Ceritasilat Novel Online

Pendekar Lembah Naga 25


Pendekar Lembah Naga Karya Kho Ping Hoo Bagian 25



"Seekor harimaupun akan mundur kalau melihat munculnya singa, maka biarlah aku yang bodoh menarik diriku sebagai calon bengcu dan aku kini menjadi pendukung saja dari seorang di antara Lam-hai Sam-lo untuk menjadi bengcu!"

   Sikap inipun dapat dimengerti karena Si Maling Sakti ini memang pernah ditolong oleh Lam-hai Sam-lo, yaitu ketika beberapa tahun yang lalu dia tertangkap oleh kepungan penjaga keamanan kota Amoi yang dipimpin oleh seorang pendekar, dan Lam-hai Sam-lo yang akhirnya menghubungi pembesar dan dapat mengeluarkannya dari tahanan. Di samping itu diapun maklum bahwa kepandaiannya masih jauh daripada cukup untuk mengalahkan tiga orang kakek sakti itu.

   "Terima kasih atas pengertianmu, Sinto!"

   Kata Hai-liong-ong Phang Tek yang kembali menghadapi ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang.

   "Apakah masih ada calon yang lain, ataukan hanya kalian berdua saja?"

   "Karena yang terhormat Sin-to Bouw Song Khi mengundurkan diri, maka yang tinggal hanya dua orang yaitu sute Tong Siok dan Kim Lok Cinjin,"

   Jawab Sin-ciang Gu Kok Ban dengan suara kering tanda bahwa dia marah sekali.

   "Ha-ha-ha, bagus sekali! Ji-wi suheng turunlah, biarlah mereka berhadapan dengan aku!"

   Kata Hek-liong-ong Cu Bi Kun di tinggi besar muka tengkorak. Dua orang saudaranya itu mengangguk dan dengan ringan mereka berdua meloncat turun dari atas panggung, berdiri di samping panggung dengan lagak angkuh. Terdengar bentakan nyaring dan Kim Lok Cinjin sudah berada di atas panggung dan menjura kepada Sin-ciang Gu Kok Ban.

   "Karena Tong-sicu sebagai wakil Sin-ciang Tiat-thouw-pang merupakan tuan rumah, biarlah pinto yang lebih dulu maju."

   Kim Lok Cinjin adalah tokoh Pek-lian-kauw yang wataknya pemarah dan tadi baru saja dia mengalami penghinaan ketika muridnya dipermainkan oleh seorang bocah. Maka karena dia sedang marah munculnya Lam-hai Sam-lo yang tidak disukanya itu menambah kemarahannya. Dia maklum bahwa kepandaian tiga orang kakek itu luar biasa sekali, namun mengingat bahwa mereka itu adalah antek-antek pemerintah yang dibencinya, dan mengingat pula bahwa dia harus mempertahankan nama Pek-lian-kauw, maka dia menjadi nekat hendak melawan.

   "Sudah lama pinto mendengar akan nama besar Lam-hai Sam-lo, maka kini berhadapan dengan seorang di antara mereka, sungguh merupakan kehormatan besar bagi pinto untuk mohon sedikit petunjuk,"

   Katanya sambil menjura kepada si muka tengkorak itu.

   "Ha-ha-ha, engkau terlalu merendah, totiang. Aku sudah mendengar bahwa tingkat kepandaianmu hanya sedikit di bawah tingkat Kim Hwa Cinjin, maka engkau tentu lihai sekali. Marilah kita main-main sebentar!"

   Kata orang ke tiga dari Lam-hai Sam-lo. Dua orang jago tua itu sudah memasang kuda-kuda. Sebagai seorang tokoh besar dari Pek-lian-kauw, Kim Lok Cinjin segera memasang kuda-kuda Pek-lian (Teratai Putih) sedangkan lawannya yang menjadi pewaris dari mendiang Lam-hai Sin-ni sudah memasang kuda-kuda dengan kedua tangan membentuk cakar naga, karena Ilmu Liong-jiauw-kun (Ilmu Silat Cakar Naga) merupakan ilmu andalan Lam-hai Sam-lo.

   Mereka bergerak sebentar saling mengelilingi dan melihat betapa tokoh Pek-lian-kauw itu mengambil kedudukan mempertahankan, suatu sikap yang berhati-hati dalam pertandingan, sambil mengeluarkan gerengan nyaring Hek-liong-ong Cu Bi Kun sudah mulai membuka serangan. Kedua lengannya bergerak seperti sepasang kaki depan naga, menyambar ke arah lawan dari kanan kiri dan atas bawah dengan kecepatan kilat dan mengandung tenaga yang sampai mengeluarkan bunyi saking kuatnya. Namun wakil Pek-lian-kauw itu sudah waspada, cepat menggunakan keringanan tubuhnya bergerak ke belakang, mengelak dan mengibaskan kedua tangannya keluar dan ke kiri kanan untuk menangkis kedua tangan lawan yang mengejarnya.

   "Plak! Plak! Plak! Plak!"

   Empat kali mereka saling mengadu pergelangan tangan dan akibatnya, kedua pundak Kim Lok Cinjin tergetar sedikit, tanda bahwa dalam adu tenaga sin-kang ini, dia masih kalah kuat setingkat. Namun, Kim Lok Cinjin tidak menjadi gentar dan secepat kilat kedua kakinya mengirimkan tendangan berantai, yaitu semacam Ilmu Tendangan Siauw-cu-tui yang dilakukan secara bertubi-tubi dengan kedua kaki bergantian saling susul dan amatlah berbahaya bagi lawan karena setiap tendangan mengarah bagian yang berbahaya dan mematikan. Menghadapi tendangan seperti itu,

   Terpaksa Hek-liong-ong mengelak mundur dan akhirnya dia menggerakkan kedua tangan untuk mencengkeram dan menangkap kaki yang menyambar-nyambar itu. Hal ini menghentikan serangan wakil ketua Pek-lian-kauw karena tentu saja dia tidak mau membiarkan kakinya kena dicengkeram hancur. Pertandingan berlangsung makin seru dan sampai lewat lima puluh jurus belum juga ada yang nampak akan memperoleh kemenangan. Sebetulnya, kalau dibuat perbandingan, tingkat kepandaian orang ke tiga dari Lam-hai Sam-lo masih jauh lebih tinggi, akan tetapi oleh karena wakil ketua Pek-lian-kauw itu bersilat dengan hati-hati dan mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian untuk melindungi dirinya, maka sampai sekian lamanya dia masih dapat bertahan dan belum terkalahkan.

   Hal ini membuat Hek-liong-ong Cu Bi Kun menjadi penasaran dan marah sekali. Tadinya dia memandang rendah lawannya dan ternyata sampai sekian lamanya dia belum mampu merebut kemenangan, bahkan melukai lawanpun belum. Tiba-tiba dia mengeluarkan teriakan nyaring dan nampaklah sinar menyilaukan mata berkelebat, disusul muncratnya darah dan teriakan wakil ketua Pek-lian-kauw yang terhuyung ke belakang sambil memegangi pundaknya yang terobek oleh golok di tangan Hek-liong-ong. Kiranya Cu Bi Kun dengan kecepatan kilat tadi telah mencabut dan mempergunakan goloknya untuk menyerang dan karena memang keahliannya adalah main golok besar itu, maka Kim Lok Cinjin tak sempat mengelak dan pundaknya terkena bacokan golok sehinga terluka cukup parah.

   "Memandang muka Kim Hwa, Cinjin, biarlah totiang boleh mundur!"

   Kata Cu Bi Kun sambil melintangkan goloknya di depan dada dengan sikap angkuh. Dengan mata mendelik karena penasaran, akan tetapi tanpa mengeluarkan sepatah katapun, wakil ketua Pek-lian-kauw itu meloncat turun dari atas panggung, lalu pergi dari situ sambil memegangi pundaknya, diikuti oleh para anggauta Pek-lian-kauw yang berada di situ.

   "Tidak adil ! Sebelum seratus jurus telah mempergunakan senjata, itu namanya curang!"

   Tiba-tiba Tiat-thouw Tong Siok yang bertubuh tinggi besar, berkepala botak dan mukanya bopeng itu meloncat ke atas panggung, toya besi di tangannya dan matanya mendelik memandang ke arah Hek-liong-ong.

   "Hemm, apa maksudmu?"

   Bentak Hek-liong-ong marah.

   "Sebagai seorang cianpwe, perbuatanmu melukai Kim Lok Cinjin dengan senjata sebelum pertandingan tangan kosong lewat seratus jurus amatlah tercela. Pertandingan ini diadakan di antara teman untuk memilih bengcu, bukan pibu di antara musuh!"

   Tegur orang ke dua dari Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu dengan marah.

   "Hemm, Tiat-thouw Tong Siok, engkau bukan anak kecil lagi dan engkau tentu tahu bahwa ilmu silat amatlah luasnya, baik dengan tangan kosong maupun dengan senjata merupakan bagian dari ilmu silat, dan di dalam setiap pertandingan ilmu sliat pasti terdapat bahaya terluka atau terbunuh. Sekarang, calon terakhir tinggal engkau seorang, kalau engkau takut terluka, lebih baik mengundurkan diri sebelum terlambat."

   "Hek-liong-ong Cu Bi Kun, omonganmu sungguh keterlaluan!"

   Tiat-thouw Tong Siok membentak ketika mendengar ucapan yang sifatnya meremehkan bahkan menghina itu.

   "Sute, sudahlah, serahkan saja kedudukan bengcu kepada Lam-hai Sam-lo, kita tidak perlu turut campur!"

   Terdengar Sin-ciang Gu Kok Ban berseru karena dia mengkhawatirkan keselamatan sutenya. Akan tetapi Tiat-thouw Tok Siok adalah seorang yang berhati keras. Dia telah dihina orang di depan orang banyak, mana dia mau sudah begitu saja?

   "Biarlah, suheng. Ini sudah bukan urusan perebutan kedudukan bengcu lagi, melainkan urusan pribadi yang menyangkut kecurangan dan penghinaan. Kim Lok Cinjin telah dicurangi, sekarang aku dihina orang, mana mungkin aku mendiamkannya saja? Harap suheng jangan mencampuri, urusan ini adalah tanggunganku pribadi. Marilah, Hek-liong-ong, kita membuat perhitungan sebagai akibat kecurangan dan penghinaanmu tadi!"

   Sambil berkata demikian, Tong Siok sudah menggerakkan toya besinya dan dia sudah menyerang dengan ganasnya ke arah Hek-liong-ong Cu Bi Kun yang menyambutnya dengan tertawa besar.

   Tingkat kepandaian Tiat-thouw Tong Siok masih lebih rendah dibandingkan dengan tingkat kepandaian Kim Lok Cinjin, maka kalau wakil ketua Pek-lian-kauw itu saja tidak kuat melawan Hek-liong-ong, apalagi dia. Baru lewat belasan jurus saja sudah nampak betapa sinar toya sudah dibelit dan ditekan oleh sinar golok dan orang ke dua dari Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu hanya mampu mengelak saja tanpa sempat membalas lagi dan beberapa kali terdengar ketawa Hek-liong-ong mengeluarkan suara ketawa penuh kebanggaan. Dia memang sengaja hendak memperlihatkan kepandaiannya, dan diapun bukan orang bodoh maka dia tidak ingin mencelakai Tong Siok, hanya ingin menundukkan saja. Kalau dia bertiga kakak-kakaknya ingin menguasai semua orang di kalangan kaum sesat, tentu saja dia tidak boleh sembarangan membunuh.

   "Pergilah!"

   Tiba-tiba Hek Liong-ong berseru dan goloknya membabat keras sekali ke arah toya yang melintang itu.

   "Trang... krekkk!"

   Dan toya di tangan Tong Siok patah menjadi dua potong!

   "Ha-ha-ha, aku maafkan engkau. Turunlah!"

   Kata Hek-liong-ong Cu Bi Kun dengan lagak sombong sekali. Tiat-thouw Tong Siok membanting dua potongan toyanya dengan mata mendelik, lalu dia berteriak nyaring,

   "Hek-liong-ong, aku harus mengadu nyawa denganmu!"

   Setelah berkata demikian, dia lalu menyeruduk ke depan dengan kepala lebih dulu seperti seekor kerbau mengamuk, mengarahkan kepalanya ke perut lawan. Itulah ilmunya yang membuat dia dijuluki Tiat-thouw (Kepala Besi), dan di dalam serudukan kepalanya ini terkandung tenaga yang dahsyat sehingga tembok yang kokohpun akan roboh dan pecah oleh serudukan kepalanya itu.

   "Sute...!"

   Sin-ciang Gu Kok Ban berteriak namun sudah terlambat karena sutenya itu sudah menyerang dengan cepat.

   "Ha-ha-ha!"

   Hek-liong-ong tertawa dan sengaja memasang perutnya yang gendut untuk menerima serudukan itu tanpa mempergunakan goloknya.

   "Dukkk...!"

   Dengan hebatnya kepala botak itu menumbuk perut dan tubuh Hek-liong-ong tergetar, akan tetapi hanya untuk sebentar saja karena tiba-tiba kepala itu sudah menancap ke dalam perut, seperti disedotnya.

   "Sluppp...!"

   Kepala itu terbenam ke dalam perut sampai ke hidung! Ketika merasa betapa kepalanya tersedot ke dalam, Tong Siok menjadi nekat dan dia sudah menggerakkan kedua tangannya untuk mencengkeram ke atas! Akan tetapi, dengan mudah saja Hek-liong-ong menangkap pergelangan kedua tangan itu sehingga kini tinggal kedua kaki Tong Siok saja yang meronta-ronta!

   "Locianpwe, harap menaruh kasihan kepada sute!"

   Teriak Sin-ciang Gu Kok Ban yang mengkhawatirkan keselamatan sutenya.

   "Hemmmm, dia menghendaki nyawaku, mana begitu mudah?"

   Tiba-tiba Hek-liong-ong memperkeras cengkeramannya pada kedua pergelangan tangan Tong Siok dan terdengar suara "krekk!"

   Dua kali dan kedua pergelangan itu patah tulangnya dan menjadi lemas! Pada saat itu nampak berkelebat sesosok bayangan ke atas panggung dan semua orang yang sudah merasa tegang menyaksikan kejadian mengerikan di atas panggung itu menjadi makin tegang ketika mengenal bahwa yang meloncat ke atas panggung itu adalah Sin Liong, pemuda remaja yang tadi telah menggegerkan pertempuran pemilihan bengcu itu. Dengan langkah lebar Sin Liong menghampiri Tong Siok yang kepalanya masih menancap di perut Hek-liong-ong, lalu dia menepuk pinggul Tong Siok secara main-main sambil berkata dengan lantang.

   "Eh, kenapa main-main dengan perut orang?"

   Begitu tangan Sin Liong menepuk pinggul itu, terdengar suara "plakk"

   Dan tubuh Hek-liong-ong menggigil! Tadinya, Tong Siok merasa betapa kepalanya terjepit dan terasa panas, akan tetapi tepukan pada punggung itu mendatangkan hawa dingin yang menembus kepala dan menyerang perut sehingga Hek-liong-ong terkejut bukan main, maklum bahwa pemuda remaja itu main gila, dia lalu menggerakkan golok yang sudah dicabutnya lagi dari punggungnya. Akan tetapi, Sin Liong mendorong lagi pinggul Tong Siok dan akibatnya, Hek-liong-ong mengeluarkan seruan keras, jepitan perutnya pada kepala itu terlepas dan dia terhuyung lalu roboh pingsan di atas panggung, goloknya tidak tercabut.

   "Terima kasih...!"

   Tong Siok berkata kepada Sin Liong dan terhuyung dia turun dari atas panggung, dipapah dan dibantu oleh suhengnya. Pada saat itu, Hai-liong-ong Phang Tek dan adiknya, Kim-liong-ong Phang Sun telah melayang naik ke atas panggung mereka itu menghadang Sin Liong dari depan dan belakang. Hai-liong-ong Phang Tek cepat memeriksa sutenya dan merasa lega bahwa sutenya itu hanya terguncang saja oleh kekuatan luar biasa sehingga pingsan tanpa mengalami luka parah maka setelah ditotok beberapa kali, Hek-liong-ong telah bangkit kembali.

   "Siapa engkau, bocah setan?"

   Bentak Kim-liong-ong Phang Sun sambil mendekati Sin Liong dengan sikap mengancam.

   "Hemm, Lam-hai Sam-lo memang jahat dan selalu mendatangkan keributan, hendak merebut kedudukan bengcu juga secara curang,"

   Kata Sin Liong dengan marah.

   "Ah, bukankah dia ini bocah yang bersama Ouwyang Bu Sek dahulu?"

   Teriak Hai-liong-ong Phang Tek yang lalu menoleh ke kanan kiri, lalu menantang.

   "Keluarlah kau, Ouwyang Bu Sek dan lawanlah kami!"

   Sin Liong tersenyum,

   "Suheng sudah mewakilkan aku untuk mengamati jalannya pemilihan ini agar jangan dicurangi lagi oleh kalian Lam-hai Sam-lo."

   "Keparat!"

   Hai-liong-ong Phang Tek sudah menubruk dengan kecepatan kilat ke arah kepala Sin Liong, kecepatannya luar biasa sekali karena memang orang pertama dari Lam-hai Sam-lo ini memiliki gin-kang yang luar biasa. Selain cepat, juga tubrukannya itu mendatangkan sambaran hawa yang amat kuat dan tahu-tahu kedua tangannya telah mengancam kepala dan dada Sin Liong! Kini Sin Liong tidak berani lagi main-main seperti ketika dia menghadapi tokoh Pek-lian-kauw tadi, karena diapun maklum betapa lihainya tiga orang kakek pertama dari Lam-hai Sam-lo yang telah menyerangnya secara demikian hebatnya. Menghadapi serangan itu, reaksinya cepat sekali. Dia menarik kepalanya ke belakang untuk menghindarkan cengkeraman ke arah kepala, dan ketika jari tangan lawan sudah menyentuh dada, cepat dia mengerahkan tenaga Thi-khi-i-beng sepenuhnya.

   "Plakk...! Aihhhhh...!"

   Orang pertama dari Lam-hai Sam-lo itu mengeluarkan suara teriakan kaget ketika tiba-tiba jari tangannya yang menyentuh dada pemuda remaja itu melekat dan sin-kangnya membanjir keluar keluar. Pengalaman seperti ini pernah dialami mereka bertiga tiga tahun yang lalu ketika dia dan adik-adiknya menyerang Ouwyang Bu Sek dan kakek cebol itu dibantu oleh bocah ini, dan dia bersama dua orang saudaranya sudah mempelajari dan menyelidiki hal itu penuh keheranan. Kini, cepat dia menggetarkan tangannya dan dengan kecepatan kilat, kuku jarinya menyentil jalan darah di dada Sin Liong sehingga anak itu merasa tergetar seluruh tubuhnya dan pada saat itulah Hai-liong-ong Phang Tek berhasil menarik jari tangannya terlepas dari sedotan tenaga sakti Thi-khi-i-beng!

   "Bocah setan! Apa hubunganmu dengan si keparat Cia Keng Hong?"

   Tiba-tiba orang pertama dari Lam-hai Sam-lo itu membentak dan memandang kepada Sin Liong dengan mata melotot penuh kebencian. Sin Liong terheran mendengar ini, akan tetapi juga marah karena kakeknya dimaki keparat. Dia tidak menjawab, akan tetapi kini pemuda remaja ini segera bergerak dan kedua tangannya sudah bergerak perlahan, kelihatannya seenaknya saja kedua tangan itu menampar dengan tangan kiri ke arah dada Hai-liong-ong Phang Tek sedangkan tangan kanannya sudah menotok dengan satu jari ke arah lambung Kim-liong-ong Phang Sun. Serangannya terhadap dua orang kakek sakti itu dilakukan dengan lambat dan perlahan, seperti main-main saja. Akan tetapi sesungguhnya tidaklah demikian.

   Pemuda remaja ini telah mewarisi tenaga sakti dari Kok Beng Lama dan mewarisi ilmu-ilmu yang hebat dari kakeknya, bahkan selama tiga tahun telah digembleng oleh Ouwyang Bu Sek yang menjadi "suhengnya"

   Dan mempelajari ilmu-ilmu yang ajaib dari kitab-kitab aneh yang katanya diturunkan oleh manusia dewa Bu Beng Hud-couw dari Himalaya. Maka selama ini, tanpa diketahui orang, Sin Liong telah mencapai tingkat tinggi sekali, tingkat di mana kekerasan dan kekasaran sudah tidak nampak lagi dan tenaga yang besar tertutup oleh gerakan halus. Oleh karena itu, biarpun dia hanya menggerakkan kedua tangan seenaknya saja, namun sesungguhnya gerakannya itu mengandung hawa pukulan sakti yang kuat, bahkan terasa oleh dua orang kakek itu angin menyambar dahsyat dan panas dibarengi suara mencicit nyaring!

   "Aihhh!"

   "Ohhh...!"

   Dua orang kakek itu mengelak dan menangkis, akan tetapi tetap saja mereka terhuyung oleh dorongan hawa pukulan ajaib itu.

   Marahlah mereka dan cepat mereka balas menyerang, bukan dengan pukulan biasa, melainkan serangan maut karena Hai-liong-ong Phang Tek sudah menusukkan tongkatnya ke arah ubun-ubun kepala Sin Liong sedangkan Kim-liong-ong Phang Sun sudah memukul dengan pukulan beracun. Orang ke dua dari Lam-hai Sam-lo ini memang ahli dalam mempergunakan pukulan beracun dan kini tangan kirinya yang melancarkan pukulan telah mengandung hawa yang berwarna kehijauan yang menyambar ke arah lambung Sin Liong. Sin Liong mengerti bahwa dua orang kakek itu agaknya telah menguasai ilmu yang dapat membebaskan mereka dari pengaruh sedotan Thi-khi-i-beng, yaitu dengan jalan menggetarkan bagian yang tersedot, maka diapun tidak lagi mempergunakan Thi-khi-i-beng yang memang tidak boleh sembarangan dipergunakan itu.

   "Manusia-manusia curang!"

   Bentaknya ketika dia melihat betapa kejam pukulan-pukulan itu. Dia membuat gerakan memutar dengan tangan kirinya. Tangan kirinya yang membuat gerakan memutar itu mengakibatkan angin atau hawa pukulan melingkar dan hawa ini demikian kuatnya mengurung atau meringkus serangan dua orang itu sehingga kembali kedua orang kakek itu terhuyung seperti terbawa oleh pusaran angin yang kuat! Hai-liong-ong Phang Tek kembali menjadi kaget setengah mati. Dia meloncat ke belakang diikuti oleh adiknya, dan kini Hek-liong-ong Cu Bi Kun juga sudah pulih kembali tenaganya, dengan golok di tangan kakek tinggi besar ini juga ikut mengurung.

   "Bocah setan, hayo katakan, apa hubunganmu dengan Cia Keng Heng?"

   Bentak Hai-liong-ong Phang Tek. Sin Liong yang berdiri di tengah-tengah dan dikurung, sejenak memandangi wajah mereka dengan sinar mata mencorong seperti mata naga, kemudian dia mengedikkan kepalanya dan menjawab lantang.

   "Pendekar sakti Cia Keng Hong adalah orang yang kujunjung tinggi, kuhormati dan namanya akan kubela sampai akhir jaman dengan taruhan nyawaku. Kalian ini tiga orang tua kotor tidak ada harganya untuk menyebut namanya!"

   Tentu saja anak itu sama sekali tidak tahu mengapa tiga orang kakek ini kelihatan amat membenci Cia Keng Hong dan dia tidak tahu pula apa hubungan mereka dengan kakeknya. Seperti telah diceritakan dalam rangkaian cerita Pedang Kayu Harum, pendekar sakti Cia Keng Hong berjodoh dengan seorang wanita gagah bernama Sie Biauw Eng, dan wanita itu di waktu masih gadis adalah puteri datuk kaum sesat di selatan, yaitu Lam-hai Sin-ni! Karena Lam-hai Sam-lo itu adalah pewaris ilmu-ilmu dari mendiang Lam-hai Sin-ni, maka dengan sendirinya mereka menganggap Sie Biauw Eng sebagai suci (kakak seperguruan) mereka dan tentu saja mereka membenci pendekar Cia Keng Hong yang dianggap telah menarik dan menyelewengkan suci mereka sehingga suci itu meninggalkan dunia hitam.

   Akan tetapi, mendengar betapa lihainya Cia Keng Hong yang telah menjadi ketua Cin-ling-pai, apalagi ilmunya yang disebut Thi-khi-i-beng, dan juga karena merasa sungkan memusuhi suami suci mereka, sebegitu jauh Lam-hai Sam-lo tidak pernah mencari atau memusuhi Cia Keng Hong yang mereka benci. Akan tetapi kini, melihat pemuda remaja yang mahir ilmu seperti Thi-khi-i-beng itu, tentu saja mereka teringat akan musuh besar mereka dan membentak. Kini, mendengar betapa anak ini benar-benar ada hubungannya dengan musuh mereka, tiga orang kakek itu tanpa malu-malu lagi lalu menggerakkan tangan dan senjata masing-masing dan mengepung serta mengeroyok Sin Liong dengan serangan-serangan maut yang amat dahsyat.

   Harus diakui bahwa pada waktu itu, mungkin sukar mencari seorang yang mewarisi ilmu-ilmu yang demikian hebat seperti yang diwarisi oleh Sin Liong, apalagi dia telah secara langsung mengoper tenaga sin-kang dari Kok Beng Lama dan secara langsung pula dilatih oleh kakeknya, Cia Keng Hong, kemudian telah mempelajari isi kitab-kitab ajaib dari Himalaya di bawah petunjuk suhengnya, Ouwyang Bu Sek. Akan tetapi, usianya masih terlalu muda, baru enam belas tahun dan biarpun di dalam tubuhnya telah mengeram tenaga yang amat hebat, namun dia belum dapat menguasai tenaga itu sepenuhnya dan juga harus diakui bahwa dia masih kurang matang dalam latihan. Padahal, tiga orang kakek yang mengeroyoknya adalah datuk-datuk dari selatan yang usianya sudah enam puluh tahun lebih, yang memang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan banyak sekali pengalaman dalam pertempuran besar.

   Maka, biarpun dengan gerakannya yang aneh Sin Liong mampu sekaligus menangkis tiga serangan lawan itu sehingga tiga orang kakek itu terhuyung ke belakang dengan kaget seperti disambar halilintar, namun tetap saja Sin Liong juga terpelanting dan hampir saja terjungkal dari atas panggung kalau dia tidak cepat berpegang pada pinggiran papan panggung dan meloncat naik ke atas, berjungkir-balik beberapa kali dan kembali berdiri dengan tegak, sudah dikepung pula oleh tiga orang kakek itu. Lam-hai Sam-lo berdiri dengan mata terbelalak, wajah mereka agak pucat dan terdapat rasa ngeri dan takjub pada pandang mata mereka. Belum pernah selama hidup mereka yang menjelajahi dunia selatan mereka bertemu dengan lawan seperti pemuda remaja ini!

   Hai-liong-ong Phang Tek yang merupakan orang pertama yang paling lihai, tadi melihat betapa hantaman tongkatnya pada leher anak remaja itu, membalik dan tongkatnya itu terpental menghantam dirinya sendiri sebelum tongkat itu menyentuh leher lawan. Maklumlah dia bahwa entah secara bagaimana, anak ini telah memiliki sin-kang yang sukar dipercaya kehebatannya, yang dapat bergerak otomatis melindungi tubuh dan membuat tongkatnya membalik tadi. Maka dia bersikap hati-hati dan mengurung bersama dua orang adiknya. Sementara itu, kini keadaan menjadi geger karena semua orang yang berada di situ baru tahu, seolah-olah baru terbuka mata mereka bahwa pemuda remaja yang kelihatan tolol tadi sebenarnya adalah seorang manusia luar biasa sehingga Lam-hai Sam-lo sendiri terpaksa dan tidak malu-malu lagi untuk mengeroyoknya!

   Sin-ciang Gu Kok Ban yang cepat menolong sutenya dan menyambung pergelangan tangannya yang patah-patah dan memberinya obat, kini hanya menonton dengan penuh takjub. Dia tadipun tidak berdaya menyaksikan keadaan sutenya, dan dia tahu bahwa pemuda remaja yang luar biasa itu telah menyelamatkan nyawa sutenya. Akan tetapi, melihat pemuda itu dikeroyok oleh Lam-hai Sam-lo, tentu saja dia tidak berani mencampuri, sungguhpun di dalam hatinya dia mengharap pemuda remaja itu dapat lolos. Pertandingan di atas panggung itu benar-benar hebat bukan main dan semua orang menonton dengan jantung berdebar penuh ketegangan karena mereka tahu bahwa tiga orang kakek itu kini sama sekali tidak main-main, melainkan berusaha keras untuk membunuh pemuda remaja yang tadi mengaku sebagai murid Cin-ling-pai itu.

   Yang hadir di tempat itu sebagian besar adalah golongan hitam dan mereka ini rata-rata memang tidak suka kepada Cin-ling-pai yang dianggap sebagai perkumpulan fihak lawan, akan tetapi sikap pemuda remaja itu tadi menarik rasa suka di hati mereka sehingga biarpun mereka tidak memihak secara terang-terangan, juga seperti Sin-ciang Gu Kok Ban, mereka itu kebanyakan mengharapkan kemenangan di fihak pemuda remaja itu, sesuatu hal yang agaknya tidak mungkin sama sekali. Sementara itu, para tamu yang terdiri dari wakil-wakil dari Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai, Kong-thong-pai dan lain-lain saling pandang dan juga mereka menonton dengan penuh takjub. Mereka tidak berani turun tangan mencampuri karena selain tiga orang Lam-hai Sam-lo itu merupakan tokoh-tokoh terkenal,

   Juga pertandingan itu agaknya merupakan urusan pribadi antara mereka dan pemuda remaja luar biasa yang mengaku sebagai murid Cin-ling-pai itu. Tadinya, orang-orang gagah, seperti para wakil Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai, memang sudah bersiap-siap untuk menolong pemuda itu karena sebagai orang-orang berjiwa pendekar, tentu saja mereka tidak akan membiarkan seorang pemuda remaja dikeroyok oleh tiga orang datuk hitam secara curang itu. Akan tetapi ketika menyaksikan gerakan-gerakan Sin Liong, mereka melongo dan memandang dengan mata terbelalak, maklum bahwa pemuda remaja itu adalah seorang yang memiliki kepandaian luar biasa sekali dan sama sekali tidak pantas kalau dibantu oleh mereka yang hanya memiliki kepandaian terbatas dan masih rendah dibandingkan dengan kepandaian pemuda itu atau tiga orang pengeroyoknya.

   "Hyaaaaattt... aihhh!"

   Seruan yang keluar dari kerongkongan Kim-liong-ong Phang Sun ini hebat bukan main. Orangnya sih kecil pendek saja, akan tetapi ternyata ketika dia mengeluarkan pekik itu, terdengar lengking yang lantang besar dan amat nyaring memekakkan telinga dan papan panggung seolah-olah tergetar oleh lengkingannya. Orang ke dua dari Lam-hai Sam-lo ini telah menerjang dengan cara meloncat tinggi, kemudian dari atas dia melayang turun menyambar ke arah Sin Liong seperti seekor naga terbang dan kedua tangannya diputar-putar secara aneh, yang kiri mengeluarkan pukulan beruap hitam yang berbau amis, sedangkan yang kanan mendorong dengan tenaga dahsyat ke arah kepala Sin Liong.

   Biarpun Sin Liong selama beberapa tahun ini digembleng oleh orang-orang sakti dengan ilmu-ilmu pilihan yang amat tinggi, namun selama ini dia hanya mempelajari teori-teori dan latihan-latihan saja, belum pernah dia mempergunakan ilmu-ilmu itu untuk menghadapi bahaya serangan lawan, maka sekali ini, dia benar-benar diuji dan dituntut untuk membuktikan sampai di mana kemampuannya selama dia dilatih secara tekun dan tak mengenal lelah itu. Memang anak ini semenjak kecil sudah digembleng oleh keadaan alam, sering kali hidup dalam keadaan liar dan menghadapi tantangan-tantangan alam yang mengerikan, maka dia memiliki keberanian hebat dan tidak mudah gugup. Oleh karena itu, biarpun kini menghadapi serangan demikian dahsyatnya, dia tidak merasa gentar atau gugup, bahkan dapat mempergunakan otaknya dengan baik, mengikuti gerak otomatis yang timbul dari kewaspadaannya.

   "Hemmm...!"

   Dia mengeluarkan suara dari dada, suara yang langsung keluar dari pusar dan sekaligus dengusan suara itu membuyarkan kekuatan khi-kang yang menggetarkan dari teriakan Kim-liong-ong, kemudian tangannya mengebut ke atas, disusul totokan jari telunjuk ke arah pergelangan kaki lawan yang menubruknya.

   "Aihhhh...!"

   Kim-liong-ong menjerit karena terkejut bukan main. Kebutan tangan anak itu membuyarkan uap hitam yang menghantam mukanya sendiri dan tangannya yang tadi mendorong, bertemu dengan jari telunjuk lawan, membuat seluruh lengannya kesemutan dan jari tangan anak itu terus meluncur ke arah pergelangan kakinya secara aneh. Dia belum pernah menyaksikan jurus seperti itu selama hidupnya dan biarpun dia hendak merubah gerakannya, namun terlambat karena totokan itu meluncur terus, agaknya takkan dapat dielakkannya lagi.

   "Celaka!"

   Teriaknya. Dia tidak tahu bahwa pemuda remaja itu ternyata telah mencoba mengeluarkan satu jurus dari kitab ajaib yang dipelajarinya dari kitab-kitab lama di bawah bimbingan suhengnya, yaitu Ouwyang Bu Sek. Dari kitab-kitab yang menurut Ouwyang Bu Sek adalah pemberian seorang manusia dewa yang disebut Bu Beng Hud-couw itu,

   Sin Liong telah dapat meringkas semua ilmu itu menjadi semacam rangkaian jurus yang aneh sekali, yang oleh Ouwyang Bu Sek diberi nama Hok-mo Cap-sha-ciang (Tiga Belas Jurus Penakluk Iblis), berupa tiga belas rangkaian gerakan-gerakan yang dapat berkembang secara luas sekali dan demikian aneh lika-likunya, penuh rahasia sehingga Ouwyang Bu Sek sendiripun tidak sanggup mempelajarinya! Melihat adiknya menjadi pucat dan tubuhnya melayang turun dengan diancam oleh totokan anak itu, Hai-liong-ong Phang Tek bergerak cepat dan berteriak keras sambil mengayun tongkatnya, membabat ke arah jari tangan pemuda remaja itu yang mengancam pergelangan kaki adiknya. Juga dari samping, Hek-liong-ong Cu Bi Kun yang merasa penasaran karena tadi sampai pingsan oleh pemuda itu, telah mengayun golok besarnya membacok ke arah pergelangan tangan Sin Liong dengan pengerahan tenaga sekuatnya.

   "Wuuuutttt...!"

   Singggg...!"

   Tongkat dan golok itu menyambar dengan dahsyat sekali, lenyap bentuknya berubah menjadi sinar-sinar yang menyilaukan mata.

   "Krekkk...! Takkk...!"

   "Ahhhh...!"

   "Heiii...!"

   Kim-liong-ong dapat meloncat ke belakang dan terhindar dari malapetaka, akan tetapi tubuh Hai-liong-ong dan Hek-liong-ong terdorong ke belakang, muka mereka pucat sekali dan Hai-liong-ong memandang tongkat di tangannya yang sudah patah menjadi dua potong, sedangkan Hek-liong-ong juga memandang kepada golok di tangannya dengan mata terbelalak dan tidak percaya karena baru saja golok yang amat diandalkan dan dibanggakannya itu dengan tepat mengenai lengan pemuda remaja itu dan terpental sama sekali, tidak melukai lengan itu!

   Kiranya, totokan jari telunjuk Sin Liong yang mempergunakan tenaga Thian-te-sin-ciang, yaitu tenaga yang dia peroleh dari "pengoperan"

   Kok Beng Lama secara luar biasa, telah berhasil mematahkan tongkat, dan pada saat golok Hek-liong-ong mengenai lengannya, lengan itu penuh dengan tenaga Thian-te-sin-ciang, golok itu terpental dan membalik. Tenaga Thian-te-sin-ciang dari Kok Beng Lama memang merupakan tenaga sin-kang dahsyat dan ajaib sekali yang dapat membuat tubuh menjadi kebal dan bertahan terhadap bacokan senjata tajam. Tiga orang Lam-hai Sam-lo itu menjadi pucat dan mata mereka terbelalak memandang kepada Sin Liong yang masih berdiri dengan tenang di depan mereka. Mereka kini merasa gentar sekali. Pada saat itu, terdengar bunyi terompet dan tambur, disusul suara nyaring,

   "Hentikan semua pertempuran! Beri tempat untuk sang pangeran...!"

   Semua orang terkejut dan menengok. Mereka menjadi makin kaget ketika melihat bahwa tempat itu telah dikurung oleh ratusan orang tentara yang berpakaian seragam, indah dan berwibawa, dan nampak beberapa orang komandan memimpin pasukan dan banyak pula bendera-bendera, tanda bahwa yang datang adalah seorang yang berpangkat besar.

   Beberapa orang penunggang kuda mendekatkan kuda mereka ke panggung dan di antara mereka terdapat seorang pemuda yang amat tampan dan gagah, berusia kurang lebih delapan belas tahun, menunggang seekor kuda yang terbesar dan terbaik. Pemuda ini gagah sekali, pakaiannya amat indah gemerlapan dan sepasang matanya seperti mata harimau, tajam dan bersinar-sinar. Bajunya terhias sulaman benang emas gemerlapan dan kepalanya memakai sebuah topi yang dihias bulu burung dewata amat indahnya, menambah tampan dan gagah wajahnya. Dengan sikap seorang ahli, dia memegang kendali kudanya yang meringkik-ringkik, mulutnya tersenyum dan matanya menyapu ke sana-sini, akhirnya sepasang mata yang tajam itu memandang ke atas panggung di mana Sin Liong masih berhadapan dengan Lam-hai Sam-lo.

   "Sam-lo, apa yang kalian lakukan? Apa yang telah terjadi?"

   Tiba-tiba pemuda tampan itu bertanya dan tiba-tiba terkejut dan kagumlah semua orang karena pemuda tampan itu melayang dari atas kudanya seperti terbang saja, dengan gaya yang amat indah telah meloncat naik ke atas panggung. Meloncat bukanlah ilmu yang luar biasa, akan tetapi kalau orang duduk di atas kuda dan tahu-tahu melayang ke atas, hal itu benar-benar hebat sekali. Maka terdengarlah tepuk tangan memuji di sana-sini karena orang-orang merasa gembira sekali melihat betapa hari ini muncul banyak orang muda yang hebat. Akan tetapi keheranan demi keheranan menimpa orang-orang itu ketika tiba-tiba mereka melihat Lam-hai Sam-lo menjatuhkan diri berlutut di depan pemuda tampan itu dengan sikap amat menghormat! Dan kagetlah mereka ketika mereka mendengar suara Hai-liong-ong Phang Tek berkata,

   "Mohon paduka sudi mengampuni hamba, pangeran. Pemilihan bengcu ternyata mendapat gangguan dari pemuda ini."

   Ributlah keadaan di situ ketika mendengar betapa Hai-liong-ong menyebut pemuda itu "pangeran". Mendengar ini, tiba-tiba komandan pasukan berseru dengan suara lantang.

   "Paduka yang mulia Pangeran Ceng telah hadir, hendaknya semua orang cepat memberi hormat!"

   Ketika mendengar bahwa pemuda itu adalah seorang pangeran, berarti saudara dari Kaisar, tentu saja semua orang terkejut dan cepat mereka semua menjatuhkan diri bertutut di tempat masing-masing, menghadap ke atas panggung di mana pangeran itu masih berdiri. Juga para hwesio Siauw-lim-pai, para tosu Kun-lun-pai, cepat memberi hormat menurut cara masing-masing seperti kebiasaan mereka menghormati seorang pangeran agung.

   Pangeran itu tersenyum dan berdiri mengangkat dada, memandang ke sekeliling dengan bangga, melihat semua orang berlutut dan bersujud kepadanya. Akan tetapi dia mengerutkan alisnya ketika melihat ada seorang yang sama sekali tidak berlutut kepadanya, dan orang ini adalah seorang pemuda remaja yang berdiri di sudut panggung itu! Pemuda yang oleh Hai-liong-ong dikatakan mengganggu pemilihan bengcu tadi! Pemuda itu adalah Sin Liong yang memang tidak berlutut, hanya berdiri dan memangku kedua tangan memandang semua itu seperti orang yang sedang nonton pertunjukan wayang. Pangeran itu mengangkat kedua tangan ke atas dan terdengar suaranya yang lantang,

   "Aku sudah menerima penghormatan kalian. Cukup dan kalian diperbolehkan bangkit lagi. Eh, Sam-lo, mengapa pemilihan bengcu menjadi ribut seperti ini? Apakah kalian kalah dalam memperebutkan kedudukan bengcu?"

   
Pendekar Lembah Naga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Ampun, pangeran. Sebetulnya hamba bertiga telah dapat memenangkan kedudukan bengcu, akan tetapi anak ini... datang mengacau...!"

   Hai-liong-ong memandang kepada Sin Liong yang masih berdiri tegak. Pangeran muda itu memutar tubuhnya menghadapi Sin Liong dan sinar matanya yang tajam itu menyambar-nyambar, menyapu Sin Liong dari atas sampai ke bawah seperti orang yang kurang percaya.

   "Dia ini? Bocah ini mampu mengacau kalian bertiga?"

   Mulutnya tersenyum-senyum, manis dan tampan, sikapnya juga halus sekali akan tetapi sinar matanya tajam seperti pedang.

   "Tadi kulihat dia berani menghadapi kalian bertiga. Bukan main...! Ingin aku mencobanya!"

   Pangeran muda itu melangkah menghampiri Sin Liong yang tetap bersikap tenang-tenang saja dan tiba-tiba pangeran itu membuka mulutnya. Dari dalam mulut itu menyambar sinar putih seperti perak dan itu adalah jarum-jarum halus yang menyambar ke arah jalan darah di tubuh bagian depan dari Sin Liong, dari muka sampai ke pusar! Melihat betapa jarum-jarum itu hanya nampak sebagai sinar-sinar putih berkeredepan saja dan semua mengarah jalan-jalan darah yang amat berbahaya,

   Maka dapat dibayangkan betapa hebat dan berbahayanya serangan gelap yang tiba-tiba dan dilakukan dari jarak dekat ini. Hwesio dari Siauw-lim-pai dan tosu dari Kun-lun-pai menahan napas dan mengeluarkan keringat dingin karena mereka merasa yakin bahwa pemuda remaja itu, betapapun lihainya, tentu akan sukar meloloskan diri dari serangan hebat oleh pangeran yang ternyata memiliki kepandaian tinggi pula itu. Namun, sejak melihat munculnya pangeran yang tampan ini, Sin Liong sudah siap siaga dan waspada. Dia mengenal siapa pangeran ini, maka begitu pangeran itu membuka mulut dan meniupkan segenggam jarum-jarum putih dari mulutnya, Sin Liong sudah mengerahkan tenaga Thian-te-sin-ciang dan dengan kedua tangannya dia membuat gerakan mencengkeram ke depan dan jarum-jarum itu telah dapat ditangkap dalam genggaman kedua tangannya!

   "Ceng Han Houw, engkau selalu kejam dan curang!"

   Katanya dan dengan gerakan sembarangan dia melemparkan jarum-jarum halus itu ke atas papan panggung sambil memandang tajam wajah yang tampan itu.

   "Ehh...?"

   Pangeran itu yang bukan lain adalah Ceng Han Houw, terkejut bukan hanya karena melihat Sin Liong mampu menggagalkan serangan jarum-jarumnya, melainkan karena mendengar teguran Sin Liong.

   "Kau... siapakah kau?"

   Kemudian pada wajahnya yang tampan itu nampak seri gembira, ketika dia mengenal Sin Liong.

   "Ahhh...! Sin Liong... engkau Sin Liong! Kiranya engkaukah ini? Bukan main, kau hebat sekali!"

   Pangeran Ceng Han Houw tertawa merdu dan halus lalu berkata kepada Lam-hai Sam-lo yang sudah siap untuk mengeroyok Sin Liong lagi.

   "Sam-lo, dia ini sahabatku sendiri! Dia bocah luar biasa, raja monyet..., ha-ha! Tak kusangka dapat bertemu denganmu di sini!"

   Dengan sikap ramah dan bersahabat Ceng Han Houw lalu merangkul pundak Sin Liong! Sebetulnya, tidak ada sedikitpun juga perasaan di dalam hati Sin Liong untuk bersahabat atau berbaik dengan Ceng Han Houw yang ternyata telah menjadi pangeran ini, akan tetapi karena sikap Han Houw benar-benar ramah kepadanya dan sama sekali tidak mengandung niat membujuk atau curang, diapun tentu saja merasa tidak enak untuk menolak rangkulan mesra bersahabat itu. Akan tetapi, karena Sin Liong adalah seorang yang jujur dan terbuka, sesuai dengan watak bawaannya sebagai anak yang diasuh oleh monyet di alam terbuka, dia lalu berkata.

   "Ceng Han Houw, aku tidak mengerti bagaimana engkau menganggap aku sebagai sahabatmu."

   "Eh? Kau lupa lagikah? Ketika engkau berada di dalam kereta bersamaku itu, bukankah aku katakan bahwa aku suka kepadamu, aku kagum akan keberanian dan kegagahanmu, dan aku suka bersahabat denganmu?"

   Sin Liong ingat akan ucapan itu.

   "Akan tetapi, sucimu berdaya upaya dengan keras untuk membunuhku!"

   "Ah, suci adalah suci, dan aku adalah aku. Aku dan suci tidak sama, bukan? Kami adalah dua orang dengan dua selera dan dua pendapat, dan aku adalah pangeran, adik Kaisar! Kau tunggu dulu, Sin Liong, aku ingin banyak bicara denganmu, akan tetapi biar kuselesaikan dulu urusan di sini!"

   Ceng Han Houw lalu mengangkat kedua tangannya ke atas dan dia sudah menghadap ke empat penjuru, suaranya terdengar lantang.

   "Aku, Pangeran Ceng Han Houw, menyatakan bahwa urusan pemilihan bengcu selesai sampai di sini dan biarlah Lam-hai Sam-lo yang diangkat menjadi bengcu di selatan. Kalian semua orang-orang gagah segolongan harap tidak saling bermusuhan, bersatu padu dan tunduk kepada pimpinan. Pemerintah tentu akan menganggap kalian sebagai golongan baik-baik, dan segala urusan dapat diselesalkan oleh bengcu. Siapa berani membuat kekacauan, bukan hanya dianggap memberontak terhadap golongan kang-ouw di selatan, akan tetapi juga dianggap pemberontak dan pengacau oleh pemerintah dan akan dibasmi!"

   Biarpun ucapan itu halus, akan tetapi sikap pangeran ini ramah dan berwibawa, maka semua orang yang berada di situ lalu menjatuhkan diri berlutut tanda bahwa mereka akan mentaati perintah ini! Apalagi pasukan yang mengawal pangeran itu kelihatan siap dan penuh wibawa untuk bertindak begitu ada perintah dari atasan mereka. Biarpun di antara para tokoh kang-ouw dan liok-lim banyak yang tidak suka kepada pemerintah, namun tentu saja rasa tidak suka itu hanya dipendam di dalam hati saja dan tidak ada yang berani menentang pemerintah secara terang-terangan karena hal itu berarti bunuh diri.

   "Sam-lo, sekarang aku akan pergi bersama saudara Sin Liong ini. Aku tidak perlu pengawal lagi dan kalau aku memerlukannya, dapat kuminta kepada para pembesar di mana saja. Sediakan seekor kuda lain yang baik untuk saudaraku Sin Liong!"

   Komandan pasukan yang bersemangat untuk mengambil hati pangeran itu cepat menyerahkan kudanya sendiri, seekor kuda yang biarpun tidak sehebat kuda tunggangan pangeran itu, namun merupakan kuda terbaik di antara kuda pasukan yang berada di situ.

   "Pakailah kuda itu, Sin Liong, dan mari kita pergi. Aku ingin mengajakmu melakukan perjalanan dan bercakap-cakap!"

   Kata Pangeran Ceng Han Houw. Sin Liong sendiri yang merasa bahwa dia tidak banyak mempunyai sahabat di tempat itu, tidak membantah, lalu dia meloncat ke atas kuda besar itu dan menjalankan kudanya mengikuti sang pangeran yang sudah lebih dulu membedal kudanya pergi meninggalkan tempat itu, bukan memasuki kota Yen-ping, bahkan meninggalkan kota menuju ke utara.

   "Sin Liong, mari kita berpacu, kau boleh mengejarku kalau mampu!"

   Han Houw berseru dengan wajah gembira setelah mereka tiba di tempat sunyi dan pangeran itu lalu menggunakan cambuk kudanya yang terbuat dari bulu halus itu dan membalapkan kudanya yang besar dan gagah. Melihat kegembiraan itu, Sin Liong tersenyum dan diapun membalapkan kudanya mengejar. Melihat ini, Han Houw tertawa gembira dan kedua orang muda inipun berpacu dengan cepatnya, akan tetapi karena betapapun juga kuda tunggangan Sin Liong tidak sebaik kuda tunggangan pangeran itu, Sin Liong akhirnya tertinggal jauh dan akhirnya kuda pangeran itu lenyap di tikungan luar hutan. Ketika akhirnya Sin Liong dapat melihat lagi pangeran itu, dia melihat kuda besar itu sudah berhenti di tepi hutan dan Han Houw duduk di atas kuda berhadapan dengan tujuh orang yang mengepungnya dengan setengah lingkaran.

   Sin Liong membedal kudanya dan ketika dia sudah datang dekat, dia terkejut mengenal bahwa tujuh orang itu adalah orang-orang Pek-lian-kauw yang dipimpin oleh Kiu-bwee-houw Bhe Toa Bhi, raksasa sombong yang pernah dihajarnya di atas panggung tadi. Pada saat itu, Kiu-bwee-houw berteriak keras dan tujuh orang itu sudah bergerak dengan senjata masing-masing, menyerang Han Houw yang masih duduk di atas kudanya dengan sikap angkuh. Karena Sin Liong merasa tidak ada hubungan dengan pangeran itu, dan juga pada dasarnya dia tidak dapat dibilang suka kepada pangeran itu, maka dia hanya menjalankan kudanya perlahan menuju ke tempat itu sambil memandang penuh perhatian. Dia tahu benar bahwa pangeran yang tampan dan gagah itu bukanlah seorang muda yang demikian mudah untuk diganggu begitu saja oleh gerombolan itu, maka diapun sama sekali tidak khawatir kalau pangeran itu akan celaka.

   "Bunuh pembesar lalim!"

   "Basmi penindas rakyat!"

   Tujuh orang itu berteriak-teriak bising dan mereka menjadi makin ribut dan mencari-cari orang yang dikepungnya karena tiba-tiba saja pangeran itu sudah lenyap dan kudanya meloncat sambil meringkik keras, menyepak-nyepak dan menjauhi mereka, akan tetapi pangeran itu tidak berada lagi di tempat itu, padahal tadi mereka telah mengepung dan mulai menyerang. Dari tempat agak jauh, Sin Liong memandang sambil tersenyum mengejek. Dia kagum menyaksikan gin-kang yang indah dari Han Houw yang tadi mempergunakan ketika kudanya meringkik-ringkik itu telah meloncat ke atas dan tentu saja lenyap karena dia telah menyusup ke dalam pohon yang tinggi di atas mereka! Sin Liong tak dapat menahan tawanya ketika dia melihat betapa tujuh orang itu celingukan ke sana-sini mencari-cari, dan tiba-tiba Han Houw tertawa berkata,

   "Hei, kalian ini orang-orang Pek-lian-kauw, lekas bersembahyang lebih dulu untuk menyembahyangi arwah kalian sendiri yang sebentar lagi akan melayang!"

   Kiu-bwee-houw dan teman-temannya terkejut dan ketika mereka melihat bahwa orang yang mereka cari-cari itu berada di atas pohon, mereka marah dan siap untuk meloncat naik pohon. Akan tetapi pada saat itu, Han Houw telah melayang turun dengan gaya yang indah dan pemuda bangsawan ini telah berdiri di atas tanah sambil menghadapi mereka dengan senyum mengejek.

   "Hayo kalian cepat berlumba, siapa yang lebih dulu dapat merobohkan aku!"

   Dia mengejek dan tujuh orang itu yang merasa penasaran kini menerjang dengan cepat, seperti sungguh-sungguh berlumba untuk merobohkan sang pangeran.

   Sin Liong menonton dengan penuh kagum. Dia melihat betapa kedua kaki pangeran itu bergerak seperti menari-nari, melangkah ke sana-sini dengan ringan dan indahnya namun sedemikian cepat, teratur dan tepat sehingga tubuhnya dapat menyelinap ke sana-sini di antara terjangan tujuh orang pengeroyok itu dan semua serangan tidak ada yang pernah menyentuh tubuhnya. Sin Liong mengerti bahwa pangeran itu mempergunakan langkah-langkah sakti yang amat lihai dan memang dugaannya benar, Ceng Han Houw telan mempergunakan Ilmu Langkah Pat-kwa-po dan dengan langkah-langkah ini, jangankan baru dikeroyok tujuh orang anggauta Pek-lian-kauw, biarpun dikeroyok oleh lebih banyak lawan yang tingkat kepandaiannya lebih tinggipun jangan harap akan dapat menangkap atau menyerang pemuda bangsawan itu dengan mudah!

   "Ha-ha, Sin Liong, kau lihat lalat-lalat busuk ini, betapa menjemukan!"

   Kata pangeran itu dan tiba-tiba dia merubah gerakannya kalau tadi dia hanya melangkah ke sana-sini seperti orang menari-nari, kini kedua tangannya bergerak menampar ke kanan kiri dan terdengarlah jerita-jeritan mengerikan disusul robohnya tujuh orang berturut-turut. Tujuh orang Pek-lian-kauw itu roboh dan tak dapat bergerak kembali karena mereka telah tewas oleh tamparan-tamparan Ceng Han Houw yang amat lihai! Ngeri juga rasa hati Sin Liong menyaksikan betapa pangeran itu membunuh mereka demikian mudahnya dan alisnya berkerut. Betapa kejamnya pemuda bangsawan itu!

   "Salah kalian sendiri kalau tadi tidak bersembahyang untuk arwah kalian sehingga kini arwah kalian menjadi setan-setan berkeliaran!"

   Kata Ceng Han Houw sambil menghampiri kudanya dan dengan tenang saja dia meloncat ke atas kudanya, lalu menghampiri Sin Liong seolah-olah tidak pernah ada terjadi apapun. Wajah Sin Liong masih membayangkan kengerian dan alisnya masih berkerut. Dia menyambut kedatangan pangeran itu dengan kata-kata yang mengandung teguran.

   "Kau... kau membunuh mereka?"

   Mendengar suara yang mengandung teguran itu Han Houw memandang dan tersenyum.

   "Mengapa tidak? Apa kau lebih menghendaki kalau mereka itu berhasil membunuh aku?"

   Wajah Sin Liong berubah agak merah dan dia cemberut.

   "Tentu saja tidak. Akan tetapi perlukan mereka semua itu dibunuh begitu saja?"

   Pangeran itu tertawa dan memegang tangan Sin Liong sebentar lalu melepaskannya lagi.

   "Engkau berwatak lembut sekali, Sin Liong, sungguh tidak sesuai dengan kegagahanmu. Hidup memang demikianlah, bergelimang dengan kekerasan, apalagi hidup seperti aku ini, seorang pangeran yang selalu diincar musuh yang akan suka sekali kalau berhasil membunuhku. Soalnya hanyalah mereka atau aku, Sin Liong, dan dalam hal kematian, tentu saja aku memilih mereka yang mati daripada aku. Apa artinya tujuh orang pemberontak itu? Ha-ha, kalau engkau melihat betapa aku pernah sekaligus membunuh dua ratus orang lebih anggauta pemberontak yang merencanakan pembunuhan terhadap Kaisar. Aku kurung mereka di dalam kuil dan kubakar kuil itu. Tidak ada seorangpun yang lolos!"

   "Betapa kejam!"

   Pangeran itu tertawa.

   "Engkau belum mengerti benar apa itu yang kaunamakan kejam. Kalau saja Sri Baginda terjatuh ke tangan mereka, atau kalau aku tadi tidak mampu melawan dan aku terjatuh ke tangan mereka, tentu engkau akan turun tangan menolongku, tentu engkau akan mengatakan mereka yang kejam. Sin Liong, aku bernama Han Houw, dan aku seperti seekor harimau yang dikeroyok oleh tujuh ekor anjing scrigala. Anjing-anjing itu mati olehku, engkau menganggap sang harimau kejam, akan tetapi andaikata sang harimau yang habis dikeroyok dan digerogoti dagingnya oleh serigala-serigala itu, tentu engkau akan menganggap anjing-anjing itu yang kejam. Ha-ha, engkau sungguh masih bodoh dan kurang pengalaman!"

   Sin Liong tidak mampu menjawab. Dia membayangkan betapa pangeran ini seorang yang lemah dan tadi diancam oleh tujuh orang Pek-lian-kauw itu. Apakah dia akan turun tangan menolong? Tentu saja! Dia memang kagum dan tertarik kepada pangeran yang tampan dan memang gagah dan pemberani ini, mungkin saja ada rasa suka di hatinya, rasa suka yang terbendung karena mengingat bahwa pangeran ini adalah sute dari Kim Hong Liu-nio yang selalu memusuhinya.

   "Mereka memang jahat dan menyerangmu, akan tetapi perlukan dibunuh? Mengalahkan mereka tanpa membunuh bukan merupakan hal yang sukar bagimu."

   Dia mencoba untuk membantah.

   "Ha-ha-ha, melepaskan mereka agar mereka mengumpulkan teman-teman yang lebih banyak dan menghadangku pula di tempat lain? Itu bodoh sekali Sin Liong! Sudahlah, mari kita lanjutkan perjalanan kita yang menggembirakan, apa perlunya bicara tentang pemberontak-pemberontak itu? Pek-lian-kauw memang merupakan segerombolan pemberontak, dan karena itu pula maka aku mengadakan perjalanan ke selatan dan mendukung Lam-hai Sam-lo menjadi bengcu di selatan."

   Mereka menjalankan kuda mereka perlahan-lahan meninggalkan hutan itu. Sin Liong agak heran mendengarkan pengakuan itu.

   "Ah, kiranya Lam-hai Sam-lo adalah orang-orangnya pemerintah?"

   Han Houw tertawa.

   "Bukan sekasar itu, Sin Liong. Mereka tetap merupakan tokoh kang-ouw, akan tetapi mereka adalah orang-orang yang tidak menentang pemerintah. Tentu saja pemerintah menghendaki agar bengcu dipegang oleh orang yang tidak menentang pemerintah seperti Pek-lian-kauw. Dan untuk keperluan itu maka Sri Baginda mengutus aku pergi ke selatan."

   "Ah... jadi engkau adalah utusan Sri Baginda Kaisar?"

   Han Houw tersenyum dan mengangguk.

   "Tidak resmi benar. Aku sekalian ingin pesiar. Setelah mendengar bahwa hanya Lam-hai Sam-lo yang boleh dipercaya, aku menghubungi mereka dan akulah yang menjagoi mereka agar memasuki pemilihan bengcu itu. Sengaja datang belakangan untuk melihat keadaan."

   Sin Liong mengangguk-angguk.
(Lanjut ke Jilid 24)
Pendekar Lembah Naga (Seri ke 04 "

   Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 24
"Dan kau sudah siap di belakang bersama pasukan itu?"

   "Ha-ha-ha, kau cerdik!"

   Han Houw menepuk pundak temannya karena pemuda remaja itu menyenangkan hatinya dan sudah dianggap sebagai seorang sahabatnya.

   "Aku jemu dengan semua itu, Sin Liong. Ke manapun aku pergi, orang menyembah-nyembahku sebagai pangeran dan sebagai utusan Kaisar. Maka ketika aku bertemu dengan engkau yang menyebut namaku begitu saja, yang tidak berlutut kepadaku, barulah aku gembira, merasa hidup wajar kembali. Dan kepandaianmu sekarang hebat! Benarkah seperti yang kudengar bahwa engkau mewakili tokoh yang bernama Ouwyang Bu Sek dan yang menjadi musuh Lam-hai Sam-lo? Apakah engkau berambisi menjadi bengcu?"

   "Ah, sama sekali tidak. Juga suhengku Ouwyang Bu Sek sama sekali tidak ingin menjadi bengcu, hanya kami ingin melihat agar pemilihan bengcu terjadi dengan jujur dan bersih."

   "Ha-ha, engkau sungguh lucu. Mana ada perebutan kedudukan yang bersih di dunia ini? Kau harus belajar banyak, Sin Liong. Sekarang, setelah kita bertemu, mari kita bergembira. Aku sudah melepaskan diri dari segala ikatan upacara itu, aku ingin mengadakan perjalanan ke utara secara bebas bersamamu. Kita masih muda, Sin Liong, mari kita mencari pengalaman. Perjalanan dari sini ke utara tentu amat menggembirakan, penuh dengan bahaya, penuh pengalaman yang aneh-aneh dan kita hadapi berdua. Bagaimana?"

   Sin Liong merasa tertarik sekali. Dia memang telah mendapat perkenan dari suhengnya untuk berkelana meluaskan pengetahuan, dan mencari pengalaman, karena semua ilmu dari kitab-kitab lama itu telah habis dipelajarinya, bahkan semua kitab itu oleh suhengnya telah dibakar, sesuai dengan "perintah halus"

   Yang diterima melalui getaran dari yang disebut Bu Beng Hud-couw. Dan dia sendiripun belum tahu ke mana dia harus pergi merantau, karena setelah kakeknya meninggal dunia, dan ayah kandungnya ternyata telah mempunyai seorang isteri dan dia sama sekali tidak ingin bertemu dengan ayahnya itu atau mengaku sebagai puteranya, dia tidak mempunyai tujuan.

   "Apakah engkau sudah lupa akan Lembah Naga? Apakah tidak ingin kembali ke sana, tidak rindu kepada tempat indah itu?"

   Tiba-tiba terdengar suara halus pangeran itu. Mata Sin Liong bersinar-sinar.

   "Lembah Naga...!"

   Katanya dengan perlahan dan di depan matanya membayang semua kehidupannya di waktu dia masih kecil, di lembah yang tentu saja tak pernah dapat dilupakannya itu.

   "Ya, bukankah engkau berasal dari Lembah Naga? Namamu Sin Liong, hemm, naga sakti. Engkau Naga Sakti dari Lembah Naga!"

   Pangeran itu tertawa gembira. Hampir Sin Liong terseret oleh kegembiraan ini karena betapapun juga, ada rasa rindu di dalam hatinya kepada tempat itu, kepada monyet-monyet di dalam hutan, kepada ibu kandungnya. Akan tetapi, baik ibu kandungnya maupun biang monyet yang merawatnya, telah mati semua, dan juga keluarga Kui Hok Boan, ayah tirinya, tentu sudah tidak berada di sana lagi. Hal ini membuatnya lemas kembali, kehilangan gairah.

   "Mau apa aku ke tempat itu?"

   Katanya lirih dan matanya memandang jauh dengan kosong.

   "Mau apa? Tentu melihat tempat-tempat lama. Tidakkah engkau rindu akan tempat lama di waktu engkau bermain-main dahulu? Eh, Sin Liong, mari kau ikut bersamaku, aku akan pergi ke Lembah Naga di mana akan diadakan keramaian untuk memilih guru. Ayah mengundang seluruh orang sakti di dunia ini untuk dipilih menjadi guruku, di Lembah Naga."

   

Dewi Maut Eps 44 Petualang Asmara Eps 45 Petualang Asmara Eps 51

Cari Blog Ini