Ceritasilat Novel Online

Dewi Maut 31


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo Bagian 31



"Orang muda, siapakah engkau?"

   Raja Sabutai bertanya, Diam-diam dia menaksir apakah pemuda itu pantas menjadi kekasih seorang pendekar wanita seperti In Hong.

   "Nama saya... Bun Houw."

   Bun Houw masih menyembunyikan she-nya, karena dia teringat betapa In Hong sendiripun mengira dia she Bun. Pula, di tempat seperti ini, perlu apa memperkenalkan diri yang sesungguhnya? Yang terpenting, Kaisar telah lolos dan dia hanya berada di situ untuk melindungi In Hong dan juga untuk mencari tiga orang musuh besarnya, yaitu tiga orang Bayangan Dewa yang kabarnya berada di situ. Sejak tadipun dia sudah memandang-mandang ke arah tiga orang kakek yang duduk di belakang seorang pembesar Han yang dia kira tentulah Wang Cin dan tiga orang kakek itu agaknya adalah orang-orang yang selama ini dicarinya, maka dia memandang penuh perhatian sampai dia ditanya oleh Raja Sabutai. Tiba-tiba Wang Cin berkata,

   "Sri Baginda, harap Sri Baginda berHati-hati. Tidak salah lagi bahwa nona Hong tentulah seorang mata-mata dari kerajaan, dan pemuda ini tidak syak lagi juga seorang mata-mata. Oleh karena itu, sudah seharusnya kalau mereka berdua ditangkap dan dihukum mati karena mereka terang-terangan telah meloloskan Kaisar itu dari tahanan!"

   "Apa yang dikatakan oleh Wang-taijin benar sekali"

   Tiba-tiba Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok berkata sambil bangkit berdiri.

   "Sudah sejak dahulu hamba semua tahu bahwa nona In Hong itu adalah mata-mata musuh dan tentu sekali waktu akan mengkhianati paduka. Juga pemuda ini adalah seorang jahat yang masih mempunyai perhitungan dengan hamba karena dia bersama nona Hong telah membunuh dua orang saudara hamba."

   Melihat betapa para pembantu Wang Cin agaknya memusuhi In Hong dan Bun Houw, hati Raja Sabutai tertarik sekali. Memang raja ini, di samping ambisinya untuk menjadi raja besar yang akan membangkitkan kembali kejayaan Bangsa Mongol, juga merupakan orang yang keranjingan ilmu silat, amat suka menyaksikan pertandingan silat. Maka melihat sikap kedua fihak ini yang agaknya bermusuhan, dia lalu bertanya kepada pemuda yang buru datang itu.

   "Orang muda, benarkah engkau membunuh saudara mereka? Kalau benar, mengapa?"

   "Maaf Sri Baginda. Mereka itu adalah orang-orang jahat yang tadinya berlima, menamakan diri Lima Bayangan Dewa yang dengan cara amat curang telah menyerbu Cin-ling-pai, di waktu ketuanya tidak ada, membunuh anak murid Cin-ling-pai dan mencuri pedang pusaka Siang-bhok-kiam dari Cin-ling-pai. Selain itu juga bersekutu dengan orang-orang jahat, dan kini bahkan menjadi kaki tangan pengkhianat ini!"

   Dengan berani Bun Houw menuding ke arah Wang Cin.

   "maka sudah sepatutnyalah kalau saya, sebagai orang yang menjunjung tinggi kegagahan, menentang mereka dan dalam pertandingan saya berhasil merobohkan saudara mereka termuda yang bernama Toat-beng-kauw Bu Sit ketika orang itu hendak melakukan pemerkosaan terhadap seorang gadis yang tidak berdosa."

   "Bohong kau!"

   Pat-pi Lo-sian membentak marah.

   "Dan aku yang membunuh Hui-giakang Ciok Lee Kim ketika nenek cabul itu berbuat tidak patut terhadap seorang pemuda."

   In Hong kini juga bersikap berani.

   "Sri Baginda, harap tangkap mereka dan hukum mampus! Mereka berdua berani menghina saya dan menentang Sri Baginda!"

   Wang Cin menuding dengan marah. In Hong melirik kepada subonya yang hanya memandang ke kanan kiri dengan wajah dingin. Diam-diam gadis ini merasa ngeri. Subonya adalah seorang yang aneh luar biasa, sukar diketahui isi hatinya.

   Kalau subonya berfihak kepada Wang Cin celakalah, pikirnya. Sementara itu, Bun Houw juga sudah siap-siap untuk mengamuk dan melindungi In Hong. Sebaliknya, In Hong tidak mengerti apa yang akan dilakukannya andaikata Raja Sabutai hendak menangkap Bun Houw saja. Apakah dia akan melindungi pemuda ini? Dia tidak depat menjawab saat itu. Betapapun juga, kedua orang muda ini sudah merasa tegang dan mereka menanti saat yang menentukan sambil memandang wajah Sabutai yang tersenyum-senyum misterius. In Hong menaksir keadaan. Kakek dan nenek di belakang raja itu amat lihai dan kiranya Bun Houw bukanlah lawan seorang di antara mereka. Apalagi ditambah tiba Bayangan Dewa, para perwira dan banyak perajurit, tentu mereka berdua tidak akan mampu menyelamatkan diri.

   Kecuali kalau gurunya berada di fihaknya, kalau demikian masih mending, sungguhpun agaknya, dengan kekuatan mereka bertiga sekalipun amatlah sukar lolos dari benteng yang kuat ini. Agaknya keputusan itu juga merupakan hal yang amat sulit bagi Raja Sabutai. Dia tadi mendengar bisikan isterinya bahwa antara In Hong dan Bun Houw terdapat hubungan cinta kasih, maka kalau dia menyuruh tangkap dan bunuh pemuda itu, tentu berarti dara perkasa yang dikaguminya itu akan membela mati-matian. Akan tetapi kalau tidak ditangkap, seolah-olah dia tidak menghargai bantuan Wang Cin dan kawan-kawannya dalam penyerbuannya ke selatan yang hampir berhasil akan tetapi sekarang mengalami kemunduran hebat itu. Pada saat dia meragu, tiba-tiba Khamila menyentuhnya. Dia menoleh dan ternyata isterinya menyerahkan sesampul surat.

   "Harap paduka baca ini dulu..."

   Bisik Khamila. Sabutai tertarik sekali dan hatinya tegang ketika mengenal surat yang datang dari Kaisar Ceng Tung itu. Dia membuka sampulnya, mengangkat tangan kiri sebagai isyarat agar semua orang diam dan menunda pembicaraan, kemudian dia mulai membaca surat yang ditulis dengan huruf-huruf halus dan indah itu.

   Raja Sabutai yang saya hormati,

   Anda mengetahui betapa Wang Cin yang khianat telah melemahkan saya dengan racun berupa Azisha yang seperti ular itu, sehingga saya sampai terjebak dan menjadi tawanan anda. Akan tetapi saya kagum kepada anda yang berbahagia dan yang memiliki seorang ratu yang amat mulia. Semoga anda hidup berbahagia dengan keluarga anda.

   Kini saya telah bebas. Saya akan menemui bala tentara saya dan menghentikan perang antara kita. Mengingat akan kebaikan anda dan ratu, maka apabila anda suka mundur dan menarik pasukan, anda akan tetap menjadi sahabat kami dan saya akan menjadi wali dari putera anda kelak. Sebaliknya, apabila anda melanjutkan penyerbuan ke selatan, kami akan membasmi semua pasukan anda dan akan mempersilakan ratu untuk hidup terhormat dan terpuji di dalam istana kami.

   Sekian dan kemudian terserah kebijaksanaan anda.

   Tertanda,
Kaisar Ceng Tung

   Sabutai menyimpan surat itu dan tersenyum lebar sambil melirik ke arah isterinya. Kemudian dia memandang mereka semua seorang demi seorang, kemudian yang terakhir kepada Wang Cin, dan berkatalah dia dengan suara lantang.

   "Kami memutuskan agar urusan ini ditunda dulu. Nona Hong dan pemuda ini tetap menjadi tamu-tamu kami yang diawasi dan tidak diperkenankan keluar dari benteng. Juga harap Wang-taijin dan para pembantunya tidak sembarangan turun tangan menimbulkan keributan. Kami hendak melihat perkembangannya. Hendak kulihat apakah benar-benar Kaisar muda itu berkepandaian begitu hebat untuk merampas kembali kedudukannya dan menarik mundur pasukan seperti yang dijanjikannya. Ha-ha-ha!"

   Sabutai tertawa, lalu mengajak isterinya memasuki ruangan sebelah dalam.

   Persidangan itu bubar dan sepasukan pengawal lalu mengantar Bun Houw ke dalam sebuah kamar tamu dan selanjutnya pemuda ini terus dikawal dan diawasi. Demikianpun In Hong dan Yo Bi Kiok maklum bahwa mereka diam-diam diawasi oleh kakek dan nenek guru Sabutai. Semenjak peristiwa kekalahan Yo Bi Kiok dari Cia Keng Hong, guru ini bersikap dingin terhadap muridnya dan tidak pernah menegur, akan tetapi In Hongpun diam saja karena makin lama makin terbukalah matanya betapa subonya itu memiliki watak yang aneh, tidak lumrah, kadang-kadang ganas dan amat kejam sehingga dia merasa tidak senang dan juga berduka, karena sesungguhnya, subonya itulah yang selama ini dianggapnya sebagai orang yang paling baik baginya.

   Sementara itu, dengan bantuan Cia Keng Hong, Kaisar Ceng Tung cepat mengadakan kontak dengan para menteri dan jenderal yang setia kepadanya. Untung baginya, kebetulan sekali bala tentara yang dikerahkan ke utara untuk menghalau pasukan-pasukan Sabutai, dipimpin oleh Jenderal Bao Ciang, scorang jenderal yang setia kepadanya dan menjadi sahabat baik pendekar Cia Keng Hong. Mula-mula Kaisar oleh Cia Keng Hong disembunyikan lebih dulu dan dia sendiri pergi menghadap Jenderal Bao Ciang. Di tempat ini, Cia Keng Hong berjumpa dengan Yap Kun Liong yang seperti banyak orang-orang gagah dari seluruh penjuru beramai-ramai menjadi sukarelawan membantu bala tentara pemerintah untuk menghadapi pemberontak dari utara.

   Sebelum bicara dengan Jenderal Bao Ciang, Cia Keng Hong menemui Kun Liong lebih dulu dan dari Yap Kun Liong inilah dia menyelidiki keadaan jenderal itu sekarang sehingga dia merasa yakin bahwa Jenderal Bao inipun tidak setuju akan pengangkatan Cing Ti yang dipaksa menggantikan kedudukan Kaisar Ceng Tung yang tertawan pemberontak. Dengan singkat Cia Keng Hong lalu bercerita kepada Yap Kun Liong betapa adik kandung Kun Liong yang bernama In Hong telah berhasil menyelamatkan dan meloloskan Kaisar dari dalam tahanan pemberontak. Kun Liong terkejut dan girang bukan main. Tadinya dia sudah merasa kehilangan adiknya yang dianggapnya telah menyeleweng dan menjadi seorang yang kejam seperti gurunya, Yo Bi Kiok. Akan tetapi siapa tahu kini malah berjasa besar!

   "Supek, di manakah dia sekarang?"

   "Dia menjadi pengawal ratu, isteri Sabutai. Dia kembali ke benteng Sabutai, dan aku sudah menyuruh Bun Houw untuk menyusul dan melindunginya kalau-kalau ada bahaya mengancamnya. Karena aku sendiri harus cepat membantu Sri Baginda Kaisar menghubungi para jenderal..."

   "Kalau begitu saya akan menyusul ke sana, supek."

   "Sebaiknya begitulah."

   Kun Liong memberi hormat dan berkelebat pergi, diikuti pandang mata Cia Keng Hong yang merasa kasihan sekali kepada pendekar itu. Dia tahu bahwa sampai sekarang, kematian isteri Kun Liong yang mengakibatkan banyak malapetaka itu masih juga belum terbongkar rahasianya dan tentu usaha penyelidikan semua terhenti oleh adanya perang melawan pemberontakan.

   Bahkan penyelidikan puteranya dan dia sendiri tentang pedang pusaka Siang-bhok-kiampun terhenti. Semua kepentingan pribadi memang terpaksa harus dikesampingkan untuk mendahulukan kepentingan negara dan bangsa. Apalagi menghadapi ancaman dari orang-orang Mongol yang pernah menjajah tanah air selama hampir satu abad lamanya itu. Kemudian Cia Keng Hong pergi menghadap Jenderal Bao dan dalam pertemuan antara dua sahabat lama, karena keduanya dahulu merupakan pembantu-pembantu Panglima Besar The Hoo, terdapat kegembiraan besar dan di sini Cia Keng Hong menjajagi isi hati Jenderal Bao, karena biarpun dia sudah mendengar keterangan dari Kun Liong, namun dalam urusan diri Kaisar dia harus berhati-hati. Setelah dia yakin benar bahwa jenderal ini benar-benar masih setia kepada Kaisar Ceng Tung, Cia Keng Hong memancing.

   "Akan tetapi, Bao-goanswe, bukankah Kaisar Ceng Tung adalah Kaisar yang lemah sekali, yang mudah saja dipermainkan oleh thaikam yang khianat, dan mudah tunduk oleh selirnya yang bernama Azisha?"

   Jenderal Bao mengerutkan alisnya yang tebal.

   "Memang benar, akan tetapi saya mengenal betul watak beliau sejak kecil, Cia-Taihiap! Beliau adalah seorang yang sesungguhnya memiliki budi baik, dan seorang yang memiliki kecerdasan dan kemampuan besar untuk menjadi seorang Kaisar yang baik. Pribadinya baik, dia gagah berani menentang segala kesukaran. Kalau dia berobah lemah, hal itu adalah karena pengaruh si laknat Wang Cin, si kebiri pengkhianat itu. Betapapun juga, pengangkatan Kaisar Cing Ti hanya terpaksa karena Kaisar Ceng Tung tidak ada beritanya, mungkin sudah tewas di dalam tahanan dan untuk itu, kami telah bersumpah untuk membalas dendam, untuk membasmi Sabutai dan semua anak buahnya!"

   Dia memukulkan tinjunya yang besar ke atas meja.

   "Seandainya Kaisar Ceng Tung ternyata masih hidup dan berhasil meloloskan diri dari tawanan, bagaimana, Bao-goanswe?"

   Mata yang lebar itu memandang tajam.

   "Tidak mungkin! Sudah terlambat. Mereka yang berambisi mencari kedudukan tinggi sudah memperjuangkan agar Kaisar Ceng Tung tidak ditolong selana ini dan agar mereka dapat mengangkat Kaisar lain yang dapat mereka permainkan. Kelompok pengganti orang-orang macam Wang Cin memang banyak terdapat di istana dan tak lama lagi Kaisar baru akan jauh lebih lemah lagi daripada Kaiar Ceng Tung."

   "Akan tetapi seandainya Kaisar Ceng Tung masih hidup dan lolos?"

   "Tidak mungkin! Harapan kosong belaka!"

   "Goanswe, lupakah goanswe kepada ajaran Panglima The Hoo bahwa dalam setiap keadaan kita tidak boleh sekali-kali berputus asa? Kalau belum ada bukti-bukti bahwa Kaisar Ceng Tung telah meninggal dunia, mengapa goanswe mengatakan tidak mungkin dan harapan kosong belaka? Jawablah, andaikata beliau masih hidup dan sekarang dapat muncul di sini, apa yang akan kaulakukan?"

   Jenderal itu bangkit berdiri, menatap wajah pendekar itu penuh selidik, tiba-tiba memegang dan menekan tangan pendekar itu dengan tangannya yang besar dan kuat, dan matanya menjadi basah.

   "Cia-Taihiap! Engkau satu-satunya orang yang paling kuhormat karena kegagahanmu dan kupercaya karena kesetiaanmu, katakanlah. Benarkah beliau masih hidup?"

   "Duduklah, goanswe. Lebih baik kaujawab dulu pertanyaanku tadi. Apa yang akan kaulakukan kalau beliau masih hidup dan muncul di sini?"

   "Demi Tuhan! Aku akan membantu beliau memperoleh kembali singgasana beliau karena itu adalah haknya! Kalau Sri Baginda Kaisar Ceng Tung masih hidup, maka Kaisar yang baru itu tidak sah!"

   "Hemm, bagaimana akan kaulakukan hal itu begitu mudahnya? Kaisar yang baru memiliki banyak pendukung dan tentu akan terjadi perang saudara."

   "Tidak! Sebagian besar bala tentara berada di bawah komandoku. Dan sisa pasukan di dalampun dipimpin oleh sahabat-sahabatku yang setia kepada Kaisar Ceng Tung. Hanya ada beberapa orang jenderal yang mengepalai pasukan-pasukan pengawal dan pasukan-pasukan pinggiran yang tidak berarti kekuatannya. Aku akan lebih dulu mengadakan pembersihan, menekan mereka atau menyingkirkan mereka kalau perlu. Akan tetapi betulkah...?"

   Dia memandang penuh harap. Cia Keng Hong sudah merasa yakin sekarang. Dia mengangguk dan berkata,

   "Lekas sediakan pasukan penjemput dan kereta."

   Jenderal Bao merangkul Cia Keng Hong dan kepalan tangannya yang besar menghapus dua titik air matanya.

   "Kau hebat, Taihiap! Kau hebat sekali telah menyelamatkan Kaisar! Usaha puluhan ribu perajurit tidak berhasil, akan tetapi engkau seorang diri dapat..."

   "Ssssstt... jangan tergesa-gesa memuji. Engkau akan mendengar sendiri dari beliau siapa yang menyelamatkan beliau. Mari!"

   Malam itu juga, Jenderal Bao Ciang sendiri bersama Cia Keng Hong memimpin pasukan menjemput Kaisar Ceng Tung. Setelah berhadapan dengan Kaisar, Jenderal Bao menjatuhkan diri berlutut sambil meruntuhkan beberapa titik air mata! Akan tetapi, dengan manis budi dan tenang Kaisar itu berkata,

   "Bangkitlah, jenderalku yang setia! Dan mulai saat ini, perintahkan untuk menarik mundur semua pasukan, jangan lagi mengejar pasukan Sabutai."

   Jenderal itu bangkit dan memberi hormat, terkejut menerima perintah pertama yang aneh itu.

   "Siap, Sri Baginda. Akan tetapi, bolehkah hamba menerima penjelasan?"

   Kaisar tersenyum angkuh.

   "Kalau dia diserang, dia akan mempertahankan mati-matian dan mungkin akan mengorbankan banyak pasukan kita yang kini perlu kita kerahkan ke selatan. Dan aku menjamin bahwa kalau dia tidak diserang, dia akan mundur. Dia telah tahu kini akan kekuatan kita dan kekalahannya merupakan pelajaran baginya. Dia kelak dapat menjadi sahabat yang baik."

   Kaisar tersenyum lagi, teringat akan suratnya dan akan pengaruh Khamila atas diri suaminya. Cia Keng Hong yang tidak tahu akan urusan sedalam-dalamnya, diam-diam juga merasa heran sekali. Kaisar lalu diiringkan ke dalam benteng dan taat akan perintah Kaisar, Jenderal Bao menarik kembali semua pasukan yang mengurung benteng. Sabutai hanya meninggalkan sedikit pasukan untuk melakukan pengintaian. Hal inipun segera diketahui oleh Sabutai yang tertawa dan mengangguk-angguk.

   "Hebat..."

   Kata Raja Mongol ini.

   "Memang dia hebat, jauh hebat daripada aku, dalam banyak hal... dalam banyak hal..."

   Dia teringat akan kandungan di dalam perut istrinya dan tersenyum lebar penuh kebanggaan bahwa dia akan menjadi ayah dari seorang anak keturunan Kaisar yang demikian hebat! Setelah berunding dengan Kaisara, Jenderal Bao yang dibantu oleh Cia Keng Hong yang kini bertindak sebagai pengawal Kaisar pribadi untuk sementara, segera melaksanakan rencananya. Tentang kembalinya Kaisar Ceng Tung masih dirahasiakan dan jenderal itu menyusun kekuatan untuk mengembalikan singgasana kepada Kaisar Ceng Tung. Para menteri dan jenderal yang setia kepada Kaisar Ceng Tung tentu saja menyambut dengan penuh kegembiraan,

   Akan tetapi di fihak para pengejar ambisi yang telah mengangkat Kaisar Ceng Ti secara paksa, tentu saja dengan mati-matian mempertahankan Kaisar Ceng Ti, karena turunnya Kaisar baru dari tahta dan kembalinya Kaisar lama ke istana berarti hilangnya kedudukan baru mereka yang mulia! Kembali merupakan bukti yang nyata betapa semenjak sejarah tercatat orang, semua pertikaian, semua permusuhan dan semua peperangan terjadi sebagai akibat daripada pengejaran ambisi dan cita-cita, baik perorangan maupun kelompok yang sesungguhnya sama saja, karena kelompok hanyalah merupakan sekumpulan orang-orang lemah yang tidak percaya kepada diri sendiri lalu menggantungkan kepercayaan mereka kepada beberapa gelintir orang dan mengeoper ambisi beberapa gelintir orang itu sebagai tujuan cita-cita mereka sendiri.

   Betapa banyak terjadi sejak dahulu. Raja demi raja ditumbangkan dari kekuasaannya oleh raja lain yang pada gilirannya selalu terancam akan digulingkan pula oleh kekuasaan lain yang ingin mencapai apa yang dicita-citakannya, apa yang diinginkannya dan yang dinamakan cita-cita atau ambisi. Cita-cita atau ambisi bukan lain hanyalah keinginan kita akan sesuatu yang tidak ada, sesuatu yang lain daripada yang ada sekarang, yang lain daripada apa yang berada di tangan kita, lain daripada apa yang kita miliki, yang kita anggap jauh lebih bagus dan lebih menyenangkan daripada yang ada sekarang. Dengan pandangan seperti ini, mata yang ditujukan kepada hal-hal yang belum ada, yang dianggap lebih menyenangkan, tentu saja yang ada sekarang tampak sama sekali tidak menyenangkan, atau bahkan tidak nampak sama sekali.

   Jelaslah bahwa cita-cita atau ambisi itu hanyalah pengejaran kesenangan belaka, kesenangan yang dibayang-bayangkan akan membuatnya bahagia. Padahal kalau yang dinamakan cita-cita itu tercapai, kepuasan hanya dirasakan sebentar saja karena mata sudah mulai lagi memandang jauh, bercita-cita yang lain lagi, mengejar kesenangan yang lain lagi, yang dianggap lebih daripada yang telah diperolehnya itu. Demikianlah, hidup lalu menjadi gelanggang pengejaran cita-cita yang akibatnya hanya dua, yaitu kalau tidak tercapai menjadikan kecewa dan putus asa, kalau tereapai menjadikan bosan dan mengejar yang lain lagi. Dan lebih celaka lagi, pengejaran-pengajaran demi tercapainya cita-cita atau ambisi yang pada hakekatnya hanyalah kesenangan terselubung itu,

   Seringkali dilakukan dengan cara bagaimana saja, kadang-kadang kotor dan kejam bukan main, demi untuk memperoleh yang dicita-cita atau dikejarnya. Betapapun cara pengejaran keinginan itu diperhalus, dijaga agar tidak menyeleweng daripada kebenaran, tetap saja di dalamnya mengandung unsur untuk kepentingan diri pribadi, dan karena setiap orang mengejar keinginan masing-masing, maka tentu saja tidak mungkin dapat dlielakkan lagi terjadilah bentrokan-bentrokan, sikut-sikutan, jegal-jegalan demi untuk memperoleh apa yang diinginkan. Seperti sekelompok kanak-kanak memperebutkan layang-layang yang putus talinya. Apapun akan mereka lakukan demi memperoleh layang-layang itu. Oleh karena cita-cita inilah maka timbul perbuatan-perbuatan yang rendah,

   Timbul perang dan permusuhan dan timbul cara-cara yang kotor dan keji, timbul pegangan kejam bahwa cita-cita atau tujuan menghalalkan segala cara! Dan kalau sudah begitu, celakalah manusia. Demikian pula dengan kerajaan di mana terjadi perebutan tahta itu. Fihak menteri dan jenderal yang bersimpati kepada Ceng Tung, yang masih setia kepada Kaisar lama ini, menggunakan segala daya upaya dan kekuatan mereka untuk menggeser Kaisar baru dan mendudukkan kembali Kaisar Ceng Tung ke singgasana. Sedangkan mereka yang berkedudukan tinggi, para pendukung atau pengangkat Kaisar Ceng Ti, mempertahankan kedudukan Kaisar baru ini yang sebetulnya hanya dipergunakan sebagal "alat"

   Untuk mencapai keinginan mereka sendiri, yaitu memperoleh pangkat dan kemuliaan, maka terjadilah ketegangan dan kekacauan di dalam istana Kaisar.

   Karena maklum bahwa tentu akan timbul usaha fihak lawan untuk membunuh Kaisar Ceng Tung, maka Kaisar ini disembunyikan di dalam rumah gedung seorang pembesar bernama Liang Kun Ong, seorang pembesar berdarah bangsawan dan masih terhitung keluarga biarpun agak jauh dengan Kaisar Ceng Tung dan yang termasuk seorang yang setia kepada Kaisar ini. Dan tentu saja pendekar sakti Cia Keng Hong selalu mengawal Kaisar karena pendekar inipun maklum bahwa sebelum Kaisar itu menduduki kembali singgasananya, maka keselamatannya tidak terjamin. Sementara itu, Jenderal Bao cepat memperjuangkan kembalinya Kaisar Ceng Tung melalui saluran-saluran yang resmi.

   Malam itu sunyi sekali dan Kaisar Ceng Tung sudah beristirahat. Seperti biasa selama tinggal di dalam gedung itu yang sudah berjalan belasan hari, Cia Keng Hong tidur di sudut kamar, hanya teraling tirai dari pembaringan yang menjadi tempat tidur Kaisar Ceng Tung. Akan tetapi, tentu saja Cia Keng Hong hanya menidurkan tubuhnya saja, sedangkan kewaspadaannya tidak pernah tidur, nyenyak sehingga andaikata ada sedikit suara saja, suara yang tidak wajar, tentu dia sudah meloncat dan tahu-tahu sudah berada di dekat pembaringan Kaisar untuk melindunginya. Hal seperti ini tidak mengherankan bagi seorang ahli ilmu silat tinggi, karena kewaspadaan seakan-akan sudah mendarah daging di seluruh urat syarafnya seperti telah menjadi semacam naluri yang biasanya hanya dimiliki oleh binatang-binatang yang peka perasaannya. Tentu saja bukan hanya Cia Keng Hong seorang yang menjadi pengawal menjaga keselamatan Kaisar Ceng Tung.

   Cia Keng Hong merupakan pengawal pribadi yang selalu berdekatan dengan Kaisar, akan tetapi masih ada lagi sepasukan istimewa, yaitu pasukan pengawal Kuku Garuda yang dahulupun menjadi pengawal-pengawal dalam istana Kaisar Ceng Tung dan ketika terjadi penggantian Kaisar, pasukan ini meloloskan diri karena mereka masih setia kepada Kaisar Ceng Tung. Mereka itu tersebar dan menjadi buronan, ada yang bergabung dengan barisan yang berada di bawah kekuasaan jenderal-jenderal yang setia kepada Kaisar Ceng Tung, akan tetapi ada pula yang kembali ke dusun. Kini yang dapat dikumpulkan oleh Jenderal Bao hanya ada dua puluh orang dan mereka ini dengan senang hati menerima tugas melindungi dan mengawal Kaisar Ceng Tung di dalam gedung Pangeran Liang Kun Ong.

   Biarpun sudah ada dua puluh orang pengawal Kuku Garuda yang boleh dipercaya ini, yang rata-rata memiliki kepandaian cukup tinggi, namun Cia Keng Hong tidak pernah lengah karena dia maklum bahwa kalau fihak musuh mengirim seorang pembunuh bayaran yang tinggi tingkat kepandaiannya, dengan mudah saja pembunuh itu akan dapat melalui penjagaan para pengawal itu. Oleh karena itu, biarpun pada malam hari yang sunyi dan dingin itu penjagaan seperti biasa dilakukan dengan ketat, tetap saja Cia Keng Hong yang kelihatan tidur pulas itu sebenarnya masih dalam keadaan "waspada". Bunyi kentongan ronda malam menyatakan bahwa waktu itu sudah persis tengah malam. Telinga pendekar sakti yang masih tidur itu jelas mendengar dan kewaspadaannya membuat dia mengerti bahwa suara itu adalah suara kentongan yang menunjukkan waktu, maka diapun terus tidur dengan napas teratur.

   Akan tetapi, ketika ada suara berkeresekan di atas genteng gedung, seketika pendekar ini membuka mata! Di lain saat tubuhnya sudah berkelebat seperti terbang cepatnya dan tahu-tahu dia telah berada di tepi pembaringan Kaisar yang ternyata masih tidur pulas. Dengan pendengarannya yang tajam ketua Cin-ling-pai ini mengerti bahwa yang datang lebih dari satu orang, maka dia cepat mengambil keputusan. Tanpa membangunkan Kaisar, tangannya bergerak menotok pundak Kaisar Ceng Tung sehingga Kaisar itu tertotok lemas dalam keadaan tidur, kemudian Cia Keng Hong memondong tubuh Kaisar, disembunyikan di bawah kolong pembaringan dan dia sendiri lalu naik ke atas pembaringan itu, menggunakan selimut Kaisar menutupi tubuhnya sebatas leher ke bawah, menggantikan tempat Kaisar!

   Dengan cara ini dia hendak menjebak fihak musuh tanpa membahayakan Kaisar, karena kalau dia melakukan perlawanan berterang, dia khawatir bahwa fihak musuh akan menyerang dari berbagai jurusan yang tentu saja akan amat menyukarkan baginya melindungi Kaisar sebaiknya. Suara berkeresekan makin dekat dan kini tiba tepat di atas genteng kamar itu. Tiba-tiba dia mendengar suara jerit-jerit tertahan di luar kamar, di mana biasanya terdapat dua orang pengawal yang menjaga siang malam secara bergilir, suara ini disusul pula dengan suara-suara yang sama, seperti orang yang tidak sempat menjerit lagi lalu roboh dari luar jendela sebelah kiri dan dari atas genteng. Hemm, mereka telah mulai turun tangan, pikir Cia Keng Hong, seluruh urat syarafnya menegang dan semua panca inderanya siap sedia.

   "Sing-sing-singgg...!"

   Tepat seperti yang telah diduganya semula, sinar-sinar merah halus itu meluncur cepat sekali dari tiga jurusan!

   Dalam waktu bersamaan, sinar-sinar merah halus itu menyerang ke arah pembaringan, ke arah tubuhnya dari luar jendela dan dari dua arah di atas genteng! Andaikata dia masih berjaga dengan berdiri di dekat pembaringan, akan repot jugalah kalau dia harus menyelamatkan Kaisar menghalau sinar-sinar merah yang datangnya dalam saat berbareng dari tiga jurusan bertentangan itu. Dia tahu apa sinar-sinar itu, dan kedua tangannya bergerak dari bawah selimut, jari-jari tangannya menjepit jarum-jarum halus yang berbau harum. Jarum yang mengandung racun halus dan kalau memasuki kulit akan mendatangkan kematian seketika! Matanya memandang cepat, melihat betapa di atas genteng, di dua tempat itu berlubang, juga daun jendela terbuka sedikit, dan kini terdengar suara,

   "Krekkk!"

   Dan daun pintu kamar terbuka dari luar, pegangan daun pintunya hancur berantakan dicengkeram sebuah tangan yang memiliki tenaga amat kuat!

   Melihat bahwa yang masuk ke kamar ini seorang yang memiliki tenaga dahsyat, maka Cia Keng Hong menendang selimut yang menutupi tubuhnya. Berbareng dengan terbangnya selimut merah ke arah pintu, kedua tangannya bergerak dan meluncurlah sinar-sinar merah yang sama dengan tadi, akan tetapi suara berdesingnya jauh lebih nyaring lagi karena jarum-jarum itu kini diterbangkan oleh sambitan ketua Cin-ling-pai yang memiliki tenaga yang jauh lebih kuat, meluncur ke arah tiga jurusan, yaitu ke jendela dan lubang-lubang di atas genteng. Terdengar pekik-pekik kesakitan di atas genteng dan di luar jendela kamar, sedangkan orang tinggi besar yang baru saja menerjang masuk ke kamar dan pintu, berseru kaget ketika tiba-tiba ada selimut merah menerjangnya seolah-olah selimut itu mempunyai nyawa saja!

   "Wuuuuttt-plakkk... breettttt...!"

   Selimut itu ditangkis oleh orang tinggi besar dan cabik-cabik, lalu dilemparnya ke samping. Akan tetapi saat itu, Cia Keng Hong telah meloncat dan berdiri di depan orang tinggi besar ini. Mereka saling pandang! Sejenak pendekar sakti Cia Keng Hong memandang tajam penuh selidik kepada kakek tinggi besar yang berwajah gagah menyeramkan itu, dan dia memutar otak mengingat-ingat, kemudian dia berkata dengan heran.

   "Hemm, bukankah engkau Tiat-ciang-Pangcu?"

   Kini dia teringat dan menyambung.

   "Tidak salah lagi, engkau adalah Ouw-Pangcu dari Bayankara!"

   "Cia-Taihiap...!"

   Kakek itu juga berseru kaget dan mukanya berobah. Memang orang itu adalah ketua dari perkumpulan Tiat-ciang-pang (Perkumpulan Tangan Besi) yang dahulu terkenal sebagai perkumpulan pejuang dari utara, berpusat di Pegunungan Bayankara, dan terkenal dengan kelihaian tangan mereka karena ketuanya memiliki Ilmu Tangan Besi yang amat ditakuti orang (baca cerita Siang-bhok-kiam).

   "Ouw-Pangcu,"

   Kata Cia Keng Hong, suaranya dingin dan pandang matanya tajam menusuk.

   "Apakah Tiat-ciang-pang kini telah menjadi begitu merosot dan rendah sehingga mau diperalat orang untuk melakukan pekerjaan hina seperti ini, melakukan penyerangan kepada orang secara menggelap?"

   Kakek tinggi besar itu kelihatan bingung.
(Lanjut ke Jilid 30)
Dewi Maut (Seri ke 03 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 30
"Apa... apa artinya ini? Kami memang diperalat, akan tetapi diperalat oleh Kaisar dan para pembesar untuk membasmi komplotan pengkhianat yang kabarnya bersembunyi di dalam gedung ini. Mengapa yang berada di sini malah Cia-Taihiap? Mana komplotan pengkhianat itu?"

   "Ouw-Pangcu!"

   Cia Keng Hong yang mengenal tokoh ini sebagai seorang pejuang dahulu, berkata tegas.

   "Yang menjadi komplotan pengkhianat adalah mereka yang memperalat Pangcu."

   Muka kakek itu berobah.

   "Apa... apa maksudmu, Taihiap?"

   "Tahukah Pangcu siapa yang berhak menjadi Kaisar? Siapakah sesungguhnya Kaisar? Kalau Kaisar lama, Sri Baginda Ceng Tung masih ada dan dalam keadaan selamat dan sehat, apakah Kaisar yang sekarang ini sah?"

   "Cia-Taihiap, apa maksud kata-katamu itu? Bukankah Sri Baginda Kaisar Ceng Tung telah tewas di tangan pemberontak Mongol dan sekarang yang menjadi penggantinya adalah Sri Baginda Kaisar Cing Ti?"

   "Nah, itulah buktinya bahwa yang memperalat Pangcu itulah yang sebenarnya pengkhianat. Sri Baginda Ceng Tung masih hidup dan sehat, saya sendiri yang mengawalnya ketika beliau lolos dari tawanan orang-orang Mongol, akan tetapi ternyata kawanan pengkhianat telah mengangkat seorang Kaisar lain, bahkan kini memperalatmu untuk membunuh Kaisar Ceng Tung."

   "Ahhh...?"

   Ouw Kian terkejut setengah mati dan kedua tangannya gemetar.

   "Saya... saya disuruh membunuh Sri Baginda Kaisar Ceng Tung?"

   Cia Keng Hong mengangguk, lalu mengambil Kaisar yang masih tidur pulas di bawah tempat tidur dan membaringkan Kaisar di atas pembaringan kembali. Melihat ini, Ouw Kian menjatuhkan diri berlutut, membentur-benturkan dahinya di atas lantai dengan air mata bercucuran membasahi mukanya yang keriputan!

   "Celaka... aku layak mampus...! Cia-Taihiap... bunuhlah aku yang berdosa ini..."

   Pada saat itu terdengar suara ribut-ribut di luar dan bentakan-bentakan keras dari para pengawal,

   "Tangkap pembunuh...!"

   Cia Keng Hong menjawab dari dalam.

   "Harap di luar tenang. Kaisar dapat diselamatkan dan singkirkan mayat orang-orang di luar jendela dan di atas genteng."

   Terdengar para pengawal berseru girang dan lega. Mereka adalah para pengawal yang melihat enam orang teman mereka tahu-tahu telah tewas di tempat penjagaan masing-masing di sekitar kamar Kaisar. Mendengar suara Cia Keng Hong, mereka menjadi lega dan segera memeriksa tiga tempat itu dan benar saja, di masing-masing tempat mereka menemukan mayat dua orang asing yang dadanya bengkak-bengkak merah terkena jarum-jarum halus! Sementara itu, di dalam kamar itu, Cia Keng Hong menguras keterangan dari Ouw Kian, siapa saja yang memperalatnya. Dengan jujur Ouw Kian lalu membeberkan persekutuan yang mendukung Kaisar Cing Ti dan dicatat secara diam-diam oleh Cia Keng Hong, kemudian setelah kakek itu mengakhiri pembongkaran rahasia persekutuan itu, Cia Keng Hong lalu berkata,

   "Ouw-Pangcu, biarpun engkau telah melakukan suatu kedosaan yang besar sekali, melakukan usaha untuk membunuh Kaisar, namun kesalahanmu ini adalah karena engkau diperalat orang dan kau lakukan di luar kesadaranmu. Oleh karena itu, sebagai imbalan semua keteranganmu, aku membebaskanmu. Pergilah!"

   Kakek itu memandang Cia Keng Hong dengan muka pucat.

   "Cia-Taihiap, keputusanmu ini jauh lebih berat bagiku daripada kalau engkau membunuhku sekarang juga."

   "Ouw-Pangcu, pergilah."

   Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Kakek itu mengangguk-angguk.

   "Baik, aku pergi dan aku pergi hanya untuk membalas kepada orang yang telah membodohi dan memperalatku. Taihiap, selamat tinggal dan terima kasih bahwa Taihiap telah menghalangiku melakukan perbuatan terkutuk malam ini!"

   Kakek itu lalu melangkah keluar dari pintu kamar itu dan Cia Keng Hong berkata ke arah para penjaga di luar.

   "Biarkan sahabatku itu keluar! Dia bukan musuh!"

   Tentu saja para penjaga itu terheran-heran karena mereka tadi tidak melihat ada orang masuk, tahu-tahu sekarang ada yang keluar dari dalam kamar. Akan tetapi mereka percaya penuh kepada pendekar sakti itu, maka tidak ada yang berani membantah dan membiarkan kakek yang menyeramkan itu keluar dari gedung. Cia Keng Hong lalu menyuruh seorang penjaga untuk minta kedatangan Janderal Bao Ciang di malam itu juga dan setelah Jenderal Bao datang, dia menceritakan semua peristiwa yang terjadi malam itu, juga dia menyebutkan nama-nama para pembesar yang merupakan komplotan pendukung Kaisar Cing Ti sehingga Jenderal Bao menjadi makin girang, karena kini dengan mudah dia dapat melakukan pembersihan.

   "Sebaiknya sekarang juga Sri Baginda Kaisar dipindahkan ke dalam Markas Pasukan agar lebih aman dan lebih mudah menjaga beliau,"

   Kata jenderal itu dan Cia Keng Hong segera menyetujui. Kaisar lalu digugah, diceritakan tentang peristiwa penyerangan itu dan malam itu juga dikawal oleh Cia Keng Hong sendiri untuk pindah ke dalam markas pasukan kepercayaan Jenderal Bao. Dan malam itu terjadilah peristiwa hebat di dalam istana. Tiga orang pembesar tinggi yang dekat dengan Kaisar telah dibunuh oleh seorang jagoan mereka sendiri dan si jagoan yang mengamuk itupun dapat ditewaskan.

   Mendengar ini, mengertilah Cia Keng Hong bahwa Ouw Kian benar-benar telah menebus dosanya terhadap Kaisar dan telah membalas dendam kepada orang-orang yang memperalatnya. Diam-diam pendekar ini bersyukur bahwa orang gagah itu akhirnya dapat insyaf dan mati sebagai seorang gagah perkasa yang mempertahankan kebenaran. Demikianlah, dengan bantuan dari Cia Keng Hong, akhirnya Jenderal Bao berhasil juga mempengaruhi sebagian besar para pembesar di istana dan setelah menang suara, terutama sekali karena sebagian besar kekuatan militer telah dihimpun oleh Jenderal Bao Ciang, maka pada suatu hari Kaisar Ceng Tung dinaikkan kembali ke singgasananya dan Kaisar Cing Ti diturunkan!

   Seperti terbukti di dalam sejarah, nasib Kaisar Cing Ti, adik dari Kaisar Ceng Tung ini, amatlah menyedihkan. Dia naik ke atas tahta kerajaan di waktu kakaknya yang menjadi Kaisar tertawan musuh dan dia naik karena dorongan dan setengah paksaan para pembesar yang berlomba mencari kedudukan. Kemudian, dia diturunkan dan dianggap sebagai seorang keluarga Kaisar yang melakukan perbuatan khianat terhadap Kaisar sehingga Kaisar Cing Ti ini lalu diasingkan, bahkan kelak setelah dia meninggal dunia,

   Jenazahnya tidak berhak dikubur di dalam kedudukan sebagai Kaisar, melainkan dikuburkan dalam sebuah kuburan terpencil yang berada di belakang Taman Pancuran Kumala, beberapa li jauhnya di sebelah barat Kota Raja Peking, jauh dari tanah pekuburan para raja dari Kerajaan Beng-tiauw yang lain, seolah-olah kenyataannya bahwa Cing Ti pernah menjadi Kaisar di jaman kerajaan itu hendak dihapus dari sejarah! Setelah Kaisar Ceng Tung kembali menduduki singgasananya, Kaisar muda ini tentu saja amat berterima kasih kepada Cia Keng Hong dan ingin memberi anugerah pangkat besar, akan tetapi pendekar sakti ini menghaturkan terima kasihnya dan mohon maaf karena dia sama sekali bukan membela Kaisar untuk mencari kedudukan! Dengan halus dia menolak anugerah itu, kemudian mohon diri dan kembali ke Cin-ling-pai.

   Suasana di ruangan besar itu amat menegangkan. Menegangkan urat syaraf mereka semua, dari Raja Sabutai sampai kepada para perajurit yang mengepung dan menjaga ruangan itu dengan ketat dan dengan senjata lengkap di tangan. Ada tiga ratus orang perajurit yang menjaga di sekitar ruangan itu, menutup setiap lubang sehingga tidak ada kemungkinan bagi siapapun yang berada di dalam ruangan itu untuk lolos keluar! Terutama sekali bagi mereka yang berada di dalam ruangan itu, yang kini berkumpul untuk menghadapi lawan masing-masing karena Raja Sabutai telah mengumumkan bahwa permusuhan di antara kedua golongan itu akan diselesaikan dengan mengadu kedua golongan itu dengan adil!

   Akan diadakan pibu (adu kepandaian) yang adil dan menentukan antara fihak para pembantu Wang Cin dan fihak Bun Houw dan In Hong sebagai fihak kedua, sedangkan para jagoan Raja Sabutai menjadi fihak ketiga! Jadi semua ahli yang memiliki kepandaian di dalam ruangan itu kini terpecah menjadi tiga bagian. Raja Sabutai dengan wajah berseri hadir tanpa isterinya, karena Ratu Khamila tidak suka nonton adu manusia ini. Akan tetapi semua panglimanya hadir, dan juga semua jagoan Mongol termasuk kakek dan nenek guru raja itu yang selain hadir sebagai guru dan orang-orang yang diandalkan dari fihak raja, juga sebagai pengawal pribadi Raja Sabutai.

   Bun Houw duduk di atas bangku tidak jauh dari In Hong dan Yo Bi Kiok. Jantung pemuda ini berdebar keras dan dia merasa tidak tenang. Sejak tadi dia melihat gadis itu duduk dengan tenang dan seolah-olah tidak akan terjadi sesuatu, bahkan wajahnya membayangkan ketenangan yang dingin. Juga wanita cantik setengah tua yang menjadi guru gadis yang dikaguminya itu duduk tenang, wajahnya yang lebih dingin lagi bahkan menjadi mengerikan karena membayangkan suatu ancaman bagi siapapun yang berani menentangnya, dan mulut yang kecil manis itu mengulum senyum penuh ejekan, yang tidak ditujukan kepada orang-orang tertentu. Akan tetapi mata mereka ditujukan kepada Raja Sabutai yang pagi hari itu kelihatan gembira sekali.

   "Hong-moi..."

   Akhirnya Bun Houw tak dapat menahan lagi kegelisahan hatinya dan dia berbisik memanggil gadis itu. Akan tetapi In Hong tidak menjawab, juga tidak menoleh.

   "Hong-moi..."

   Bun Houw memanggil lagi, maklum bahwa tidak mungkin gadis yang berkepandaian tinggi itu tidak mendengar bisikannya. In Hong mengerutku alisnya, melirik tanpa menoleh, sebuah tanda bahwa dia telah mendengar. Bun Houw tidak merasa menyesal gadis itu agaknya tidak memperdulikannya, bahkan dia berkata lagi.

   "Hong-moi, harap kau jangan mencampuri urusanku dengan Bayangan Dewa. Mereka adalah lawanku, jangan kaumembahayakan dirimu sendiri."

   In Hong menoleh dan sejenak mereka saling pandang. Tiba-tiba In Hong merasa betapa jantungnya berdebar aneh dan tanpa disadarinya, seluruh wajahnya berobah merah sekali dan dara itu tidak tahu betapa subonya melirik kepadanya dan subonya mengulum senyum melihat keadaannya itu. Entah bagaimana, dia merasa malu dan cepat menundukkan mukanya. Kemudian untuk menutupi perasaan malu yang aneh ini, yang tidak dikenal dan tidak dimengertinya, In Hong mengangkat muka memandang lagi dan kini sinar metanya mengandung kemarahan!

   "Aku adalah Dewi Maut, kejam seperti iblis, pembunuh gadis tidak berdosa, kenapa engkau memperdulikan aku? Bun-ko, engkau datang ke sini karena terbawa-bawa olehku, maka sebaiknya engkau tidak ikut-ikut dalam pertandingan ini. Biar aku yang menghadapi mereka. Mereka itu berbahaya dan lihai, apalagi kakek dan nenek di belakang sri beginda itu!"

   "Hong-moi...!"

   Bun Houw hendak membantah.

   "Sudahlah!"

   In Hong membuang muka dan terpaksa Bun Houw menghentikan desakannya karena suaranya mulai menarik perhatian semua orang, babkan Raja Sabutai sendiri mulai memandang ke arahnya. Bun Houw kini melirik dan memandang ke arah orang-orang yang akan menjadi lawannya. Selama beberapa hari ini dia telah mencari keterangan dan tahulah dia siapa tiga orang tua yang berdiri di belakang Wang Cin itu.

   Mereka itu musuh-musuh besarnya, musuh besar Cin-ling-pai yang memang selama ini dicarinya. Kakek berkuncir panjang yang berwajah tampan gagah dan kelihatan masih muda itu, yang berpakaian serba putih adalah orang pertama dari Lima Bayangan Dewa, yaitu yang bernama Phang Tui Lok dan berjuluk Pat-pi Lo-sian. Dia itulah yang datang ke Cin-ling-pai selagi empat orang kawannya memancing pergi Cap-it Ho-han dari Cin-ling-pai dan dia pula yang mencuri pedang Siang-bhok-kiam. Dialah yang terlihai di antara Lima Bayangan Dewa. Kemudian kakek berjubah hitam, kepalanya bertopi, bertubuh kokoh kuat dan yang hidungnya besar itu adalah orang kedua dari Lima Bayangan Dewa yang bernama Liok-te Sin-mo Gu Lo It sedangkan hwesio tua gendut memegang tasbeh hijau itu adalah Sin-ciang Siauw-bin-siang Hok Hosiang.

   Di samping tiga orang yang diincarnya itu, ada pula beberapa orang pengawal pribadi Wang Cin yang tidak dia perhatikan, dan kini dia melirik ke arah Raja Sabutai. Raja itu sendiri kelihatan gembira sekali seolah-olah sedang berada dalam suasana suatu pesta meriah! Yang diperhatikan oleh Bun Houw adalah nenek berwajah kehitaman dan kakek berwajah putih yang berdiri seperti arca di belakang raja itu. Dia sudah mendengar nama Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko yang kabarnya memiliki kepandaian amat tinggi itu. Selain dua orang kakek dan nenek yang kabarnya menjadi guru Sabutai yang juga lihai, di situ masih terdapat beberapa orang Mongol tinggi besar yang kelihatannya kuat dan memiliki kepandaian.

   "Eh, orang she Bun!"

   Tiba-tiba ada suara orang berbisik, suaranya mendesis tajam. Bun Houw menoleh dan ternyata yang bicara kepadanya adalah Yo Bi Kiok, wanita setengah tua yang cantik itu. Dia tahu bahwa wanita itu adalah guru dari In Hong, maka dia memandang dan mendengarkan penuh perhatian.

   "Hayo kau minta maaf kepada muridku atas tuduhanmu yang bukan-bukan itu. Dia bukan seorang kejam seperti iblis, juga tidak membunuh orang. Hayo minta maaf kau!"

   "Subo, jangan ikut mencampuri..."

   In Hong berbisik pula mencela subonya. Bun Houw mengerutkan alisnya.

   "Akan tetapi..."

   "Tidak ada tapi, hayo minta maaf!"

   Yo Bi Kiok mendesak. Bun Houw merasa mendongkol. Tidak biasa dia didesak dan dipaksa orang seperti itu, maka sikap yang angkuh dan keras dari Yo Bi Kiok itu malah membuat dia berkeras tidak mau minta maaf dan dia menggeleng kepala.

   "Subo, sudahlah..."

   In Hong kembali mencela gurunya dan pada saat itu Raja Sabutai sudah mengangkat tangan kanan ke atas, tanda bahwa semua orang diminta untuk diam dan dia mau bicara.

   "Saudara sekalian harap maklum bahwa pertemuan ini diadakan pertama-tama untuk merayakan kemenangan seorang sahabatku yang kukagumi, yaitu Kaisar Ceng Tung yang telah dapat menduduki singgasananya kembali dan berhasil mengalahkan semua pengkhianat di dalam kerajaannya! Silakan saudara sekalian mengangkat cawan untuk kehormatan dan keselamatan Kaisar Ceng Tung!"

   Tentu saja Bun Houw menjadi terkejut dan juga terheran-heran menyaksikan sikap dan mendengar ucapan Raja Sabutai itu, akan tetapi dengan girang dia lalu mengangkat cawan arak yang memang sejak tadi disuguhkan di meja depan mereka semua. Semua orang mengangkat cawan dan minum arak, termasuk Yo Bi Kiok setelah nyonya ini melirik ke arah Wang Cin dengan senyum mengejek.

   "Pyarrr...!"

   Tiba-tiba mendengar suara mangkok pecah dan nampak sebuah cawan arak menggelinding di atas lantai. Cawan itu dibanting oleh Wang Cin yang kini sudah bangkit berdiri dengan marah sekali, matanya ditujukan ke arah Raja Sabutai dan tubuhnya yang gendut itu menggigil, mukanya merah padam. Suasana menjadi sunyi karena semua orang menahan napas dengan hati tegang menyaksikan betapa dua orang sekutu itu kini berhadapan sebagai musuh.

   "Sabutai, engkau sungguh merupakan seorang sekutu yang khianat!"

   Bentak Wang Cin, suaranya melengking tinggi, saking marahnya suaranya menjadi seperti suara wanita, yaitu satu di antara ciri-ciri orang kebiri yang sedikit demi sedikit berobah sifatnya menjadi kewanita-wanitaan.

   "Bagaimana dengan tak tahu malu engkau berani menyuruh aku untuk memberi selamat atas kemenangan Ceng Tung dan secara tidak langsung memaki aku?"

   Raja Sabutai tersenyum mengejek.

   "Eh, Wang-taijin, salahkah aku kalau mengatakan bahwa engkau adalah seorang pengkhianat yang gagal? Engkau adalah seorang palsu, dan aku sudah benci kepadamu semenjak pertama kali, hanya karena kita bekerja sama maka aku masih dapat menahan diri membiarkan kehadiranmu yang memuakkan. Aku memang sejak semula kagum kepada Ceng Tung dan muak kepadamu. Sekarang, engkau merupakan seorang pengkhianat yang sudah tidak ada harganya lagi, dan Kaisar Ceng Tung berhasil manduduki tahta kerajannya lagi dan memegang janjinya kepadaku. Sudah sepatutnya kalau kita, apalagi seorang renah seperti engkau, mengucapkan selamat kepada Kaisar Ceng Tung yang gagah perkasa."

   Makin marahlah Wang Cin. Dia adalah seorang yang pernah mencapai kedudukan tinggi sekali, kepercayaan Kaisar dan hampir menjadi orang kedua di kerajaan, dan sekarang dia dihina oleh seorang raja liar, raja pemberontak!

   "Sabutai, raja liar yang rendah...! Kau... kau... hayo serbu dan bunuh dia!"

   Bentaknya sambil monoleh dan memerintah para pengawal dan pembantunya.

   Akan tetapi tidak ada seorangpun yang berani bergerak. Tentu saja, para pengawalnya, juga termasuk tiga orang Bayangan Dewa, bukanlah orang-orang tolol yang mau membunuh diri secara konyol menyerang seorang raja di dalam bentengnya sendiri! Mereka semua adalah orang-orang yang menghambakan diri kepada Wang Cin atas perhitungan rugi untung, maka setelah kini malihat Wang Cin kalah dan gagal, tentu saja mereka tidak sudi untuk membuang nyawa sia-sia untuk pembesar kebiri itu. Memang demikianlah adanya "kesetiaan"

   Yang didengung-dengungkan manusia di seluruh dunia itu! Apakah sesungguhnya kesetiaan itu? Apakah artinya kalau orang bersetia dan berani mengorbankan nyawanya demi untuk rajanya, untuk negaranya, untuk agamanya dan lain-lain? Apakah artinya itu?

   Kalau kita mau membuka mata dan menjenguk keadaan batin sendiri akan nampaklah dengan nyata bahwa sesungguhnya sebutan kesetiaan itu merupakan sebutan lain saja penonjolan diri pribadi, atau dapat juga dilihat bahwa yang mendorong "kesetiaan"

   Itu hanyalah keinginan menonjolkan diri sendiri dan kesetiaan itu hanya merupakan suatu cara untuk memperoleh keuntungan diri pribadi, biarpun keuntungan itu bukan berupa benda lagi, melainkan dalam bentuk "nama besar"

   Atau "nama baik", kepahlawanan, dan sebagainya lagi. Mereka yang "setia"

   Kepada Wang Cin juga tidak ada bedanya. Mungkin saja mereka itu tadinya benar-benar setia, yaitu ketika mereka masih menaruh harapan bahwa kalau perjuangan Wang Cin itu berhasil kelak, mereka tentu akan menerima ganjaran-ganjaran besar. Akan tetapi, setelah mereka sekarang melihat bahwa tidak ada manfaatnya dan tidak ada untungnya lagi untuk terus "setia"

   Kepada Wang Cin,

   Tentu saja kesetiaan merekapun lenyap seperti awan tipis ditiup angin badai. Jelaslah bahwa di dalam apa yang dinamakan kesetiaan itu tersembunyi pamrih demi keuntungan diri pribadi, baik keuntungan jasmani maupun keuntungen rohani yang sesungguhnya sama saja, karena keduanya bersumber kepada kepentingan diri pribadi. Sunyi menyambut perintah Wang Cin yang tidak mendapat sambutan sama sekali itu. Kesunyian yang amat menyakitkan hati Wang Cin, yang benar-benar merasa kecewa dan mukanya berobah pucat, matanya terbelalak hampir tidak percaya memandang kepada para jagoannya yang diam seperti patung, ada yang menatap lantai, ada yang menatap langit-langit, seolah-olah mereka tidak tahu akan keheranan pembesar kebiri itu!

   "Ha-ha-ha-ha!"

   Raja Sabutai tertawa bergelak.

   "Wang Cin, jangan kau mimpi yang bukan-bukan! Orang-orang yang tadinya membantumu bukanlah orang-orang bodoh atau orang-orang buta yang tidak depat melihat kenyataan. Engkau sekarang seperti seekor macan ompong tua yang tinggal kulitnya saja! Orang-orangmu hanya mempunyai dua pilihan, yaitu ikut bersama kami ke utara dan membantu kami atau melarikan diri menjadi buruan pemerintah Beng-tiauw, menjadi penjahat-penjahat dan perampok-perampok, akan tetapi tentu tidak ada yang sudi ikut denganmu karena hal itu berarti ikut ke neraka. Ha-ha-ha!"

   "Sabutai, manusia palsu kau!"

   Wang Cin marah sekali, lalu meneabut pedangnya dan lari menyerang Raja Sabutai. Tidak ada seorangpun berani bergerak, bahkan para pengawal Raja Sabutaipun tidak bergerak tanpa perintah rajanya, dan mereka hanya memandang sambil tersenyum karena mereka maklum bahwa rajanya bukaniah seorang lemah yang perlu dilindungi terhadap serangan seorang pembesar kebiri macam Wang Cin.

   "Sabutai, mampuslah kau...!"

   Wang Cin yang sudah putus harapan dan marah sekali itu menaiki tangga dan menyerang ke arah Raja Sabutai yang duduk sambil tertawa, pedang di tangannya diangkat tinggi-tinggi. Biarpun Wang Cin pernah pula mempelajari ilmu silat, akan tetapi pembesar ini sudah puluhan tahun lamanya tidak pernah berlatih, dan pedang yang dibawa-bawanya itu hanya merupakan hiasan belaka, tidak pernah dimainkan satu kalipun, maka tentu saja gerakannya kaku dan baru lari sebentar begitu saja napasnya sudah ngos-ngosan. Ketika dia tiba di depan meja Raja Sabutai dan mengayun pedangnya, tiba-tiba kaki Raja Sabutai yang masih tersenyum lebar itu menyambar dari bawah, cepat dan kuat sekali menendang ke arah perut yang gendut itu.

   "Bukkkkk!!"

   Wang Cin terpekik, pedangnya terlempar, tubuhnya terjengkang dan terbanting ke belakang, berdebuk menimpa lantai.

   "Seret babi ini keluar dan habisi dia!"

   Raja Sabutai memerintah dan empat orang pengawal menubruk maju, masing-masing memegang tangan atau kaki lalu menyeret tubuh gendut itu keluar. Wang Cin menjerit-jerit seperti babi disembelih, memaki-maki lalu menangis akan tetapi setiap gerakan dan setiap suaranya hanya mendatangkan perasaan muak saja karena seluruhnya membayangkan sifat pengecut yang menyebalkan. Dari jauh terdengar jerit melengking dari bekas pembesar kebiri yang pernah mempermainkan Kaisar Ceng Tung itu. Setelah gema lengking terakhir itu mereda, Sabutai yang masih tersenyum lalu berkata, ditujukan kepada semua orang.

   "Sekarang, seperti yang telah kami janjikan, mari kita selesaikan semua urusan pribadi, semua permusuhan pribadi, diselesaikan secara terhormat dan adil, cara orang-orang gagah agar seluruh dunia tidak akan menganggap bahwa Raja Sabutai tidak menghargai kegagahan orang! Sekarang, siapa yang mempunyai rasa penasaran dan mempunyai tuntutan kepada seseorang atau orang-orang lain, dipersilakan untuk menyatakan di depan kami secara terang-terangan!"

   Setelah berkata demikian, Raja Sabutai memandang ke sekeliling, terutama kepada bekas pembantu-pembantu Wang Cin dan kepada Bun Houw, In Hong, dan Yo Bi Kiok. Tiga orang Bayangan Dewa saling lirik, akan tetapi mereka tidak bergerak. Mereka bertiga adalah orang-orang yang mempunyai dua maksud tersembunyi ketika mereka datang ke tempat itu sebagai pembantu-pembantu Wang Cin.

   Pertama, untuk menyembunyikan diri dari pengejaran fihak Cin-ling-pai dan mencari perlindungan, kedua untuk mengejar kemuliaan, membonceng pengkhianatan Wang Cin. Kini Wang Cin sudah tamat riwayatnya, maka mereka tidak berani banyak berlagak lagi, apa pula karena empat orang kawan mereka yang mereka andalkan, yaitu Go-bi Sin-kouw dan teman-temannya, telah pergi entah ke mana. Betapapun juga, mereka bertiga percaya akan kemampuan sendiri dan tidak merasa gentar, apalagi karena di antara fihak lawan yang paling tinggi ilmunya hanyalah Yo Bi Kiok, dan sesungguhnya mereka tidak mempunyai permusuhan pribadi dengan ketua Giok-hong-pang itu. Maka mereka masih merasa tenang saja menanti perkembangan selanjutnya. Suasana yang sunyi itu dipecahkan oleh suara nyaring dari Bun Houw yang mengangkat tangan kanan ke atas dan berkata,

   "Saya mempunyai tuntutan, mohon perkenan dari baginda untuk saya sampaikan!"

   Semua orang memandang kepada pemuda yang bersikap sederhana akan tetapi gagah dan tampan itu dan karena semua orang sudah mendengar bahwa pemuda yang baru datang itu mempunyai permusuhan dengan para pembantu Wang Cin yang telah mereka kenal sebagai orang-orang lihai, maka suasana mulai menjadi tegang. Raja Sabutai tersenyum lebar.

   "Ketahuilah kalian semua bahwa yang bicara adalah pendekar muda Bun Houw yang baru saja tiba. Dia adalah seorang sahabat nona Hong yang telah kita kenal."

   In Hong hendak membantah akan tetapi sebelum dia mengeluarkan suara, sudah terdengar tepuk tangan para hadirin yang dipolopori oleh Raja Sabutai sendiri, maka In Hong diam saja.

   "Orang muda, katakanlah apa yang menjadi tuntutanmu dan kepada siapa!"

   Raja Sabutai berkata lagi sambil melirik ke arah tiga orang Bayangan Dewa, Di dalam hatinya raja ini agak kecewa mengapa dua orang kakek dan dua orang nenek yang dia tahu amat lihai, yang selama ini menemani para pembantu Wang Cin, telah lenyap ketika terjadi pertempuran yang terakhir menghadapi serbuan pasukan Beng-tiauw yang tadinya mengurung benteng. Bahkan menurut keterangan dua orang gurunya, Bouw Thaisu memiliki kepandaian yang paling tinggi di antara para pembantu Wang Cing akan tetapi sekarang Bouw Thaisu juga telah pergi entah ke mana, bersama Go-bi Sin-kouw, Hwa Hwa Cinjin, dan Hek I Siankouw.

   "Maaf, Sri Baginda. Sebetulnya, urusan saya ini tidak ada sangkut-pautnya dengan paduka atau dengan orang lain, akan tetapi oleh karena musuh-musuh saya itu berada di sini, maka terpaksa saya menyusul pula ke sini dan sekarang atas perkenan peduka, saya akan menuntut secara terang-terangan. Yang saya tuntut adalah mereka bertiga itulah, yang menamakan diri Lima Bayangan Dewa dan yang sekarang tinggal tiga orang lagi. Mereka itu adalah Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok, Liok-te Sin-mo Gu Lo It, dan Sin-ciang Siauw-bin-sian Hok Hosiang. Mereka bertiga itu telah dengan curang mencuri pedang pusaka milik Cin-ling-pai dan telah membunuh sebelas orang Cap-it Ho-han murid-murid utama Cin-ling-pai secara kejam. Oleh karena itu, saya menuntut agar pedang Siang-bhok-kiam dikembalikan kepada saya dan saya menantang mereka untuk bertanding agar saya dapat menebus kematian para murid Cin-ling-pai!"

   

Pedang Kayu Harum Eps 51 Petualang Asmara Eps 17 Petualang Asmara Eps 33

Cari Blog Ini