Ceritasilat Novel Online

Pendekar Lembah Naga 19


Pendekar Lembah Naga Karya Kho Ping Hoo Bagian 19



Begitu tubuhnya ditangkap dan dibawa lari seperti terbang, Sin Liong memandang dan tahulah dia bahwa dia terjatuh ke dalam tangan musuh lamanya! Tadi ketika Kim Hong Liu-nio membunuh tiga orang penyerbu rumah keluarga Na, diapun sudah mengenal wanita itu dan saking heran dan terkejutnya dia sampai tidak mampu berkata apa-apa. Kini, melihat dirinya ditawan, dia tidak berusaha meronta karena diapun tahu bahwa dia telah tertotok dan tidak akan mampu membebaskan diri dari cengkeraman wanita yang amat lihai ini. Akan tetapi, sekali ini Sin Liong tidak menjadi marah, bahkan diam-diam dia berterima kasih kepada wanita ini. Dia tahu bahwa tanpa adanya wanita aneh ini, tentu Tiong Pek dan Bi Cu telah tewas, juga dia sendiri. Wanita aneh ini telah menyelamatkan nyawa mereka bertiga, maka kalau sekarang menawannya dan hendak membunuhnya sekalipun, dia tidak akan merasa penasaran!

   Cepat bukan main larinya Kim Hong Liu-nio dan dia membawa Sin Liong ke puncak pegunungan yang tandus dan kering, sunyi seperti kuburan. Setelah tiba di atas puncak yang amat sunyi dan panas, Kim Hong Liu-nio melemparkan tubuh Sin Liong ke atas tanah. Sin Liong rebah terlentang tanpa mampu bergerak dan ketika wanita itu menotoknya dan membebaskan dirinya, dia bangkit duduk dan memandang kepada wanita itu dengan mulut tersenyum dan mata berseri lalu dia mengelus-elus bagian tubuhnya yang terasa nyeri karena luka-luka bekas pukulan lawan dalam perkelahian tadi. Melihat anak itu tersenyum kepadanya, Kim Hong Liu-nio mengerutkan alisnya. Senyum anak itu demikian terbuka dan sekiranya dia tidak begitu benci kepada anak ini sebagai putera musuh besarnya, tentu dia tidak ingin mencelakai seorang anak laki-laki seperti ini. Dan sepasang matanya demikian tajam.

   "Uhh...!"

   Kim Hong Liu-nio mengusap peluh di dahinya dan diam-diam dia memaki dirinya sendiri mengapa tiba-tiba saja dia merasa begitu lemah. Dia tidak tahu bahwa setelah dia menjadi korban asmara, setelah dia jatuh cinta terjadi perubahan dalam dirinya dan dia sebenarnya mendambakan kehidupan yang damai dan tenteram, jauh dari kekerasan dan penuh dengan cinta kasih dan kebahagiaan. Ada sesuatu yang mendorongnya untuk hidup akur dan damai dengan siapapun juga, mengajak senyum dan bergembira kepada siapapun juga.

   "Kenapa kau pringas-pringis seperti itu?"

   Bentaknya marah. Senyum di bibir Sin Liong melebar.

   "Bibi yang baik, engkau telah menyelamatkan nyawa Tiong Pek dan terutama Bi Cu, maka aku merasa girang sekali dan berterima kasih kepadamu. Ternyata engkau bukanlah iblis betina seperti yang selama ini kukira, melainkan orang yang gagah perkasa dan baik, yang kadang-kadang berpura-pura jahat dan kejam."

   "Hemm, apa maksudmu? Siapa itu Tiong Pek dan Bi Cu?"

   Bentak Kim Hong Liu-nio.

   "Tiong Pek dan Bi Cu adalah dua orang anak yang telah kau selamatkan nyawanya tadi, bibi yang baik..."

   "Aku bukan bibimu!"

   Bentak wanita itu marah.

   "Tentu saja bukan, akan tetapi... ah, agaknya kau tidak suka kusebut bibi? Baiklah, kusebut kau enci juga boleh!"

   "Huh, kau anak ceriwis!"

   Bentaknya lagi dan Sin Liong ini diam saja. Sampai lama mereka berdua tidak berkata-kata, dan wanita itu duduk di atas batu besar, matanya memandang jauh seperti orang melamun. Sin Liong juga memandang ke sana-sini. Keadaan amat sunyi dan tiba-tiba Sin Liong melihat betapa tempat itu penuh dengan burung-burung gagak. Ada yang beterbangan di atas dan ada pula yang hinggap di atas pohon, di atas batu-batu. Bulu mereka yang hitam itu mengkilap tertimpa sinar matahari pagi. Hari itu masih belum siang benar, akan tetapi panas matahari telah menyengat. Dan ternyata dia telah dilarikan selama semalam suntuk oleh wanita itu, wanita yang luar biasa.

   "Luar biasa...!"

   Tanpa disadarinya, kata-kata ini keluar dari mulutnya. Ucapan itu agaknya menyadarkan Kim Hong Liu-nio dari lamunannya. Dia sendiri tidak tahu mengapa akhir-akhir ini dia banyak melamun. Dia terkejut dan menoleh.

   "Apa katamu?"

   Bentaknya. Sin Liong juga terkejut karena dia sendiri tidak sadar bahwa jalan pikirannya keluar dari mulutnya.

   "Eh, apa...? Ok, aku hanya ingin tahu apakah yang akan kau lakukan kepadaku, enci? Mengapa kau mengajak aku ke tempat yang sunyi ini?"

   Tiba-tiba terdengar bunyi burung gagak. Seekor berbunyi, yang lain lalu menjawab dan mereka berkaok-kaok saling bersahutan. Sin Liong merasa serem. Bunyi burung gagak selalu menimbulkan serem di dalam hatinya, mengingatkan dia akan kematian. Kematian? Ibunya telah mati! Ibu kandungnya telah mati dibunuh oleh wanita ini! Dan tiba-tiba saja Sin Liong meloncat dengan penuh kemarahan, langsung saja dia menyerang Kim Hong Liu-nio dengan jurus ilmu silat yang selama ini dipelajarinya dari Na Ceng Han! Ketika Sin Liong menyerangnya wanita itu masih duduk di atas batu dan dia hanya memandang saja ketika Sin Liong menyerangnya. Setelah anak itu tiba dekat, kaki Kim Hong Liu-nio bergerak.

   "Bukkk!"

   Tubuh Sin Liong terlempar dan terbanting dengan keras sekali, Sin Liong memang sudah menderita luka-luka, dan tubuhnya masih lelah dan sakit-sakit, maka bantingan itu membuat dia seketika merasa pening. Akan tetapi dia sudah bangkit lagi, dan dengan hati terbakar kemarahan karena mengingat betapa wanita ini telah membunuh ibu kandungnya yang tercinta, dia menerjang lagi dengan nekat.

   "Iblis betina, kau telah membunuh ibuku!"

   Bentaknya. Sekali ini, Kim Hong Liu-nio menggerakkan tangannya menotok.

   "Brukkk!"

   Untuk kedua kalinya tubuh Sin Liong roboh dan sekali ini dia tidak mampu bergerak lagi.

   "Aku memang telah membunuh ibumu, dan aku akan segera membunuh ayahmu juga!"

   Kim Hong Liu-nio menghardik, kini kebenciannya timbul karena diapun seperti Sin Liong sudah teringat bahwa anak ini adalah putera dari musuh besarnya. Biarpun tubuhnya sudah lumpuh tak mampu bergerak, namun Sin Liong masih dapat bicara. Dengan suara mengejek dia berkata,

   "Huh, manusia macam engkau ini beraninya hanya menghina yang lemah. Kalau kau bertemu dengan ayah kandungku, dalam sepuluh jurus saja engkau tentu akan mampus!"

   Sin Liong memang sengaja mengeluarkan ucapan ini untuk mengejek dan menghina, satu-satunya hal yang mampu dilakukannya untuk melampiaskan kemarahan dan sakit hatinya. Akan tetapi ucapan itu diterima girang oleh Kim Hong Liu-nio.

   "Ah, jadi ayahmu berada di sini? Lekas katakan, di mana dia? Kalau kau memberi tahu di mana adanya Cia Bun How, aku akan mengampuni nyawamu!"

   Sin Liong adalah seorang anak yang luar biasa sekali. Wataknya keras dan dia tidak pernah mengenal takut. Kalau orang bersikap baik dan halus kepadanya, dia akan menjadi lunak dan tunduk. Akan tetapi kalau ada orang bersikap keras kepadanya, biar dia diancam maut, biar dia disiksa, dia tidak akan sudi tunduk. Maka, mendengar ucapan itu, matanya yang bersinar tajam itu memandang dengan mendelik, dan mulutnya tersenyum mengejek.

   "Aku tidak sudi mengatakan!"

   Padahal, tentu saja dia sendiripun tidak tahu di mana adanya ayah kandungnya itu, akan tetapi dia memang sengaja ingin membikin panas hati wanita pembunuh ibunya ini. Dan memang Kim Hong Liu-nio menjadi marah sekali. Kini dia yakin bahwa anak itu tentu tahu di mana adanya Cia Bun Houw, dan dia sudah mengambil keputusan untuk memaksa anak ini memberi tahu di mana adanya musuh besarnya itu.

   "Katakan di mana Cia Bun Houw!"

   Kembali dia membentak sambil mencengkeram tengkuk Sin Liong.

   "Tidak sudi!"

   Anak itu balas membentak.

   "Hemm, kau agaknya ingin kusiksa sampai setengah mati!"

   "Huh, apa artinya siksaanmu? Dahulupun kau meracuni tubuhku, dan aku tidak takut!"

   Ucapan ini mengingatkan Kim Hong Liu-nio dan cepat dia memeriksa tubuh anak itu, meraba pergelangan tangannya dan dadanya. Mata wanita itu terbelalak heran. Anak itu sudah bebas sama sekali dari Hui-tok-san!

   "Siapa yang mengobatimu? Ayahmu itu?"

   Sin Liong yang diangkat ke atas sehingga mukanya berdekatan dengan muka wanita itu, tersenyum mengejek.

   "Kau tidak akan dapat mengetahui!"

   "Bress!"

   Kim Hong Liu-nio membanting dan untuk ketiga kalinya tubuh Sin Liong terbanting ke atas tanah.

   "Hayo katakan, di mana ayahmu itu! Di mana Cia Bun Houw!"

   Kembali dia berteriak-teriak penuh kemarahan. Sin Liong merasa kepalanya pening dan tubuhnya sakit-sakit tanpa mampu bergerak. Akan tetapi nyalinya tidak pernah berkurang besarnya. Dia memandang wanita itu dan berkata,

   "Hemmm, kau ternyata lebih curang daripada seekor ular, lebih ganas daripada seekor serigala dan lebih jahat daripada ketua Jeng-hwa-pang atau iblis sekalipun!"

   "Hayo katakan di mana ayahmu!"

   "Tidak sudi! Kau mau apa?"

   "Keparat, hendak kulihat apakah engkau masih tetap akan membandel!"

   Dengan marah Kim Hong Liu-nio, menyambar tubuh Sin Liong, yang dibawanya kepada sebatang pohon dan dia menggunakan akar pohon untuk mengikatnya pada batang pohon itu, diikat dari kaki sampai ke leher. Setelah itu, dia lalu membebaskan totokan di tubuh anak itu agar Sin Liong merasakan sepenuhnya siksaan itu.

   "Kau mau bunuh sekalipun jangan harap aku akan sudi mengaku kepada orang jahat macam engkau!"

   Sin Liong memanaskan hati wanita itu.

   "Aku tidak akan membunuhmu. Kaulihat burung-burung itu? Nah, merekalah yang akan membunuhmu perlahan-lahan, mencabik-cabik dagingmu sedikit demi sedikit. Aku tidak akan pergi jauh, dan kalau kau berteriak memanggilku apabila engkau sudah mengubah sikap kepala batumu itu, tentu aku akan mendengarmu!"

   Setelah berkata demikian, Kim Hong Liu-nio tersenyum, senyum yang manis sekali, akan tetapi senyum yang membuat Sin Liong bergidik karena anak ini sudah mulai mengenal musuhnya yang dapat melakukan hal yang teramat keji. Dengan sekali berkelebat saja, wanita itu lenyap dari situ, meninggalkan Sin Liong terikat pada batang pohon dengan muka menghadap ke matahari yang sudah mulai naik agak tinggi dan sinarnya yang terik itu sepenuhnya menimpa muka dan tubuh Sin Liong.

   "Gaooookkk...!"

   Seekor burung gagak hitam melayang turun dan hinggap di atas batu di mana tadi Kim Hong Liu-nio duduk. Burung itu memandang ke arah Sin Liong, kepalanya dimiringkan ke kanan kiri seperti hendak memandang lebih teliti atau mendengarkan sesuatu. Tak lama kemudian, nampak bayangan hitam menyambar turun dari atas dan seekor burung gagak lain telah hinggap di atas tanah, di depan Sin Liong. Anak itu memandang tajam, heran melihat burung-burung itu berani mendekatinya dan dia belum mengerti apa maksudnya Kim Hong Liu-nio meninggalkannya terikat di situ.

   Dia tidak tahu bahwa burung-burung ini adalah burung-burung pemakan bangkai yang sudah kelaparan karena sudah lama tidak makan, dan betapa mereka itu sudah tidak sabar menanti adanya bangkai yang boleh mereka makan. Agaknya burung-burung lain tertarik oleh dua ekor burung yang berkaok-kaok di dekat Sin Liong itu karena kini banyak burung melayang turun dan mengurung tempat di mana Sin Liong diikat pada batang pohon itu. Sin Liong masih belum tahu akan datangnya bahaya mengerikan mengancamnya, bahkan dia memandang tanpa bergerak-gerak. Inilah salahnya. Kalau saja dia bergerak atau mengeluarkan suara, tentu burung-burung itu akan menjadi takut. Tiba-tiba seekor burung gagak terbang dan hinggap di atas pundak kiri Sin Liong. Anak ini barulah merasa terkejut, apalagi karena kuku-kuku jari kaki burung yang mencengkeram pundaknya itu menembus baju melukai kulitnya.

   "Hehhh....!"

   Dia membentak dan burung itu terbang dengan kaget, akan tetapi segera hinggap di atas tanah karena melihat anak itu tidak dapat bergerak. Keringat dingin mulai membasahi dahi dan leher Sin Liong. Kini dia memandang dengan mata terbelalak kepada burung-burung yang bergerak-gerak di depannya dan bagi pandang matanya, burung-burung itu seperti berubah menjadi iblis-iblis hitam yang menakutkan. Kembali ada dua ekor burung terbang atau meloncat dan mereka ini menerkam. Sin Liong membentak lagi dan dua ekor burung itu terbang turun, hanya untuk mengulang kembali perbuatan mereka. Sin Liong membentak-bentak, akan tetapi dua ekor burung yang hinggap di pundak dan lengannya tidak mau pergi bahkan kini mereka mulai mematuk-matuk ke arah mata Sin Liong!

   Anak itu terkejut dan ngeri, cepat dia memejamkan mata, akan tetapi tidak mampu mengelak karena lehernya tercekik kalau dia menggerakkan kepalanya. Dia mendengus-dengus dan agaknya suaranya inilah yang membuat dua ekor burung itu meragu dan tidak mematuknya, hanya sayap mereka yang bergerak-gerak dan mengibas-ngibas, sedangkan paruh mereka itu mengeluarkan bunyi berkaok yang terdengar nyaring sekali di dekat telinga Sin Liong! Sin Liong tidak berani membuka matanya dan hanya mendengus-dengus sambil menggerak-gerakkan kepalanya ke kanan kiri untuk mengusir burung-burung itu. Namun dua ekor burung gagak itu tidak mau pergi, sungguhpun mereka belum menyerang karena mereka masih meragu dan agaknya hendak menanti sampai calon mangsa mereka itu sama sekali tidak mampu bergerak.

   Sin Liong merasa ngeri bukan main. Baru sekarang dia merasakan kengerian yang mencekiknya, lebih mengerikan daripada ketika dia dilempar ke dalam sumur ular oleh ketua Jeng-hwa-pang. Hampir dia berteriak minta tolong, akan tetapi kalau dia teringat kepada wanita yang membunuh ibunya itu, dia tidak jadi berteriak bahkan dia mengatupkan mulutnya dan mengambil keputusan untuk tidak sudi berteriak sampai mati. Lebih baik mati dicabik-cabik burung-burung ini daripada dia berteriak, mengaku kalah dan tunduk kepada iblis betina itu, demikian tekad hatinya. Matahari naik makin tinggi. Sinarnya makin panas dan hampir Sin Liong tidak kuat untuk menahannya lagi. Anak ini merasa bahwa kalau sampai dia pingsan dan tidak bergerak, tentu burung-burung ini akan menyerangnya. Maka, biarpun panasnya membuat dia hampir tidak kuat bertahan,

   Kepalanya pening dan matanya yang dipejamkan itu melihat warna merah, lehernya seperti dicekik oleh kehausan, namun dia mempertahankan diri sekuatnya. Dia merasa tubuhnya kering sama sekali, diperas habis airnya yang menguap menjadi peluh. Dari jauh, Kim Hong Liu-nio mengintai. Wanita ini merasa kagum bukan main. Kembali timbul rasa sayangnya kepada anak itu di balik kebenciannya. Anak itu benar-benar hebat sekali! Selama ini, hanya kepada sutenya sajalah dia kagum dan menganggap sutenya seorang anak laki-laki yang paling hebat. Akan tetapi, melihat sikap Sin Liong, dia benar-benar merasa heran dan kagum dan harus mengakui bahwa anak itu benar-benar luar biasa, lebih hebat daripada sutenya. Akan tetapi, rasa sayang ini diusirnya dengan ingatan bahwa anak itu adalah putera Cia Bun Houw, musuhnya yang terbesar.

   "Gaoookkkk...!"

   Kembali burung yang hinggap di pundak kanan anak itu mengeluarkan bunyi tak sabar lagi. Kim Hong Liu-nio melihat betapa burung itu menggerakkan paruhnya, mematuk ke arah mata kanan yang terpejam itu.

   Akan tetapi, pada saat itu, ada debu mengebul dari sebelah kanan anak itu dan ketika dia memandang, ternyata tiga ekor burung yang tadi hinggap di kedua pundak dan lengan, kini telah jatuh dan mati di dekat kaki Sin Liong yang masih memejamkan matanya! Kim Hong Liu-nio terkejut bukan main dan cepat dia meloncat keluar dari tempat sembunyinya dan langsung dia mploncat dan lari ke tempat itu. Juga Sin Liong yang merasa betapa di pundaknya tidak ada lagi burung yang mencengkeramnya, membuka mata dan terheranlah dia melihat bangkai tiga ekor burung di lekat kakinya. Akan tetapi pandang matanya berkunang ketika dia membuka mata, dan dia melihat wanita itu datang berlari-lari. Habislah harapannya dan dia memejamkan matanya kembali. Akan tetapi, Sin Liong terkejut dan merasa heran ketika mendengar suara Kim Hong Liu-nio membentak marah.

   "Iblis dari mana yang berani bermain gila dengan Kim Hong Liu-nio?"

   Mendengar ini, Sin Liong cepat membuka matanya dan dia mengusir kepeningannya dan bintang-bintang yang menari-nari di depan matanya itu dengan goyangan kepalanya. Akhirnya dia melihat seorang kakek tua berjalan perlahan menuju ke tempat itu. Seperti juga Kim Hong Liu-nio, Sin Liong membuka matanya lebar-lebar dan memandang kakek yang mendatangi itu dengan sinar mata tajam penuh selidik. Sin Liong masih tidak tahu bagaimana burung-burung itu mati secara aneh. Tadinya dia menyangka bahwa Kim Hong Liu-nio yang membunuh binatang-binatang rakus itu, akan tetapi melihat munculnya kakek ini, dia meragu dan hatinya tertarik sekali. Sebaliknya, Kim Hong Liu-nio juga memandang penuh selidik dan hatinya menduga-duga.

   Benar kakek inikah yang membunuhi tiga ekor burung gagak secara aneh itu? Dia masih belum tahu bagaimana burung-burung itu mati. Melihat adanya debu mengebul, tentu orang telah
(Lanjut ke Jilid 18)
Pendekar Lembah Naga (Seri ke 04 "

   Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 18
mempergunakan pukulan jarak jauh, akan tetapi, burung-burung itu hinggap di tubuh Sin Liong dan memukul mati burung-burung itu dengan hawa pukulan jarak jauh tanpa mengenai anak itu sendiri, sungguh merupakan ilmu yang luar biasa. Dia masih meragu dan memandang tajam penuh selidik. Kakek itu sudah tua sekali, sedikitnya tentu sudah tujuh puluh lima tahun usianya. Rambutnya yang halus dan terpelihara rapi dan bersih, sudah putih semua dan digelung ke atas dengan rapi, diikat dengan kain kuning yang bersih. Pakaiannya sederhana sekali, seperti pakaian petani, akan tetapi pakaiannya juga bersih.

   Wajah itu dihias kumis dan jenggot yang halus dan sudah putih pula. Namun, wajah kakek ini masih kelihatan sehat dan segar kemerahan, keriput di pipinya hampir tidak nampak. Wajah yang manis budi dan sabar, akan tetapi sinar matanya membayangkan wibawa dan kekerasan hati seorang pendekar! Kakek ini berpakaian polos, agaknya tidak membawa senjata apapun. Setelah tiba di tempat itu, kakek yang mendatangi dengan langkah ringan dan perlahan, sejenak memandang kepada Sin Liong, kemudian dia menoleh dan memandang kepada wanita cantik itu. Kim Hong Liu-nio merasa betapa jantungnya berdebar tegang ketika melihat sepasang mata tua itu menyambar ke arahnya dengan ketajaman pandangan yang menyeramkan. Lalu terdengar suara kakek itu, halus dan lembut akan tetapi mengandung teguran dan wibawa.

   "Mengganggu orang yang tidak mampu melawan merupakan perbuatan yang pengecut, apalagi menyiksa seorang bocah yang tak dapat melawan merupakan perbuatan keji. Bagaimanakah seorang wanita muda dan cantik seperti engkau ini dapat melakukan perbuatan keji dan pengecut?"

   Kim Hong Liu-nio adalah seorang wanita yang memiliki tingkat kepandaian tinggi dan dia tidak pernah mengenal takut. Biarpun dia dapat menduga bahwa kakek ini tentu seorang yang pandai, namun tentu saja dia sama sekali tidak merasa jerih dan kini mendengar kakek itu mencelanya, tentu saja dia menjadi marah sekali.

   "Kakek yang lancang tangan dan lancang mulut! Apakah orang setua engkau ini masih belum tahu bahwa mencampuri urusan orang lain adalah perbuatan hina yang takkan dilakukan oleh seorang kang-ouw?"

   "Menyelamatkan siapapun dari perbuatan keji bukanlah berarti mencampuri urusan orang lain, melainkan sudah menjadi tugas setiap orang manusia yang waras. Bahkan andaikata anak ini anak kandungmu sekalipun yang akan kau siksa, pasti aku akan turun tangan menyelamatkannya dan mencegah perbuatanmu yang keji itu."

   Tentu saja Kim Hong Liu-nio menjadi makin marah. Pertama karena kakek itu mengatakan anak itu anak kandungnya! Padahal dia adalah seorang perawan. Dan ke dua, dengan terang-terangan kakek itu menyatakan akan menentangnya!

   "Tua bangka yang bosan hidup!"

   Bentaknya marah, mulutnya tersenyum, tanda bahwa kemarahannya sudah mencapai puncaknya dan dia sudah siap untuk membunuh, dengan tenang dia lalu mengenakan sarung tangannya.

   "Apakah engkau belum mendengar siapa aku? Tentu engkau tidak mengenal Kim Hong Liu-nio maka engkau berani bersikap seperti ini."

   "Hemm, tentu saja aku tahu siapa engkau. Engkau adalah seorang wanita yang sudah berhasil mempelajari ilmu-ilmu yang tinggi akan tetapi gurumu adalah seorang jahat sehingga tidak mendidik batinmu. Ilmu tinggi yang terjatuh ke tangan seorang yang kejam, hanya akan mendatangkan bencana di dunia ini."

   "Keparat, terimalah ini!"

   Kim Hong Liu-nio yang sudah marah itu tidak dapat bertahan lagi dan dia sudah mencelat ke depan dengan kecepatan kilat dan melakukan serangan pukulan dengan kedua tangannya. Pukulan maut yang datangnya cepat dan mengeluarkan suara angin bercuitan mengerikan. Karena menduga bahwa lawannya lihai, begitu menyerang Kim Hong Liu-nio telah mengerahkan sin-kangnya dan pukulan itu merupakan pukulan maut yang sukar dilawan! Akan tetapi, kakek itu malah membalikkan tubuhnya dan dengan kedua tangannya dia membuka ikatan tangan yang membelenggu Sin Liong! Melihat ini, Kim Hong Liu-nio menahan pukulannya dan alisnya berkerut. Demikian hebatkah kakek ini sehingga tidak memandang sebelah mata kepada serangannya?

   Ketika dia melihat bahwa kakek ini sudah membebaskan ikatan Sin Liong yang segera jatuh terduduk dengan lemas dan anak itu menggosok-gosok kedua pergelangan tangan dan terengah-engah, Kim Hong Liu-nio membentak keras dan sekarang dia benar-benar menyerang ke arah kakek itu dengan pukulan maut yang mengarah pelipis dan ulu hati kakek itu. Diam-diam kakek itu tersenyum. Ternyata dugaannya tadi agak keliru. Wanita ini tidak memiliki watak curang, buktinya serangan pertama tadi ditundanya ketika dia sedang membuka ikatan anak itu. Akan tetapi dugaannya bahwa wanita ini memiliki ilmu tinggi adalah benar karena melihat serangan itu saja tahulah dia bahwa wanita ini benar-benar lihai sekali. Untuk mencoba kekuatan wanita itu, dia sengaja menggerakkan kedua tangannya menangkis. Dua kali dua pasang tangan bertemu.

   "Dukk! Plak!"

   Kim Hong Liu-nio terkejut bukan main. Tubuhnya terdorong mundur oleh tangkisan-tangkisan itu! Di lain fihak, kakek itu makin kagum karena ternyata bahwa serangan wanita ini mampu membuat kedua lengannya tergetar! Maklum bahwa dia kalah kuat dalam hal sin-kang oleh kakek aneh yang tak dikenalnya ini, Kim Hong Liu-nio menjadi penasaran dan marah. Dia mengeluarkan suara melengking panjang dan tiba-tiba tubuhnya sudah menerjang dengan gerakan cepat bukan main yang membuat dia seperti lenyap berubah menjadi bayang-bayang yang luar biasa cepatnya. Kaki tangannya menyerang bertubi-tubi ke arah bagian tubuh berbahaya dari kakek itu, setiap serangan mcrupakan serangan maut!

   Sementara itu, kakek yang ternyata amat luar biasa kepandaiannya itu, dengan alis putih berkerut memperhatikan gerakan lawan dan diam-diam diapun merasa terheran-heran karena dia tidak mengenal ilmu silat yang dimainkan oleh wanita itu. Padahal, dia hampir mengenal semua dasar ilmu silat tinggi dari semua partai-partai besar! Akan tetapi, diapun harus mengimbangi kecepatan wanita itu dan selalu dapat menghindarkan diri atau menangkis. Kembali Kim Hong Liu-nio terkejut bukan main. Kakek petani ini ternyata hebat sekali! Bukan saja dapat menandingi sin-kangnya, bahkan tidak terdesak oleh gin-kangnya! Diam-diam dia lalu mencabut tiga batang hio dan dengan kuku jari tangannya menyentik batu api, muncratlah batu api membakar ujung tiga batang hio itu. Hio-hio ini sebenarnya dia sediakan untuk membunuh musuh-musuh gurunya,

   Seperti yang telah dilakukannya kepada beberapa orang yang telah berhasil dibunuhnya. Akan tetapi menghadapi seorang lawan tangguh seperti kakek ini, dia akan mempergunakannya juga karena senjata hio itu merupakan senjata istimewa pula. Kakek itu hanya memandang sambil mengelak ke sana-sini ketika wanita itu sambil menyerang mengeluarkan dan menyalakan tiga batang hio. Dia tidak tahu apa artinya dan tertarik sekali, menduga bahwa agaknya wanita ini adalah seorang ahli ilmu hitam yang hendak mempergunakan ilmu sihirnya. Dia tidak takut, melainkan tertarik sekali dan ingin melihat bagaimana wanita itu hendak menggunakan sihir atas dirinya! Akan tetapi, tiba-tiba wanita itu mengeluarkan bentakan nyaring sekali dan kakek itu melihat sinar-sinar keemasan kecil menyambar ke arah tiga jalan darah di tubuhnya!

   Tahulah dia bahwa hio-hio menyala itu sama sekali bukan dipergunakan untuk main sulap atau sihir, melainkan untuk dipergunakan sebagai senjata rahasia yang menyerangnya! Kakek itu mengeluarkan seruan panjang, tiba-tiba tubuhnya bergerak cepat ke atas dan ketika dia melayang turun kembali, tiga batang hio menyala itu telah disambarnya dan berada di tangannya. Sekali dia melempar, tiga batang hio itu menancap di atas tanah dan asapnya bergulung-gulung kecil ke atas! Kim Hong Liu-nio terkejut, juga makin penasaran dan marah. Tiba-tiba dia bergerak, didahului oleh sinar merah dan ternyata wanita ini telah menyerang lagi dengan menggunakan sabuk merahnya. Dengan gerakan seperti seekor ular hidup, ujung sabuk merah itu secara bertubi telah menotok ke arah tujuh jalan darah kematian di sebelah depan tubuh kakek itu!

   "Hemm, keji...!"

   Kakek itu mencela dan cepat dia menggunakan telapak kanan untuk menangkap ujung sabuk merah. Akan tetapi, begitu melihat lawan hendak menangkap ujung sabuk, Kim Hong Liu-nio menggerakkan tangan dan kini ujung sabuk itu meluncur dan menotok ke arah telapak tangan itu secara langsung, untuk menotok jalan darah antara ibu jari dan telunjuk tangan kanan yang terbuka itu. Akan tetapi, kakek itu agaknya tidak tahu akan serangan ini dan tetap saja membuka tangan hendak menangkap ujung sabuk itu, Kim Hong Liu-nio menjadi girang sekali dan menambah tenaganya ketika ujung sabuk bertemu dengan telapak tangan lawan.

   "Plakk...!"

   Ujung sabuk itu tepat mengenai telapak tangan dan melekat di situ. Tiba-tiba wajah cantik itu birubah pucat, matanya terbelalak lebar memandang kepada kakek itu ketika Kim Hong Liu-nio merasa betapa tenaga sin-kangnya memberobot keluar dari tangannya yang ujungnya menempel pada telapak tangan kakek itu.

   "Thi-khi-i-beng...!"

   Dia berteriak kaget dan membuat gerakan tiba-tiba menarik sabuk merahnya.

   "Pratttt...!"

   Sabuk merah itu terputus di tengah-tengah!

   "Ahhh...!"

   Kakek itu berseru kagum sekali. Kim Hong Liu-nio masih memandang terbelalak. Dia mengenal Thi-khi-i-beng seperti yang pernah diceritakan oleh subonya. Thi-khi-i-beng adalah ilmu yang aneh, sesuai dengan namanya yang berarti Curi Hawa Pindahkan Nyawa, ilmu itu dapat menyedot hawa sin-kang lawan sampai habis! Untung dia telah mempelajari ilmu untuk melepaskan diri dari sedotan Thi-khi-i-beng yang ampuh itu!

   "Siapakah engkau...?"

   Tanyanya, suaranya membayangkan awal kejerihan menghadapi kakek yang hebat itu. Kakek itu melemparkan sabuk merah yang putus itu ke atas tanah lalu menarik napas panjang, lalu berkata dengan suara lirih dan seperti orang membaca sajak,

   "Namaku tidak lebih terkenal daripada sebatang pedang, akan tetapi pedangku adalah pedang kayu yang tidak keras, juga tidak berbau darah kering melainkan harum semerbak. Ah, sampai terpaksa aku menggunakan Thi-khi-i-beng, menandakan bahwa kepandaianmu hebat sekali, nona."

   Kim Hong Liu-nio makin terkejut dan hatinya makin gentar. Dalam kata-kata perkenalan dari kakek itu terkandung kata-kata pedang kayu dan harum. Pedang Kayu Harum, Siang-bhok-kiam! Dia cepat membuat gerakan membungkuk.

   "Sudah kuduga..."

   Bisiknya.

   "kiranya... maafkan saya..."

   Dan tanpa bicara apa-apa lagi, Kim Hong Liu-nio membalikkan tubuhnya dan melarikan diri dengan cepat seperti terbang.

   "Nona, tunggu dulu...!"

   Kakek itu berseru, akan tetapi Kim Hong Liu-nio menjawab tanpa menoleh.

   "Lain kali kita akan saling berjumpa kembali!"

   Cia Keng Hong, atau ketua dari Cin-ling-pai, pendekar sakti yang amat terkenal dengan pedang kayu harumnya itu, memandang dan tidak mengejar. Dia merasa kagum sekali karena setelah puluhan tahun tidak bertemu lawan,

   Baru sekarang dia bertemu tanding seorang wanita yang masih muda akan tetapi juga memiliki kepandaian yang tinggi sekali, bahkan dia tidak mengenal dasar ilmu silat yang dimainkan oleh wanita itu! Para pembaca dari cerita Siang-bhok-kiam, lalu cerita Petualangan Asmara, dan Dewi Maut, tentu tidak asing lagi dengan pendekar sakti Cia Keng Hong ini. Dia adalah seorang pendekar sakti yang namanya terkenal sekali di dunia kang-ouw, sebagai ketua dari Cin-ling-pai di Pegunungan Cin-ling-san, di mana dia hidup bersama isterinya yang tercinta seorang bekas pendekar wanita yang lihai pula. Di dalam cerita Dewi Maut telah diceritakan betapa Cia Keng Hong telah meninggalkan keramaian dunia kang-ouw dan dia yang sudah tua hidup tentram di Pegunungan Cin-ling-san sampai cerita ini terjadi.

   Pada waktu sekarang, Cia Keng Hong, dalam usia yang sudah tujuh puluh tahun lebih, pendekar sakti ini merasa betapa hidupnya penuh dengan duka. Isterinya, satu-satunya manusia di dunia ini yang paling dicintanya, telah meninggal dunia dua tahun yang lalu, meninggal dunia dalam usia yang sudah cukup tinggi, kurang lebih tujuh puluh tahun, akan tetapi sayangnya meninggal dalam keadaan duka pula karena kematiannya tidak ditunggui oleh puteranya yang terkasih, yaitu Cia Bun Houw. Diam-diam di dalam hati pendekar sakti ini timbul penyesalan besar. Dia tidak dapat menyalahkan Bun Houw yang sampai sepuluh tahun lebih lamanya belum pernah pulang itu. Dia sendirilah yang menyebabkannya. Dia yang seolah-olah mengusir puteranya itu karena puteranya itu nekat hendak hidup sebagai suami isteri bersama Yap In Hong, adik dari pendekar Yap Kun Liong.

   Dia melarang dan tidak setuju, akan tetapi Bun Houw nekat sehingga puteranya itu lalu pergi bersama In Hong dan sampai kini tidak ada kabar ceritanya. Hiburan satu-satunya bagi Cia Keng Hong setelah isterinya meninggal dunia adalah cucunya yang digemblengnya sejak kecil di Pegunungan Cin-ling-san itu. Cucu perempuan ini bukan lain Lie Ciaw Si, puteri dari Cia Giok Keng dan mendiang Lie Kong Tek. Dengan tekun pendekar sakti itu menurunkan kepandaiannya kepada cucunya ini, dan biarpun Ciauw Si tidak memiliki bakat yang terlalu menonjol, akan tetapi dara ini telah mewarisi banyak ilmu tinggi kakeknya sehingga dia menjadi seorang dara yang hebat juga dan jarang akan ada yang mampu menandinginya. Betapapun juga, setelah neneknya meninggal, dara yang kini berusia dua puluh tahun itu sering kali melihat kakeknya termenung duka,

   Bahkan sering kali kakeknya itu seperti seorang pikun turun gunung dan merantau di kaki Pegunungan Cin-ling-san, lupa makan lupa tidur dan baru pulang kalau sudah disusul dan dibujuknya. Kemudian Ciauw Si mendengar penuturan ibunya yang masih tinggal di Sin-yang di rumah mendiang suaminya, tentang pamannya, adik ibunya, yaitu Cia Bun Houw dan bahwa kedukaan kakeknya itu disebabkan oleh kepergian Bun Houw yang sampai sekarang tidak pernah ada beritanya itu. Mendengar ini, Ciauw Si yang mencinta kakeknya itu merasa kasihan dan pada suatu pagi pergilah dia meninggalkan Cin-ling-san dengan meninggalkan surat untuk kakeknya, memberi tahu bahwa dia pergi untuk mencari pamannya, Cia Bun Houw! Akan tetapi, kejadian ini sama sekali tidak menggirangkan hati kakek pendekar itu.

   Sebaliknya malah. Dia merasa prihatin dan khawatir. Biarpun cucunya itu sudah memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi cucunya adalah seorang wanita muda dan kurang pengalaman, padahal dia tahu betul betapa bahayanya merantau di dunia kang-ouw seorang diri bagi seorang wanita muda. Kekhawatiran ini membuat hatinya tidak tenang, maka kakek inipun lalu turun gunun untuk mencari cucunya! Demikianlah keadaan singkat dari kakek pendekar Cia Keng Hong yang usianya sudah tujuh puluh lima tahun itu. Dalam perantauannya mencari cucunya itulah secara kebetulan dia melihat Sin Liong yang sedang tersiksa oleh Kim Hong Liu-nio dan dia lalu turun tangan menolongnya. Biasanya, kakek yang sedang merantau ini menyembunyikan diri dan kepandaiannya, dan kalau sekarang dia memperlihatkan kepandaiannya, adalah karena dia terpaksa sekali oleh kelihaian Kim Hong Liu-nio.

   Kakek itu merasa amat kagum menyaksikan sikap anak yang disiksa itu, dan diam-diam dia memperhatikan, bahkan ketika dia membebaskan belenggu itu jari-jari tangannya mengusap dan dia memperoleh kenyataan bahwa anak itu benar-benar memiliki tulang yang baik sekali. Kini kakek itu menghampiri Sin Liong yang sudah bangkit berdiri dengan bibir pecah-pecah. Biarpun anak itu lebih patut dikatakan setengah hidup dalam keadaan payah sekali, namun anak itu sudah bangkit berdiri dan memandang kepada kakek itu dengan mata merah, mata yang tadi disiksa oleh panasnya matahari. Setelah kakek itu datang dekat, tiba-tiba Sin Liong tak dapat bertahan lagi dan dia terhuyung dan tentu terguling kalau tidak cepat disambar oleh tangan kakek itu. Sin Liong roboh pingsan, hal yang ditahan-tahannya sejak tadi. Sin Liong mengecap-ngecap bibirnya yang basah.

   Dia membuka mata dan melihat bahwa dia sedang rebah di bawah pohon yang teduh sedangkan kakek itu membasahi mukanya dan memberi minum air jernih yang dingin dan nikmat sekali terasa olehnya. Cepat dia bangkit duduk dan menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu. Sin Liong maklum bahwa tanpa adanya kakek ini, dia tentu sudah mati dalam keadaan mengerikan, dirobek-robek dagingnya oleh burung-burung gagak pemakan bangkai! Biarpun tadi kepalanya pening dan pandang matanya berkunang, namun dia masih dapat menyaksikan betapa kakek yang sederhana ini ternyata mampu menandingi Kim Hong Liu-nio, bahkan wanita iblis itu melarikan diri! Maka Sin Liong yang cerdik mengerti bahwa kakek tua renta ini adalah seorang manusia sakti yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali.

   "Saya menghaturkan terima kasih atas budi pertolongan locianpwe."

   Cia Keng Hong mengurut jenggotnya yang putih dan memandang kepada bocah itu penuh perhatian. Ketika dia merawat Sin Liong dari pingsannya tadi, kembali dia meraba-raba dan makin yakin dia akan bakat yang terpedam dalam diri anak ini.

   "Anak yang baik, siapakah namamu?"

   
Pendekar Lembah Naga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Nama saya Sin Liong..."

   Tercengang juga hati kakek itu mendengar nama yang gagah itu. Nama anak ini berarti Naga Sakti!

   "Engkau she apakah, Sin Liong?"

   Sin Liong tahu bahwa dia adalah she Cia. Akan tetapi dia tidak mau membawa-bawa nama ayahnya yang belum pernah dijumpainya itu, maka tanpa ragu-ragu lagi dia menjawab,

   "Locianpwe, sejak kecil saya tidak tahu apakah she saya. Saya hanya bernama Sin Liong, tanpa she."

   Cia Keng Hong tercengang, alisnya berkerut.

   "Kalau begitu, siapakah ayah bundamu?"

   Sin Liong menggeleng kepalanva.

   "Saya hidup sebatangkara, tidak mempunyai ayah dan bunda. Saya bekerja sebagai pelayan dari Na-piauwsu yang tinggal di Kun-ting. Akan tetapi beberapa hari yang lalu Na-piauwsu serumah dibunuh orang-orang yang menjadi musuhnya. Lalu muncul wanita iblis itu yang berbalik membunuhi semua orang yang telah membasmi keluarga Na-piauwsu, akan tetapi wanita itu lalu membawa saya ke sini."

   Kakek itu mengelus jenggotnya yang putih dan alis matanya tetap berkerut. Sungguh aneh cerita anak ini.

   "Dan mengapa kau dibawanya ke sini dan akan disiksanya sampai mati? Apakah dia memaksamu untuk menceritakan sesuatu?"

   Sin Liong menggeleng kepala.

   "Saya sendiri tidak tahu, locianpwe."

   Cia Keng Hong adalah seorang kakek bijaksana. Dia sudah mengenal seorang anak yang luar biasa dan dia menduga bahwa tentu ada rahasia di balik diri anak ini dan bahwa anak ini sengaja tidak mau menceritakan tentang dirinya. Maka diapun tidak mau mendesak. Hatinya merasa kasihan sekali dan entah mengapa, dia merasa amat tertarik kepada Sin Liong, merasa seolah-olah wajah anak ini tidak asing baginya.

   "Sin Liong, setelah keluarga Na itu dibasmi orang, lalu sekarang engkau akan tinggal di mana?"

   Tanyanya. Sin Liong tidak mampu menjawab, akan tetapi akhirnya dia berkata,

   "Locianpwe, dunia begini luas, saya tidak merasa khawatir untuk tidak kebagian tempat tinggal. Bukankah di manapun bisa ditinggali, misalnya di hutan ini sekalipun?"

   Cia Keng Hong terharu. Anak ini masih wajar, masih polos dan murni, belum dikotori "kebudayaan"

   Dunia di mana setiap orang manusia bergulat untuk memperoleh kemuliaan dan kesenangan, kalau perlu dengan jalan mendorong dan menginjak orang lain. Anak ini agaknya belum membutuhkan apa-apa!

   "Sin Liong, apakah engkau suka belajar ilmu silat?"

   Sejenak wajah anak itu berseri gembira.

   "Tentu saja, locianpwe."

   "Bagus! Kalau begitu marilah kau turut bersamaku dan aku akan mengajarkan ilmu silat kepadamu."

   Sin Liong memang sudah merasa kagum dan suka sekali kepada kakek ini. Pelindungnya, Na-piauwsu telah tewas, maka tidak ada tempat lain baginya dan kakek ini ternyata jauh lebih lihai daripada Na-piauwsu, bahkan agaknya lebih lihai atau setidaknya pun tidak kalah oleh Kim Hong Liu-nio! Maka dia lalu berlutut lagi.

   "Terima kasih atas kebaikan locianpwe."

   Cia Keng Hong membangunkan anak itu dengan wajah berseri. Baru sekarang semenjak dia pergi menyusul dan mencari cucunya, dia merasa girang.

   "Bangunlah dan mari kita berangkat sekarang juga, Sin Liong. Aku tidak ingin terjadi banyak keributan dan kalau wanita itu kembali lagi, tentu akan terjadi keributan."

   Berangkatlah mereka meninggalkan tempat itu dan Cia Keng Hong mengambil keputusan untuk kembah ke Cin-ling-san dengan jalan memutar karena dia masih ingin mendengar-dengar dan mencari jejak cucunya yang pergi meninggalkan Cin-ling-san tanpa pamit itu. Hati Cia Keng Hong makin merasa suka kepada Sin Liong. Di sepanjang perjalanan, anak ini memperlihatkan sikap yang pendiam, tidak cerewet, tidak pernah mengeluh, kuat dan tahan uji, juga amat cerdik. Pernah dia mencobanya dengan mengajaknya berjalan semalam suntuk. Namun Sin Liong tidak pernah mengeluh, sungguhpun ketika berjalan semalam suntuk itu beberapa kali dia terhuyung dan kedua kakinya membengkak, dan ketika diajak berpuasa itu pendengaran telinga kakek pendekar yang amat tajam itu dapat menangkap bunyi perut anak itu berkeruyuk berkali-kali.

   Pada suatu hari, tibalah kakek dan anak tanggung ini di sebuah batu karang. Ketika mereka tiba di kaki bukit, dari jauh saja keduanya sudah melihat serombongan orang berjalan terhuyung-huyung dan mereka semua itu luka-luka seperti serombongan pasukan kecil yang baru saja pulang dari medan pertempuran dengan menderita kekalahan. Cia Keng Hong yang tidak ingin mencampuri urusan orang lain, menggandeng tangan Sin Liong hendak diajak mengambil jalan lain karena sekelebatan saja dia tahu bahwa orang-orang itu adalah orang-orang kang-ouw atau orang-orang yang memiliki kepandaian silat dan yang telah luka-luka karena pertempuran. Orang-orang seperti itu tentulah orang-orang yang selalu mengandalkan kepandaian sendiri dan suka mencari permusuhan dan suka mencari kekerasan, maka dia hendak menjauhkan Sin Liong dari mereka.

   "Locianpwe...!"

   "Ah, agaknya Thian yang menuntun ciangbunjin (ketua) dari Cin-ling-pai ke sini untuk menolong kami...!"

   Tiba-tiba belasan orang itu semua menjatuhkan diri berlutut di depan Cia Keng Hong! Tentu saja kakek ini menjadi kaget dan tahulah dia bahwa mereka itu telah mengenalnya sehingga tak mungkin dia menyingkir lagi. Maka diapun memandang kepada mereka penuh perhatian. Akhirnya dia teringat bahwa dia mengenal beberapa orang di antara mereka sebagai pendekar-pendekar yang gagah dan bukanlah kaum kasar, melainkan pendekar-pendekar yang suka menolong orang. Maka dengan sikap halus diapun mendekati dan bertanya kepada mereka.

   "Cu-wi sicu (sekalian orang gagah) mengapa menderita luka-luka? Apakah yang telah terjadi?"

   Seorang laki-laki berusia lima puluh tahun yang pundaknya terluka, bajunya robek dan kulit pundak itu kelihatan biru dan lumpuh sebelah lengannya, segera menjawab,

   "Di puncak bukit ini terdapat seorang gila yang merampas kambing, kuda, sapi, anjing dan binatang apa saja milik penduduk dusun-dusun di sekitar bukit ini untuk dibunuh dan diganyang mentah-mentah! Orang-orang dusun yang datang kepadanya semua dilukai. Kami yang mendengar ini lalu pergi untuk mengusirnya, akan ternyata orang gila itu lihai dan jahat sekali sehingga kami semuapun kalah dan terluka. Oleh karena itu, demi kepentingan para penghuni dusun di sekitar tempat ini, kami mohon kebijaksanaan dan keadilan locianpwe untuk mengusir orang gila itu dari daerah ini."

   Setelah bercerita, kakek itu bersama teman-temannya segera amat tergesa-gesa bangkit berdiri dan menjura, lalu meninggalkan tempat itu dengan terhuyung dan terpincang-pincang, seolah-olah mereka masih merasa jerih dan khawatir kalau-kalau orang gila itu mengejar mereka! Cia Keng Hong mengerutkan alisnya. Dia tidak tertarik untuk menguruskan orang gila! Berapa banyak sih binatang yang dapat dimakan habis oleh seorang manusia, betapa gilapun dia? Dan biasanya, seorang gila tidak akan mengganggu orang lain kalau tidak lebih dulu diganggu! Mungkin anak-anak penggembala ternak itu yang lebih dulu mengganggu si gila sehingga menjadi marah-marah. Kalau para pendekar itu tidak mendatangi si gila di atas bukit, jelas bahwa si gila itu tidak akan melukai mereka. Dia tidak boleh hanya mendengarkan laporan sefihak lalu membela mereka.

   "Sin Liong, mari kita pergi..."

   Dia menoleh dan pandang mata kakek itu mencari-cari. Sin Liong tidak ada lagi di tempat itu. Tadi anak itu berada di belakangnya ikut mendengarkan, akan tetapi ternyata secara diam-diam anak itu telah pergi!

   "Sin Liong...!"

   Dia berseru memanggil, biarpun seruannya itu tidak keras, akan tetapi karena digerakkan oleh khi-kang, maka gemanya sampai terdengar dari tempat jauh, bahkan terdengar sampai ke puncak bukit batu karang itu! Sunyi saja tidak ada jawaban dari Sin Liong, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara tertawa.

   "Ha-ha-ha-ha!"

   Cia Keng Hong terkejut bukan main. Itu bukanlah suara ketawa biasa, melainkan suara ketawa yang juga mengandung khi-kang amat kuatnya dan suara itu datang dari atas puncak bukit itu. Dia menjadi khawatir dan pendekar sakti yang sudah tua ini cepat mendaki bukit menuju ke puncak. Setelah tiba di puncak, dia melihat hal yang membuat mukanya berubah pucat dan matanya terbelalak. Di atas puncak itu, di atas batu-batu besar yang permukaannya halus, dikelilingi oleh puncak-puncak batu karang lain yang menjulang tinggi,

   Dia melihat Sin Liong duduk bersila, berhadapan dengan seorang kakek tua renta tinggi besar yang kepalanya gundul, kakek yang membuat pendekar sakti ini memandang bengong karena dia mengenal baik kakek itu yang bukan lain adalah Kok Beng Lama! Para pembaca cerita Petualang Asmara dan cerita Dewi Maut tentu mengenal baik siapa adanya kakek gundul ini. Kok Beng Lama adalah seorang pendeta Lama dari Tibet yang memiliki kesaktian hebat, dan dia pernah menjadi kepala dari para pendeta Lama Jubah Merah di Tibet. Akan tetapi, semenjak puterinya yang bernama Pek Hong Ing, yang menjadi isteri dari pendekar Yap Kun Liong, tewas dibunuh orang (baca cerita Dewi Maut), Kok Beng Lama merasa demikian marah dan dukanya sampai dia menjadi tidak waras, otaknya menjadi agak miring! Kemudian dia dapat sembuh,

   Bahkan dia lalu mewariskan ilmu-ilmunya kepada Lie Seng, cucu dari ketua Cin-ling-pai itu, dan Yap Mei Lan, puteri dari Yap Kun Liong, masih terhitung cucu tirinya sendiri karena Yap Mei Lan bukanlah anak Pek Hong Ing, melainkan anak yang lahir dari hubungan gelap antara Yap Kun Liong dan Lim Hui Sian (baca cerita Petualang Asmara). Akan tetapi, ketika Lie Seng dan Yap Mei Lan, dua orang muridnya yang terakhir itu sudah tamat belajar dan meninggalkan dia, Kok Beng Lama merasa kesepian dan kumat lagi gilanya, maka dia lalu merantau seperti orang gila dan akhirnya pada hari itu dia berada di atas bukit batu karang, menimbulkan geger dan sampai dia bertemu dengan Cia Keng Hong dan Sin Liong! Cia Keng Hong memandang bengong ketika melihat kakek gundul itu duduk bersila berhadapan dengan Sin Liong sambil tertawa-tawa dan kedua orang itu ternyata sedang bercakap-cakap dengan asyiknya!

   "Kakek yang baik, kenapa kau lukai orang-orang itu?"

   Terdengar Sin Liong bertanya. Kok Beng Lama meraba-raba kepala dan pundak Sin Liong sambil tertawa.

   "Ha-ha-ha, mereka itu jahat! Mereka itu hendak menghina seorang tua seperti aku. Mereka datang dengan senjata di tangan. Ha-ha, untung bertemu dengan aku yang masih mengampuni mereka. Manusia memang jahat dan palsu, tidak seperti binatang yang wajar dan lebih baik."

   "Memang binatang lebih baik, kakek,"

   Jawab Sin Liong yang teringat akan monyet-monyet besar yang menjadi teman-temannya.

   "Ha-ha, bagus, bagus! Engkau binatang cilik yang baik sekali."

   "Dan engkau seperti monyet tua yang pernah merawatku."

   "Hu-huh-huh, memang aku monyet. Monyet gundul. Dan kau... ehhh, siapa namamu?"

   "Sin Liong."

   "Bagus! Kau seekor naga. Bukan ular, naga lain lagi. Kalau ular sih seperti manusia, kadang-kadang licik dan curang. Kalau naga tidak, kau naga cilik yang menyenangkan. Semua orang takut padaku, tapi kau tidak, naga cilik."

   "Aku kasihan kepadamu, kek."

   "Kenapa kasihan, hee, hayo katakan, kenapa kasihan kau, naga cilik?"

   "Karena semua orang menghinamu, mengatakan kau gila."

   "Memang aku gila! Apakah kau tidak gila?"

   "Aku... aku..."

   Sin Liong menjadi bingung, akan tetapi dia benar-benar merasa kasihan kepada kakek yang seperti dia ini, yang hidup sebatangkara, maka dia ingin menyenangkan hatinya.

   "Aku juga gila."

   "Ha-ha-ha, bagus, bagus! Kita berdua orang-orang gila! Persetan dengan mereka yang menganggap diri sendiri tidak gila!"

   Kakek itu bangkit berdiri, kedua tangannya yang berlengan panjang menyambar tubuh Sin Liong dan melontar-lontarkan tubuh anak itu ke atas sampai tinggi sekali! Sin Liong maklum akan kesaktian kakek itu, maka diapun tidak mau mengeluh, tidak mau memperlihatkan rasa takut. Cia Keng Hong khawatir kalau-kalau kakek gila itu akan mencelakai Sin Liong, maka sekali tubuhnya berkelebat, dia sudah meloncat tinggi dan menyambar tubuh Sin Liong ketika untuk ke sekian kalinya dilontarkan ke atas Kok Beng Lama! Setelah menurunkan Sin Liong yang berdiri di belakangnya, Cia Keng Hong kini berdiri berhadapan dengan Kok Beng Lama dan ketua Cin-ling-pai itu menjura dengan hormat.

   "Sahabat baik Kok Beng Lama, apakah selama ini engkau baik-baik saja?"

   Cia Keng Hong berkata. Kakek gundul itu memandang dengan matanya yang lebar terbelalak, kelihatan dia terkejut dan tercengang, lalu menjura dengan kaku dan berkata,

   "Aih... kiranya... Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai! Silakan duduk."

   Dan kakek gundul inipun lalu duduk bersila di atas batu, dan melihat ini, tentu saja Cia Keng Hong juga duduk bersila, berhadapan dengan kakek Lama dari Tibet itu.

   Sin Liong berdiri dan kini dia memandang bengong kepada kakek sakti yang selama ini membawanya melakukan perjalanan itu. Cia Keng Hong, ketua Cin-ling-pai? Dia teringat akan pesan ibu kandungnya, Cia Keng Hong, ketua Cin-ling-pai adalah kakeknya, ayah dari Cia Bun Houw, ayahnya, ayah kandungnya! Jadi kakek yang menolongnya dari tangan iblis betina Kim Hong Liu-nio ini, yang kemudian membawanya, adalah kakeknya sendiri! Tiba-tiba Sin Liong yang berdiri bengong itu terkejut melihat perubahan pada wajah si kakek gundul, matanya menjadi merah dan mulutnya yang bersembunyi di balik kumis dan jenggot putih itu menyeringai. Agaknya kakek gundul itu kumat lagi gilanya! Cia Keng Hong juga melihat ini, maka dia cepat-cepat bertanya, suaranya tetap halus,

   "Kok Beng Lama, di manakah cucuku Lie Seng dan Yap Mei Lan? Kenapa aku tidak melihat mereka?"

   Sungguh tidak disangka sama sekali oleh Cia Keng Hong bahwa pertanyaannya itu merupakan minyak bakar disiramkan kepada api kegilaan yang mulai bernyala di dalam otak Kok Beng Lama itu. Kegilaan kakek gundul ini menjadi kumat setelah dua orang muridnya itu pergi karena dia merasa kesepian dan rindu, dan kini kata-kata ketua Cin-ling-pai itu justeru mengingatkan dia kepada dua orang yang dicintanya itu! Maka makin merahlah mata itu, makin melotot dan kini ditujukan kepada Cia Keng Hong penuh kebencian. Tiba-tiba kakek gundul itu tertawa bergelak.

   "Ha-ha-ha, Cia Keng Hong, ketua Cin-ling-pai! Anakku tercinta mati karena puterimu, dan aku masih saja mendidik puteramu mendidik cucumu! Wah, sekarang cucumu juga pergi meninggalkan aku! Aku menderita sengsara dan berduka karena kau, maka kau harus bertanggung jawab sekarang! Ha-ha-ha, aku paling suka mengadu ilmu dan di dunia ini siapa yang dapat menandingi aku kecuali ketua Cin-ling-pai? Hayo, Cia Keng Hong, hari ini kita membuat perhitungan terakhir, ha-ha!"

   Cia Keng Hong terkejut sekali dan mengerutkan alisnya. Celaka, pikirnya, kakek gundul ini sudah gila. Tentu saja dia menolak dan mengangkat kedua tangan ke atas, menggoyang-goyangnya.

   "Jangan, Kok Beng Lama, jangan! Di antara kita tidak terdapat permusuhan, bahkan terikat persahabatan dan persaudaraan yang kekal, bukan?"

   "Ha-ha-ha, justeru aku ingin mati dalam tangan seorang yang ternama seperti kau, bukan di tangan segala macam anjing busuk seperti belasan orang tadi. Hayo, sambutlah seranganku ini, Cia Keng Hong, ketua Cin-ling-pai!"

   Setelah berkata demikian, tiba-tiba kakek gundul itu sambil tertawa lalu menggerakkan kedua tangannya ke depan dan angin pukulan yang amat hebatnya menyambar dahsyat ke depan, menyerang ke arah Cia Keng Hong! Kakek ketua Cin-ling-pai ini memang sudah mengangkat kedua tangan ketika menggoyang-goyang tangan untuk mencegah itu. Melihat serangan yang dapat mencabut nyawanya itu, dia terkejut sekali dan cepat diapun mendorongkan kedua lengannya ke depan untuk menyambut. Hebat sekali pertemuan dua tenaga sakti itu. Jarak antara tangan kedua orang kakek ini masih ada setengah meter, namun tenaga yang bertemu antara kedua pasang tangan itu sedemikian dahsyatnya sehingga segala sesuatu di sekitar tempat itu seperti tergetar hebat.

   Bahkan Sin Liong sendiri sampai terpental dan bergulingan ke belakang. Akan tetapi, anak ini sudah cepat bangkit kembali dan berdiri menonton dengan mata terbelalak. Kalau tadinya dia merasa suka kepada Kok Beng Lama dan diam-diam mengasihani kakek itu, kini dia berfihak kepada kakeknya itu. Dia merasa khawatir sekali. Dia tidak tahu apa yang telah dan sedang terjadi, akan tetapi dia dapat menduga bahwa antara kedua orang kakek yang duduk bersila dan meluruskan kedua lengan itu pasti sedang terjadi pertandingan yang amat aneh dan hebat. Dia melihat betapa wajah Kok Beng Lama kelihatan gembira dan mulutnya menyeringai seperti hendak mentertawakan ketua Cin-ling-pai itu, sebaliknya Cia Keng Hong kelihatan prihatin sekali. Dia tahu bahwa kakek gundul itulah yang memaksa kakeknya untuk bertanding.

   "Jangan berkelahi...!"

   Sin Liong berseru. Akan tetapi dua orang kakek itu sama sekali tidak memperdulikannya. Kok Beng Lama yang sedang dilanda kegembiraan besar karena dia dapat mengadakan pertandingan melawan seorang yang amat lihai itu tentu saja sudah melupakan Sin Liong, sebaliknya, biarpun Cia Keng Hong mendengar seruan Sin Liong, akan tetapi dia tidak dapat berbuat apa-apa. Tidak mungkin dia menghentikhn perlawanannya, karena hal itu berarti bahwa dia akan tewas. Juga membagi perhatian kepada Sin Liong amat membahayakan dirinya. Dia merasa betapa tenaga sakti kakek gundul itu makin lama makin kuat menghimpitnya dan beberapa kali mencoba untuk mendesak tenaga perlawanannya. Oleh karena itu, Cia Keng Hong lalu cepat mengerahkan tenaga mujijat Thi-khi-i-beng!

   "Ha-ha, Thi-khi-i-beng, ya? Bagus, aku memang ingin merasakan kehebatannya!"

   Kok Beng Lama berseru sambil tertawa. Hal ini amat mengejutkan hati Cia Keng Hong karena pendekar ini maklum betapa berbahayanya bagi Kok Beng Lama yang berani bicara dalam keadaan mengadu tenaga seperti itu. Ternyata kakek gundul itu sudah tidak lagi memperhitungkan bahaya.

   "Kok Beng lama, perlu apa kita bertanding? Hentikanlah!"

   Serunya. Akan tetapi jawaban kakek gundul itu hanya suara tertawa dan desakan tenaga yang lebih kuat lagi. Terpaksa Cia Keng Hong juga mengerahkan tenaganya dan tidak berani bicara lagi karena yang dibadapinya adalah bahaya maut, bukan main-main.

   "Hentikan! Jangan berkelahi!"

   Sin Liong kini melangkah menghampiri dua orang kakek yang sedang mengadu tenaga sakti itu. Melihat ini, Cia Keng Hong merasa khawatir sekali, akan tetapi karena tenaga lawan amat kuat mendesak maka diapun tidak berani membagi perhatian dan diam saja, mencurahkan perhatian dan tenaganya untuk mempertahankan dan melindungi dirinya sendiri. Karena berkali-kali dia berteriak tanpa diperdulikan orang, dan melihat betapa kini dari kepala dua orang kakek itu mengepul uap putih, Sin Liong menjadi makin khawatir dan dengan nekat dia lalu meloncat ke tengah-tengah antara kedua orang kakek itu untuk memisahkan mereka!

   Hampir saja Cia Keng Hong berteriak saking kagetnya karena apa yang dilakukan oleh anak itu benar-benar amat berbahaya, akan tetapi dia sendiri tidak mampu menolongnya, karena sedikit saja dia mengurangi tenaganya, dia akan celaka, apalagi menarik tenaganya yang mempertahankan diri itu. Keadaannya seperti seorang yang menggunakan kedua tangan menahan gencatan benda yang amat berat, berkurang sedikit saja tenaganya tentu benda itu akan menggencatnya sampai hancur. Sin Liong sendiri kaget setengah mati karena begitu dia meloncat masuk, tiba-tiba saja tubuhnya seperti disedot oleh tenaga yang luar biasa kuatnya sehingga dia tertarik dan tiba-tiba saja dia sudah jatuh duduk di antara kedua orang kakek itu, duduknya menghadapi Cia Keng Hong dan membelakangi Kok Beng Lama.

   

Dewi Maut Eps 1 Dewi Maut Eps 31 Dewi Maut Eps 28

Cari Blog Ini