Pendekar Mata Keranjang 25
Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Bagian 25
"Hei, berhenti dulu!"
Kata Hui Lian dengan suara gemas, menggunakan bahasa Miao sedapatnya. Anak itu berhenti menahan langkahnya dan orang bercaping itu pun ikut pula berhenti. Akan tetapi kalau anak itu pun mengangkat muka memandang kepada wajah Hui Lian dengan sikap takut, orang bercaping itu berhenti dan berdiri sambil menundukkan muka sehingga kembali Hui Lian hanya melihat caping saja!
"Angkat mukamu dan perlihatkan kepadaku!"
Hui Lian yang sudah tidak sabar lagi membentak. Ia masih mempergunakan bahasa campuran dengan bahasa Miao. Orang itu baru sekarang mengangkat mukanya, caping itu kini berada di belakang kepalanya dan wajahnya nampak jelas ketika sepasang mata Hui Lian bertemu dengan sepasang mata lain yang membuat ia terkejut bukan main. Wajah itu adalah wajah seorang pemuda yang tampan, hidungnya mancung, mulutnya dihias senyum ramah dan sepasang matanya seperti mata naga, mencorong dan berpengaruh!
"Eh, siapa kau?"
Tanyanya dalam bahasa Miao , akan tetapi pemuda yang usianya dua puluh tahun lebih sedikit itu hanya memandang kepadanya sambil tersenyum bodoh. Hui Lian mengerutkan alisnya dan bertanya kepada anak penggembala yang juga memandang kepadanya.
"Siapakah dia ini?"
Penggembala itu menoleh dan memandang kepada Si Caping Lebar, lalu menggeleng dan menjawab.
"Aku tidak tahu."
Hui Lian menjadi semakin curiga. Wah, benar dugaannya, pikirnya. Penggembala itu tidak mengenal orang ini, berarti penggembala ini tertipu.
"Tanya siapa dia!"
Katanya lagi dalam bahasa Miao sambil menatap wajah orang bercaping yang masih senyum-senyum akan tetapi agaknya tidak mengerti apa yang dipertanyakan itu. Anak itu kini menghadapi Si Caping Lebar, dan menggerak-gerakkan kedua kedua tangan dan jari-jari tangannya, berusaha memberi isyarat dengan tangan menanyakan namanya sambil menuding-nuding ke arah dada orang itu. Melihat ini, Hui Lian menjadi semakin heran dan terkejut, juga jengkel karena agaknya melalui bahasa isyarat tangan, orang bercaping yang berwajah tampan itu juga belum dapat mengerti maksudnya pertanyaannya melalui anak penggembala itu.
"Sialan,"
Gerutunya dalam bahasanya sendiri.
"Dia gagu pula.."
Akan tetapi pemuda tampan itu terkekeh geli sambil memandang kepadanya.
"Sobat yang baik, aku tidaklah gagu seperti yang Kau kira."
Hui Lian terkejut. Kiranya orang bercaping ini tidak gagu sama sekali. Ia menjadi semakin jengkel karena merasa dipermainkan.
"Kalau tidak gagu, kenapa sejak tadi engkau tidak mau menjawab pertanyaanku dan anak ini mengajakmu bicara dengan isyarat tangan?"
Bentaknya.
"Aih, bagaimana aku tahu bahwa engkau mengajakku bicara sobat? Apa yang kau bicarakan bersama adik ini tadi, aku sama sekali tidak mengerti sebuah kata pun."
Hui Lian kini menahan ketawanya. Barulah ia mengerti. Kiranya orang ini tidak pandai bahasa Miao, maka tentu saja tidak menjawab ketika ia bertanya karena memang tidak mengerti. Dan ia menyuruh anak penggembala itu bertanya kepadanya, tentu saja merekapun tidak dapat saling bicara dan anak itu agaknya sudah tahu bahwa orang ini tidak pandai bahasa Miao maka mencoba dengan isyarat tangan. Hui Lian tersenyum dan orang itu agaknya girang bukan main melihat senyumnya.
"Wah, dugaanku benar sekali, ha-ha-ha!"
Hui Lian mengerutkan alisnya kembali. Ia melihat pemuda itu tertawa dan wajahnya yang tampan menjadi semakin menarik.
"Engkau mentertawakan apa!"
Bentaknya. Pemuda yang sedang celangap tertawa itu tiba-tiba menghentikan ketawanya dan hal ini nampak demikian lucu sehingga anak penggembala itu tidak dapat menahan ketawanya. Memang lucu sekali melihat wajah yang tadinya tertawa gembira, tiba-tiba menghentikan suara ketawa itu dan berubah menjadi demikian serius. Pemuda itu menoleh, memandang kepada anak penggembala dan melihat anak itu tertawa-tawa, dia pun tertawa lagi. Keduanya tertawa dan Hui Lian yang tidak mengerti apa yang mereka ketawakan, mengerutkan alisnya lebih dalam lagi.
"Diam! Mengapa kalian tertawa-tawa seperti orang gila!"
Bentaknya dan biarpun anak itu tidak mengerti ucapannya, namun agaknya dia mengerti bahwa orang berpakaian serba putih itu marah-marah, maka dia pun berhenti tertawa seperti juga Si Pemuda Bercaping Lebar yang sudah menghentikan lagi suara ketawanya dengan tiba-tiba.
"Nah, apa yang kau ketawakan? Kau mentertawakan aku, ya?"
Hui Lian kini menghardik Si Caping Lebar. Caping lebar itu bergerak-gerak lucu ketika kepala yang ditungganginya menggeleng.
"Bukan mentertawakan, melainkan tertawa karena girang bahwa dugaanku benar. Tadi aku menduga bahwa engkau adalah seorang yang amat tampan dan ganteng, juga berhati baik sekali. Ketika engkau menegur aku dan marah-marah, aku merasa kecelik. Orang marah mana bisa nampak tampan? Akan tetapi ketika engkau tidak marah lagi dan tersenyum tadi, barulah aku yakin bahwa dugaanku benar. Engkau seorang pria yang tampan dan ganteng, juga berhati baik sekali. Atau.. barangkali dugaanku tetap keliru?"
Tentu saja Hui Lian tidak berani lagi memperlihatkan sikap marah. Siapa orangnya yang tidak ingin disebut tampan dan baik hati? Ia tersenyum, kini senyumnya lebih manis dan ramah, akan tetapi karena ia masih merasa curiga kalau-kalau pemuda bercaping ini mempermainkannya, iapun berkata.
"Tentu saja aku marah kalau engkau pecengisan?"
"Pecengisan? Apa itu?"
Tanya Si Pemuda Bercaping.
"Pecengisan itu tidak bersungguh-sungguh dan memperolokku! Engkau tidak sedang mempermainkan aku, bukan?"
"Wah, tidak! Tidak! Mana bisa aku mempermainkan? Engkau begini tampan dan gagah, begini baik, mana aku berani?"
"Nah, kalau begitu, tanggalkan dulu capingmu yang selalu menutupi mukamu agar aku dapat bicara sambin memandang mukamu!"
Pemuda itu menanggalkan capingnya dengan cara mendorong caping itu ke belakang dan kini benda itu tergantung di belakang tubuhnya karena talinya tergantung di leher, dan caping itu menutupi buntalan pakaiannya yang digendongnya. Hui Lian semakin kagum. Ternyata pemuda ini ganteng bukan main! Pakaiannya yang berwarna biru muda itu pun sederhana, namun bersih, juga rambutnya hitam sekali, terawat baik.
"Nah, begitu baru baik. Sekarang katakan, bagaimana engkau tahu-tahu dapat berjalan bersama penggembala ini? Dimana engkau ketika ada orang mencuri domba-domba itu tadi?"
"Aku kebetulan saja lewat dan melihat engkau berkelahi melawan empat orang iblis tadi. Melihat adik penggembala ini ketakutan, aku lalu mengajaknya pergi dan menghalau semua domba-dombanya, menjauhi tempat itu karena takut kalau-kalau ada orang jahat lagi yang akan merampas dombanya. Bagaimana dengan perkelahian tadi? Menangkah engkau? Dan dimana mereka itu?"
Hui Lian mengangguk-angguk. Kiranya hanya orang lewat secara kebetulan saja.
"Aku telah berhasil mengusir mereka,"
Jawabnya singkat.
"Mereka itu orang-orang berbahaya sekali, aku harus mengantar adik penggembala ini sampai kerumahnya."
"Wah, kebetulan sekali kalau begitu. Aku pun tadinya hendak mengantarnya, akan tetapi aku takut kalau-kalau ketemu orang jahat. Kalau engkau yang suka mengantarnya, hatiku menjadi lega, Toako. Aku akan melanjutkan perjalananku. Selamat berpisah, senang sekali dapat bertemu seorang yang demikian gagah perkasa seperti engkau."
Pemuda itu mengenakan lagi capingnya, lalu memisahkan diri dengan langkah lebar menuju ke kiri. Kepada anak penggembala itu, dia hanya tersenyum dan melambaikan tangan, dibalas oleh penggembala itu.
"Dimana dusunmu?"
Hui Lian bertanya kepada Si Penggembala setelah orang bercaping lebar itu lenyap di balik pohon-pohon. Anak itu menunjuk ke sebuah bukit gundul yang berada di depannya.
"Di balik bukit itu."
"Hemm, kenapa engkau menggembala domba sedemikian jauhnya?"
"Di sana tidak ada rumput baik, dan domba-domba ini harus di beri makan rumput yang segar agar mereka tetap sehat dan segar kalau disembelih esok lusa."
"Disembelih? Semua ini.?"
Hui Lian memandang kepada domba-domba itu, dan baru sekarang timbul perasaan ngeri mendengar bahwa domba-domba yang jinak dan manis itu akan disembelih semua! Melihat betapa binatang-binatang yang jinak dan lemah ini, yang ketika digiring dan mengembik nampak sekali tidak berdaya, kini ihendak disembelih semua, timbul perasaan kasihan dan ngeri. Padahal, sejak kecil daging domba sudah dimakannya dan belum pernah ia teringat kepada dombanya kalau sedang makan daging domba.
"Ya, semua ini dan masih banyak lagi. Kepala suku kami hendak mengadakan pesta pemilihan suami untuk puterinya. Wah, akan ramai sekali karena pemilihan sekali ini pakai sayembara mengadu ilmu ketangkasan!"
Tentu saja Hui Lian merasa tertarik sekali. Pernah ia mendengar tentang suku bangsa yang mempunyai kebiasaan bermacam-macam mengenai pernikahan, dan ia pun pernah mendengar akan kebiasaan sayembara untuk memperebutkan seorang wanita cantik, terutama puteri kepala suku.
"Apakah aku boleh nonton?"
Tanyanya, menggunakan bahasa Miao yang hanya dikuasalnya setengah matang, namun cukup untuk dapat dipakai berkomunikasi dengan anak penggembala itu. Anak itu mengangguk.
"Pesta ini memang merupakan pesta suku kami, akan tetapi boleh saja orang luar menonton, bahkan boleh juga kalau ada yang mau mengikuti sayembara. Apalagi engkau yang telah menyelamatkan domba-domba ini, kepala suku kami tentu akan senang mendengarnya. Marilah ikut bersamaku sampai ke dusun dan kuperkenalkan kepada kepala suku."
Hui Lian yang memang sedang merantau dan ingin mengalami hal-hal baru, mengangguk senang. Mereka mendaki bukit didepan dan ketika tiba di puncak bukit, anak itu menuding ke bawah.
"Nah, di sanalah perkampungan kami."
Di bawah bukit itu nampak perkampungan dari rumah-rumah sederhana. Akan tetapi perhatian Hui Lian tertarik kepada sebuah tubuh yang menggeletak tak jauh dari situ, telentang seperti sudah tak bernyawa saja.
"Di sana ada orang..."
Katanya dan cepat menghampiri, diikuti oleh anak penggembala itu yang berlari-lari di belakang Hui Lian.
"Aih, dia Kiao Yi!"
Tiba-tiba penggembala itu berseru.
"Tuan, apakah dia... dia mati..?"
Wajahnya pucat dan matanya terbelalak penuh kekhawatiran. Hui Lian cepat memeriksa. Orang itu belum mati, akan tetapi lemah sekali dan pingsan. Melihat mukanya yang agak kebiruan, dan mulutnya yang mengeluarkan busa, ia dapat menduga bahwa tentu orang ini telah keracunan. Suhengnya pandai membuat obat anti racun, dan ia juga membawa obat itu untuk bekal dalam perjalanan.
"Tidak, dia belum mati. Cepat cari air untuk kuberi minum obat padanya."
Kata Hui Lian. Penggembala itu lalu mengeluarkan guci tempat air yang dibawanya untuk bekal. Hui Lian mengeluarkan satu butir pel putih dan memaksa orang yang pingsan itu menelan pel bersama air yang diminumkannya, dibantu oleh penggembala itu.
Hui Lian lalu menotok sana-sini. Orang itu masih muda, paling banyak dua puluh lima tahun usianya, kulitnya kecoklatan seperti bangsa Miao pada umumnya, kepalanya memakai kain kepala yang dilibat-libatkan seperti sorban, dan wajahnya cukup tampan. Pemuda Miao itu mengeluh, lalu siuman dan membuka mata! lalu bangkit dan muntah-muntah, legalah hati Hui Lian. Kalau pemuda itu muntah, hal itu berarti dia tertolong nyawanya, karena racun itu ikut tertumpah keluar. Setelah semua isi pencernaannya tertumpah keluar, agaknya pemuda itu baru melihat adanya Hui Lian dan penggembala itu. Dia mengenal penggembala itu, akan tetapi heran melihat Hui Lian. Anak penggembala itu cepat memberi tahu bahwa Hui Lian adalah orang yang telah mengobatinya. Pemuda itu lalu cepat memberi hormat dan menghaturkan terima kasih.
"Tak perlu berterima kasih."
Kata Hui Lian dengan bahasa yang kaku.
"Lebih baik ceritakan bagaimana engkau berada di sini, pingsan dan keracunan."
Pemuda yang bernama Kiao Yi itu mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala.
"Saya sendiri tidak tahu. Tadi saya bersama para pemuda lain, terutama mereka yang hendak mengikuti sayembara, makan-makan bersama. Kemudian saya merasa perutku tidak enak dan saya menjauhkan diri pergi ke sini. Makin lama semakin nyeri rasa perutku dan saya tidak ingat apa-apa lagi."
"Hemm, engkau keracunan, tentu dalam makanan itu terdapat racunnya."
Kata Hui Lian.
"Ah, kalau begitu semua temanku tentu keracunan pula! Saya harus segera kembali ke sana untuk melihatnya!"
Kiao Yi meloncat bangun, akan tetapi segera terguling roboh lagi dan dia mengeluh. Kepalanya pening dan tubuhnya lemah sekali.
"Engkau sudah terhindar dari bahaya maut, akan tetapi masih lemah dan sedikitnya harus beristirahat sampai seminggu barulah akan pulih kembali kesehatanmu."
"Ah, mana bisa begitu?"
Kiao Yi berteriak kaget.
"Saya harus mengikuti sayembara itu! Tidak mungkin saya membiarkan saja, tidak ikut dan kekasih saya jatuh ke tangan orang lain!"
Anak gembala itu lalu menerangkan kepada Hui Lian.
"Kakak Kiao Yi ini adalah kekasih Nian Ci, puteri kepala suku kami, dan juga dia paling gagah di antara para pemuda kami. Sudah dapat dipastikan bahwa dia tentu akan menang dalam sayembara, apalagi memperoleh dukungan puteri kepala suku kami. Akan tetapi sekarang dia sakit.."
Kiao Yi mencoba untuk bangkit lagi, akan tetapi kembali dia harus terduduk kembali sambil memegangi kepala dengan kedua tangan karena kepalanya seperti melayang rasanya dan pandang matanya terputar.
"Jangan dipaksa berdiri, engkau harus beristirahat. Jelas bahwa engkau tidak mungkin dapat mengikuti sayembara itu, apalagi kalau sayembara itu dilakukan besok pagi. Apakah tidak bisa ditunda dan diundurkan sampai seminggu lagi agar engkau sembuh lebih dulu?"
"Tidak mungkin."
Jawab Kiao Yi.
"Hari telah diputuskan oleh kepala suku, dan tidak mungkin dirobah atau diundurkan, semua persiapan telah dilakukan. Ah, Nian Ci... Nian Ci... agaknya Langit dan Bumi tidak menghendaki kita menjadi suami isteri"
Pemuda itu nampak berduka sekali.
Pada saat itu terdengar suara gaduh dan ketika Hui Lian menoleh, ternyata ada belasan orang pemuda berlari-lari naik ke bukit itu. Melihat mereka, anak penggembala itu lalu mengangkat tongkatnya dan berteriak-teriak memanggil. Mereka berlarian naik dan nampak oleh Hui Lian bahwa mereka adalah pemuda-pemuda yang bertubuh sehat dan kuat, juga sikap mereka gembira. Akan tetapi, ketika mereka tiba di situ melihat adanya seorang asing, mereka memandang heran dan sibuklah anak penggembala itu menceritakan betapa domba-dombanya hampir dirampok orang, akan tetapi dia ditolong oleh pemuda bangsa Han. Selain itu diceritakannya pula betapa ketika pemuda Han itu mengantar dia pulang, di puncak itu mereka menemukan Kiao Yi dalam keadaan pingsan dan pemuda itu pula yang telah menolong dan mengobatinya.
"Dan aku harus beristirahat seminggu baru akan pulih kembali kesehatanku!"
Kiao Yi mengeluh kepada teman-temannya.
"Dan aku tidak bisa ikut sayembara itu... ah, betapa sial nasibku..!"
Hui Lian memandang kepada belasan orang muda itu, lalu bertanya kepada Kiao Yi.
"Mereka inikah yang makan-makan bersamamu tadi?"
Kiao Yi mengangguk.
"Untung di antara mereka agaknya tidak ada yang keracunan seperti aku."
Para pemuda itu lalu menggotong Kiao Yi yang lemah turun dari bukit, diikuti oleh penggembala domba dengan domba-dombanya, dan Hui Lian yang semakin tertarik juga mengikuti mereka. Setelah tiba di perkampungan itu, para pemuda membawa Kiao Yi ke dalam rumahnya, disambut oleh ibu pemuda itu dengan bingung. Kiao Yi sudah tidak berayah lagi, dan ibunya menjadi khawatir sekali melihat keadaan puteranya. Akan tetapi ketika mendengar bahwa Hui Lian adalah pemuda Han yang telah menolong puteranya, ia mempersilakan Hui Lian masuk ke dalam rumah sebagai seorang tamu yang dihormati. Setelah penggembala itu dan para pemuda pergi, Hui Lian yang duduk di dekat pembaringan Kiao Yi, bertanya.
"Namamu Kiao Yi, bukan? Aku tadi mendengarnya dari penggembala."
"Benar sekali."
Jawab pemuda yang lemah itu.
"Dan namaku Hui Lian. Kiao Yi, apa saja yang harus dilakukan dalam sayembara yang akan diadakan besok itu?"
"Ada lima macam. Pertama diadu kemahiran menunggang kuda dan mempergunakan anak panah sambil berkuda. Ke dua diadu kecepatan menangkap seekor rusa muda. Ke tiga diharuskan melawan seekor kerbau. Ke empat, diserang tiga kali dengan anak panah dalam jarak seratus meter, dan ke lima siapa yang bisa lulus dalam ujian sampai empat macam itu diharuskan mengadu ilmu berkelahi. Sebagai ujian saringan bagi para pengikut harus membawa sebuah batu besar meloncat ke atas panggung."
Hui Lian mengangguk-angguk.
"Hemm, berat juga. Dan tadinya engkau yakin akan dapat menang?"
Kiao Yi menarik napas panjang.
"Sejak kecil saya sudah mempelajari semua ilmu ketangkasan suku kami dan melihat kemampuan teman-teman yang memasuki sayembara, saya dapat mengharapkan untuk menang. Akan tetapi sekarang... ah, tak mungkin lagi.."
Wajahnya nampak sedih sekali.
"Sudahlah, Anakku, jangan berduka. Memang agaknya Nian Ci bukan jodohmu. Lebih baik engkau menjaga dirimu agar cepat sembuh, dan aku akan mencarikan gantinya Nian Ci. Puteri Bibimu Mang juga cantik dan ."
"Tidak, Ibu! Kalau tidak dengan Nian Ci, aku tidak mau menikah!"
"Anakku..!"
Lbu itu menangis. Metihat ini, tergerak hati Hui Lian. Pemuda ini sudah saling mencinta dengan Nian Ci, kalau sampai gagal perjodohan mereka, tentu akan mendukakan kedua orang muda itu. Dan lebih lagi, ia merasa curiga sekali. Kiao Yi makan-makan bersama belasan orang pemuda temannya yang juga akan menjadi saingannya itu. Dia keracunan, akan tetapi mengapa pemuda-pemuda yang lain tidak? Agaknya tentu ada permainan kotor di sini! Hal inilah yang membuat ia penasaran sekali.
"Kiao Yi, karena engkau sedang sakit, biarlah aku yang akan mewakilimu maju dalam sayembara itu. Aku akan berusaha sampai menang agar engkau dapat menikah dengan Nian Ci."
Katanya. Sepasang mata pemuda itu terbelalak dan pandang matanya menatap wajah Hui Lian penuh selidik.
"Kak Hui Lian, apakah engkau pernah melihat Nian Ci?"
Hui Lian menggeleng kepala.
"Secara kebetulan saja aku bertemu dengan penggembala domba itu dan ikut ke sini."
Pemuda itu nampaknya semakin heran. Tadinya dia mengira bahwa tentu pemuda Han ini melihat Nian Ci dan tertarik oleh kecantikan gadis kepala suku itu.
"Kalau begitu, mengapa engkau hendak ikut sayembara?"
"Aku ingin mencegah agar Nian Ci tidak menikah dengan orang lain, kecuali denganmu."
"Kak Hui Lian, engkau sudah menolong saya, sekarang hendak melakukan hal itu lagi? Tidak, engkau boleh memasuki sayembara, akan tetapi kalau menang, biarlah Nian Ci menjadi isterimu. Ia cantik jelita dan menarik, juga pandai sekali. Daripada ia terjatuh ke tangan pemuda lain, saya rela kalau ia menjadi isterimu!"
"Tidak, Kiao Yi, aku melakukannya untukmu."
"Mana bisa? Sayembara itu bukan tidak berbahaya, terutama sekali ujian diserang anak panah dan adu ilmu berkelahi itu. Bisa terluka, bahkan bisa tewas!"
Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Akan tetapi aku yakin akan dapat menangkan mereka, Kiao Yi."
"Tapi... tapi... Kak Hui Lian, kenapa engkau tidak mau menerima hadiahnya? Kenapa engkau tidak mau menikah dengan Nian Ci kalau menang, melalnkan hendak memberikan gadis itu kepadaku? Kenapa?"
Melihat betapa pemuda ini berkeras dan agaknya akan menolak kalau ia tidak berterus terang, Hui Lian tersenyum.
"Kiao Yi, memang ada rahasianya mengapa aku tidak mau menikah dengan Nian Ci atau gadis mana saja di dunia ini. Akan tetapi, kalau aku membuka rahasia ini kepadamu agar engkau tidak penasaran, dapatkah engkau menjaga agar rahasia ini tidak bocor dan diketahui orang lain?"
"Saya bersumpah tidak akan membocorkannya!"
Kata Kiao Yi dan pemuda ini minta kepada ibunya agar meninggalkan mereka berdua. Ibu yang tahu diri itu pun keluar dan setelah tinggal berdua saja, Hui Lian berkata lirih.
"Kiao Yi, ketahuilah mengapa aku tidak dapat menikah dengan Nian Ci, karena sesungguhnya aku adalah seorang wanita yang menyamar sebagai pria."
Kiao Yi terkejut sekali. Kalau saja tubuhnya tidak selemah itu, tentu dia sudah meloncat turun dari pembaringannya. Dia memandang dengan mata terbelalak dan sejenak dia tidak mampu mengeluarkan kata-kata. Akhirnya dia bicara, suaranya berat dan gemetar.
"Kalau begitu, sungguh... lebih tidak mungkin lagi. Sebagai seorang wanita, bagaimana... bagaimana engkau dapat melakukan semua ujian dalam sayembara...?"
Kembali Hui Lian tersenyum.
"Jangan khawatir, percayalah padaku, Kiao Yi. Kalau aku tidak merasa mampu, tentu aku tidak menawarkan diri mewakilimu."
Kiao Yi teringat akan cerita yang pernah didengarnya, yang dianggapnya sebagai dongeng, tentang wanita-wanita pendekar di antara bangsa Han.
"Apakah... apakah... engkau seorang pendekar wanita?"
Untuk meyakinkan hati pemuda itu, Hui Lian mengangguk.
"Nah, cukuplah, jangan dibicarakan lagi hal itu. Bersikaplah seolah-olah aku masih seperti tadi, seorang sahabat laki-laki. Dan namaku tetap Hui Lian, karena memang itulah namaku."
Kiao Yi girang sekali. Kalau seorang pendekar wanita yang menolongnya, tentu dia akan berhasil menikah dengan gadis kekasihnya itu! Dia lalu berteriak memanggil ibunya yang tergopoh-gopoh memasuki kamar.
"Ibu, kakak Hui Lian ini akan mewakili aku dalam sayembara dan aku yakin dia pasti dapat menang. Ibu persiapkan saja segala keperluan untuk pernikahanku dengan Nian Ci. Dan berikan kamar tidur besar kepada Kakak Hui Lian. Ibu tidur di sini bersamaku."
Ibunya memandang puteranya dengan heran. Mengapa tamu muda itu tidak tidur saja bersama Kiao Yi? Bukankah hal itu lebih tepat, pemuda tidur dengan pemuda? Akan tetapi karena tamu itu merupakan orang terhormat, ia pun tidak membantah dan cepat meninggalkan kamar itu untuk membersihkan kamar besar.
Siapakah pemuda bercaping lebar yang pernah bertemu dengan Hui Lian ketika gadis ini menolong penggembala dari serangan empat orang manusia iblis itu? Dia bukan lain adalah Hay Hay! Seperti telah diceritakan di bagian depan, dalam perantauannya Hay Hay bertemu dengan seorang kakek yang mengaku bernama Song Lojin dan Hay Hay lalu menjadi murid dari pencinta alam dan pencinta binatang itu. Tidak lama kakek itu melatih Hay Hay, hanya kurang lebih satu bulan, akan tetapi gemblengan yang diberikan itu benar-benar membuat Hay Hay menjadi seorang yang matang ilmu-ilmunya! Sebagai seorang ahli silat tingkat tinggi, tentu saja Hay Hay kagum bukan main ketika dia melihat perkelahian antara Hui Lian dan empat orang manusia iblis itu.
Apalagi ketika dia mengenal siapa adanya empat orang pengeroyok itu! Dia tahu betul akan kelihaian Lam-hai Siang-mo dan juga suami isteri Guha Iblis Pantai Selatan. Akan tetapi, pemuda tampan yang dikeroyok empat orang datuk sesat yang lihai itu nampak demikian lincah, gerakannya demikian ringan dan nampak tidak sungguh-sungguh ketika menghadapi pengeroyokan mereka! Namun, tetap saja empat orang ilbis itu menjadi jerih dan melarikan diri. Tadinya Hay Hay sudah siap untuk membantu pemuda itu, akan tetapi setelah dia merasa yakin bahwa pemuda itu tidak akan kalah, dia lalu mengajak anak penggembala untuk meninggalkan tempat berbahaya itu, menggiring pergi domba-dombanya. Walaupun dia tidak mengerti sepatah kata bahasa Miao,
Namun dengan gerakan tangan dia mampu meyakinkan anak penggembala untuk cepat-cepat pergi dan Hay Hay lalu menemaninya pergi dari tempat pertempuran. Dia mengajak penggembala itu pergi, pertama untuk menyelamatkan anak itu bersama domba-dombanya, dan ke dua karena dia merasa segan untuk bertemu muka dengan mereka terutama Lam-hai Siang-mo yang pernah menjadi ayah ibunya selama hampir tujuh tahun, sejak dia bayi sampai beruusia tujuh tahun. Ketika Hui Lian mengejar mereka dan dia berkesempatan bicara dengan Hui Lian, dia merasa amat kagum dan tertarik. Belum pernah dia bertemu dengan seorang pemuda yang demikian lihai dan juga tampan seperti pemuda itu, hanya sayang sedikit, pikirnya, pemuda perkasa itu agak galak dan agak kewanitaan sikapnya, terutama sekali bau harum yang keluar dari tubuhnya.
Seorang pemuda yang suka memakai minyak wangi, sungguh tidak menyenangkan hatinya karena hal itu amat kewanitaan. Ketika mereka berpisah, Hay Hay sudah melupakan Hui Lian dan penggembala domba itu. Akan tetapi ketika dia melanjutkan perjalanan, dia lewat dekat sebuah dusun dan mendengar percakapan orang tentang keramaian yang akan diadakan oleh suku bangsa Miao pada besok hari, yaitu keramaian adu kepandaian dan ketangkasan! Sebagai seorang pemuda, apalagi yang suka akan ilmu ketangkasan, Hay Hay tertarik sekali, maka pada keesokan harinya, setelah malam itu dia bermalam di sebuah padang rumput yang indah bersih, pagi-pagi sekali dia lalu pergi menuju ke perkampungan orang Miao untuk nonton keramaian adu ketangkasan!
Ketika dia tiba di perkampungan itu, di sana sudah berkumpul banyak orang, baik suku bangsa itu sendiri maupun penduduk dusun-dusun di sekitar daerah itu yang berdatangan untuk nonton keramaian yang menarik itu. Dan di sebuah lapangan telah dipersiapkan alat-alat untuk ujian saringan bagi para peserta sayembara. Ketika Hay Hay tiba di situ, dia melihat di sudut lapangan itu didirikan sebuah panggung, dan di bawah panggung terdapat sebuah batu hitam yang besarnya seperti perut kerbau dan nampak berat. Ketika itu, terdapat seorang laki-laki tinggi besar yang pakaiannya indah, dengan banyak gelang dan kalung menghias tubuhnya, dengan bulu burung indah menghias sorbannya dan keadaan pakaian yang berbeda dari para pria lainnya dari suku bangsa Miao itu menunjukkan bahwa dla adalah kepala suku.
Laki-laki tinggi besar ini lalu membuat pidato pendek yang isinya memberitabukan tentang syarat-syarat dan macamnya perlumbaan, juga pengumuman bahwa pemenangnya akan berhak untuk menjadi mantunya, menikah dengan Nian Ci. Akan tetapi, biarpun dia mendengarkan, Hay Hay hanya melongo saja, sedikit pun tidak mengerti apa yang dikatakan oleh kepala suku itu. Tentu saja hal ini membuat dia merasa kesal dan dia lega bahwa pidato itu hanya pendek saja. Ketika para penonton mundur dan memberi tempat di sekitar panggung itu agar cukup luas, dia pun mendekat, maklum bahwa di panggung itulah akan diadakan pertunjukan pertama. Ada belasan orang pemuda yang sudah siap di tempat itu, pemuda-pemuda suku bangsa Miao, ada juga yang peranakan dan yang agaknya berbangsa Han karena kulitnya putih kuning.
Yang amat menarik hati Hay Hay yang berdiri di antara para penonton adalah ketika dia melihat hadirnya seorang pemuda bertubuh ramping yang amat tampan di antara para pemuda lainnya itu karena dia mengenal pemuda ini sebagai pemuda lihai yang kemarin pernah dikeroyok dua pasang suami isteri iblis dan mengalahkan mereka. Heran sekali, pikirnya. Seorang pemuda dengan ilmu kepandaian yang demikian tingginya hadir di situ dan ikut pula memasuki sayembara mengadu ketangkasan? Hampir dia tertawa karena dia dapat memastikan bahwa semua saingan itu tentu akan kalah jauh dibanding pemuda yang lihai itu. Peserta pertama, seorang pemuda bangsa Miao yang bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam, melangkah maju setelah namanya dipanggil oleh seorang petugas perlumbaan. Dia menghampiri batu hitam itu, membungkuk dan memeluk batu, setiap gerakannya dlikuti pandang mata semua penonton.
Kedua lengannya yang besar dan karena lengan bajunya disingsingkan nampak lengan itu penuh otot melingkar-lingkar, memeluk batu hitam dan sekali dia mengeluarkan bentakan, batu itu diangkatnya ke atas kepala. Terdengar para penonton menyambut dengan tepuk tangan. Hay Hay yang ikut gembira juga ikut pula bertepuk tangan memuji pertunjukan tenaga otot yang kuat itu. Pemuda bermuka hitam itu lalu mengambil ancang-ancang dan lari meloncat ke atas panggung, akan tetapi loncatannya kurang dan tidak mencapai panggung. Terpaksa dia turun lagi dan melepaskan batu hitam yang jatuh berdebuk di atas tanah. Terdengar keluhan para penonton yang ikut menyayangkan dan pemuda muka hitam itu pun memberi hormat ke arah kepala suku yang duduk di belakang panggung, kemudian mengundurkan diri. Dia telah gagal dalam ujjan saringan dan tidak diperkenankan ikut sayembara.
Seorang demi seorang maju untuk melalui ujian saringan ini. Ada yang berhasil membawa baru itu meloncat ke atas panggung, disambut sorak-sorai dan tepuk tangan para penonton. Akan tetapi banyak yang tidak berhasil. Semua pengikut berhasil mengangkat batu itu ke atas, akan tetapi hanya sedikit yang mampu membawanya ke atas panggung. Bahkan ada seorang yang ketika meloncat, terjatuh kembali dan dia terlambat melepaskan batu sehingga batu itu menimpa kakinya dan kakinya menjadi patah. Terpaksa dia digotong kawan-kawannya keluar dari tempat itu untuk diobati. Melihat betapa banyaknya orang yang tidak lulus, Kiao Yi yang ikut menonton di pinggir, dengan tubuh masih lemah dan muka masih pucat, berkali-kali memberi isyarat kepada Hui Lian agar membatalkan saja niat hatinya. Namun.
"pemuda! itu hanya tersenyum tenang.
Ketika tiba giliran Hui Lian yang dipanggil namanya, semua orang memandang dengan sikap mencemooh. Ada yang tersenyum mengejek. Sebagian besar di antara para penonton adalah orang Miao, tentu saja mereka tidak menghendaki kalau pemenang sayembara ini seorang Han sehingga puteri kepala suku mereka akan menjadi isteri orang Han! Apalagi melihat pemuda Han yang bertubuh kecil ramping dibandingkan dengan para peserta lain, semua orang memandang rendah, kecuali Hay Hay. Dia merasa yakin benar bahwa pemuda itu akan dengan mudah membawa batu itu meloncat ke atas panggung. Yang paling tegang di antara mereka semua adalah Kiao Yi, tentu saja. Dia belum tahu sampai di mana kelihaian penolongnya itu, dan mengingat bahwa ia adalah seorang wanita, mengangkat batu seberat itu dan membawanya loncat, sungguh ngeri dia membayangkan.
Bagaimana kalau sampai penolongnya itu celaka? Hampir Kiao Yi tidak berani membuka mata dan dia menundukkan mukanya ketika Hui Lian sudah menghampiri batu itu. Tepuk tangan yang riuh-rendah membuat Kiao Yi cepat mengangkat mukanya dan muka itu segera berseri dengan cerah, matanya bersinar dan mulutnya tersenyum, penuh kekaguman juga keheranan. Hampir dia tidak dapat mempercayai pandang matanya sendiri melihat betapa Hui Lian telah mengangkat batu besar itu di atas kepala, hanya dengan tangan kanan saja! Dengan sebelah tangan! Teringatlah dia akan pengakuan Hui Lian bahwa ia adalah seorang pendekar wanita dan kini timbullah harapan yang membuat Kiao Yi bertepuk tangan lebih keras daripada yang lain! Juga anak penggembala yang kemarin itu berjingkrak-jingkrak dan bersorak-sorak amat gembiranya.
Anak itu merasa bangga karena dialah yang mula-mula "menemukan"
Peserta sayembara yang amat hebat itu! Sambutan orang-orang ini membuat Hay Hay yang tadinya ikut bertepuk tangan, menjadi cemberut dan agak iri hati. Huh, yang begitu saja dipamerkan, pikirnya. Apanya sih yang harus dikagumi kalau hanya mengangkat batu seperti itu? Kini dengan langkah tenang. Hui Lian yang mengangkat batu dengan tangan kanan ke atas kepala itu menghampiri panggung, kemudian tanpa ancang-ancang lagi tubuhnya meloncat ke atas dan berhasil tiba di atas panggung. Demikian mudah dan enaknya sehingga mengagumkan semua orang. Paling hebatlah sambutan penonton kali ini, dibandingkan dengan sambutan peserta yang juga berhasil tadi. Hanya lima orang yang berhasil membawa batu itu loncat naik ke atas panggung setelah peserta terakhir gagal.
Akan tetapi tiba-tiba, tanpa dipanggil namanya, ada peserta seorang lagi, juga seorang pemuda bangsa Han yang pakaiannya serba putih, menghampiri batu itu lalu mengangkat batu dengan tangan kiri ke atas! Tentu saja semua orang menjadi terkejut dan sejenak tidak ada yang bersuara saking heran dan kagumnya, apalagi ketika pemuda baju putih itu melemparkan batu ke atas dan menerimanya dengan kepala! Pecahlah sorak-sorai dan tepuk tangan menyambut kehebatan pemuda baru ini. Dengan batu di atas kepala, Hay Hay meloncat ke atas panggung! Batu itu seperti menempel di kepalanya, sedikit pun tidak pernah bergoyang dan dia masih membawa batu itu di atas kepalanya ketika dia memberi hormat kepada kepala suku yang duduk bersama para pembantu dan keluarganya di panggung kehormatan sambil berkata nyaring.
"Saya ingin ikut meramaikan pesta ini, harap diperkenankan!"
Kepala suku itu ternyata dapat pula berbahasa Han. Tadi dia sudah hampir marah melihat orang luar yang tidak didaftar namanya ikut pula memasuki ujian saringan, akan tetapi melihat kehebatan orang ini, apalagi mendengar kata-kata Si Baju Putih yang katanya ingin ikut meramaikan pesta, kepala suku tertawa senang dan sambil berdiri dia pun berkata.
"Boleh, boleh sekali!"
Tentu saja ucapan kepala suku ini merupakan ijin bagi Hay Hay untuk ikut bersama para pemenang yang lain berlumba untuk menentukan siapa yang menjadi juara! Dengan gerakan ringan dia pun meloncat turun kembali sambil membawa batu besar itu dan ketika menurunkan batu besar, dia menggerakkan kepalanya sehingga batu tertempar ke atas, disambut dengan tangan kirinya dan diletakkan kembali ke atas tanah perlahan-lahan tanpa menimbulkan suara apa pun. Semua orang kembali bersorak-sorai. Pemuda Han pertama yang kecil ramping tadi kini memperoleh lawan, pikir mereka. Akan ramailah perlumbaan ini! Hui Lian mengerutkan alisnya melihat ulah Hay Hay. Diam-diam ia pun terkejut bukan main. Tak disangkanya sama sekali bahwa pemuda bercaping itu ikut dalam sayembara dan ternyata memiliki kepandaian yang demikian hebat! Ia tidak merasa gentar atau heran karena dianggapnya perbuatan Hay Hay tadi tidak ada artinya.
Ia sendiri pun sanggup melakukan hal itu. Pemuda bercaping itu hanya pamer saja! Akan tetapi ia pun tahu bahwa selanjutnya, pemuda itulah yang akan menjadi lawan utamanya. Ia harus menang, demi kebahagiaan Kiao Yi dan Nian Ci! Hanya enam orang termasuk Hui Lian dan Hay Hay yang lulus dalam ujian saringan. Sayembara pertama adalah menunggang kuda dan memperlihatkan keahlian memanah sasaran yang telah ditentukan. Sambil menunggang kuda meloncati rintangan-rintangan, lalu memanah lingkaran yang digantungkan di atas pohon. Para peserta suku bangsa Miao yang ahli menunggang kuda dan juga sebagai pemburu ahli mempergunakan anak panah, keempatnya lulus semua dengan baik. Kuda mereka melompati rintangan-rintangan tanpa pernah gagal, dan dengan berbagai gaya mereka memanah lingkaran dengan tepat sekali.
Tiba-tiba giliran Hui Lian sebagai peserta ke lima. Gadis ini bukan ahli menunggang kuda, akan tetapi karena ia memiliki ilmu ginkang yang amat hebat sehingga kuda yang ditunggangi seolah-olah tidak merasa ada beban di punggungnya, biarpun dengan cara sederhana saja, kudanya juga dapat melompati semua rintangan dan tidak pernah gagal. Ketika tiba saatnya ia harus melepaskan anak panah, Hui Lian mempergunakan ginkangnya. Kalau empat peserta yang lain tadi melepas anak panah sambil duduk dengan berbagai gaya, kini Hui Lian meloncat dan berdiri di atas kudanya, lalu membidikkan anak panahnya dan tepat mengenai sasaran! Tentu saja cara memanah sambil berdiri di atas punggung kuda ini lebih sukar, sehingga Hui Lian kembali memperoleh pujian dan sambutan tepuk sorak yang gemuruh.
Tiba giliran Hay Hay. Pemuda ini tadi tentu tidak akan maju dan ikut bertanding kalau saja tidak melihat Hui Lian hadir pula. Dia memang nakal dan hanya ingin menyaingi pemuda itu saja yang dianggap pamer kepandaian! Melihat betapa Hui Lian memanah sambil berdiri di atas punggung kudat Hay Hay tersenyum dan ketika dipersilakan maju, dia mengerling dan tersenyum ke arah Hui Lian yang segera membuang muka ketika melihat pemuda itu tersenyum kepadanya. Hay Hay sengaja memilih seekor kuda hitam yang nampaknya liar! Semua orang terkejut, bahkan tukang kuda memberi tahu bahwa kuda itu tidak memenuhi syarat untuk dipergunakan sebagai kuda tunggang bagi peserta keahlian memanah ini karena masih liar dan belum jinak benar. Akan tetapi, mana Hay Hay mengerti semua ucapannya?
Hay Hay mengira bahwa orang itu mengeluarkan kata-kata memuji padanya karena keberhasilannya tadi, maka dia pun hanya mengangguk-angguk dan tetap saja melompat naik ke atas punggung kuda hitam! Begitu merasa ada yang duduk di atas punggungnya, kuda itu mengeluarkan suara meringkik keras dan segera berloncatan seperti kemasukan setan! Hay Hay terkejut, akan tetapi dia cepat menyambar tali kendali kuda dan membiarkan kuda itu berloncatan sesuka hatinya. Dengan ginkangnya, tentu saja dia mampu duduk di atas punggung kuda hitam. Memang dia hendak menonjolkan kepandaian agar tidak kalah hebat daripada Hui Lian. Dengan kedua kakinya, dia menjepit perut kuda dan mengerahkan sinkang sehlngga tubuhnya menjadi berat. Kuda itu tidak berloncatan lagi, bahkan kini keempat kakinya gemetar seperti menahan beban yang amat berat.
"Kuda yang baik, sekarang larilah dan loncati semua rintangan itu. Nah, terbanglah!"
Dia meringankan tubuhnya dan menepuk leher kuda. Kuda itu agaknya maklum bahwa yang berada di punggungnya adalah orang yang jauh lebih kuat darinya dan kini tiba-tiba saja dia menjadi jinak. Apalagi karena Hay Hay mempergunakan kekuatan sihirnya yang mempengaruhi kuda itu! Kuda itu kini berlari dengan lurus dan indah dan Hay Hay juga merobah kedudukan, dia tidak duduk lagi melainkan tidur telentang di atas punggung kuda!
Kendali kuda tetap dipegangnya dan ketika kuda itu meloncati rintangan-rintangan, dia enak-enak tidur telentang di punggung kuda seperti kain basah saja! Semua rintangan berhasil dilewati dan tepuk tangan sorak-sorai tiada hentinya mengikuti semua gerakan kuda itu. Hay Hay masih tidur telentang ketika tiba saatnya harus memanah sasaran lingkaran yang tergantung di atas pohon. Dia sengaja memasang tiga batang anak panah pada busurnya dan sekali lepas, tiga batang anak panah itu meluncur ke atas, yang dua menembus lingkaran, yang satu mengenai tali gantungan sehingga papan lingkaran yang menjadi sasaran itu terjatuh. Kembali perbuatannya ini disambut sorak-sorai dan juga disambut kerut alis dan mulut cemberut oleh Hui Lian. Ujian pertama itu dilewati dengan baik oleh keenam orang yang menyertai sayembara.
Mereka dinyatakan lulus dan mereka kini siap untuk melakukan ujian ke dua. Belasan ekor rusa muda dilepas dalam sebuah hutan kecil di lereng bukit. Setelah rusa-rusa itu lari memasuki hutan dan lenyap menyelinap di antara semak-semak, enam orang peserta sayembara itu pun diperbolehkan melakukan pengejaran. Empat orang peserta segera berlari ke dalam hutan. Hui Lian tenang-tenang saja, akan tetapi ia pun pergi memasuki hutan. Hanya Hay Hay yang masih enak-enak, sama sekali tidak kelihatan tergesa-gesa biarpun orang-orang yang menjagoinya dan ingin melihat dia menjadi pemenang sudah meneriakinya agar dia cepat masuk ke hutan menangkap seekor rusa. Hay Hay tentu saja tidak mengerti apa yang mereka maksudkan, bahkan dia sama sekali tidak mengerti apa yang diperintahkan, tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Hanya karena melihat rusa-rusa itu dilepas ke hutan, kemudian para peserta lain melakukan pengejaran, dia dapat menduga bahwa kini tiba ujian menangkap seekor rusa liar. Karena hal itu dianggapnya amat mudah, dia pun enak-enak saja, dan kini dia berjalan seenaknya, dengan lenggang malas-malasan memasuki hutan. Semua orang yang menonton sayembara itu menanti dengan hati tegang, dan diantara mereka ada juga yang bertaruhan siapa yang akan lebih dulu mendapatkan seekor rusa. Akan tetapi yang paling ramai menjadi jago dalam taruhan adalah Hui Lian dan Hay Hay. Dari demonstrasi membawa loncat batu kemudian memanah sambil menunggang kuda tadi saja mereka sudah tahu bahwa kedua orang muda Han itu lebih unggul dibandingkan dengan empat orang saingannya yaitu para pemuda suku MIao.
Dugaan mereka benar karena tak lama kemudian, nampak berkelebat dua bayangan orang keluar dari dalam hutan dan ketika mereka tiba di situ, ternyata mereka adalah Hui Lian dan Hay Hay yang masing-masing telah memondong seekor rusa muda! Mereka tiba di situ dalam waktu yang bersamaan, disambut sorak-sorai para penonton. Muka Hui Lian menjadi merah karena penasaran. Tak disangkanya bahwa gerakannya yang cepat itu dapat diimbangi oleh pemuda bercaping yang kini senyum-senyum kepadanya. Kembali Hui Lian membuang muka dan hatinya mulai marah karena pemuda bercaping itu dianggapnya sengaja hendak menyaingi dan mempermainkannya. Juga diam-diam ia menganggap pemuda ini mata keranjang. Sayang seorang pemuda yang demikian tampan dan gagah, juga memiliki ilmu kepandaian yang hebat, kini mau saja mempetebutkan seorang gadis suku Miao!
Tak mungkin untuk benar-benar diperisteri karena kalau dia mau, pemuda itu tentu bisa
(Lanjut ke Jilid 24)
Pendekar Mata Keranjang (Seri ke 09 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 24
mendapatkan gadis yang jauh lebih cantik daripada puteri kepala suku Miao itu. Tentu hanya untuk main-main! Ia pun memandang dengan sinar mata mencorong. Kalau pemuda ini ternyata seorang laki-laki yang suka mempermainkan wanita, ia yang akan menentangnya! Berbahaya kalau seorang laki-laki tukang mempermainkan wanita memiliki ilmu kepandaian begitu tinggi. Lama setelah kedua orang peserta ini tiba di situ membawa rusa tangkapan mereka, bermunculanlah empat orang peserta lainnya, berturut-turut sambil membawa seekor rusa yang sudah mati karena mereka merobohkan rusa-rusa itu dengan anak panah mereka. Tentu saja hampir tidak mungkin bagi para pemburu itu untuk dapat menangkap seekor rusa tanpa menggunakan anak panah seperti yang dilakukan Hui Lian dan Hay Hay,
Dan mereka berempat hanya memandang dengan terheran-heran melihat betapa dua orang pemuda Han itu telah menda hului mereka, bahkan masing-masing telah menangkap seekor rusa yang masih hidup dan sama sekali tidak terluka! Ujian ketiga lebih menegangkan hati karena para peserta kini diuji kegagahan dan kekuatan mereka dengan melawan seekor kerbau! Mereka itu masing-masing harus dapat merobohkan seekor kerbau dan membuat binatang itu tidak berdaya dan tidak mampu bangkit kembali. Kerbau adalah seekor binatang yang jinak. Akan tetapi binatang ini kuat sekali dan biarpun jinak, kalau dipaksa akan dirobohkan, tentu melawan dan dapat berbahaya! Di situ telah disediakan belasan ekor kerbau dan setiap orang peserta boleh memilih seekor.
Seorang peserta, pemuda Miao yang bertubuh jangkung dan kumis melengkung, mendapat giliran pertama dan dia pun memilih seekor kerbau, menuntunnya keluar dari kandang dan membawanya ke lapangan di bawah panggung. Semua orang melihat dengan penuh perhatian. Menurut kelajiman di antara suku bangsa Miao, cara merobohkan kerbau dan membuatnya tidak berdaya dalah dengan jalan merangkul lehernya, memegangi kedua tanduk dengan dua tangan dan memuntir lehernya sehingga binatang itu akan terguling. Dengan terus menindihnya, dan memuntir batang leher, binatang itu tidak akan dapat bangun lagi. Akan tetapi hal ini bukan tidak berbahaya karena kerbau itu kuat sekali dan tentu akan memberontak dan marah. Kalau orangnya kalah kuat, dan kerbau itu sampai dapat melepaskan diri, akan berbahayalah keadaannya.
Pemuda Miao jangkung berkumis itu agaknya cukup kuat dan tahu bagaimana caranya menguasai kerbaunya. Setelah menuntun kerbaunya ke tengah lapangan, dia memilih saat kerbau itu lengah, tiba-tiba saja dia menerkam, memegang kedua tanduk kerbau, menjepit lehernya dan memutar. Kerbau itu terkejut dan hendak melepaskan diri, namun terlambat karena lehernya sudah dipuntir sehingga ia kehilangan keseimbangan tubuhnya dan roboh terguling. Orang-orang bersorak, akan tetapi dengan hati tetap tegang karena kini saat yang paling berbahaya pun tiba. Kerbau yang sudah rebah miring itu kini meronta dan mencoba untuk melepaskan diri, menggunakan kekuatan lehernya. Di sinilah terjadinya pergulatan itu dan terdengarlah pemimpin sayembara menghitung perlahan-lahan.
Menurut peraturan, kalau hitungan itu sampai lima puluh dan kerbau itu tidak terlepas, berarti menanglah peserta sayembara itu. Kalau lebelum lima puluh kerbau itu dapat bangkit berdiri, dia harus merobohkannya kembali dan hitungan pun diulang dari latu sampai lima puluh! Kerbau yang ditindih dan dipuntir lehernya oleh Si Jangkung berkumis itu berusaha meronta, namun Si Jangkung mempertahankan dan akhirnya hitungan sampal lima puluh. Dengan tubuh penuh keringat, napas agak memburu, peserta jangkung itu melepaskan jepitan lengannya dan kerbau itu pun digiring pergi, disambut sorak-sorai penonton yang memujinya. Peserta ke dua maju dan menuntun keluar seekor kerbau lain. Seperti juga peserta pertama, dia merobohkan kerbau itu dengan memuntir lehernya, memegangi kedua tanduknya. Akan tetapi, agaknya kerbau itu amat kuat, atau peserta itu yang kurang kuat.
Binatang itu terlalu kuat baginya sehingga ketika hitungan mencapai dua puluh tiga, kerbau yang meronta itu berhasil menggerakkan kepalanya sedemikian kuatnya dan orang itu pun tidak lagi dapat menguasainya. Kerbau itu bangkit dan kepalanya terus digoyang-goyangkan dan orang itu terlempar dengan lengannya berdarah, luka oleh tanduk kerbau. Kalau saja pada saat itu tidak muncul beberapa orang pengatur pertunjukan sayembara ini yang terus mengikat kerbau dan menggiringnya pergi, peserta itu dapat celaka karena diserang kerbau yang mulai marah itu. Gagallah peserta ke dua ini dan terpaksa dia harus mengundurkan diri, dinyatakan kalah! Peserta ke tiga mengalami nasib yang sama seperti peserta ke dua. Kerbau itu terlampau kuat baginya sehingga dia tidak mampu menahan kerbau itu di atas tanah lebih dari dua puluh hitungan.
Bahkan dia menderita luka lebih parah karena kalau peserta ke dua hanya luka di lengannya yang berdarah, orang ke tiga ini terkena seruduk dadanya sehingga pingsan! Tentu saja dia dinyatakan gagal. Peserta ke empat berhasil menahan kerbaunya sampai hitungan ke lima puluh, walaupun seperti peserta pertama dia pun mandi peluh dan napasnya memburu. Setelah peserta ke empat, majulah Hui Lian. Penonton menyambutnya dengan sorak-sorai, terutama sekali yang menjagoinya dalam taruhan. Akan tetapi Kiao Yi memandang dengan hati berdebar-debar. Ujian ini sepenuhnya merupakan pekerjaan laki-laki yang mempergunakan tenaga, sedangkan wakilnya itu adalah seorang wanita! Bagaimana kalau gagal? Dan lebih celaka lagi, bagaimana kalau sampai terluka? Ngeri dia membayangkan kerbau itu mengamuk dan menyeruduk dada gadis yang menyamar pria itu!
Semua orang menghentikan sorak sambutan mereka ketika melihat Hui Lian menuntun keluar seekor kerbau dari dalam kandang. Melihat banyaknya orang dan tadi mendengar sorak-sorai gaduh, kerbau itu sudah kelihatan panik dan matanya liar memandang ke kanan kiri, dan ia sudah kelihatan curiga kepada Hui Lian sehingga ketika di tuntun keluar beberapa kali kepalanya menoleh ke belakang dan hendak mogok. Akhirnya, Hui Lian tiba dengan kerbaunya di tengah lapangan. Ia menengok ke atas panggung dan melihat betapa kepala suku dengan keluarganya, termasuk puterinya, menjenguk dari atas panggung dan seperti semua orang, sedang mencurahkan perhatiannya kepadanya. Ketika ia mengerling ke kiri, ia melihat Hay Hay berjongkok, mukanya sebagian tertutup caping, akan tetapi sebelah mata yang nampak memandang kepadanya dengan berseri, dan mulutnya tersenyum,
Senyum yang seperti mengejek dan mentertawakannya. Ia tidak tahu bahwa pemuda bercaping itu amat kagum dan tertarik kepadanya, dan ada perasaan penasaran juga keinginan keras dalam hati pemuda bercaping itu untuk menguji kepandaiannya. Tidak seperti empat orang peserta terdahulu, Hui Lian tidak mau merobohkan kerbaunya dengan puntiran batang lehernya, walaupun kalau ia mau melakukan hal itu, tidak sukar baginya untuk memutar leher kerbau itu sampai patah tulang lehernya! Tidak, ia tidak merangkul dan memuntir lehernya, melainkan dengan cepat sekali kakinya mengirim tendangan, tidak terlalu keras ke arah lutut ke empat kaki binatang itu, cepat sekali bertubi-tubi dan binatang itu pun roboh! Empat batang kaki itu rasanya lumpuh dan tentu saja kerbau itu tidak mampu berdiri lagi.
Setiap kali ia berusaha bangkit berdiri, Hui Lian menyusulkan tendangan, tidak terlalu keras agar tidak membikin patah sambungan lutut, dan kerbau itu pun tidak mampu bangkit. Hitungan sampai lima puluh dan binatang itu sama sekali tidak dapat bangkit kembali karena selalu Hui Lian menyusulkan tendangan. Orang-orang bersorak, walaupun hati mereka tidak puas karena dalam ujian ini, walaupun lulus, Hui Lian tidak memperlihatkan kekuatan, melainkan menggunakan akalnya walaupun semua peserta, kecuali Hay Hay, harus mengakui bahwa mereka tidak akan mampu melakukan tendangan-tendangan seperti itu. Ketika kerbau itu dituntun pergi, kakinya tidak mengalami cedera, hanya agak terpincang-pincang sedikit. Legalah hati Kiao Yi dan dia semakin kagum saja kepada pendekar wanita yang menolongnya itu.
Tiba giliran Hay Hay sebagai peserta terakhir. Ketika dia memilih seekor kerbau yang paling besar dan paling galak di antara belasan ekor kerbau di kandang semua orang tertegun, bahkan Hui Lian memandang dengan alis berkerut. Akan tetapi, kini meledaklah suara ketawa para penonton karena Hay Hay tidak lagi menuntun kerbaunya seperti yang lain, melainkan meloncat ke atas punggung kerbau dan menungganginya. Kerbau yang sengaja dipilihkan dari kerbau yang liar itu terkejut dan dia hendak meronta, mendengus marah. Akan tetapi aneh, begitu Hay Hay menggerakkan kaki menendang perut dan menggunakan kedua tangan memegang leher, kerbau itu menjadi jinak dan dengan tenang melangkah perlahan menuju ke tengah lapangan, di tempat yang ditentukan bagi para peserta memperlihatkan kekuatannya. Dan tiba-tiba Hay Hay berseru,
"Kerbau yang baik, engkau rebahlah!"
Kerbau itu tentu saja tidak mengerti dan semua orang sudah mulai tertawa melihat cara pemuda itu hendak menundukkan kerbaunya. Akan tetapi, mereka terbelalak memandang ketika kerbau itu tiba-tiba mendengus, berusaha meronta, akan tetapi kedua tangan Hay Hay menekan leher, beberapa kali menepuk punggung dan ke empat kaki kerbau itu menjadi lemas dan kehilangan tenaga, mengakibatkan kerbau itu mendekam, di luar kemauannya! Para petugas mulai menghitung dan dihitung sampai lima puluh kali, kerbau itu tetap saja mendekam. Baru setelah hitungan habis dan Hay Hay meloncat turun, kerbau itu mendengus dan melompat, marah dan hendak lari mengamuk.
Akan tetapi, dengan cekatan Hay Hay menangkap ekornya dan kerbau itu pun tidak mampu lari lagi. Ketika Hay Hay menangkap kedua tanduknya dan menyeret kembali ke kandang, semua orang mengikutinya dengan tepuk tangan dan sorak sorai. Hay Hay pun lulus dalam ujian ini. Kini sisa peserta tinggal empat orang lagi setelah dua orang gagal dalam ujian merobohkan kerbau. Ujian ke empat amat berbahaya, yaitu menghadapi serangan anak panah dalam jarak seratus meter! Padahal anak panah yang dilepas oleh pemburu suku Miao terkenal dengan kecepatannya dan ketepatannya! Berbahaya sekali dan orang harus memiliki kecepatan gerakan untuk menghindar dari tiga batang anak panah yang dilepas secara beruntun itu! Memang untuk keperluan itu, ujung anak panah yang runcing telah dihilangkan, namun,
Biarpun tidak runcing, tetap saja dapat menembus kulit dan melukai daging, apalagi kalau sampai mengenai mata! Dua orang peserta pertama, pemuda-pemuda Miao itu sudah nampak gentar menghadapi ujian anak panah ini. Mereka maklum betapa sukarnya menghindarkan diri dari sambaran tiga batang anak panah itu, apalagi karena mereka tahu bahwa ujian ini dilakukan oleh Paman Wa Him, seorang ahli panah yang terkenal di antara para pemburu sebagai orang yang tidak pernah luput mempergunakan anak panahnya! Akan tetapi karena mereka berdua itu tergila-gila kepada Nian Ci, dan telah berhasil melampaui tiga macam ujian, mereka memberanikan hati dan peserta pertama lalu maju. Dia diharuskan berdiri di atas tanah yang sudah diberi lingkaran dengan garis tengah dua meter.
Dia boleh meloncat untuk mengelak asal tidak keluar dari lingkaran itu. Dan di depannya, dalam jarak seratus meter, telah berdiri seorang laki-laki setengah tua bertubuh tinggi besar yang sudah siap dengan busurnya yang besar. Di punggungnya terdapat tempat anak panah dengan belasan batang anak panah yang sudah dihilangkan ujungnya yang runcing. Para penonton yang berada di belakang peserta, diharuskan pindah, takut kalau-kalau anak panah akan mengenai penonton. Semua penonton kini sudah memilih tempat yang enak dan aman, dan hati mereka penuh dengan ketegangan ketika peserta pertama sudah berdiri tegak dengan sikap gagah namun wajahnya agak pucat. Pengatur ujian memberi isyarat agar peserta dan pemanah siap. Kakek tinggi besar itu sudah memasang anak panahnya pada busur, membidik sambil menarik tali busurnya.
Terdengar suara menjepret dan nampaklah luncuran anak panah, cepat sekali. Dan pemanah itu tidak berhenti bergerak, melainkan cepat sekali tangan kanannya sudah mencabut sebatang anak panah lagi dan meluncurkan anak panah ke dua dengan luar biasa cepatnya, disusul oleh anak panah ke tiga. Hanya seorang ahli panah yang sudah berpengalaman dan terlatih saja yang mampu memanah beruntun tiga kali secepat itu. Tiga batang anak panah itu meluncur susul-menyusul ke arah tubuh peserta. Peserta itu hanya melihat sinar berkelebat dan dia cepat meloncat ke kiri untuk mengelak, akan tetapi anak panah ke dua sudah menyambar ke arah tubuhnya mengelak. Kembali dla membuang diri ke kanan dan seperti anak panah pertama, anak panah ke dua ini pun luput walaupun sudah menyerempet ujung bajunya.
Harta Karun Jenghis Khan Eps 4 Asmara Berdarah Eps 17 Asmara Berdarah Eps 40