Ceritasilat Novel Online

Kumbang Penghisap Kembang 2


Si Kumbang Merah Penghisap Kembang Karya Kho Ping Hoo Bagian 2



"Bun An... Bun An..., kau..."

   Bun An tidak ingin ibunya bicara di tempat itu, didengarkan banyak orang, maka dia lalu memegang tangan ibunya.

   "Sudahlah, mari kita pergi dan bicara di tempat lain!"

   Dia menarik tangan ibunya. Wanita itu menahan karena bagaimana mungkin ia pergi begitu saja tanpa pamit? Dan pakaiannya, barang-barangnya masih berada di dalam kamarnya.

   "Nanti... dulu, aku... pamit dan mengambil barang-barangku..."

   "Tak usah. Mari kita pergi!"

   Bun An menarik dan wanita itu merasa betapa kuatnya tarikan tangan puteranya. Ia sama sekali tidak mampu menahan dan tubuhnya ikut tertarik. Melihat sikap puteranya, iapun tidak membantah dan keduanya melangkah untuk keluar dari pekarangan rumah pelacuran itu. Tiba-tiba dari dalam keluar seorang wanita tua, usianya kurang lebih enam puluh tahun dengan tubuhnya gendut sekali.

   "Heiiii! Mau kemana kau, Kui Hui? Engkau tidak boleh pergi begitu saja! Engkau harus membayar dulu hutang-hutangmu!"

   Kui Hui tidak berani menjawab, hanya memandang dengan gelisah. Bun An juga membalikkan tubuh, menghadapi nyonya gendut itu.

   "Aku mengajaknya pergi dari tempat terkutuk ini, engkau mau apa?"

   Nyonya itupun sudah mendengar betapa pemuda ini merobohkan enam orang tukang pukulnya, maka ia tidak berani bersikap galak.

   "Orang muda, kalau hendak membawa pergi, harus ada tebusannya, harus ada uang penggantinya!"

   "Babi betina, kuganti ia dengan nyawamu!"

   Kata Bun An dan sekali menendang, tubuh nyonya itu terjengkang. Wanita itu menguik-nguik seperti babi disembelih, akan tetapi Bun An tidak memperdulikannya lagi, menarik tangan ibunya dengan cepat meninggalkan tempat itu. Sebentar saja mereka tiba di tempat sunyi, diluar pintu gerbang kota. Di tempat sunyi ini, Bun An menyuruh ibunya bercerita tentang keadaan sebenarnya.

   Sambil menangis, Kui Hui menceritakan bahwa memang benar Ma Cun telah berubah sejak Bun An minggat. Orang itu menghamburkan harta yang dibawanya dari keluarga Tang, berfoya-foya, main perempuan, berjudi dan akhirnya, setelah harta itu ludes, Ma Cun memaksa ia untuk mencari uang dengan menjual diri! kalau ia menolak, Ma Cun memukuli dan menyiksanya! Keadaan seperti itu tidak dapat dipertahankan lagi dan mereka lalu bercerai. Akan tetapi, Ma Cun masih menyeret Kui Hui ke rumah pelacuran itu dan menjual isterinya kepada mucikari. Demikianlah, Kui Hui lalu menjadi anak buah mucikari itu, dan harus bekerja siang malam melayani tamu untuk mencari uang karena ia dianggap mempunyai hutang yang makin lama makin besar sesuai dengan perhitungan bunganya yang amat berat!

   "Itulah nasib ibumu, anakku...,"

   Kata Kui Hui yang menceritakan semua itu sambil menangis.

   "Aku... aku menjadi pelacur... aku... aku menderita sakit, kadang-kadang batuk darah... tapi sekarang, engkau mengajak aku pergi, dan semua pakaianku berada disana, juga sedikit tabunganku, padahal engkau... ah, engkau sendiri berpakaian tambal-tambalan seperti seorang pengemis...! bagaimana kita selanjutnya akan hidup, Bun An?"

   Bun An mengerutkan alisnya. Ibunya telah terperosok sedemikian dalamnya, pikirnya sehingga yang dipikirkan hanya harta benda dan uang saja!

   "Kalau harta yang ibu inginkan, malam nanti aku akan mencarikannya untuk ibu. Sekarang, ibu ikut saja dengan aku!"

   Dia lalu mengajak ibunya ke dalam sebuah kuil tua yang kosong yang berada di dalam hutan kecil di atas bukit di luar kota. Di sinilah selama beberapa malam dia menginap.

   Tentu saja Kui Hui yang tidak biasa hidup seperti itu, hanya bisa menangis. Di dalam hatinya sudah merasa menyesal sekali mengapa puteranya muncul dan memaksanya keluar dari rumah pelacuran itu. Di sana, ia sudah mulai dapat menyesuaikan diri, dapat bersenang-senang dengan para pria yang membelinya, makan dan pakaian tidak pernah kurang, kamarnya indah. Dan sekarang, tanpa bekal sepotongpun pakaian sebagai pengganti, ia harus rebah di atas lantai kotor sebuah kuil yang menyeramkan, yang pantasnya hanya menjadi tempat tinggal iblis dan siluman! Dan malam itu, Bun An meninggalkan ibunya. Pemuda ini tidak banyak bicara, bahkan ketika ibunya bertanya tentang pengalamannya, dia hanya menjawab singkat bahwa sepuluh tahun lebih ini dia hidup sebagai pengemis dan mempelajari ilmu silat.

   "Ibu tunggu saja disini, aku akan mencarikan harta benda yang ibu inginkan itu. Jangan ibu pergi dari sini kalau ibu ingin selamat, karena diluar tentu banyak bahaya mengintai!"

   Setelah berkata demikian sekali berkelebat Bun An lenyap dari depan ibunya. Wanita itu terbelalak, lalu menangis di atas lantai kuil itu, ketakutan dan mengira bahwa puteranya itu agaknya telah menjadi iblis yang pandai menghilang! Bun An mengintai dari luar kuil, membiarkan ibunya menangis, sedikitpun dia tidak merasa kasihan, bahkan dia merasa betapa hatinya membenci wanita ini. Ibunya telah membunuh ayahnya. Hal ini dia ketahui benar. Masih teringat dia akan semua percakapan antara ibunya dengan kekasihnya, Ma Cun, dan dialah yang menerima bungkusan racun itu dari Ma Cun, untuk diserahkan kepada ibunya.

   Kemudian, ibunya yang berzina dengan Ma Cun, menjadi isteri Ma Cun setelah mencuri banyak barang perhiasan keluarga Tang. Lebih menggemaskan lagi, kini ibunya menjadi seorang pelacur! (Lanjut ke Jilid 02)
Ang Hong Cu (Seri ke 10 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 02
Akan tetapi, bagaimanapun juga dia adalah putera kandung ibunya, dia harus memelihara ibunya. Dan yang lebih dari itu, dia harus membuat perhitungan dengan Ma Cun! Siang tadi dia sudah menyelidiki di mana adanya orang itu. Tidak sukar untuk mencari Ma Cun yang biasa berjudi di Hok Pokan (Rumah Judi Mujur). Tempat judi besar di kota raja ini menjadi pusat perjudian dan di situ terdapat banyak golongan sesat yang mengadu nasib dengan berjudi. Sebuah tempat berbahaya dan tidak ada orang baik-baik berani mengunjungi tempat ini. Orang yang bukan penjudi ulung, yang baru saja datang dan berani mencoba-coba untuk berjudi, tentu akan habis di curangi oleh ular-ular judi.

   Segala macam maling, perampok dan penjahat lain mempergunakan Hok Pokan sebagai tempat pelesir dan disitu banyak terdapat pelacur-pelacur yang dipergunakan oleh bandar judi untuk memikat para langganan. Ramailah keadaan di rumah perjudian itu. Meriah penuh gelak tawa dari sore sampai pagi. Seperti tadi ketika dia datang berkunjung ke rumah pelacuran, kini Bun An disambut oleh para penjaga keamanan, tukang-tukang pukul di rumah perjudian itu, dengan alis berkerut. Tukang-tukang pukul di tempat itu tidak boleh disamakan dengan tukang-tukang pukul di rumah pelacuran, disini merupakan tempat para penjahat berkumpul, dimana terdapat banyak uang di perjudikan, maka penjagaannya amat ketat. Jagoan-jagoan pilihan menjaga tempat itu dengan bayaran tinggi dari bandar judi.

   "Heii, kau jembel gila! Mau apa kau kesini?"

   Bentak seorang jagoan ketika melihat Bun An memasuki pintu pekarangan.

   "A-boan, lemparkan saja sekeping uang kecil padanya agar tidak membikin kotor tempat ini!"

   Kata orang kedua. Bun An merasa betapa perutnya panas mendengar ucapan yang nadanya menghina itu, akan tetapi dia menahan sabar,

   "Aku datang bukan untuk mengemis, akan tetapi untuk mencari seorang bernama Ma Cun. Harap kalian suka memanggil dia keluar."

   Ma Cun amat terkenal di rumah perjudian itu, karena selain dia merupakan langganan lama, juga Ma Cun terkenal sebagai seorang jagoan pula, bekas perwira pengawal pembesar dan memiliki ilmu silat tinggi. Mendengar betapa pengemis muda ini menyebut nama jagoan dan penjudi itu begitu saja dan minta dipanggilkan, beberapa orang penjaga itu menjadi marah.

   "Cuhh!"

   Orang pertama meludah.

   "Orang jembel macam kau berani menyuruh kami memanggil orang?"

   "Tidak seorangpun langganan kami boleh diganggu, apalagi di ganggu jembel..."

   "Kalau kalian tidak mau memanggilnya, biarlah aku mencarinya sendiri ke dalam!"

   Bun An memotong, kehilangan kesabarannya, dan dia lalu melangkah hendak masuk ke dalam ruangan depan rumah judi itu.

   "Heii! Berhenti!"

   Bentak seorang tukang pukul dan diapun memegang lengan kiri Bun An lalu menariknya dengan pengerahan tenaga, dengan maksud agar pemuda jembel itu tertarik dan terpelanting. Akan tetapi, tubuh pemuda jembel itu sama sekali tak bergeming dan si tukang pukul merasa seolah-olah yang dipegangnya itu bukan lengan tangan, melainkan sepotong besi yang keras! Beberapa kali dia mengerahkan tenaga untuk membetot, akan tetapi percuma saja. Hal ini membuat dia merasa penasaran lalu marah, dan langsung saja dia memukul dengan tinjunya ke arah muka Bun An.

   "Wuut!"

   Dengan miringkan mukanya, pukulan itu meluncur dekat pipi Bun An. Pemuda ini menjadi marah dan sekali dia mengangkat lutut, maka lututnya telah masuk ke dalam perut orang itu.

   "Ngokk!"

   Orang itu menekuk perutnya dan memegangi perut yang terasa nyeri bukan main. Bun An menendang tubuh orang itu terlempar lalu terbanting jatuh. Melihat ini, tujuh orang tukang pukul menjadi marah. Seorang diantaranya, sudah menubruk dari belakang dengan kedua lengan terpentang dan kedua tangan terbuka, siap untuk mencengkeram dan mencekik leher pengemis muda itu. Bun An membiarkan saja tangan itu mencengkeram lehernya dan sipencengkeram terkejut ketika merasakan betapa leher yang dicekiknya itu keras seperti besi! Pada saat itu, Bun An sedikit miringkan tubuhnya dan siku kanannya menghantam kebelakang.

   "Dukk! Aughh...!"

   Orang yang kena disiku dadanya itu terpental dan terbanting jatuh, seketika muntah darah karena dadanya seperti dihantam toya besi saja! Barulah para tukang pukul itu sadar bahwa pengemis muda ini sama sekali tidak boleh di buat main-main. Mereka mencabut senjata dan menyerang Bun An dari berbagai jurusan.

   Melihat gerakan mereka, tahulah Bun An bahwa mereka itu tidak boleh disamakan dengan para jagoan di rumah pelacuran, maka diapun cepat mendahului mereka. Tubuhnya bergerak cepat sekali dan bagi para pengepungnya, tubuh itu seperti lenyap berubah menjadi bayangan yang terbang menyambar-nyambar, dan tujuh orang jagoan roboh malang melintang di pekarangan itu! Dengan tenang Bun An melangkah memasuki ambang pintu, mendorong pintu ke dua dan masuk ke ruangan perjudian yang amat luas itu. Ada belasan meja judi dikelilingi banyak orang. Suasana disitu amat pengap bagi dia yang baru masuk dari tempat terbuka. Ruangan itu penuh asap berbau tembakau bercampur bau minyak wangi dari pakaian para pelacur yang menghibur para penjudi, dan bau keringat semua orang!

   Dua orang jagoan yang berjaga di sebelah dalam, sudah tahu akan apa yang terjadi di luar. Mereka ini memiliki tingkat yang lebih tinggi daripada mereka yang berada di luar tadi. Maka, dengan cepat begitu melihat Bun An melangkah masuk, kedua orang ini sudah menyambutnya dengan serangan pedang dari kanan kiri. Pedang kiri menusuk ke arah lambung, pedang kanan membacok kepala dari atas. Menghadapi kedua serangan pedang yang dilakukan serentak dan mendadak ini, Bun An yang sejak tadi tidak pernah kehilangan kewaspadaan sedetikpun, mengangkat kedua tangan menyambut. Tangan kanan bergerak ke samping dan tangan kiri bergerak ke atas. Dua orang penyerang itu terbelalak ketika merasa betapa pedang mereka berhenti meluncur, dan ketika mereka melihat betapa pedang mereka terjepit di antara jari-jari tangan pemuda jembel itu.

   Mereka mengerahkan tenaga membetot untuk melepaskan pedang dari jepitan jari tangan, namun sia-sia karena pedang itu seperti terjepit oleh jepitan baja saja, dan sebelum mereka sempat tahu apa yang akan terjadi, kedua kaki Bun An dengan bergantian namun cepat sekali seolah-olah kedua kaki itu bergerak berbarengan saja, telah menendang dan kedua orang itu terpelanting roboh dan tidak mampu bangkit kembali karena sambungan lutut kaki mereka terlepas! Pedang mereka telah berpindah ke kedua tangan Bun An. Lima orang jagoan ini cepat maju mengepung dan langsung mengeroyok, menggerakkan senjata mereka, akan tetapi nampak sinar bergulung-gulung dari dua batang pedang yang berada di tangan Bun An. Terdengar teriakan-teriakan disusul robohnya lima orang itu karena lengan mereka telah terluka dan mengucurkan darah!

   Kini semua orang merasa gentar, bahkan jagoan-jagoan lain mengundurkan diri, menjauh. Tidak ada yang berani menyerangnya, Bun An melempar kedua pedang ke atas lantai, lalu melangkah perlahan-lahan ke tengah ruangan. Semua mata memandang kepadanya, mata yang terbelalak dan muka yang pucat karena ketakutan. Bun An memandang ke sana sini, mencari-cari dan akhirnya dia melihat orang yang dicarinya. Tentu saja ia masih mengenal Ma Cun, orang yang dibencinya itu. Bekas pengawal itu kini sudah berusia empat puluh tahun lebih, rambut kepalanya sudah bercampur uban, namun wajahnya yang gagah tidak berubah. Hanya perutnya yang kini menggendut, akan tetapi tubuhnya masih nampak kokoh kuat. Melihat orang yang dicarinya ini, Bun An menghampiri dan dia kini berdiri di depan Ma Cun dalam jarak lima meter.

   "Ma Cun, tinggalkan mejamu dan majulah kesini!"

   Kata Bun An, suaranya halus, akan tetapi mengandung getaran dendam kebencian. Ma Cun mengerutkan alisnya. Dia sendiri adalah jagoan yang memiliki ilmu silat yang cukup tinggi, maka tentu saja dia tidak gentar melihat pengemis muda yang tadi mengamuk. Akan tetapi, ketika pengemis muda itu memanggilnya, dia merasa penasaran dan juga marah.

   "Bocah pengemis! Aku Ma Cun tidak ada urusan dengan engkau. Pergilah dan jangan menggangguku!"

   Dia membesarkan suaranya agar lebih berwibawa karena pada saat itu, semua orang memandang kepadanya dan kepada pengemis muda yang tidak dikenalnya itu.

   "Ma Cun, buka matamu baik-baik dan lihat siapa aku!"

   Bun An berkata lagi, suaranya tetap halus, namun mengandung sesuatu yang membuat semua orang bergidik. Ma Cun memandang dengan penuh selidik, lalu mengerutkan alisnya lebih dalam dan menghardik,

   "Jembel busuk! Aku tidak mengenal orang macam engkau, pergilah sebelum hilang kesabaranku!"

   Ma Cun yang percaya akan kemampuannya sendiri itu menggertak dan tangannya sudah meraba gagang pedangnya yang selalu berada di dekatnya dan pada saat itu pedangnya berikut sarung pedang terletak di atas meja judi. Bun An tersenyum mengejek, matanya menyorotkan sinar dingin yang mau tidak mau terasa juga oleh Ma Cun, membuatnya merasa agak dingin pada tengkuknya.

   "Ma Cun, namaku Tang Bun An!"

   Ma Cun terbelalak.

   "Ha-ha-ha, kiranya engkau setan cilik kini menjadi orang yang tidak berharga!"

   Katanya sambil meninggalkan meja menghampiri Bun An. Setelah kini dia mengenal Bun An, rasa jerih yang sedikit banyak ada padanya tadi lenyap seketika, terganti oleh pandangan rendah dan menghina. Sejak melihat Ma Cun tadi, Bun An sudah merasa seolah-olah ada api nyala panas di dalam dadanya. Kini mendengar penghinaan itu, kemarahannya meluap-luap dan diapun melangkah maju sehingga mereka berhadapan dalam jarak dua meter saja, saling pandang dengan sinar mata penuh kebencian.

   "Bun An jembel busuk, apakah engkau datang untuk mengemis kepadaku? Nih, uang kecil untukmu!"

   Sambil berkata demikian, dengan sikap dan pandang mata menghina sekali Ma Cun mengambil tiga keping uang kecil dari sakunya dan dilemparkan ke depan. Tiga keping uang itu mengenai tubuh Bun An lalu jatuh ke bawah, mengeluarkan suara berkeritikan. Tidak nyaring, akan tetapi karena semua orang diam menahan napas dengan hati tegang, jatuhnya tiga buah mata uang itu menimbulkan suara yang nyaring."

   "Ma Cun, dengarlah, buka telingamu lebar-lebar. Aku datang bukan untuk minta uang, melainkan untuk mengambil nyawamu!"

   Suasana menjadi semakin tegang ketika kata-kata ini keluar dari mulut pengemis muda itu. Tidak lantang, namun karena suasana amat sepi dan hening seolah-olah disitu tidak ada manusia lain, maka terdengar jelas dan menimbulkan ketegangan mendalam. Wajah Ma Cun berubah merah sekali saking marahnya.

   "Singgg!"

   Pedang itu telah dicabutnya. Dengan tangan kiri memegang pedang, Ma Cun sudah menubruk maju ke depan, menyerang Bun An dengan sabetan pedangnya, tidak malu-malu lagi menyerang seorang pemuda yang tidak memegang senjata apapun. Namun, Bun An menghadapi serangan pedang itu dengan tenang saja. Tingkat kepandaiannya sudah jauh lebih tinggi daripada Ma Cun, maka ketika pedang berkelebat menyambar ke arahnya, dia menangkis dari samping, menampar ke arah pedang itu.

   "Plakkk!"

   Pedang itu dapat di tangkapnya! Semua mata terbelalak memandang, hampir tidak percaya. Bagaimana mungkin pemuda jembel itu berani menangkap pedang yang tajam dan digerakkan oleh seorang yang bertenaga besar seperti Ma Cun? Akan tetapi kenyataannya, pedang itu dapat ditangkap dan kini nampak Ma Cun bersitegang hendak menarik pedangnya agar tangan pemuda itu terbabat buntung. Akan tetapi sama sekali tidak berhasil. Sekali lagi dia membetot dan tiba-tiba Bun An melepaskan pegangannya. Tubuh Ma Cun terjengkang! Sambil tersenyum mengejek Bun An memberi isyarat kepadanya agar bangkit.

   "Berdirilah dan keluarkan semua kepandaianmu sebelum kau kubunuh!"

   Ma Cun menjadi pucat sekali dan mulailah dia meragukan kemampuannya sendiri, hal yang belum pernah ia lakukan. Apa yang dialaminya tadi terlalu hebat dan nyalinya sudah menciut, bahkan kedua kakinya mulai gemetar.

   "Kawan-kawan, bantulah aku!"

   Teriaknya tiba-tiba dan diapun lalu menyerang dengan membabi buta. Kini, para jagoan yang berada disitu, seperti baru sadar bahwa ada seorang pemuda berpakaian seperti pengemis yang lihai sekali sedang mengacau dirumah judi itu, bahkan mengancam nyawa seorang kawan mereka. Belasan orang jagoan, baik yang bertugas sebagai penjaga keamanan disitu maupun yang datang sebagai tamu dan penjudi, segera mencabut senjata masing-masing dan menyerbu ke arah Bun An! Pemuda itu sudah marah sekali. Serangan Ma Cun yang membabi buta itu disambut dengan tamparan keras ke arah lengan Ma Cun.

   Ma Cun berteriak kesakitan dan pedangnya terlepas dari pegangan, lengan kanannya terasa nyeri bukan main, seperti dipukul dengan toya baja. Pada saat itu teman-temannya sudah menyerbu, maka dengan cerdik Ma Cun menyelinap diantara orang banyak dan melarikan diri ke loteng. Bun An mengamuk. Tubuhnya berkelebatan diantara pengepung dan pengeroyoknya, akan tetapi matanya tidak melepaskan pintu keluar, takut kalau-kalau Ma Cun lolos keluar. Dia marah karena kehilangan Ma Cun yang menyelinap diantara orang banyak. Bun An menggerakkan kaki dan tangannya dan mulailah pengeroyok berpelantingan ke kanan kiri. Bukan hanya tubuh para pengeroyok, akan tetapi juga meja judi dan bangku-bangku beterbangan karena ditendangi oleh Bun An yang mengamuk sambil mencari-cari Ma Cun.

   Dalam waktu beberapa menit saja, belasan orang jagoan sudah roboh malang melintang tidak nampak bangun lagi dan hanya merintih kesakitan. Para tamu yang tidak ikut mengeroyok, sudah merapatkan diri di dinding dengan wajah pucat. Karena tidak ada lagi yang menyerangnya, Bun An mencari-cari dengan matanya. Dia melihat seorang laki-laki gendut yang tadi sekelebatan dilihatnya sebagai majikan tempat itu dengan sikap yang angkuh. Orang itu bersembunyi di balik meja yang roboh, tubuhnya yang gendut itu menggigil seperti diserang demam. Dengan sekali loncatan saja Bun An sudah tiba dibelakang orang itu dan sekali cengkeraman pada pundak si gendut itu, dia menariknya berdiri dan si gendut menahan jerit seperti seekor tikus terjepit.

   "Hayo katakan, dimana adanya Ma Cun?"

   Bun An merasa yakin bahwa orang yang dicarinya tentu masih berada di situ karena sejak tadi dia memperhatikan pintu keluar dan tidak melihat Ma Cun keluar dalam keributan tadi.

   "Ti-tidak... tahu..."

   Si gendut menggeleng kepalanya.

   "Hemm, apa kau minta mati?"

   Bun An menekan pundak si gendut itu yang tiba-tiba merasa betapa tubuhnya seperti ditusuk-tusuk seribu jarum. Dia kini tidak lagi menahan jeritnya, menguik-nguik seperti seekor babi dimasukkan keranjang.

   "Kau tidak mau mengatakan di mana dia?"

   "Di... di loteng...,"

   Kata si gendut yang tiba-tiba saja terkencing-kencing di celana. Bun An mendorongnya sehinga dia roboh terguling-guling dan cepat lari menaiki tangga menuju ke loteng. Semua orang yang berada di ruangan bawah itu kini memandang ke atas. Ada ruangan diloteng itu berikut beberapa buah kamar dimana para pemenang permainan judi boleh menghamburkan uangnya pada para pelacur yang siap melayani mereka,

   Bun An segera memeriksa setiap kamar dan pada kamar ke tiga, tiba-tiba dia diserang orang dari dalam kamar dengan sebatang pedang. Penyerang itu bukan lain adalah Ma Cun yang sudah memperoleh sebatang pedang lagi. Namun, Bun An sudah waspada. Begitu pedang meluncur, dia mengelak, lalu tangannya menangkap pedang, kakinya menendang lengan kanan. Terpaksa Ma Cun melepaskan pedangnya dan dia hendak lari turun. Akan tetapi, tangan kiri Bun An menampar, mengenai tengkuknya dan diapun terjungkal roboh. Semua orang melihat peristiwa diloteng itu dengan mata terbelalak. Dilihat dari bawah, apa yang terjadi diatas itu seperti permainan wayang saja! Karena melihat tidak ada jalan keluar lagi, timbullah rasa takut di hati Ma Cun. Tanpa malu-malu lagi, dia lalu berlutut dan meyembah-nyembah kepada Bun An.

   "Bun An, ampunkanlah aku"

   Ah, ingatlah betapa aku ayah tirimu... aku pernah menyayangimu... ingatkah engkau ketika aku dulu memberi hadiah kepadamu? Ampunkan aku, Bun An!"

   Kemarahan Bun An semakin menjadi ketika diingatkan akan peristiwa yang lalu. Memang dulu, ketika masih menjadi kekasih ibunya dirumah keluarga Tang, orang ini sering mengambil hatinya dengan memberi barang-barang mainan, juga mengancamnya karena dialah yang menjadi jembatan antara ibunya dan orang ini!

   "Keparat jahanam! Masih ada muka engkau untuk minta ampun dan mengaku ayah tiriku? Ingatkah engkau ketika memukuli dan menyiksaku, bahkan menendangku? Dan sudah lupakah engkau apa yang kau lakukan terhadap ibuku? Engkau hamburkan semua harta benda ibuku dan setelah habis, engkau sia-siakan ibuku, engkau siksa ia, kau pukul dan tendang, kau jual!"

   "Ampun... ampun..."

   Ma Cun menyembah-nyembah ketakutan, keringat dingin sebesar kedele keluar dai tubuhnya.

   "Dan ingatkah engkau betapa engkau telah merencanakan pembunuhan kepada ayah kandungku? Kau racuni dia sampai mati!"

   "Bukan aku... ampun, tapi ibumu... ampunkan aku..."

   "Pengecut hina! Biar kutebus dengan kedua tanganmu, engkau masih belum dapat membayar hutangmu kepadaku. Berikan kedua tanganmu!"

   Sambil berkata demikian, nampak sinar pedang berkelebat, yaitu pedang yang tadi dirampas Bun An dari tangan Ma Cun. Ma Cun menjerit dan kedua tangannya, sebatas bawah siku, terbabat buntung! Demikian cepatnya pedang itu sehingga kedua lengan itu buntung tanpa dirasakan Ma Cun yang baru menjerit setelah melihat betapa kedua lengannya tak bertangan lagi! Dengan kakinya Bun An menendang kedua potongan lengan itu kebawah loteng! Semua orang memandang terbelalak, muka mereka pucat karena ngeri melihat dua buah tangan itu melayang jatuh di atas meja judi! Ma Cun menjerit-jerit ketika Bun An menghardik,

   "Dan serahkan kedua kakimu untuk membayar hutangmu kepada ibuku!"

   Kembali pedang berkelebat dan Ma Cun mengeluarkan jeritan yang lebih mengerikan lagi ketika tiba-tiba saja kedua kakinya, sebatas lutut, terbabat buntung oleh pedang. Tubuhnya terpelanting, berkelojotan dan mulutnya masih merintih-rintih, Bun An juga menendang kedua potongan kaki itu kebawah loteng. Kini semua orang menggigil.

   "Sekarang, berikan kepalamu untuk membayar hutangmu kepada ayah!"

   Pedang berkelebat dan tubuh Ma Cun tidak bergerak lagi, tidak menjerit lagi, melainkan darah saja muncrat-muncrat ketika lehernya terbabat buntung oleh pedang. Kepalanya ditendang dan menggelinding ke bawah loteng! Bun An melempar pedangnya dan sekali lompat, dia sudah melayang turun ke bawah loteng. Melihat tumpukan uang di atas meja-meja berserakan pula di bawah, dia teringat akan kebutuhan ibunya. Dia lalu mengambil semua uang itu, dimasukkan kedalam taplak meja, dibungkusnya lalu dipanggulnya. Sebelum pergi, dia memandang kepada semua orang dan berkata lantang,

   "Aku mengambil uang ini bukan merampok melainkan mengambil kembali sebagian dari harta ibuku yang dihamburkan ditempat ini. Kalau ada yang penasaran, carilah aku, Siauw-kai!"

   Lalu dia keluar dari tempat judi itu dengan tenang. Tak seorangpun berani bergerak melarangnya, bahkan tidak ada yang berani bergerak sebelum Bun An pergi jauh dari tempat itu.

   Dengan uang yang diambilnya dari tempat judi, Bun An mengajak ibunya untuk pulang ke dusun tempat asal ibunya. Di dusun ini, Bun An membeli rumah sederhana dan sebidang tanah. Karena desakan ibunya, dia membuang pakaian jembelnya dan mengenakan pakaian biasa. Jadilah dia seorang pemuda yang tampan dan karena uang yang diambilnya dari rumah judi tidak terlalu banyak, hanya cukup untuk membeli sebidang tanah dan pakaian untuk dia dan ibunya, perabot rumah sederhana, maka uang itupun habis dan Bun An bersama ibunya harus bekerja di ladang untuk keperluan sehari-hari. Beberapa bulan kemudian, setelah ibu dan anak itu hidup tenang di dusun itu, Kui Hui mulai membujuk puteranya untuk menikah.

   "Usiamu sudah cukup, anakku, dan akupun sudah ingin sekali menggendong cucu. Gadis keluarga Lui di dusun sebelah amatlah cantiknya, merupakan kembang dusun-dusun di daerah ini. Aku ingin melamarnya untukmu, ankku."

   Bun An tersenyum. Memang, usianya sudah dua puluh tahun lebih, dan diapun sudah pernah melihat gadis yang dimaksudkan ibunya itu.

   Gadis keluarga Lui itu bernama Kim Bwe berusia delapan belas tahun, dan memang cantik sekali bagaikan setangkai bunga Bwe! Maka diapun mengangguk dengan senang, menyatakan setuju. Pinangan diajukan dan diterima dengan senang oleh keluarga Lui, apalagi karena keluarga itu melihat Bun An adalah seorang pemuda yang tampan sekali. Juga rajin bekerja, dan masih berdarah bangsawan, karena kepada perantara Kui Hui membisikkan bahwa puteranya adalah turunan keluarga Tang di kota raja yang pernah menjabat kedudukan tinggi. Pernikahan dilangsungkan dengan sederhana namun cukup meriah bagi penghuni dusun, dan Bun An memboyong isterinya kerumahnya. Karena memang isterinya memang cantik manis dan lembut, mudah bagi Bun An untuk jatuh cinta kepada Lui Kim Bwe dan selama berbulan-bulan sejak pernikahan mereka,

   Kedua orang suami isteri muda ini hidup berenang dalam lautan kemesraan dan nampaknya saling mencinta. Akan tetapi, diam-diam wanita muda yang pernah menjadi kembang dusun itu kadang-kadang merasa menyesal dan kecewa bukan main. Setelah gairah api berahi mulai mengecil dan tidak sepanas pada masa pengantin baru, isteri yang masih muda belia ini mulai melihat kenyataan betapa ia masuk kedalam kehidupan keluarga yang amat sederhana, kalau tidak dapat dinamakan miskin. Suaminya memang tampan, akan tetapi apa artinya ketampanan kalau kehidupan mereka demikian sederhana, bahkan sama tidak mewah? Memang, harus diakui bahwa sebagai isteri petani muda, ia tidak kekurangan makan. Akan tetapi makanan sederhana, dengan sayur-sayur, jarang bertemu daging.

   Dan pakaiannya! Sudah hampir setahun ia menikah, belum satu juga bertambah pakaiannya dan ia harus memakai pakaian-pakaian yang dibawanya dari rumah, walaupun memang pakaian itu belum rusak. Sejak masih muda sekali, Kim Bwe menjadi kembang didusunnya, bahkan kecantikannya terkenal di dusun-dusun tetangga, dan banyak sudah pemuda-pemuda anak orang kaya, bahkan orang-orang yang memiliki kedudukan seperti kepala dusun dan lain-lain tergila-gila kepadanya. Akan tetapi orang tuanya memilih dan menerima pinangan Tang Bun An! Tadinya ia mengira bahwa Tang Bun An selain seorang pemuda tampan, juga tentu anak kaya raya karena bukankah dikabarkan bahwa Tang Bun An puter bangsawan tinggi di kota raja yang sudah meninggal? Tentu menerima banyak warisan, sebagai putera bangsawan!

   Akan tetapi, setelah menjadi isteri Bun An, ia melihat kenyataan bahwa pemuda itu sama sekali tidak memiliki apapun kecuali sawah ladangnya yang tidak berapa luas, dan rumah yang sederhana pula! Setelah pernikahan itu berjalan setahun lamanya, barulah wanita muda bernama Lui Kim Bwe itu melihat kenyataan bahwa ketampanan wajah suaminya saja tidak dapat membuat ia merasa bahagia. Ketampanan wajah itu memang mengasyikkan selama beberapa bulan, akan tetapi kemudian ia menjadi bosan, apalagi kalau ia melihat wanita-wanita lain yang kaya didusun itu atau pendatang dari kota, yang mengenakan perhiasan gemerlap, pakaian sutera halus indah yang mahal, sepatu yang indah pula, naik kereta yang mewah! Mulailah nyonya muda ini bersikap tidak manis kepada suaminya, bahkan ia mulai suka berkunjung ke rumah tetangganya,

   Seorang janda setengah tua yang disebut Bibi Ciok dan disini, ia melampiaskan kekecewaan dan penyesalan hatinya kepada tetangga ini. Ia sama sekali tidak pernah mau membantu suaminya yang sibuk di sawah ladang, bahkan tidak mau membantu ibu mertuanya yang sibuk di dapur dan dirumah. Dan Bibi Ciok, seorang wanita pelacur di kota dan setelah tua dan berhasil mengumpulkan uang lalu pulang kedusun dan hidup sebagai seorang janda yang tidak kekurangan makan karena memiliki sawah yang cukup, mendengar keluhan dan celaan Kim Bwe, tidak tinggal diam. Iapun menanggapi, bahkan menyatakan ikut menyesal mengapa Kim Bwe yang pernah menjadi kembang beberapa buah dusun di sekitar situ, yang diperebutkan banyak orang kaya, kini menjadi seorang isteri seorang pria yang miskin!

   "Kasihan sekali engkau ini, Kim Bwe,"

   Demikian antara lain Bi Ciok berkata dan ia sudah akrab sekali dengan nyonya muda ini sehingga mengambil namanya begitu saja.

   "Seorang wanita muda yang cantik jelita dan manis seperti engkau ini, kalau dikota raja sudah menjadi isteri seorang pemuda kaya raya, bahkan tidak aneh kalau engkau menjadi isteri bangsawan! Sedikitnya isteri muda yang hidup berenang dalam kemuliaan dan kekayaan. Akan tetapi disini, engkau hanya menjadi isteri seorang petani. Memang Tang Bun An itu seorang putera bangsawan, akan tetapi bangsawan itu telah meninggal dunia dan kau tahu? Ibunya diusir dari sana karena disangsikan bahwa Tang Bun An itu putera bangsawan Tang, mungkin anak dari hasil hubungan gelapnya dengan seorang perwira pengawal! Dan setelah keluar dari keluarga Tang, ibu Bun An itu menjadi seorang pelacur!"

   "Ahhh...!"

   Kim Bwe terbelalak dan mukanya berubah merah.

   "Aku berani bersumpah, Kim Bwe! Aku melihat dengan kedua mataku sendiri!"

   Kata Bibi Ciok dan hal ini memang bukan bohong, karena ia sendiri pernah menajdi pelacur, maka pernah pula melihat ibu Bun An yang sangat terkenal ketika mula-mula jadi pelacur. Demikianlah, Kim Bwe mulai keracunan hatinya dan ia merasa lebih dekak dengan Bibi Ciok daripada dengan ibu mertuanya. Dan kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Bibi Ciok yang bermata tajam! Seorang wanita muda seperti Kim Bwe ini, yang sedang mengalami kekecewaan dan penyesalan terhadap suaminya, yang haus akan kemuliaan, kekayaan dan kemewahan, merupakan seekor domba yang jinak dan daging yang lunak bagi para serigala dan buaya. Ia melihat kesempatan terbuka lebar baginya untuk mengeduk keuntungan sebanyaknya.

   Demikianlah, sebagai seorang wanita berpengalaman, Bibi Ciok dapat menghubungi Lai-jung-cu (Lurah Lai), yaitu lurah dari dusun tempat Kim Bwe yang pernah tergila-gila kepada Kim Bwe. Lurah ini kaya raya dan terkenal mata keranjang, dan pernah Bibi Ciok mencarikan seorang gadis dusun untuk menjadi mangsa lurah yang haus perempuan ini, karena itulah maka ia berani menghubungi Lai-jung-cu dan menceritakan bahwa ia mampu membantu lurah itu kalau masih ada gairah besar terhadap Lui Kim Bwe yang kini telah menjadi nyonya Tang Bun An. Mendengar ini, tentu saja sang lurah yang mata keranjang menjadi girang sekali. Bibi Ciok menceritakan betapa Kim Bwe kini setelah menikah, bagaikan setangkai bunga yang menjadi mekar semerbak harum dan amat menggairahkan. Tentu saja mula-mula sang lurah khawatir dan tidak percaya, namun Bibi Ciok menenangkan hatinya.

   "Kalau memang Jung-cu berhasrat, jangan khawatir. Saya akan mengaturnya dan takkan ada seorangpun yang mengetahuinya. Setiap hari, suaminya sibuk di sawah dan ibu mertuanya sibuk di dapur. Hampir setiap hari si denok cantik itu bermain-main kerumah saya dan ia seperti anak saya sendiri!"

   Lalu keduanya mengatur siasat. Sang lurah akan berkunjung ke rumah janda tua ini, dan sang janda yang akan mengatur agar kedua orang itu akan dapat bertemu dirumahnya! Di rumahnya, Bibi Ciok juga mulai mengatur siasatnya, seperti seekor laba-laba yang membuat jaring halus untuk membuat perangkap dan menangkap lalat yang bukan lain adalah Kim Bwe! Mulailah ia bercerita, seperti sambil lalu, kepada Kim Bwe ketika nyonya itu datang berkunjung, betapa ia baru saja pulang dari dusun tempat asal Kim Bwe. Tentu saja wanita muda itu segera tertarik dan mendengarkan dengan penuh perhatian.

   "Kebetulan sekali aku bertemu dengan Lai-jung-cu, engkau tahu lurah dari dusunmu itu, yang masih gagah dan ramah sekali? Juga dia terkenal kaya dan dermawan."

   Kim Bwe mengangguk. Tentu saja ia mengenal lurah itu, bahkan dikenalnya sejak ia masih kecil.

   "Kau tahu, Kim Bwe, Lai-jung-cu itu masih terhitung saudara misanku. Ketika kuceritakan bahwa engkau kini tinggal bertetangga dengan aku, dan seringkali datang berkunjung, dia kegirangan bukan main dan bertanya banyak sekali tentang dirimu. Nampaknya dia rindu sekali kepadamu, Kim Bwe."

   Kim Bwe mengerutkan alisnya dan mukanya berubah merah.

   Si Kumbang Merah Penghisap Kembang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Ah, kenapa begitu? Dia tidak mempunyai hubungan dengan aku."

   "Aihhh! Benarkah engkau tidak tahu, Kim Bwe? Sejak dahulu, lurahmu itu tergila-gila kepadamu dan dia amat mencintaimu, Kim Bwe. Mencintai setengah mati dan dia mau mengorbankan apapun asal dapat bertemu denganmu!"

   "Ah, Bibi Ciok...!"

   Kim Bwe menjerit kecil dan pura-pura marah.

   "Aku tidak mau mendengarkan orbrolanmu ini, dan biarlah aku pulang saja!"

   Iapun memperlihatkan sikap marah dan bilang hendak pulang, akan tetapi tidak beranjak dari kursinya! Bibi Ciok yang berpengalaman itu lalu menubruk dan merangkulnya.

   "Maafkan aku, anak baik. Bukan maksud untuk membikin kau kikuk dan tidak enak hati. Aku hanya berkata yang sesungguhnya saja. Dan dia, lurah itu, juga tidak bermaksud menghinamu. Dia amat menghormatimu, menghargaimu seperti seorang bidadari dari langit!"

   Demikianlah, sedikit demi sedikit, sang laba-laba mulai memancing dan memasang umpan pada perangkapnya untuk menjebak lalat itu! Dengan rayuannya, Bibi Ciok akhirnya berhasil membujuk Kim Bwe untuk berwajah cerah lagi, bahkan mendengarkan wanita tua itu mengobrol dan memuji-muji lurah Lai itu tidak begitu tua dan masih amat kuat,

   Bahkan terkenal dikalangan para wanita sebagai seorang pencinta dan perayu besar yang amat menyenangkan hati wanita. Selain itu, royal pula dengan hadiahnya sehingga banyaklah wanita-wanita muda, baik masih perawan, janda maupun yang masih bersuami, bermimpi untuk dapat dipilih lurah itu menjadi kekasihnya! Dijejali pujian-pujian atas diri lurah itu, ketika pulang, malam itu Kim Bwe tak dapat tidur. Ia membayangkan wajah Lurah Lai yang selamanya belum pernah diingatnya! Dan beberapa hari kemudian, sesuai dengan siasat yang sudah diatur oleh Bibi Ciok, selagi Kim Bwe pagi-pagi sudah datang berkunjung muncullah Lurah Lai! Dari luar, lurah itu sudah berteriak-teriak memanggil Bibi Ciok yang berpura-pura kaget. Tentu saja seketika Kim Bwe menjadi merah mukanya dan iapun bangkit untuk pergi dari situ. Akan tetapi Bibi Ciok cepat mencegahnya.

   "Aih, Kim Bwe, hal ini hanya terjadi kebetulan saja. Engkau tamuku, dan dia datang bertamu, apa salahnya? Kalau engkau pergi, berarti menghinanya dan juga membuat aku merasa tidak enak sekali. Duduklah, dan tinggallah sebentar saja!"

   Kim Bwe terpaksa duduk kembali. Muncullah lurah itu dengan pakaian mewah dan rambutnya tersisir rapi! Dan kedua tangannya membawa beberapa gulung kain sutera beraneka warna, indah sekali.

   "Bibi Ciok, aku datang membawa hadiah untukmu!"

   Katanya pura-pura tidak melihat Kim Bwe yang duduk di sudut. Bibi Ciok menyambut dengan girang bukan main. Ia menerima gulungan-gulungan sutera itu dan memuji-mujinya. Pada saat itu, agaknya baru lurah itu melihat Kim Bwe dan ia berseru kaget.

   "Aih, Bibi Ciok...! Siapa... siapa... ah, apakah ada seorang dewi dari langit yang turun...?"

   Bibi Ciok tertawa genit.

   "Ihh, masa Jung-cu lupa? Ia adalah Kim Bwe!"

   "Ya Tuhan...!"

   Lurah itu berseru dan matanya terbelalak, memandang kagum sekali.

   "Tiada ubahnya seorang bidadari... ah, maaf, sungguh aku tidak mengenalmu lagi nona Kim Bwe... eh, sekarang nyonya ya, maafkan aku."

   Kim Bwe sejak tadi menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali seperti udang direbus, akan tetapi membuat mukanya menjadi semakin cantik, mulutnya menyungging senyum dan matanya melirik dari bawah.

   "Ah, Jung-cu terlalu memuji... Bibi, aku pamit pulang saja..."

   "Nanti... dulu... duduklah sebentar...!"

   Kata Bibi Ciok yang segera pergi kebelakang pura-pura hendak mengambil minuman.

   "Benar, nyonya, bukankah kita sudah saling mengenal sejak dahulu. Ah, kebetulan sekali hari ini hari baik, aku menerima banyak keuntungan dari kota raja, dari penjualan rempah-rempah dan aku sedang suka sekali memberi hadiah. Bibi Ciok kuhadiahi kain-kain sutera, dan akupun ingin memberikan hadiah kepadamu. Nah, apa ya? Tidak ada yang cukup berharga untukmu. Biar kuambilkan dari rumah, kupilih yang paling berharga. Akan tetapi, sementara ini, terimalah sedikit barang ini..."

   Dia mengeluarkan sebuah kotak kecil dari saku bajunya, membuka kotak kecil itu dan menyerahkannya kepada Kim Bwe. Dari sudut matanya, Kim Bwe melihat kotak kecil terbuka itu dan mukanya berubah pucat lalu merah kembali. Kotak itu berisi perhiasan dari emas permata yang membuat jantungnya berdebar tidak karuan! Belum pernah ia melihat perhiasan seindah itu, apalagi memakainya! Ia tidak berani menerima dan hanya menundukkan mukanya. Pada saat itu, Bibi Ciok keluar membawa seguci arak dan melihat lurah itu meletakkan sebuah kotak terbuka berisi perhiasan diatas meja di depan Kim Bwe, ia mengeluarkan seruan kagum.

   "Aihh...! Perhiasan yang begini indahnya! Kim Bwe, engkau boleh menerima pemberian itu. Ah, cobalah betapa pentasnya engkau memakai perhiasan ini!"

   Dan setengah memaksa nenek itu mengenakan gelang dan cincin di tangan Kim Bwe yang membiarkannya saja sambil menundukkan mukanya. Ketika Bibi Ciok hendak memasangkan hiasan rambut dan kalung, lurah itu menghampiri dan berkata,

   "Biarlah aku yang membantu memakaikannya!"

   Antara lurah itu dan Bibi Ciok lalu terjadi permainan mata. Seperti telah mereka rencanakan, melihat betapa Kim Bwe mandah saja, hal itu berarti bahwa umpan dan pancingan mereka mengena. Bibi Ciok tersenyum, mengangguk dan iapun keluar dari rumahnya sendiri, untuk berjaga diluar! Lurah Lai lalu mengambil hiasan rambut dan mengenakan hiasan itu dirambut kepala Kim Bwe. Wanita ini menggerakkan kepala seperti hendak mencegah, dan ia kelihatan gugup melihat betapa pintu depan ditutup dari luar oleh Bibi Ciok. Akan tetapi Lurah Lai berseru,

   "Aih, betapa indahnya rambut! Betapa hitam, halus, panjang, dan harum pula. Dan cocok sekali memakai hiasan rambut. Dan ini kalungnya, biarlah kupakaikan..."

   Dan diapun mengenakan kalung itu dileher Kim Bwe, menyetuh kulit leher, membelainya dan di lain saat, lurah itu telah merangkul leher Kim Bwe, menciumi leher itu lalu kemuka dan memondong Kim Bwe memasuki kamar Bibi Ciok! Kim Bwe hampir pingsan karena malu dan jantungnya berdebar tegang, namun ia tidak berani berteriak karena malu, dan juga pemberian itu telah melunakkan hatinya dan iapun mandah saja ketika Lurah Lai menyatakan cinta dan kagum dengan perbuatan.

   Demikianlah, betapa berbahayanya menjadi seorang wanita kalau menghadapi rayuan pria. Pria yang sudah tergila-gila kepada seorang wanita akan mempergunakan segala daya upaya untuk menjatuhkannya! Dia thau saja apa yang menjadi kelemahan hati seorang wanita! Dan kelemahan itu yang disinggungnya sehingga si wanita akan jatuh dan taluk! Ketika perbuatan hina itu dilakukan oleh kedua orang dalam kamarnya, Bibi Ciok duduk diluar, tersenyum-senyum menghitung-hitung keuntungan yang akan dapat diperolehnya dari perjinaan antara dua orang yang sudah lupa diri itu! Tidak ada kesenangan yang tidak diulang oleh manusia yang lemah ini. Setiap pengalaman yang menyenangkan, akan dicatat dalam ingatan dan kita selalu mendambakan pengulangannya. Demikian pula dengan Lurah Lai dan Lui Kim Bwe. Keduanya memperoleh kesenangan dari perjinaan itu,

   Bukan hanya kesenangan karena terlampiasnya nafsu jalang, meliankian juga karena Kim Bwe menerima hadiah yang banyak. Hadiah-hadiah itu tentu saja tidak dibawa pulang oleh Kim Bwe, melainkan dititipkan kepada Bibi Ciok dan hanya dipakai kalau ia berkunjung ke rumah wanita itu. Namun, sepandai-pandainya orang menyimpan bangkai, bau busuknya akan tercium juga, sepandai-pandainya orang menyembunyikan api, asapnya akan mengepul juga. Demikian pula dengan hubungan gelap antara Lui Kim Bwe dan Lurah Lai. Mulailah menjadi pergunjingan para tetangga ketika tanpa disengaja, seorang anak kecil yang kebetulan bermain-main di dekat rumah Bibi Ciok melihat kedua orang tamu itu, dan pada hari-hari berikutnya, anak itu sering melihat mereka. Hal ini diceritakan diluar dan ramailah penduduk mulai membicarakan hal-hal yang mencurigakan ini.

   Akhirnya, berita itu sampai pula ketelinga Tang Bun An! Mula-mula, Bun An tidak percaya. Isterinya demikian lembut, nampak demikian sayang kepadanya, menyambutnya dengan mesra dan manis kalau dia pulang dari sawah ladang. Isterinya mempunyai hubungan gelap dengan seorang laki-laki lain. Tidak mungkin! Ketika dia bertanya kepada ibunya, ibunya juga tidak tahu. Biapun mendengar pula akan hal itu, Kui Hui pura-pura tidak tahu saja! Wanita ini agaknya juga tidak menganggap perbuatan mantunya itu terlalu buruk! Pada suatu hari, Bun An meninggalkan sawah ladangnya ketika hari masih pagi dengan menggunakan kepandaiannya, dia kembali ke dusun tanpa diketahui orang. Dengan cepat dia menyelinap masuk kerumahnya dan bertanya isterinya tidak berada dirumah. Dia bertanya kepada ibunya.

   "Ah, ia kesepian kalau engkau kesawah. Mungkin ia bermain ke rumah Bibi Ciok. Kenapa ribut-ribut? Ia masih muda dan membutuhkan hiburan. Biarkan ia main-main dan kau kembalilah le sawah,"

   Kata Kui Hui dengan sikap acuh saja.

   "Aku akan mencarinya disana!"

   Kata Bun An, hatinya merasa tidak enak.

   "Jangan nak. Perlu apa? Biar nanti aku yang menyusulnya, kau kembalilah ke sawah!"

   Ibunya membujuk, merasa tidak enak juga karena iapun sudah menduga bahwa berita yang didesas-desuskan itu boleh jadi ada benarnya. Akan tetapi tanpa pamit lagi Bun An sudah melompat dan keluar dari rumahnya, menuju ke rumah sebelah dengan mengambil jalan dari belakang, melompati pagar! Dia melihat Bibi Ciok duduk seorang diri diluar rumahnya, maka diapun cepat menyelinap ke belakang dan memasuki rumah itu dari pintu belakang yang dibongkarnya. Tak lama kemudian, dia mengintai dari jendela kamar dan dapat dibayangkan betapa perasaan hatinya mengalami keguncangan hebat ketika dia melihat isterinya berada di atas pangkuan seorang laki-laki dan mereka saling berciuman dan bercanda! Agaknya mereka baru saja selesai makan minum karena meja mereka masih penuh makanan dan arak!

   "Brakkk!"

   Daun jendela itu hancur berantakan dan tubuh Bun An melayang masuk dari jendela. Dua orang yang sedang bermesraan di dalam kamar itu terkejut bukan main. Apalagi ketika mereka mengenal siapa yang memasuki kamar melalui jendela itu! Selama menjadi isteri Bun An, Kim Bwe tidak pernah tahu bahwa suaminya itu bukan hanya seorang petani biasa saja, tidak pernah menduga bahwa suaminya adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi! Dan Lurah Lai juga tidak tahu, maka kini lurah itu hendak mempergunakan kekuasaan dan kedudukannya.

   "Kami telah bersalah, biarlah aku akan menebus kesalahan ini dengan uang! Berapa saja yang kau minta!"

   Katanya sambil melepaskan tubuh kekasihnya. Kim Bwe sendiri merasa betapa kedua kakinya gemetar dan iapun berlutut sambil menundukkan mukanya. Bun An memandang laki-laki yang tidak dikenalnya itu, seorang pria berusia hampir lima puluh tahun, lalu memandang kepada isterinya. Isterinya mengenakan pakaian sutera yang amat indah, dan tubuhnya penuh dengan perhiasan emas permata yang tidak pernah dilihatnya. Mendengar ucapan pria itu, Bun An melangkah maju, tangannya menampar, tangan kiri Bun An seperti petir menyambar sudah mengenai pinggir kepalanya.

   "Prakkk!"

   Tubuh lurah itu terjungkal dan dia roboh tak dapat bangkit kembali karena tamparan yang mengenai kepala itu membuat batok kepalanya retak dan lurah itu tewas seketika. Tiba-tiba pintu daun kamar itu terbuka dari luar, dibuka oleh Bibi Ciok yang masuk bersama Kui Hui. Mereka mendengar suara hiruk pikuk di dalam kamar dan merasa khawatir. Bibi Ciok lalu membuka pintu dan pada saat itu, Kui Hui datang dan ikut masuk karena mengkhawatirkan anak dan mantunya. Begitu daun pintu terbuka, mereka masuk dan terbelalak melihat lurah itu sudah rebah di atas tanah dan darah mengalir dari kepalanya yang retak!

   "Ahh...! Apa yang terjadi ini? Kau... bagaimana berani memasuki rumahku...?"

   Bibi Ciok yang lurah itu tewas, kini menuding kepada Bun An dengan marah. Sejak tadi Bun An sudah memandang nenek ini dengan wajah bengis. Dia tahu bahwa isterinya telah terbujuk oleh nenek ini, yang agaknya menjadi comblang dan menyediakan rumahnya untuk menjadi tempat perjinaan yang hina! Kini, melihat Bibi Ciok marah kepadanya dan melangkah maju, diapun mengayun kakinya menendang.

   "Dess...!"

   Bibi Ciok mengeluarkan suara menjerit ketika tubuhnya terpental dan terbanting kepada dinding kamar itu, lalu jatuh ke atas lanti. Ia merangkak dan mencoba untuk bangkit, akan tetapi, kembali Bun An mengayun kakinya, kini mengenai leher nenek itu

   "Klokkk!"Leher itupun patah dan Bibi Ciok menggelepar, lalu diam tak bergerak karena nyawanya melayang.

   "Ibu... Ibu...!"

   Kim Bwe kini merangkul ibu mertuanya dengan ketakutan. Tak disangkanya sama sekali akan begini akibatnya, betapa suaminya demikian marahnya dan melakukan pembunuhan-pembunuhan secara mengerikan. Kui Hui merangkul mantunya dan berkata kepada Bun An,

   "Bun An, apakah engkau telah gila? Engkau membunuhi orang begitu saja! Engkau tentu akan ditangkap dan dihukum mati dan engkau mencelakakan kami, ibu dan isterimu!"

   Perlahan-lahan wajah Bun An berubah merah sekali dan sepasang matanya mencorong seperti mengeluarkan api ketika dia menatap wajah ibunya dan isterinya.

   "Kalian... kalian perempuan... makhluk jahat, kalian sama saja! Kalian sungguh jahat, berkedok wajah yang cantik, tubuh yang mulus, sikap manis lemah lembut, namun batinmu kotor, kalian adalah makhluk-makhluk berhati jahat penuih racun! Terkutuklah kalian...!"

   "Bun An! Aku ibumu sendiri, yang melahirkanmu!"

   Kui Hui membentak, marah mendengar anaknya mengutuk dan memaki-makinya. Bun An tertawa, suara ketawanya bergelak dan menyeramkan sekali, seperti suara ketawa iblis, bukan suara manusia lagi, dan mukanya kini pucat, seperti mayat tertawa diam saja!

   "Ha, ha, ha, ha, ha! Ibuku seorang perempuan jahanam! Seorang perempuan jahat, lebih hina dari pelacur! Ibuku telah mengkhianati suaminya sendiri, ayah kandungku! Ibuku berjina dengan laki-laki lain, kemudian meracuni suami sendiri, ayahku. Ibu lalu mencuri harta, hidup bersama laki-laki yang kubunuh itu, kemudian menjadi pelacur! Ya, ibuku seorang pelacur! Ibuku iblis betina!"

   "Bun An...!"

   Kui Hui menjerit wajahnya pucat, matanya terbelalak.

   "Dan kau... kau Lui Kim Bwe, kau isteriku, kau cantik jelita, manis, mesra, bukan hanya wajahmu yang amat jelita, tubuhmu juga mulus, tapi kau tidak ada bedanya dengan ibuku. Engkau hanya seorang isteri yang menyeleweng, seorang perempuan yang berhati penuh racun busuk! Kalau dilanjutkan penyelewenganmu, bukan tidak mungkin suatu hari engkau akan meracuni aku pula. Engkau pun iblis betina dan kau layak mampus!"

   Tiba-tiba tubuh Bun An menerjang kedepan, tangannya bergerak.

   "Prakkk!"

   Kui Hui menjerit, matanya terbelalak dan ia melepaskan rangkulannya kepada pundak mantunya ketika melihat betapa tubuh mentunya berkelojotan dalam dekapannya dan betapa kepala Kim Bwe sudah pecah berantakan dengan otak dan darah muncrat dan sebagian banyak membasahi bajunya sendiri!

   "Ibu, kalau saja engkau bukan ibuku, tentu sekarang kubunuh pula! Akan tetapi, engkau pun jahat, sama dengan mereka. Aku malu untuk tinggal dan hidup bersamamu. Semua perempuan memang jahat, palsu, penuh racun!!"

   Dan Bun An lalu meloncat keluar dari rumah itu, tidak memperdulikan ibunya yang menjerit-jerit seperti orang gila karena merasa takut, ngeri dan juga batinnya terguncang oleh sikap dan kata-kata anak kandungnya sendiri tadi. Akhirnya, para tetangga berdatangan dan mereka menemukan Kui Hui pingsan diantara tiga sosok mayat dalam kamar itu!

   Kui Hui jatuh sakit, mengigau dan berteriak-teriak, terserang demam hebat dan beberapa hari kemudian iapun menghembuskan napas terkahir! Dan orang-orang tidak berhasil menemukan Tang Bun An, kemanapun mereka mencari. Bahkan kematian seorang lurah telah membuat pasukan keamanan sibuk mencari-cari Bun An, namun tanpa hasil. Bun An memang sudah melarikan diri jauh meninggalkan dusun itu! Dia tidak akan kembali lagi kepada ibunya, wanita pertama yang membuat dia membenci wanita! Setelah terjadi peristiwa dengan isterinya, hatinya semakin dipenuhi perasaan sakit hati dan benci kepada perempuan. Padahal, setiap kali melihat seorang perempuan, perhatiannya tertarik dan berahinya berkobar, namun dilubuk hatinya terdapat kebencian yang makin membesar terhadap kaum lemah ini.

   Peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupannya itu, terutama sekali penyelewengan ibunya, kemudian isterinya yang amat melukai hatinya, masih belum membuat Tang Bun An menjadi seorang jai-hwa-cat. Biarpun dia mengalami guncangan batin, kepahitan yang dapat membuat hatinya mendendam, namun dia masih menganggap bahwa mungkin hanya kebetulan saja terjadi kepadanya, karena nasibnya yang sial sehingga dia dilahirkan oleh seorang wanita jahanam, dan berjodoh dengan wanita jahanam lain pula. Dia meninggalkan dusunnya dan mulailah Bun An merantau. Dia telah menyelidiki siapa adanya pria setengah tua yang menjinai isterinya itu, dan ketika dia mendengar bahwa pria itu adalah lurah kaya dari dusun isterinya, dia cepat pergi ke dusun itu dan dengan menggunakan kepandaiannya yang tinggi,

   Dia mamasuki rumah Lurah Lai, dan mencuri harta lurah itu yang cukup banyak. Dengan harta curian inilah Bun An hidup merantau ke kota-kota dan dusun-dusun tanpa tujuan tertentu. Pada suatu hari, tibalah Bun An di sebuah kota. Karena perutnya terasa lapar, diapun mamasuki sebuah rumah makan memesan makanan itu, dia melihat seorang wanita muda yang amat manis berada di dalam kantor rumah makan itu dan melihat sikap wanita muda berusia kurang lebih dua puluh lima tahun itu, diapun dapat menduga bahwa wanita cantik itu tentulah majikan rumah makan itu. Tanpa disengaja wanita yang tadinya sedang menghitung unag itu mengangkat muka. Pandang mata mereka bertemu dan hati Bun An tertarik. Wanita itu memiliki mata yang indah sekali, dan mulut itupun tersenyum simpul.

   Mulut yang merah basah dan segar menantang! Diapun makan sambil mencurahkan perhantian ke kantor itu, biarpun matanya tidak memandang secara langsung. Dugaannya benar. Dia mendengar wanita itu bicara dengan seorang laki-laki berperut gendut yang menjadi majikan rumah makan, sebagai suaminya. Ketika dia melirik dan memperhatikan, laki-laki yang menjadi suaminya itu sedang menyerahkan uang sekantung kepada isterinya yang manis, dan laki-laki ini menurut pandangan Bun An, sama sekali tidak serasi sebagai suami wanita yang demikian manis dan memiliki daya tarik yang amat kuatnya. Laki-laki itu berusia kurang lebih tiga puluh tahun, wajahnya dan tubuhnya seperti bola, serba bulat! Perutnya gendut sekali dan muka yang bulat itu seperti muka kanak-kanak, dan melihat bicara dengan isterinya, pria itu amat mencintainya.

   Sambil makan, Bun An merasa iri hati mendengar suara perempuan ini, agaknya ia mencintai suaminya, juga dicintai sehingga dalam suaranya terdengar kemanjaan dan kemesraan. Betapa bahagia suami yang mempunyai seorang isteri seperti ini! Agaknya selain pandai membantu pekerjaan suami, juga amat mencinta suami dan wanita ini tentu setia kepada suaminya! Tidak seperti isterinya, tidak pula seperti ibunya. Setelah dia membayar harga makanan dan keluar dari rumah makan itu, hatinya tak pernah dapat melupakan wanita pemilik rumah makan tadi. Seorang wanita hebat! Seorang isteri pilihan! Kalau hidup didampingi seorang isteri seperti itu, alangkah bahagianya!

   

Pendekar Mata Keranjang Eps 19 Pendekar Mata Keranjang Eps 11 Pendekar Mata Keranjang Eps 12

Cari Blog Ini