Pendekar Mata Keranjang 19
Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Bagian 19
"Bukan aku, melainkan engkau yang sudah gila."
Kata nenek itu, juga marah sekali.
"Ibu kandungmu dibunuh orang, dan kini musuh besar itu berada di depan hidung, akan tetapi engkau tidak setuju ketika aku hendak membunuhnya! Apakah engkau akan menjadi murid yang murtad dan menentang guru sendiri, setelah sejak bayi aku mengasuhmu, mendidikmu, menggemblengmu? Apakah engkau akan menjadi seorang anak durhaka yang sama sekali tidak ingin berbakti kepada ibu kandungmu sendiri? Benarkah engkau telah menjadi orang yang begini tidak mengenal budi?"
Pada saat kedua orang itu bertengkar, muncullah Ceng Sui Cin dan Cia Kui Hong di dalam taman itu! Kemunculan dua orang ini tentu saja amat mengejutkan Sun Hok dan Wa Wa Lo-bo. Bagaimana mereka dapat muncul di taman itu, di mana guru dan murid itu sedang bicara tentang mereka? Sejak makan malam tadi, timbul ke curigaan di dalam hati Sui Cin tentang Nenek Wa Wa Lo-bo. Melihat sikap nenek itu, wajahnya dan matanya yang mencorong aneh, Sui Cin menduga bahwa tentu nenek itu seorang yang amat lihai dari golongan hitam, apalagi mendengar cerita Sun Hok bahwa mendiang ibu kandungnya adalah seorang tokoh sesat yang lihai.
Dan berada di satu rumah dengan seorang tokoh sesat sungguh amat berbahaya, pikirnya. Maka, setelah keadaan menjadi sunyi, ia mengajak anaknya untuk diam-diam keluar dari dalam kamar, melalui jendela yang mereka tutup lagi dari luar, dan mereka pun melakukan penyelidikan, mempergunakan ilmu kepandaian mereka meringankan tubuh. Dengan gerakan mereka yang cepat, mereka tidak khawatir terlihat oleh para pelayan. Akhirnya mereka tiba di taman belakang rumah itu dan mereka tertarik oleh suara percakapan antara Sun Hok dan Wa Wa Lo-bo. Cepat mereka menghampiri dan mengintai. Dan dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka mendengar bahwa nenek itu berniat untuk membunuh mereka.
Sui Cin juga terkejut bukan main mendengar bahwa Can Sun Hok adalah putera tunggal dari Gui siang Hwa, murid Raja dan Ratu Iblis yang amat lihai itu. Memang ialah yang dahulu merobohkan Gui siang Hwa sehingga iblis betina itu tewas dibawah hujan senjata para perajurit kerajaan. Mendengar betapa Sun Hok menentang nenek itu untuk membunuh ia dan puterinya, diam-diam Sui Cin merasa girang juga, dan dapat dibayangkan betapa marahnya mendengar usul nenek itu agar mereka membunuh ia lebih dulu dan agar Kui Hong diperkosa sampai Sun Hok menjadi bosan baru membunuhnya. Dugaannya memang tepat. Nenek yang bernama Wa Wa Lo-bo itu adalah seorang iblis yang kejam sekali! Cocok memang untuk menjadi pelayan Raja dan Ratu Iblis. Maka ia pun mengajak puterinya keluar untuk menghadapi nenek itu.
"Bibi Ceng... Adik Hong..."
Sun Hok berkata dengan muka sebentar pucat sebentar merah, hatinya tegang bukan main dan dia tidak tahu harus bicara apa.
"Can Sun Hok, kami telah mendengar semua percakapan kalian tadi. Nenek Wa Wa Lo-bo ini memang tidak salah lihat atau salah dengar. Wanita yang bernama Gui Siang Hwa atau Siang-tok Sian-li itu tewas dalam pertempuran setelah roboh di tanganku. Aku tidak menyangkal akan hal itu dan kalau engkau ingin mengetahui peristiwa yang sesungguhnya, aku dapat menceritakannya kepadamu."
"Jangan dengarkan omongannya, tentu hanya akan menyalahkan ibumu!"
Teriak Wa Wa Lo-bo. Akan tetapi Sun Hok yang kini mukanya menjadi pucat, tidak mempedulikan gurunya.
"Ceritakanlah, Bibi Ceng."
"Gui Siang Hwa adalah murid Raja dan Ratu Iblis yang memimpin tiga belas datuk sesat dan banyak lagi kaum sesat untuk menjadi pemberontak. Para pendekar menentang gerakan ini dan membela pemerintah. Kebetulan aku pun berada di antara pendekar dan kebetulan saja Gui Siang Hwa menjadi lawanku dalam pertempuran itu. Aku berhasil menendangnya roboh dan ia pun dihujani senjata oleh para perajurit kerajaan sehingga tewas. Nah, itulah peristiwa yang sebenarnya terjadi, Sun Hok. Sekarang terserah kepadamu. Kalau engkau bermaksud melanjutkan kesesatan ibumu dan menambah lagi noda pada nama dan kehormatan ibumu dengan perbuatan jahat, silakan menyerang kami. Kami tidak akan undur selangkah pun karena kami yakin bahwa kami berada di pihak benar. Ataukah engkau akan berbakti kepada ibumu dengan cara mencuci noda pada nama dan kehormatannya, dengan perbuatan baik? Terserah pula, aku sudah bicara."
Nenek Wa Wa Lo-bo memandang marah dan menggerakkan tongkatnya menuding ke arah muka Sui Cin.
"Engkau dan kawan-kawanmu telah menyebabkan kematian Ong-ya dan isterinya, juga menyebabkan kematian Nona Siang Hwa. Bagaimanapun juga aku tidak akan tinggal diam. Biarlah anak durhaka ini tidak menuntut balas, akan tetapi aku harus membunuhmu."
Berkata demikian, Nenek Wa Wa Lo-bo menggerakkan tubuhnya dan tongkatnya sudah menyambar ganas ke arah perut Sui Cin. Tentu saja Sui Cin sudah siap diaga dan dengan mudahnya ia mengelak.
"Lo-bo, jangan...!"
Sun Hok berseru dengan khawatir. Akan tetapi nenek itu tidak peduli, begitu tongkatnya luput dari sasaran, segera tongkat itu membalik ke kiri dan melanjutkan serangannya, kini menusuk ke arah leher Sui Cin. Kembali Sui Cin mengelak dan dari samping tangan kirinya menyambar dengan dorongan tenaga Hok-te Sin-kun yang dahsyat. Terkena dorongan tangan ini, biarpun Wa Wa Lo-bo sudah berusaha mengelak dan menangkis, tetap saja tubuhnya terhuyung hampir menambrak Sun Hok.
"Lo-bo, jangan berkelahi...!"
Kembali Sun Hok berseru. Mendengar ini, Wa Wa Lo-bo menjadi semakin marah.
"Engkau murid murtad, anak terkutuk yang durhaka!"
Bentaknya dan tiba-tiba saja tongkatnya melayang ke arah kepala Sun Hok dengan Pukulan maut yang amat dahsyat.
"Ahhh..!"
Kui Hong yang berdiri di dekat Sun Hok, melihat betapa pemuda itu agaknya sengaja tidak menangkis dan pasrah terhadap gurunya, cepat menggerakkan tangannya, dengan Ilmu Thian-te Sin-ciang ia menangkis tongkat itu dengan kedua lengannya.
"Dukkk!"
Tubuh Kui Hong terdorong ke belakang, akan tetapi Pukulan itu tidak mengenai kepala Sun Hok yang kini sudah melompat menjauhi nenek itu dengan wajah penuh kegelisahan. Nenek Wa Wa Lo-bo terkejut bukan main. Ia tahu bahwa Ceng Sui Cin puteri Pendekar sadis itu lihai sekali, dan ia hanya mengandalkan kenekatannya saja ketika menyerang tadi. Akan tetapi tak pernah disangkanya bahwa gadis yang masih amat muda ini, puteri Ceng Sui Cin, ternyata juga lihai sekali sehingga mampu menangkis serangan tongkatnya dengan kedua tangan dan sama sekali tidak terluka atau terbanting, hanya terdorong saja ke belakang. Ini menunjukkan bahwa tingkat kepandaian gadis itu sudah amat tinggi dan mungkin menghadapi gadis itu pun ia tidak akan mampu menang!
"Lo-bo, harap jangan lanjutkan perkelahian ini!"
Kembali Sun Hok berkata kepada nenek itu dengan suara membujuk.
"Wa Wa Lo-bo."
Kata Ceng Sui Cin dengan suara tenang namun tegas.
"Di antara kita tidak ada permusuhan dan aku tidak berniat untuk berkelahi melawanmu. Engkau sudah lanjut usia, hidupmu takkan lama lagi, haruskah kini engkau nekat menyerangku mati-matian hanya untuk menurutkan hati panas saja? Ingat bahwa Raja dan Ratu Iblis dan semua kawan dan anak buahnya, tewas sebagai akibat dan perbuatan dan kejahatan mereka sendiri."
"Tutup mulutmu! Kalau aku tidak dapat membalaskan dendam kematian mereka kepadamu, lebih baik aku mampus!"
Dan nenek itu dengan kemarahan meluap-luap, terutama sekali melihat betapa Sun Hok tidak membantunya, kini menggunakan senjata tongkatnya yang diputar dengan cepat sehingga berubah merijadi sinar hitam bergulung-gulung, menerjang Sui Cin dengan dahsyat dan nekat.
"Hemm, engkau mencari kematianmu sendiri!"
Kata Sui Cin dan cepat ia pun menggunakan kepandaiannya untuk mengelak dan balas menyerang.
Sui Cin tidak membawa senjatanya yang istimewa, yaitu payung pedangnya yang ditinggalkan di dalam kamar. Akan tetapi tingkat ilmu silatnya sudah jauh lebih tinggi dan pada tingkat lawan sehingga semua serangan yang dilakukan nenek itu hanya mengenai tempat kosong belaka, bahkan serangkaian serangan balasan kedua tangan dan kaki Sui Cin membuat nenek itu kerepotan dan beberapa kali terhuyung ke belakang. Tiba-tiba nenek Wa Wa Lo-bo mengeluarkan suara gerengan seperti seekor binatang buas, tongkatnya menyambar ganas ke arah dada Sui Cin. Serangan ini merupakan serangan maut karena ujung tongkat tergetar menjadi beberapa belas buah banyaknya, dan tahulah Sui Cin bahwa serangan itu tidak akan berhenti kalau dielakkan begitu saja, tentu akan terus mengejar dan menyerang bertubi-tubi. Ia pun menjadi marah melihat kenekatan nenek itu.
"Haiiiittt......!"
Teriaknya dan tiba-tiba ia memasang kuda-kuda, tidak mengelak lagi melainkan menyambut serangan tongkat itu dengan hantaman tangannya ke arah batang tongkat. Tenaga sinkang yang disalurkan melalui tangan itu kuat bukan main.
"Krakkk......!"
Tongkat itu bertemu tangan dan patah seketika! Yang tertinggal di tangan nenek itu hanya dua jengkal saja kayu yang meruncing ujungnya, sedangkan tubuh nenek itu terpental kebelakang. Ia dapat mengatur keseimbangan tubuhnya sehingga tak terbanting, namun ketika ia bangkit lagi sambil memegang tongkat yang tinggal dua jengkal, nampak betapa darah segar mengalir dari ujung bibirnya. Kiranya pertemuan tenaga dahsyat tadi telah melukai Si Nenek, luka dalam yang membuat darah mengalir keluar dari mulutnya. Melihat ini, Sun Hok berseru kaget.
"Lo-bo....!"
Teriakan pemuda ini membuat Wa Wa Lo-bo teringat lagi akan sikap pemuda itu yang paling menyakitkan hatinya. Ia maklum bahwa melawan Sui Cin tidak mungkin lagi. Tongkatnya patah dan dadanya terasa nyeri, tanda bahwa ia telah menderita luka dalam yang cukup parah. Mengandalkan Sun Hok? Pemuda itu telah memihak musuh. Saking marah, jengkel dan putus asa, nenek itu lalu berteriak,
"Ong-ya berdua, dan Siocia, jangan salahkan saya kalau anak ini menjadi seorang durhaka dan murtad!"
Kemudian, secepat kilat ia menggerakkan sisa tongkat yang menjadi kayu runcing itu ke arah dadanya sendiri.
"Lo-bo...!"
Sun Hok meloncat dan menubruk tubuh tua yang sudah roboh terlentang dengan kayu itu menancap di dadanya, menembus jantung dan membuat ia tewas seketika.
"Lo-bo, ah, Lo-bo... ampunkan aku...!"
Sun Hok merangkul tubuh nenek yang bermuka buruk itu dan menangis tersedu-sedu, sedangkan kini para pelayan datang dan terbelalak melihat majikan mereka menangisi nenek yang sudah menjadi mayat dalam keadaan mengerikan itu. Sui Cin memandang pemuda itu dan menarik napas panjang. Ia merasa kasihan kepada Sun Hok. Ia tahu betapa hancur hati pemuda itu melihat nenek itu tewas terbunuh. Nenek itu, bagaimanapun juga, merupakan pengasuhnya, pendidiknya, pengganti orang tua dan guru!
"Kui Hong, mari kita pergi saja."
Katanya dan Kui Hong yang juga menjadi termangu menyaksikan pemuda itu menangisi mayat Wa Wa Lo-bo, mengangguk dan mengikuti ibunya. Mereka mengambil pakaian mereka dan tanpa pamit lagi karena hal ini hanya akan mendatangkan suasana tidak enak, ibu dan anak itu lalu meninggalkan rumah besar itu, bahkan langsung mereka malam itu juga meninggalkan kota Siang-tan dan memilih tidur di dalam hutan, di atas pohon besar daripada tinggal bermalam di kota yang menyimpan kenangan tidak enak itu.
Pulau Teratai Merah merupakan sebuah pulau kosong di laut selatan sebelum Pendekar Sadis dan isterinya tinggal di situ. Kini pulau itu sudah menjadi sebuah pulau yang indah dah subur. Pulau itu tidak berapa besar, hanya belasan li panjangnya dan paling banyak sepuluh li lebarnya. Setelah Ceng Thian Sin atau Pendekar Sadis dan isterinya tinggal di situ, bersama para pelayan dan para pembantu yang jumlahnya beserta keluarga mereka kurang lebih tiga puluh orang, maka pulau itu terpelihara baik. Tanahnya digarap dan kini penuh dengan pohon-pohon, pohon buah maupun pohon bunga yang serba indah dan buah-buahan bermacam-macam yang lezat dapat pula tumbuh di situ. Di tengah pulau itu dibangun sebuah gedung yang indah dan pondok-pondok para pembantu berada di kanan kiri gedung. Di sebelah utara terdapat sebuah danau air tawar yang airnya jernih dan memiliki sumber air yang tak kunjung kering walaupun di musim panas sekalipun.
Air itulah yang dipergunakan para penghuni itu untuk minum, masak, mencuci dan keperluan lain. Suasana di pulau itu tenteram dan aman. Para pembantu dan pelayan taat dan tunduk kepada Ceng Thian Sin yang menjadi to-cu (majikan pulau) dan kehidupan mereka di situ tak pernah kekurangan makan. Satu atau dua kali sebulan, Toan Kim Hong atau Nyonya Ceng Thian Sin mengutus beberapa orang pelayan untuk pergi ke daratan besar dan berbelanja segala keperluan mereka. Para pembantu dan pelayan yang tinggal di pulau itu pun mempunyai pekerjaan sambilan, yaitu selain bercocok tanam di pulau, juga naik perahu menangkap ikan-ikan besar yang banyak terdapat di perairan sekitar pulau. Selebihnya yang dimakan sendiri, mereka jual kepada orang-orang di daratan besar sehingga mereka memperoleh penghasilan yang lumayan untuk ditukar dengan keperluan lain yang hanya bisa mereka dapatkan di daratan besar.
Ceng Thian Sin adalah seorang laki-laki gagah perkasa yang usianya sekitar enam puluh tiga tahun. Di waktu mudanya, dia terkenal dengan julukan Pendekar Sadis dan memang di waktu itu, Sepak terjangnya amat menggiriskan, terutama sekali bagi para penjahat dan kaum sesat. Dia selalu menggunakan tangan besi terhadap penjahat, bahkan tidak segan menyiksa para penjahat sedemikian rupa sehingga setiap orang jahat yang mendengar namanya menjadi pucat ketakutan. Dalam usia enam puluh tahun lebih, dia masih kelihatan segar dan gagah. Hal ini adalah karena di samping bekerja di ladang atau pergi menangkap ikan, dia masih suka berlatih silat dan melakukan samadhi. Pendekar ini merupakan gudang ilmu silat karena di waktu mudanya dia mempelajari banyak sekali ilmu silat, dan semua ilmu yang dipelajari adalah ilmu-ilmu silat yang tinggi dan pilihan.
Ilmu-ilmu silat tingkat atas dari Cin-ling-pai telah dikuasainya, di samping banyak ilmu lain yang hebat-hebat, bahkan ada ilmu-ilmu ajaib yang didapatkannya dari seorang sakti yang berjuluk Bu-beng Hud-couw (baca cerita Pendekar Sadis dan Asmara Berdarah). Biarpun sudah puluhan tahun dia mengundurkan diri, tidak pernah mencampuri urusan kang-ouw dan hidup dengan tenteram di Pulau Teratai Merah yang terpencil di tengah lautan itu, namun namanya masih disambut dengan gentar oleh orang-orang kang-ouw, terutama kalangan tua yang pernah mengenal sepak terjangnya. Isteri pendekar itu bernama Toan Kim Hong, yang usianya sama dengan Pendekar Sadis. Namun, usia yang enam puluh tiga tahun itu pun belum merusak bentuk muka yang cantik dan bentuk tubuh
(Lanjut ke Jilid 18)
Pendekar Mata Keranjang (Seri ke 09 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 18
yang padat langsing itu. Hanya garis-garis pada mukanya yang membuktikan bahwa wanita ini telah berusia lanjut.
Toan Kim Hong ini bukan wanita sembarangan. Namanya pun pernah menggetarkan dunia kang-ouw, bahkan ia pernah di waktu masih gadis menyamar menjadi seorang nenek dan dikenal sebagai Lam Sin (Malaikat selatan) yang menjadi datuk kaum sesat di daerah selatan! Ilmu kepandaiannya amat tinggi, hanya sedikitdi bawah tingkat suaminya walaupun ia dapat mengimbangi sedikit kekalahan ini dengan kelebihannya dalam hal ilmu meringankan tubuh. Suami isteri yang lihai ini merupakan pasangan yang pernah pula menggemparkan dunia persilatan sebelum mereka mengundurkan diri ke pulau itu. Anak mereka hanya satu, yaitu Ceng Sui Cin dan setelah puteri mereka ini menikah, menjadi mantu Ketua Cin-ling-pai, suami isteri itu hidup kesunyian di pulau itu. Akan tetapi, enam tahun yang lalu terjadi perubahan di pulau itu, sekaligus terjadi perubahan dalam kehidupan Pendekar Sadis dan isterinya.
Perubahan itu terjadi ketika pada suatu pagi, beberapa orang penghuni pulau itu membawa pulang seorang anak laki-laki yang berada seorang diri di tengah lautan, bergantung pada perahu kecilnya sendiri yang terbalik setelah semalam dihempaskan badai mengamuk. Memang semalam badai cukup besar, membuat para nelayan cepat-cepat mendarat dan tidak berani mencari ikan. Ketika pada pagi harinya para pencari ikan dari Pulau Teratai Merah mendayung perahu mereka ke tengah lautan, mereka melihat seorang anak laki-laki berusia empat belas tahunan dalam keadaan setengah pingsan bergantung pada perahunya yang terbalik. Mereka cepat memberi pertolongan dan begitu diselamatkan, anak itu jatuh pingsan dan tidak dapat disadarkan oleh para nelayan itu. Mereka lalu cepat membawa anak itu ke pulau dan melapor kepada Ceng Thian Sin.
Ceng Thian Sin dan Toan Kim Hong, kakek dan nenek yang sakti itu, cepat melakukan pemeriksaan dan hati mereka merasa lega ketika mendapatkan kenyataan bahwa anak itu tidak mengalami cidera yang parah, hanya kehabisan tenaga dan mendapat Pukulan batin yang hebat, mungkin rasa takut dan ngeri ketika diombang-ambingkan laut membadai semalam. Setelah menotok dan mengurut beberapa jalan darah, anak itu pun siuman. Anak itu memandang ke kanan kiri, kemudian menangis. Suami isteri pendekar itu saling pandang. Keduanya merasa suka kepada anak ini, seorang anak yang berkulit putih bersih dan berwajah tampan, bahkan ketika mereka tadi mengurut dan menotok jari-jari tangan mereka yang terlatih itu meraba sebuah tubuh yang kuat dan berbakat baik sekali. Setelah tangis anak itu mereda sebagai pelepasan rasa takut yang dialaminya semalam, dengan suara halus Toan Kim Hong bertanya.
"Anak baik, siapakah namamu?"
Anak itu menoleh dan memandang kepada nenek yang berwajah halus itu, kemudian memandang kepada kakek di sebelahnya, dan dia menjawab pertanyaan itu dengan sebuah pertanyaan pula.
"Kakek dan Nenek yang baik, apakah kalian yang menyelamatkan aku dari tengah lautan?"
Ceng Thian Sin menjawab.
"Yang menolongmu dari tengah lautan adalah para pembantu kami dan mereka membawamu ke sini dalam keadaan pingsan."
"Kau ganti dulu pakaianmu yang basah dengan pakaian kering ini."
Kata Toan Kim Hong, menerima pakaian yang dimintanya dari pelayan agar meminjamkan pakaian dari keluarga nelayan yang sebaya dengan anak itu. Ia lalu meninggalkan anak itu bersama suaminya agar anak itu dapat mengganti pakaiannya tanpa sungkan dan malu. Setelah ia kembali lagi, anak ini telah mengenakan pakaian kering.
"Nah, sekarang katakan siapa namamu."
Kata nenek itu. Akan tetapi sebagai jawaban, anak itu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek dan nenek itu.
"Saya Ciang Ki Liong menghaturkan terima kasih atas pertolongan Ji-wi Locianpwe."
Dan dia pun berkali-kali memberi hormat dengan air mata berlinang. Toan Kim Hong tersenyum, mengangkatnya bangun.
"Sudahlah, kau duduklah dan ceritakan dari mana kau datang, siapa keluargamu."
Anak itu tidak berani bangkit, melainkan berlutut saja di depan kedua orang tua itu, di atas lantai.
"Saya seorang yang hidup sebatang kara, ditinggal mati ayah dan ibu saya. Saya hidup merantau seorang diri, dan ketika tiba di pantai selatan, saya ikut dengan para nelayan untuk mencari ikan sebagai sumber hidup saya. Dengan kerja keras akhirnya saya dapat membeli sebuah perahu kecil dan saya mulai mencari ikan sendiri. Akan tetapi, semalam badai mengamuk dan nyaris saya tewas kalau saja tidak tertolong oleh orang-orang Ji-wi Locianpwe."
Suami isteri itu kembali saling pandang. Anak ini sudah yatim piatu! Tidak mempunyai tempat tinggal dan hidup sebatang kara. Seperti biasanya, tanpa bicara sekalipun suami isteri ini telah dapat saling menjajagi isi hati masing-masing dan dari pandang mata saja keduanya telah dapat saling bermufakat akan sesuatu. Demikian dekatnya hubungan batin antara keduanya dan kini, melalui sinar mata mereka, keduanya sudah setuju untuk menarik anak yatim piatu ini lebih dekat dengan mereka.
"Ki Liong, engkau terserang badai dan nyaris tewas, akan tetapi akhirnya dapat diselamatkan tiba di pulau kami. Hal ini berarti bahwa engkau memang berjodoh dengan kami. Bagaimana kalau selanjutnya engkau hidup saja di sini, membantu pekerjaan di sini?"
Kata Ceng Thian Sin. Ki Liong bersoja kembali memberi hormat.
"Saya akan menjadi seorang yang paling tidak tahu diri dan tidak mengenal budi kalau saya menolak. Akan tetapi, selama ini saya telah bertekat untuk merantau dan mencari seorang guru yang pandai, Locianpwe...!"
Kembali suami isteri itu saling pandang.
"Guru yang pandai? Guru untuk mengajarkan apa maksudmu?"
"Mengajarkan ilmu silat, Locianpwe. Saya ingin belajar ilmu silat sebaik-baiknya."
"Ahh? Untuk apa engkau ingin belajar ilmu silat?"
Ceng Thian Sin mendadak memandang penuh perhatian. Memang sejak tadi dia dan isterinya sudah setuju untuk mengambil anak ini sebagai murid, akan tetapi kini mendengar bahwa anak ini ingin berguru ilmu silat, dia ingin sekali tahu apa yang mendorongnya.
"Semenjak saya hidup seorang diri, saya banyak mengalami gangguan dan penghinaan dari mana-mana, bahkan pernah hasil saya bekerja berbulan-bulan, dirampas orang dengan kekerasan. Banyak sekali terjadi kejahatan di dunia ini dan saya ingin membela diri dari gangguan dan penghinaan, juga ingin menentang orang-orang jahat dengan ilmu silat yang saya pelajari."
Suami isteri itu mendengarkan dengan kagum dan hati mereka merasa girang sekali. Sungguh tak mereka sangka bahwa mereka menemukan seorang anak laki-laki yang selain berbakat baik sekali, memiliki bentuk tubuh yang sehat dan baik, juga memiliki cita-cita yang demikian gagahnya. Seorang calon pendekar!
"Ki Liong, kalau engkau ingin belajar silat, kami akan melatihmu dengan ilmu silat."
Sambil berlutut, anak itu kini mengangkat mukanya, memandang kepada kakek dan nenek itu bergantian.
"Maaf, Ji-wi Locianpwe... bukan saya menolak, akan tetapi... saya ingin mempelajari ilmu silat yang tinggi karena kalau hanya ilmu silat biasa saja, mana mungkin saya dapat menghadapi penjahat-penjahat yang lihai itu?"
Suami isten itu saling pandang dan tersenyum.
"Anak baik, engkau tidak tahu dengan siapa engkau berhadapan. Lihat, percayakah engkau akan ada orang yang mampu menangkap burung terbang itu?"
"Tidak mungkin, Locianpwe."
Kata Ki Liong membantah Toan Kim Hong.
"Kalau tidak menggunakan sambitan atau anak panah atau pikatan, mana mungkin menangkap burung terbang?"
"Kau lihat baik-baik, aku akan menangkapnya!"
Dan begitu nenek itu berkata demikian, tiba-tiba ia sudah lenyap, hanya nampak bayangan berkelebat menuju ke pekarangan di mana terdapat beberapa ekor burung gereja beterbangan ke sana-sini. Anak itu terbelalak melihat betapa bayangan nenek itu menyambar dan kembali bayangan itu sudah berada di depannya dan nenek itu kini memperlihatkan seekor burung gereja yang telah digenggam tangan kirinya.
"Ahh... ohhh...!"
Ki Liong terbelalak dan tidak mampu mengeluarkan kata-kata saking kagum dan herannya, hanya berah-uh-ah-oh-oh seperti mendadak menjadi bodoh sekali.
"Lihat caraku yang lain lagi menangkap burung terbang."
Kata Ceng Thian Sin sambil memberi isarat dengan pandang matanya kepada isterinya. Toan Kim Hong melepaskan burung itu yang bercicitan terbang keluar, akan tetapi tiba-tiba pendekar itu meluruskan tangannya dengan telapak tangan menghadap ke arah burung yang sedang terbang itu dan tiba-tiba saja tubuh burung itu seperti ditarik ke belakang dan tahu-tahu telah tersedot dan kini menempel di telapak tangan Ceng Thian Sin, tidak mampu terbang lagi! Melihat ini, Ki Liong lalu memberi hormat dengan membentur-benturkan dahi kepalanya di lantai.
"Ah, saya memiliki mata akan tetapi seperti buta saja, tidak melihat bahwa Ji-wi Locianpwe adalah ahli-ahli silat yang memiliki kepandaian mujijat. Kalau Ji-wi masih sudi mengajar saya, saya akan merasa bersukur, berterima kasih dan selamanya saya tidak akan melupakan budi kebaikan Ji-wi Locianpwe..."
Ceng Thian Sin tertawa dan melepaskan burung itu yang terbang ketakutan. Semenjak saat itu, Ciang Ki Liong telah menjadi murid mereka. Anak ini memang berbakat baik sekali dan ternyata selama ini dia pun sudah mempelajari dasar-dasar ilmu silat dalam perantauannya. Selain berbakat baik, juga dia cerdik bukan main, dapat mengingat setiap jurus yang diajarkannya dengan cepat.
Hal ini masih ditambah lagi dengan sikapnya yang amat baik, penuh sopan santun, peramah dan pandai sekali mengambil hati orang. Kakek dan nenek itu hanya mempunyai anak tunggal, perempuan lagi, yaitu Ceng Sui Cin. Kini, mempunyai seorang murid laki-laki seperti Ki Liong, mereka senang bukan main dan beberapa tahun kemudian, mereka sudah menganggap Ki Liong bukan hanya seperti murid terkasih, akan tetapi bahkan seperti anak sendiri! Ki Liong bukan hanya disuka oleh suhu dan subonya, yang memandang dia sendiri seperti anak sendiri dan yang menurunkan ilmu-ilmu yang paling tinggi, akan tetapi juga para penghuni pulau itu semua suka kepadanya! Dia seorang pemuda yang bersikap ramah terhadap siapapun juga, sehingga tidak ada alasan bagi orang lain untuk tidak suka kepadanya.
Bahkan terhadap beberapa orang gadis keluarga para penghuni pulau, dia bersikap baik dan sopan dan alim. Tentu saja melihat sikap ini, Ceng Thian Sin dan Toan Kim Hong menjadi semakin suka dan kedua orang sakti ini menggembleng Ki Liong dengan sungguh-sungguh. Selama enam tahun Ki Liong digembleng dan pemuda yang beruntung ini telah mampu mewarisi ilmu-ilmu yang paling hebat dari suami isteri itu. Demikianlah, tanpa diketahui Sui Cin yang sudah hampir sepuluh tahun tidak pernah berkunjung ke Pulau Teratai Merah, kini di pulau itu tinggal seorang pemuda yang usianya sudah dua puluh tahun, yang menjadi murid ayah ibunya, bahkan murid yang disayang seperti anak sendiri, dan yang telah mewarisi ilmu-ilmu yang dahsyat dari mereka. Ketika perahu yang membawa Sui Cin dan Kui Hong mendarat di pulau itu, mereka disambut oleh para penghuni pulau dengan gembira bukan main.
"Siocia datang...!"
"Nona Kui Hong sekarang telah menjadi seorang gadis yang cantik jelita!"
"Siocia masih saja nampak muda biarpun anaknya sudah demikian besarnya."
Ketika Ceng Thian Sin dan isterinya menerima laporan bahwa puteri mereka dan cucu mereka datang berkunjung, keduanya girang sekali dan mereka pun berlari keluar, diikuti oleh Ki Liong yang tadi sedang digembleng ilmu silat oleh kedua orang gurunya di lian-bu-thia (ruangan berlatih silat).
"Sui Cin...!"
Toan Kim Hong berseru girang dan ibu dan anak ini segera saling berangkulan. Ketika nenek ini melihat puterinya mencucurkan air mata, ia terkejut bukan main. Belum pernah puterinya ini menangis, hanya karena keharuan pertemuan antara mereka. Anaknya walaupun seorang wanita, memiliki kegagahan dan pantang menangis hanya untuk urusan kecil. Kini ia mengucurkan air mata, itu berarti telah terjadi hal yang hebat.
"Sui Cin ada apakah?"
Ia bertanya suaranya tegas. Sui Cin melihat kehadiran beberapa orang penghuni yang mengantar mereka masuk setelah tadi menyambut, juga melihat kehadiran seorang pemuda di belakang ayah ibunya, memandang ragu dan ibunya maklum. Toan Kim Hong lalu mengalihkah percakapan dan kini ia memegang kedua pundak Kui Hong.
"Haiii, ini... benarkah ia Kui Hong si kecil itu?"
"Nenek...!"
Kata Kui Hong sambil tersenyum dan memberi hormat.
"Aihhh, cucuku sudah begini besar, cantik dan gagah lagi!"
Dan Toan Kim Hong lalu merangkulnya. Ceng Thian Sin yang bersikap tenang itu juga wajahnya nampak cerah gembira, sepasang matanya bersinar-sinar tanda bahwa hatinya senang sekali walaupun tidak enak karena dia pun dapat menduga bahwa tentu telah terjadi hal yang hebat, yang menyebabkan puterinya yang keras hati itu sampai menangis.
"Oya, perkenalkan ini adalah murid kami bernama Ciang Ki Liong, sudah enam tahun dia berada di sini menjadi murid kami. Ki Liong, ini adalah puteri kami Ceng Sui Cin, dan ini adalah cucu kami bernama Cia Kui Hong."
Ki Liong cepat melangkah maju dan menjura dengan hormat kepada Sui Cin, sambil berkata dengan halus dan sopan,
"Suci (Kakak seperguruan), harap sudi menerima hormatku."
Sui Cin terbelalak. Murid ayah ibunya? Ia memandang penuh perhatian dan melihat bahwa pemuda ini adalah seorang yang tampan dan gagah, sikapnya demikian sederhana dan sopan, menimbulkan rasa suka di hatinya.
"Ah, aku girang sekali mempunyai seorang Sute (Adik Seperguruan) yang segagah ini,"
Katanya, kemudian menoleh kepada puterinya.
"Kui Hong, ini Paman Gurumu, hayo beri hormat kepadanya."
Biarpun di dalam hatinya merasa segan memberi hormat seorang pemuda yang usianya tidak terlalu banyak selisihnya dengan usianya sendiri, yang diperkenalkan sebagai paman gurunya, namun di depan ibunya dan kakek serta neneknya, Kui Hong tidak berani membantah.
"Susiok (Paman Guru)...!"
Katanya sambil memberi hormat.
Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ah, Nona, mana aku berani menerima kehormatan ini?"
Ki Liong berkata dengan ramah dan merendah, sambil membalas dengan penghormatan dan menjura dengan dalam. Melihat sikap ini, Sui Cin menjadi semakin suka dan kagum. Pantas saja orang tuanya menerima pemuda ini sebagai murid dan ia tidak menyalahkan mereka. Memang seorang pemuda yang baik.
"Mari kita bicara di dalam,"
Kata Toan Kim Hong kepada puterinya. Akan tetapi ia melihat Sui Cin memandang kepadanya lalu melirik ke arah Ki Liong, Maklumlah ibu ini bahwa puterinya tidak ingin bicara dengan kehadiran orang lain, maka ia lalu berkata kepada Ki Liong,
"Ki Liong, engkau latih sendiri apa yang baru saja kami ajarkan tadi, di lian-bu-thia, biarkan kami melepas rindu kepada Sucimu."
"Baik, Subo,"
Kata Ki Liong sambil meninggalkan ruangan depan.
"Aku mau melihat Susiok berlatih silat!"
Tiba-tiba Kui Hong berkata dan ibunya mengangguk karena ia pun merasa lebih leluasa bicara tentang urusan pribadinya kalau di situ tidak hadir puterinya. Kui Hong lalu mengikuti Ki Liong menuju ke lian-bu-thia melalui ruangan samping, sedangkan kakek dan nenek itu masuk ke dalam rumah bersama puteri mereka. Setelah berada bertiga saja bersama ayah ibunya, Sui Cin tak dapat menahan tangisnya. Ibunya merangkulnya dengan hati penuh kekhawatiran.
"Anakku, apakah yang telah terjadi sehingga engkau datang sambil menangis seperti ini?"
Setelah dapat menekan guncangan batinnya, Sui Cin menghapus air matanya dan duduk berhadapan dengan ayah ibunya. Ayahnya hanya mengerutkan alis dan memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik, akan tetapi sikapnya tetap tenang. Tidak ada hal yang akan dapat atau mampu mengguncangkan ketenangan batin Pendekar Sadis ini.
"Ibu, Ayah, aku pulang ke sini untuk seterusnya, aku telah meninggalkan Cin-ling-san bersama Kui Hong dan aku tidak akan kembali lagi ke sana."
Suami isteri itu saling pandang, mengerti bahwa telah terjadi sesuatu yang menimbulkan percekcokan antara puteri dan mantu mereka. Percekcokan antara suami isteri adalah hal yang wajar saja, dan tidak sepatutnya kalau sampai membuat puteri mereka mengambil keputusan untuk meninggalkan rumah suami dan tidak akan kembali lagi. Tentu terjadi hal yang lebih hebat daripada sekedar cekcok saja.
"Engkau cekcok dengan suamimu?"
Toan Kim Hong bertanya, hati-hati. Ia dan suaminya adalah orang-orang yang telah banyak makan garam dunia dan mereka bijaksana, maklum bahwa biarpun mereka adalah orang tua, namun mereka tidak berhak mencampuri urusan antara suami dan isteri, sungguhpun isteri itu adalah anak mereka sendiri. Mencampuri hanya akan membuat suasana menjadi semakin keruh. Betapa banyaknya perhubungan suami isteri menjadi retak, perkawinan menjadi percerajan karena pihak orang tua dan keluarga mencampuri urusan suami isteri itu. Orang tua yang bijaksana tidak akan menuruti perasaan yang menimbulkan emosi, tidak akan berpihak, melainkan berdiri di tengah-tengah, tidak berat sebelah dan selalu disertai pamrih untuk menyatukan kembali suami isteri yang akan retak itu.
Begitu orang tua atau keluarga berpihak, keretakan akan menghebat dan disusul perceraian dan permusuhan. Bukan tak mungkin suami dan isteri hari ini cekcok dengan hebat akan tetapi pada keesokan harinya sudah saling berkasih-kasihan. Akan tetapi, orang tua dan keluarga merupakan orang luar dan sekali mereka ini terjun dan mencampuri, sekali cekcok dengan pihak besan, mungkin selamanya takkan dapat akur kembali! Percekcokan antara suami dan isteri seperti percekcokan kanak-kanak. Ditanya oleh ibunya apakah dia cekcok dengan suaminya, Sui Cin menggeleng kepalanya tanpa menjawab. Kembali kakek dan nenek itu saling pandang dan mereka mengerutkan alis. Kalau tidak cekcok dengan suaminya, tentu cekcok dengan keluarga suaminya. Mereka teringat akan watak ayah mertua puterinya, yaitu Cia Kong Liang yang keras.
"Apakah cekcok dengan ayah mertuamu?"
Ceng Thian Sin kini bertanya. Sui Cin mengangguk dan kembali dua titik air mata jatuh ke atas pipinya. Dengan bijaksana, Toan Kim Hong mencela puterinya sendiri dengan maksud mengingatkan,
"Anakku, ayah mertuamu tiada bedanya dengan ayah sendiri, oleh karena itu perlu ditaati semua kehendaknya dan jangan sekali-kali dibantah."
"Ibu!"
Kata Sui Cin penuh semangat perlawanan karena hatinya diliputi rasa penasaran.
"Apakah segala kehendaknya harus ditaati, kehendak yang tidak baik sekalipun?"
"Sui Cin, rasanya tidak mungkin kalau Cia Kong Liang yang gagah perkasa dan bijaksana itu mempunyai kehendak yang tidak baik!"
Kata Ceng Thian Sin, berlawanan dengan perasaannya sendiri karena dia pun seperti isterinya hendak menekan sikap perlawanan puterinya terhadap ayah mertuanya.
"Sesungguhnya, apa sih kehendak ayah mertuamu itu?"
Toan Kim Hong mendesak karena ia pun ingin sekali tahu.
"Dia memaksa Hui Song untuk kawin lagi!"
"Apa?"
Suami isteri terbelalak dan saling pandang. Mereka benar terkejut mendengar ini karena sama sekali tidak pernah mengira akan mendengar berita seperti itu.
"Tapi... tapi kenapa? Bukankah dia telah menjadi suamimu, dan bukankah kalian hidup berbahagia dan saling mencinta?"
Nenek itu mendesak, kini mulai merasa penasaran.
"Kami hidup berbahagia, Ibu, dan tidak pernah terjadi percekcokan antara kami. Akan tetapi ayah mertuaku... dia ingin sekali mempunyai seorang cucu laki-laki, katanya untuk menyambung keturunan Cia, dan dia memaksa Hui Song untuk mengambil seorang gadis lain sebagai isteri ke dua, agar dapat mempunyai seorang keturunan laki-laki!"
"Ahhh..!"
Kembali kakek dan nenek itu saling pandang dan mereka menarik napas panjang, lalu menundukkan muka dengan alis berkerut. Tentu saja mereka berdua dapat mengerti perasaan hati Ketua Cin-ling-pai itu.
Pada jaman itu, boleh dibilang hampir seluruh orang tua di empat penjuru akan berpendapat sama, yaitu rnereka tidak ingin keturunan marga mereka terputus karena tidak mempunyai keturunan laki-laki. Kalau Ceng Thian Sin sendiri tidak bersikap seperti itu adalah karena dia lain daripada yang lain, dan dia amat mencinta isterinya. Tanpa bicara, keduanya dapat menerima tuntutan ayah mertua puteri mereka itu, dan mereka tidak dapat menyalahkan Cia Kong Liang. Karena sebab percekcokan adalah karena Cia Kong Liang ingin memperoleh seorang cucu laki-laki, keduanya menjadi lemas dan merasa tidak berdaya, hanya merasa kasihan kepada puteri mereka yang bernasib malang karena tidak mempunyai keturunan laki-laki. Andaikata Sui Cin mempunyai seorang anak laki-laki, tentu tidak akan timbul masalah yang mencemaskan ini.
"Bagaimana dengan sikap Hui Song?"
Tanya ibunya, hati-hati. Sui Cin menggerakkan pundaknya.
"Entahlah. Ayahnya marah-marah dan menantangnya untuk memilih antara isteri dan ayah. Kalau Hui Song tidak mau, dia boleh pergi bersama keluarganya dan tidak akan diaku anak lagi, dan ayahnya akan mengangkat orang lain sebagai puteranya! Ketika aku pergi, Hui Song berada dalam keadaan bimbang dan ragu. Aku katakan kepadanya bahwa aku dan Kui Hong akan pergi ke sini. Kalau dia menikah lagi, dia tidak boleh menyusul kami di sini, dan aku tidak akan kembali ke sana sebelum dia datang menyusul."
Sui Cin lalu menceritakan peristiwa percekcokan yang terjadi di Cin-ling-pai itu, didengarkan oleh ayah dan ibunya yang menjadi lemas. Urusan itu terlalu pelik dan mereka tidak tahu harus berbuat apa. Melihat ayah dan ibunya diam saja, Sui Cin merasa khawatir juga kalau-kalau mereka itu menyalahkannya, maka ia pun bertanya,
"Bagaimana, Ayah dan Ibu? Apakah keliru tindakanku pulang ke sini dan tidak menyetujui kalau Hui Song kawin lagi?"
Ayahnya menarik napas panjang.
"Sui Cin, bagaimanapun juga, ayah dan Ibumu tak mungkin dapat menyalahkan ayah mertuamu karena pendapat umum memang membuat setiap orang tua ingin mempunyai penyambung keturunan.."
"Tapi Ayah juga tidak mempunyai anak laki-laki!"
Sui Cin memotong penasaran. Ayahnya tersenyum dan ibunya yang menjawab,
"Jangan masukkan ayahmu, Sui Cin karena dia adalah lain daripada yang lain. Kami cukup puas walaupun tidak mempunyai anak laki-laki dan sebagai gantinya kami mempunyai seorang murid laki-laki yang amat baik, yaitu sutemu Ki Liong. Kami tak dapat menyalahkan ayah mertuamu seperti yang dikatakan ayahmu. Sekarang terserah kepada Hui Song karena dia yang harus mengambil keputusan."
"Kasihan Hui Song, dialah yang menanggung paling berat."
Kata Ceng Thian Sin.
"Dia yang menjadi serba salah."
"Kalau menurut Ayah bagaimana? Jalan mana yang harus diambilnya? Mentaati ayahnya kehilangan isteri, ataukah menuruti isterinya dan kehilangan ayah? Harap Ayah jujur menjawabnya."
Pendekar itu menghela napas panjang. Dia mengenal benar watak puterinya yang amat keras, sekeras dia dan isterinya ketika masih muda. Dia dapat maklum bahwa seorang wanita dengan watak seperti Sui Cin tentu tidak mau dimadu dengan alasan apapun juga.
"Ah, aku tidak dapat memutuskan, Sui Cin, karena dalam hal ini, apa pun yang dilakukan Hui Song, dia bersalah! Kalau dia menuruti keinginanmu dan tidak menikah lagi sehingga kehilangan ayah, berarti dia tidak berbakti kepada ayahnya. Sebaliknya kalau dia mentaati ayahnya dan menikah lagi sehingga kehilangan isteri, berarti dia tidak mencinta isterinya! Sungguh celaka baginya, maju salah mundur salah, diam saja pun tidak mungkin."
Sui Cin mengerutkan alisnya.
"Tidak, aku tidak sudi mengalah. Kalau memang dia mau menikah lagi, biarlah, akan tetapi aku pun tidak mau kembali ke sana!"
Sementara itu Kui Hong berada di lian-bu-thia bersama Ki Liong. Biarpun pemuda itu termasuk paman gurunya, namun karena usia Ki Liong baru dua puluh tahun, Kui Hong merasa cocok dengannya, apalagi karena pemuda itu bersikap sopan dan ramah sekali. Juga pemuda itu rendah hati, biarpun sebagai susiok (paman guru) tidak akan salah kalau dia memanggilnya dengan namanya saja, namun Ki Liong menyebutnya Nona! Hal ini menyenangkan hati Kui Hong, menghilangkan rasa penasaran dan tidak puasnya tadi harus menyebut susiok kepada orang yang masih begitu muda. Apalagi melihat Ki Liong melatih jurus-jurus Pat-hong Sin-kun yang memang sulit, diam-diam Kui Hong mentertawakannya.
Ia merasa lebih unggul kalau bermain ilmu silat sakti Delapan Penjuru Angin itu. Tentu saja, karena ia digembleng ayah ibunya sejak berusia lima enam tahun, sudah sepuluh tahun lamanya ia berlatih ilmu silat keluarganya, sedangkan Ki Liong baru berlatih selama enam tahun saja. Ketika Ki Liong bersilat sampai pada puncak ilmu itu, yaitu jurus Pat-hong-hong-i (Delapan Penjuru Angin Hujan), nampaknya pemuda itu agak bingung, terutama sekali pada pergerakan kaki. Pukulan ini memang sulit karena kedua tangan memukul bertubi-tubi ke arah delapan penjuru angin, membuat tubuh itu berpusing dan gerakan berpusing inilah yang membuat dia bingung bagaimana sebaiknya mengatur kedua kakinya. Setelah mengulang gerakan itu sampai empat kali belum juga berhasil, tiba-tiba Kui Hong yang sejak tadi nonton di pinggiran, tertawa.
"Kalau dilanjutkan engkau bisa jatuh terjegal kaki sendiri!"
Agaknya pemuda itu baru teringat bahwa di situ terdapat orang lain yang melihat dia berlatih, dan teringat bahwa yang nonton ini adalah puteri dari seorang ahli silat keluarga itu, yaitu sucinya.
"Ah, aku sampai lupa bahwa engkau tentu ahli dalam ilmu silat ini, Nona Kui Hong!"
Katanya menghentikan gerakannya.
"Karena itu aku mengharapkan petunjukmu karena jurus ini terasa amat sulit bagiku. Aku lupa lagi bagaimana harus mengatur kaki walaupun tadi sudah dijelaskan dengan teliti oleh Suhu."
"Hi-hi-hik, mana ada seorang Paman Guru bertanya tentang ilmu silat kepada murid keponakannya? Tidak terbalikkah ini, Susiok? Sepatutnya aku yang minta petunjuk darimu."
Gadis ini memang berwatak polos dan berandalan, seperti ibunya di waktu mulda.
"Aih, Nona. Kita menjadi paman guru dan murid keponakan hanya karena kebetulan saja. Aku baru enam tahun berguru kepada kakek dan nenekmu, sedangkan engkau sejak kecil sampai sekarang telah dilatih ilmu silat keluargamu oleh ibumu. Tolonglah agar aku dapat melakukan gerakan ini dengan baik."
Melihat sikap pemuda itu yang selalu merendah, tidak malu-malu bertanya kepada murid keponakannya, Kui Hong menjadi girang.
"Baiklah, akan tetapi memang jurus Pat-hong-hong-i ini sukar sekali. Coba akan kulakukan, harap kau lihat baik-baik. Akan tetapi gerakanku juga belum begitu sempurna, Susiok."
Gadis itu lalu memainkan jurus itu,
Gerakannya lincah dan ketika tubuhnya berpusing, nampak indah dan cekatan seolah-olah ia sedang menari-nari saja. Diam-diam Ki Liong memperhatikan dan dia pun segera dapat melihat kekeliruannya. Seharusnya dia menggunakan ujung jari-jari kaki untuk berdiri dan berpusing sehingga gerakan kakinya ringan dan mudah untuk berpusing. Akan tetapi Ki Liong tetap saja tidak mampu melakukan gerakan itu dengan baik, bahkan kini tangannya nampak kaku. Kui Hong maju untuk memberi petunjuk, bahkan memegang tangan pemuda itu dan memperlihatkan bagaimana seharusnya gerakan itu, mengatur pula kedua kakinya. Makin kacau agaknya gerakan Ki Liong. Akan tetapi akhirnya, setelah diajak untuk melakukan gerakan itu bersama, barulah pemuda itu mulai dapat melakukan gerakan jurus Pat-hong-hong-i dengan benar.
"Nah, sekarang baru benar, tinggal mematangkan dalam latihan saja, Susiok."
Ki Liong kini menghadapi gadis itu dengan muka merah dan matanya mencorong aneh, lalu menjura dan tersenyum.
"Terima kasih, Nona Kui Hong. Engkau sungguh seorang murid keponakan yang lihai, baik hati dan... cantik jelita. Sungguh aku beruntung sekali mempunyai murid keponakan seperti engkau, Nona."
Mendengar dirinya dipuji cantik jelita, Kui Hong merasa aneh. Warna merah menjalar perlahan ke leher dan mukanya.
"Ihh, Susiok ini bisa saja memuji orang!"
Katanya. Dan tiba-tiba saja timbul keinginannya untuk mengajak paman guru itu berpi-bu (mengadu ilmu). Ia memang mempunyai kesukaan ilmu silat dan suka sekali mencoba semua orang yang dijumpainya, apalagi melihat betapa orang muda ini adalah paman gurunya! Melihat gerakan-gerakan Ki Liong, ia merasa yakin akan dapat memenangkan paman gurunya itu dan betapa akan puas dan girangnya kalau dapat menang melawan orang yang dipanggil paman guru.
"Susiok, mari kita main-main sebentar!"
Katanya sambil memasang kuda-kuda di depan pemuda itu.
"Eh, main-main bagaimana maksudmu, Nona?"
"Apalagi- permainan orang-orang yang suka bersilat kecuali pi-bu?"
"Wah! Engkau mengajak aku untuk pi-bu? Mana aku berani, Nona?"
"Susiok, namanya saja pi-bu, akan tetapi di antara kita adalah orang-orang sendiri, maka yang kunamakan pi-bu itu sebetulnya hanyalah latihan bersama saja, bukan pertandingan. Mari kita berlatih bersama untuk menguji diri sendiri masing-masing sampai di mana kemajuan latihan-latihan yang kita lakukan. Tidakkah ini baik sekali?"
"Ah, begitukah?"
Wajah yang tampan dan putih itu nampak berseri.
"Kalau latihan bersama, tentu saja aku suka. Harap engkau suka banyak memberi petunjuk kalau gerakanku ada yang keliru, Nona."
"Baik, nah, awas, aku akan menyerangmu dengan Pat-hong-sin-kun yang kau latih tadi!"
Gadis remaja itu lalu bergerak, gesit dan cepat bukan main, menyerang dengan kedua tangannya. Ki Liong mengenal gerakan ini dan dia pun cepat mengelak, dan membalas dengan jurus lain dari ilmu silat Pat-hong-sin-kun. Kui Hong juga dapat mengelak dan membalas. Mereka segera serang-menyerang dalam ilmu silat itu dan Kui Hong mendapat kenyataan bahwa susioknya itu mampu mengelak dan menangkis semua serangannya dengan baik!
"Awas, aku menggunakan Thai-kek Sin-kun dan tenaga Thian-te Sin-ciang!"
Kata gadis itu dan menyerang lagi sambil mengubah permainan silatnya. Dan kembali ia kagum. Pemuda itu dapat pula mengelak dengan baik, bahkan ketika menangkis Pukulan tangannya yang mengandung tenaga Thian-te Sin-ciang yang ampuh, ternyata pemuda itu memiliki tenaga yang amat kuat, bahkan demikian kuatnya sehingga pemuda itu mampu menggunakan tenaga Bian-ciang, yaitu tenaga sinkang yang membuat tangan pemuda itu lunak seperti kapas dan tenaga sinkang di tangan Kui Hong ketika beradu tangan seperti tenggelam ke dalam air saja!
Kui Hong terkejut dan teringat bahwa memang pemuda itu adalah murid neneknya dan menurut ibunya, neneknya memiliki ilmu mujijat yang disebut Bian-kun (Tangan Kapas). Agaknya itulah Bian-kun! Ia merasa kalah karena pemuda itu menguasai ilmu yang tidak dikuasainya karena memang belum pernah dipelajarinya. Ibunya sendiri pun belum mempelajari ilmu itu yang menurut ibunya amat sulit dipelajari. Memang sesungguhnya bahwa Ceng Sui Cin tidak mewarisi seluruh ilmu silat ayah ibunya. Bahkan ilmu-ilmu dari ayahnya, walaupun sudah hampir semua dipelajari, namun tidak dikuasainya dengan sempurna benar. Hal ini adalah karena ketika muda, Ceng Sui Cin menjadi murid mendiang Wu Yi Lojin, seorang di antara Delapan Dewa.
Berbeda dengan Ki Liong yang begitu terjun ke dalam dunia persilatan, dia digembleng oleh kakek dan nenek itu sehingga dia dapat menmencurahkan seluruh perhatiannya untuk mematangkan ilmu-ilmu itu. dan diam-diam, dia yang memiliki amat baiknya itu telah melatih diri dengan tekun, menggembleng diri siang malam untuk suatu tujuan yang dicita-citakan semenjak dia di bawa ke Pulau Teratai Merah! Tadipun ketika dia berlatih Pat-hong-hong-i, dia lebih banyak berpura-pura kepada Kui Hong sehingga dipandang rendah oleh gadis ini. Padahal, dalam latihan-latihan ilmu silat, walaupun yang dikuasainya tidak sebanyak yang dikuasai Kui Hong, namun jelas lebih matang! Hebatnya, pemuda ini memang selalu merahasiakan kepandaiannya, dan dia pandai memilih jurus-jurus yang terampuh untuk dilatih sebaik mungkin sampai matang betul mendekati sempurna!
Karena Kui Hong tidak dapat mengalahkan pemuda itu dengan Thai-kek Sin-kun dengan tenaga Thian-te Sin-ciang, gadis ini menjadi penasaran. Dirobahnya lagi ilmu silatnya dengan San-in-kun-hoat yang amat lihai, namun pemuda itu telah menguasai pula ilmu silat ini dengan baik dan dapat mengimbanginya. Kui Hong menggantinya lagi dengan Pek-in-ciang. Pukulan tangannya mengeluarkan semacam uap putih, akan tetapi ketika pemuda itu menangkisnya dengan ilmu yang sama, Kui Hong terkejut melihat betapa uap putih yang keluar dari telapak tangan pemuda itu lebih tebal yang menjadi bukti bahwa dalam hal sin-kang pengerahan tenaga Pukulan ini, ia masih kalah! Pada saat itu, muncullah Ceng Thian Sin, Toan Kim Hong, dan Ceng Sui Cin dari dalam rumah.
"Eh, apa yang kau lakukan itu, Kui Hong? Berhenti!"
Teriak Sui Cin melihat betapa puterinya menyerang Ki Liong kalang kabut, dan pemuda itu dengan tenangnya mengelak dan menangkis dengan baiknya. Melihat munculnya mereka bertiga, Ki Liong cepat meloncat ke belakang dan menjura dengan hormat.
"Nona Hong, ilmu kepandaianmu sungguh hebat, membuat aku kagum sekali."
"Ibu, aku hanya mengajak susiok untuk latihan bersama!"
Kata Kui Hong kepada ibunya, namun Sui Ceng mengerti akan watak puterinya yang suka berpibu, dan tadi ia melihat betapa anaknya itu menyerang dengan sungguh-sungguh. Diam-diam ia sendiri merasa penasaran melihat betapa puterinya agaknya masih belum mampu menandingi pemuda itu, padahal menurut keterangan ayah ibunya, pemuda itu enam tahun belajar di situ. Kalau demikian, memang pemuda itu memiliki bakat yang baik sekali. Setelah memberi hormat, Ki Liong lalu mengundurkan diri dengan alasan hendak membantu pekerjaan di ladang. Setelah pemuda itu pergi, nenek Toan Kim Hong berkata kepada puterinya.
"Dia seorang anak yang baik dan rajin sekali. Selama enam tahun dia berada di sini, tak pernah mengecewakan, baik dalam ketekunannya berlatih silat maupun kerajinannya membantu pekerjaan di ladang atau mencari ikan."
"Benar, dia seorang murid yang baik dan tidak pernah mengecewakan,"
Kata pula Pendekar Sadis.
"Bagaimana, Kui Hog, ketika engkau latihan bersama dia?"
Kui Hong mengerutkan alisnya.
"Ada yang aneh, Kong-ko (Kakek)."
"Aneh? Apanya yang aneh?"
Kakek itu bertanya.
"Ketika berlatih Pat-hong-hong-i, dia amat kaku sehingga aku harus memberi contoh gerakan itu yang benar, nampaknya dia belum begitu mahir. Akan tetapi ketika kami latihan bersama, dia mampu mengimbangi semua seranganku dan ternyata dia pandai sekali, dan tenaga sinkangnya pun amat kuat, bahkan dia mampu menggunakan Bian-ciang."
"Tentu dia amat hebat karena dia langsung digembleng oleh Kakek dan Nenekmu,"
Kata Sui Cin, tidak bebas sama sekali dari perasaan iri. Ayahnya tertawa.
"Ha-ha, kemajuan seseorang dalam ilmu silat tergantung sepenuhnya kepada orang itu sendiri. Kalau dia berbakat dan rajin berlatih, tentu dia akan memperoleh kemajuan pesat."
Sementara itu, Ki Liong yang pergi ke ladang, ternyata tidak mencangkul atau bekerja lain, melainkan duduk melamun di bawah pohon. Kadang-kadang dia tersenyum dan matanya mengeluarkan sinar mencorong aneh.
Dia membayangkan semua yang telah dialaminya tadi, di lian-bu-thia. Masih nampak wajah yang cantik manis itu, dengan sepasang mata yang jeli dan bibir yang manis, masih tercium olehnya keharuman yang khas, bau kewanitaan yang keluar dari tubuh Kui Hong ketika mereka berlatih silat, masih terdengar suara merdu ketika gadis itu berkata-kata, dan masih terasa pada tangan dan lengannya kehangatan kengan tangan gadis itu ketika lengan dan tangan mereka bersentuhan. Ah, semua itu membangkitkan berahinya dan kalau saja gadis itu bukan puteri sucinya, kalau saja gadis itu tidak berada di pulau ini, di mana tentu saja dia harus berhati-hati dan tidak boleh sembarangan menurutkan hasrat hatinya, tentu akan diusahakan sekuat tenaga untuk mendapatkan gadis itu.
Dia tahu bahwa dia telah jatuh cinta kepada Kui Hong, perasaan yang belum pernah selama ini dirasakan. Dia hanya mendengar saja dari percakapan para penghuni pulau tentang cinta antara pria dan wanita, dan belum pernah dia merasakannya sendiri. Belum pernah dia jatuh hati, dan kalau adakalanya dia tertarik oleh kecantikan seorang gadis pulau itu, maka perasaan ini ditahan dan ditekannya, karena dia harus memperlihatkan sikap yang paling baik disitu. Akan tetapi sekarang, bertemu dengan Kui Hong, dia sama sekali tidak mampu lagi menahan perasaan hatinya, dan dia maklum bahwa bahaya telah mengancam dirinya. Dia hampir tidak kuat bertahan, dan kalau sampai dia menjadi mata gelap, mendekati Kui Hong dan gadis itu menolak, lalu ketahuan oleh suhu dan subonya, tentu dia akan mengalami celaka.
Dia sudah melakukan persiapan sejak lama, persiapan untuk melarikan diri dari pulau itu! Suhu dan subonya selama ini tidak mengenal siapa dia, siapa dirinya yang sesungguhnya. Siasat yang dijalankannya enam tahun yang lalu telah berhasil baik. dia telah berhasil menjadi murid Pendekar Sadis dan isterinya yang sakti, bahkan berhasil menggembleng diri selama enam tahun sehingga dia telah mewarisi ilmu kepandaian suami isteri yang sakti itu! Ada beberapa macam ilmu telah dihafalnya benar, hanya tinggal mematangkan dalam latihan saja. Bahkan dia telah tahu akan rahasia Ilmu Thi-ki-i-beng, yaitu semacam ilmu rahasia dari Cin-ling-pai yang amat dahsyat karena ilmu ini merupakan penggunaan sinkang tenaga sakti dari tubuh lawan! Dia hanya tahu akan teorinya saja, akan tetapi belum sempat melatihnya karena untuk dapat menguasai ilmu ini membutuhkan latihan yang cukup lama dan berat.
Dia telah secara diam-diam mengumpulkan benda-benda berharga di dalam gudang pusaka suhu dan subonya. Benda-benda itu telah dikumpulkan dan dipisahkan di dalam gudang itu, setiap saat bisa diambilnya! Sungguh pandai sekali pemuda ini dan sama sekali tidak disangka oleh Pendekar Sadis dan isterinya. Padahal, sepasang suami isteri ini adalah orang-orang yang amat lihai dan cerdik. Kelemahan mereka, yaitu kehausan akan anak atau murid laki-laki itulah agaknya yang membuat mereka terkecoh dan menerima Ki Liong sebagai seorang murid yang amat baik dan yang mereka sayang seperti anak sendiri, Siapakah sebenarnya Ki Liong ini? Kepada Pendekar Sadis dan isterinya, dia mengaku she Ciang, sebenarnya tidaklah demikian. Namanya memang Ki Liong, akan tetapi sesungguhnya dia she Sim.
Ibunya yang she Ciang dan ibunya bernama Ciang Si. Ketika masih gadis ibunya tergila-gila kepada seorang pemuda yang tampan dan gagah pesolek. Karena rayuan maut pemuda itu, Ciang Si akhirnya menyerahkan diri kepada pemuda itu. Pemuda itu bukanlah orang sembarangan karena dia adalah Sim Thian Bu, murid dari Si Iblis Buta, masih terhitung saudara seperguruan Siangkoan Ci Kang, putera Si Iblis Buta (Baca Certia Asmara Berdarah). Sim Thian Bu merupakan murid yang pandai dan lihai sekali di samping kecerdikannya yang membuat dia sempat mengangkat namanya terkenal di dunia kang-ouw. Seperti dapat diikuti perjalanan Sim Thian Bu di dalam cerita Asmara Berdarah, pemuda ini bahkan telah diterima menjadi orang kepercayaan Raja dan Ratu Iblis, bekerja sama dan juga menjadi kekasih dari Siang-tok Sian-li Gui Siang Hwa.
Pendekar Sadis Eps 44 Siluman Gua Tengkorak Eps 7 Asmara Berdarah Eps 13