Ceritasilat Novel Online

Pendekar Mata Keranjang 10


Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Bagian 10



Semua memegang senjata, dipimpin oleh dua pasang suami isteri yang bukan lain adalah Lam-hai Siang-mo yang terdiri dari Siangkoan Leng dan Ma Kim Li, dan suami isteri Guha Iblis Pantai Selatan, yaitu Kwee Siong dan Tong Ci Ki. Seperti yang sudah kita ketahui, dua pasang suami isteri yang namanya amat terkenal di dalam dunia sesat ini pernah saling bermusuhan untuk memperebutkan Hay Hay, akan tetapi mereka terpaksa melarikan diri ketika muncul dua orang dari Empat Setan dan dua orang lagi dari Delapan Dewa. Mereka membagi tugas, yang dua orang melapor ke Tibet, kepada para pendeta Lama bahwa Sin-tong telah dirampas oleh empat orang tokoh besar itu sehingga akibatnya, para pendeta Lama mencoba untuk merampas Hay Hay dari tangan See-thian Lama. Yang dua orang lagi melapor kepada keluarga Pek yang agaknya menerima berita itu dengan dingin saja,

   Bahkan keluarga itu mengatakan bahwa Sin-tong, keturunan mereka, telah tewas beberapa tahun yang lalu, dibunuh orang jahat! Betapapun juga, dua pasang suami isteri ini masih merasa penasaran dan terutama sekali merasa sakit hati terhadap Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi, dua orang datuk sesat yang mereka anggap telah menggagalkan rencana mereka untuk menguasai anak yang mereka yakin adalah Sin-tong itu. Dan mereka juga tidak tahu bahwa anak itu telah dibawa pergi oleh See-thian Lama, mengira bahwa dua orang kakek iblis dari Empat Setan itulah yang menguasai Sin-tong. Maka, ketika mereka melihat Pak-kwi-ong, mereka berempat cepat mengumpulkan teman-teman dari dunia hitam untuk membayangi kakek gendut itu yang ternyata mengadakan pertemuan dengan Tung-hek-kwi di dusun itu.

   Melihat betapa dua orang itu makan daging anjing mentah, dua pasang suami isteri segera mengepung bersama teman-teman mereka. Jumlah mereka tidak kurang dari dua puluh empat orang, terdiri dari jagoan-jagoan kalangan hitam yang menjadi teman-teman akrab dua pasang suami isteri itu. Dapat dibayangkan betapa kuat kedudukan mereka. Dua pasang suami isteri itu saja sudah merupakan datuk-datuk sesat yang amat lihai, apalagi ditambah dua puluh orang teman yang rata-rata memiliki ilmu silat yang tinggi dan berwatak garang dan kejam. Akan tetapi, dua pasang suami isteri itu sudah mengenal kesaktian Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi, maka mereka pun tidak mau bertindak secara sembrono dan setelah mereka semua mengepung dua orang kakek itu, Siangkoan Leng berseru dengan suara lantang.

   "Ji-wi Locianpwe telah terkepung dan lihat, kedudukan kami kuat sekali. Akan tetapi, kami tidak akan mengeroyok Ji-wi kalau Sin-tong dikembalikan kepada kami!"

   Tentu saja kedua orang kakek itu mendongkol bukan main mendengar tuntutan ini. Mereka berdua dikalahkan oleh See-thian Lama dan Ciu-sian Sin-kai, dua orang di antara Delapan Dewa dan kini tikus-tikus itu datang untuk merampas Sin-tong dari tangan mereka. Akan tetapi, mereka berdua adalah raja-raja datuk sesat, tentu saja merasa malu untuk mengakui kekalahan mereka terhadap dua orang dari Delapan Dewa. Mereka bahkan duduk lagi dan melanjutkan makan daging anjing mentah seolah-olah tidak memandang mata kepada dua puluh empat orang yang mengepung mereka dengan senjata-senjata di tangan.

   "Wah, Tung-hek-kwi! Engkau Setan Hitam membikin gara-gara. Engkau membunuh dua ekor anjing dan lihat akibatnya! Dua puluh empat ekor anjing yang lain datang menggonggong dan hendak menggigit kita, ha-ha-ha!"

   Pak-kwi-ong berkata sambil tertawa bergelak, lalu menggerogoti sedikit daging yang masih menempel di tulang paha anjing itu.

   "Apa kau masih haus? Kita minum darah anjing-anjing ini!"

   Teriak Tung-hek-kwi

   "Ha-ha, engkau benar. Dua ekor anjing betina itu biarpun sudah agak tua tentu lebih lunak dagingnya dan lebih hangat darahnya!"

   Kata Pak-kwi-ong dan tiba-tiba saja, kedua tangannya mematahkan tulang kaki anjing dan melemparkan dua potongan tulang itu ke arah Ma Kim Li dan Tong Ci Ki, isteri-isteri dua orang pemimpin gerombolan itu.

   Bukan main kuatnya lemparan ini dan dua batang tulang itu dengan kecepatan kilat menyambar ke arah dua orang wanita, tepat mengarah muka mereka. Kalau mengenai sasaran, biarpun dua orang wanita itu memiliki kekebalan, tentu akan menderita cidera. Akan tetapi, dua orang wanita yang diserang itu bukan wanita-wanita lemah. Melihat sinar menyambar, mereka cepat mengelak dan dua batang tulang itu pun lewat dan tentu akan mengenai orang-orang di belakang mereka kalau saja anak buah mereka yang juga rata-rata lihai itu tidak cepat mengelak pula. Sebagai dua orang wanita iblis yang mahir mempergunakan jarum-jarum beracun, terutama sekali Tong Ci Ki yang berjuluk Si Jarum sakti, kedua orang itu lalu melemparkan jarum-jarum beracun mereka ke arah Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi.

   "Sing-sing-singgg..!"

   Dan sinar yang kecil menyambar ke arah dua orang kakek itu, mengeluarkan suara berdesing nyaring, terutama sekali jarum-jarum yang dilepas oleh Tong Ci Ki ke arah Tung-hek-kwi, yang lebih kuat daripada jarum-jarum Ma Kim Li yang menyambar ke arah Pak-kwi-ong. Akan tetapi, dua orang kakek itu sama sekali tidak mengelak atau menangkis.

   Jarum-jarum yang mengenai kulit tubuh mereka rontok semua, dan sambil tersenyum mengejek mereka menyapu rontok jarum-jarum yang menancap di pakaian mereka. Tentu saja dua orang wanita itu terkejut bukan main. Melihat ini, Siangkoan Leng dan K wee Siong sudah memberi aba-aba dan dua puluh orang pembantu mereka itu sudah menerjang maju, menggerakkan senjata mereka mengeroyok dua orang kakek tua renta itu. Terdengar Pak-kwi-ong tertawa-tawa dan dua orang kakek itu pun bangkit berdiri dan menyambut pengeroyokan itu. Hebat bukan main sepak terjang dua orang kakek itu. Mereka tidak memegang senjata, hanya mempergunakan kedua lengan mereka dan kedua kaki mereka, menghadapl keroyokan orang-orang yang bersenjata tajam. Namun, karena kedua lengan dan kaki mereka itu kebal dan dapat menangkis senjata-senjata lawan,

   Bahkan kalau tubuh mereka terkena tusukan senjata tajam yang datang bagaikan hujan senjata itu mental, bahkan ada yang patah, maka terjadilah kepanikan di antara para pengeroyok. Dua orang kakek itu hanya mengelak kalau dua pasang suami isteri itu yang menyerang, baik dengan senjata maupun dengan tangan mereka karena dua pasang suami isteri ini merupakan orang-orang yang berbahaya serangannya. Para penduduk dusun yang tidak tahu apa-apa, kini ada pula yang ikut mengeroyok. Mereka tidak mengenal mereka yang berkelahi, akan tetapi melihat betapa dua orang kakek tua itu tadi selain membunuh dua ekor anjing mereka, juga minum darah anjing dan makan dagingnya dengan mentah-mentah, tentu saja mereka condong untuk berpihak kepada dua puluh empat orang yang mengeroyok dua orang kakek itu.

   Mereka menganggap bahwa tentu dua orang kakek itu merupakan iblis-iblis jahat, dan dua puluh empat orang itu adalah orang-orang gagah yang menentang kejahatan. Maka, tanpa diminta, ada beberapa orang penduduk yang merasa kuat, mengambil senjata dan ikut pula mengeroyok! Melihat betapa para pengeroyoknya berkelahi dengan mati-matian, mengeroyok mereka seperti segerombolan anjing-anjing serigala kelaparan, dua orang datuk kaum sesat itu menjadi marah sekali. Pak-kwi-ong mengeluarkan suara tertawa bergelak dan tahu-tahu dia telah menangkap dua orang pengeroyok dan membanting mereka. Terdengar bunyi keras dan kepala dua orang itu pecah berantakan, darah berhamburan bersama otak mereka. Juga Tung-hek-kwi mengeluarkan suara menggereng seperti seekor binatang buas dan seperti yang dilakukan Pak-kwi-ong,

   Dia berhasil menangkap dua orang pengeroyok dan membanting mereka sehingga tubuh mereka remuk! Melihat ini, dua pasang suami isteri itu menjadi marah sekali. Dengan aba-aba mereka memberi semangat, bahkan mereka mempergunakan pedang untuk melakukan serangan dengan gencar, dibantu oleh para teman mereka. Namun, dua orang kakek itu memang memiliki kesaktian yang jauh melampaui kepandaian mereka. Mereka berdua mengamuk dan dalam waktu singkat saja, masing-masing telah menewaskan dua orang anak buah gerombolan dan dua orang penduduk yang ikut-ikut mengeroyok. Melihat ini, kembali dua pasang suami isteri itu mengeluarkan aba-aba dan memberi semangat. Namun, sia-sia, kini teman-teman mereka sudah menjadi gentar menghadapi dua orang kakek sakti itu.

   Apalagi ketika Siangkoan Leng terhuyung oleh tendangan Pak-kwi-ong, sedangkan tulang lengan kiri Tong Ci Ki patah ketika ditangkis oleh Tung-hek-kwi, mereka semua menjadi semakin panik dan akhirnya, sisa para pengeroyok itu melarikan diri tanpa dapat dicegah lagi! Mereka, meninggalkan sedikitnya mayat enam orang kawan mereka. Yang terluka ikut pula melarikan diri. Terpaksa dua pasang suami isteri itu pun harus melarikan diri kalau mereka tidak ingin tewas di tangan dua orang raja datuk sesat itu! Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi mengamuk terus. Karena dua pasang suami isteri dan teman-teman mereka telah melarikan diri ke malam gelap, dua orang kakek itu mengamuk kepada orang-orang dusun yang mereka anggap telah membantu musuh-musuh mereka! Celakalah para penghuni dusun yang tidak sempat melarikan diri.

   Mereka diseret keluar dan dibanting remuk, tidak peduli laki-laki perempuan atau kanak-kanak. Dua orang kakek itu tidak melewatkan rumah keluarga Cu Pak Sun. Mereka menjebol daun pintu dan sambil tertawa-tawa, Pak-kwi-ong memasuki rumah itu, diikuti oleh Tung-hek-kwi. Kedua lengan tangan mereka sudah berlepotan darah! Pada waktu itu, Cu Pak Sun dan isterinya memeluk Bi Lian yang baru berusia kurang lebih sembilan tahun. Suami isteri ini menggigil ketakutan mendengar suara perkelahian di luar itu, mendengar jeritan-jeritan kematian mereka yang menjadi korban. Akan tetapi Bi Lian tidak kelihatan takut, bahkan merasa penasaran. Tadi ia hendak menonton keluar, akan tetapi dipeluk ayah dan ibunya dengan erat yang tidak memperkenankan ia keluar. Kini mereka malah bersembunyi di dalam kamar dan ia dipeluk dua orang, dipegangi agar jangan keluar.

   "Aku harus melihat keluar...!"

   Kata Bi Lian berkali-kali.

   "Jangan... jangan... ada orang-orang jahat seperti iblis mengamuk di luar, membunuhi orang-orang!"

   Kata Cu Pak Sun dengan suara gemetar dan isterinya menangis dengan menahan suara tangisnya.

   "Kalau begitu lebih baik aku harus keluar, membantu orang-orang untuk melawan penjahat-penjahat itu!"

   Bi Lian memang memiliki watak yang keras dan berani, tabah karena gemblengan suhu dan subonya. Malam itu kebetulan suhu dan subonya tidak datang karena baru kemarin malam mereka datang dan melatihnya ilmu silat sampai hampir pagi.

   "Jangan, engkau akan celaka...!"

   Kata Cu Pak Sun.

   "Jangan, Bi Lian, aku takut... engkau jangan keluar, di sini saja menemaniku..."

   Nyonya Cun mengganduli dan merangkul Bi Lian sambil menangis. Ketika dua orang kakek iblis itu menjebol pintu, tentu saja, Cu Pak sun dan isterinya yang bersembunyi di dalam kamar menjadi semakin ketakutan. Apalagi ketika dua orang kakek itu muncul seperti iblis sendiri di ambang pintu kamar, seketika isteri Cu Pak Sun jatuh pingsan. Cu Pak Sun sendiri segera berlutut di atas lantai dengan suara gemetar minta-minta ampun. Melihat ini, Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi tertawa. Akan tetapi tiba-tiba Bi Lian meloncat berdiri, menghadapi dua orang kakek itu dengan sinar mata tajam seperti sepasang mata seekor anak harimau.

   "Kalian sungguh kakek-kakek jahat sekali! Jangan ganggu ayah ibuku dan keluarlah kalian dari sini!"

   Bi Lian membentak, seperti mengusir dua ekor anjing saja, sedikit pun tidak merasa takut dan sepasang matanya yang tajam itu terbelalak penuh kemarahan. Dua orang datuk sesat itu terkejut dan terheran, sampai bengong sejenak, kemudian saling pandang dan Pak-kwi-ong tertawa bergelak. Tentu saja mereka terkejut dan heran melihat ada seorang anak perempuan berusia paling banyak sepuluh tahun berani menghardik mereka, padahal banyak laki-laki dewasa lari ketakutan melihat mereka!

   "Ha-ha-ha-ha, Setan Hitam, aku mendadak merasa seperti menjadi seekor anjing kecil yang ketakutan, ha-ha!"

   "Huh, anak setan!"

   Tung-hek-kwi menggereng dan lengan tangannya yang panjang itu meluncur ke depan, ke arah Bi Lian dengan jari-jari tangan terbuka seperti cakar harimau hendak mencengkeram seekor kelinci kecil.

   "Dagingnya tentu lunak!"

   "Wuuuttt... ehhhh..?"

   Tung-hek-kwi berseru kaget karena terkaman tangannya tadi luput! Dengan gerakan lincah dan langkah kaki yang aneh, Bi Lian mampu menghindarkan diri dari cengkeraman itu, menyelinap, bahkan mendekati Tung-hek-kwi yang menyerangnya dan dengan cepat sekali tangannya bergerak menghantam ke arah perut Si Iblis Hitam dari Timur itu!

   "Bukk!"

   Perut Tung-hek-kwi terpukul dan akibatnya tubuh Bi Lian terlempar ke belakang. Akan tetapi, anak ini berjungkir balik dan membuat poksai (salto) yang indah sekali!

   "Ha-ha-ha, yang Kau kira kelinci berdaging lunak ternyata anak naga!"

   Pak-kwi-ong berseru kagum dan dia pun sudah mengulur tangan menerkam. Kembali Bi Lian memperlihatkan keringanan tubuhnya dan langkahnya yang ajaib, karena seperti juga terkaman Tung-hek-kwi, kini cengkeraman tangan Pak-kwi-ong juga luput!

   "Ehhh...!"

   Pak-kwi-ong lupa tertawa saking kaget dan herannya. Dia mengerahkan tenaga sinkangnya mendorong dan tubuh Bi Lian tentu saja tidak kuat bertahan dan anak itu pun roboh terguling, disambut tangan Pak-kwi-ong yang menangkap kedua kakinya dan mengangkat tubuh itu ke atas! Dengan kedua kaki tergantung, kepala di bawah, Bi Lian tidak menjerit ketakutan, bahkan ia mengamuk dan berusaha untuk memukul dengan kedua tangannya, terus menggeliat-geliat berusaha membebaskan diri sambil memaki-maki.

   "Kakek setan! Kakek iblis! Lepaskan aku dan mari kita berkelahi sampai seribu jurus kalau kau memang gagah!"

   Melihat sikap anak itu, dan mendengar tantangannya, kembali Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi melongo.

   "Ha-ha-ha-ha! Setan Hitam, apa yang kita temukan di sini? Ia memiliki bakat yang lebih baik daripada Sin-tong agaknya!"

   "Serahkan padaku, Pak-kwi-ong! Aku ingin mendidiknya!"

   Kata Tung-hek-kwi yang tiba-tiba merasa suka pula kepada anak itu karena dia dapat melihat sendiri betapa anak itu memiliki keberanian luar biasa, juga memiliki gerakan cepat dan aneh, sepasang mata tajam mencorong dan seluruh keadaannya menunjukkan bakat yang luar biasa.

   "Ha-ha-ha, enak saja! Aku yang menangkapnya lebih dulu!"

   Berkata Pak-kwi-ong dan kakinya menendang ke depan ketika Cu Pak Sun merangkak hendak menolong anaknya yang digantung dengan kepala di bawah itu.

   "Desss...!"

   Tubuh Cu Pak Sun terlempar dan dia tewas seketika oleh tendangan itu.

   "Ouhhh..!"

   Nyonya Cu Pak Sun yang kebetulan siuman, melihat suaminya ditendang, bangkit dan hendak menubruk. Di saat itu, Tung-hek-kwi yang merasa marah kepada Pak-kwi-ong yang dianggap merebut anak itu darinya, menggerakkan kakinya pula ke arah wanita itu.

   "Desss...!"

   Kini giliran wanita itu yang tewas seketika dan tubuhnya terlempar dan terbanting menindih mayat suaminya.

   "Kalian pembunuh-pembunuh jahat!"

   Berkali-kali Bi Lian berteriak dan meronta-ronta, akan tetapi, Pak-kwi-ong hanya tertawa dan tiba-tiba kakek ini meloncat keluar dari rumah itu sambil membawa tubuh Bi Lian dengan cara seperti tadi yaitu memegangi kedua kaki anak itu dengan tangan kiri seperti orang membawa seekor ayam saja.

   Pak-kwi-ong bukan sembarangan meloncat, melainkan mengelak karena pada saat itu Tung-hek-kwi sudah menubruk untuk merampas tubuh Bi Lian dari tangannya. Begitu tiba di luar dusun, Pak-kwi-ong terus melarikan diri dengan cepat, dikejar oleh Tung-hek-kwi! Kejar-kejaran itu berlangsung sampai semalam suntuk dan sampai keesokan harinya pagi-pagi sekali Pak-kwi-ong masih dikejar-kejar oleh Tung-hek-kwi. Mereka telah tiba di daerah pegunungan yang jauh sekali dari dusun di mana mereka menyebar maut semalam itu. Dan Bi Lian masih dibawa oleh Pak-kwi-ong dalam keadaan tergantung! Dapat dibayangkan penderitaan anak ini, Akan tetapi, bukan main rasa kagum di hati Pak-kwi-ong karena anak itu satu kalipun tidak pernah terdengar berteriak ketakutan ataupun menangis!

   Benar-benar seorang anak perempuan dengan hati keras melebihi besi! Pak-kwi-ong terpaksa melarikan diri karena dia maklum bahwa tingkat kepandaiannya berimbang dengan Tung-hek-kwi. Kalau dia harus melawan rekannya itu sambil melindungi anak perempuan itu, tentu dia akan kalah. Akan tetapi untuk menyerahkannya, dia pun tidak rela. Akhirnya dia memperoleh akal dan dia pun berhenti. Peluh sudah membasahi seluruh tubuhnya dan napasnya agak terengah-engah. Biarpun dia seorang sakti, dia harus mengaku kalah oleh usianya. Usia tua membuat kekuatannya tidak sehebat dulu lagi. Ketika Tung-hek-kwi berhenti di depannya, keadaan kakek raksasa ini sama saja, mandi peluh dan napasnya memburu.

   "Setan Hitam, engkau nekat mengejarku?"

   Tegur Pak-kwi-ong, kini membalikkan tubuh Bi Lian dan mengempit di bawah lengannya, membuat Bi Lian tidak mampu berkutik, namun kini anak itu tidak begitu tersiksa seperti ketika dijungkir balikkan tadi. Hanya bau Ketika penuh, keringat yang dekat hidungnya itu saja membuat ia ingin muntah. Akan tetapi untuk muntah pun ia sudah kehilangan kekuatan. Tubuhnya lemas dan setengah pingsan oleh penderitaannya semalam, dilarikan dalam keadaan tergantung jungkir balik.

   "Lari ke neraka pun akan kukejar. Anak itu harus rnenjadi muridku."

   Jawab Tung-hek-kwi, semakin kagum kepada Bi Lian karena anak itu sama sekali tidak menangis, kelihatan ketakutan atau berduka. Selama hidupnya belum pernah dia melihat anak seperti ini, apalagi anak perempuan.

   "Aku pun ingin rnenjadi gurunya."

   Kata Pak-kwi-ong.

   "Aku akan merampasnya dari tanganmu."

   Tung-hek-kwi menjawab kukuh.

   "Kalau aku melawan sambil membawa anak ini tentu aku kalah, akan tetapi, kalau anak ini berhasil kau rampas dan aku menyerangmu, tentu engkau pun akan kalah. Perkelahian antara kita memperebutkan anak ini hanya akan berakhir dengan tewasnya anak ini terkena Pukulan kita, Setan Hitam!"

   "Tidak peduli, ia harus menjadi muridku atau mati!"

   Kata Tung-hek-kwi.

   "Aih, kita berebutan seperti anak kecil. Anak ini luar biasa, sebaiknya kita tanyakan ia, siapa di antara kita yang ia pilih sebagai guru!"

   Kata Pak-kwi-ong dan dia melepaskan Bi Lian dari kempitannya. Anak itu berdiri agak terhuyung karena lemas dan pusing, akan tetapi dengan angkuh ia mengangkat kepalanya dan berusaha untuk berdiri tegak dan tidak memperlihatkan kelemahannya. Sepasang matanya masih berkilat menyambar kepada dua orang kakek itu penuh kemarahan.

   "Anak baik, kami berdua ingin sekali mengambil engkau sebagai murid. Coba kau pilih, siapa di antara kami yang kau pilih untuk menjadi gurumu?"

   Kata Pak-kwi-ong dengan suara ramah dan muka penuh senyum. Akan tetapi dengan alis berkerut Bi Lian memandang kedua orang kakek itu, penuh kebencian dan ia pun menjawab dengan suara ketus.

   "Memilih kalian untuk menjadi guru? Hemmm, aku memilih kalian berdua untuk menjadi musuh besarku yang kelak harus kubunuh untuk membalas dendam atas kematian Ayah dan Ibuku dan orang-orang dusun kami!"

   Jawaban itu berapi-api, penuh perasaan dan bersungguh-sungguh.

   "Wah, anak ini berbahaya, sebaiknya dibunuh saja!"

   Tung-hek-kwi berseru sambil mengangkat tangan. Akan tetapi Pak-kwi-ong mencegahnya dan dia pun mengedipkan mata kepadanya.

   "Bunuhlah! Aku tidak takut mati! Kelak kalian akan kubunuh!"

   Anak itu tetap membentak dan matanya mencorong menatap wajah Tung-hek-kwi yang menyeramkan itu, sedikit pun tidak mengenal takut. Sikapnya ini tidak memarahkan hati Tung-hek-kwi, sebaliknya malah membuat dia kagum dan merasa semakin suka.

   "Anak baik, engkau salah paham. Kami bukan pembunuh Ayah Ibumu. Bukan kami yang membunuh mereka..."

   "Bohong! Aku melihat dengan mataku sendiri betapa engkau membunuh Ayahku, kakek gendut dan engkau yang membunuh ibu, kakek hitam!"

   Bi Lian menudingkan telunjuknya bergantian kepada mereka.

   "Kelak aku akan menuntut balas!"

   "Ah-ah, engkau tidak mengerti. Memang angan kami..."

   "Kaki kalian yang membunuh!"

   Teriak Bi Lian, teringat betapa dua orang kakek itu menendang mati ayah dan ibunya.

   "Benar, memang kaki kami yang melakukan pembunuhan, akan tetapi itu hanya akibatnya saja. Kami sama sekali tidak bermusuhan dengan Ayah ibumu, mengenal mereka pun tidak! Mereka tewas sebagai akibat perkelahian dan yang menjadi biang keladi adalah dua pasang suami isteri. Merekalah yang sesungguhnya membunuh orang tuamu, menjadi sebab kematian Ayah Ibumu!"

   "Benar, Pak-kwi-ong berkata benar dan dia bukan pembohong!"

   Kata pula Tung-hek-kwi, mengangguk-angguk. Bi Lian menjadi bingung dan mengerutkan alisnya.

   "Apa maksudmu? Jangan memutar-balik, kalian menendang mati Ayah Ibuku, bagaimana menyalahkan orang lain?"

   "Tahu akibat harus tahu sebabnya!"

   Kata pula Pak-kwi-ong.

   "Aku dan Tung-hek-kwi sedang berada di dusun itu, lalu datanglah dua pasang suami isteri Lam-hai Siang-mo (Sepasang Iblis Laut Selatan) dan suami isteri Guha Iblis Pantai Selatan. Mereka membawa dua puluh orang bahkan mengerahkan penduduk dusun itu untuk mengeroyok kami berdua. Terjadilah perkelahian sehingga banyak yang jatuh dan tewas, di antaranya Ayah dan Ibumu yang menjadi korban karena dihasut dan dipaksa oleh dua pasang suami isteri itu untuk memusuhi kami. Kami tidak mengenal Ayah Ibumu. Nah, kalau begitu bukankah yang bersalah itu dua pasang suami isteri tadi? Andaikata mereka tidak mengajak orang-orang dusun mengeroyok kami, perlu apa kami membunuh orang-orang dusun termasuk Ayah dan Ibumu?"

   Bi Lian adalah seorang gadis cilik yang amat cerdik. Sejak tadi ia sudah maklum bahwa dua orang kakek ini memiliki kesaktian yang hebat sekali mungkin tidak kalah oleh suhu dan subonya. Dan mendengar keterangan dari Pak-kwi-ong itu, ia pun dapat melihat kebenarannya. Jelas, yang menyebabkan kematian ayah ibunya adalah dua pasang suami isteri itu!

   "Jadi, kalau engkau hendak membalas dendam, balaslah kepada dua pasang suami isteri itu, dan hal itu pasti akan terlaksana kalau engkau menjadi murid seorang di antara kami."

   Kata pula Tung-hek-kwi yang biasanya tidak banyak cakap. Hati Bi Lian menjadi bimbang. Ia tidak tahu siapa di antara dua orang kakek ini yang lebih lihai dan tiba-tiba ia mempunyai akal yang amat baik.

   "Aku hanya mau menjadi murid kalian berdua, bukan seorang di antara kalian. Kalau kalian berdua mau mengajarku sehingga kelak aku dapat membalas dendam kepada dua pasang suami isteri itu, biarlah aku suka menjadi murid kalian."

   Katanya. Dua orang kakek itu saling pandang. Anak ini benar-benar mengagumkan hati mereka dan syarat itupun dapat mereka terima.

   "Kita kerja sama...? Ha-ha-ha!"

   Pak-kwi-ong tertawa dan Tung-hek-kwi mengangguk.

   "Kita sudah tua, usia kita takkan lama lagi. Apa salahnya kita bekerja sama membentuk anak ini agar kelak dapat mengangkat nama kita?"

   Kata Tung-hek-kwi. Demikianlah, mulai saat itu, Cu Bi Lian menjadi murid Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi. Dua orang dari Empat Setan ini amat sayang kepada Bi Lian karena anak itu memperlihatkan watak yang cocok dengan mereka. Keras, ganas dan berani, juga cerdik bukan main.

   Mereka sama sekali tidak tahu bahwa murid mereka itu adalah keturunan dari datuk-datuk sesat yang tidak kalah besar namanya dari mereka sendiri, yaitu cucu dari mendiang Siangkoan Lojin Si Iblis Buta, dan cucu luar dari Raja dan Ratu Iblis yang pernah mengguncangkan seluruh dunia kang-ouw! Dan agaknya Bi Lian menuruni watak para kakek dan nenek moyangnya sehingga ia menjadi seorang gadis yang cantik jelita dan manis namun ganas keras dan penuh keberanian. Dan karena dua orang kakek datuk sesat itu amat sayang kepadanya, mereka pun tanpa ragu-ragu dan sama sekali tidak pelit untuk menurunkan seluruh kepandaian yang mereka miliki kepada murid tunggal mereka. Mereka mengharapkan agar murid mereka itu, biarpun seorang wanita, kelak akan menjadi jagoan nomor satu atau setidaknya akan mengangkat nama besar mereka yang menjadi gurunya.

   Demikianlah riwayat Cu Bi Lian atau yang sesungguhnya she Siangkoan itu karena ia di luar tahunya adalah anak kandung suhu dan subonya yang pertama, yaitu Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu. Selama kurang lebih sepuluh tahun ia digembleng oleh kedua orang gurunya sehingga Bi Lian menjadi seorang gadis yang memiliki ilmu kepandaian luar biasa. Tentu saja watak yang seperti iblis dari dua orang gurunya itu, sedikit banyak berpengaruh dalam membentuk watak Bi Lian sehingga ketika ia meninggalkan dua orang gurunya yang kini sudah amat tua itu, ia telah menjadi seorang gadis yang selain amat tinggi ilmu silatnya, juga memiliki watak yang aneh dan kadang-kadang ganas sekali.

   Pertemuannya tanpa disengaja dengan Hay Hay membuat hatinya terganggu. Mula-mula ia merasa muak dan membenci pemuda itu yang dianggapnya mata keranjang, akan tetapi ketika mendapat kenyataan bahwa pemuda itu tidak melakukan hal-hal yang melanggar kesusilaan dan tidak mengganggu gadis-gadis itu, ia pun tidak peduli. Juga, karena pemuda itu tidak melawannya ketika ia usir dari dalam ruangan kuil tua, ia pun lalu mencoba untuk melupakan pemuda yang tampan dan suka bergurau dan pandai merayu itu. Peduli setan, pikirnya dan Bi Lian tidak peduli lagi di mana pemuda itu akan melewatkan malam, asal tidak di dalam kuil tua. Malam ini ia harus beristirahat yang enak dan tidak terganggu agar besok tenaganya pulih kembali karena ia akan melanjutkan perjalanannya yang sukar, yaitu mencari musuh-musuh besarnya.

   Mereka adalah dua pasang suami isteri yang namanya terkenal di dunia kang-ouw, yaitu Lam-hai Siang-mo dan suami isteri dari Guha Iblis Pantai Selatan. Sementara itu, Hay Hay sendiri juga merasa penasaran bertemu dengan seorang gadis yang cantik jelita dan agaknya memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, akan tetapi wataknya demikian galak dan ganas. Terpaksa dia menjauhi kuil tua itu dan akhirnya dia pun memilih tempat dekat sungai kecil airnya jernih yang mengalir di luar dusun. Dia kembali ke tempat itu dan duduk di atas batu besar di mana dia bertemu dengan para gadis dusun pagi tadi. Selagi ia mengumpulkan kayu bakar untuk membuat api unggun sebentar malam, tiba-tiba. dia mendengar suara ketawa tertahan. Cepat dia menoleh dan ternyata yang datang adalah gadis bertahi lalat di dagunya dan gadis hitam manis yang matanya indah.

   "Aih, kalian lagi gadis-gadis manis. Hendak ke manakah sore-sore begini, Nona-nona manis?"

   Tegur Hay Hay dan dua orang gadis itu tersenyum gembira, akan tetapi mereka menoleh ke kanan kiri seperti orang merasa ketakutan kalau-kalau ada orang lain melihat pertemuan mereka dengan pemuda itu.

   "Sstttt..!"

   Kata gadis bertahi lalat yang menaruh telunjuk di depan mulut, lalu bersama temannya ia menghampiri Hay Hay.

   "Hay-ko (Kakak Hay), jangan keras-keras, takut ada yang mendengar. Engkau... tadi tidak apa-apakah?"

   Hay Hay tersenyum dan menggeleng kepala.

   "Kami khawatir sekali, Hay-ko."

   Kata gadis manis bermata indah.

   "Kemudian kami mendengar bahwa engkau sore ini! Kembali lagi ke sini, agaknya hendak bermalam di tempat terbuka ini."

   Hay Hay menggerakkan pundaknya.

   "Yah, begitulah. Habis bagaimana lagi kalau semua penduduk dusun tidak ada yang sudi menerima diriku untuk bermalam?"

   "Kami mendengar dan merasa kasihan, Hay-ko. Nih, aku membawa selimut untukmu. Kau pakailah agar malam ini engkau tidak kedinginan dan tidak diganggu nyamuk."

   Kata gadis bertahi lalat, mengeluarkan sehelai selimut tebal yang dilipat rapi dan tadi disembunyikan di dalam keranjang sayurnya.

   "Dan ini aku membawa daging panggang untukmu, Hay-ko. Hanya ini untuk sekedar penambah makan malammu, Hay-ko."

   Kata gadis hitam manis. Hay Hay yang tadinya tersenyum gembira itu, kini memandang dengan mata mengandung keharuan. Ingin dia merangkul dan mencium dua orang gadis ini untuk rnenyatakan rasa sukur dan terima kasihnya. Akan tetapi tentu saja dia tidak berani melakukan hal itu karena takut akan akibatnya yang tentu tidak baik bagi mereka berdua.

   "Ah, kalian sungguh baik sekali!"

   Serunya terharu.

   
Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Kenapa kalian bersusah payah untukku? Kalian tahu, kalau sampai terlihat kepala dusun atau penduduk dusun, tentu kalian akan mendapat marah."

   "Biar saja mereka marah!"

   Gadis bertahi lalat berkata penasaran.

   "Si A-Iiong itu hanya iri hati dan cemburu. Huh, tak tahu malu!"

   Hay Hay tersenyum.

   "A-liong siapakah yang Kau maksudkan? Pemuda tinggi besar yang hendak menghajarku itu?"

   Gadis hitam manis mengangguk.

   "Benar, dia mencinta Siauw Lan..."

   "Akan tetapi aku tidak sudi padanya!"

   Siauw Lan gadis bertahi lalat di dagunya itu memotong.

   "Pula, apa salahnya kalau kami berkenalan denganmu, Hay-ko? Engkau seorang pemuda yang baik dan menyenangkan, tidak seperti mereka. Aku... kami... suka padamu.."

   Hay Hay semakin terharu dan dipegangnya tangan dua orang gadis itu dengan kedua tangannya. Tangan-tangan hangat dan tulus.

   "Kalian memang Adik-adikku yang cantik manis dan berhati baik. Aku berterima kasih padamu. Percayalah, aku pun suka sekali kepada kalian dan selamanya aku takkan melupakan gadis-gadis di dusun ini yang manis-manis. Akan tetapi, sekarang sebaiknya kalian pulang saja sebelum hari menjadi malam. Sungguh tidak enak bagi kalian kalau sampai kelihatan orang lain kalian datang menjengukku, apalagi membawakan setimut dan makanan."

   Dua orang gadis itu pun merasa terharu walaupun mereka girang sekali dapat saling berpegang tangan dengan pemuda yang mereka kagumi itu.

   "Hay-ko, engkau tentu akan lama tinggal di sini, bukan?"

   Tanya Si Gadis Bertahi Lalat.

   "Benar, jangan tergesa-gesa pergi, Hay-ko, kami ingin menjadi sahabat-sahabatmu. Besok pagi-pagi kami akan datang lagi, mungkin dengan teman-teman. Setiap pagi kami mencuci pakaian dan mandi di sini, dan kami dapat menjengukmu..."

   Kata gadis kedua. Hay Hay menggeleng kepala dan sebagai gantinya mencium pipi atau bibir mereka, dia membungkuk dua kali dan mencium punggung tangan mereka, lalu melepaskan tangan mereka.

   "Aku besok pagi sekali harus melanjutkan perjalanan. Nah, pulanglah dan selamat berpisah, Nona-nona manis."

   Dua orang gadis itu pun tersipu dengan jantung berdebar ketika punggung tangan mereka tersentuh hidung dan bibir pemuda itu, dan biarpun mereka merasa ogah dan tidak tega meninggalkan pemuda itu, karena cuaca mulai gelap, terpaksa mereka lalu berpamit dan meninggalkan tempat itu dengan dua pasang mata yang basah. Mereka merasa sedih sekali mengingat betapa pemuda ini besok sudah tidak akan berada lagi di tempat itu dan mereka tahu bahwa ada sesuatu yang lenyap dari dalam hati mereka, meninggalkan kenangan indah yang hanya akan mendatangkan duka.

   "Selamat tinggal, Hay-ko."

   "Semoga kita bertemu kembali kelak, suatu waktu..!"

   Hay Hay tersenyum dan melambaikan tangan, sengaja tidak mengeluarkan sepatah kata pun agar keharuan tidak semakin menenggelamkan mereka bertiga. Setelah kedua orang gadis itu pergi, Hay Hay lalu mempersiapkan tempat beristirahat di dekat batu besar itu, menyalakan api unggun dan setelah hari menjadi gelap, dia pun duduk bersila, menyelimuti tubuhnya dengan selimut pemberian gadis manis bertahi lalat di dagunya. Selimut yang tebal dan hangat. Akan tetapi Hay Hay sudah melupakan lagi dua orang gadis itu. Demikianlah watak pemuda ini, tidak mau mengikatkan diri dengan segala sesuatu, dengan kenangan pun tidak! Segala peristiwa yang terjadi lewat saja tanpa bekas di hatinya, dan dengan cara hidup demikian itu, dia selalu bergembira dan kini dia pun duduk bersila dengan wajah tenang gembira,

   Sedikit pun tidak ada bekas-bekas peristiwa masa lalu yang mengganggu hatinya, baik yang menyenangkan, dan menimbulkan keinginan untuk rnengulanginya maupun yang tidak menyenangkan dan menimbulkan kegelisahan atau duka. Malam itu bulan bersinar dengan terangnya. Hawa amat sejuk dan sinar bulan menciptakan suasana yang amat indah di malam itu, indah dan kelihatan tenang tenteram penuh damai. Akan tetapi, agaknya tidak demikian keadaan di dusun kecil itu. Para penduduk laki-laki berkumpul di rumah kepala dusun dan wajah mereka nampak tegang. Ada dua orang gadis yang hilang malam itu! Orang tuanya bingung mencari karena mereka berdua, gadis bertahi lalat di dagu gadis hitam manis bermata cerah tidak pamit ketika pergi.

   "Mereka tentu pergi mengunjungi pemuda itu!"

   Tiba-tiba terdengar seorang laki-laki berkata.

   "Aku tadi melihat dia berada di batu besar dekat sungai!"

   "Hemm, orang asing kurang ajar itu berani kembali ke sana?"

   Kata kepala dusun sambil mengerutkan alisnya.

   "Mari kita cari ke luar dusun sekalian mengusir pemuda itu. Aku yang akan menghajarnya!"

   Kata A-liong, pemuda tinggi besar yang menaruh hati kepada Siauw Lan, gadis bertahi lalat. Kepala dusun menyetujui dan berangkatlah sekitar dua puluh orang laki-laki sambil membawa obor mencari keluar dusun. Sudah terlalu lama dua orang gadis itu pergi dan memang menimbulkan kekhawatiran dan kecurigaan.

   Berbondongbondong mereka pergi menuju ke sungai kecil yang berada agak jauh di luar dusun. Akan tetapi ketika rombongan itu tiba di luar dusun, di sebuah lapangan rumput, ada yang berteriak dan semua orang segera menghampiri. Dan mereka melihat dua orang gadis yang mereka cari-cari itu menggeletak di atas lapangan rumput dalam keadaan telanjang bulat. Pakaian mereka berserakan di sekitar tempat itu. Yang mengerikan, gadis hitam manis itu telah tewas dengan leher terluka menganga lebar hampir putus, sedangkan gadis bertahi lalat di dagunya masih hidup, akan tetapi merintih-rintih dan seperti orang yang menderita ketakutan hebat. Begitu melihat banyak orang datang menghampirinya, gadis bertahi lalat itu merangkak menjauhi, mulutnya merintih-rintih menyebut nama Hay Hay.

   "Hay-ko... tolong... tolonglah aku...!"

   Mudah saja bagi orang-orang ini untuk menduganya apa yang terjadi. Dua orang gadis ini telah diperkosa orang! Dan yang berkulit hitam manis dibunuh! Masih nampak jelas betapa mereka bertelanjang bulat. Kepala dusun cepat menubruk keponakannya, gadis bertahi lalat, dan menyelimutinya dengan mantelnya. Gadis itu menangis terisak-isak, tidak takut lagi dan agaknya sudah sadar.

   "Keparat! Ini tentu perbuatannya! Mari kita kejar ke sana!"

   Teriak kepala dusun dan semua orang lalu mengikutinya menuju ke sungai kecil dengan cepat. Hanya pemuda tinggi besar yang tinggal di situ, merangkul gadis bertahi lalat sambil menghiburnya. Akan tetapi Siauw Lan, gadis itu kini telah sadar dan ia pun menjadi histeris dalam rangkulan pemuda itu. Ia meronta-ronta minta lepas sambil menangis tersedu-sedu.

   "Lepaskan aku... Ah, lepaskan aku, biarkan aku mati saja...!"

   Akan tetapi, A-Liong? demikian nama panggilan pemuda tinggi besar itu, merangkul semakin kuat mendengar ucapan ini. Dia sudah banyak mendengar tentang gadis yang membunuh diri karena aib dan gadis yang dicintanya ini, bukan tidak mungkin akan membunuh diri karena diperkosa laki-laki keparat itu. Dia harus dapat menghiburnya. Diambilnya pakaian gadis itu yang bertebaran di mana-mana.

   "Siauw Lan, kau pakailah pakaianmu dulu... jangan berduka, ada aku di sini. Maukah engkau bercerita apa yang telah terjadi?"

   Gadis itu sadar bahwa masih telanjang bulat, bahwa tubuhnya hanya tertutup mantel milik pamannya, kepala daerah itu. Ia melirik ke kanan dan melihat tubuh telanjang dari temannya yang masih menggeletak mandi darah dan ia pun menggigil, lalu menangis lagi, akan tetapi dipakainya pakaiannya.

   "Apakah yang telah terjadi? Apakah dia telah menyerang kalian berdua?"

   Siauw Lan mengangguk-angguk, masih terisak.

   "Kami berjalan berdua..dan tiba-tiba orang itu menyergap. Aku merasa dipukul pundakku dan aku pun tidak mampu bergerak lagi. Dia menyeret kami ke sini dari jalan itu dan melemparku di atas rumput. Aku tidak mampu menggerakkan kaki dan tanganku, hanya dapat melihat betapa dia...dia menanggalkan pakaian A-kiu dan mereka bergumul. A-kiu menjerit-jerit dan meludahi mukanya, lalu... lalu... ahhh hu-hu-hu-huuuh..!"

   Kembali A-liong merangkulnya dan menepuk-nepuk bahunya,

   "Tenanglah, semua telah berlalu dan ada aku di sini menjaga dan melindungimu."

   Gadis itu merasa aman dalam rangkulan A-liong, dan ia menangis di pundak pemuda itu. Setelah tangisnya mereda, ia melanjutkan.

   "Orang itu marah dan menampar A-kiu, lalu... lalu pedangnya berkelebat dan... ah, mengerikan..!"

   Ia menengok ke arah mayat kawannya dan menangis lagi.

   "Keparat itu membunuhnya karena A-kiu menjerit dan meludahinya?"

   Siauw Lan mengangguk.

   "Ya... lalu dia menghampiri aku yang tidak mampu bergerak dan aku ditepuknya, di pundak, dan tiba-tiba aku dapat bergerak lagi. Dan dia lalu menunjuk ke arah tubuh A-kiu yang masih berkelojotan dengan darah menyembur keluar, berkata bahwa kalau aku melawan aku pun akan disembelih... hu-huuuuh! Dia... dia... lalu memaksaku, memperkosaku.. uhuhuhuuuhhh....!"

   A-liong mendekap mukanya di dada.

   "Tenanglah, engkau tidak bersalah..."

   "Aku mau mati saja! A-liong, biarkan aku mati saja! Untuk apa hidup dalam aib dan akan terhina selamanya?"

   Gadis itu meronta-ronta dan menangis.

   "Tenanglah, Siauw Lan, ada aku di sini. Aku... cinta padamu, dan aku yang akan menutupi aibmu itu. Aku akan mengawinimu..."

   Gadis itu mengangkat muka, melalui air matanya ia memandang wajah pemuda itu, matanya terbelalak.

   "Kau...? Mau mengawini aku yang telah ternoda....?"

   A-liong mengangguk penuh kepastian.

   "Aku bersumpah, aku akan mengawinimu dan aku tetap menganggap engkau seorang gadis yang suci dan paling baik di dunia ini. Tentang perkosaan itu, bukan salahmu, lupakan saja. Sekarang pemuda bermulut manis dan perayu itu tentu sedang dikeroyok dan dihajar sampai mampus! Dan kelak kalau ada orang yang menghinamu karena peristiwa ini, akulah yang akan menghajarnya..."

   Tiba-tiba Siauw Lan mencengkeram lengan A-liong.

   "A-liong, siapa yang Kau maksudkan? Siapa yang dikeroyok dan dipukuli, yang Kau maksudkan perayu bermanis mulut itu tadi?"

   A-liong memandang wajah gadis itu dengan alis berkerut.

   "Siapa lagi kalau bukan pemuda asing yang pagi tadi mencoba untuk mengganggu kalian? Pemuda yang berada di batu besar dekat sungai itu?"

   "Hay-ko...?? Ahh...tidak, tidaaakkk...!"

   Teriaknya sambil meronta dan pemuda itu menjadi kaget.

   "Siauw Lan, bukankah dia yang telah membunuh A-kiu dan... memperkosamu?"

   "Tidak! Bukan dia! Ahhh, A-liong, kalau engkau benar cinta padaku, lepaskan aku, aku harus pergi ke sana, mencegah mereka mengeroyoknya. Dia sama sekali tidak berdosa!"

   "Bukan dia...?"

   Pemuda itu terkejut dan merasa heran.

   "Bukan! Bukan dia. Penjahat itu jauh lebih tua dan ini....ini.."

   Siauw Lan meraba-raba ke kanan kiri di atas rumput dan akhirnya menemukan yang dicarinya, sebuah benda kecil berkilauan.

   "Ini...dia meninggalkan ini untukku... katanya, kalau kelak aku ingin mencari dia, inilah tandanya..."

   A-liong mengambil benda itu dari tangan Siauw Lan dan mengamatinya di bawah sinar bulan. Ternyata sebuah perhiasan berupa tawon merah, terbuat dari emas dan batu merah.

   "A-liong, kita harlls cepat ke sana, mencegah mereka mengeroyok orang yang tidak bersalah!"

   A-liong, adalah seorang pemuda petani yang kasar namun jujur. Mendengar pengakuan ini, dia pun menggandeng tangan Siauw Lan dan diajaknya melakukan pengejaran. Akan tetapi Siauw Lan merintih, tubuhnya terasa nyeri dan sukar baginya untuk jalan cepat.

   "Biar kupondong engkau agar cepat!"

   Kata A-Iiong. Gadis itu tidak menolak, karena ia ingin agar mereka dapat cepat tiba di tempat itu, untuk mencegah orang-orang dusun mengeroyok pemuda yang sama sekali tidak berdosa itu.

   Kita menengok keadaan Hay Hay. Dia belum tidur ketika orang-orang dusun datang berbondong-bondong ke tempat dia beristirahat. Dia masih duduk bersila di atas tanah yang telah dia beri daun-daun kering, berkalung selimut pemberjan Siauw Lan sampai ke lehernya, Untuk melindungi tubuhnya dari serangan nyamuk yang masih banyak berdatangan walaupun dia telah membuat api unggun. Ketika dia mendengar suara banyak orang datang, ada yang membawa obor, dia bersikap tenang saja. Memang Hay Hay selalu bersikap tenang. Ketenangan terdapat pada diri orang yang tidak pernah mengkhawatirkan sesuatu. Kekhawatiran timbul dari pikiran yang membayangkan hal-hal yang menyusahkan, hal-hal yang belum terjadi dan yang diperkirakan mungkin terjadi menimpa dirinya. Orang hanya dapat merasa takut dan khawatir akan hal-hal yang belum atau tidak ada. Bukan berarti orang yang tidak membayangkan hal-hal yang belum ada itu lalu menjadi lengah dan acuh. Sama sekali tidak.

   Kewaspadaan akan saat ini membuat orang selalu dalam keadaan waspada, tanpa rasa takut dan khawatir. Demikian pula keadaan Hay Hay. Dia merasa heran melihat banyak orang berdatangan membawa obor, akan tetapi karena tidak membayangkan sesuatu yang tidak enak dia pun tenang-tenang saja duduk bersila dan memandang ke arah mereka. Kewaspadaannya membuat dia maklum bahwa mereka yang kini berdiri membuat setengah lingkaran di depannya itu mempunyai niat buruk. Kemarahan dan kebencian terbayang dalam pandang mata mereka. Hay Hay merasa heran dan siap siaga, lalu bangkit berdiri melihat bahwa rombongan orang dipimpin sendiri oleh kepala dusunnya yang tadi pagi juga sudah datang menegurnya. Kini, dua puluh orang lebih itu memandang kepadanya dengan kemarahan meluap-luap, seolah-olah mereka tidak sabar lagi dan ingin segera menghajarnya.

   "Selamat malam Chung-cu."

   Kata Hay Hay.

   "Ada urusan apakah maka Cu-wi beramai-ramai malam-malam begini datang ke sini?"

   Orang-orang itu tidak segera menjawab, melainkan memandang kepadanya dengan sinar mata penuh kemarahan, kebencian dan selidik.

   "Lihat, itu selimut Siauw Lan!"

   Tiba-tiba seorang laki-laki, kakak Siauw Lan, berteriak sambil menuding ke arah selimut yang masih mengalungi leher Hay Hay itu. Semua orang memandang dan kemarahan mereka memuncak. Hay Hay meraba selimut itu.

   "Benar, memang Nona Siauw Lan yang tadi datang bersama seorang temannya, memberi selimut dan makanan kepadaku. Mereka adalah dua orang Nona yang amat baik hati dan aku berterima kasih sekali kepada mereka.."

   "Berterima kasih dengan memperkosa dan membunuh!"

   Bentak kakak Siauw Lan dan dia sudah menggerakkan toya kayu di tangannya untuk menghantam ke arah Hay Hay, dan pada saat itu, seorang lain maju juga untuk membacokkan parangnya ke arah dada pemuda itu dengan penuh kebencian. Semua orang teringat akan nasib dua orang gadis itu dan kini mereka serentak maju mengeroyok! Dalam keadaan seperti itu, Hay Hay tidak dapat menyembunyikan lagi kepandaiannya. Dia harus melindungi dirinya, akan tetapi dia maklum bahwa sekelompok orang dusun ini adalah orang-orang jujur yang tidak pandai ilmu silat dan memiliki tenaga biasa saja.

   Mereka bukanlah lawannya dan dia tidak ingin melukai orang-orang ini yang dia tahu tentu tidak berdosa dan yang kini sedang salah paham terhadap dirinya. Maka dia pun mengerahkan tenaga sinkang untuk membuat tubuhnya kebal, menggerakkan kedua tangan hanya untuk menangkis senjata yang menuju ke kepala dan mukanya. Terdengar suara bak-bik-buk ketika belasan buah senjata keras dan tajam menghujani tubuh Hay Hay. Terdengar teriakan-teriakan kaget dan beberapa orang bahkan terpelanting karena tenaga mereka sendiri yang membalik. Pemuda yang mereka keroyok itu masih berdiri tegak, yang nampak bekas serangan itu hanyalah selimut dan baju yang robek-robek, akan tetapi kulit tubuh itu lecet sedikit pun tidak, bahkan semua senjata terpental dan tenaga mereka membalik, telapak tangan mereka terasa nyeri.

   "Dia lihai...!"

   "Dia kebal..!"

   "Punya ilmu setan....!"

   "Saudara-saudara sekalian, apakah yang telah terjadi? Aku tidak bersalah apa-apa dan sejak tadi aku berada di sini, Siauw Lan dan temannya hanya berkunjung sebentar dan tidak terjadi apa-apa yang tidak semestinya di sini. Apa kesalahanku maka cuwi (kalian) marah-marah kepadaku?"

   "Bohong! Dia memang laki-laki mata keranjang. Jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) yang pantas dihajar!"

   Tiba-tiba terdengar teriakan nyaring dan merdu.

   Semua orang menengok, juga Hay Hay, dan dia, terkejut melihat munculnya gadis cantik jelita yang sudah dijumpainya di kuil sore tadi. Gadis itu memang Bi Lian. Dari kuil di mana ia beristirahat, malam itu ia mendengar suara berisik. Ia lalu keluar dan dari depan kuil, tempat yang tinggi, ia dapat melihat banyak orang berlarian sambil membawa obor. Tentu saja ia tertarik sekali karena orang-
(Lanjut ke Jilid 10)
Pendekar Mata Keranjang (Seri ke 09 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 10
orang itu keluar dari dusun di bawah itu. Tentu telah terjadi hal yang hebat maka orang-orang itu keluar sambil membawa obor. Bi Lian lalu mempergunakan kepandaiannya, dengan cepat seperti terbang ia menuruni bukit menuju ke padang rumput di mana orang-orang itu berkumpul dan nampak melihat sesuatu. Karena ia menuruni bukit itu seperti terbang, cepatnya, ia tiba di padang rumput itu pada saat orang-orang dusun itu baru saja meninggalkan tempat itu untuk menyerbu ke tempat peristirahatan Hay Hay.

   Sebagai seorang yang berpengalaman, sekali pandang saja kepada Siauw Lan yang menangis dihibur A-liong, dan melihat keadaan A-kiu yang telanjang bulat dan hampir putus lehernya, Bi Lian tahu apa yang telah terjadi. Dua orang gadis itu telah dijadikan korban seorang jai-hwa-cat, penjahat pemetik bunga atau tukang memperkosa wanita! Kemarahannya timbul dan ia pun tahu bahwa jelas pelakunya tentulah pemuda tampan perayu wanita yang mata keranjang itu! Cepat ia pun lari dari situ tanpa diketahui Siauw Lan ataupun A-liong, dan pada saat semua penduduk sedang terkejut melihat betapa senjata mereka tidak mempan terhadap Hay Hay, Bi Lian muncul dan memaki Hay Hay. Hay Hay mengerutkan alisnya. Gadis galak ini begitu muncul memakinya sebagai seorang penjahat pemetik bunga, sungguh keterlaluan!

   "Nanti dulu!"

   Bantahnya.

   "Aku tidak pernah melakukan perbuatan terkutuk seperti yang kalian tuduhkan itu!"

   "Jangan percaya, laki-laki perayu bermulut manis mana bisa dipercaya omongannya? Biar aku yang akan menghajar dan menangkapnya untuk kalian!"

   Berkata demikian, Bi Lian sudah menerjang maju. Gadis ini tadi melihat betapa semua senjata mental dari tubuh Hay Hay. Tadi ia terkejut bukan main, juga terheran-heran, merasa kecele dan mukanya berubah merah. Kiranya pemuda ini memiliki kepandaian tinggi. Jadi sikapnya yang pura-pura tolol di kuil itu hanya main-main saja dan ia merasa dipermainkan. Maka, begitu menerjang, ia telah mengirim tamparan dengan tangan kiri ke arah kepala Hay Hay,

   Sebuah serangan pancingan karena tangan kanannya, dengan cepat sekali mengirim serangan susulan menotok ke arah pundak pemuda itu untuk merobohkannya! Melihat datangnya serangan gadis itu, walaupun hanya dengan tangan kosong, Hay Hay terkejut bukan main. Dia mengenal serangan ampuh, mengenal tangan ampuh yang memiliki tenaga sinkang yang amat hebat. Dan Pukulan-Pukulan itu sendiri amat ganas. Tamparan ke arah kepalanya itu mengandung hawa Pukulan yang panas dan kalau mengenai sasaran tentu akan menewaskannya dan tangan kanan gadis itu membayangi gerakan tangan kiri, sukar diduga akan menyerang ke mana sebagai susulan! Dia tahu bahwa tamparan tangan kiri itu hanya gertakan, namun gertakan berbahaya karena merupakan Pukulan maut, dan yang lebih berbahaya lagi adalah tangan kanan gadis itu yang siap mengirim serangan susulan.

   "Plakk!"

   Hay Hay mengangkat tangan kanan menangkis tamparan sambil mengerahkan tenaga sinkang pula, sedangkan matanya waspada mengikuti gerakan tangan kanan Bi Lian. Ketika tangan itu menotok ke arah pundaknya, untuk merobohkannya, dia pun cepat meloncat ke belakang sambil menangkis dengan tangan kirinya.

   "Dukkkk!"

   Dua kali kedua tangan mereka saling bertemu dan keduanya diam-diam terkejut, maklum akan kekuatan masing-masing. Karena serangannya dapat dihindarkan lawan, Bi Lian menjadi semakin penasaran.

   "Jai-hwa-cat memiliki juga sedikit kepandaian!"

   Katanya penuh ejekan dan kini ia menyerang lagi, akan tetapi sekali ini ia tidak main-main dan serangannya demikian kuat dan cepatnya,

   Bertubi-tubi dengan gerakan yang aneh dan ganas sekali sehingga Hay Hay terpaksa berloncatan mundur dan terdesak hebat! Ketika serangannya yang bertubi-tubi itu tidak pernah mengenai sasaran, Bi Lian menjadi semakin sengit. Ia maklum bahwa lawannya ini benar-benar pandai maka berubahlah niatnya. Kalau tadi ia hanya ingin menangkapnya untuk diserahkan kepada para penduduk yang akan menghukumnya, kini melihat kelihaian lawan, ia bermaksud untuk merobohkannya, hidup atau mati! Perubahan ini tentu saja mengubah pula gerakannya yang menjadi semakin kuat dan setiap Pukulan merupakan serangan maut! Ketika gadis itu menggosok kedua tangannya, saling menggosok telapak tangan, nampak asap mengepul dari kedua telapak tangannya, dan serangan-serangannya kini mengandung hawa yang panas sekali.

   "Ehhh..!"

   Hay Hay berkali-kali berseru kaget dan dia terpaksa selain mengelak juga melakukan tangkisan-tangkisan disertai pengerahan tenaga sinkangnya. Setiap kali lengannya bertemu dengan lengan gadis itu, dia merasa betapa kulit lengan itu kuat dan mengandung hawa panas! Kalau saja sinkangnya tidak kuat untuk melindungi kulitnya, tentu kulit tangannya akan terluka hangus bersentuhan dengan lengan gadis itu.

   Para penduduk yang melihat munculnya seorang gadis gagah perkasa yang menyerang pemuda mata keranjang itu kalang-kabut, tidak tinggal diam. Mereka berbesar hati melihat ada seorang gadis yang agaknya lihai sekali dan dapat mengjmbangi kelihaian penjahat itu, maka mereka pun kini mulai bergerak mengurung dan setiap kali ada kesempatan, mereka menggerakkan senjata mereka untuk menyerang. Hay Hay menghadapi pengeroyokan! Baginya orang-orang dusun itu lebih berbahaya daripada Si Gadis lihal! Soalnya, kalau gadis itu dapat ia hadapi dengan sinkang dan ilmu silat, sebaliknya dia harus berhati-hati sekali kalau menangkis serangan orang-orang dusun, karena kalau dia kesalahan tangan dan terlalu kuat mempergunakan sinkang, ada bahayanya dia akan benar-benar menjadi pembunuh!

   Terpaksa Hay Hay lalu memainkan satu di antara ilmunya yang hebat, yaitu Jiauw-pouw-poan-soan, ilmu langkah kaki berputaran yang membuat tubuhnya dapat menghindarkan semua serangan, termasuk Pukulan-Pukulan yang dilancarkan oleh gadis itu. Ilmu Ini merupakan satu di antara ilmu pemberian See-thian Lama. Diam-diam Bi Lian kagum bukan main. Baru sekali ini semenjak meninggalkan perguruan ia bertemu dengan lawan yang dapat menghindarkan semua serangannya, padahal sudah lebih dari dua puluh jurus ia menyerang tanpa pemuda itu membalas satu kalipun, bahkan! disampingnya masih ada orang-orang dusun yang mengeroyok, walaupun bantuan mereka itu sama sekali tidak menguntungkannya, bahkan mengganggu gerakannya saja. Tiba-tiba terdengar jeritan wanita.

   "Berhenti..."

   Ahhhh, jangan keroyok dia! Dia tidak bersalah... jangan keroyok dia..!"

   Semua orang terkejut, menghentikan serangan mereka, bahkan Bi Lian juga meloncat ke belakang dan memutar tubuh memandang. Yang berteriak itu adalah Siauw Lan yang digandeng oleh A-liong.

   "Apa maksudmu, Siauw Lan?"

   Bentak kepala dusun kepada keponakannya.

   "Paman, bukan dia yang memperkosa aku dan membunuh A-kiu! Dia tidak bersalah..."

   Hay Hay membelalakkan matanya memandang kepada Siauw Lan.

   "Nona, engkau diperkosa dan temanmu itu dibunuh orang..??"

   Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Siauw Lan menangis, memandang kepada Hay Hay dan mengangguk-angguk.

   "Hay-ko...ahh...Hay-ko..!"

   A-liong mengeluarkan benda yang diterimanya dari Siauw Lan tadi dan berkata, lantang,

   "Kawan-kawan, kita memang telah salah sangka. Penjahat itu adalah seorang yang lebih tua dan dia meninggalkan tanda ini!"

   Tiba-tiba Bi Lian menggerakkan tubuhnya dan tahu-tahu benda yang dipegang oleh A-liong itu telah pindah ke tangannya. A-liong terkejut dan terbelalak. Bi Lian mengamati benda itu dan mengangguk-angguk.

   "Hemm... Ang-hong-cu (Si Tawon Merah)..."

   Aku pernah mendengar namanya. Seorang jai-hwa-cat yang keji!"

   Ia mengembalikan benda itu kepada A-liong, kemudian memandang kepada Hay Hay. Sejenak pandang mereka bertemu dan Bi Lian merasa kikuk sekali. Ia memutar tubuh menghadapi kepala dusun dan berkata.

   "Kita telah salah sangka. Aku akan mencari penjahat itu!"

   Setelah berkata demikian, sekali berkelebat, gadis itu lenyap dari situ, membuat orang-orang dusun itu terkejut dan melongo. Hanya siluman saja yang dapat menghilang seperti itu, pikir mereka.

   "Bagaimana sekarang? Apakah Cuwi masih menuduh aku yang melakukan perbuatan terkutuk itu?"

   Hay Hay bertanya sambil tersenyum. Dia tidak marah kepada orang-orang dusun ini. Dia marah kepada si jai-hwa-cat. Gadis bertahi lalat ini diperkosanya! Dan gadis hitam manis itu malah dibunuhnya. Si Kepala Dusun menjura ke arah Hay Hay.

   "Maafkan kami. Kami salah sangka terhadap Kongcu "

   "Sudahlah, kalau aku boleh pergi, sekarang juga aku akan mencoba untuk mengejar dan mencari keparat itu."

   Kemudian dia memandang kepada Siauw Lan dan berkata.

   "Adik manis, nasibmu memang buruk sekali. Akan tetapi peristiwa itu telah lalu dan aku melihat ada orang yang mencintamu dan tentu mau melindungimu. Kalau aku berhasil menemukan penjahat Ang-hong-cu itu, tentu akan kuhajar dia, kubalaskan sakit hatimu."

   

Asmara Berdarah Eps 9 Harta Karun Jenghis Khan Eps 3 Asmara Berdarah Eps 2

Cari Blog Ini