuil itu masih tetap keras hati terhadap kesalahan mereka dan Ci Kang lalu menarik napas panjang, merangkap kedua tangan di depan dada dan berkata.
"Baiklah, Suhu, kami akan kembali ke kamar masing-masing."
Akan tetapi Hui Cu menghadap Ceng Hok Hwesio dan setelah memberi hormat wanita ini berkata,
"Suhu, kami mengulang permintaan kami beberapa hari yang lalu, yaitu agar kami diperbolehkan mengambil Han Siong menjadi murid kami."
Mendengar ini, Han Siong terkejut sekali dan juga merasa girang bukan main. Wajahnya berseri-seri dan dia memandang kepada dua orang itu dengan sinar mata penuh kegirangan. Akan tetapi, seri wajahnya melayu dan lenyap ketika dia mendengar ucapan Ceng Hok Hwesio yang keren dan penuh wibawa.
"Sayang, hal itu tidak mungkin dapat dilakukan. Kalian adalah orang-orang hukuman yang tidak dapat menjadi hwesio dan nikouw lagi, sedangkan Han Siong adalah seorang calon pendeta, seorang hwesio yang hidupnya bersih. Mana mungkin dapat menjadi murid kalian? Dia hanya boleh mempelajari ilmu silat Siauw-Iim-pai dari para hwesio yang suci."
Selama hampir lima tahun Han Siong mempelajari kitab-kitab suci agama dan filsafat, dan karena dia memang mempunyai kecerdikan yang lebih daripada kecerdikan anak-anak seusianya, maka ucapan suhunya itu membuat dia mengerutkan alisnya. Dari sikap dan kata-kata ketua kuil itu, jelaslah bahwa ketua kuil itu merendahkan dua orang hukuman itu, menekankan bahwa mereka berdua adalah orang-orang berdosa yang kotor, sebaliknya para hwesio adalah orang-orang yang bersih dan suci! Hal ini sama sekali tidak cocok dengan isi pelajaran agama dan filsafat. Bukankah anggapan bahwa diri sendiri bersih merupakan suatu anggapan yang kotor? Di situ tersembunyi suatu kesombongan dan ketinggian hati yang sama sekali berlawanan dengan pelajaran agama!
Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Suhu! Paman dan Bibi ini dengan gagah berani telah mengusir kakek jahat itu. Tanpa adanya bantuan mereka berdua, mungkin kita semua akan habis binasa dibunuh Lam-hai Giam-lo dan kuil kita. dibakar! Tidak sepatutnya kalau mereka dihukum!"
Mendengar ucapan lantang dari Han Siong ini, Ceng Hok Hwesio mengerutkan alisnya. Apalagi ketika dia melihat betapa para hwesio lain nampaknya setuju dengan pendapat Han Siong karena banyak di antara mereka yang mengangguk.
"Hemm, Han Siong. Engkau anak kecil tahu apa? Mereka telah melakukan dosa besar, dan setiap pelanggaran dan dosa harus dihukum menurut peraturan kuil."
Demikian ketua kuil itu berkata dengan keren.
"Akan tetapi, Suhu, teecu ingin sekali menjadi murid mereka!"
Kembali Han Siong berseru dengan suara lantang.
"Dan teecu kira Suhu tidak berhak untuk melarang teecu menjadi murid mereka."
"Omitohud, bicaramu lancang sekali, Han Siong. Ketika Kakek Buyutmu, Susiok Pek Khun, menyerahlah engkau kepada pinceng, dia menghendaki agar engkau menjadi murid di sini. Dan setelah engkau menjadi seorang calon hwesio, berarti engkau menjadi murid Siauw-lim-pai dan pinceng tentu saja berhak melarang semua murid Siauw-lim-pai untuk berguru kepada orang lain!" .
"Teecu ingin sekali menjadi murid mereka, dan biarlah teecu tidak dianggap murid Siauw-lim-pai asal teecu diperbolehkan menjadi murid mereka!"
Ucapan Han Siong ini mengejutkan semua orang. Betapa beraninya anak itu! Akan tetapi, Ceng Hok Hwesio mengerutkan alisnya dan memandang kepada Han Siong penuh perhatian, kemudian memandang kepada dua orang hukuman yang masih belum pergi meninggalkan ruangan itu.
"Pinceng tidak akan merobah aturan. Kalau engkau menjadi hwesio di kuil kami, tentu saja engkau tidak boleh berguru kepada siapapun juga kecuali kepada pinceng. Akan tetapi kalau engkau mau menanggalkan jubah hwesio, memelihara rambut dan tidak menjadi murid Siauw-lim-pai lagi, tentu saja engkau boleh berguru kepada mereka."
"Kalau begitu teecu ingin menjadi orang biasa saja!"
Han Siong berteriak.
"Biarlah teecu di sini bekerja sebagai kacung saja, membersihkan kebun dan melanjutkan pekerjaan sehari-hari, juga mengurus keperluan kedua orang Paman dan Bibi, dan teecu menjadi murid mereka!"
Sebelum Ceng Hok Hwesio menjawab, Ci Kang berkata.
"Kami kira permintaan Han Siong itu patut dan sudah sepantasnya kalau dipenuhi. Suhu tentu melihat betapa kami selalu patuh dan selama sepuluh tahun merenungkan dosa di kamar. Permintaan kami untuk mengambil murid kami kira tidak berlebihan, dan kebetulan anak ini pun suka menjadi murid kami. Kami sekali lagi mengharap kemurahan dan kebijaksanaan Suhu untuk meluluskan permintaan Han Siong agar menjadi murid kami."
Didesak oleh Han Siong dan dua orang hukuman itu, Ceng Hok Hwesio merasa kewalahan dan tidak enak hati kalau terus menerus menolak.
"Baiklah, akan tetapi kalau kelak keluarga anak ini minta pertanggungan jawab, kalian yang harus memikulnya."
"Biarlah teecu yang akan bertanggung jawab!"
Han Siong berseru dengan tegas.
"Omitohud... pinceng hanya melaksanakan sesuai dengan peraturan kuil. Mulai saat ini, engkau kembali menjadi orang biasa dan bekerja di sini hanya sebagai seorang kacung atau pembantu sukarela, tiada bedanya dengan mereka yang membayar kuil dan bekerja sukarela di kuil ini. Tentang hubunganmu dengan kedua orang hukuman, kami tidak tahu menahu asalkan tidak mengganggu ketenteraman kuil."
Setelah berkata demikian, Ceng Hok Hwesio lalu membalikkan tubuhnya, kembali ke kamarnya. Jelas bahwa dia merasa tidak senang hati dan menekan kemarahan hatinya. Han Siong merasa girang sekali dan dia pun menjatuhkan dirinya berlutut di depan kedua orang itu.
"Suhu... Subo!"
Katanya sambil memberi hormat kepada kedua orang gurunya.
"Han Siong, bangkitlah dan mari ikut bersamaku ke dalam kamarku."
Kata Ci Kang dan Han Siong menurut.
Mereka bertiga meninggalkan tempat itu. Hui Cu kembali ke kamarnya ai sebelah timur sedangkan Ci Kang mengajak Han Siong kembali ke kamarnya yang berada di ujung barat. Ketika Han Siong ikut memasuki kamar itu, dia merasa terharu. Sebuah kamar kosong, sama sekali tidak ada perabot kamarnya. Dengan demikian, selama sepuluh tahun ini, orang gagah yang buntung lengan kirinya ini tinggal di lantai kamar itu tanpa beralaskan sesuatu! Kamar itu berdinding putih dan nampak bersih sekali. Dia diajak duduk bersila di atas lantai. Hawa dalam kamar itu cukup karena terdapat banyak lubang angin di atas jendela dan pintu. Sebuah lampu gantung terdapat di sudut kamar, tergantung dari langit-langit. Setiap beberapa hari sekali hwesio pengantar makanan selalu membawa sebotol minyak ke kamar ini, tentu untuk lampu itu, piker Han Siong.
"Han Siong, setelah menjadi muridku, engkau harus menceritakan semua tentang keadaanmu dan keluargamu. Tadi Suhu Ceng Hok Hwesio mengatakan bahwa Kakekmu bernama Pek Khun, siapakah dia?"
"Dia adalah Kakek Buyut teecu bernama Pek Khun. Kakek Buyut teecu itu bertapa di Pegunungan Kun-lun-san dan sejak kecil teecu ikut di Kun-lun-san."
Sepasang mata Ci Kang memandang penuh selidik.
"Kenapa begitu? Di mana Ayah Ibumu dan siapakah mereka?"
"Teecu tidak pernah mengenal Ayah dan Ibu. Menurut cerita Kakek Buyut teecu, Ayah adalah cucunya dan Ayah bernama Pek Kong. Karena teecu hendak dirampas orang-orang jahat, demikian kata Kakek Buyut teecu, maka teecu sejak bayi dibawa pergi oleh Kakek Pek Khun ke Kun-lun-pai, kemudian dititipkan di sini untuk mempelajari ilmu. Menurut Kakek Pek Khun, Kakek dan juga Ayah teecu berturut-turut menjadi ketua perkumpulan Hati Putih yang didirikan oleh kakek buyut Pek Khun."
"Pek-sim-pang (Perkumpulan Hati Putih)? Hemm, belum pernah aku mendengarnya. Ceritamu menarik dan aku yakin engkau keturunan orang-orang gagah."
"Teecu sendiri tidak banyak tahu tentang keluarga teecu, dan teecu ingin sekali tahu kenapa Suhu dan Subo sampai menjalani hukuman di sini. Kalau boleh teecu mengetahui maukah Suhu menjelaskan hal yang teecu ingin sekali tahu agar teecu tidak menjadi penasaran lagi?"
Mendengar pertanyaan anak itu, Ci Kang termenung. Semua peristiwa yang pernah terjadi pada dirinya dan Hui Cu kini terbayang semua olehnya. Ketika dia berjumpa dengan Hui Cu di kebun, keduanya merana dan berduka karena orang-orang yang dicinta telah menikah dengan orang lain, keduanya saling tertarik, merasa senasib sependeritaan dan merasa saling berkasihan. Lalu keduanya pergi bersama, tanpa kata apa pun di mulut, keduanya seperti telah bersepakat untuk menghadapi sisa hidup ini bersama-sama.
Mereka berdua lalu pergi naik turun gunung, keluar masuk hutan besar dengan hati nelangsa dan prihatin. Setelah lewat beberapa pekan, baru masing-masing mendapat kenyataan betapa mereka dapat bergaul dengan akrab, bahkan ada suatu ikatan istimewa dalam batin mereka, mungkin didorong oleh rasa iba dan senasib. Kemudian, di dalam sebuah hutan yang sunyi, di suatu malam yang diterangi bulan purnama, dengan hawa yang sejuk terjadilah hal itu di antara mereka! Dorongan berahi mereka membuat mereka lupa akan segala dan terjadilah hubungan yang amat mesra itu dengan suka rela. Pada keesokan harinya, Hui Cu menangis dan Ci Kang termenung. Keduanya menyesali apa yang telah mereka lakukan. Teringat pula mereka akan nasib mereka yang buruk.
Teringat betapa mereka berdua adalah keturunan orang-orang sesat dan timbul keraguan di dalam hati mereka apakah mereka juga tidak menuruni kesesatan orang tua mereka. Dalam keadaan putus asa dan semakin berduka disertai penyesalan, mereka lalu pergi ke kuil Siauw-lim-si di tepi Sungai Cin-sha di Pegunungan Heng-tuang-san yang sunyi itu. Dan mereka lalu pergi menghadap ketua kuil, Ceng Hok Hwesio, mohon untuk dapat diterima menjadi hwesio dan nikouw untuk mempelajari ilmu keagamaan dan kebatinan untuk menebus dosa-dosa mereka yang lalu. Ceng Hok Hwesio amat tertarik melihat pemuda buntung lengan kirinya yang nampak gagah dan tampan bertubuh tinggi tegap itu, apalagi melihat Hui Cu yang cantik jelita. Hatinya terharu dan merasa kasihan melihat dua orang muda yang ingin menebus dosa dan masuk menjadi hwesio dan nikouw itu.
Diterimanya mereka dengan hati rela dan mulai saat itu, dua orang muda yang gagah perkasa ini pun menjadi hwesio dan nikouw, menggunduli rambut kepala dan mengenakan pakaian calon pendeta, siang malam mempelajari ilmu keagamaan di dalam kuil, dipimpin sendiri oleh Ceng Hok Hwesio. Karena itu, Ceng Hok Hwesio merupakan guru mereka dan mereka pun menyebut suhu, walaupun mereka tidak pernah minta diajari ilmu silat dari ketua kuil itu. Melihat ketekunan mereka, Ceng Hok Hwesio merasa semakin suka dan mengajarkan keagamaan dengan tekun. Sejak pertama kali melihat Hui Cu, Ceng Hok Hwesio yang pada waktu itu berusia kurang lebih lima puluh tahun, telah merasa tertarik dan kagum sekali. Hwesio ini sejak kecil hidup di dalam kuil dan belum pernah bergaul dekat dengan wanita.
Kini sebagai muridnya, Hui Cu seringkali berada dalam satu ruangan dengan dia, untuk belajar membaca kitab agama dan mendengarkan penjelasan Ceng Hok Hwesio tentang artinya. Di dalam pergaulan ini, terjadi sesuatu di dalam batin Ceng Hok Hwesio. Dia merasa semakin suka, bahkan ada gairah cinta mengusiknya. Hui Cu, biarpun ketika itu baru berusia sembilan belas tahun, namun ia adalah seorang gadis yang sudah malang-melintang di antara orang-orang sesat, tentu saja dapat melihat sikap dan pandang mata Ceng Hok Hwesio kepadanya. Hal ini amat mengejutkan hatinya, juga mendatangkan perasaan tidak senang dan penolakannya ia perlihatkan dengan jelas dalam sikap dan pandang matanya terhadap guru agama itu. Dan Ceng Hok Hwesio juga dapat menangkap isyarat-isyarat penolakan ini.
Hatinya menjadi pahit dan kemarahan mulai timbul. Dia masih dapat mengekang nafsu berahi, hanya ingin berdekatan, ingin bermesraan dengan gadis itu yang sudah dinyatakannya dengan pandang matanya. Akan tetapi, gadis itu menolaknya, bahkan pada pandang mata gadis itu terkandung pula ejekan dan pandangan merendahkan! Kemudian, terjadilah sesuatu yang menghebohkan. Setelah berada di kuil itu selama sembilan bulan, pada suatu malam Hui Cu melahirkan seorang anak perempuan! Selama ini ia dapat menyembunyikan kandungannya di balik jubah nikouw yang longgar, akan tetapi setelah melahirkan, tentu saja ia tidak mampu menyembunyikannya lagi. Bagaikan seekor harimau kelaparan. Ceng Hok Hwesio menyerbu kamar muridnya itu. Mukanya merah, matanya terbelalak dan kedua tangannya dikepal.
"Omitohud... engkau perempuan tidak tahu malu!"
Dia memaki. Pada saat itu, Ci Kang maju berlutut.
"Harap Suhu bersikap tenang dan tidak menyalahkan Hui Cu. Sebenarnya, teecu yang bersalah. Akan tetapi, semua ini terjadi di luar pengetahuan kami. Selama kami berdua berada di sini, kami tidak pernah melakukannya, dan ternyata kandungan itu terbawa tanpa diketahui Hui Cu."
"Keparat! Jadi engkaukah bapaknya?"
Bentak Ceng Hok Hwesio dan diam-diam Ci Kang terkejut dan heran mendengar ucapan kasar itu keluar dari mulut suhunya yang biasanya bersikap tenang, sabar dan lembut itu.
"Benar, Suhu. Sebelum kami berdua datang ke kuil ini, kami telah... telah...akan tetapi kami tidak tahu bahwa Hui Cu telah mcngandung."
"Hemm, apakah kalian ini suami isteri? Sudah menikah?"
Ci Kang menggeleng kepalanya.
"Kami tidak berbohong kepada Suhu ketika kami datang dan mengatakan bahwa kami hanyalah sahabat baik yang senasib sependeritaan. Kami bukan suami isteri..."
"Omitohud... semoga kuil kami diampuni dari dosa-dosa yang amat besar ini. Bukan suami isteri dan kini terlahir seorang anak! Dan kalian adalah seorang hwesio dan seorang nikouw. Memalukan! Memalukan pinceng, memalukan kuil, memalukan Siauw-lim-si...!"
"Ampun, Suhu, kami tidak sengaja. Andaikata kami tahu bahwa Hui Cu sudah mengandung tentu kami tidak akan berani menjadi murid Suhu."
"Andaikata... andaikata... lebih baik melihat kenyataan yang ada sekarang! Kalian telah melakukan dosa besar, mencemarkan nama dan kehormatan, juga kesucian kuil kami. Untuk itu, sepatutnya kalian dihukum mati. Akan tetapi, pinceng adalah seorang suci yang tidak mau mengotorkan tangan dengan pembunuhan. Sebagai gantinya, kalian harus dihukum di dalam Ruangan Renungan Dosa agar kalian merenungkan dosa kalian yang besar itu dan bertaubat. Sanggupkah kalian menerima hukuman merenungkan dosa itu?"
Ci Kang dan Hui Cu yang juga berlutut mendengarkan dengan hati pilu, apalagi pada saat itu bayi mereka menangis dengan suara nyaring sekali.
"Bagaimanapun juga, kalian harus menerima hukuman yang akan pinceng jatuhkan, karena kalau kalian menolak, berarti terpaksa pinceng harus menjatuhkan hukuman mati!"
Kembali terdengar suara Ceng Hok Hwesio.
"Teecu... sanggup..."
Kata Hui Cu dan Ci Kang terkejut sekali. Hukuman itu belum dijatuhkan dan Hui Cu sudah menyatakan kesanggupannya! Melihat betapa Hui Cu sudah sanggup, tidak ada pilihan lain baginya untuk menyatakan kesanggupannya juga.
"Teecu sanggup."
"Omitohud, semoga Sang Buddha mengampuni kalian. Pinceng menjatuhkan hukuman bertapa dalam dua kamar Renungan Dosa selama masing-masing dua puluh tahun!"
Semua hwesio yang berada di situ terkejut bukan main. Juga Ci Kang terbelalak, akan tetapi ketika dia melihat pandang mata Ceng Hok Hwesio yang dingin dan tegas, dia hanya dapat menarik napas panjang. Mereka berdua sudah menyatakan kesanggupan, maka mau tidak mau harus menjalani hukuman yang luar biasa beratnya itu. Semua peristiwa yang terjadi pada sepuluh tahun yang lalu itu terbayang di dalam benak Ci Kang ketika muridnya, Han Siong, bertanya kepadanya tentang sebab hukuman itu. Tentu saja dia tidak dapat menceritakan semua hal sejelasnya karena Han Siong masih terlalu kecil untuk mengetahui semua hal itu. Usianya baru dua belas tahun, belum dewasa.
"Han Siong, Suhu dan Subomu ini telah melakukan pelanggaran di dalam kuil. Kami berdua telah menjadi suami isteri dan Subomu melahirkan seorang anak, maka kami harus menjalani hukuman selama dua puluh tahun di Kamar Renungan Dosa.."
"Tapi itu tidak adil! Apa salahnya menjadi suami isteri dan mempunyai anak?"
"Di kuil ini dianggap dosa besar, muridku. Apalagi ketika itu kami telah menjadi pendeta. Kami sama sekali tidak tahu bahwa pada waktu kami masuk menjadi murid kuil, Subomu sudah mengandung. Andaikata kami tahu, tentu kami tidak menjadi hwesio dan nikouw dan tidak melakukan pelanggaran dan dosa."
"Tapi, dua puluh tahun untuk itu? Terlalu berat dan tidak adil, Suhu!"
Kembali Han Siong berseru. Ci Kang tersenyum.
"Sstt, sudahlah, jangan ribut-ribut. Kami berdua sudah menerimanya dengan rela. Kami anggap sebagai penebusan dosa-dosa kami dan nenek moyang kami, dan juga sebagai tempat bertapa, kamar-kamar kami amat baik, juga kami perlu tempat yang rahasia untuk melakukan latihan-latihan."
Han Siong mengangguk-angguk.
"Ya, memang benar, Suhu. Setiap saat, kalau Suhu dan Subo kehendaki, tentu Suhu dan Subo dapat saja keluar dari kamar ini, apalagi kalau malam tiba.."
"Eh, kau tahu akan hal itu?"
Gurunya bertanya heran.
"Pernah teecu melihat dua bayangan berkelebat masuk dan dikejar oleh bayangan Lam-hai Gim-lo. Bukankah dengan demikian berarti bahwa Suhu dan Subo suka keluar dari kamar secara rahasia?"
Asmara Berdarah Eps 32 Asmara Berdarah Eps 20 Harta Karun Jenghis Khan Eps 2