Ceritasilat Novel Online

Kumbang Penghisap Kembang 6


Si Kumbang Merah Penghisap Kembang Karya Kho Ping Hoo Bagian 6



Hwesio tua ini memiliki tubuh yang tinggi besar, mukanya agak kehitaman, dan terkenal sebagai seorang hwesio yang berilmu tinggi dan berwatak jujur dan berdisiplin, karenanya nampak keras. Karena kedisiplinannya, maka semua hwesio yang tinggal di kuil itupun merupakan pendeta-pendeta yang berdisiplin, dan hal ini terbukti dari adanya penjagaan yang ketat di sekeliling kuil itu dan di sudut-sudut terdapat hwesio yang berjaga, bahkan ada pula yang meronda di malam yang dingin sekali itu. Siapakah dua bayangan yang berkelebat bagaikan dua ekor burung dengan gerakan yang luar biasa cepatnya itu? Mereka adalah seorang pemuda dan seorang gadis. Pemuda itu berusia dua puluh dua tahun, bertubuh sedang akan tetapi dadanya bidang dan tegap.

   Wajahnya yang bulat berkulit putih, membuat alisnya yang tebal nampak hitam sekali, matanya agak sipit dengan sinar yang terang. Sebuah wajah yang tampan dan sikapnya lembut dan tenang membayangkan kegagahan. Pakaiannya sederhana saja, rambutnya digelung ke atas dan diikat dengan pengikat rambut dari sutera biru. Pemuda itu bernama Pek Han Siong, keturunan dari keluarga para pimpinan perkumpulan Pek-sim-pang (Perkumpulan Hati Putih) di daerah Kong-goan Propinsi Secuan. Perkumpulan ini adalah perkumpulan atau perguruan silat yang gagah perkasa. Keluarga Pek ini turun temurun merupakan ketua dari Pek-sim-pang, bahkan pendiri Pek-sim-pang yang bernama Pek Khun adalah pendiri dari perkumpulan itu. Mendiang Pek Khun merupakan seorang ahli silat aliran Siauw-lim-pai,

   Oleh karena itu, mudah diduga bahwa Pek-sim-pang adalah sebuah perguruan silat yang sumbernya dari ilmu silat Siauw-lim-pai. Mendiang Pek Khun digantikan oleh puteranya yang bernama Pek Ki Bu, kemudian, putera Pek Ki Bu yang bernama Pek Kong menggantikan ayahnya menjadi ketua Pek-sim-pang. Pek Kong inilah ayah kandung dari Pek Han Siong, pemuda yang kini nampak bergerak dengan cepatnya bersama seorang gadis diluar tembok pagar kuil Siauw-lim-si di luar kota Yu-shu. Ketika Pek Han Siong masih berada dalam kandungan ibunya yang bernama Souw Bwee, anak dalam kandungan ini sudah menimbulkan kegemparan karena ramalan dari para pendeta Lama di Tibet bahwa anak dalam kandungan itu adalah seorang Sin-tong (Anak Ajaib) yang kelak akan menjadi seorang Dalai Lama atau pemimpin agama di Tibet yang besar.

   Para pendeta Lama mula-mula minta dengan horrnat dan sopan agar kelak anak yang terlahir itu diserahkan kepada mereka untuk dididik menjadi calon seorang guru besar dunia. Tentu saja keluarga Pek merasa keberatan sehingga mereka menentang kehendak para pendeta Lama. Hal ini menimbulkan pertikaian dan permusuhan. Karena para pendeta Lama di Tibet mempunyai banyak orang sakti, maka seluruh keluarga Pek bersama para murid dan anggota Pek-sim-pang melarikan diri mengungsi menjauhi daerah Tibet dan akhirnya menetap di Kong-goan, di Propinsi Secuan. Namun para pendeta Lama masih terus melakukan pengejaran. Untuk menghindarkan pengejaran inilah maka Pek Kong mengajak isterinya melarikan diri dan bersembunyi.

   Anak itu terlahir dan tepat seperti yang diramalkan para pendeta Lama di Tibet, anak itu laki-laki dan di punggungnya terdapat sebuah tanda berwarna merah. Untuk menyelamatkan anak yang diberi nama Pek Han Siong itu, kakek buyutnya yang ketika itu masih hidup, yaitu Pek Khun, lalu membawa pergi Han Siong dari asuhan ayah ibunya. Sebagai gantinya, kakek Pek Khun kebetulan menyelamatkan seorang bayi laki-laki yang dibawa ibunya membunuh diri di lautan. Kakek itu berhasil menyelamatkan bayi itu akan tetapi ibu anak itu tewas, dan menyerahkan bayi itu kepada cucunya, Pek Kong dan isterinya menjadi pengganti Han Siong! Pek Han Siong dilarikan kakek buyutnya dan setelah merawatnya selama tujuh tahun, akhirnya dia membawa cucu buyutnya itu ke kuil Siauw-lim-si di dekat Yu-shu itu,

   Menitipkannya kepada Ceng Hok Hwesio ketua kuil itu yang masih terhitung murid keponakannya sendiri. Pek Han Siong hidup di dalam kuil itu dan secara kebetulan sekali dia bertemu dengan sepasang suami isteri yang sakti, yang melakukan pertapaan atau menerima hukuman atas dosa mereka telah melakukan perjinahan atau menikah secara tidak sah. Hukuman itu adalah hukuman kurung selama dua puluh tahun! Akan tetapi, karena mereka itu sakti, setiap saat kalau mereka kehendaki, mereka dapat saling bertemu tanpa ada seorangpun yang mengetahuinya atau mampu mencegah mereka. Dua orang sakti yang menjadi suami isteri itu bernama Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu, keduanya merupakan keturunan dari datuk-datuk sesat yang pernah menggemparkan dunia persilatan puluhan tahun yang lalu.

   Di bawah bimbingan Suhu dan Subonya yang sakti. Pek Han Siong memperoleh kepandaian yang hebat bukan main. Ilmu-ilmu silat tinggi telah dikuasainya, dan diapun menerima pedang pusaka Kwan-im Po-kiam dari kedua orang gurunya. Bukan hanya itu, akan tetapi kedua orang gurunya itu menjodohkan murid tunggal mereka itu dengan puteri mereka yang lenyap diculik orang ketika masih kecil! Hubungan kedua orang sakti ini menghasilkan seorang anak perempuan yang diberi nama Siangkoan Bi Lian! Maka,murid yang kini telah menjadi seorang pemuda yang tangguh itu diberi tugas untuk mencari puteri mereka sampai dapat, dan mengajaknya ke kuil Siauw-lim-si untuk menghadap mereka. Puteri mereka itu, Siangkoan Bi Lian, sejak masih bayi mereka titipkan kepada sebuah keluarga Cu di dusun yang berada di kaki gunung, tak jauh dari kuil itu.

   Akan tetapi dua orang suami isteri sakti itu tidak memperkenalkan diri sebagai ayah ibu kepada Bi Lian, melainkan kadang-kadang mereka datang berkunjung sebagai guru karena mereka mulai mendidik Bi Lian dengan dasar-dasar ilmu silat. Pada suatu hari, ketika Bi Lian berusia enam tahun, di dusun itu terjadi keributan. Pertempuran hebat antara datuk-datuk sesat membuat dusun menjadi geger, banyak orang dusun tewas, termasuk keluarga Cu yang dititipi Bi Lian. Akan tetapi Bi Lian lenyap dan Siangkoan Ci Kang bersama Toan Hui Cu tidak berhasil menemukan anak mereka yang lenyap tanpa bekas itu. Demikianlah, setelah Han Siong tamat belajar dari mereka, Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu bersepakat untuk menarik pemuda murid mereka ini menjadi calon mantu mereka,

   Dan memberi tugas kepada Han Siong untuk mencari puteri mereka yang hilang itu sampai dapat dan mengajaknya menghadap mereka di kuil Siauw-lim-si. Pada waktu itu, Han Siong berusia dua puluh tahun dan sudah belasan tahun Bi Lian lenyap dari dusun. Oleh karena itu, tentu saja bukan merupakan tugas yang ringan bagi Han Siong untuk dapat menemukan gadis itu karena tidak ada sedikitpun petunjuk kemana perginya gadis itu dan siapa pula yang membawanya pergi. Dua tahun lamanya Han Siong merantau, mengalami banyak sekali peristiwa yang hebat dan menarik dan dalam perantauannya inilah secara kebetulan sekali dia bertemu dengan Bi Lian yang masih mempergunakan nama keluarga Cu! Semua pengalaman Han Siong semenjak lahir sampai pertemuannya dengan Cu Bi Lian diceritakan dalam kisah Pendekar Mata Keranjang bagian pertama.

   Kini, tiba-tiba saja dia muncul kembali, bersama seorang gadis. Gadis itu berusia kurang lebih dua puluh tahun, raut wajahnya manis sekali. Tubuh gadis itu ramping, kulitnya putih mulus, rambutnya yang hitam panjang digelung keatas, dihias tusuk konde perak. Sepasang matanya tajam bersinar-sinar, hidungnya mancung dan kecil, mulutnya berbentuk menggairahkan dengan bibir yang selalu merah membasah, mukanya berbentuk bulat telur dan terdapat sebuah tahi lalat di dagunya. Siapakah gadis manis ini? Ia bukan lain adalah Cu Bi Lian, atau yang sebetulnya she Siangkoan! Ia berhasil ditemukan Han Siong dan diajak berkunjung ke kuil itu, berkunjung kepada suami isteri sakti yang dikenalnya sebagai gurunya di waktu ia masih kecil, sama sekali ia tidak pernah mimpi bahwa kedua orang gurunya itu sebetulnya adalah ayah dan ibu kandungnya sendiri!

   Apa yang telah terjadi kepada diri gadis ini ketika ia berusia enam tahun di dusun itu? Ternyata ia telah terjatuh ke dalam tangan dua orang datuk sesat yang pada waktu itu amat ditakuti di dunia kang-ouw, yaitu yang berjuluk Pak-kwi-ong (Raja Setan Utara) dan Tung-hek-kwi (Setan Hitam Timur), dua di antara Empat Setan yang namanya menggetarkan kolong langit karena kelihaian mereka dan juga tindakan mereka yang aneh-aneh, kadang-kadang tanpa mengenal perikemanusiaan sama sekali. Dua orangdatuk sesat inilah yang mengamuk di dusun itu, membunuh banyak tokoh kang-ouw dan banyak orang dusun termasuk keluarga Cu yang oleh Bi Lian dianggap sebagai keluarganya yang sesungguhnya. Bi Lian menarik perhatian dua orang datuk sesat itu dan iapun diambil sebagai murid.

   Dua orang datuk itu mewariskan seluruh ilmu-ilmunya yang hebat kepada gadis ini dan Bi Lian menjadi seorang gadis dewasa yang selain tinggi ilmu silatnya, juga berwatak aneh, berani, galak, dan tidak mengenal ampun kepada musuh-musuhnya. Karena itu, di dunia kang-ouw namanya segera menonjol dan ia dijuluki Thiat-sim Sian-li (Dewi Berhati Besi) saking keras wataknya. Di dalam kisah Mata Keranjang bagian pertama diceritakan tentang pengalaman gadis yang lihai ini sampai akhirnya kehilangan kedua gurunya yang tewas saling bunuh dalam perkelahian karena berbeda pendapat mengenai diri murid mereka yang tersayang itu. Yang seorang ingin menjodohkan Bi Lian dengan seorang tokoh pemberontak, akan tetapi Bi Lian tidak mau dan guru ke dua membelanya. Akhirnya keduanya tewas setelah mereka saling serang dengan hebatnya.

   Bi Lian merasa sakit hati terhadap para pemberontak itu dan dalam usaha menentang para pemberontak inilah ia bertemu dengan Pek Han Siong, bekerja sama menghancurkan pemberontak bersama pendekar lainnya, dan berkenalan. Pek Han Siong segera dapat menduga bahwa inilah puteri dari kedua orang gurunya, gadis yang telah dijodohkan dengan dia! Dia lalu memperkenalkan diri sebagai murid dari Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu yang oleh Bi Lian dianggap sebagai dua orang gurunya ketika ia masih kecil sehingga merekapun seakan-akan masih terhitung suheng dan Sumoi! Dan setelah pemberontak itu dapat ditindas, Han Siong berhasil mengajak Bi Lian untuk berkunjung ke kuil Siauw-lim-si diluar kota Yu-shu itu untuk menghadap Suhu dan Subonya itu. Demikianlah, pada malam hari itu, dua bayangan itu berkelebat dengan amat cepatnya dan kini mereka berdiri di luar pagar tembok kuil Siauw-lim-si.

   "Suheng, hari sudah malam begini, apakah baik untuk mengunjungi Suhu dan Subo?"

   Tanya Bi Lian ketika mereka berhenti di luar pagar tembok kuil Siauw-lim-si.

   "Kita lihat saja nanti, kalau Suhu dan Subo bersedia menerima kita malam ini juga, kita langsung menghadap, kalau andaikata mereka tidur, kita akan menanti di dalam kuil untuk menghadap besok pagi."

   "Akan tetapi, mengapa kita harus masuk lewat pagar tembok? Bukankah lebih baik masuk melalui pintu gerbang dan mengetuknya kalau sudah ditutup, suheng?"

   "Ah, aku belum bercerita padamu, Sumoi. Suhu dan Subo adalah orang-orang... hukuman yang berada dalam kurungan di kuil ini."

   "Ahhh...?"

   Gadis itu terrcengang.

   "Orang hukuman? Bagaimana...? Apa kesalahan mereka? Dan bagaimana pula mereka dahulu dapat mengunjungi aku dan melatih ilmu silat?"

   "Sumoi, sebaiknya kalau hal itu engkau dengar sendiri dari Suhu dan Subo karena aku... aku tidak berhak untuk menceritakannya. Marilah, aku sudah dua tahun meninggalkan mereka dan aku sudah rindu sekali untuk bertemu dengan mereka."

   Berkata demikian, Han Siong lalu menggerakkan kedua kakinya, tubuhnya meloncat ke atas pagar tembok, diikuti oleh Bi Lian yang gerakannya lebih lincah lagi. Memang ia seorang gadis yang lincah sekali, sebaliknya Han Siong pendiam dan tenang, padahal kalau diadakan perbandingan dalam hal ginkang (ilmu meringankan tubuh) tentu saja Han Siong yang menerima gemblengan dari Subonya seorang ahli ginkang yang hebat, jauh lebih pandai daripada Bi Lian. Gerakan mereka sedemikian cepatnya sehingga walaupun pagar tembok itu terjaga oleh para hwesio, tidak ada seorangpun di antara para penjaga itu melihat berkelebatnya dua bayangan yang memasuki kuil lewat pagar tembok belakang.

   Han Siong yang bertahun-tahun tinggal di kuil itu tentu saja sudah hafal sekali akan keadaan di dalam kuil. Dia menjadi penunjuk jalan berada di depan, dan Bi Lian mengikuti di belakangnya. Dengan mudah saja Han Siong mengambil jalan yang tersembunyi sehingga tidak pernah kepergok oleh seorangpun hwesio dan mereka kini tiba di luar sebuah kamar yang tertutup jendela dan daun pintunya. Inilah kamar kurungan di mana biasanya Subonya berada, tempat hukuman bagi Subonya! Dengan hati-hati Han Siong mengetuk daun pintu kamar itu, kemudian daun jendela, namun tidak ada jawaban dari dalam. Ketika dia mengintai, kamar itu gelap dan sunyi. Bahkan ketika dia menempelkan telinganya pada papan daun jendela, dia tidak mendengar bunyi pernapasan manusia di dalamnya. Kamar itu kosong!

   "Bagaimana, suheng?"

   Tanya Bi Lian yang mengikuti gerak-gerik pemuda itu.

   "Ini kamar Subo, akan tetapi kamar ini sekarang kosong. Jangan-jangan Subo sedang keluar. Mari kita ke kamar tahanan Suhu saja."

   Mereka lalu pegi ke bagian lain dari kuil itu, jauh ke ujung kiri dan tak lama kemudian Han Siong sudah berada di luar sebelah kamar lain yang juga tertutup daub jendela dan pintunya. Akan tetapi ada sedikit cahaya yang menerobos keluar dari celah-celah daun jendela, tanda bahwa di dalam kamar itu ada lilin bernyala. Gembira rasa hati Han Siong karena hal ini menandakan bahwa Suhunya berada di dalam kamar itu. Diketuknya daun pintu itu perlahan. Tidak ada jawaban dari dalam. Diketuknya lagi dan diapun berseru lirih,

   "Suhu...! Suhu, ini teecu yang datang mohon menghadap Suhu!"

   Kini. terdengar suara gerakan di dalam kamar itu, kemudian terdengar suara teguran dari dalam yang amat mengejutkan hati Han Siong.

   "Omitohud! Siapa berani mengganggu pinceng di tengah malam buta begini?"

   Tentu saja Han Siong terkejut karena dia mengenal suara yang berat dari Ceng Hok Hwesio, ketua Siauw-lim-si yang amat galak itu. Ketua inilah yang telah memberi hukuman kepada Suhu dan Subonya! Biarpun Ceng Hok Hwesio selalu bersikap baik kepadanya, bahkan hwesio tua ini pula yang mendorongnya untuk mempelajari kesusasteraan melalui kitab-kitab agama yang kuno, namun Han Siong selalu merasa hormat dan segan kepada hwesio tua yang amat keras menjaga peraturan ini. Dia merasa serba salah. Dia sudah terlanjur mengeluarkan suara dan hwesio tua itu sudah tahu bahwa di luar ada orang, maka tidak mungkin lagi dia mundur. Apakah hwesio tua itu sedang mengadakan kunjungan kepada Suhunya? Di malam buta begini? Sungguh aneh. Akan tetapi dia harus cepat menjawab karena hwesio tua itu sedang menanti dengan tidak sabar.

   "Lo-Suhu, maafkan saya. Saya adalah Pek Han Siong...,"

   Jawabnya. Hening sejenak dalam kamar itu. Kemudian terdengar suara yang berat itu,

   "Pek Han Siong...? Ah, engkau telah kembali? Apakah engkau mencari Suhumu, Siangkoan Ci Kang?"

   Girang rasa hati Han Siong mendengar suara yang berat itu tidak mengandung kemarahan.

   "Benar sekali, Lo-Suhu! Bolehkah saya menghadap Suhu?"

   Kembali hening sejenak.

   "Baiklah, akan tetapi pinceng mendengar gerakan dua orang. Siapa kawanmu?"

   Han Siong sating pandang dengan Bi Lian. Kakek yang berada di dalam itu ternyata memiliki pendengaran yang amat tajam,

   "Saya datang bersama seorang murid Suhu dan Subo yang lain, Lo-Suhu. Ia bernama... Cu Bi Lian, juga ingin menghadap Suhu dan Subo."

   "Seorang wanita?"

   Suara itu seperti terkejut, kemudian disambungnya cepat-cepat.

   "Siancay... biarlah, kalian masuklah, pintu kamar ini tidak terkunci."

   Han Siong memberi isyarat kepada Bi Lian dan keduanya membuka daun pintu lalu masuk ke dalam kamar itu. Bi Lian memandang penuh perhatian sedangkan Han Siong menutupkan kembali daun pintu dari dalam. Seorang hwesio tua sekali duduk bersila di tengah ruangan kamar itu, kamar yang kosong dan di sudut kamar terdapat sebuah meja di mana berdiri sebatang lilin yang bernyala. Beberapa batang lilin lain yang tidak bernyala menggeletak di atas meja. Han Siong mengajak Bi Lian menjatuhkan diri berlutut di depan hwesio yang duduk bersila di atas lantai itu, lantai dingin tanpa tilam! Dan Han Siong merasa teharu. Baru dua tahun terlewat, akan tetapi ketua kuil itu kelihatan sudah sangat tua sekarang, tua keripuatan dan mukanya yang kehitaman itu, yang biasanya nampak segar, kini nampak layu dan lesu. Sinar matanya bahkan diliputi kedukaan.

   "Lo-Suhu, saya dan Sumoi mohon maaf kalau mengganggu Lo-Suhu. Akan tetapi, dimanakah adanya Suhu? Juga Subo tadi tidak ada di dalam kamar tahanannya. Dimanakah mereka?"

   Sejenak sepasang mata yang nampak sayu, kini kehilangan kegalakannya dan kekerasannya yang dahulu, yang ada hanya tinggal sinar kejujurannya, mengamati Han Siong dan Bi Lian.

   "Han Siong, coba nyalakan dua batang lilin lagi, biar agak terang. Mata pinceng sudah tidak begitu awas lagi..."

   Katanya lirih. Hati pemuda itu terharu dan diapun cepat menyalakan dua batang lilin di atas meja. Kini kakek itu mengamati mereka dan diam-diam merasa terkejut sekali melihat wajah gadis yang datang bcrsama Han Siong. Betapa miripnya wajah itu dengan wajah Toan Hui Cu! Teringat akan Toan Hui Cu, hatinya seperti diremas dan diapun memejamkan kedua matanya, merangkapkan kedua tangan di depan dada dan berkata lirih,

   "Omituhud... semoga diampuni semua dosa pinceng."

   "Lo-Suhu, sudilah kiranya Lo-Suhu menceritakan di mana adanya Suhu dan Subo sekarang."

   Kata pula Han Siong, merasa tidak enak melihat kedukaan yang membayang di wajah kakek itu. Kakek itu membuka matanya dan menarik napas panjang.

   "Kalian duduklah yang enak. Kebetulan sekali kalian datang selagi pinceng bingung mencari siapa yang kiranya patut untuk menerima pencurahan penyesalan hati pincehg yang selama ini pinceng sembunyikan. Kalian berdualah yang paling tepat menerima dan mendengarkannya. Benar, terutama engkau, Han Siong. Dengarkan baik-baik pengakuan pinceng, pengakuan seorang yang berdosa besar!"

   "Lo-Suhu...!"

   Han Siong membantah dengan terkejut sekali, akan tetapi kakek itu mengangkat tangan kirinya ke atas.

   "Diamlah, Han Siong, dan kau dengarkan saja pengakuan pinceng ini."

   Han Siong yang duduk bersila menutup mulut dan menundukkan mukanya, sedangkan Bi Lian mengamati kakek itu dengan hati tertarik. Tentu ia akan mendengarkan cerita yang amat menarik, pikirnya. Kakek ini sungguh aneh, akan tetapi melihat mukanya yang tua itu, sepasang mata yang redup dan sayu, akan tetapi mengandung sinar kejujuuran dan juga kekerasan itu membuat ia merasa suka kepada kakek tua renta itu.

   "Kurang lebih dua puluh satu tahun yang lalu, sepasang orang muda datang ke kuil ini menghadap pinceng. Usia mereka seperti kalian berdua, masih muda, yang pria tampan dan yang wanita cantik. Mereka itu adalah Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu. Mereka membuat pengakuan yang mengejutkan hati pinceng. Siangkoan Ci Kang mengaku sebagai putera tunggal mendiang Siangkoan Lojin yang berjuluk Si Iblis Buta, seorang datuk sesat. Adapun Toah Hui Cu bahkan mengaku sebagai puteri mendiang Raja dan Ratu Iblis, sepasang raja datuk sesat yang menggemparkan dunia kang-ouw itu. Mereka sengaja menghadap pinceng untuk minta diterima menjadi hwesio dan nikouw, karena mereka berdua merasa telah berbuat dosa dan untuk mencuci darah keturutan mereka yang amat jahat. Pinceng menerima karena melihat betapa mereka itu mempunyai niat yang tulus ikhlas."

   Sampai di sini kakek itu berdiam sejenak. Han Siong merasa kagum sekali kepada Suhu dan Subonya. Biarpun keduanya keturunan datuk-datuk sesat yang seperti iblis, namun keduanya agaknya menyadari kekeliruan orang tua mereka bahkan hendak menebus dosa dengan masuk menjadi pendeta! Diam-diam Bi Lian yang hanya samar-samar saja ingat kepada kedua orang gurunya itu, juga merasa kagum dan bersimpati. Ia sendiripun sejak kecil menjadi murid dua orang datuk sesat, namun ia sama sekali tidak sudi mengikuti jejak mereka sebagai orang jahat. Sama sekali tidak! Ia benci kepada perbuatan jahat dan menentang mereka yang suka bertindak sewenang-wenang dan jahat.

   "Ketika itu, pinceng yang sudah puluhan tahun tidak pernah membayangkan wanita, tiba-tiba saja menjadi lemah dan seperti kemasukan iblis dalam diri pinceng. Pinceng... tergila-gila kepada Toan Hui Cu!"

   Terkejut sekali hati Han Siong mendengar ini. Kalau saja kakek itu tidak membuat pengakuan sendiri, pasti dia tidak akan percaya! Bi Lian menatap wajah kakek itu, sepasang matanya memandang tajam penuh selidik. Ceng Hok Hwesio menghela napas panjang.

   "Batin pinceng masih lemah, mudah dimasuki kotoran. Pinceng tertarik oleh kecantikan Toan Hui Cu dan pinceng menyatakan perasaan ini. Ia menolak pinceng! Kemudian... kiranya ketika masuk menjadi nikouw, di luar pengetahuannya, Toan Hui Cu telah mengandung akibat hubungan cintanya dengan Siangkoan Ci Kang. Hubungan di luar nikah! Kesempatan ini pinceng pergunakan untuk membalas dendam kepada Toan Hui Cu karena telah mengecewakan pinceng dan menolak perasaan hati pinceng yang sesungguhnya hanyalah gejolak nafsu binatang belaka. Dan membalas dendam kepada Siangkoan Ci Kang karena iri hati dan cemburu yang juga merupakan nafsu pementingan diri sendiri yang merasa dikecewakan. Maka, pinceng lalu menjatuhkan hukuman kepada mereka, hukuman kurung selama dua puluh tahun dalam kamar kurungan terpisah!"

   "Aih, betapa kejinya!"

   Tiba-tiba Bi Liar berseru. marah, matanya berapi-api memandang kepada hwesio tua itu.

   "Lo-Suhu sebagai seorang hwesio tua sungguh tidak pantas sekali melakukan perbuatan, yang demikian kejamnya terhadap mereka! Mula-mula tergila-gila kepada seorang wanita muda, kemudian karena tidak mendapat tanggapan lalu membalas dendam dan menghukum meteka sampai dua puluh tahun! Tidak malukah Lo-Suhu kepada diri sendiri?"

   "Sumoi...!!"

   Han Siong berseru kaget sekali mendengar ucapan yang nadanya amat mencela dan merendahkan ketua kuil itu! Akan tetapi kakek itu tersenyum, lalu merangkap kedua tangan di depan dada, memejamkan kedua matanya dan berkata,

   "Omitohud..., terima kasih, nona. Makian dan celaan sungguh terasa sebagai obat pelunak rasa perih karena penyesalan pinceng. Pinceng memang layak dimaki, bahkan dipukul atau dibunuh kalau perlu. Pinceng akan menerimanya dengan senang hati sekali..."

   Mendengar ini, Bi Lian menutup mulutnya dan memandang heran, juga bingung. Ia menoleh kepada Han Siong yang mengedipkan mata dan memberi isyarat kepadanya agar suka menahan diri. Karena Han Siong ingin sekali tahu ke mana perginya Suhu dan Subonya, maka diapun mendesak dengan hati-hati kepada kakek yang masih memejamkan kedua matanya itu.

   "Lalu bagaimana kelanjutannya, Lo-Suhu?"

   Kakek itu membuka matanya, masih tersenyum ketika memandang kepada Bi Lian, dan pandang matanya juga lembut, sama sekali tidak membayangkan kemarahan biarpun tadi dimaki dan ditegur dengan keras oleh gadis itu.

   "Ketika engkau pergi meninggalkan kuil, hukuman mereka itu tinggal dua tiga tahun lagi, Han Siong. Akan tetapi pada suatu hari pinceng menyadari dan menginsafi dosa yang pinceng lakukan. Sayang kesadaran itu timbul setelah pinceng begini tua. Pinceng lalu memanggil mereka, membebaskan mereka dari sisa hukuman itu, dan di depan mereka pinceng mengakui semua dosa pinceng, dan menyatakan bahwa pinceng menjatuhi hukuman pada diri pinceng sendiri dengan hukuman kurungan di kamar ini sampai mati"

   "Ahhh...!"

   Han Siong berseru dan tercengang, akan tetapi Bi Lian bersungut-sungut.

   "Hemm, masih terlalu ringan! Mereka yang tidak berdosa harus menjalani hukuman selama hampir dua puluh tahun! Kalau Lo-Suhu, melihat usia Lo-Suhu yang sudah tua sekali, tentu hanya tinggal beberapa tahun saja..."

   "Sumoi...!"

   Kembali Hong Siong menegur gadis itu. Kembali kakek itu tersenyum dan mengangkat tangannya.

   "Biarkan saja, Han Siong! Pinceng malah girang karena gadis ini mewakili mereka untuk mengutuk pinceng. Sungguh pinceng selama ini merasa menyesal sekali, apalagi ketika dikeluarkan dari sini, mereka berdua itu sama sekali tidak mengutuk pinceng. Biarlah nona ini mewakili mereka untuk mengutuk pinceng...! Mereka memang tidak berdosa. Setelah pinceng mendengar akan pengalaman mereka. Mereka memang saling mencinta, sama-sama menderita dengan nasib yang hampir sama. Apakah dosa hubungan antara dua orang yang saling mencinta? Pinceng yang didorong nafsu iblis, nafsu binatang. Bahkan bukan mereka saja yang menderita, anak mereka yang tidak bersalah apapun, ikut pula menderita akibat perbuatan pinceng yang kotor..."

   "Anak mereka...! Ah, Suhu dan Subo mempunyai anak dan bagaimana dengan anak mereka itu?"

   Kini Bi Lian bertanya sambil menatap tajam wajah Ceng Hok Hwesio yang masih tersenyum. Mendengar ini, berdebar rasa hati Han Siong. Bi Lian bertanya tentang anak itu, tentang dirinya sendiri! Dan hwesio tua itupun sama sekali tidak pernah mimpi bahwa yang bertanya itu adalah anak itu sendiri, anak dari dua orang hukuman itu! Han Siong merasa serba salah. Tentu saja dia tidak mungkin mencegah kakek itu bercerita atau melarang Bi Lian bertanya. Pertanyaan sudah diajukan dan dengan jantung berdebar penuh ketegangan Han Siong hanya dapat memandang dan mendengarkan, menanti jawaban Ceng Hok Hwesio.

   "Anak mereka itu? Ah, anak yang malang itu ikut pula menjadi korban dosa yang pinceng lakukan terhadap kedua orang tuanya. Anak itu perempuan dan karena mereka tidak ingin membiarkan anak mereka hidup dalam kurungan pula, mereka lalu menitipkan anak itu ke dusun di kaki gunung. Akan tetapi... Omitohud... semoga dosa pinceng dapat diampuni... anak itu kabarnya dilarikan penjahat setelah keluarga yang mereka titipi itu dibunuh penjahat..."

   Bi Lian meloncat bangun berdiri dan wajahnya pucat, matanya terbelalak ketika ia membentak Ceng Hok Hwesio dengan pertanyaan yang mengejutkan hati kakek tua itu.

   "Katakan! Siapa nama anak perempuan mereka itu? Hayo katakan atau... demi Tuhan, kubunuh kau!"

   "Sumoi...!"

   Han Siong juga bangkit berdiri, siap mencegah kalau sampai gadis itu benar-benar hendak membunuh ketua Siauw-lim-si itu. Akan tetapi, Ceng Hok Hwesio masih saja bersikap tenang dan tersenyum, seolah-olah dia memang mengharapkan ada orang membunuhnya untuk menghukum dosanya yang membuat dia terbenam dalam penderitaan karena penyesalan.

   "Sungguh pinceng tidak tahu siapa namanya. Kalau engkau hendak membunuh pinceng, silakan, nona, pinceng tidak akan menghindarkan diri..., silakan...!"

   "Sumoi...!"

   Han Siong kembali menegur. Bi Lian yang masih pucat itu kini menoleh dan berhadapan dengan Han Siong.

   "Suheng engkau... engkau tentu tahu...anak... anak itu... ia...?"

   Sinar matanya penuh pertanyaan dan bibirnya gemetar, tidak mampu lagi mengeluarkan suara. Tanpa suarapun, Han Siong maklum apa yang menjadi dugaan hati gadis itu. Diapun mengangguk.

   "Benar, Sumoi. EngKau lah anak itu... engkau adalah puteri Suhu, dan Subo yang dititipkan kepada keluarga Cu itu..."

   Bi Lian terbelalak, mengeluarkan jeritan melengking tinggi dan tubuhnya sudah bergerak, didahului tangannya yang menyambar ke depan, menghantam kearah ubun-ubun kepala Ceng Hok Hwesio yang masih duduk bersila dan tersenyum, memandang tanpa berkedip. Akan tetapi, pukulan itu bertemu dengan tangan Han Siong yang lunak, yang sudah menangkis pukulan itu mendorong tubuh Bi Lian mundur.

   "Sumoi, tenanglah. Kalau engkau membunuhnya, berarti engkau mengoper dosanya...! Jangan, Sumoi, demi Tuhan, jangan lakukan itu...!"

   Bi Lian mencoba untuk meronta, akan tetapi Han Siong memegangi kedua lengannya.

   "Lepaskan! Suheng, dia telah mencelakakan kedua orang tuaku, menyiksa ayah dan ibuku! Aku harus membunuhnya!"

   "Omitohud... jadi nona ini adalah puteri mereka? Ya Tuhan, Han Siong lepaskan dia, biar ia membunuh pinceng. Omitohud... akhirnya... akhirnya hukuman yang adil datang. Lepaskan biar ia membunuhnya. Anak baik, kau bunuhlah pinceng... kau bunuhlah pinceng..."

   Hwesio itu kini menangis terisak-isak dan berbisik-bisik minta dibunuh. Han Siong tetap mencegah Bi Lian,

   "Ingat, Sumoi, Suhu dan Subo, yaitu ayah dan ibumu, tentu akan marah dan berduka sekali kalau mendengar engkau membunuh Lo-Suhu ini. Mereka saja yang menerima hukuman itu, tidak pernah mencela, tidak pernah mengutuk. Setidaknya engkau harus bertanya dulu kepada mereka. Mari, Sumoi, mari kita temui mereka ayah ibumu..."

   "Ayah? Ibu? Di mana... di mana... mereka...?"

   Gadis itu tergagap-gagap, matanya terbelalak, mukanya pucat sekali.

   "Lo-Suhu, tolong beritahu, di mana adanya Suhu dan Subo kini?"

   Dengan kepala tunduk, masih menangis, Ceng Hok Hwesio berkata,

   "Mereka... mereka... di Kim-ke-kok (Lembah Ayam Emas), di puncak Heng-tuan-san ujung timur... tapi, tapi... biarkan dulu ia membunuhku, Han Siong... aku mohon padamu, biarkan ia membunuh pinceng..."

   Akan tetapi Han Siong tidak memperdulikan kakek itu, menarik tangan Bi Lian dan membawanya keluar dari kamar itu. Masih terdengar keluh kesah dari kakek itu yang minta dibunuh di antara tangisnya, akan tetapi Han Siong terus mengajak Sumoinya keluar. Di luar kamar, mereka bertemu dengan banyak hwesio yang tadi terkejut mendengar jerit Bi Lian. Ketika mereka tiba di depan kamar, mereka mendengar tangis Ceng Hok Hwesio dan tentu saja para hwesio ini menjadi terkejut dan terheran, akan tetapi tidak berani memasuki kamar yang dijadikan tempat hukuman atau pertapaan oleh ketua mereka itu. Ketika para hwesio itu melihat seorang pemuda dan seorang gadis keluar dari kamar itu, tentu saja mereka segera menghadang, dan bersikap penuh curiga. Akan tetapi Han Siong segera memperkenalkan diri.

   "Para Suhu dan suheng apakah lupa kepadaku? Aku adalah Pek Han Siong..."

   "Ah, Han Siong..."

   "Sute..."

   Para hwesio itu kini mengenalnya akan tetapi Han Siong tidak ingin banyak bicara dengah mereka. Dia menggandeng tangan Sumoinya dan berbisik,

   "Mari kita pergi, Sumoi...!"

   Dan diapun mengajak Sumoinya untuk meloncat dan beberapa kali berkelebat saja, mereka telah menghilang di kegelapan malam. Para hwesio hanya dapat memandang dengan mata terbelalak penuh kagum. Mereka melanjutkan perjalanan didalam kegelapan malam, hanya diterangi sejuta bintang di langit. Karena perjalanan mendaki Pegunungan Heng-tuan-san merupakan perjalanan yang sukar dan berbahaya, maka mereka hanya berjalan perlahan-lahan. Tiba-tiba Bi Lian Berhenti.

   "Marilah, Sumoi..."

   Akan tetapi Bi Lian tidak bergerak dan mencoba untuk menatap tajam wajah pemuda itu melalui kegelapan.

   "Suheng..."

   Dari suaranya dapat di ketahui bahwa gadis itu menahan tangisnya. Memang sejak keluar dari kuil tadi, hanya dengan kekerasan hatinya saja Bi Lian tidak tersedu-sedu atau terisak-isak walaupun kedua matanya sudah basah dan kadang-kadang ada air mata menetes keatas pipinya. Pikirannya menjadi kacau tidak karuan.

   Ia membayangkan mereka yang pernah dianggapnya sebagai ayah dan ibu kandungnya, yaitu suami isteri Cu Pak Sun yang terbunuh oleh mendiang kedua orang gurunya yaitu Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi. Lalu ia membayangkan dan mencoba untuk mengingat-ingat wajah kedua orang yang menjadi gurunya, yang datang di waktu malam dan memberi bimbingan ilmu silat kepadanya. Seorang pria yang gagah perkasa, akan tetapi buntung lengan kirinya sebatas siku dan seorang wanita yang cantik jeilta akan tetapi selalu wajahnya pucat. Mereka begitu baik kepadanya, bahkan wanita yang menjadi Subonya itu setiap kali datang dan pergi selalu mencium kedua pipinya dan pria berlengan buntung sebelah yang menjadi Suhunya itu selalu mengelus-elus kepalanya penuh kasih sayang! Jadi mereka itu adalah ayah dan ibu kandungnya!

   "Ya? Kenapa, Sumoi?"

   Tanya Han Siong, hatinya tidak enak karena tadi dia berkeras melarang Sumoinya membunuh Ceng Hok Hwesio.

   "Suheng, katakan terus terang, apakah selama ini, sejak pertemuan pertama antara kita, engkau sudah tahu siapa diriku?" Han Siong mengangguk, akan tetapi lalu teringat bahwa cuaca gelap dan belum tentu anggukannya kelihatan oleh gadis itu.

   "Aku tahu, Sumoi. Suhu dan Subo sudah memberi tahu kepadaku siap namamu, yaitu Bi Lian dan mempergunakan nama keluarga Cu. Ketahuilah, Sumoi. Aku memang diutus oleh Suhu dan Subo untuk mencarimu. Selama dua tahun aku mengembara, tidak tahu harus mencari ke mana sampai pada suatu hari itu kita kebetulan saling berjumpa dan begitu melihat, aku... aku sudah merasa tegang karena wajahmu mirip sekali dengan wajah Subo. Ketika mendengar namamu, maka aku menjadi yakin."

   "Tapi, kenapa kau diam saja, suheng? Kenapa kau tidak memberitahu kepadaku bahwa sebenarnya aku adalah anak kandung mereka?"

   "Aku khawatir engkau tidak percaya, Sumoi. Maksudku, membawamu menghadap mereka dan biarlah engkau mendengar dari mereka sendiri. Tidak kusangka, kita bertemu dengan Lo-Suhu Ceng Hok Hwesio sehingga rahasia itu kau ketahui...

   "

   Mereka melanjutkan perjalanan dan karena Kim-ke-kok (Lembah Ayam Emas) itu berada di puncak paling ujung, dan perjalanan dilakukan lambat, baru setelah terang tanah mereka dapat melanjutkan perjalanan dengan cepat, maka pada keesokan harinya, setelah matahari naik tinggi, barulah mereka tiba di lembah itu. Tidak sukar mencari suami isteri itu setelah mereka berdua tiba di lembah, karena baru saja mereka memasuki lembah yang subur itu, mereka melihat dua titik hitam dari atas depan yang makin lama menjadi makin besar dan akhirnya nampak dua sosok tubuh manusia berlari cepat menyongsong meraka. Tanpa disadari, tangan Bi Lian mencari dan memegang lengan kanan Han Siong dan pemuda ini merasa betapa jari tangan gadis itu dingin gemetar. Seperti yang diduganya, dua sosok tubuh itu setelah tiba di depannya bukan lain adalah Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu! Mereka menyongsong sambil tersenyum gembira dan dari jauh Siangkoan Ci Kang sudah berseru,

   "Heiiii..., bukankah itu engkau, Han Siong...?"

   Ketika mereka sudah berhadapan, Toan Hui Cu tersenyum.

   "Kami sudah menduga bahwa yang datang tentu engkau...

   
Si Kumbang Merah Penghisap Kembang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"

   Tiba-tiba ia berhenti dan matanya
(Lanjut ke Jilid 06)
Ang Hong Cu (Seri ke 10 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 06
terbelalak mengamati wajah Bi Lian. Juga Siangkoan Ci Kang tiba-tiba memandang dengan mata terbelalak dan wajahnya berubah pucat, suaranya gemetar ketika dia berkata,

   "Han Siong, ini... ia ini..."

   Toan Hui Cu seperti besi terbetot besi sembrani, melangkah maju menghampiri,

   "...kau... kau..."

   Ia tidak mampu melanjutkan karena takut kalau-kalau ia salah kira. Akan tetapi suaminya berteriak,

   "Pasti ia! Wajahnya itu... ah, serupa benar denganmu, Hui Cu. Ia Bi Lian...!!"

   "Kau... kau Bi Lian...?"

   Dengan suaraa bercampur isak Toan Hui Cu berkata, kedua lengannya dikembangkan. Sejak tadi Bi Lian sudah memandang kedua orang itu dengan air mata bercucuran dan kini ia tidak dapat menahan dirinya lagi, ia lari menubruk Toan Hui Cu dan dirangkulnya wanita itu.

   "Ibuuuuu..., engkau ibuku...!"

   "Bi Lian anakku... ah, Bi Lian...!"

   Kedua ibu dan anak itu berangkulan dan Hui Cu mendekap puterinya sambil tersedu-sedu.

   "Bi Lian... ya Tuhan, syukurlah engkau selamat dan dapat bertemu kembali dengan kami, anakku..." Bi Lian melepaskan rangkulan ibunya, lalu lari menubruk kaki ayahnya.

   "Ayah...!"

   "Anakku...!"

   Dengan tangan kanannya Siangkoan Ci Kang membelai kepala gadis itu, pria yang sakti dan gagah perkasa ini tidak mampu menahan basahnya kedua matanya. Hui Cu merangkul lagi puterinya dan mereka bertiga saling berangkulan dalam suasana yang penuh keharuan dan kebahagiaan. Kemudian Siangkoan Ci Kang menghampiri Han Siong yang sejak tadi juga sudah menjatuhkan diri berlutut di depan Suhu dan Subonya dan hanya memandang pertemuan itu dengan mulut tersenyum menahan keharuan hatinya yang merasa ikut berbahagia. Siangkoan Ci Kang yang buntung lengan kirinya itu menyentuh kepala muridnya dengan penuh perasaan syukur dan berterima kasih.

   "Syukur bahwa engkau berhasil menemukan anak kami, Han Siong."

   Toan Hui Cu kini bangkit berdiri sambil merangkul pinggang puterinya yang ramping.

   "Kami amat berterima kasih kepadamu, Han Siong. Tidak percuma kami mendidik dengan susah payah padamu selama ini, ternyata engkau berhasil membawa pulang Bi Lian."

   "Pertemuan antara teecu dan Sumoi hanya kebetulan saja, Suhu dan Subo. Kami berdua sama-sama menentang gerakan yang dipimpin oleh Lam-hai Giam-lo."

   "Ahh..! Jadi iblis itu malah mengusahakan pemberontakan?"

   Suami isteri itu bertanya. Tentu saja mereka berdua mengenal Lam-hai Giam-lo, pemimpin pemberontak itu karena Lam-hai Giam-lo pernah melarikan diri dari para musuhnya yang amat lihai, menyamar sebagai hwesio dan bersembunyi di dalam kuil Siauw-lim-si pimpinan Ceng Hok Hwesio di mana mereka menjadi dua orang hukuman. Lam-hai Giam-lo menyamar sebagai seorang tukang sapu yang gagu dan berkat suami isteri yang sakti ini pula iblis itu dapat diusir dari kuil.

   "Ibu..., dan ayah... kenapa ibu dan ayah begitu...nakal terhadap diriku? Ayah dan ibu memberikan aku kepada keluarga Cu! Apakah ayah dan ibu malu mengakui diriku sebagai anak?"

   Dengan merengut manja gadis itu bertanya sambil merangkul ibunya. Suami isteri itu saling pandang lalu tersenyum lebar .

   "Haiiii, Han Siong! Bagaimana Bi Lian begitu berjumpa dengan kami segera tahu bahwa ia adalah puteri kami? Apakah engkau sudah menceritakan kepadanya?"

   Ibu gadis itu berbalik mengajukan pertanyaan ini kepada Han Siong sebelum mampu menjawab pertanyaan puterinya. Siangkoan Ci Kang tertawa,

   "Ha-ha-ha, hujan pertanyaan yang menuntut jawaban! Marilah kita pulang dan kita bicara sejelasnya di dalam pondok. Kita masing-masing akan diharuskan menceritakan segalanya secara panjang lebar agar tidak ada lagi rasa penasaran menyelinap di dalam hati. Sabarlah, anakku, engkau akan mendengar semua jawaban pertanyaanmu."

   Gadis itu digandeng ayah ibunya, berjalan di tengah, dan Han Siong mengikuti mereka dari belakang, diam-diam hatinya merasa tegang karena masih ada sebuah hal yang belum terpecahkan dan yang masih menggoda perasaan hatinya. Dia meraba gagang pedang Kwan-im-kiam yang tergantung di pinggangnya.

   Pedang pusaka itu pemberian kedua orang gurunya, bukan hanya sebagai hadiah guru kepada murid, melainkan terutama sekali sebagai tanda bahwa dia telah dijodohkan kepada Bi Lian. Dahulu, hatinya merasa ragu-ragu mengenai ikatan jodoh ini, akan tetapi dia tidak berani menolak karena dia merasa hutang budi besar sekali kepada kedua orang gurunya. Akan tetapi sekarang, setelah dia berjumpa dengan gadis itu, tidak perlu ditanya untuk kedua kalinya, hatinya sudah seratus prosen menerima dan setuju untuk menjadi calon suami Bi Lian! Begitu bertemu, dia sudah langsung jatuh hati. Yang membuat hatinya merasa tidak enak, tegang dan bimbang adalah karena dia belum dapat menduga bagajmana nanti tanggapan atau pendapat gadis itu kalau mendengar bahwa ia dijodohkan dengan suhengnya!

   Dan selama bergaul dengan Bi Lian, dia sungguh harus mengakui bahwa dia bingung dan tidak dapat menduga apa perasaan gadis itu terhadap dirinya. Gadis itu berwatak demikian terbuka, polos di samping galak dan keras, akan tetapi baginya juga penuh rahasia. Kadang-kadang gadis itu bersikap manis sekali, kadang-kadang seperti acuh. Bagaimana kalau nanti Bi Lian menolak? Bagaimana kalau diam-diam gadis ini telah mempunyai seorang pemuda pilihan, hatinya sendiri? Hal mi membuat dia diam-diam gelisah ketika dia mengjkuti gadis dan ayah ibunya itu dari belakang. Diam-diam dia merasa iri melihat betapa tangan dan lengan Suhu dan Subonya melingkar dipinggang yang ramping itu. Kalau saja tangan dan lengannya yang berada di situ! Gadis itu bicara dengan sikap manja sambil menoleh ke kanan kiri, kepada ayahnya dan ibunya. Kalau saja gadis itu bicara seperti itu kepadanya!

   Mereka memasuki sebuah pondok sederhana yang berdiri di tepi sebuah anak sungai yang airnya jernih dan yang mengalir riang berdendang di antara batu-batu sungai. Pondok atau rumah tunggal di lembah itu, tidak mempunyai tetangga. Rumah orang Jaln berada didusun yang berada di kaki gunung. Setelah berada di dalam pondok, duduk di atas lantai bertilamkan rumput kering yang lunak dan bersih, mereka berempat bercakap-cakap. Mula-mula, untuk menghilangkan rasa penasaran di hati Bi Lian, Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu menceritakan keadaan mereka sebagai keturunan para datuk sesat yang telah yatim piatu saling mencinta dalam keadaan sengsara. Betapa kemudian mereka ingin menebus dosa orang tua mereka, dan masuk ke dalam kuill Siauw-lim-si untuk menjadi hwesio dan nikouw.

   "Namun, agaknya Tuhan juga melarang kami menjadi pendeta. Buktinya, aku mengandung, Bi Lian. Engkau pun terlahir dan kami dihukum oleh Lo-Suhu Ceng Hok Hwesio,"

   Kata Toan Hui Cu.

   "Kenapa ayah dan ibu dihukum? Bagaimana hukumannya? Sambil menahan kemarahannya terhadap ketua kuil itu, Lian bertanya. Siangkoan Ci Kang yang menjawab pertanyaan puterinya.

   "Kami dihukum agar bertobat dan bertapa di dalam kamar tahanan selama masing-masing dua puluh tahun..."

   "Dua puluh tahun?"

   Bi Lian pura-pura terkejut.

   "Mengapa Lo-Suhu itu menghukum seperti itu?"

   "Karena menurut Lo-Suhu, kami dianggap telah melanggar dosa. Dan kami harus menebus dosa dengan bertapa dan menyesali perbuatan kami itu,"

   Jawab ibunya.

   "Dan ayah ibu menerima hukuman itu dengan rela? Ayah ibu menganggap hukuman itu sudah pantas?"

   Bi Lian mendesak. Suami isteri itu saling lirik dan Siangkoan Ci Kiang menjawab,

   "Ya, kami menerimanya dan kami menganggapnya sudah pantas."

   "Tidak! Tidaaaaaakkk! Sama sekali tidak pantas! Hwesio tua itu hanya membalas dendam. Dia tergila-gila kepada ibu, kakek yang tak tahu malu itu! Ibu tidak mau melayaninya dan dia membalas dendam, menghukum ayah dan ibu untuk memuaskan dendamnya!"

   "Sumoi...!"

   Kembali Han Siong berseru menegur. Suami isteri itu saling pandang, lalu memandang Han Siong, dan Siangkoan Ci Kang menarik napas panjang sebelum bertanya,

   "Aha, kiranya kalian sudah tahu pula hal itu? Dari siapa kalian tahu?"

   "Dia sendiri yang mengaku kepada kami!"

   Jawab Bi Lian.

   "Ayah dan ibu, kami tadinya masuk ke dalam kamar tahanan ayah dan ibu, akan tetapi kami hanya bertemu dengan Lo-Suhu itu dan dia membuat pengakuan. Hampir saja aku membunuhnya!"

   "Bi Lian...!"

   Toan Hui Cu merangkul puterinya. Kini Han Siong ikut bicara.

   "Suhu dan Subo, sebelum bertemu dengan Lo-Suhu Ceng Hok Hwesio, Sumoi belum tahu bahwa ia adalah puteri Suhu dan Subo, karena teecu hanya mengajak ia untuk menghadap Suhu dan Subo yang ia ingat sebagai guru-gurunya ketika ia masih kecil. Akan tetapi, ketika teecu mencari Suhu dan Subo di kuil, kami bertemu dengan Ceng Hok Hwesio dan dialah yang mengakui segalanya kepada kami sehingga Sumoi mengetahui bahwa ia adalah puteri Suhu dan Subo dan dia mengakui segala hal yang telah dilakukannya."

   "Aku heran sekali mengapa ayah dan ibu membiarkan saja orang berbuat sekejam itu kepada ayah dan ibu?"

   Bi Lian menyambung dengan suara mengandung penasaran. Ayahnya tersenyum.

   "Engkau tidak tahu, anakku. Engkau tidak tahu betapa ayah dan ibumu menderita tekanan batin mengingat dosa-dosa yang ditumpuk oleh para kakek nenekmu dahulu. Kami menerima hukuman itu yang kami anggap memang tepat bagi kami untuk menebus dosa-dosa turunan. Biarpun kemudian, setelah hampir duapuluh tahun Lo-Suhu itu membuat pengakuan, kami tidak merasa penasaran, karena dalam pelaksanaan hukuman itu kami mendapatkan hikmat dan anugerah yang amat berharga dari Tuhan. Melalui pelaksanaan hukuman itu, kami mendapatkan ilmu-ilmu tinggi, dan kemudian bahkan kami bertemu dengan suhengmu ini yang menjadi murid kami. Tidak, anakku, kami tidak merasa penasaran kepada Ceng Hok Hwesio."

   "Bahkan kami merasa kasihan kepadanya, Bi Lian,"

   Kata ibunya.

   "Dia merasa menyesal dan penyesalan merupakan hukuman yang lebih berat lagi. Kini dia yang sudah begitu tua menderita kesengsaraan batin yang berat, bahkan dia akan menghukum diri sendiri di kamar itu sampai mati."

   Bi Lian mengangguk-angguk.

   "Mungkin benar juga pendapat ayah dan ibu. Dia menyiksa diri bahkan minta agar kubunuh, akan tetapi suheng mencegah aku. Akan tetapi, mengapa ibu menyerahkan aku kepada keluarga Cu, bahkan menyuruh mereka mengakui aku sebagai anaknya?"

   "Begini, Bi Lian,"

   Jawab ayahnya.

   "Ibu dan aku sudah merundingkan hal itu baik-baik. Kami akan hidup selama dua puluh tahun di dalam kurungan, sebagai orang-orang hukuman. Kalau kami membiarkan engkau hidup bersama dengan kami dalam hukuman, bagaimana jadinya dengan dirimu? Kami harus memikirkan masa depanmu. Karena itulah maka setelah berpikir masak-masak, kami menitipkan engkau kepada keluarga Cu yang kami tahu merupakan keluarga baik-baik. Dan kami mengunjungimu untuk menjenguk keadaanmu sejak engkau masih bayi sampai engkau besar dan kami beri latihan dasar ilmu silat."

   "Nah, itulah sesungguhnya yang mendorong kami menitipkan engkau kepada keluarga Cu di dusun itu, Bi Lian. Bukan sekali-kali karena kami tidak suka kepadamu! Engkau tahu, sampai berbulan-bulan setiap malam aku menangis kalau ingat kepadamu, dan hanya demi kebahagiaanmu di masa depan sajalah aku dapat menahan penderitaan batin yang berat itu..."

   Bi Lian merangkul ibunya.

   "Aku percaya, ibu. Akupun merasakan kasih sayang ibu dan ayah ketika sering datang mengajarku di dusun itu."

   "Nah, sekarang giliranmu untuk menceritakan pengalamanmu!"

   Kata Siangkoan Ci Kang kepada puterinya.

   "Nanti dulu, ayah dan ibu,"

   Kata Bi Lian dengan sikap manja dan "jual mahal." "Aku ingin mendengar cerita suheng lebih dulu, tentang riwayatnya sampai dia bertemu dengan aku ketika menentang gerombolan Lam-hai Giam-lo itu."

   Toan Hui Cu tersenyum dan mengangguk kepada muridnya.

   "Kamipun ingin sekali mendengar, terutama tentang keberhasilanmu menemukan anakku. Berceritalah, Han Siong."

   "Sumoi, aku pernah menceritakan keadaan keluargaku kepadamu. Ayahku adalah ketua dari Pek-sim-pang di Kong-goan. Ketika aku bayi, terpaksa aku disembunyikan karena hendak diculik oleh para pendeta Lama di Tibet. Aku disembunyikan di kuil Siauw-lim-si itu sehingga bertemu dengan Suhu dan Subo dan menjadi muridnya."

   "Ya, aku sudah tahu akan hal itu, dan aku tahu pula bahwa adik Pek Eng adalah adik kandungmu. Ceritakan saja sejak engkau meninggalkan ayah dan ibu,"

   Kata Bi Lian. Kini Han Siong menujukan ceritanya kepada kedua orang gurunya.

   "Ketika Suhu dan Subo memberi tugas kepada teecu untuk mencari Sumoi, sesungguhnya teecu merasa bingung sekali karena selain selamanya teecu belum pernah bertemu dengan Sumoi, juga teecu tidak tahu harus mencari ke arah mana. Akan tetapi teecu mengambil keputusan tidak akan kembali menghadap Suhu dan Subo sebelum berhasil menemukan Sumoi. Teecu berangkat dibekali doa restu Suhu dan Subo, dan juga kenekatan. Dalam perjalanan itu, teecu bertemu dengan seorang locianpwe yang berjuluk Ban Hok Lojin dan teecu diambll murid selama satu tahun."

   "Ban Hok Lojin?"

   Siangkoan Ci Kang berseru kaget.

   "Bukankah dia seorang di antara Delapan Dewa?"

   "Suhu benar. Suhu Ban Hok Lojin adalah seorang di antara Pat-sian (Delapan Dewa) dan selama satu tahun teecu diberi ilmu Pek-hong Sin-ciang dan juga ilmu sihir..."

   "Wah, ayah dan ibu! Suheng ini pandai main sulap, pandai main sihir!"

   "Hemm, coba kau perlihatkan sedikit sihirmu agar kami melihatnya, Han Siong,"

   Kata Toan Hui Cu, Subonya.

   "Bagaimana teecu berani bersombong dan kurang ajar terhadap Suhu dan Subo?"

   Kata Han Siong.

   "Tidak, Han Siong. Jangan mengira bahwa kami tidak senang mendengar engkau menjadi murid Ban Hok Lojin. Kami hanya ingin melihat sendiri kekuatan sihir yang kau pelajari itu,"

   Kata Suhunya.

   "Suhu, menurut keterangan Suhu Ban Hok Lojin, ada dua macam ilmu sihir, yaitu yang disebut ilmu hitam dan ilmu putih. Ilmu hitam adalah sihir yang dipergunakan orang untuk melakukan kejahatan, sedangkan yang diajarkan Suhu Ban Hok Lojin hanyalah untuk melindungi diri dari serangan musuh, terutama untuk menghadapi serangan sihir hitam."

   "Kalau begitu bagus sekali, Han Siong. Nah, perlihatkan sedikit kepada kami agar kami menjadi yakin."

   "Aih, suheng! Kenapa pelit amat? Hayo perlihatkan kepandaianmu, akupun ingin sekali melihatnya,"

   Kata Bi Lian. Han Siong tersenyum dan diam-diam dia mulai mengerahkan kekuatan batinnya untuk melakukan demonstrasi sihirnya.

   "Suhu, Subo dan Sumoi, andaikata teecu kewalahan menghadapi pengeroyokan atau menghadapi lawan tangguh, teecu dapat membuat lawan bingung untuk menyelamatkan diri dengan memperbanyak diri teecu!"

   "Memperbanyak diri?"

   Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu bertanya hampir berbareng.

   "Apa maksudmu, suheng?"

   Bi Lian juga ingin tahu sekali.

   "Suhu, teecu dapat memperbanyak diri, misalnya menjadi dua seperti ini!"

   Suara Han Siong berwibawa sekali, menggetar dan tiba-tiba saja ayah, ibu dan anak itu terbelalak melihat betapa tubuh Han Siong benar-benar berubah menjadi dua orang!

   "Atau menjadi tiga seperti ini!"

   Terdengar lagi suara Han Siong dan kini muncul pula seorang Pek Han Siong yang lain dan berdirilah tiga orang pemuda yang kembar di depan mereka. Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu, dua orang tokoh kang-ouw yang sudah banyak pengalaman dan memiliki kepandaian tinggi itu, cepat mengerahkan tenaga khikang mereka dan memusatkannya kepada pandang mata dan kini lenyaplah dua orang bayangan Han Siong yang lain, tinggal yang seorang saja, yang asli. Akan tetapi Bi Lian tidak tahu bagaimana caranya membuyarkan penglihatan aneh itu dan iapun berseru sambil tertawa.

   "Wah-wah-wah...! Kalau aku menjadi lawanmu, aku benar-benar akan kebingungan sekali, suheng! Yang mana sih engkau yang sesungguhnya?"

   Han Siong tersenyum, diapun segera melenyapkan dua bayangannya. Lalu dia menjatuhkan diri berlutut di depan Suhu dan Subonya yang dia tahu dapat menguasai penglihatan mereka tadi.

   "Harap Suhu dan Subo suka memaafkan teecu."

   Suami isteri itu saling pandang dan Siangkoan Ci Kang menarik napas panjang.

   "Memang hebat ilmu sihir itu, Han Siong. Kami sendiri seketika terpengaruh dan memang merupakan alat pembela diri yang amat ampuh. Kami ikut merasa girang bahwa engkau dilatih oleh seorang sakti seperti locianpwe itu. Sekarang lanjutkan ceritamu, Han Siong."

   "Teecu lalu pergi berkunjung ke Pek-sim-pang. Di sana teecu bertemu dengan lima orang pendeta Lama yang hendak memaksa teecu pergi ke Tibet. Teecu berhasil mengusir mereka dan teecu ber temu dengan ayah, ibu dan keluarga Pek."

   "Ah, sukurlah, Han Siong. Aku ikut merasa gembira bahwa engkau dapat bertemu dengan orang tuamu dan keluargamu di sana,"

   Kata Toan Hui Cu.

   "Akan tetapi dari keluarga Pek, teecu mendengar bahwa adik kandung teecu yang bernama Pek Eng telah pergi meninggalkan rumah, katanya untuk mencari teecu, kakaknya yang selama hidupnya belum pernah dilihatnya."

   "Ah, kasihan sekali adik Pek Eng..."

   Kata Bi Lian.

   "Karena itu, teecu merasa khawatir dan teecu juga tidak lama tinggal di Pek-sim-pang. Teecu berangkat untuk mencari adik Pek Eng dan juga Sumoi, teecu mencari dua orang gadis!"

   "Dua orang yang selamanya belum pernah suheng lihat. Hik-hik, betapa sukarnya itu...!"

   Bi Lian tertawa.

   "Akhirnya, teecu menemukan jejak adik Pek Eng yang ditangkap oleh gerombolan pemberontak Lam-hai Giam-lo yang bersarang di Yunan Lembah Yang-ce, maka teecu menyusul ke sana dan ternyata teecu menemukan dua-duanya di sana!"

   Kembali Bi Lian tertawa.

   "Orang-orang yang dicarinya itu telah berkumpul di Yunan, bahkan sebelum suheng bertemu dengan aku atau dengan adik Eng, aku dan adik Eng telah menjadi sahabat baik!"

   "Pemberontakan Lam-hai Giam-lo dapat dihancurkan oleh para pendekar, kemudian teecu berhasil membujuk Sumoi untuk menghadap Suhu dan Subo di kuil Siauw-lim-si itu."

   Han Siong mengakhiri ceritanya.

   "Kami sungguh bersukur sekali, Han Siong. Engkau bukan saja dapat melaksanakan tugasmu dan memenuhi permintaan kami sehingga berhasil baik, akan tetapi juga dapat menemukan adik kandungmu dan dapat membantu para pendekar untuk menghancurkan persekutuan pemberontak Lam-hai Giam-lo."

   Kata Siangkoan Ci Kang.

   "Nah, sekarang giliranmu untuk bercerita, Bi Lian."

   Si Kumbang Merah Penghisap Kembang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Bi Lian lalu menceritakan pengalamannya, sejak ia diambil murid oleh mendiang Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi, dua di antara Empat Setan yang menjadi datuk-datuk sesat di empat penjuru itu. Kedua orang datuk itu senang sekali melihat Bi Lian yang ketika itu berusia enam tahun, seorang anak perempuan yang mungil, manis lincah dan memiliki keberanian luar biasa sekali. Tentu saja anak kecil yang pemberani itu tadinya mendendam kepada dua orang iblis ini yang dianggap pembunuh keluarga Cu, keluarganya! Akan tetapi dua orang itu menyalahkan dua pasang suami isteri iblis yang memusuhi mereka. Dua pasang suami isteri iblis itulah yang membujuk rakyat dusun mengeroyok mereka sehingga banyak penduduk dusun tewas termasuk keluarga Cu. Bi Lian dapat menerima alasan ini dan iapun mengalihkan dendamnya kepada dua pasang suami isteri iblis, yaitu Lam-hai Siang-mo dan Sepasang Suami Isteri Guha Iblis Pantai Selatan.

   

Asmara Berdarah Eps 36 Pendekar Mata Keranjang Eps 20 Pendekar Mata Keranjang Eps 42

Cari Blog Ini