Pendekar Mata Keranjang 13
Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Bagian 13
Suara itu demikian memelas dan penuh permohonan sehingga Hay Hay merasa tidak tega. Apa salahnya memenuhi keinginan itu? Dia lalu merangkulkan kedua lengannya dan memeluk tubuh Sun Bi. Wanita itu mengerang dan makin merapatkan dirinya, kini bahkan duduk di atas pangkuan Hay Hay sambil merangkul pinggang pemuda itu dan membiarkan diri tenggelam dalam rangkulan Hay Hay. Pemuda itu sebaliknya merasa kepanasan dan mulai bingung. Degup jantungnya terdengar jelas di telinganya sendiri dan dia merasa malu kalau-kalau Sun Bi akan mendengarnya pula.
Tentu saja Sun Bi mendengarnya! Telinga wanita itu menempel di dadanya, dan diam-diam wanita itu tersenyum puas. Suara degup jantung pemuda ganteng itu seolah-olah menjadi sorak kemenangan baginya, atau sorak pertanda bahwa kemenangan sudah berada di ambang pintu! Ia harus pandai bersikap untuk menuntun pemuda ini memenuhi segala kehendaknya, memuaskan segala gairah dan hasratnya yang timbul. Hay Hay yang betapa lihai pun hanyalah seorang pemuda yang masih hijau dalam hal hubungan dengan wanita, walaupun dia terkenal mata keranjang dan perayu wanita, kini berhadapan dengan seorang wanita yang sudah matang, tentu saja dia tidak tahu bahwa dialah yang kini menjadi permainan. Wanita itu bukan sembarang orang. Selain cantik manis, ia pun memiliki ilmu silat yang amat hebat dan merupakan seorang tokoh besar dalam dunia golongan hitam,
Terkenal pula sebagai seorang wanita cabul yang menjadi hamba nafsu berahi yang berkobar-kobar dan tak pernah mengenal puas. Entah sudah berapa banyak pria yang menjadi korbannya, menjadi korban permainannya atau pun menjadi mayat karena dibunuhnya karena pria itu tidak memuaskan hatinya atau berani menolaknya! Demikian jahat dan palsunya sampai ia diberi julukan Tok-sim Mo-li (lblis Betina Berhati Racun). Namanya memang Ji Sun Bi dan usianya sudah tiga puluh tahun. Karena pandainya merawat diri dan bersolek, maka ia selalu nampak jauh lebih muda daripada usia yang sebenarnya. Ketika ia menceritakan riwayatnya kepada Hay Hay, memang ada beberapa hal yang benar. Ia memang seorang janda dan suaminya memang telah mati. Akan tetapi suaminya itu mati karena dibunuhnya!
Juga kedua mertuanya dibunuhnya! Padahal, baru tiga bulan saja ia menikah dengan suaminya itu. Tok-sim Mo-li Ji Sun Bi ini adalah murid tunggal dari Min-san Mo-ko (Iblis Gunung Min-san) yang usianya kini sudah enam puluh tahun. sejak masih kecil Ji Sun Bi yang sudah yatim piatu menjadi murid Min-san Mo-ko dan setelah ia menjadi dewasa, ia pun menjadi kekasih Min-san Mo-ko! Akan tetapi, guru yang mengambil murid menjadi kekasih ini memberi kebebasan kepada Sun Bi untuk bermain cinta dengan pria yang disukainya, di mana saja dan kapan saja! Bahkan gurunya ini mempunyai kesukaan yang aneh dan tidak patut. Dia suka mengintai kalau murid yang juga menjadi kekasihnya ini bermain cinta dengan orang lain! Dan Sun Bi tahu bahwa gurunya mengintai, akan tetapi ia pun malah senang kalau ditonton gurunya.
Demikian bejat sudah ahlak kedua orang guru dan murid yang sebenarnya tak pernah berpisah ini sehingga mereka berdua terkenal sebagai sepasang iblis yang ditakuti, terutama di sepanjang sungai Min-kiang di Pegunungan Min-san. Ketika Sun Bi menikah dengan pria yang membuatnya tergila-gila, Min-san Mo-ko tidak keberatan, bahkan dia yang bertindak sebagai "wali". Akan tetapi, hubungan di antara mereka masih saja dilanjutkan. Pada suatu hari, setelah menikah tiga bulan, suaminya menangkap basah hubungan antara isterinya dengan kakek itu. suaminya marah, akan tetapi Sun Bi yang sudah mulai bosan dengan suaminya, lalu turun tangan membunuhnya. Juga ayah dan ibu mertuanya dibunuhnya, kemudian ia melanjutkan permainan cintanya dengan Min-san Mo-ko di dalam ruangan di mana menggeletak mayat-mayat suaminya dan kedua mertuanya!
Pada suatu hari, kebetulan saja Sun Bi melihat Hay Hay yang sedang memancing ikan. Segera ia tertarik sekali karena Hay Hay memang memiliki banyak daya tarik yang kuat bagi wanita. Maka ia lalu mendekati Hay Hay, menggunakan kepandaiannya untuk bermain sandiwara. Hay Hay yang masih hijau itu tentu saja tidak menduga akan hal itu dan dia pun terkecoh, melayani wanita yang sebenarnya kehausan dan tak pernah puas dengan pria itu.
"Betapa rinduku selama bertahun-tahun ini kepada suamiku yang telah tiada..., siang malam aku merindukan pelukannya dan kini engkau mau memelukku seperti yang dilakukan suamiku dahulu.. ah, terima kasih, Hay Hay, terima kasih.."
Hay Hay merasa terharu sekali akan tetapi juga girang bahwa sedikitnya dia dapat menghibur wanita yang sengsara ini. Dan dia pun bukan asing dalam pergaulan dengan wanita. Bahkan sudah seringkali dia berdekatan dengan wanita, berpacaran. Walaupun belum pernah dia melakukan hubungan yang lebih mendalam. Karena itu, merangkul dan memeluk tubuh wanita yang hangat itu pun tidak membuat dia kehilangan keseimbangannya. Akan tetapi, seperti tidak disengaja, kedua tangannya yang merangkul itu ditangkap oleh kedua tangan Sun Bi dan wanita itu mengeluh.
"Hay Hay... peluklah aku, belailah aku seperti dahulu suamiku membelaiku... ciumlah aku..."
Sun Bi seperti menuntun Hay Hay yang nemenuhi semua permintaannya. Hay Hay membelai dan menciumnya. Ketika mendapat kenyataan bahwa pemuda ini agak canggung menurut ukuran ia yang sudah berpengalaman, Sun Bi lalu balas mencium, dan mengajarnya cara bermain asmara yang amat asing bagi Hay Hay, yang dianggap terlampau berani! Kalau tadinya Ji Sun Bi berusaha menggoda dan membangkitkan gairah pada pemuda itu, akibatnya malah ia sendiri yang kebakaran! Wanita itu sendiri yang kini dicengkeram berahi sampai ke puncaknya dan tubuhnya sudah panas dingin, gemetaran ketika ia berbisik.
"Hay Hay... belum... belum pernahkah engkau dengan wanita..?"
Menghadapi permainan asmara yang amat berani dan merangsang dari Sun Bi, betapapun juga. Hay Hay merasa betapa seluruh tubuhnya panas dan gemetar. Dia memandang wanita itu dan menggeleng kepala, tidak menjawab karena dia tahu bahwa suaranya tentu terdengar aneh dan menggetar. Melihat ini, nafsu berahi semakin kuat mencengkeram pikiran Ji Sun Bi. Bagaikan seekor kuda binal yang lepas kendali, ia menarik tangan Hay Hay untuk rebah di atas rumput. Akan tetapi tiba-tiba Hay Hay melepaskan diri dari pelukan dan melangkah mundur setelah dia tadi bangkit. Dia hanya menggeleng kepala sambil mengerutkan alis. Sun Bi yang sudah kebakaran itu cepat meloncat berdiri dan menyambar tangan Hay Hay.
"Hay Hay, kenapa? Marilah... aku... aku cinta padamu, Hay Hay, aku membutuhkan dirimu, aku..."
"Tidak, Sun Bi. Semua ada batasnya dan aku tidak mau melanggar batas itu. Aku belum siap untuk yang satu itu dan aku tidak mau melakukannya."
"Hay Hay...!"
Sun Bi yang sudah mata gelap itu menarik, akan tetapi Hay Hay mempertahankan, bahkan lalu merenggutkan tangannya terlepas dari pegangan Sun Bi.
"Hay Hay, kasihanilah aku... aku kesepian.. aku..."
"Tidak, Sun Bi. sadarlah, tenanglah! Engkau harus dapat menguasai dirimu. Aku mau menghiburmu, akan tetapi untuk yang satu itu, maaf, aku tidak mau melakukannya!"
Katanya tegas.
Dia memang suka kepada wanita, suka berdekatan, suka bercumbuan, dan harus diakuinya bahwa bangkit pula gairahnya yang amat besar. Namun, dia tahu bahwa harus ada batasnya dan dia tidak boleh melanggar batas itu sembarangan saja. Dia hanya akan mau melakukan hal itu dengan wanita yang dicintanya, tidak dengan sembarang wanita, apalagi Ji Sun Bi yang janda muda dan baru saja dikenalnya. Tiba-tiba terjadi perubahan pada wajah Ji Sun Bi. Wajah yang tadinya agak pucat dan pandang matanya sayu merayu itu, kini berubah kemerahan dan pandang matanya berubah sama sekali, menjadi berkilat. Mata yang tadinya memandang kepadanya dengan setengah terpejam, basah dan sayu, kini mencorong dan melotot. Mulut yang tadinya tersenyum manis, agak terengah dan menciuminya, juga diciuminya, kini ditarik keras dan terdengar suaranya membentak keras,
"Hay Hay, sekali lagi. Benar engkau tidak memenuhi kehendak hatiku, memuaskan hasrat cintaku?"
Hay Hay terkejut melihat perubahan itu dan baru sekarang dia melihat kekejaman membayang pada sinar mata dan mulut itu. Dia hanya menggeleng kepala, merasa heran terkejut dan juga penasaran. Belum pernah dia bertemu dengan wanita senekat ini.
"Keparat jahanam! Apakah engkau lebih senang mampus?"
Wanita itu, dengan mulutnya yang manis, hangat dan bergairah, kini memaki dengan kata-kata yang penuh kebencian.
"Sun Bi, ingatlah. Kita bersahabat, bukan? Kita baru saja bertemu, dan kita telah menjadi teman "
"Cukup! Untuk yang terakhir, mau tidak engkau melayani aku?"
Hay Hay mengerti apa yang dimaksudkan dan dengan sikap tegas dia menggeleng kepala.
"Mampuslah!"
Tiba-tiba saja wanita itu sudah menerjang dengan Pukulan tangan miring ke arah lehernya.
Pukulan maut! Wanita ini jelas bermaksud membunuhnya sebagai pelampiasan kemarahan dan kekecewaan hatinya. Keganasan dan kekejamannya ini mengejutkan Hay Hay, walaupun serangan itu sendiri tidak mengejutkannya karena dia memang sudah bersikap waspada sejak tadi. Dengan mudah saja dia mengelak ke kiri, membiarkan Pukulan itu lewat tanpa membalas. Kini Jin Sun Bi yang merasa terkejut sendiri. Ia tadi sudah merasa yakin bahwa dengan sekali Pukulan saja, pria yang mengecewakan hatinya itu tentu akan roboh dan tewas. Pukulannya tadi selain keras bertenaga, juga dilakukan dengan kecepatan kilat. Akan tetapi, siapa kira bahwa pemuda yang kelihatannya lemah ini mampu mengelak dan menghindarkan diri dari Pukulan pertamanya. Ia masih merasa penasaran dan mengira bahwa hal itu hanya kebetulan saja.
"Heiiiittt...!"
Serangan berikutnya menyusul dan sekali ini, kedua tangannya mencengkeram dari kanan kiri, disusul tendangan kakinya.
"Wuuuttt... dukkk!"
Tubuh Ji Sun Bi hampir terpelanting ketika tendangannya ditangkis Hay Hay setelah kedua cengkeramannya mengenai angin saja. Barulah wanita itu sadar bahwa pemuda itu ternyata tidaklah selemah yang disangkanya.
"Keparat, kiranya engkau dapat bersilat? Nah, kau sambutlah ini!"
Dan kini Ji Sun Bi menyerang seperti datangnya gelombang lautan yang ganas sekali, menghujankan serangan bertubi-tubi dengan gencar sekali dan setiap Pukulan mengandung tenaga sin-kang yang akan dapat menewaskan seorang lawan tangguh!
Hay Hay maklum bahwa dia tidak boleh main-main lagi. Bagaimanapun juga, wanita ini ternyata memiliki ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi daripada yang diduganya semula. Hal ini dapat diukurnya dari pertemuan tangan ketika dia menangkis tadi, juga dari kecepatan gerakannya. Maka, dia pun tidak mungkin tinggal diam dan hanya mengandalkan elakan dan tangkisan. Kalau hal ini terus dilakukan, dia dapat terancam bahaya. Apalagi karena dia maklum bahwa wanita ini jahat sekali, tentu inilah golongan wanita sesat yang pernah dia dengar diceritakan oleh Ciu-sian Sin-kai, gurunya yang ke dua. Menurut gurunya, dia harus berhati-hati menghadapi wanita-wanita cantik yang berwatak cabul, karena selain mereka itu lihai, juga licik dan pandai merayu.
"Hati-hati,"
Demikian antara lain gurunya berpesan.
"engkau memiliki kelemahan terhadap wanita, dan rayuan wanita cantik jauh lebih berbahaya dan sukar dielakkan daripada serangan yang bagaimanapun dahsyatnya."
Kini baru dia mengalaminya sendiri. Memang Sun Bi wanita hebat. Tadi hampir saja dia jatuh. Kepandaian wanita itu bercumbu rayu membuat dia hampir taluk. Untung dia masih dapat bertahan dan menghindar pada saat terakhir. Dan dalam pengalaman pertama ini, Hay Hay memperoleh pelajaran yang baik sekali, yaitu bahwa yang berat bukan mengelakkan diri dari cumbu rayu wanita cantik, melainkan mengalahkan nafsunya sendiri! Dalam hal ini, dia berhasil karena dia telah digembleng sejak kecil oleh dua orang sakti sehingga dia memiliki kekuatan batin yang cukup untuk menguasai nafsunya sendiri.
"Ah, kiranya engkau seorang wanita yang kejam sekali, Ji Sun Bi!"
Kata Hay Hay sambil menangkis sebuah Pukulan, lalu membalas dengan tamparan ke arah pundak wanita itu.
"Aihhh?..!"
Sun Bi melempar tubuh ke belakang karena nyaris pundaknya terkena tamparan yang datangnya demikian cepat, tidak terduga, juga kuat bukan main. Ia menjadi semakin terkejut dan penasaran. Kiranya pemuda ini bukan hanya dapat bersilat, bahkan memiliki kepandaian yang tinggi! Gairah cintanya bangkit kembali, akan tetapi segera hatinya kecewa teringat betapa pemuda yang tampan, menarik hati ini menolaknya mentah-mentah. Ah, alangkah senangnya kalau dia dapat memiliki seorang kekasih seperti ini, selain tampan dan romantis, juga dapat menjadi kawan yang amat kuat untuk menghadapi musuh. Ia merasa kecewa sekali dan kekecewaan ini menimbulkan kebencian.
"Jahanam keparat, engkau harus mampus di tanganku!"
Bentaknya dan begitu kedua tangannya bergerak menyambar buntalannya yang panjang, ia telah mencabut keluar sepasang pedang yang berkilauan saking tajamnya. Kini, ia menerjang dengan sepasang pedangnya, demikian cepat dan kuat gerakannya sehingga yang nampak hanya dua gulungan sinar pedang yang mengeluarkan suara berdesing-desing! Diam-diam Hay Hay terkejut dan kagum. Wanita ini benar-benar lihai sekali, walaupun belum tentu selihai Bi Lian, akan tetapi juga amat berbahaya dan sudah mencapai tingkat yang tinggi. Dia masih bersikap tenang dan menghadapi serangan sepasang periang itu dengan tangan kosong saja.
Dengan Jiauw-pouw-poan-soan, yaitu langkah ajaib yang dipelajarinya dari See-thian Lama, tubuhnya dapat berputar-putaran secara tenang dan aneh sekali, semua sambaran pedang-pedang di kedua tangan lawan itu tidak pernah dapat menyentuhnya. Ilmu ini memang hebat, merupakan sebuah di antara ilmu-ilmu yang aneh dan tinggi dari See-thian Lama, seorang di antara Delapan Dewa itu. Bahkan dari dalam lingkaran yang dibuat oleh gerakan kedua kakinya yang melakukan langkah-langkah berputaran, dia dapat membalas dengan serangan-serangan pembalasan. Setiap kali tangannya mencuat keluar dari lingkaran dan mengirim tamparan, tentu lawannya berteriak kaget dan terpaksa menyelamatkan diri dengan pelemparan tubuh ke belakang. Pada saat itu, tiba-tiba terdengar bentakan orang, suaranya tinggi kecil melengking, menyakitkan anak telinga,
"Heiii, siapa berani kurang ajar terhadap muridku?"
Hay Hay cepat melangkah ke belakang dan memandang. Kiranya yang muncul adalah seorang laki-laki berusia kurang lebih enam puluh tahun. Orang ini bertubuh kurus dan bermuka pucat seperti orang berpenyakitan. Akan tetapi pakaiannya mewah dan pesolek, sedangkan sebatang pedang tergantung di punggungnya. Kakek ini demikian pesolek sehingga menggelikan karena dia memakai penghitam alis dan pemerah bibir! Sementara itu, melihat munculnya kakek ini, Ji Sun Bi cepat berkata dengan sikap dan suara yang manja sekali.
"Suhu... ah, suhu, bantulah aku menghukum laki-laki ini. Dia telah berani menolak untuk melayaniku bermain cinta!"
"Apa...?? Wah, itu penghinaan namanya. Tidak ada laki-laki di dunia ini, kecuali aku, cukup berharga untuk bercinta dengan Sun Bi, dan dia berani menolakmu? Wah, dia harus mampus!"
Kakek itu mencabut pedangnya dan kini bersama Ji Sun Bi, dia menerjang dan mengeroyok Hay Hay. Pemuda ini terkejut melihat kehebatan dan kekuatan dalam serangan kakek itu, maka cepat dia meloncat ke belakang untuk menghindarkan serangan mereka. Dia merasa tidak perlu lagi bicara dengan kakek itu. Dari percakapan mereka saja dia sudah tahu bahwa guru dan murid itu adalah manusia-manusia iblis, orang-orang sesat yang mungkin merupakan tokoh-tokoh golongan hitam yang tidak dikenalnya. Percuma bicara dengan orang-orang seperti mereka, pikirnya, maka sambil melompat tadi, dia melihat-lihat untuk mencari buntalan pakaiannya. Buntalan itu masih di tempat tadi, di dekat bekas api unggun di tepi sungai.
Maka cepat dia melompat ke sana, menyambar buntalan pakaiannya dan mencabut keluar sebatang suling terbuat dari kayu hitam. Suling seperti milik Ciu-sian Sin-kai, terbuat dari semacam kayu pohon yang hanya tumbuh di Pulau Hiu, kayunya ulet sekali dan suling kayu sepanjang tiga kaki itu selain dapat ditiup seperti suling biasa, juga merupakan senjata yang ampuh, senjata khas dari Ciu-sian Sin-kai! Dengan suling kayu hitam di tangan, dan buntalan diikat di punggung. Hay Hay kini menghadapi dua orang pengeroyoknya. Guru dan murid itu kini mengepung dari kanan kiri dan begitu kakek itu mengeluarkan pekik melengking yang menggetarkan jantung, dia dan muridnya sudah menerjang dari kanan kiri dengan cepat dan kuat, dengan serangan maut karena memang mereka menyerang untuk membunuh.
"Cring?..! Tranggg!!"
Bunga api berpijar di kanan kiri Hay Hay. Kakek itu berseru kaget dan pedangnya terpental, sedangkan Sun Bi terhuyung oleh tangkisan itu.
Guru dan murid itu semakin terkejut. Kiranya pemuda itu benar-benar hebat, pikir mereka dengan penasaran dan kini mereka menyerang dengan lebih hebat pula. Akan tetapi Hay Hay sudah siap siaga. Dengan langkah-langkah Jiauw-pouw-poan-soan yang dipelajarinya dari See-thian Lama dia dapat menghindarkan diri dari kepungan lawan, dan suling hitamnya menciptakan gulungan sinar hitam yang mengeluarkan bunyi berdengung-dengung, dengan gerakan aneh namun mantap dan kuat sekali. Biarpun guru dan murid itu memiliki ilmu pedang yang ganas, liar dah lihai, namun sebagai murid dari dua orang kakek sakti yang menjadi dua orang di antara Delapan Dewa, tingkat ilmu kepandaian Hay Hay lebih tinggi sehingga setelah mereka berkelahi selama lima puluh jurus lebih, guru dan murid itu mulai mendesak.
"Haiiiittt...!"
Sun Bi menubruk dengan nekat, menggunakan pedangnya untuk membacok kepala Hay
Hay, sedangkan tangan kirinya mencengkeram ke arah dada, tubuhnya meloncat seperti seekor harimau menubruk. Hay Hay mulai merasa muak dengan kekejaman guru dan murid itu ini. Dia menangkis pedang, mengelak dari cengkeraman tangan kiri wanita itu dan kakinya menendang.
"Desss..."
Tubuh Sun Bi terlempar sampai tiga meter dan terbanting ke atas tanah. Untung baginya bahwa Hay Hay tidak bermaksud membunuhnya, sehingga tendangan itu mengandung tenaga yang terbatas saja. Melihat muridnya roboh, kakek itu tidak jadi menyerang Hay Hay melainkan cepat menghampiri muridnya yang merintih kesakitan. Dengan sikap amat menyayang, kakek itu bertanya.
"Di mana yang sakit, Sun Bi? Apanya yang sakit?"
"Aduh, Suhu... lengan kiriku... terbanting, nyeri sekali...,"
Kata wanita itu sambil merintih-rintih. Kakek itu cepat mengurut lengan kiri, menyingsingkan lengan bajunya. Setelah mengurut lengan itu, dia lalu menundukkan mukanya dan menciumi lengan yang nampak membiru itu.
"Sudah, nanti sebentar tentu sembuh."
Hay Hay berdiri bengong. Kalau dia mau, tentu saja dengan muda dia akan menyerang dan merobohkan mereka. Akan tetapi dia terlampau heran melihat apa yang terjadi antara guru dan murid itu. Gilakah kakek itu? Murid itu demikian manja kekanak-kanakan, dan gurunya juga demikian menyayang, menciumi lengan yang terbanting, sikapnya seperti seorang yang mencumbu pacarnya saja! Dia menggeleng-geleng kepala, menyelipkan suling di buntalan pakaiannya, kemudian menggerakkan kedua pundak dan memutar tubuh untuk meninggalkan guru dan murid itu. Muak dia melihat tingkah mereka.
"Heiii! Berhenti dulu kau, keparat!"
Bentakan dengan suara melengking tinggi ini membuat Hay Hay menahan kakinya dan dengan alis berkerut dan hati marah dia membalikkan tubuh menghadapi kakek yang membentaknya itu. Kakek itu masih berjongkok dekat muridnya, akan tetapi kini sudah menghadapi Hay Hay, sepasang matanya mencorong dan kedua tangannya menepuk-nepuk tanah secara aneh sekali, kemudian kedua tangan itu diangkat dengan telapak tangan menghadap ke arah Hay Hay dan terdengarlah suara kecil melengking aneh.
"Majulah engkau ke sini!"
Tentu saja Hay Hay tidak sudi mentaati perintah itu, akan tetapi tiba-tiba saja kedua kakinya melangkah ke depan! Tak dapat ditahannya lagi, seolah-olah kedua kaki itu sudah bukan miliknya lagi, tidak menurut lagi terhadap kehendak dan perintahnya. Terkejutlah dia dan maklumlah Hay Hay bahwa ini tentulah kekuatan sihir yang aneh! Dia mengerahkan kekuatan batinnya dan tiba-tiba ke dua kakinya terhenti melangkah. Akan tetapi kakek itu menggerak-gerakkan kedua tangannya dengan aneh, sepasang matanya semakin tajam mencorong seperti mata kucing dan suaranya semakin tinggi melengking,
"Berlututlah engkau!"
Kembali Hay Hay ingin menolak, akan tetapi tiba-tiba kedua kakinya sudah bertekuk lutut!
"Jangan mencoba bergerak, engkau tidak mampu bergerak dan tidak akan bergerak sebelum kuperintahkan!"
Hay Hay membantah dalam hatinya, memaksa diri untuk meronta dan bangkit berdiri, akan tetapi seluruh tubuhnya sudah mogok! Dia tetap dalam keadaan berlutut dan tidak mampu bergerak seperti sebuah arca dan matanya seperti melekat pada sepasang mata yang mencorong kehijauan itu! Melihat ini, tiba-tiba Sun Bi bangkit berdiri.
"Suhu... Suhu... jangan bunuh dia dulu. Biarkan dia melayani aku dulu, baru dibunuh. Suhu suruh dia melayani aku!"
Berkata demikian, wanita itu mulai meraba-raba kancing bajunya!
"Heh-heh-heh, bagus sekali!"
Kakek itu tertawa, lalu terdengar lagi suaranya yang melengking tinggi
penuh wibawa.
"Orang muda, engkau harus melayani Ji Sun Bi. Hayo kau buka bajumu!"
Hay Hay masih berada dalam keadaan sadar dan dia terbelalak.
Mau apa perempuan itu? Mau memperkosanya dan di depan gurunya sendiri? Gilakah perempuan itu? Gilakah kakek itu? Ataukah dia yang sudah gila? Pikirannya menjadi semakin kacau ketika dia melihat betapa kedua tangannya sendiri mulai membuka kancing bajunya, seperti yang dilakukan oleh Sun Bi yang kini tersenyum-senyum menyeramkan baginya! Dia berusaha melawan, namun semakin dilawan, kedua tangannya bekerja semakin cepat seperti terdorong oleh tenaga yang tidak nampak atau seolah-olah kedua tangannya telah menjadi tangan-tangan orang lain yang membukakan kancing bajunya! Pada saat Hay Hay berperang dengan tenaga aneh yang hendak menelanjanginya itu, tiba-tiba ada angin lembut bertiup dan terdengarlah suara yang halus lunak dibawa angin yang bersilir lembut.
"Min-san Mo-ko dan Tok-sim Mo-li, kejahatan takkan membawa kalian ke alam kebahagiaan...!"
Ketika terdengar suara itu, dan merasakan angin semilir meniup mukanya, tiba-tiba Hay Hay merasa kesadarannya pulih kembali, kedua tangannya menurut perintahnya dan berhenti dengan kegiatan mereka yang sama sekali tidak dikehendakinya. Ketika dia memandang, dia bergidik melihat betapa baju atasnya telah tanggal, sedangkan kedua tangannya tadi mulai membuka celananya. Terlambat sedikit saja tentu dia sudah bertelanjang bulat! Cepat dia mengenakan kembali bajunya dan meloncat berdiri, memandang kepada seorang kakek berambut putih yang tiba-tiba muncul di situ.
"Keparat!"
Min-san Mo-ko membentak marah dengan mata melotot.
"Berani kau mencampuri urusanku? Aku akan membunuhmu!"
Berkata demikian, Min-san Mo-ko mengangkat pedangnya dan menerjang ke depan. Akan tetapi tiba-tiba tubuhnya tersentak ke belakang, seperti tertolak oleh kekuatan yang hebat, dan betapapun dia berusaha untuk maju, kedua kakinya tetap saja tertumbuk sesuatu dan tidak dapat maju, tidak dapat mendekati kakek yang rambut dan jenggotnya sudah putih semua itu.
"Setan, lihat kekuatanku!"
Min-san Mo-ko berseru dan dia menghentakkan kakinya di atas tanah beberapa kali, mulutnya berkemak-kemik. Hay Hay hanya menonton saja karena merasa tidak mampu menghadapi ilmu-ilmu sihir yang aneh itu. Tiba-tiba Min-san Mo-ko menggerakkan tangannya dan angin yang keras sekali menyambar ke arahnya, ke arah kakek berambut putih. Rambut dan pakaian kakek itu sampai melambai-lambai dan angin itu mengeluarkan suara menderu-deru. Akan tetapi di tengah badai yang mengamuk itu, terdengar suara yang lunak dan lembut seperti tadi,
"Min-san Mo-ko, perbuatan jahat hanya akan menimpa diri sendiri, bukan orang lain."
Aneh sekali, angin itu kini berputaran di sekeliling kakek berambut putih, dan setelah berputaran beberapa kali, angin itu membalik dan menerjang Min-san Mo-ko dengan kekuatan yang berlipat ganda. Hay Hay melihat betapa Min-san Mo-ko terjengkang dan bergulingan, sedangkan Ji Sun Bi berlindung di balik batu besar dan sedang memakai kembali pakaiannya karena perempuan ini tadi sudah hampir telanjang sama sekali. Min-san Mo-ko berteriak-teriak dengan suaranya yang melengking, lalu meloncat bangkit lagi. Kini dia mendorong dengan kedua telapak tangannya dan dari kedua telapak tangan itu kini mencuat sinar yang kemerahan, seperti api yang menyambar perlahan-lahan menuju ke arah kakek berambut putih.
"Siancai-siancai-siancai..!"
Kakek itu berkata halus, dan dia pun menjulurkan kedua tangan dengan telapak tangan menghadap keluar. Dari kedua telapak tangannya kini keluar sinar terang yang perlahan-lahan meluncur ke depan, menyambut sinar kemerahan yang keluar dari telapak tangan Min-san Mo-ko. Dua gulung sinar itu bertemu di antara mereka dan bertaut, akan tetapi Hay Hay melihat betapa perlahan akan tetapi pasti, sinar kemerahan dari Min-san Mo-ko terdorong mundur, terus mundur oleh sinar terang. Akan tetapi Hay Hay juga melihat betapa tubuh Ji Sun Bi berkelebat dan dengan sepasang pedangnya, wanita itu berindap-indap menghampiri kakek berambut putih dari belakang, siap untuk menusuk dari belakang dan agaknya kakek rambut putih itu tidak melihatnya. Melihat hal ini, Hay Hay meloncat dan membentak.
"Manusia curang!"
Dan kakinya sudah menendang.
"Desss...!"
Tubuh Ji Sun Bi terlempar dan terbanting keras. Akan tetapi sekali ini pun Hay Hay membatasi tenaganya sehingga wanita itu hanya terbanting saja dengan keras, tidak sampai menderita luka parah. Sementara itu, sinar merah telah kembali ke telapak tangan Min-san Mo-ko dan sinar terang pun kembali ke ta ngan kakek berambut putih.
"Pergilah kalian!"
Kakek berambut putih itu berseru perlahan dan tangan kirinya melambai seperti menyuruh mereka pergi dan guru bersama muridnya itu seperti mentaati perintah ini dan mereka berdua pun mengambil langkah seribu, melarikan diri dari tempat itu! Setelah kedua orang itu pergi dan tidak nampak lagi, tiba-tiba kakek berambut putih itu mengeluh dan tubuhnya terhuyung, lalu dia jatuh terduduk dan bersila di atas rumput. Hay Hay terkejut bukan main, cepat dia menghampiri dan berlutut di dekat kakek itu.
"Locianpwe kenapakah?"
Tanyanya, khawatir melihat betapa wajah kakek ini pucat sekali. Kakek itu membuka matanya, memandang kepada Hay Hay dan tersenyum, wajahnya ramah dan nampak kesabaran luar biasa membayang di seluruh bagian wajahnya.
"Orang muda yang gagah, jangan menyebut Locianpwe padaku, karena aku hanyalah seorang pertapa yang lemah. Bahkan kalau tidak ada engkau, tadi aku tentu sudah tewas di ujung pedang wanita itu."
"Akan tetapi... Locianpwe telah menyelamatkan saya dari... dari..."
Tiba-tiba wajah Hay Hay berubah merah karena dia teringat akan peristiwa yang amat memalukan tadi. Kakek itu mengangguk-angguk.
"Aku tahu, engkau akan mengalami penghinaan, kemudian mungkin sekali kematian. Guru dan murid itu memang jahat sekali dan mereka seperti bukan manusia lagi, tidak mengenal tata susila dan kesopanan lagi. Akan tetapi, aku hanya dapat mengusir mereka dengan kekuatan sihir. Kalau mereka menyerangku dengan ilmu silat, hemmm, aku sama sekali tidak pandai ilmu silat dan... ahhhhhh!"
Kakek itu memejamkan kedua matanya dan menggigit bibir, nampaknya menahan rasa nyeri yang hebat.
"Locianpwe... apakah Locianpwe terluka...?"
Hay Hay bertanya khawatir, masih belum dapat menerima bahwa kakek yang telah menyelamatkannya ini seorang pertapa lemah yang tidak pandai silat, hanya pandai dengan ilmu sihir saja. Kakek itu mengangguk.
"Aku memang sedang menderita sakit, akan tetapi bukan karena pertandingan tadi. Penggunaan sihir memaksa aku mengerahkan tenaga dan membuat penyakitku menjadi bertambah berat. Aahhh, orang muda, kalau tidak mendapatkan obatnya, agaknya paling lama dua puluh empat jam lagi aku akan terpaksa meninggalkan dunia yang keruh ini.."
Tentu saja Hay Hay menjadi prihatin sekali. Bagaimanapun juga, kakek ini adalah penolongnya!
"Locianpwe, apakah obat itu? Di mana mencarinya? Biarlah saya yang akan mencarikan untukmu."
Sepasang mata yang sayu itu kini menjadi terang dan wajah kakek itu berseri, jelas nampak harapan timbul dalam hatinya ketika dia memandang Hay Hay.
"Benarkah engkau mau menolongku, orang muda yang gagah?"
"Harap Locianpwe tidak meragukan kesanggupan saya. Apa artinya saya mempelajari ilmu kalau tidak untuk, menolong siapa saja yang terancam bahaya? Apalagi Locianpwe baru saja menyelamatkan saya. Katakanlah di mana saya dapat menemukan obat itu dan apakah macamnya obat itu."
"Ah, kalau saja kekuatan sihirku dapat menundukkan harimau seperti menundukkan manusia, tentu sudah lama dapat aku mencari sendiri obat itu. Obat yang akan dapat menyembuhkan penyakitku adalah otak seekor harimau dan di hutan yang nampak dari sini itu terdapat banyak harimau hitam yang kumaksudkan."
"Otak seekor harimau hitam? Di hutan itu? Baiklah, harap Locianpwe menunggu di sini sebentar, saya akan mencarikannya!"
Setelah berkata demikian, Hay Hay meloncat dan berlari cepat.
Kakek itu tertegun melihat betapa sekali berkelebat saja pemuda itu telah lenyap dari depannya. Seorang pemuda yang gagah perkasa dan memiliki ilmu silat tinggi, pikirnya. Sayang dia tidak mahir ilmu sihir sehingga tadi hampir saja menjadi korban kekuatan sihir Min-san Mo-ko! Kakek ini pun mengangguk- angguk karena dia tahu dengan cara apa dia akan membalas kalau pemuda itu benar-benar dapat mencarikan obat dan dapat menyembuhkan penyakit yang dideritanya selama ini. Dengan ilmu berlari cepat, sebentar saja Hay Hay tiba di tempat tujuan, memasuki hutan yang agak gelap karena di situ tumbuh pohon-pohon yang besar sekali, usianya sudah ratusan tahun dan amat lebat dan liar.
Dia segera mencari binatang yang dikehendaki kakek itu dan akhirnya, jauh di tengah hutan, dia melihat dua ekor harimau hitam yang sedang mendekam di bawah pohon besar. Harimau-harimau itu sebesar anak lembu, nampaknya tangkas dan cekatan, liar dengan mata kehijauan yang bersinar-sinar. Belum pernah Hay Hay berkelahi dengan harimau, maka berdebar juga jantungnya karena tegang ketika dia menghampiri dua ekor binatang buas itu. Dua ekor harimau itu segera dapat mencium bau manusia yang datang mendekat. Mereka bangkit dan menoleh. Ketika melihat Hay Hay muncul, mereka hanya mengeluarkan suara menggereng, memperlihatkan taring-taring yang runcing, akan tetapi tidak membuat gerakan menyerang. Hay Hay menenangkan hatinya dan dia pun mendekat, sikapnya hati-hati dan penuh kewaspadaan.
Dia dapat menduga bahwa dua ekor harimau itu tentu jantan dan betina, dan tahu bahwa kedua ekor binatang itu tentu akan menyerangnya berbareng Dia belum tahu sampai di mana kekuatan atau kecepatan dua ekor harimau itu, namun maklum bahwa mereka tentu berbahaya sekali. Maka dia pun waspada, dan sudah mempersiapkan suling kayu hitamnya. Dia harus dapat membunuh keduanya, karena melarikan diri dari seekor harimau tentu saja amat berbahaya. Dia pun berindap-indap mendekat, dan melihat betapa dua ekor harimau itu hanya mengikuti semua gerakannya dengan pandang mata mereka yang mencorong, Hay Hay mengerti bahwa dua ekor binatang itu berbahaya sekali dan agaknya cukup cerdik dan seperti juga dia, dua ekor harimau itu agaknya hendak mengukur kekuatannya dan mencari kesempatan baik.
"Hemmmmm...!"
Hay Hay menggereng dan kini dua ekor harimau itu memutar tubuh menghadapinya, menggereng-gereng dan makin lebar menyeringai dan memperlihatkan gigi mereka.
Melihat betapa mereka masih belum mau bergerak menyerang, hanya mengambil ancang-ancang dan agaknya mereka mengatur jarak karena kalau dia mendekat mereka mundur dan kalau dia mundur mereka maju, Hay Hay lalu menggunakan kakinya menendang sebatang kayu kering ke arah mereka untuk mengusik mereka. Pancingannya berhasil. Dua ekor harimau itu nampak marah, merendahkan tubuhnya, mencengkeram tanah dan tiba-tiba seekor di antara mereka mendahului penyerangan, menubruk dengan loncatan yang amat kuat dan cepat. Hay Hay yang sudah siap siaga, melihat tubrukan yang demikian kuat dan cepatnya, segera menghindarkan diri dengan meloncat ke kiri, akan tetapi tidak lupa untuk menyambut dengan tendangan kaki kanan ketika tubuh harimau itu meluncur lewat di sampingnya.
"Bukkk!"
Tendangan itu cukup keras, membuat tubuh harimau itu terpelanting dan terbanting. Binatang itu mengaum keras dengan marahnya dan kini harimau ke dua sudah menerjang dengan dahsyatnya, tidak menubruk seperti tadi, melainkan menerjang dengan penyerangan dua buah kaki depannya, tubuhnya berdiri di atas kedua kaki belakang. Akan tetapi Hay Hay sudah cepat meloncat lagi dengan elakan yang cepat. Pada saat itu, harimau jantan sebagai penyerang pertama, sudah meloncat dan menubruknya lagi dari belakang! Hay Hay maklum betapa hebatnya bahaya mengancam. Tak mungkin cengkeraman kuku-kuku sekuat baja dari kaki yang amat kokoh kuat itu dihadapi dengan kekebalan sinkang. Dia pun mengelak lagi. Ketika dia mengelak, kaki kiri depan binatang itu masih mencakar ke samping. Hay Hay mengayun suling kayu hitamnya, menangkis.
Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dukk!"
Kembali tubuh harimau itu terpelanting. Hay Hay tidak menyiakan kesempatan ini, cepat dia menerjang dengan tendangannya pula yang mengenai tubuh belakang harimau itu.
"Desss...!"
Harimau itu terlempar dan terbanting jatuh sampai bergulingan. Hal ini membuat harimau betina marah. Sambil mengeluarkan suara mengaum dahsyat, ia pun sudah menubruk dari samping. Pada saat itu, Hay Hay yang baru saja melakukan tendangan berada dalam posisi yang kurang baik, maka tidak sempat lagi baginya untuk mengelak. Terpaksa dia menyambut tubrukan itu dengan ayunan suling kayunya yang menusuk dari samping ke arah leher harimau, disusul tangan kirinya yang diayun dan melakukan Pukulan ke arah kepala harimau itu. Tentu saja dia mengerahkan tenaga ketika memukul.
"Dukkkk...!"
Harimau itu terbanting dan berkelojotan. Tiba-tiba, dua ekor cakar harimau telah menubruk dan mencengkeram pundaknya dari belakang! Hay Hay terkejut, tidak mengira bahwa harimau jantan tadi sudah dapat menyerangnya demikian cepat. Dia merasa kedua pundaknya nyeri dan ada bau amis dan apak mendekati tengkuknya. Maklum bahwa kalau harimau itu sudah menggigit tengkuknya dia akan celaka, cepat dia menggerakkan suling kayu hitamnya ke arah belakang tubuh sambil membalik.
"Capppp...!!"
Suling kayu hitam itu menusuk dada harimau dan menembus jantung. Untung Hay Hay sudah menggunakan tangan kirinya menyiku ke belakang sebagai susulan tusukannya sehingga cengkeraman pada pundaknya terlepas.
Kalau tidak, tubuhnya bisa cabik-cabik oleh kuku-kuku harimau yang kini berkelojotan dalam sekarat itu. Hay Hay tidak membuang waktu lagi. Ditangkapnya ekor harimau jantan yang masih berkelojotan itu dan diseretnya keluar dari hutan sambil berlari cepat. Setelah harimau itu tidak bergerak lagi, cepat dipanggulnya tubuh binatang itu dan dilarikannya ke tempat di mana kakek tua renta itu menantinya, yaitu di tepi sungai. Dia tidak peduli betapa bajunya menjadi kotor berlepotan darah dan dia merasa betapa tubuh yang sudah tidak bernyawa itu masih hangat. Hampir kakek itu tidak dapat percaya ketika melihat pemuda perkasa itu dalam waktu yang amat singkat telah datang kembali memanggul bangkai binatang liar itu. Akan tetapi dia menyambutnya dengan girang bukan main.
"Luar biasa... sungguh luar biasai..!!"
Dia memuji kagum.
"Orang muda perkasa, jangan kepalang menolongku. Bukalah kepala harimau itu dengan hati-hati, keluarkan segumpal otaknya dan masaklah dengan obat ini, dengan air tiga mangkok sampai mendidih dan airnya menguap tinggal sedikit."
Dia mengeluarkan sebuah bungkusan kertas. Hay Hay menerimanya.
Untung bahwa perabot masak yang dibawanya tidak rusak ketika tadi terjadi perkelahian. Dengan sebatang pisau dia membuka kepala harimau itu, mengeluarkan otaknya yang masih mengandung darah, memasukkannya dalam panci bersama obat yang ternyata berupa akar-akar dan daun-daun kering itu, mengisi panci dengan air lalu memasaknya di atas api unggun yang dibuatnya. Kakek itu sendiri masih duduk bersila dan memejamkan mata, seperti orang bersamadhi. Sambil menanti dan menjaga obat yang dimasaknya itu, Hay Hay memotong daging harimau, memilih bagian yang gemuk, mengumpulkannya, mencuci dan menggaraminya, memberi bumbu dan menusuk daging-daging itu dengan potongan-potongan bambu, lalu memanggangnya. Bau sedap membuat kakek itu membuka kedua matanya, menoleh dan dia tersenyum.
"Daging harimau hitam itu panas, akan tetapi justru amat baik untuk memulihkan tenaga."
Tak lama kemudian obat itu pun masak sudah, airnya tinggal sedikit dan otak harimau itu nampak merah kecoklatan bercampur dengan sari obat rempah-rempah tadi. Setelah agak dingin, kakek itu lalu menganyangnya sampai habis! Dan mukanya nampak merah, matanya berseri.
"Orang muda, engkau telah menolongku. Obat ini melenyapkan penyakitku dan mungkin akan menambah usiaku beberapa tahun lagi. Aku ingin mengisi sisa hidupku yang tidak lama ini untuk membalas budimu..."
"Ah, Locianpwe, harap jangan bicara tentang budi. Locianpwe tadi menyelamatkan saya dari ancaman maut yang lebih mengerikan, kalau sekarang saya mencarikan obat untuk Locianpwe, apakah artinya itu? Harap dianggap saja bahwa kita berdua telah melaksanakan kewajiban sebagai orang-orang yang tahu bahwa selagi hidup harus saling bantu. Bukankah begitu, Locianpwe?"
Kakek itu tersenyum dan mengangguk-angguk.
"Engkau gagah perkasa dan bijaksana, anak baik. Karena itulah timbul keinginanku untuk mewariskan kepandaianku kepadamu. Biarpun engkau ahli silat yang pandai, ternyata tadi menghadapi serangan sihir dari Min-san Mo-ko saja, engkau hampir celaka. Maukah engkau belajar ilmu sihir dariku?"
Tentu saja Hay Hay merasa girang bukan main! Memang harus diakuinya bahwa ketika dia berhadapan dengan Min-san Mo-ko tadi, hampir dia celaka oleh serangan ilmu hitam dari kakek kurus pucat itu. Dia pun lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek tua renta itu.
"Kalau Suhu ingin mengajarkan ilmu kepada teecu, tentu saja teecu menerimanya dengan rasa sukur dan terima kasih."
"Bangkitlah, anak baik. Lihat, daging yang kau panggang bisa hangus."
Kata kakek itu. Hay Hay bangkit dan kembali ke api unggun karena dia sedang memanggang daging harimau tadi. Setelah daging itu masak, mereka lalu duduk berhadapan di atas rumput dan makan daging yang masih panas itu, gurih dan manis rasanya, juga lunak. Mereka makan sambil bercakap-cakap.
"Siapakah namamu?"
"Nama teecu Hay dan biasa disebut. Hay Hay. Teecu tidak tahu siapakah nama keturunan teecu karena sejak kecil sudah terpisah dari orang tua kandung. Teecu kini sedang dalam perjalanan mencari tahu tentang orang tua teecu. Teecu hidup sebatang kara dan tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap."
Hay Hay memberi keterangan yang sejelasnya sebelum kakek itu bertanya. Kakek itu memandang tajam dan mengerutkan alisnya, di dalam hatinya merasa kasihan.
"Dan dari siapakah engkau mempelajari ilmu-ilmu silat yang tinggi itu sehingga engkau menjadi seorang pemuda yang lihai?"
Kakek yang duduk di depannya ini telah menjadi gurunya yang ke tiga, Hay Hay tidak mau merahasiakan keadaannya lagi.
"Sejak kecil teecu dirawat dan dididik oleh dua orang Suhu, yaitu See-thian Lama dan Suhu Ciu-si,an Sin-kai ."
"Ya Tuhan..!"
Kakek itu terbelalak memandang kepada pemuda itu seperti tidak percaya akan pendengarannya sendiri.
"See-thian Lama dan Ciu-sian Sin-kai..? Bukankah mereka itu... dari Delapan Dewa..?"
Hay Hay mengangguk.
"Benar, Suhu. Mereka adalah dua dari Delapan Dewa yang masih hidup."
"Hebat hebat... Engkau bahagia sekali dapat menjadi murid mereka dan aku bangga bukan main dapat membimbing seorang murid dari See-thian Lama dan Ciu-sian Sin-kai. Ohhh, kini aku akan dapat mati dengan tenang."
"Suhu, bolehkah teecu mengetahui nama dan julukan Suhu?"
Kini kakek itu menghela napas panjang.
"Aku sendiri sudah lupa siapa namaku, karena selama puluhan tahun aku bertapa dan tidak berhubungan dengan manusia lain sehingga namaku pun tak pernah disebut-sebut lagi. Akan tetapi, tentu saja untukmu aku harus mempunyai nama. Nah, sebut saja namaku Pek Mau San-jin (Pertapa Gunung Berambut Putih), cocok dengan keadaanku, bukan?"
Hay Hay tidak mendesak lagi dan mulai hari itu, dia pun mengikuti Pek Mau San-jin, pergi ke puncak Pegunungan Min-san, ke dalam guha-guha yang paling sunyi untuk belajar ilmu sihir yang banyak membutuhkan latihan samadhi di tempat yang amat hening. Kakek itu dengan tekun melatih muridnya dengan dasar-dasar latihan kekuatan batin sebagai dasar pelajaran ilmu sihir. Akan tetapi sebelum memulai dengan pelajaran ilmu sihir, kakek itu dengan tegas memperingatkan muridnya.
"Hay Hay, ingat baik-baik. Biarpun segala macam ilmu kalau dipergunakan dengan sesat akhirnya akan menjadi kutuk bagi sendiri, namun ilmu sihir ini mendatangkan akibat yang langsung. Sejak ribuan tahun turun-temurun, yang mempelajari ilmu sihir seperti yang akan kuajarkan kepadamu, tidak terlepas daripada syarat batin yang tak dapat dihindarkan lagi. Yaitu, ilmu ini harus dipergunakan untuk kebaikan saja, dan dilarang keras untuk dipergunakan secara sesat. Tidak boleh dipergunakan untuk melakukan kejahatan atau merugikan orang lain, lahir maupun batin. Kalau sampai larangan ini dilanggar, maka akibatnya akan menghantam diri sendiri. Ilmu itu sendiri yang akan menghancurkannya, sedikitnya mendatangkan penyakit seperti yang kualami, besar kecilnya hukuman itu sesuai dengan besar kecilnya pelanggaran. Bahkan ilmu itu sendiri akan dapat membunuh kalau sampai melakukan kejahatan yang besar. Karena itu, ingatlah selalu, muridku, bahwa ilmu ini tidak sekali-kali boleh dipergunakan untuk kejahatan, karena engkau tidak akan bebas daripada hukumannya."
Hay Hay mengangguk-angguk, sedikit pun tidak merasa khawatir.
"Akan teecu ingat selalu, Suhu."
Demikianlah, mulai hari itu Hay Hay belajar dengan tekun. Akan tetapi, dia hanya sempat belajar satu tahun saja pada Pek Mau San-jin, karena setelah kurang lebih setahun mempelajari ilmu sihir dari kakek itu, Pek Mau San-jin meninggal dunia karena usia tua. Hay Hay mengubur jenazah kakek yang menjadi gurunya itu seperti pesannya ketika masih hidup, di bawah sebatang pohon di dekat guha tempat gurunya bertapa, meletakkan sebuah batu besar sebagai tanda makam. Setelah melakukan sembahyang untuk memberi hormat terakhir kepada gurunya, Hay Hay lalu pergi meninggalkan tempat itu. Kini dibekali sebuah ilmu baru, yaitu ilmu sihir yang walaupun belum dipelajari sampai tamat karena gurunya keburu meninggal dunia, namun kiranya cukup untuk memperlengkap bekal ilmu pembela dan pelindung diri.
Sungai Yalong merupakan sebatang sungai yang amat panjang, mengalir dari utara jauh melampaui tapal batas Propinsi Secuan, merupakan satu di antara anak Sungai Yang-ce yang amat panjang. Sungai Yalong mengalir dari Cing-hai, masuk ke Propinsi Secuan sebelah utara, mengalir sepanjang Propinsi Secuan ke selatan, sampai dekat kota Takou di ujung selatan Propinsi Secuan, Sungai Yalong bertemu dengan Sungai Jin-sha, membelok ke timur dan menjadi Sungai Yang-ce yang amat terkenal itu. Sungai Yalong mengalir melalui Pe gunungan Jin-ping-san dan di pegunungan inilah, di sepanjang Sungai Yalong, terdapat sebuah perkampungan yang menjadi pusat dari perkumpulan Pek-sim-pang.
Keluarga Pek yang belasan tahun yang lalu meninggalkan Tibet karena dimusuhi para pendeta Lama yang menghendaki keturunan mereka yang dianggap Sin-tong, membawa anak buah Pek-sim-pang yang setia kepada keluarga itu, mengungsi masuk Propinsi Secuan yang menjadi tempat asal keluarga Pek. Akhirnya keluarga itu, bersama para anggauta Pek-sim-pang yang juga menjadi murid-murid mereka, rombongan itu menetap di tepi Sungai Yalong itu. Tempat itu amat indahnya, merupakan daerah perbukitan yang menjadi lereng Pegunungan Jin-ping-san. Daerah itu memiliki tanah yang subur dan hutan-hutan lebat yang dihuni banyak binatang-binatang buruan. Karena air cukup, tanah subur dan hutan-hutan lebar, keluarga besar Pek-sim-pang tinggal di tempat itu dengan senang, bertani, berburu dan dari sungai itu sendiri mereka dapat memperoleh ikan.
Juga dari dalam hutan mereka bisa rnendapatkan kayu-kayu besar untuk membangun rumah-rumah mereka. Kini, keluarga itu terkenal sebagai pedagang hasil bumi dan rempah-rempah, disamping terkenal pula sebagai perkumpulan orang-orang gagah yang disegani dan ditakuti oleh para penjahat. Semenjak Pek-sim-pang bermarkas di tempat itu, daerah itu sampai berpuluh li luasnya, menjadi aman. Para penjahat terpaksa pergi mengungsi, dan hanya berani melakukan kejahatan jauh di luar jangkauan kekuasaan dan pengaruh keluarga besar Pek-sim-pang. Setelah tinggal di daerah itu selama belasan tahun, Pek-sim-pang menjadi semakin terkenal. Anggauta atau murid Pek-sim-pang yang jumlahnya kurang lebih seratus orang itu kini bertambah,
Karena di antara mereka ada yang sudah berkeluarga dan tinggal di dalam perkampungan yang merupakan markas atau benteng perkumpulan Pek-sim-pang itu. Perkampungan itu kini memiliki hampir dua ratus orang penghuni tetap. Setelah banyak di antara murid Pek-sim-pang bekerja menjadi pengawal-pengawal perjalanan, penjaga-penjaga. keamanan dan sebagainya, maka pengaruh Pek-sim-pang menjadi semakin meluas, sampai meliputi banyak kota besar di Propinsi Secuan. Perkampungan itu cukup luas, berada di lereng sebuah bukit. Dari jauh sudah nampak tembok putih tinggi yang menjadi pagar perkampungan itu. Dua pintu gerbang depan dan belakang dibuka lebar-lebar di waktu siang hari, dan untuk menjaga keamanan karena sebagai perkumpulan orang gagah tentu ada saja pihak penjahat yang menaruh dendam,
Setiap hari, siang malam, pintu-pintu gerbang itu dijaga secara bergilir. Rumah keluarga Pek berada di tengah perkampungan, dikelilingi rumah-rumah para anggauta. Rumah keluarga Pek itu cukup besar, terbuat dari tembok dan kayu-kayu besar. Pekarangan depannya luas, ditanami pohon-pohon buah, dan di belakang rumah terdapat kebun sayur yang cukup luas, sebuah taman bunga mungil berada di sebelah timur rumah. Pada waktu itu, yang menjadi ketua Pek-sim-pang adalah Pek Kong yang telah berusia empat puluh satu tahun. Para ketua Pek-sim-pang memang keturunan keluarga Pek, turun temurun. Pek Kong beristerikan Souw Bwee yang sudah berusia tiga puluh delapan tahun, seorang wanita yang juga memiliki ilmu silat bersumber kepada ilmu silat Siauw-lim-pai.
Walaupun kepandaian silatnya tidak setinggi suaminya, namun wanita itu termasuk seorang wanita perkasa. Ayah dari Pek Kong yang bernama Pek Ki Bu, bekas Ketua Pek-sim-pang pula, telah mengundurkan diri dan kini hanya menjadi penasehat saja dari puteranya yang menggantikannya menjadi ketua. Dalam usianya yang enam puluh tahun, Pek Ki Bu telah menjadi seorang duda karena isterinya telah meninggal dunia karena penyakit. Hidupnya terasa sunyi dan untung bahwa dia mempunyai seorang cucu perempuan yang menjadi penghibur hatinya. Seperti diketahui, Pek Kong mempunyai seorang putera yang menjadi sebab keributan sehingga keluarga Pek terpaksa melarikan diri dari Tibet, dianggap sebagai Sin-tong (Anak Ajaib) calon Dalai Lama!
Dan semenjak puteranya itu dibawa pergi oleh kakek buyutnya, yaitu Pek Khun, pendiri dari Pek-sim-pang, untuk diselamatkan dan disembunyikan dari pengejaran para pendeta Lama dan para tokoh sesat di dunia hitam yang memperebutkannya, kehidupan keluarga Pek menjadi muram dan sunyi. Akan tetapi empat tahun kemudian sejak anak yang menghebohkan itu terlahir, Souw Bwee atau Nyonya Pek Kong telah melahirkan seorang anak perempuan yang diberi nama Pek Eng. Anak inilah yang kemudian menjadi hiburan bagi Kakek Pek Ki Bu yang ditinggal mati isterinya. Dia mendidik cucunya itu penuh kasih sayang. Kini Pek Eng telah menjadi seorang gadis berusia enam belas tahun yang berwajah manis sekali. Ia lincah gembira, jenaka dan nakal suka menggoda orang, juga galak dan manja karena sejak kecil dimanjakan oleh kakeknya.
Tentu saja ia mewarisi ilmu silat yang diajarkan sendiri oleh kakeknya dan karena ia seorang anak yang cerdas dan berbakat maka dalam usia enam ibelas tahun, ia telah menjadi seorang gadis yang gagah perkasa dan kiranya tidak ada di antara murid Pek-sim-pang yang dapat menandinginya. Pek Eng seorang gadis remaja yang bertubuh tinggi ramping, dengan sepasang kaki yang panjang, pinggang yang kecil, namun dalam usia enam belas tahun, bagaikan setangkai bunga yang mulai mekar semerbak harum, tubuhnya sudah nampak padat berisi dengan lekuk-lekung yang sempurna. Kecepatan dewasanya ini adalah karena ia hidup di alam bebas, suka berburu binatang dan sudah biasa terpanggang terik matahari, tertiup angin badai, tertimpa hujan lebat, pendeknya ia sudah biasa menghadapi keadaan yang keras dan sulit.
Karena di daerah Secuan bagian selatan banyak terdapat orang-orang dari suku bangsa Yi, maka sedikit banyak kehidupan Pek Eng terpengaruh pula oleh kebiasaan suku bangsa Yi. Apalagi karena kakeknya, setelah kini mengundurkan diri, tertarik oleh kehidupan rohani yang menjadi tradisi suku bangsa Yi, yaitu mendasarkan kehidupan agama mereka dari kitab-kitab suci, kitab-kitab kuno yang bersumber kepada Agama Hindu kuno. Kakek Pek Ki Bu kini tekun membaca kitab-kitab kuno itu dan membiarkan cucunya banyak bergaul dengan suku bangsa Yi. Pakaian dari suku bangsa ini amat indah, juga gagah, sesuai dengan watak suku bangsa Yi yang terkenal sejak jaman dahulu sebagai peraiurit-perajurit yang gagah perkasa. Selain terkenal sebagai perajurit-perajurit yang gagah perkasa,
Juga suku bangsa Yi terkenal sebagai orang-orang yang mempertahankan kebudayaan dan tradisi mereka, hidup sebagai keluarga dan masyarakat golongan tinggi dan menganggap kelompok mereka lebih tinggi derajatnya dengan suku-suku lain. Tidaklah mengherankan kalau hampir setiap keluarga Yi, walaupun yang tergolong kurang mampu, memiliki budak belian atau hamba sahaya yang terdiri dari orang-orang yang pernah mereka talukkan, dari suku-suku lain yang dianggap lebih rendah martabat dan derajat mereka. Suku bangsa Yi suka mengenakan pakaian yang berwarna hitam sebagai dasar, dengan beraneka ragam dan warna hiasan. Juga mereka biasa menghias dan menutupi kepala mereka dengan kain sorban yang dihias dengan bulu burung, atau yang bagian ujung sorbannya dibentuk mencuat ke atas sebagai pengganti bulu burung.
Pek Eng juga sering kali mengenakan pakaian suku bangsa Yi, walaupun adakalanya dia mengenakan pakaian biasa sebagai seorang gadis bersuku bangsa Han, yaitu suku bangsa terbesar di seluruh Tiongkok. Dan tentu saja Pek Eng pandai berbahasa Yi. Pandai pula ia menunggang kuda, mempergunakan anak panah dan suling, di samping tentu saja pandai bermain silat tangan kosong dan pedang dari ilmu silat keluarganya. Keluarga Ketua Pek-sim-pang itu sudah lama prihatin kalau mereka memikirkan tentang keturunan mereka, yaitu Pek Han Siong. Ketika Kakek Pek Khun yang sudah tua sekali itu meninggal dunia, dia tidak meninggalkan pesan apa pun mengenai putera Pek Kong itu, yang memang dirahasiakan oleh kakek tua itu sejak dahulu.
Sebelum kakek itu mati, kalau ada keluarga Pek yang bertanya tentang Pek Han Siong, selalu dijawab bahwa anak yang diperebutkan itu berada dalam tangan yang dapat dipercaya, keadaannya selamat, sehat dan aman. Dan selalu mengatakan bahwa kalau anak itu sudah dewasa kelak, tentu akan datang sendiri mencari keluarganya di Secuan! Pada suatu sore, ketika Pek Ki Bu datang ke ruangan menengok keluarga puteranya, kakek ini sekarang berdiam di sebuah rumah kecil yang menyendiri di sudut perkampungan agar dapat bersamadhi dan mempelajari kitab dengan tenteram, Souw Bwee isteri Pek Kong kembali teringat akan puteranya dan nyonya ini pun menangis dengan sedihnya. Suaminya, juga puterinya, berada di situ menghiburnya.
"Sudahlah, disusahkan dan ditangisi apa gunanya?"
Demikian Kakek Pek Ki Bu berkata untuk menghibur mantunya.
"Persoalan apa pun yang timbul dalam kehidupan merupakan tantangan hidup yang harus dihadapi dan diatasi dengan usaha yang didasari akal budi kita. Dan tangis tidak ada gunanya sama sekali untuk dijadikan dasar usaha mengatasi persoalan itu karena tangis bahkan akan menumpulkan akal budi."
Mendengar ucapan ayah mertuanya, Souw Bwee menghapus air matanya dan setelah tangisnya terhenti ia pun berkata,
"Harap Ayah memaafkan saya. Akan tetapi saya merasa heran sekali, mengapa mendiang Kakek menyembunyikan keadaan Han Siong dari kita?"
"Tentu mendiang Ayah mempunyai alasan yang kuat untuk itu. Mungkin saja dia melihat bahwa rahasia tentang keadaan Han Siong perlu dipegang kuat-kuat karena masih terdapat banyak ancaman. Pula, bukankah mendiang Kakek kalian itu sudah berpesan bahwa kelak, kalau sudah dewasa, Han Siong tentu akan mencari sendiri keluarganya di sini?"
Harta Karun Jenghis Khan Eps 8 Siluman Gua Tengkorak Eps 5 Asmara Berdarah Eps 10