Ceritasilat Novel Online

Pendekar Lembah Naga 26


Pendekar Lembah Naga Karya Kho Ping Hoo Bagian 26



"Eh?"

   Sin Liong terkejut.

   "Tidak tahukah engkau bahwa Lembah Naga telah dibangun oleh ayah..."

   "Ayahmu? Siapakah dia?"

   "Raja Sabutai..."

   "Bukankah engkau pangeran adik kaisar...?"

   Sin Liong menjadi bingung. Han Houw mengangguk.

   "Aku memang adik Kaisar Ceng Hwa, aku adalah putera kandung mendiang Kaisar Ceng Tung!"

   Katanya gagah.

   "Akan tetapi sejak kecil aku dititipkan kepada ayah angkatku, yaitu Raja Sabutai yang gagah perkasa. Dan tahun depan, setelah ditunda bertahun-tahun, aku harus menghadiri pemilihan guru sebagai orang paling sakti di dunia ini yang diangkat oleh ayah angkatku itu sebagai guruku. Ayah angkatku, Raja Sabutai, ingin agar aku menjadi orang yang paling gagah di dunia ini."

   "Hemm... kulihat kepandaianmu sudah hebat, Han How. Dengan mudah saja engkau membunuh tujuh orang Pek-lian-kauw tadi."

   "Ah, masih belum seberapa, Sin Liong. Ayah angkatku menghendaki agar aku menjadi orang yang paling pandai di dunia ini sehingga kelak aku akan dapat mengalahkan orang yang paling dibenci oleh ayah..."

   "Siapa orang itu?"

   "Cia Keng Hong...!"

   "Ahh...!"

   "Sayang ketua Cin-ling-pai itu telah meninggal dunia, akan tetapi masih ada puteranya yang kabarnya lebih lihai lagi daripada Cia Keng Hong yang bernama Cia Bun Houw. Nah, aku harus belajar ilmu setinggi-tingginya untuk pada suatu hari aku mengalahkan Cia Bun Houw."

   "Mengapa ayahmu, Raja Sabutai begitu membencinya?"

   "Karena Cia Keng Hong itu telah banyak memusuhi ayah, dan juga karena subo sendiri telah menjadi musuh besarnya. Ayah merasa marah karena subo telah berkali-kali kalah oleh Cia Keng Hong, bahkan beberapa tahun yang lalu ini, sebelum Cia Keng Hong meninggal dunia, subo Hek-hiat Mo-li yang dibantu oleh Kim Hong Liu-nio juga tidak mampu mengalahkannya. Hebat memang pendekar itu. Aku merasa kagum sekali mendengar betapa subo dan suci masih kalah dan karena kagum inilah maka aku ingin sekali memenuhi keinginan ayah. Suatu waktu aku harus mampu mengalahkan putera Cia Keng Hong yang bernama Cia Bun Houw itu, dan untuk itu, tahun depan ayah mengumpulkan semua orang pandai untuk dipilih dan diangkat menjadi guruku."

   Sin Liong termenung. Pangeran ini memusuhi kakeknya yang sudah meninggal dunia, dan memusuhi ayah kandungnya! Kalau saja dia tahu bahwa cucu musuh besarnya berada di depannya! Akan tetapi Sin Liong mengusir perasaan tidak enak di hatinya. Dia tidak memperdulikan lagi ayah kandungnya. Ayah kandungnya bukan manusia baik-baik. Buktinya telah membikin sengsara kehidupan ibu kandungnya dan ingin sekali mengunjungi kuburan ibu kandungnya.

   "Baik, aku ikut bersamamu ke Lembah Naga!"

   Tiba-tiba dia berkata.

   "Bagus, dengan begitu baru engkau seorang sababatku yang baik!"

   "Maaf, aku hanya menjadi teman seperjalananmu, bukan berarti menjadi sahabatmu, pangeran,"

   Jawab Sin Liong dengan suara dingin.

   "Eh? Mengapa tiba-tiba menyebut pangeran? Aihh, apakah engkaupun akan ketularan penyakit umum dan bersikap hormat kepadaku? Akan memuakkan sekali kalau begitu, Sin Liong. Engkau lebih muda dariku, maka selanjutnya cukup kalau kau menyebutku twako saja, dan aku menyebutmu Liong-te. Kita patut menjadi kakak beradik, bukan, walaupun hanya kakak beradik angkat saja."

   Melihat sikap yang amat ramah dan mesra itu, mau tidak mau Sin Liong harus mengakui bahwa pangeran ini baik sekali kepadanya dan menarik hatinya, membuat dia merasa sukar untuk bersikap dingin. Dia menarik napas panjang dan berkata,

   "Baiklah, Houw-ko."

   Wajah yang tampan itu berseri gembira dan diam-diam Sin Liong harus mengaku betapa gagah dan tampannya pangeran ini. Sepasang mata itu demikian jernih dan tajam, dan raut muka itu demikian gagahnya. Sayang bahwa seorang pria segagah dan setampan ini dapat memiliki watak yang kejam, membunuh orang seperti membunuh semut saja.

   "Liong-te, mari kita cepat menuju ke benteng di depan itu!"

   Katanya sambil menuding ke arah tembok yang agak jauh akan tetapi sudah nampak dari situ.

   "Ke benteng? Mau apa pergi ke benteng?"

   Tanyanya heran. Han Houw tertawa.

   "Kita perlu dengan busur dan anak panah. Di dalam pegunungan di sebelah sana benteng terdapat hutan yang banyak dihuni oleh ayam hutan dan binatang-binatang lain. Senang sekali berburu ke sana, Liong-te. Kita berburu di sana beberapa hari, setelah kenyang makan panggang ayam hutan, daging kijang dan mungkin mendapatkan kulit harimau, baru kita melanjutkan perjalanan ke utara. Senang, bukan?"

   Sin Liong tersenyum dan bangkit kegembiraannya. Hidup di samping pangeran ini agaknya selalu dikelilingi dengan kesenangan dan kegembiraan. Dia mengangguk.

   "Baiklah."

   Keduanya lalu membalapkan kuda menuju ke benteng. Mula-mula para penjaga dengan penuh curiga menghadang dua orang pemuda itu dan muncullah komandan jaga. Akan tetapi ketika Ceng Han Houw mengeluarkan kim-pai, yaitu lencana terbuat daripada emas yang menjadi tanda kuasa atau tanda utusan Kaisar, komandan itu menjatuhkan diri berlutut dan semua pasukan cepat memberi hormat. Akan tetapi Han Houw yang tidak suka atau sudah bosan dengan segala macam penghormatan itu, dengan singkat menyatakan bahwa dia hanya ingin minta dua batang busur yang baik berikut anak-anak panah yang baik. Tentu saja permintaan ini cepat dipenuhi dan tak lama kemudian, setelah memperoleh apa yang dikehendakinya,

   Han Houw dan Sin Liong cepat membalapkan kuda meninggalkan pintu gerbang benteng, diikuti pandang mata para anak buah pasukan yang masih merasa terheran-heran seperti dalam mimpi karena tidak menyangka sama sekali bahwa hari itu ada seorang pangeran yang datang berkunjung! Sambil tertawa-tawa Han Houw dan Sin Liong mengaburkan kuda mendaki daerah pegunungan yang penuh dengan hutan itu. Tiba-tiba Han Houw yang membalapkan lebih dulu, menghentikan kuda itu dan membalikkan tubuh kuda menanti dan menghadap ke arah Sin Liong yang datang menyusul. Dengan busur di tangan kiri pangeran itu memberi tanda kepada Sin Liong agar berhenti. Sin Liong menahan kendali kudanya dan berhenti di depan Han Houw, memandang ke kanan kiri karena dia mengira bahwa tentu akan terjadi sesuatu, akan tetapi sunyi saja di sekeliling tempat itu.

   "Mengapa, berhenti, Houw-ko?"

   Akhirnya dia bertanya.

   "Liong-te, seharusnya engkau siap dengan busurmu seperti ini, tidak kau gantungkan di punggung seperti itu. Kita sudah memasuki daerah perburuan,"

   Kata pangeran itu sambil tersenyum. Sin Liong juga tersenyum.

   "Ah, biarlah engkau yang akan mempergunakan busur dan anak panahmu kalau muncul binatang. Aku... aku sesungguhnya belum pernah memanah..."

   "Ah, benarkah? Engkau demikian gagah dan kepandaianmu tinggi, masa tidak dapat menggunakan anak panah?"

   Sin Liong menggeleng kepala.

   "Aku belum sempat belajar, twako. Dan pula, dengan perut sekecil perutku ini, perlu apakah membunuh binatang besar untuk dimakan? Tidak akan habis dan sia-sia saja."

   "Aihh, tanpa anak panah, mana mungkin engkau akan dapat merasakan nikmatnya panggang hati harimau dan merasakan kaki biruang? Dan anak panah bukan hanya senjata untuk memburu, Liong-te, melainkan juga merupakan alat perang yang ampuh dan yang harus dipelajari oleh setiap orang laki-laki yang gagah. Akan tetapi, dengan kepandaian seperti yang kaumiliki, engkau akan dapat menguasainya dengan mudah. Mari kuajari sebentar! Kauambil busurmu, dan perhatikan ini. Begini caranya meletakkan anak panah, begini menarik busur. Tangan kiri yang memegang busur harus kuat dan kokoh seperti baja, dan jari tangan yang memegang anak panah dan menarik busur haruslah tetap dan sedikitpun tidak boleh bergoyang. Pandang mata dan perasaan hati harus seimbang ditujukan kepada sasaran. Lihat, aku membidik cabang melintang di sana itu, pada ranting paling ujung yang tak berdaun!"

   Pangeran itu membidikkan busur dan panahnya, menarik tali dan terdengar suara menjepret disusul patahnya ranting yang kena disambar oleh anak panah! Tepat sekali bidikan itu dan diam-diam Sin Liong kagum sekali karena pangeran itu benar-benar seorang pemanah yang amat mahir. Maka diapun mulai belajar memanah dan memang tepat seperti yang dikatakan oleh Han Houw,

   Dengan tenaga yang dimilikinya, dengan mudah saja dia dapat menguasai senjata ini setelah mencoba beberapa kali. Akan tetapi ketika senja telah mendatang dan pangeran itu mengajaknya untuk mencari bahan makan malam, Sin Liong membiarkan pangeran itu yang merobohkan seekor kijang muda dengan anak panahnya. Anak panah yang dilepas oleh Han Houw dari jauh itu dengan jitu sekali menembus leher kijang muda itu dan lewat senja, di bawah penerangan api unggun yang merah, sibuklah dua orang pemuda itu memanggang daging dan hati kijang. Harus diakui oleh Sin Liong bahwa bau daging panggang yang masih segar itu sedap bukan main, apalagi karena perutnya memang telah lapar sekali, dan suasana di dalam hutan bersama Han Houw amatlah menggembirakan.

   Mereka makan panggang daging kijang yang lunak dan gurih sampai kenyang dan minum air dari sumber yang mengalir merupakan anak sungai jernih di dalam hutan. Kemudian mereka memilih tempat yang bersih dan enak, di bawah sebatang pohon besar yang ditilami rumput, untuk tempat istirahat melewatkan malam. Ketika mereka duduk saling berhadapan sambil bersandar pada batang pohon dan diterangi api unggun, Han Houw mengajak Sin Liong bercakap-cakap dan pangeran ini banyak bertanya tentang diri Sin Liong. Akan tetapi, pemuda remaja ini tidak suka banyak bercerita tentang dirinya sendiri, maka jawabnya selalu singkat saja dan bersifat mengelak. Ketika ditanya lentang orang tuanya, Sin Liong menjawab bahwa dia tidak mengenal ayah bundanya, bahkan dia hanya tahu dirinya dirawat oleh monyet-monyet.

   "Ah, jangan engkau merendah, Liong-te. Bukankah suci dahulu bilang, bahwa engkau adalah putera dari pendekar Cia Bun Houw, cucu dari pendekar sakti Cia Keng Hong?"

   Sin Liong menatap wajah pangeran itu dengan penuh selidik.

   "Kalau engkau menyangka demikian, mengapa engkau mengajak aku untuk bersahabat? Bukankah engkau memusuhi mendiang Cia Keng Hong dan Cia Bun Houw? Kalau engkau menganggap aku ini keturunan mereka, mengapa engkau tidak membunuhku?"

   Pangeran itu menarik napas panjang.

   "Ah, engkau belum mengenal aku, adik yang baik! Aku sama sekali tidak membenci mereka, tidak membenci orang-orang she Cia, Yap dan Tio seperti subo dan suci. Aku hanya ingin mengalahkan Cia Bun Houw karena pendekar Cia Keng Hong sudah meninggal, akan tetapi aku tidak menaruh rasa benci kepada mereka, aku hanya ingin memenuhi kehendak ayah angkatku yang sudah banyak melepas budi kepadaku. Dan andaikata engkau benar putera Cia Bun Houw hal itu tidak ada sangkut-pautnya dengan niatku mengalahkan ayahmu itu, apalagi aku suka dan tertarik kepadamu..."

   "Aku bukan anaknya!"

   Tiba-tiba Sin Liong berkata dengan kasar karena dia sudah marah membayangkan ayah kandungnya itu bersama wanita cantik itu.

   Pangeran itu memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik menjelajahi wajah Sin Liong yang nampak muram. Pangeran itu tersenyum. Dia makin tertarik kepada Sin Liong karena dianggapnya bahwa anak ini sungguh berbeda jauh dengan anak-anak lain. Anak ini liar dan berwatak luar biasa. Sudah tahu bahwa dia seorang pangeran, adik Kaisar, anak ini sama sekali tidak memperlihatkan sikap hormat, apalagi menjilat. Hal ini saja sudah mendatangkan rasa suka dan kagum di dalam hatinya. Dan anak ini kelihatan benci dan marah ketika diingatkan bahwa dia putera pendekar Cia Bun Houw dan cucu pendekar Cia Keng Hong. Padahal, anak lain tentu akan merasa bangga. Dan penolakannya itu jelas bukan dikarenakan takut kepadanya. Bocah ini sungguh menyimpan banyak sekali rahasia aneh, pikirnya dengan sinar mata berseri.

   "Sudahlah, kita tidak akan bicara tentang keluarga Cia... eh, bukankan engkau juga she Cia?"

   Seperti tanpa disengaja, secara tiba-tiba pangeran itu bertanya.

   "Aku tidak punya she!"

   Jawaban ini seketika, timbul dari hati panas. Kembali Han Houw tersenyum.

   "Baiklah, aku akan mengenalmu sebagai Sin Liong Si Naga Sakti dari Lembah Naga! Akan tetapi tentu engkau mau memberi tahu dari mana engkau memperoleh ilmu-ilmu hebat itu sehingga engkau berani dan mampu menghadapi Lam-hai Sam-lo?"

   Sin Liong mengerutkan alisnya. Dia tentu saja tidak mau menceritakan bahwa dia telah digembleng oleh pendekar sakti Cia Keng Hong, kakeknya sendiri karena dengan demikian sama saja dengan mengaku bahwa dia putera Cia Bun Houw. Dia tidak takut untuk mengaku putera musuh pangeran ini, bahkan dia akan menghadapi dengan berani, sungguhpun dia tidak ingin bermusuh dengan pangeran yang luar biasa dan amat disukanya ini, akan tetapi dia segan untuk mengaku putera pendekar yang diagung-agungkannya itu, pendekar yang baginya hanyalah seorang pria yang kejam, yang telah menghancurkan kehidupan ibu kandungnya.

   "Aku belajar sedikit ilmu di bawah bimbingan suheng Ouwyang Bu Sek,"

   Jawabnya pendek.

   "Ha, sudah banyak aku mendengar tentang dia dari Lam-hai Sam-lo. Kabarnya dia adalah seorang manusia aneh yang memiliki ilmu tinggi sekali. Sayang dia tidak muncul sendiri, sehingga aku tidak dapat berjumpa dengan dia dan berkenalan. Maukah engkau membawaku ke sana untuk berkenalan, dengan kakek aneh itu, Liong-te?"

   Sin Liong menggeleng kepala.

   "Tidak mungkin. Suheng menyuruh aku menghadiri pemilihan bengcu dan suheng sendiri pergi entah ke mana, tanpa memberi tahu kepadaku."

   Ucapannya ini tidak bohong karena memang kakek itu mengatakan bahwa mereka harus berpisah dan menempuh jalan masing-masing karena kakek itu hendak memberi kesempatan kepada Sin Liong untuk mencari pengalaman hidup.

   "Sayang sekali. Siapa tahu dia akan mau ikut pemilihan calon guruku. Eh, sungguh luar biasa anehnya!"

   Tiba-tiba pangeran itu berkata dan menepuk pahanya.

   "Apanya yang luar biasa aneh?"

   "Engkau! Kenapa kau menjadi sutenya? Kalau begitu, engkau menjadi murid gurunya? Bukan main. Menurut kabar, usianya sudah hampir tujuh puluh tahun, dan engkau menjadi sutenya! Siapakah guru kalian kalau begitu?"

   Sin Liong menjadi bingung dan dia menggeleng kepala.

   "Houw-ko, aku minta kepadamu, harap kau jangan banyak bertanya tentang itu. Terus terang saja, aku sendiri selama hidupku belum pernah bertemu dengan orang yang kami sebut suhu itu! Aku belajar ilmu silat di bawah bimbingan langsung dari suheng Ouwyang Bu Sek, jadi sesungguhnya dialah guruku, akan tetapi suheng tidak mau dianggap guru dan berkeras mengatakan bahwa aku adalah sutenya. Jadi, aku sendiri belum pernah melihat guru kami..."

   "Bukan main...!"

   Pangeran itu memandang dengan mata terbelalak, akan tetapi sinar matanya berkilat dan wajahnya berseri, tanda bahwa dia tertarik sekali.

   "Sungguh engkau seorang pemuda yang luar biasa anehnya, mengalami hal-hal yang amat aneh pula, Liong-te. Engkau membuat aku merasa iri saja! Kehidupanku membosankan, tidak ada yang aneh, bahkan suboku yang katanya memiliki kepandaian setinggi langit itu ternyata telah berubah menjadi seorang nenek yang pikun. Liong-te, kalau kau percaya kepadaku, dan sungguh mati aku tidak mempunyai niat buruk, hanya timbul dari keinginan hatiku yang amat tertarik, katakanlah siapa nama gurumu yang luar biasa itu. Setelah kauberi tahu, aku tidak akan banyak bertanya lagi tentang itu, adik yang baik."

   Sin Liong merasa tidak enak untuk menolak dan diapun tidak ingin mengecewakan hati pangeran yang amat baik terhadapnya ini. Pula, suhengnya tidak pernah melarang dia menyebut nama guru mereka, hanya yang tidak boleh dibicarakan adalah tentang kitab-kitab kuno yang telah dibakar itu.

   "Kuberi tahu juga tidak apa-apa, karena aku sendiri belum pernah jumpa, Houw-ko. Nama guru kami adalah Bu Beng Hud-couw dan menurut suheng, tempat pertapaannya di Himalaya."

   Sepasang mata yang lebar dan indah bentuknya itu terbelalak.

   "Gurumu... gurumu seorang dewa...? Bu Beng Hud-couw...? Tentu seorang dewa dan bagaimana suhengmu mengadakan hubungan dengan seorang dewa?"

   "Ah, aku sendiri belum pernah mengadakan hubungan, dan menurut suheng, dia mengadakan hubungan lewat getaran..."

   "Getaran? Bagaimana maksudmu?"

   "Entahlah, Houw-ko, aku sendiripun tidak tahu. Kata suheng, suhu itu usianya sudah tiga ratus tahun lebih, bertempat tinggal di puncak Pegunungan Himalaya dan setiap saat dapat dihubungi suheng lewat getaran-getaran, akan tetapi aku sendiri belum pernah merasakan getaran itu. Sudahlah, Houw-ko, suheng melarang aku banyak bicara tentang suhu."

   Han Houw masih terbelalak memandang kepada pemuda remaja itu penuh kagum.

   "Aihhh...!"

   Akhirnya dia menarik napas panjang.

   "Betapa beruntungnya engkau, Liong-te, memperoleh guru seorang dewa... ah, kalau saja aku dapat berguru kepadanya."

   Pangeran itu tidak banyak bicara lagi, termenung memandang ke dalam api unggun, membayangkan seorang guru yang luar biasa, guru dewa! Sin Liong tidak memperdulikan lagi sahabatnya itu dan dia sudah merebahkan diri di atas rumput, terlentang dan berbantal buntalan pakaiannya.

   Karena tubuhnya lelah dan perutnya kenyang, sebentar saja Sin Liong sudah pulas. Biarpun Sin Liong telah menerima gemblengan orang-orang sakti yang berilmu tinggi dan pemuda ini di luar kesadarannya sendiri telah mewarisi dan menguasai ilmu-ilmu yang amat hebat, namun dia hanyalah seorang pemuda remaja yang baru berusia enam belas tahun dan pengalamannya di dunia kang-ouw amatlah tipis dan dangkalnya. Inilah sebabnya maka malam itu dia dapat tidur nyenyak tanpa curiga apapun karena melihat sikap Han Houw yang dianggapnya amat baik kepadanya itu dia telah menyerahkan seluruh kepercayaannya kepada sahabat ini. Dapat dibayangkan betapa terkejut hati Sin Liong ketika dalam keadaan pulas itu tiba-tiba dia merasa tubuhnya nyeri sekali dan seketika dia terbangun.

   Begitu matanya terbuka, dia melihat bahwa malam telah berganti pagi, akan tetapi yang amat mengejutkan hatinya adalah melihat kenyataan bahwa dia berada dalam keadaan tertotok dan seluruh tubuhnya tidak mampu bergerak, lemas dan lumpuh! Tahulah dia bahwa dalam keadaan pulas tadi, dia telah ditotok orang secara hebat sekali! Pangeran itu duduk di sebelah kanannya dengan busur terpentang dan anak panah di atas busur itu ditodongkan ke arah dadanya! Dan di sebelah kirinya berdiri seorang kakek yang segera dikenalnya karena orang itu bukan lain adalah Hek-liong-ong Cu Bi Kun, orang ke tiga dari Lam-hai Sam-lo, kakek raksasa muka buruk seperti tengkorak yang pernah bentrok dengan dia di atas panggung sayembara perebutan bengcu kemarin. Pada saat Sin Liong membuka matanya, dia melihat betapa Hek-liong-ong sedang membujuk sang pangeran.

   "Harap paduka lekas lepaskan anak panah itu selagi dia tidak mampu bergerak, pangeran. Kalau dia dapat bergerak, sulitlah bagi kita untuk menundukkannya. Dia telah mewarisi Thi-khi-i-beng dan ilmu-ilmu lain yang dahsyat, bahkan hamba percaya bahwa dia tentu telah mewarisi kitab-kitab pusaka dari Himalaya yang hamba yakin sekarang tentu telah dicuri oleh Ouwyang Bu Sek."

   "Hemm, tak pertu tergesa-gesa, Hek-liong-ong. Munculmu mengejutkan hatiku. Jelaskan, kitab-kitab apa yang kau maksudkan itu dan mengapa engkau berkeras hendak membunuh dia?"

   "Dalam pertemuan kita yang singkat, hamba belum sempat menceritakan paduka tentang Ouwyang Bu Sek. Tokoh itu penuh rahasia dan selalu menentang hamba bertiga dan biarpun tahun ini dia tidak muncul, akan tetapi ada pemuda ini yang menjadi wakilnya dan mengaku sebagai sutenya. Kitab-kitab pusaka yang dicuri oleh Ouwyang Bu Sek itu kabarnya adalah kitab-kitab pusaka yang amat hebat, ciptaan dari Bu Beng Hud-couw dan mengandung pelajaran ilmu-ilmu yang amat tinggi."

   "Hemm..., Bu Beng Hud-couw?"

   Pangeran itu bertanya dan matanya menyambar ke arah wajah Sin Liong, akan tetapi anak panah itu masih terus menodong ke arah dada pemuda remaja itu.

   "Benar, pangeran. Pemuda ini lihai sekali, maka sebaiknya dia dibunuh dulu, baru kita mencari Ouwyang Bu Sek untuk dilenyapkan, karena kalau tidak, mereka itu kelak hanya akan menimbulkan kepusingan belaka bagi paduka dan pemerintah. Dan kitab-kitab itu tentu berada di tangan Ouwyang Bu Sek, paduka tentu akan senang sekali kalau dapat memperoleh kitab-kitab itu. Biarkan hamba membunuhnya sekarang juga, hamba khawatir kalau-kalau totokan hamba masih tidak dapat menguasainya terlalu lama..."

   Han Houw tersenyum dan kini sinar matahari pagi menerobos celah-celah daun pohon, menimpa muka pangeran itu sehingga Sin Liong dapat memandangnya dengan jelas. Pangeran itu menatap wajah Sin Liong dan sambil tersenyum dia berkata kepada Sin Liong yang memandangnya dengan mata penuh kebencian dan kemarahan.

   "Sin Liong, bagaimana pendapatmu dengan ini? Nyawamu berada di dalam tanganku!"

   Sin Liong mendengar semua kata-kata mereka berdua, akan tetapi pada saat itu seluruh perhatiannya lahir batin tercurah kepada jalan darahnya dan pernapasannya. Dari mendiang kakeknya, dia pernah menerima pelajaran tentang Thai-kek-sin-kun dan di dalam ilmu yang amat hebat ini terdapat bagian yang amat rahasia, yaitu penguasaan jalan darah melalui pernapasan.

   Karena sulitnya ilmu ini, maka diapun, seperti ilmu lain, hanya menghafalkannya di luar kepala saja dan belum mempunyai cukup waktu untuk melatihnya. Kini, dalam keadaan tertotok jalan darahnya dan terancam nyawanya, teringatlah dia akan ilmu itu dan diam-diam dia telah mengerahkan seluruh perhatiannya, mengatur pernapasan dan perlahan-lahan hawa murni dari pernapasannya itu menyusup ke dalam jalan darah dan membantu jalan darah yang terhenti karena totokan untuk membebaskannya. Oleh karena itu, mendengar pertanyaan Han Houw, dia hanya mendengar sayup-sayup saja dan karena tidak memperhatikannya, maka diapun menjawab sambil lalu dan suaranya masih seperti kalau dia bicara dengan Han Houw kemarin, sebelum terjadi pengkhianatan ini.

   "Houw-ko aku memang tahu bahwa engkau kejam dan curang. Aku adalah seorang gagah, tentu saja tidak takut mati, lebih baik mati dalam keadaan gagah daripada hidup menjadi manusia curang dan kejam seperti engkau."

   "Bocah setan, berani engkau bicara seperti itu terhadap pangeran? Kurang ajar, engkau layak mampus seratus kali!"

   Tiba-tiba Hek-liong-ong meloncat ke depan dan mengangkat goloknya, membacok ke arah leher Sin Liong. Pada saat itu, Sin Liong sedang mengerahkan seluruh hawa murni yang terbawa oleh tarikan napasnya untuk membobol jalan darahnya yang terhenti, maka ketika dia melihat serangan ini, dia hanya membelalakkan mata dan menanti maut dengan mata terbuka. Harapannya habis ketika dia melihat betapa pada saat itu juga, anak panah di busur yang dipegang oleh pangeran itu melesat dengan cepat sekali, mengeluarkan bunyi mendesis yang mengerikan.

   "Crotttt...!"

   Karena dilepas dari jarak dekat, anak panah itu menancap ke ulu hati dan menembus ke punggung! Sepasang mata Hek-liong-ong terbelalak, melotot hampir keluar dari rongga mata, mulutnya mengeluarkan teriakan karena kaget, nyeri dan juga heran.

   "Oughhhhh... pangeran... mengapa...?"

   Tubuhnya terjengkang dan goloknya terlepas dari tangan kanan, sedangkan tangan kirinya mencengkeram ke arah anak panah yang menembus dadanya sehingga anak panah itu patah, tubuhnya berkelojotan dan tak lama kemudian dia terkulai dan tewas karena anak panah itu telah menembus jantungnya. Rasa kaget dan heran yang amat hebat seperti mendorong hawa murni dan menembus jalan darah yang terhenti,

   "Plong...!"

   Dan Sin Liong mampu bergerak lagi. Dia bangkit duduk dan memandang pangeran itu sambil bertanya, melanjutkan pertanyaan sepotong yang keluar dari mulut Hek-liong-ong sebelum tewas tadi.

   "Mengapa engkau lakukan itu? Mengapa kau membunuh dia?"

   Kini pangeran itu memandang dengan mata terbelalak.

   "Liong-te, kau... kau... dapat bergerak? Bukankah Hek-liong-ong tadi menotokmu?"

   Sin Liong mengangguk.

   "Baru saja aku berhasil membebaskan diri. Akan tetapi, Houw-ko, mengapa sikapmu begini aneh? Apa yang terjadi dan mengapa kau membunuh dia yang menjadi pembantumu?"

   Pangeran itu menarik napas panjang, melangkah menghampiri mayat Hek-liong-ong dan menyentuh dengan kakinya.

   "Menjemukan dia ini! Dan engkau mengatakan aku kejam dan curang. Memang aku kejam dan curang pada waktu-waktu tertentu, seperti ketika melihat engkau terancam bahaya maut. Dia ini lihai sekali dan tanpa mempergunakan kecurangan, belum tentu aku dapat membunuhnya sedemikian mudahnya."

   "Houw-ko, aku tahu bahwa engkau telah menyelamatkan nyawaku, dan aku tahu pula mengapa Hek-liong-ong membenciku dan hendak membunuhku. Akan tetapi sungguh aku tidak mengerti mengapa engkau membunuhnya. Bukankah Lam-hai Sam-lo merupakan pembantu-pembantumu, pembantu pemerintah?"

   "Dia layak mampus, Liong-te. Dosa-dosanya terlalu banyak terhadapku. Pertama, di waktu aku tidur, dia lancang menotokmu dan mengejutkan aku. Itu saja sudah cukup baginya untuk mati. Ke dua, dia hendak membunuhmu, padahal engkau adalah sababatku. Perbuatannya itu berarti tidak mengindahkan aku dan lancang, merupakan dosa tak berampun. Dan ke tiga, dia tidak boleh membunuhmu, karena selain engkau seorang sahabat baikku yang kusayang, juga adalah calon saudara seperguruanku."

   "Ehh...?"

   Sin Liong berseru heran.

   "Lupakah kau bahwa aku ingin sekali menjadi murid dewa yang bermukim di Himalaya itu, Liong-te? Sudahlah, kematian orang ini tidak perlu diributkan lagi, dia mati sebagai seorang petugas yang menyeleweng dan kuanggap menentang atasan. Mari kita lanjutkan perjalanan."

   Mereka naik ke atas punggung kuda masing-masing.

   "Houw-ko, aku berhutang nyawa kepadamu."

   "Ah, jangan berlebihan, Sin Liong. Engkau telah berhasil membebaskan totokan dan tanpa kubantupun, belum tentu Hek-liong-ong mampu membunuhmu."

   
Pendekar Lembah Naga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sin Liong tidak membantah, merasa tidak perlu berbantah tentang itu karena dia tahu benar bahwa tanpa bantuan pangeran itu, dia tentu telah tewas oleh golok Hek-liong-ong yang menyerangnya pada saat dia belum berhasil membebaskan diri dari totokan.

   Pangeran itu bersikap seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu yang hebat. Baginya seakan-akan membunuh Hek-liong-ong itu merupakan hal biasa saja dan diam-diam Sin Liong merasa makin menyesal mengapa pangeran yang telah menarik hatinya dan mulai disukanya ini memiliki watak yang demikian kejam dan dingin terhadap keadaan orang lain yang tidak disukanya. Dan dia melihat betapa Han Houw amat suka berburu, sampai tiga hari lamanya dia terpaksa menemani pangeran itu berburu di dalam hutan yang memang dihuni oleh banyak sekali binatang liar itu. Namun dia sendiri tidak ikut mempergunakan anak panahnya. Sin Liong terlalu mencinta kehidupan di dalam hutan untuk merusaknya begitu saja.

   Dia berduka melihat betapa Han Houw menyebar maut di antara binatang-binatang yang sama sekali tidak berdosa, membunuhnya, merobohkannya dengan anak panah lalu meninggalkan bangkainya begitu saja! Melihat Hek-liong-ong tewas dan mayatnya ditinggalkan begitu saja, dia tidak merasa terlalu menyesal karena memang orang itu hanya akan menyebar kejahatan dengan mengandalkan kepandaian. Akan tetapi melihat binatang-binatang hutan yang sama sekali tidak bersalah itu dibunuh begitu saja, benar-benar dia merasa betapa hatinya perih dan menyesal. Memang demikianlah keadaan di dunia ini. Manusia, dengan akal budi dan pikirannya yang membuat manusia menganggap bahwa dia merupakan mahluk teragung, terpandai, dan terbaik di dunia ini,

   Kadang-kadang melakukan kekejaman-kekejaman yang luar biasa mengerikan, kekejaman-kekejaman yang tidak akan dilakukan oleh mahluk lainnya. Kekejaman yang telah merupakan semacam "kebudayaan"

   Atau yang sering kali dinamakan "olah raga"

   Sehingga telah menjadi suatu kebiasaan yang dianggap sopan dan baik, menjadi bukti akan keunggulan manusia di antara segala mahluk. Manusia memburu dan mengejar mahluk-mahluk lain, binatang-binatang di dalam hutan, membunuh mereka, kadang-kadang membunuh untuk memenuhi kebutuhan yang sesungguhnya lebih condong kepada kebutuhan selera daripada kebutuhan perut, akan tetapi lebih sering lagi membunuh binatang-binatang itu hanya untuk kesenangan belaka, setelah dibunuh binatang-binatang itu, bangkainya ditinggalkan begitu saja! Manusia menikmati kesenangan dari membunuh!

   Dan membunuh semacam ini, karena kebudayaan, karena kebiasaan, sudah bukan dianggap membunuh lagi. Membunuh dianggap kesenian, kebudayaan, olah raga! Dan bukan manusia-manusia pedusunan atau pegunungan yang menganggap demikian, yang memiliki kebudayaan macam itu, sama sekali bukan. Penghuni dusun atau gunung memang banyak yang memburu binatang, akan tetapi bukan untuk kesenangan membunuh, melainkan sebagai nafkah hidup. Yang menganggap pembunuhan sebagai kebudayaan justeru adalah manusia-manusia terpelajar, manusia-manusia kota yang mempropagandakan prikemanusiaan, yang bicara muluk-muluk tentang kerohanian, dan sebagainya. Betapa menyedihkan kenyataan ini bagi mereka yang mau membuka mata melihat kenyataan dan mengenal keadaan diri sendiri lahir batin!

   Selama tiga hari, Sin Liong melihat betapa pangeran yang tampan itu bergembira ria, mengejar harimau dan kijang, dan selama tiga hari itu, belasan ekor binatang telah menemui ajalnya, mati dan dibiarkan bangkainya membusuk dan dimakan binatang-binatang lain. Memang ada di antara korban-korban itu yang dagingnya diambil dan dimakan oleh mereka berdua, akan tetapi hanya sedikit dan tidak ada artinya dibandingkan dengan banyaknya binatang yang tewas. Pada suatu hari, tibalah dua orang muda itu di kota Kiu-kiang, sebuah kota yang ramai di tepi Sungai Yang-ce di tapal batas sebelah utara dari Propinsi Kiang-si. Seperti biasa kalau mereka tiba di kota atau pedusunan, Han Houw lalu mengajak Sin Liong langsung menuju ke gedung kepala daerah di mana dia mengeluarkan kim-painya dan segera setelah orang mengenal kim-pai itu,

   Han Houw disembah-sembah dan disambut dengan segala kehormatan. Tentu saja Sin Liong yang diperkenalkan oleh Han Houw sebagai adik angkatnya, juga menerima penyambutan yang amat ramah dan terhomat sehingga kadang-kadang pemuda remaja ini merasa canggung dan sungkan. Pakaian-pakaian indah disediakan oleh Gu-taijin, pembesar dari kota Kiu-kiang itu untuk Han Houw dan Sin Liong. Tentu saja untuk Han Houw disediakan pakaian yang pantas untuk dipakai seorang pangeran, sedangkan untuk Sin Liong disediakan pakaian yang biasanya hanya dipakai oleh kongcu-kongcu bangsawan atau hartawan! Melihat sikap Sin Liong yang kikuk, Han Houw tertawa dan dengan setengah memaksa dia berkata,

   "Liong-te, engkau adalah sahabatku yang baik, sudah sepatutnya engkau menerima penghormatan dari siapapun juga. Pakaianmu sudah kotor, hayo kau pakai pakaian baru ini. Kalau engkau memakai pakaian lama itu, aku sebagai sahabat baikmu tentu akan merasa ikut malu, apalagi engkau bukan hanya sahabat, melainkan adik angkatku!"

   "Adik angkat? Apa maksudmu, Houw-ko?"

   Tanya Sin Liong ketika mereka berada di dalam kamar mewah yang disediakan oleh Gu-taijin untuk mereka.

   "Engkau adalah adik angkatku, Liong-te, tidak maukah engkau menjadi adikku? Aku ingin mengangkat engkau menjadi saudara, dan malam ini, di bawah sinar bulan purnama, kita akan melakukan sembahyang sebagai pengangkatan saudara."

   "Ahhh...!"

   Sin Liong melongo dan ada rasa haru menyelinap di dalam hatinya. Han Houw adalah seorang pangeran, adik dari Kaisar! Dan pangeran ini hendak mengangkat dia sebagai adik, padahal dia adalah seorang anak tanpa keluarga, bahkan anak yang dirawat oleh monyet!

   "Apakah engkau menolak, Liong-te?"

   Pertanyaan itu diucapkan dengan suara demikian halus sehingga Sin Liong tidak berani untuk membantah.

   "Aku... merasa terhormat sekali... akan tetapi, pantaskan aku menjadi adik angkatmu, Houw-ko...?"

   Katanya gagap. Han Houw merangkulnya dan tertawa.

   "Pantas? Ha-ha, engkau adalah Naga Sakti dari Lembah Naga, mempunyai adik seperti engkau merupakan kebanggaan bagiku, Liong-te! Mari, Gu-taijin telah mempersiapkan segala peralatan sembahyang itu di taman."

   Dan benar saja, ketika mereka memasuki taman, di situ telah diatur sebuah meja sembahyang yang lengkap dan mewah, dan lilin-lilin merah bernyala dengan meriah. Kiranya pangeran itu telah memesan kepada Gu-taijin dan telah mengatur segala-galanya, tanda bahwa pangeran itu sudah yakin bahwa Sin Liong tidak akan menolak! Sin Liong merasa kikuk sekali. Apalagi karena Gu-taijin sendiri, dan nyonya Gu, di situ terdapat pula seorang dara cantik yang berpakaian indah,

   Bersama dengan lima orang dara lain yang berpakaian sebagai pelayan akan tetapi yang kesemuanya cantik manis, melayani mereka berdua dengan penuh penghormatan! Sin Liong merasa heran sekali mengapa Gu-siocia (nona Gu) puteri pembesar itu yang usianya kurang lebih enam belas tahun dan cantik sekali, melayani Han Houw dengan manis budi dan dengan senyum dan kerling mata manis memikat. Dia merasa kagum betapa Han Houw bersikap biasa dan tidak kikuk sama sekali terhadap pelayanan Gu-siocia dan lima orang pelayan cantik itu, padahal dia sendiri merasa canggung dan gugup, bahkan Sin Liong merasa betapa kedua kakinya agak gemetar menghadapi nona-nona cantik itu. Bau harum dari rambut dan pakaian mereka membuat jantungnya berdegup tegang. Sebelum sembahyangan dimulai, pangeran itu mendekatkan mulutnya di samping telinga Sin Liong dan bertanya,

   "Liong-te, kau akan memakai she apakah dalam upacara pengangkatan saudara ini?"

   Sin Liong menjadi bingung. Tadinya dia sudah mengambil keputusan untuk menggunakan nama Sin Liong saja, tanpa she. Akan tetapi dalam upacara resmi itu terpaksa dia harus menggunakan she dan dia tidak sudi menggunakan she ayah kandungnya yang dibencinya.

   "She Liong..."

   Jawabnya berbisik pula. Pangeran itu mengangkat alisnya lalu mengangguk.

   "She ibumu...?"

   Sin Liong mengangguk. Ibu kandungnya adalah Liong Si Kwi, dan karena ayah kandungnya agaknya tidak lagi mau mengakui ibunya dan dia, mengapa dia tidak memakai she ibunya saja? Ketika mereka berdua mulai sembahyang dan berlutut di depan meja sembahyang, Sin Liong hanya menirukan kata-kata Han Houw.

   "Diterangi sinar bulan purnama, disaksikan oleh bumi dan langit, kami berdua, Ceng Han Houw dan Liong Sin Liong, bersumpah mengangkat saudara satu sama lain dan kami berdua akan saling membela dan saling membantu sebagai kakak dan adik. Semoga Thian memberkahi kami berdua."

   Setelah selesai sembahyang, Sin Liong yang merasa terharu lalu bangkit dan bersoja (mengangkat kedua tangan di depan dada) kepada Han Houw sambil berkata.

   "Twako, harap suka menerima penghormatan adikmu."

   Han Houw balas mengangkat kedua tangan, lalu merangkul pundak Sin Liong dengan wajah berseri.

   "Puas dan gembira sekali hatiku, Liong-te!"

   "Kionghi..., kionghi...! Hamba menghaturkan selamat kepada paduka, pangeran!"

   Gu-taijin berseru gembira dan isterinya serta puterinya juga cepat mengucapkan selamat kepada Han How.

   "Kionghi...(selamat), Liong-kongcu!"

   Pembesar itu memberi selamat kepada Sin Liong, diikuti pula oleh isterinya dan puterinya. Menerima penghormatan dan ucapan selamat dari Gu-siocia, wajah Sin Liong berubah merah sekali sehingga Han Houw tertawa bergelak karena geli.

   Untuk menyambut kedatangan tamu agung itu dan untuk merayakan pengangkatan saudara, maka malam itu Gu-taijin mengadakan pesta bagi Han Houw dan Sin Liong. Dua orang pemuda itu diajak makan minum oleh Gu-taijin, isterinya dan puterinya, dilayani oleh gadis-gadis cantik. Juga dalam pesta ini Sin Liong melihat sikap Gu-siocia amat manis terhadap sang pangeran, dan betapa ayah dan ibu dara itu agaknya memang sengaja mendorong-dorong puteri mereka untuk bermanis-manis dengan Han Houw. Yang membuat dia merasa jengah dan malu adalah sikap Han Houw yang sama sekali tidak kikuk bahkan secara terang-terangan pemuda tampan itu bermain mata dengan Gu-siocia, dan di depan ayah bunda dara itu. Han Houw tidak segan-segan untuk memuji kecantikan Gu-siocia,

   Bahkan kalau ada kesempatan, tangan Han Houw secara tidak tahu malu meraba lengan yang halus dari nona itu, dan beberapa kali jari tangan pangeran itu malah mengusap dan mencubit pinggul beberapa orang gadis pelayan yang kebetulan berada dekat dengannya sehingga gadis itu menjadi tersipu-sipu akan tetapi tidak marah bahkan tersenyum manis dan melempar kerling genit sekali! Sin Liong memejamkan mata dan menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali menyaksikan kenakalan pangeran itu. Tadinya dia mengira bahwa mungkin pengaruh arak yang membuat Han Houw bersikap seperti itu, akan tetapi dari percakapannya, tahulah dia bahwa memang Han Houw adalah seorang pemuda yang genit dan suka menggoda wanita! Akhirnya Sin Liong tak dapat menahan lagi dan dengan dalih mengantuk dia berpamit untuk mengundurkan diri.

   "Ah, kau sudah mengantuk, Liong-te? Nanti dulu sebentar, kita melihat kepandaian Gu-siocia menari. Bukankah kau pandai menari, siocia? Maukah menarikan beberapa tarian untuk kami?"

   Ayah dan ibu gadis itu ikut membujuk dan karena agaknya memang sudah dipersiapkan sebelumnya, lima orang dara pelayan yang cantik itu sudah mengeluarkan alat-alat musik pipa, yangkim dan sebagainya untuk mengiringi nona mereka menari. Dan Gu-siocia dengan sikap malu-malu buatan sehingga dia nampak lebih cantik menarik seperti jinak-jinak merpati, mulai menari. Di antara para pelayan itu ada yang memukul musik sambil menyanyi dan nona rumah menari makin bersemangat dan Sin Liong harus mengakui bahwa nona itu pandai sekali menari. Melihat betapa pinggang yang ramping itu terayun-ayun seperti tangkai pohon yang-liu tertiup angin, betapa ringan kedua kaki kecil itu menari-nari, jantungnya berdebar dan beberapa kali dia harus membuang muka agar jangan sampai terpesona dan menjadi bengong seperti Han Houw! Setelah nona itu selesai menari, Han Houw bertepuk tangan memuji.

   "Bagus sekali... tarianmu hebat, nona, seperti bidadari dari kahyangan...!"

   "Pangeran terlalu memuji..."

   Kata nona itu dengan sikap malu-malu, suaranya merdu seperti nyanyian dan sambil membungkuk nona itu menyembunyikan muka di balik ujung-ujung lengan bajunya dari sutera halus. Sikapnya amat menarik dan lemah gemulai membangkitkan birahi.

   "Houw-ko, maafkan, aku ingin beristirahat..."

   Kata Sin Liong. Han Houw tertawa lalu bangkit berdiri.

   "Ah, adikku ini tidak biasa menghadiri pesta-pesta, maka merasa lelah dan ingin mengaso. Terima kasih atas segala kebaikanmu, Gu-taijin."

   "A-bwee, antarkan pangeran dan Liong-kongcu ke kamar mereka!"

   Perintah sang ayah kepada anaknya. Dengan sikap manis sekali Gu-siocia bersama lima orang dara pelayan itu mengantarkan Han Houw dan Sin Liong. Setelah meninggalkan ruangan itu dan melalui lorong menuju ke kamar tamu, tanpa ragu-ragu lagi Han Houw merangkul pinggang Gu-siocia yang ramping itu. Gu-siocia hanya terdengar menahan jerit dan tawa lirih, dan Sin Liong mempercepat langkah dengan hati tidak karuan rasanya. Akan tetapi, ketika Sin Liong memasuki ke kamarnya, yang terpisah dari kamar pangeran itu, sebelah menyebelah, Han Houw mengikutinya bersama Gu-siocia yang masih dirangkul pinggangnya dan lima orang dara pelayan cantik itu.

   "Liong-te, kau pilihlah. Siapa di antara mereka yang kau pilih untuk menemanimu?"

   Han Houw bertanya sambil tersenyum. Wajah Sin Liong menjadi berubah dan matanya terbelalak.

   "A... apa...? Apa maksudmu...?"

   Tanyanya gagap dan lima orang pelayan wanita itu tersenyum genit, sedangkan Gu-siocia hanya menundukkan muka dengan malu karena tangan pangeran yang merangkul pinggangnya itu dengan nakal meraba ke atas.

   "Liong-te, mereka ini memang disuruh menemani kita. Hayo kau pilih yang mana? Malam ini aku gembira sekali dan biarlah engkau kubiarkan memilih dulu. Apakah kau ingin agar Gu-siocia menemanimu malam ini? Nah, kau ambillah dia...!"

   Pangeran itu mendorong tubuh Gu-siocia ke depan. Dara itu menjerit kecil dan tentu akan menabrak Sin Liong kalau saja pemuda remaja ini tidak cepat menangkap pinggangnya. Akan tetapi cepat dilepaskan kembali pinggang ramping itu dan wajah Sin Liong menjadi agak pucat.

   "Aku... aku... tidak..."

   "Jangan malu-malu, Liong-te..."

   "Pangeran, Liong-kongcu tidak mau hamba temani, biar hamba menemani paduka saja..."

   Gu-siocia berkata dan kembali mendekati pangeran itu.

   "Bagaimana, Liong-te?"

   Kini Sin Liong sudah dapat mengembalikan ketenangannya dan dia berkata dengan suara tegas,

   "Houw-ko, selamanya aku belum pernah berdekatan dengan wanita dan tidak akan melakukannya malam ini. Aku hendak beristirahat, harap Houw-ko meninggalkan aku sendirian saja di kamarku. Nona-nona semua harap keluar dari sini."

   "Ha-ha-ha...! Kau... kau masih perjaka tulen, Liong-te? Ha-ha-ha, betapa engkau telah menyia-nyiakan hidupmu."

   Pangeran itu tertawa-tawa, akan tetapi Sin Liong tidak memperdulikannya dan dengan sikap sungguh-sungguh dia menggiring mereka keluar dari dalam kamar. Sin Liong cepat menutupkan daun pintu dan dia bersandar pada daun pintu itu dengan dada bergelombang. Suara ketawa Han Houw masih terdengar olehnya. Dia merasa bingung, tidak dapat menilai sikap Han Houw, kata-katanya dan sikapnya itu. Urusan dengan wanita merupakan suatu hal yang asing sama sekali baginya.

   Biarpun dia berada dalam asuhan Ouwyang Bu Sek dari masa kanak-kanak sampai menjelang dewasa, akan tetapi kakek itu sama sekali tidak pernah bicara tentang tata susila. Betapapun juga, ketika dia masih dekat dengan ibu kandungnya, kemudian setelah dia ikut Na-piauwsu, sudah banyak dia mendengar tentang pelajaran tata susila, bahkan dia memperoleh kesempatan untuk membaca kitab-kitab kuno tentang sopan santun dan kehidupan, maka dia dapat melihat bahwa apa yang dilakukan oleh Gu-siocia dan Pangeran Ceng Han Houw itu adalah perbuatan yang tidak senonoh dan melanggar batas-batas susila! Biarpun dia sadar bahwa hal itu tidak baik untuk dilakukan dan dilanggar, namun darah mudanya yang dibangkitkan oleh bayangan-bayangan membuat dadanya berdebar dan darahnya bergejolak! Makin ditekan perasaan yang menggelora itu, makin hebatlah menyerangnya sehingga Sin Liong tidak dapat tidur.

   Dengan gelisah dia rebah dan bergelimpangan di atas pembaringan, telinganya seolah-olah mendengar suara halus dan ketawa yang menimbulkan gairah hatinya, suara wanita-wanita muda yang cantik dan genit tadi, matanya selalu membayangkan wajah yang cantik manis, mata yang jeli dan senyum yang memikat tadi, bahkan kini dia seperti mendengar suara ketawa Han Houw diselingi suara cekikian dari wanita-wanita itu. Semua ini makin mengganggu hatinya dan akhirnya Sin Liong tidak kuat bertahan lagi dalam kamarnya, lalu diam-diam dia keluar melalui jendela dan membiarkan angin malam menyejukkan tubuhnya, walaupun hatinya masih juga panas dan berdebar. Dicobanya untuk bersamadhi di tengah taman indah yang sunyi dan remang-remang itu, namun usahanya sia-sia belaka, makin diusir bayangan-bayangan wanita itu, makin jelas nampak kecantikan mereka dan jelas terdengar suara halus mereka membujuk rayu.

   Dari manakah datangnya gelora nafsu berahi dan bagaimana terjadinya? Mengapa demikian sukarnya untuk diusir kalau datang mencengkeram batin sehingga amat menggelisahkan orang, mendorong-dorong orang untuk melaksanakan hasrat itu yang mencari pemuasan? Nafsu berahi, seperti nafsu apapun juga yang dapat meliputi batin, datang dari pikiran kita sendiri, datang dari ingatan atau kenangan. Memang ada naluri jasmaniah yang bergerak sesuai dengan kewajaran, yang
menggerakkan atau menyentuh berahi demi kepentingan perkembangan dan pembiakan, mendekatkan jantan dan betina, pria dan wanita satu sama lain berikut daya tarik masing-masing. Namun, hasrat yang timbul dari daya tarik jasmaniah ini sungguh tidak sama dengan nafsu berahi yang menggerogoti batin dari sebelah dalam, karena nafsu berahi ini, seperti nafsu lain, digerakkan oleh pikiran.

   Pikiran mencatat sebagai ingatan hal-hal yang diangap atau dirasakan sebagai hal yang menyenangkan, yang menimbulkan nikmat, dan ingatan ini yang menghidupkan kembali pengalaman atau pengalaman orang lain yang dikenal itu, yang dianggap nikmat dan menyenangkan sehingga selalu timbul keinginan untuk mengulang, atau ikut mengalami, merasakan sendiri hal yang dibayangkan sebagai hal nikmat menyenangkan itu. Pikiran menciptakan di aku yang ingin menikmati, ingin mengulang kesenangan dan menjauhkan penderitaan. Nafsu berahi tidak mungkin timbul tanpa adanya pikiran yang membayang-bayangkan hal yang dianggap nikmat menyenangkan itu. Jadi, pikiran yang mengingat-ingat dan mengenang, membayangkan, merupakan pupuk yang menyuburkan nafsu berahi.

   Tentu saja tidak mungkin untuk menghalau nafsu yang timbul dengan paksaan, dengan kemauan atau dengan pelarian. Memang dapat berhasil, akan tetapi hasil ini hanya sementara saja dan nafsu itu akan timbul kembali sewaktu-waktu, kemudian akan kita usir, datang lagi, usir lagi maka kita terseret ke dalam konflik yang terus menerus antara kedatangan nafsu dan pengusirannya. Biasanya kita hanya melakukan satu di antara dua hal apabila nafsu berahi datang menyerang. Pertama, tunduk dan bertekuk lutut menyerah lalu membiarkan diri dibawa ke manapun, dibuai nafsu yang menuntut pemuasan, maka terjadilah perjinaan, permainan cinta dengan cara apapun juga demi pelampiasan nafsu kita yang pada tingkat terakhir hanya akan mendatangkan penyesalan dan kekecewaan belaka.

   Ke dua, setelah kita maklum bahwa pemuasannya hanya mendatangkan penyesalan, atau setelah kita yakin dari pelajaran bahwa nafsu itu tidak baik dan sebagainya, kita lalu menolaknya, kita melarikan diri darinya, atau kita berusaha sedapat mungkin untuk mengusirnya. Yang pertama akan membuat kita menjadi manusia hamba nafsu yang akhirnya membuat kita menjadi orang yang lemah lahir batin, sedangkan yang ke dua akan menyeret kita ke dalam lingkaran setan dari konflik yang terus menerus. Mengapa kita tidak pernah menghadapi nafsu seperti apa adanya, memandangnya, mengamati nafsu itu yang bukan lain adalah pikiran kita sendiri, yang bukan lain adalah kita sendiri? Mengapa kita tidak mempelajari diri sendiri, apa yang terjadi dalam benak kita, dalam hati dan perasaan kita, yang berhubungan dengan nafsu itu?

   Mengapa kita hendak melarikan diri? Pelarian diri tidak mungkin sama sekali, karena betapa mungkin kita lari dari nafsu, yang sesungguhnya adalah kita sendiri, betapa mungkin kita lari dari diri sendiri? Siapa yang hendak lari itu? Siapa yang hendak mengusir nafsu itu? Yang mengusir adalah kita sendiri, yang diusir juga kita sendiri, betapa mungkin? Pikiran hendak mengusir akibat dari pikiran sendiri! Mengapa kita tidak pernah mencurahkan perhatian terhadap nafsu ketika ia timbul, memandangnya dengan penuh kewaspadaan dan kesadaran, tanpa pamrih sedikitpun untuk mengusir atau untuk melarikan dari padanya, tanpa menolak atau menerima kehadirannya, melainkan memandang saja, penuh perhatian dan kewaspadaan? Pengamatan inilah yang akan menciptakan kewaspadaan dan pengertian!

   Pengamatan tanpa pamrih inilah yang akan menimbulkan perubahan, bahkan melenyapkan nafsu tanpa ada yang mengusirnya! Demikian pula dengan halnya Sin Liong. Seperti juga orang lain, seperti kebanyakan di antara kita, dia ingin melarikan diri dari nafsu yang mencekamnya, ingin mengusir nafsu itu karena dia menganggap bahwa nafsu yang menguasainya itu tidak baik, melanggar tata susila dan sebagainya. Memang akhirnya dia berhasil, akan tetapi dia merasa lelah lahir batin ketika lewat tengah malam dia kembali ke kamarnya, dengan badan dan batin lemas, seolah-olah dia habis berkelahi melawan musuh yang amat kuat. Dia melempar tubuhnya ke atas pembaringan dan memang dia dapat juga tidur pulas, akan tetapi, di dalam tidurnya itu, sang nafsu berahi masih terus melanjutkan sepak terjangnya dalam bentuk impian!

   Sin Liong bermimpi dan dalam mimpi itu dia bertemu dengan Gu-siocia, yang membujuk rayu dia, dan berbeda dengan kenyataannya di sore hari tadi, dalam mimpi itu dia menyambut dara itu dengan gembira, memeluk dan menciuminya. Dalam keasyikan bercinta, kesenangan bermain cinta seperti yang belum pernah dirasakan sebelumnya, hanya dibayangkannya saja itu, tiba-tiba kesadarannya melawan lagi dan Sin Liong terbangun. Tubuhnya penuh keringat dan celananya menjadi basah! Mimpi adalah kelanjutannya dari keadaan batin kita di siang harinya, baik siang hari tadi, kemarin atau beberapa tahun yang lalu. Keadaan sehari-hari yang menggores kalbu, yang mendatangkan kesan, terukir dalam-dalam di batin kita dan batin yang membutuhkan ketenangan dan pengosongan dari isinya yang padat itu, mencari penyelesaiannya sendiri dalam bentuk mimpi.

   Sin Liong duduk terengah-engah, tubuhnya terasa lelah kehabisan tenaga, akan tetapi dia merasa lega, seolah-olah persoalan yang menekan hatinya kini telah selesai dan beres. Setelah membersihkan diri, dia lalu tidur lagi dan sekali ini tidurnya pulas tanpa gangguan apapun. Pada keesokan harinya, Ceng Han Houw muncul dengan wajah berseri dan kedua lengannya memeluk pinggang ramping dua orang di antara lima pelayan wanita yang kemarin melayaninya. Tidak nampak Gu-siocia di antara mereka. Setelah melihat Sin Liong keluar dari kamar dan sudah berpakaian rapi karena pagi tadi Sin Liong sudah bangun dan mandi kemudian bertukar pakaian, pangeran itu mencium mulut dua orang itu bergantian, ciuman yang membuat Sin Liong berpaling membuang muka.

   "Ha-ha, kalian manis sekali dan akan kuingat kalian. Sekali waktu aku akan menyuruh utusan menjemput kalian menjadi selir-selirku. Nah, pergilah, sampaikan kepada Gu-taijin babwa kami akan berangkat pagi ini, agar disediakan dua ekor kuda yang terbaik."

   Sambil tertawa pangeran itu mendorong dua orang dara pelayan yang tersenyum dengan muka berseri itu dan mereka pergi dari situ sambil berlari kecil, seperti dua ekor kupu-kupu yang indah beterbangan di atas bunga-bunga.

   "Ha-ha, pilihanku tepat, Liong-te. Mereka berdua itu adalah gadis-gadis yang mulus dan manis, menyenangkan sekali. Kalau sudah ada kesempatan, aku tentu akan mengirim utusan untuk menjemput mereka."

   Kemudian pangeran itu menatap wajah Sin Liong dengan alis berkerut.

   "Liong-te, kenapa kau begitu bodoh? Benarkah katamu malam tadi bahwa engkau belum pernah berdekatan dengan wanita?"

   Sin Liong menggeleng kepala dan cepat dia berkata untuk mengalihkan percakapan dari dirinya.

   "Dan yang lain-lain... Gu-siocia itu, ke mana? Mengapa tidak bersamamu, Houw-ko?"

   Pangeran itu tertawa.

   "Aku bukan orang bodoh, Liong-te, dan aku paling benci kepada wanita yang palsu."

   "Maksudmu?"

   "Nona Gu itu sengaja hendak menyerahkan dirinya dalam pamrihnya menjadi selir seorang pangeran, bahkan orang tuanya juga mendorongnya. Aku tidak sudi dijebak seperti itu. Kalau dua orang dara pelayan itu lain lagi, mereka menyerahkan diri karena memang suka kepadaku. Sudahlah, engkau tentu tidak mengerti. Mari kita siap-siap untuk berangkat. Nah, itu Gu-taijin datang sendiri!"

   Pembesar itu memberi hormat kepada Han Houw, akan tetapi biarpun sikapnya ramah-tamah dan sopan santun, Sin Liong melihat adanya kekecewaan membayang pada wajah pembesar ini. Dia tidak tahu benar apakah kekecewaan itu ada hubungannya dengan penolakan Han Houw terhadap puterinya! Tak lama kemudian, dua orang pemuda itu melanjutkan perjalanan, menunggang dua ekor kuda baru pilihan, keluar kota dan melanjutkan perjalanan ke utara.

   Nama Raja Sabutai amat terkenal di seluruh Tiongkok dan di luar tembok besar. Bagi para suku bangsa pengembara, nama ini dikenal sebagai seorang raja besar yang pernah menaklukkan hampir seluruh bangsa pengembara, menyusun kekuatan yang amat besar terdiri dari suku-suku bangsa yang dipersatukan. Bagi kerajaan di Tiongkok, nama Raja Sabutai tidak kalah terkenalnya. Siapakah yang tidak mengenal raja liar yang pernah menawan mendiang Kaisar Ceng Tung bahkan kemudian pernah menyerbu masuk ke selatan, melewati tembok besar, bahkan jauh ke selatan dan pernah menjebolkan pertahanan kota raja? Walaupun akhirnya pasukan liar yang dipimpin Raja Sabutai itu berhasil dipukul mundur, namun namanya masih ditakuti dan banyak orang merasa seram dan ngeri kalau mengingat akan keganasan pasukan Raja Sabutai ketika menyerbu ke selatan.

   Bukan hanya terkenal di kalangan suku bangsa pengembara di luar tembok besar dan terkenal di sebelah dalam tembok besar sebagai raja liar yang ganas dan kuat, akan tetapi nama Sabutai ini bahkan terkenal pula di dalam dunia persilatan, di dunia kang-ouw, terutama sekali di wilayah utara, karena selain Sabutai merupakan seorang raja, dia juga terkenal sebagai seorang ahli silat yang lihai sekali, yang kepandaiannya sejajar dengan tingkat para datuk persilatan, karena raja itu adalah murid Hek-hiat Mo-li dan mendiang Pek-hiat Mo-ko. Bahkan di waktu mudanya, Sabutai pernah
(Lanjut ke Jilid 25)
Pendekar Lembah Naga (Seri ke 04 "

   Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 25
menggegerkan dunia persilatan dengan mengalahkan banyak tokoh kang-ouw terkenal sehingga namanya menjadi terkenal di dunia kang-ouw.

   Akan tetapi di samping itu semua, diapun dikenal sebagai seorang raja yang royal terhadap tokoh-tokoh dunia kang-ouw, dapat menghargai orang-orang kang-ouw sehingga diam-diam dia disuka dan dihormati, terutama sekali oleh golongan hitam atau kaum sesat. Inilah sebabnya maka ketika terdengar berita bahwa Raja Sabutai mengundang orang-orang kang-ouw yang berilmu tinggi untuk memasuki pemilihan guru silat untuk mengajar kepada pangeran putera raja itu, banyak orang pandai meninggalkan sarang atau tempat pertapaan mereka untuk pergi ke utara, keluar dari tembok besar. Mereka yang mengejar kedudukan, kemuliaan dan harta, tentu saja mengandung niat untuk memasuki pemilihan jagoan yang dapat dipilih menjadi guru silat.

   

Dewi Maut Eps 9 Petualang Asmara Eps 51 Petualang Asmara Eps 39

Cari Blog Ini