Ceritasilat Novel Online

Dewi Maut 9


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo Bagian 9



"Bingkisan dari yang terhormat Jeng-ci Sin-touw Can Pouw...!"

   Terdengar pembuka bungkusan sumbangan berteriak dan mengangkat sebuah benda mengkilap ke atas. Tepuk sorak gemuruh menyambut benda ini, sebuah peti tua dari kayu hitam berukir indah dan terhias emas dan permata yang tentu amat mahal harganya.

   "Inilah baru bingkisan namanya!"

   Terdengar orang berteriak. Orang-orang yang belum mengenal mencari-cari siapa gerangan orang berjuluk Malaikat Copet Berjari Seribu itu dan ketika mata tuan rumah memandang ke arah ruangan tamu biasa, terdengar orang berkata.

   "Tamu yang sumbangannya sehebat itu mengapa tidak di tempat kehormatan?"

   In Hong juga menoleh dan baru sekarang dia melihat betapa temannya itu sudah tidak ada lagi di tempatnya! Dia melihat sehelai kertas di atas bangku temannya itu, cepat disambar dan dibacanya.

   "Maaf, aku pergi dulu karena... takut!"

   In Hong mengerutkan alisnya, tidak mengerti apa maksudnya. Dan dia tadinya merasa heran mengapa uang yang tidak berapa banyak ia berikan kepada pencopet itu telah menghasilkan pakaian pencopet itu dan barang sumbangan yang demikian hebat. Tentu dia telah mencopetnya, pikirnya. Akan tetapi tiba-tiba terjadi keributan lain lagi. Kembali Cia Giok Keng kini sudah meloncat dari tempat duduknya, sekali sambar dia telah merampas, peti kayu indah itu dari tangan piauwsu pengangkatnya tinggi-tinggi di atas kepala sambil berseru,

   "Para tamu sekalian dan Phoa-lo-enghiong, ketahuilah! Benda ini adalah apa yang kusumbangkan, entah bagaimana telah berada di dalam bungkusan orang lain! Aku menantang Jeng-ci Sin-touw untuk keluar dan memberi keterangan bagaimana barangku bisa berada di dalam bungkusannya!"

   Suara ini nyaring sekali dan semua tamu kembali menjadi diam dan memandang penuh ketegangan. Akan tetapi, tidak ada orang yang menjawab tantangan ini dan tidak nampak bayangan orang yang berjuluk Jeng-ci Sin-touw. Kembali Cia Giok Keng berkata, suaranya tenang, namun mengandung penuh ancaman dan kemarahan, nyaring terdengar sampai di luar gedung itu,

   "Sejak tadi ketika bungkusan sumbanganku dibuka, aku sudah tahu bahwa ada orang main gila, akan tetapi aku menanti sampai benda itu muncul. Kiranya ada maling atau copet hina dina yang bermain gila, sengaja menukar sumbanganku dengan sumbangannya yang tidak berharga. Hayo engkau Jeng-ci Sin-touw keluarlah untuk menerima kematian! Kalau tidak dapat menghancurkan kepalamu, jangan namakan aku puteri ketua Cin-ling-pai!"

   Sebenarnya, biarpun Cia Giok Keng ini sejak mudanya berwatak keras dan pemberani tak mengenal artinya takut, akan tetapi dia sama sekali tidaklah suka menyombongkan nama ayahnya atau Cin-ling-pai. Kalau sekarang dia melakukan hal itu adalah karena kedukaan dan kemarahan yang masih membakar hatinya berkenaan dengan peristiwa yang terjadi di Cin-ling-pai. Ketika guru suaminya datang berkunjung ke Sin-yang dan menceritakan tentang malapetaka yang menimpa Cin-ling-pai, dia menangis dan bersama suaminya dia mengunjungi Cin-ling-pai. Di depan ayah bundanya dia menyatakan ingin mencari penjahat-penjahat itu, akan tetapi ayahnya melarang dan mengatakan bahwa adiknya, Cia Bun Houw, dan empat orang murid kepala sudah ditugaskan untuk itu.

   "Engkau sudah mempunyai keluarga sendiri, jangan mencampuri urusan ini, anakku, agar kelak tidak berlarut-larut dan terseret,"

   Demikianlah kata ayahnya, sehingga terpaksa dia pulang kembali bersama suaminya membawa perasaan penasaran dan kemarahan. Kini, di tempat pesta ini dia dibikin marah oleh kata-kata yang mengejek Cin-ling-pai, dan seorang pencopet mempermainkannya dengan menukar barang sumbangan, tentu saja kemarahannya meledak dan dia menyinggung nama Cin-ling-pai tanpa disadarinya untuk mengangkat nama ayahnya. Karena tidak ada jawaban, nyonya ini menjadi makin marah.

   "Pho-lo-enghiong, mengapa engkau mengundang para pengecut datang menghadiri perayaahmu? Jeng-ci Sin-touw adalah seorang maling, seorang copet yang pengecut dan hina, dan teman-temannyapun orang-orang rendah!"

   "Eh-eh, nanti dulu, toanio!"

   Tiba-tiba seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih meloncat ke depan. Orang ini pakaiannya serba hitam, dengan ikat pinggang kuning emas, kepalanya dibungkus kain kuning dan di punggungnya terdapat sebatang golok besar. Para tokoh golongan hitam segera mengenalnya sebagai Twa-sin-to Kui Liok Si Golok Besar Sakti, seorang perampok tunggal yang sudah puluhan tahun malang melintang di lembah Sungai Yang-ce-kiang, seorang yang memiliki kepandaian tinggi, terutama sekali ilmu goloknya. Cia Giok Keng menghadapi laki-laki yang tubuhnya besar pendek ini dengan pandang mata meremehkan.

   "Mengapa engkau menahanku? Apakah hendak menyangkal bahwa Jeng-ci Sin-touw adalah maling hina?"

   "Toanio adalah seorang gagah perkasa, bahkan puteri ketua Cin-ling-pai yang amat terkenal, akan tetapi toanio terlalu memandang rendah orang lain! Kalau toanio memaki Jeng-ci Sin-touw karena dia menukar barang sumbangannya, hal itu adalah hak toanio, akan tetapi toanio membawa-bawa semua temannya yang tidak bersalah apa-apa."

   "Hemm, aku ulangi lagi, dia seorang hina dan teman-temannyapun orang-orang rendah. Nah, kau mau apa?"

   Cia Keng Hong yang memang sudah amat marah itu membentak.

   "Toanio, aku adalah Twa-sin-to Kui Liok dan terus terang saja aku mengenal baik Jeng-ci Sin-touw sehingga boleh dibilang aku juga temannya. Apakah dengan begitu engkau hendak mengatakan bahwa aku seorang rendah?"

   "Tentu saja, semua maling dan copet dan sebangsanya adalah orang-orang yang paling rendah dan pengecut di dunia!"

   Bentak Cia Giok Keng yang sebetulnya menujukan makian itu bukan langsung kepada orang yang berdiri di depannya, bahkan hanya sedikit menyinggung Jeng-ci Sin-touw yang tidak dikenalnya, melainkan ditujukan kepada orang-orang yang telah mencuri pedang Siang-bhok-kiam. Sejak terjadinya peristiwa itu, di dalam hatinya, dia mengutuk dan membenci semua golongan hitam, terutama pencuri dan perampok! Kui Liok menjadi marah.

   "Toanio terlalu menghina orang! Jangan mengira bahwa aku takut mendengar nama Cin-ling-pai!!"

   Wajah Cia Giok Keng menjadi makin merah.

   "Huh, tikus macam kau berani menentang Cin-ling-pai? Majulah!"

   "Wanita sombong!"

   Kui Liok membentak dan akan menyerang.

   "Tahan... tahan...!"

   Tiba-tiba Phot Lee It maju dan berdiri di antara mereka.

   "Cia-lihiap, harap bersabar dan memaafkan orang yang telah menukar barang sumbangan itu. Dan kau, Twa-sin-to, harap kau sabar dan mengalah."

   "Phoa-loenghiong harap kau minggir, jangan menghalangi aku. Di manapun dan kapanpun aku harus selalu menghajar golongan sesat yang berani kurang ajar!"

   Sikap dan ucapan Cia Giok Keng ini membuat Phoa Lee It menjadi serba salah dan terpaksa dia mundur sambil menggeleng kepala dan mengangkat bahu, bingung dan cemas.

   "Pencoleng hina, majulah kalau kau berani!"

   Puteri ketua Cin-ling-pai itu menantang dan Kui Liok yang merasa dihina di hadapan banyak sekali orang,

   Segera menerjang maju dengan pukulan tangannya yang besar dan kuat. Akan tetapi yang diserangnya ini adalah puteri sulung Pendekar Sakti Cia Keng Hong yang biarpun tidak berhasil mewarisi seluruh kepandaian ayahnya dan ibunya, namun dia telah memiliki ilmu-ilmu silat yang tinggi tingkatnya. Dengan jurus-jurus dari San-in-kun-hoat yang gerakannya aneh, lihai dan dahsyat, dia menangkis dan begitu tangannya balas menampar, jari-jari tangannya mengenai pundak Kui Liok, membuat perampok tunggal yang tubuhnya kebal ini terhuyung dan menyeringai kesakitan! Dalam segebrakan saja dia telah dibuat terhuyung dan tulang pundak kirinya seperti patah-patah rasanya! Tentu saja dia menjadi penasaran, mengeluarkan bentakan keras dan menubruk maju lagi,

   Menggunakan kedua lengannya yang dikembangkan dan kedua tangan yang terbuka seperti seekor harimau menubruk. Dan memang perampok tunggal ini telah menggunakan jurus Go-houw-pok-ma (Macan Kelaparan Menubruk Kuda), dia menerkam setengah meloncat dan kedua tangan dipentang lebar itu menerkam dari kanan kiri sehingga sukar sekali untuk dielakkan. Namun cia Giok Keng sama sekali tidak mengelak. Dengan tenang dia menanti datangnya serangan itu, lalu tiba-tiba mementang kedua tangannya ke kanan kiri, menggunakan telunjuk kanan kiri menusuk ke arah pergelangan kedua tangan lawan, dan pada saat jari-jari tangannya itu mendahului menyerang pergelangan tangan lawan sebelum serangan lawan tiba, kaki kirinya menendang dengan kecepatan seperti kilat. Semua ini dilakukan tanpa merobah kedudukan tubuhnya.

   "Dess... auukkk...!"

   Tubuh yang pendek besar itu terjengkang dan terguling-guling, lalu meloncat bangun dan tangan kirinya memegangi perutnya yang mendadak menjadi mulas setelah dicium ujung sepatu Giok Keng. Kini semua orang terkejut. Bukan main hebatnya nyonya itu, demikian mudahnya menghadapi serangan Kui Liok, dan sakaligus membuatnya terhuyung kemudian roboh dalam dua gebrakan saja. Padahal mereka tahu bahwa Kui Liok bukanlah seorang lemah kalau tidak boleh dibilang seorang yang berkepandaian tinggi. Tentu saja Kui Liok sendiri menjadi marah bukan main. Habislah nama besarnya kali ini! Dia diperlakukan seperti seorang murid tolol yang baru belajar ilmu silat oleh seorang guru besar!

   "Srattttt!"

   Golok besarnya telah dicabutnya, akan tetapi dia masih merasa terlalu besar namanya untuk menyerang seorang wanita tanpa senjata begitu saja, maka dengan suara parau dan tangan kiri mengusap darah yang mengalir dari ujung bibirnya dia membentak.

   "Keluarkan pedangmu!"

   Cia Giok Keng tersenyum mengejek.

   "Hemm, siapa takut menghadapi golok jagal babimu itu? Majulah!"

   Kemarahan Kui Liok sudah naik ke ubun-ubun dan dengan gerengan seperti harimau terluka, golok besarnya diputar-putar di atas kepala, sehingga lenyap bentuknya berubah menjadi gulungan sinar putih yang mengeluarkan suara berdesingan.

   Kemudian dia menerjang ke depan dan sinar putih itu menyambar dahsyat ke arah leher Giok Keng. Akan tetapi tiba-tiba tampak bayangan berkelebat dan tubuh nyonya itu lenyap dari depannya. Kui Liok terkejut, cepat dia memutar tubuh sambil mengayun goloknya. Benar saja, musuhnya sudah berada di belakangnya dan kini Giok Keng yang terkejut menyaksikan kecepatan gerakan lawan. Kiranya julukan Golok Besar Sakti itu tidak percuma begitu saja dan amat berbahaya kalau dia terlalu memandang rendah dan menghadapinya dengan tangan kosong. Akan tetapi dia telah terlanjur memandang rendah golok lawan, kalau sekarang dia mencabut pedangnya, hal itu akan memalukan sekali. Cepat dia mempergunakan gin-kangnya yang sudah hampir sempurna itu sehingga kembali tubuhnya berkelebat mendahului gerakan golok dan mengelak.

   Akan tetapi dengan kemarahan meluap-luap, Kui Liok sudah menyerang, terus dan gulungan sinar putih dari goloknya terus mengejar bayangan Giok Keng. Sampai lima jurus Kui Liok terus meyerang dan selalu dapat dielakkan oleh Giok Keng. Pada jurus keenam, ketika Kui Liok membacok dari atas ke bawah dengan jurus Petir menyambar Atas Kelapa, tiba-tiba nampak sinar merah terang yang kecil panjang meluncur dan tahu-tahu golok itu telah terbelit sabuk merah dan ujung yang lain dari sabuk itu telah meluncur dan menotok pundak kanan Kui Liok. Perampok tunggal ini terkejut bukan main, berusaha mengelak dari totokan, namun pada saat perhatiannya tercurah kepada sinar merah yang menyambar pundak itu, tiba-tiba tangan kiri Giok Keng sudah menamper keras dan tepat mengenal punggungnya, karena Kui Liok tadi mengelak miring.

   "Plakkk...!"

   Kui Liok mengaduh, goloknya terlepas dan dia sendiri terhuyung ke belakang, mukanya pucat sekali karena dia sudah terkena tamparan tangan yang mengandung Ilmu Pukulan Ngo-tok-ciang (Tangan Lima Racun), ilmu kepandaian mengerikan dari ibu nyonya ini, isteri ketua Cin-ling-pai!

   "Ini makanlah golokmu!"

   Cia Giok Keng yang sudah marah itu menggerakkan ujung sabuk merah yang melibat dan merampas golok dan senjata itu terbang meluncur ke arah tubuh Kui Liok yang masih terhuyung-huyung.

   Golok terbang itu berdesing cepat sekali dan tubuh Kui Liok pasti akan menjadi korban goloknya sendiri kalau saja pada saat itu tidak tampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu seorang gadis cantik jelita telah menyambar golok terbang itu dengan jepitan jari tangannya, kemudian dengan senyum menghina dia melempar golok itu ke atas lantai, dekat kaki Kui Liok yang cepat mengambilnya dan mengundurkan diri untuk mengobati luka di sebelah dalam tubuhnya yang cukup hebat. Gadis itu adalah In Hong. Dia memang kagum menyaksikan kehebatan enci dari Cia Bun Houw itu, akan tetapi karena pandangannya sudah berobah sejak dia mengetahui tentang penghinaan Cia Bun Houw kepadanya, dia kini menghampiri Giok Keng dengan pandang mata tajam, dingin dan senyumnya mengejek.

   Giok Keng sendiri terkejut bukan main. Melihat gerakan dara muda ini tadi mengulur tangan menjepit golok yang diterbangkannya seperti orang menjepit bulu saja ringannya, dia maklum bahwa dara muda ini memiliki kepandaian yang luar biasa, maka dia memandang heran dan menduga-duga. Go-bi Sin-kouw yang tadi sudah merasa penasaran dan marah, kini memandang penuh perhatian. Diapun dapat menduga bahwa dara cantik itu lihai sekali. Dia tadi masih ragu-ragu untuk maju menghadapi puteri ketua Cin-ling-pai, bukan ragu-ragu takut kalah karena dia percaya bahwa dia mampu menandingi puteri ketua Cin-ling-pai itu, hanya dia masih merasa tidak enak dan serba salah.

   Betapapun juga, muridnya, Pek Hong In, telah menjadi isteri Yap Kun Liong yang mempunyai hubungan dekat dengan Cin-ling-pai. Dia memang tidak suka kepada keluarga itu dan sudah berjanji akan membantu Lima Bayangan Dewa, akan tetapi permusuhan ini akan dilakukan secara sembunyi, kecuali kalau tiba saatnya kedua fihak berdiri berhadapan dalam pertandingan besar yang sudah direncanakan oleh Lima Bayangan Dewa. Betapapun juga, dia merasa sayang kalau sampai perbuatannya yang memusuhi Cin-ling-pai itu akan mendatangkan akibat tidak enak bagi Pek Hong In. Maka kini, biarpun tangannya sudah gatal-gatal untuk menandingi Cia Giok Keng, dia menahan diri dan melihat majunya gadis muda yang cantik, aneh dan lihai itu, dia hanya menonton dengan penuh perhatian setelah dia melemparkan sebungkus obat bubuk kepada Kui Liok sambil berkata lirih,

   "Minum ini untuk menolak hawa beracun!"

   Sementara itu, In Hong sudah melangkah maju dan berhadapan dengan Giok Keng. Setelah kurang lebih dua menit dua orang wanita muda dan setengah tua yang sama cantik dan sama gagahnya itu saling memandang penuh selidik dan seperti saling mengukur kecantikan dan kelihaian melalui pandang mata, terdengar In Hong berkata, suaranya dingin,

   "Kiranya keluarga Cin-ling-pai adalah orang-orang sombong yang terlalu menghina orang lain dan menganggap bahwa mereka sendirilah orang-orang terbaik, paling bersih dan paling gagah di dunia ini, padahal kenyataannya sungguh tidak seperti yang dibanggakan itu!"

   Cia Giok Keng mengerutkan alisnya yang hitam melengkung bagus itu.

   "Engkau seorang dara muda yang begini cantik jelita, apakah juga sudah menjadi anggauta golongan maling dan pencoleng? Sungguh patut disayangkan!"

   In Hong tersenyum.

   "Aku bukan maling bukan pula pencoleng, akan tetapi harus kuakui bahwa Jeng Cin-ling-pai ci Sin-touw Can Pouw adalah seorang sahabatku. Pantas saja Cin-ling-pai dimusuhi banyak orang, kiranya orang-orangnya begini sombong. Engkau memaki-maki paman Can sebagai maling hina, padahal dia tidak mengambil apa-apa. Andaikata dia menukar sumbangan, itu hanyalah sendau guraunya karena memang dia suka berkelakar, akan tetapi sama sekali bukan mengambil barang orang."

   "Bagaimanapun juga, dia seorang pencopet dan semua maling dan copet adalah orang-orang hina."

   "Hemm, siapa bilang bahwa keluarga Cin-ling-pai juga orang baik-baik?"

   Kata-kata In Hong ini membuat Giok Keng menjadi marah sekali.

   "Mulut lancang! Kami keluarga Cia sejak dahulu terkenal sebagai pendekar-pendekar perkasa pembela kebenaran dan keadilan!"

   "Kebenaran dan keadilan siapa?"

   In Hong mengejek.

   "Setahuku, putera tunggal ketua Cin-ling-pai adalah seorang pria penggoda wanita yang suka menghina kaum wanita!"

   "Wanita iblis! Kau maksudkan adikku Cia Bun Houw?"

   "Siapa lagi kalau bukan dia?"

   Saking marahnya, Giok Keng sampai sukar mengeluarkan suara, matanya terbelalak lebar dan napasnya terengah-engah. Akhirnya dapat juga dia membentak,

   "Iblis betina! jangan menyebar fitnah! Adikku itu selama lima tahun belajar di Tibet!"

   "Nah, itulah! Di Tibet dikatakan belajar, akan tetapi di sana menjadi seorang penggoda wanita. Wanita-wanita dan gadis-gadis Tibet dirayunya dengan mengandalkan kepandaian dan ketampanannya, kemudian ditinggalkan begitu saja..."

   "Ahhhh, tidak...!"

   Terdengar suara lemah dari seorang dara di dekat Go-bi Sin-kouw, yaitu Yalima, yang mengeluh mendengar fitnah terhadap kekasihnya itu. Akan tetapi Go-bi Sin-kouw memberi tanda dengan menyentuh tangan muridnya agar diam, dan dia menonton dengan hati tegang gembira.

   "Wuuutt... wirrr...!"

   Ujung sabuk di tangan Giok Keng meluncur, merupakan sinar merah yang amat cepat menyambar dan menotok leher In Hong.

   "Pratt!"

   In Hong menyampok dengan jari-jari tangannya dan Giok Keng terbelalak kaget sekali melihat ujung sabuk merahnya itu pecah-pecah! Bukan hanya Giok Keng yang terkejut, juga Go-bi Sin-kouw kaget sekali. Dia dapat melihat dan mengukur dari sambaran sabuk merah itu bahwa sabuk itu merupakan senjata yang amat ampuh dan berbahaya dari puteri Cin-ling-pai ini, akan tetapi ternyata sekali bertemu dengan jari-jari tangan gadis cantik ini, ujungnya menjadi pecah-pecah! Hal ini sungguh-sungguh di luar dugaannya sama sekali dan dia menjadi makin tertarik, ingin sekali tahu siapa gerangan gadis muda cantik dan lihai yang tadi duduknya hanya di golongan tamu biasa saja. Tiba-tiba terdengar teriakan dari luar dan seorang laki-laki masuk sambil berteriak nyaring,

   "Nona Yap In Hong, tahan dulu...!"

   Yang datang ini bukan lain adalah Jeng-ci Sin-touw Can Pouw. Tadi ketika melihat keributan terjadi akibat dari perbuatannya, dia menjadi jerih dan cepat menyelinap keluar dan mengintip dari luar. Akan tetapi ketika melihat betapa In Hong turun tangan membelanya dia menjadi khawatir sekali. Dia tahu akan kehebatan keluarga Cin-ling-pai maka kalau sampai nona yang dikaguminya itu celaka akibat membelanya, dia merasa sangat tidak enak sekali. Maka dengan nekat dia lalu masuk kembali setelah melihat In Hong sudah berhadapan dengan puteri ketua Cin-ling-pai dan hendak bertanding. In Hong mengenal suara temannya ini dan dia menengok.

   "Biarlah, paman Can, orang terlalu menghinamu, tidak boleh aku tinggal diam saja."

   "Nona In Hong, jangan...!"

   Dia berteriak, lalu menjura ke arah Cia Giok Keng yang berdiri terbelalak mendengar nama Yap In Hong tadi.

   "Kau... kau... bernama Yap In Hong...?"

   Tanyanya dengan heran. In Hong tidak menjawab, dan Can Pouw yang cepat berkata,

   "Maafkan saya, lihiap yang terhormat, sebetulnya sayalah yang bersalah. Nona Yap In Hong ini tidak turut apa-apa! Saya yang tadi kerena merasa penasaran melibat tuan rumah membeda-bedakan tempat duduk para tamu, lalu ingin menggodanya dengan menukar kartu nama pada barang-barang sumbangan. Saya tidak mengira bahwa barang-harang itu akan dibuka dan diumumkan sehingga terjadi akibat seperti ini. Saya yang bersalah dan lihiap boleh memaki dan memukul saya, akan tetapi nona In Hong tidak ikut-ikut..."

   "Hemm, jadi engkaukah biang keladinya?"

   Giok Keng menggerakkan tangan kirinya memukul dengan jari-jari tangan penuh getaran Ilmu Ngo-tok-ciang ke arah dada pencopet itu.

   "Plakkkk! Desss!!"

   Giok Keng terhuyung ke belakang ketika tangannya ditangkis oleh In Hong, tangkisan yang kuat bukan main.

   "Mundurlah, paman Can!"

   In Hong mendorong pundak temannya itu sehingga Can Pouw terlempar dan pencopet ini menjadi pucat mukanya, lalu menyelinap dan leqyap dari situ. Giok Keng memandang dengan muka sebentar merah, sebentar pucat. Dia telah dua kali ditangkis dan kedua kalinya membuktikan bahwa dia yang tardesak, maka hal ini dianggapnya amat memalukan. Akan tetapi karena masih terheran-heran mendengar nama gadis itu yang disebut oleh Jeng-ci Sin-touw tadi, dia bertanya,

   "Apakah engkau adik Yap Kun Liong...?"

   Pertanyaan yang diajukan dengan ragu-ragu karena dia sendiri tidak percaya kalau gadis cantik yang kini berani menantangnya ini adalah adik kandung Kun Liong.

   "Benar, akan tetapi aku tidak mempunyai urusan dengan dia,"

   Jawab In Hong dengan suara yang tetap dingin. Giok Keng melongo, akan tetapi segera dapat menekan keheranannya dan dia membentak,

   "Dan kau tadi berani bicara bohong terhadap adikku Bun Houw?"

   "Hemm, mengapa tidak kautanya sendiri kepada adikmu yang bagus itu?"

   "Yap In Hong! Tahukah kau dengan siapa kau bicara?"

   In Hong memandang tajam, dan bibirnya melukis senyum mengejek.

   "Tentu saja aku tahu engkau adalah Cia Giok Keng, puteri ketua Cin-ling-pai, seorang wanita yang sombong..."

   "Bocah kurang ajar!"

   Giok Keng menggerakkan tangan mencabut pedangnya dan tampak sinar menyilaukan mata ketika Gin-hwa-kiam terhunus.

   "Tahan senjata...!"

   Lie Kong Tek meloncat ke depan, memegang lengan isterinya dan menariknya.

   "Tidak perlu kita berlarut-larut, apalagi dia bukan orang lain. Mari kita pergi saja."

   Cia Giok Keng dapat terbujuk, akan tetapi mukanya pucat sekali ketika dia menyarungkan pedangnya dan sebelum pergi, dia memandang tajam kepada In Hong sambil berkata,

   "Aku akan minta pertanggungan jawab kakakmu terhadap sikapmu ini!"

   Lalu dia membalikkan tubuhnya dan pergi bersama suaminya dari tempat itu, hanya mengangguk pendek kepada tuan rumah. In Hong tidak memperdulikan lagi suami isteri itu, dia menengok dan mencari-cari Can Pouw dengan pandang matanya. Ketika melihat bahwa temannya itu tidak berada di situ, dia lalu berkelebat dan meloncat keluar tanpa pamit. Keadaan pesta itu menjadi agak riuh dan bising karena semua tamu membicarakan peristiwa yang cukup hebat dan menegangkan, juga aneh itu. Munculnya gadis bernama Yap In Hong yang berani menentang puteri Cin-ling-pai, yang memiliki ilmu kepandaian hebat tadi dan ternyata adalah adik dari pendekar Yap Kun Liong, benar-benar menggegerkan baik fihak golongan hitam maupun golongan putih.

   "Perlahan dulu, Yap-kouwnio (nona Yap)!"

   In Hong menghentikan langkahnya, menengok dan melihat bahwa yang memanggilnya itu adalah nenek tua berpakaian hitam yang menggandeng tangan gadis cantik berpakaian Tibet itu. In Hong mengerutkan alisnya. Hatinya tidak senang. Tadi dia mencari Can Pouw tanpa hasil dan setelah mengambil buntalan pakaiannya di rumah penginapan, dia lalu pergi meninggalkan kota Wu-han tanpa menanti temannya yang entah ke mana perginya itu. Pula, diapun sudah tidak mempunyai urusan sesuatu dengan pencopet itu dan dia perlu melanjutkan perjalanannya merantau. Kini, baru saja tiba di luar kota Wu-han yang sepi, dia disusul oleh nenek berpakaian hitam itu.

   "Apakah keperluanmu menyusul aku, Go-bi Sin-kouw?"

   Tegurnya dengan suara dingin.

   "Heh-heh-he-he-he!"

   Nenek itu terkekeh sambil memukul-mukulkan ujung tongkat bututnya ke atas tanah.

   "Si Jari Seribu itu bukan hanya panjang tangannya, akan tetapi juga panjang mulutnya, ha-ha-ha. Tentu dia yang menceritakan kepadamu tentang namaku dan tentang muridku Yalima ini."

   In Hong menjawab,

   "Memang dia yang menceritakan kepadaku, lantas apa hubungannya dengan kedatanganmu menyusulku ini?"

   "Wah-wah, engkau hebat, dingin dan keras! Semuda ini engkau sudah hebat nona Yap In Hong. Ketahuilah di antara engkau dan aku masih ada hubungan dekat, sungguhpun agaknya engkau tidak memperdulikan hubungan keluarga."

   In Hong menjadi heran.

   "Hubungan apakah, Go-bi Sin-kouw?"

   "Heh-heh, engkau adik kandung Yap Kun Liong, bukan? Nah, Kun Liong itu adalah mantuku! Isterinya, Pek Hong Ing, adalah muridku yang tersayang seperti anakku sendiri."

   In Hong mengangguk-angguk.

   "Hemm... begitukah kiranya? Akan tetapi aku tidak tertarik, Go-bi Sin-kouw, seperti telah kukatakan kepada orang Cin-ling-pai tadi, aku tidak mempunyai urusan dengan Yap Kun Liong atau isterinya."

   
Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kembali nenek itu tertawa dan mengacungkan ibu jari tangannya.

   "Bagus... bagus sekali. Kau memang hebat luar biasa! Aku setuju sekali! Akupun tidak suka kepada manusia-manusia sombong itu, dan agaknya adiknyapun tentu bukan manusia baik-baik!"

   "Subo, Houw-koko adalah seorang laki-laki sejati yang amat baik! Enci In Hong, aku tidak bisa menerima fitnah yang kau lontarkan kepada kakak Cia Bun Houw tadi. Dia bukan seorang penggoda wanita, dia seorang jantan yang gagah perkasa dan sama sekali bukan perayu wanita!"

   Yalima memprotes dengan suara keras dan memandang In Hong dengan sepasang matanya yang bulat dan bening indah. In Hong memandang wajah itu dan harus mengakui bahwa dara remaja ini amat cantik dan manis. Dia tersenyum mengejek.

   "Hemm, engkau masih terlalu kecil untuk mengenal kepalsuan pria, adikku! Engkau memuja laki-laki bernama Cia Bun Houw itu, dan mengira dia mencintaimu, bukan? Akan tetapi tahukah engkau mengapa dia dipanggil pulang oleh orang tuanya dari Tibet?"

   "Ya, mengapa... enci? Aku tidak tahu mengapa dia pergi meninggalkan aku..."

   Yalima bertanya penuh gairah mendengar ada orang tahu tentang urusan kekasihnya itu.

   "Dia dipanggil pulang untuk dijodohkan dengan wanita lain, bukan dengan engkau!"

   "Aihhhhh...!"

   Yalima menjerit lirih dan mukanya menjadi pucat.

   "Ti... tidak benar itu...!"

   In Hong tersenyum mengejek.

   "Kau bilang tidak benar? Kau tahu siapa wanita yang akan dijodohkan dengan perayumu yang bagus itu? Akulah orangnya! Akan tetapi aku tidak sudi, apalagi setelah mendengar tentang hubungannya dengan engkau."

   "Aihhh...!"

   Yalima kembali menjerit.

   "Enci... katakan, di mana dia? Di mana aku dapat bertemu dengan Houw-ko? Subo, bawalah aku menemui dia..."

   Dia meratap dan Go-bi Sin-kouw membentaknya.

   "Diamlah dulu, anak cengeng!"

   Yalima diam dengan muka pucat, matanya seperti mata seekor kelinci diancam harimau.

   "Engkau memang benar kalau menolaknya, Yap-kouwnio. Laki-laki memang mahluk jahat yang membikin celaka wanita saja. Akan tetapi aku tidak boleh tinggal diam saja melihat dia yang telah menjadi muridku ini dipermainkan! Maukah engkau membantuku, kouwnio?"

   "Membantu bagaimana?"

   "Engkau adalah saksi utama bahwa Cia Bun Houw itu telah berpacaran dengan muridku Yalima ini, dan yang dijodohkan dengan dia sudah terang-terangan menolak, bukan?"

   "Benar! Aku bukan boneka atau binatang yang boleb dijodoh-jodohkan di luar kehendakku begitu saja."

   "Cocok dengan aku, heh-heh-heh! Karena itu aku minta bantuanmu, kouwnio. Aku hendak menemui wanita galak itu, akan kutuntut agar adiknya itu mengawini Yalima dan engkau menjadi saksinya bahwa adiknya itu tidak lagi bertunangan denganmu melainkan sudah bertunangan dengan Yalima muridku. Kemudian aku akan menemui muridku, Pek Hong Ing, agar membujuk suaminya yaitu kakak kandungmu, agar membatalkan tali perjodohan antara engkau dan Cia Bun Houw."

   In Hong mengerutkan alisnya dan menjawab dengan menjawab dengan ragu-ragu,

   "Ini... ini... bukan urusanku, kau lakukanlah sendiri, Go-bi Sin-kouw!"

   "Heh-heh-heh... tadinya aku percaya bahwa engkau adalah seorang wanita gagah dan berhati baja seperti aku di waktu muda dahulu, Yap-kouwnio. Akan tetapi kini kau ragu-ragu, apakah engkau menyayangkan tali perjodohanmu itu putus?"

   "Jangan sembarangan membuka mulut!"

   In Hong membentak sambil mengepal tangan.

   "Heh-heh-heh, aku bukan bermaksud menghina. Akan tetapi kalau kouwnio benar-benar tidak sudi menjadi jodoh laki-laki palsu dan penggoda wanita itu, tentu kouwnio akan suka membantu memutuskan ikatan jodoh itu dan memaksa keluarga laki-laki itu untuk tidak menyia-nyiakan Yalima."

   Yalima memang pandai berbahasa Han, akan tetapi percakapan yang agak sulit ini tidak begitu dimengertinya. hanya dia menduga bahwa mereka membicarakan tentang ikatan perjodohannya dengan pria yang dicintanya, maka diapun berkata dengan suara memohon kepada In Hong,

   "Enci In Hong, harap engkau suka membantu subo dan menolongku. Aku lebih suka mati kalau tidak dapat bertemu dengan Houw-koko."

   Setelah berpikir sejenak sambil menggigit-gigit bibirnya, akhirnya In Hong mengangguk dan berkata,

   "Baiklah, aku akan membantumu menemui mereka, akan tetapi tidak ada persekutuan apa-apa di antara kita, Go-bi Sin-kouw, hanya untuk urusan pemutusan ikatan perjodohan dan mengalihkan menjadi ikatan perjodohan Yalima."
(Lanjut ke Jilid 09)

   Dewi Maut (Seri ke 03 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 09
"Heh-heh-heh, tentu, saja. Akupun hanya akan memperjuangkan hak kaum wanita agar jangan dijadikan bahan permainan kaum pria!"

   Nenek yang sudah bangkotan dan penuh pengalaman ini tentu saja segera dapat mengenal watak In Hong yang tidak suka kepada kaum pria, apalagi karena diapun sudah melihat hiasan burung hong di rambut dara itu dan menduga bahwa tentu In Hong ini ada hubungannya dengan Giok-hong-pang yang terkenal sebagai perkumpulan wanita pembenci pria yang kabarnya dipimpin oleh seorang wanita yang amat tinggi kepandaiannya. Maka berangkatlah mereka bertiga melakukan perjalanan dan kembali In Hong mempunyai seorang teman seperjalanan dalam perantauannya, seorang teman yang jauh berbeda dengan temannya yang pertama yaitu Si Malaikat Copet. Untung di situ terdapat Yalima yang makin lama makin menarik dan menyenangkan hatinya karena dara Tibet ini benar-benar murni, wajar, polos dan jujur.

   Wataknya bersih sekali dan membuat In Hong menjadi kagum. Dia tidak menjadi heranlah kalau ada laki-laki seperti putera Cin-ling-pai itu tergila-gila kepada seorang dara seperti ini, akan tetapi kalau sampai Cia Bun Houw mempermainkan seorang gadis suci seperti ini, dia akan menghalanginya dan akan memaksa pemuda itu mengawininya! Dengan adanya Yalima di sampingnya, perjalanan bersama nenek yang mengerikan itu menjadi menyenangkan juga bagi In Hong. Di lain fihak, Yalima yang berwatak polos menganggap In Hong seorang wanita yang gagah perkasa dan berbudi mulia seperti watak kekasihnya, hanya bedanya In Hong adalah seorang wanita yang amat menaruh perhatian kepadanya dan suka membela kepentingan hidupnya. Maka dia berterima kasih sekali kepada In Hong dan di dalam hatinya tumbuh benih persahabatan yang akrab terhadap gadis ini.

   Apapun juga yang terjadi di dunia inipun terjadilah, tanpa manusia dapat mencampurinya, mendorongnya atau mencegahnya. Apapun juga yang terjadi di dalam kehidupan manusia, yang menimpa diri manusia, adalah suatu fakta, suatu peristiwa yang terjadi, dan apabila kita menghadapi setiap macam peristiwa yang terjadi kepada kita atau di sekeliling kita sebagai apa adanya, tanpa mencari kambing hitamnya, tanpa menyalahkan siapapun, hanya menghadapinya dengan tenang dan waspada, maka akan terbuka semua rahasia, tidak ada rahasia lagi karena kita akan dapat melihat sejelas-jelasnya peristiwa itu berikut segala sesuatu yang ada hubungannya dengan peristiwa itu, sebab-sebabnya dan lain sebagainya. Semua duka dan sengsara tidak ada hubungannya dengan segala peristiwa yang terjadi, melainkan bersumber di dalam diri pribadi.

   Akan tetapi, kita biasanya menghadapi setiap peristiwa tanpa kebebasan ini, kita selalu mencari sasaran untuk menimpakan kesalahan, baik kepada orang lain, kepada diri sendiri, kepada hari dan nasib peruntungan! Kalau kita menghadapi setiap peristiwa yang betapa hebatnya menimpa kita dengan batin yang bebas, dengan awas dan memandangnya sebagai satu hal yang terjadi apa adanya, tanpa menyalahkan atau membenarkan, maka tidak akan timbul penyesalan karene kesemuanya sudah nampak jelas sehingga tidak ada lagi hal yang dibuat penasaran. Duka dan dendam timbul karena kita tidak dapat menghadapi setiap peristiwa sebagai apa adanya, dan kebebasan ini sama sekali bukan merupakan sikap masa bodoh, bahkan sebaliknya merupakan keadaan yang penuh kewaspadaan setiap saat!

   Kota Leng-kok adalah sebuah kota kecil akan tetapi cukup ramai. Pendekar Yap Kun Liong, tokoh dari cerita Petualang Asmara, tinggal di kota ini, di rumah yang dahulu menjadi tempat tinggal dan toko obat dari mendiang orang tuanya. Di kota ini diapun melanjutkan usaha orang tuanya, membuka toko obat bersama isterinya dan anak mereka, yaitu Yap Mei Lan yang pada waktu itu telah menjadi seorang dara remaja berusia empat belas tahun yang berwajah manis dan lincah.

   Selain Kun Liong, isterinya yang bernama Pek Hong Ing dan Yap Mei Lan, masih ada dua orang lagi yang tinggal di rumah itu di waktu siang sampai malam setelah toko obat itu ditutup. Setelah itu, mereka berdua pulang ke rumah masing-masing. Mereka berdua ini adalah seorang laki-laki berusia lima puluh tahun, yang bertugas sebagai seorang pelayan dan pembantu toko dan juga merupakan seorang ahli pengobatan yang bekerja sama dengan Kun Liong. Laki-laki ini bernama Giam Tun dan selain ilmu pengobatan, dia juga mengerti ilmu silat yang lumayan. Adapun orang kedua adalah seorang wanita setengah tua yang melayani keperluan rumah tangga keluarga itu, dan juga Khiu-ma ini kalau malam pulang ke rumah anaknya tak jauh dari tempat tinggal keluarga Yap Kun Liong. Toko obat itu berjalan cukup baik dan mendatangkan hasil yang cukup.

   Di bagian depan merupakan toko, dan di belakang merupakan rumah tinggal yang cukup luas, bahkan di belakang rumah itu terdapat sebuah taman bunga yang kecil namun terpelihara rapi dan indah, penuh dengan bunga-bunga yang ditanam dan dipelihara sendiri oleh Yap Mei Lan. Mei Lan memperoleh gemblengan ilmu silat dan ilmu surat dari ayah bundanya, dan tentu saja dalam hal ilmu silat dia dididik oleh ayahnya karena ibunya, biarpun pada umumnya memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi, namun dibandingkan dengan ayahnya masih kalah jauh. Mei Lan adalah seorang dara yang tekun sehingga dalam usia empat belas tahun, dia telah memiliki tingkat kepandaian yang cukup tinggi, dan selain dapat membaca dengan lancar dan pandai pula menulis sajak, juga dia sudah mengerti tentang ilmu pengobatan.

   Sikapnya lincah dan gembira sehingga kadang-kadang ayahnya memandangnya dengan hati terharu, teringat akan ibu kandung anak ini, yaitu mendiang Lim Hwi Sian, yang lincah jenaka. Pek Hong Ing juga amat mencinta Mei Lan, dianggapnya seperti anaknya sendiri dan setelah belasan tahun dia tidak juga mempunyai anak, dia sudah melepaskan harapannya untuk melahirkan anak sendiri, maka kasih sayangnya terhadap Mei Lan makin bertambah. Malam itu gelap dan basah. Hujan turun sejak sore tiada hentinya. Karena telah sebulan lamanya Yap Kun Liong mengunjungi Cin-ling-san setelah mendengar akan malapetaka yang menimpa Cin-ling-pai, dan karena hari hujan membuat toko sepi, maka Pek Hong Ing menyuruh tutup toko agar kedua orang pembantunya dapat pulang tidak terlalu malam.

   Mei Lan sedang asyik membaca kitab sajak kuno yang menuturkan tentang perjuangan patriot-patriot di waktu dahulu, sedangkan Hong Ing sendiri sedang menjahit sebuah baju untuk anaknya. Biarpun Mei Lan sendiri sudah pandai menjahit, akan tetapi ibunya suka menjahitkan pakaian anaknya ini dan Mei Lan juga membiarkan ibunya menikmati kesukaan itu. Giam Tun sudah menutupkan tiam-tang (papan pintu toko) dan baru saja hendak berpamit kepada nyonya majikannya ketika tiba-tiba di depan pintu berdiri seorang wanita cantik yang sikapnya seperti orang sedang menahan kemarahan. Giam Tun adalah seorang pembantu dari Kun Liong yang sudah bertahun-tahun, maka tentu saja dia mengenal wanita cantik ini dan dengan kaget dia lalu cepat menyambut dengan sikap hormat dan ramah.

   "Ahh, kiranya Lie-toanio (nyonya Lie) yang datang! Silakan masuk... Yap-toanio berada di dalam..."

   Mendengar suara Giam Tun ini, Pek Hong Ing cepat keluar dan wajahnya berseri gembira ketika dia melihat siapa yang malam-malam datang bertamu itu. Kiranya wanita cantik itu adalah Cia Giok Keng, puteri ketua Cin-ling-pai!

   "Aihh, enci Giok Keng kiranya! Selamat datang dan selamat malam, mari silakan masuk ke dalam, enci..."

   Pek Hong Ing menahan kata-katanya dan wajahnya yang tadi berseri-seri dan penuh senyum itu menjadi berubah keheran-heranan ketika melihat betapa tamunya itu memandangnya dengan sikap tak acuh dan matanya mencari-cari ke dalam.

   "Mana suamimu? Mana Kun Liong? Aku ingin bertemu dan bicara dengan dia!"

   Pek Hong Ing terkejut. Dia memang sudah tahu bahwa watak puteri ketua Cin-ling-pai ini keras sekali, akan tetapi sekarang nampak jelas bahwa dia sedang marah sekali sehingga dia merasa tidak enak dan tegang. Namun, sebagai seorang wanita yang berpandangan luas dan pada dasarnya memang berwatak lembut, Hong Ing masih dapat mengeluarkan senyum dan suaranya tetap halus.

   "Mari kita masuk dan bicara di dalam, enci Giok Keng."

   Dia memegang lengan tamunya yang menariknya masuk. Giok Keng bersikap kaku, akan tetapi dia mengikuti nyonya rumah itu masuk ke dalam. Giam Tun dan Khiu-ma yang menyaksikan sikap tamu ini, menjadi terheran-heran dan kaget, juga menjadi tidak senang. Mereka saling pandang, kemudian duduk di ruangan depan itu sambil memasang telinga, mendengarkan suara yang datang dari ruangan dalam tanpa dapat menangkap jelas kata-kata dua orang nyonya itu. Setibanya di dalam, Hong Ing lalu bertanya,

   "Enci Giok Keng, engkau mengejutkan hatiku. Apakah yang telah terjadi? Mengapa engkau kelihatan marah-marah, enci? Aku... aku menyesal sekali mendengar tentang peristiwa yang menimpa Cin-ling-pai, dan suamiku... dia malah belum pulang setelah mendengar berita itu terus pergi ke sana."

   "Hemm, jadi dia tidak berada di rumah? Sia-sia saja kalau begitu kedatanganku!"

   Kata Giok Keng dengan ketus karena dia kecewa sekali dan makin marah. Kemarahannya sudah ditahan-tahan sejak dia meninggalkan rumah, tidak perduli akan cegahan suaminya, langsung saja sekembali mereka dari Wu-han dia terus pergi mengunjungi Leng-kok untuk memaki-maki Kun Liong karena tingkah adik kandungnya akan tetapi betapa kecewa dan mendongkol hatinya bahwa orang yang dicarinya itu tidak berada di rumah.

   "Ada urusan apakah, enci? Harap suka memberi tahu kepadaku."

   Hong Ing bertanya, hatinya makin tidak enak.

   "Bukan urusanmu! Ini urusan antara aku dan Kun Liong sendiri!"

   Pada siat itu muncullah Mei Lan. Dara remaja ini memandang tamunya. Sudah beberapa tahun dia tidak bertemu dengan Giok Keng sehingga dia tidak lagi mengenal wanita ini. Mendengar ucapan yang ketus dari Giok Keng terhadap ibunya. Mei Lan yang lincah dan pandai bicara itu cepat mencela.

   "Urusan ayah adalah urusan ibu juga, mengapa ada urusan ayah yang tidak boleh diketahui ibu? Bibi ini siapakah datang-datang marah kepada ibu dan sebagai tamu semestinya menghormati nyonya rumah!"

   "Mei Lan, jangan kurang ajar terhadap bibi Giok Keng!"

   Bentak Hong Ing. Gadis cilik itu kini memandang kepada tamunya dengan sepasang mata bersinar-sinar.

   "Ah, kiranya bibi Giok Keng! Maafkan saya, bibi, akan tetapi lebih-lebih kalau bibi adalah bibi Giok Keng yang sudah saya banyak dengar dari ayah ibu sebagai seorang wanita pendekar, maka sikap ini sungguh tidak selayaknya. Kalau ada urusan sesuatu dengan ayah harap bibi suka memberi tahu kepada ibu, karena apa yang menjadi urusan ayah berarti menjadi urusan ibu pula dan sebaliknya."

   "Engkau anak haram yang kurang ajar!"

   Giok Keng tak dapat menahan kemarahannya lagi.

   "Enci Giok Keng...!"

   Hong Ing menjerit dengan muka pucat. Mei Lan memandang ibunya, lalu dengan mata penuh penasaran dia memandang Giok Keng, bahkan melangkah dekat, sedikitpun tidak takut.

   "Bibi Giok Keng, di dalam kitab-kitab aku membaca tentang pendekar-pendekar dan pahlawan-pahlawan wanita yang gagah perkasa, bersikap lemah-lembut, dan berbudi mulia, tetapi kenapa bibi begini kasar dan suka memaki orang? Apa maksud bibi memaki saya sebagai anak haram?"

   "Engkau kecil-kecil sudah kurang ajar! Dasar keturunan ayahmu yang juga tidak baik! Bibimupun manusia tak tahu sopan santun! Bibimu itu perlu dihajar dan akan kuhajar kalau ayahmu tidak bisa menghajarmu!"

   "Bibi bohong! Aku bukan anak haram! Bibi tukang fitnah!"

   "Mei Lan...! Enci Giok Keng...!"

   Hong Ing menjerit lagi penuh kengerian.

   "Kau berani bilang aku bohong, ya? Kau kira engkau ini apa? Engkau ini memang anak haram engkau anak ayahmu dari hubungan gelap dengan seorang wanita, dan kau bukan anak ibumu!"

   "Enci...! Kau...! terlalu...!"

   Hong Ing menjerit lagi dan melangkah maju, bukan hendak menyerang melainkan hendak mencegah Giok Keng bicara terus. Akan tetapi Giok Keng salah menduga, mengira bahwa Hong Ing akan menyerangnya. Maka tangannya bergerak mendorong cepat sekali dan Hong Ing terhuyung ke belakang. Mei Lan memandang ibunya. Mukanya pucat sekali, matanya liar,

   "Ibu...! Ibu... katakan bahwa bibi ini bohong!"

   Hong Ing terisak dan Giok Keng yang sudah meluap kemarahannya itu berkata,

   "Ya, katakanlah aku bohong! Hendak kulihat siapa tukang bohong, siapa menyimpan rahasia busuk, keluargaku ataukah keluargamu!"

   Dia marah sekali teringat akan penghinaan yang merasa diterimanya dari In Hong di tempat pesta.

   "Enci... ahhh... ya Tuhan, mengapa terjadi semua ini? Mei Lan... ke sinilah, jangan dengarkan dia..."

   Akan tetapi Mei Lan memandang ibunya dengan sinar mata aneh.

   "Ibu, katakan, benarkah aku bukan anak kandung ibu? Benarkah aku anak... anak haram?"

   "Mei Lan..."

   Keluh ibunya.

   "Katakanlah, ibu! Katakan!"

   Anak itu menjerit-jerit. Hong Ing mengeluh lalu mengangguk.

   "Engkau bukan anak kandungku... ya Tuhan, mengapa begini...?"

   Terdengar jerit melengking dan disusul isak tangis, Mei Lan meloncat dan lari keluar dari tempat itu.

   "Mei Lan...!"

   Hong Ing meloncat bangun kemudian menghadapi Giok Keng dengan mata betapi.

   "Enci Giok Keng, engkau kejam! Engkau merusak hidupnya! Sungguh tidak kusangka engkau akan sekejam ini. Biarlah, engkau atau aku yang mati...!"

   Dengan marah sekali Hong Ing yang dilanda kedukaan hebat itu lalu menyerang Giok Keng. Giok Keng menangkis dan balas memukul. Pukul-memukul terjadilah di ruangan dalam itu dan keduanya yang dikuasai kemarahan melakuken serangan-serangan yang dahsyat.

   "Eh, eh... apa yang terjadi ini? Toanio, jangan berkelahi! Lie-toanio..."

   Khiu-ma yang tidak tahu tentang ilmu silat itu dengan nekat mendekati mereka dengan maksud hendak memisah. Akan tetapi sebuah tendangan mengenai perutnya dan wanita ini terlempar dan terbanting roboh, pingsan!

   "Lie-toanio, kau sungguh keliru. Seorang tamu mana boleh..."

   Baru sampai di sini saja Giam Tun mencela, sebuah tamparan mengenai lehernya dan diapun terpelanting dan pingsan pula.

   "Enci Giok Kong, kau seperti kemasukan iblis!"

   Hong Ing memaki marah dan mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk memukul roboh lawannya. Akan tetapi, memang pada dasarnya dia kalah setingkat kalau dibandingkan dengan Giok Keng. Setelah bertanding di dalam ruangan itu, membuat meja kursi jungkir-balik tidak karuan, sebuah tamparan tangan kiri Giok Keng mengenai bawah telinga nyonya rumah dan Pek Hong Ing terguling roboh dan tak sadarkan diri. Giok Keng mengebut-ngebut pakaiannya, agak puas hatinya, merasa bahwa dia telah dapat membalas rasa penasarannya karena dihina oleh adik Kun Liong di depan orang banyak di tempat pesta. Dia tahu bahwa tiga orang itu hanya pingsan dan tidak terluka parah, maka setelah mendengus marah dia lalu meloncat dan keluar dari rumah itu.

   Kalau kita bicara tentang sebab akibat, maka segala akibat apapun yang terjadi di dalam dunia menimpa diri kita adalah disebabkan oleh diri kita sendiri. Oleh karena itu seorang bijaksana tidak akan memandang akibat, melainkan selalu waspada dan sadar akan segala gerak-gerik dari setiap pikiran dan perbuatan dirinya sendiri lahir batin karena dari setiap pikiran dan badan itulah yang menjadi sebab dari semua akibat, yang penting adalah mengenal diri pribadi sehingga setiap detik kita dapat waspada akan semua pikiran dan sikap kita, baik gerak tubuh maupun kata-kata. Yang penting adalah caranya, bukan tujuannya, karena tujuan tidak Akan jauh dari caranya, atau akibat tidak berbeda dengan sebabnya! Kalau caranya benar, maka akibat atau tujuan dari cara itu bukan merupakan persoalan lagi.

   Dan cara itu, cara hidup atau setiap gerak-gerik hati pikiran dan kata-kata perbuatan kita saat demi saat barulah benar apabila terbebas dari segala macam bentuk kekotoran yang timbul dari nafsu keinginian pribadi, dan kekotoran ini lenyap oleh kesadaran dan pengertian yang timbul pula dari pengawasan kita, pengenalan kita terhadap diri sendiri setiap saat. Cara yang tidak benar pasti akan menjadi sebab terjadinya akibat yang tidak benar pula, ini sudah pasti, sungguhpun cara itu sudah terlupa oleh kita, sudah tersembunyi di alam bawah sadar. Akan tetapi, pengertian ini bukan berarti bahwa kita lalu sengaja menggunakan cara yang benar untuk memperoleh akibat yang benar, kalau demikian maka cara itu sudah menjadi tidak benar karena mengandung pamrih keuntungan pribadi sehingga menjadi palsu. Kalau demikian, maka hanya akan terbentuk lingkaran setan belaka,

   Yaitu sebab menimbulkan akibat, dan akibat menjadi sebab pula dari akibat yang lain lagi! Inilah apa yang dinamakan hukum karma, tanpa kita buat sendiri dengan merangkaikan kemarin memasuki hari ini untuk sampai kepada esok hari! Dan ini akan berulang terus dan kita terseret di dalamnya! Oleh karena itu, yang penting adalah saat ini, sekarang ini! Setiap saat awas terhadap diri sendiri, bukan dalam arti kata menekan atau mengendalikan, hanya waspada tanpa pamrih, tanpa apa-apa, hanya waspada saja. Kewaspadaan setiap saat ini yang akan bekerja sendiri, tanpa pamrih dari si aku. Setiap kali bencana menimpa diri kita, keluarga kita, kita akan merasa tidak adil. Kematian orang yang kita kasihi, malapetaka yang menimpa membuat kita menjadi miskin, dan sebagainya, membuat kita merasa prihatin dan sengsara.

   Kita tidak membuka mata bahwa mala petaka itu setiap saat memang ada, menimpa kepada siapapun juga dan selalu akan terasa ada kesengsaraan dan kedukaan selama tidak terjadi perobahan hebat di dalam batin kita. Karena kesengsaraan dan kedukaan itu timbul dari dalam pikiran kita sendiri! Pada hari itu terjadi geger di kota Leng-kok terutama sekali di rumah Yap Kun Liong. Pendekar ini pagi-pagi sekali memasuki kota Leng-kok dan langsung dia menuju ke rumahnya. Semenjak hari kemarin, hatinya selalu tidak enak. Hal ini tadinya disangkanya sebagai akibat kunjungannya ke Cin-ling-pai dan mendengar tentang malapetaka yang menimpa keluarga Pendekar Sakti Cia Keng Hong. Dia menghadap pendekar yang sudah dianggapnya seperti pengganti ayahnya sendiri, juga gurunya, dan dengan tegas menyatakan kesediaannya untuk pergi mencari kembali pusaka Cin-ling-pai yang hilang dan membuat perhitungan dengan Lima Bayangan Dewa.

   Namun dengan tulus Cia Keng Hong menolaknya, mengucapkan terima kasih dan menyatakan bahwa urusan itu adalah urusan keluarganya, urusan pribadi dan sekarang Cia Bun Houw sudah pergi, bersama empat orang murid kepala Cin-ling-pai, untuk melakukan tugas itu secara terpencar. Kun Liong maklum bahwa orang tua itu sedang mengalami tekanan batin yang hebat dan menghiburpun tidak ada artinya. Maka dia tidak tinggal diam di Cin-ling-pai, lalu berpamit dan mulai saat itulah hatinya selalu terasa tidak enak. Lebih-lebih lagi malam tadi, dia gelisah sekali sehingga malam-malampun dia tidak mau berhenti dan melanjutkan perjalanan pulang ke Leng-kok. Keadaan Cin-ling-pai membuat hatinya seperti terhimpit juga dan dia ingin lekas-lekas bertemu dengan isterinya karena di dunia ini hanya ada satu orang yang akan dapat meringankan perasaannya apabila sedang terhimpit oleh keadaan, orang itu adalah Pek Hong Ing, isterinya tercinta.

   Kun Liong terkejut ketika melihat banyak orang berkumpul di rumahnya dan toko obatnya tidak dibuka seperti biasa. Matanya terbelalak bingung ketika melihat kain putih di pintu rumah, putih berkabung tanda bahwa ada yang mati. Lebih-lebih lagi ketika lapat-lapat dia mendengar suara tangis seorang wanita yang dikenalnya sebagai suara Khiu-ma! Jantungnya seperti berhenti berdetak, kakinya seperti mendadak kehilangan tenaganya dan dia berjalan menghampiri pintu rumahnya dengan muka pucat dan kaki terhuyung. Beberapa orang tetangga yang berada di depan, begitu melihat dia kontan menangis tersedu-sedu, wanita-wanita sesenggukan dan tidak ada yang berani memandangnya.

   "Ada apa...?"

   Suara ini jelas keluar dari mulutnya, akan tetapi dia sendiri tidak mendengarnya, seolah-olah suaranya telah lenyap ditelan kecemasan yang mengerikan. Dia melangkah masuk. Banyak orang di dalam dan kembali mereka ini menangis begitu melihatnya. Seorang wanita tetangga yang amat baik, seperti keluarga sendiri, menubruk kakinya, menjerit dan menangis sesenggukan tanpa bisa mengeluarkan suara.

   "Ada apa...?"

   Kini suara yang keluar dari tenggorokan Kun Liong terdengar keras sekali, menjerit penuh ketakutan, penuh kecemasan, penuh bayangan yang bukan-bukan. Tidak ada seorangpun menjawab akan tetapi semua mata ditujukan ke arah kamarnya dari mana terdengar tangis Khiu-ma yang jelas sekali sekarang, diiringi suara keluh kesah seorang laki-laki yang dikenalnya sebagai suara Giam Tun.

   "Apa yang terjadi...?"

   Kun Liong melangkah masuk ke pintu kamarnya dan tiba-tiba dia berdiri terpaku di ambang pintu, mukanya pucat sekali seperti mayat dan matanya terbelalak memandang ke atas pembaringan di kamar itu, seolah-olah dia tidak mau percaya akan apa yang dilihatnya. Dikejap-kejapkannya matanya, lalu digosok-gosoknya dengan kepalan tangan yang gemetar, akan tetapi tetap saja pemandangah itu tidak berobah.

   "Taihiap... uhhuu-hu-huuuuk...!"

   Giam Tun menoleh dan hanya dapat mengeluarkan seruan demikian , karena dia sudah berlutut dan menangis bergulingan diatas lantai. Khiu-ma menjerit.

   "Apa ini...? Apa ini...? Bakaimana...? Kenapa...?"

   Kun Liong makin terbelalak, bibirnya gemetar, banyak kata-kata yang keluar tanpa suara, lalu ditamparnya kepalanya sendiri untuk menyadarkannya dari mimpi buruk ini. Ini tentu mimpi buruk, bantahnya. Tak mungkin! Tidak mungkin Pek Hong Ing, isterinya tercinta, kini rebah di atas pembaringan itu dengan mata meram, bibir terkatup dan pakaian penuh darah yang sudah mengental.

   Tak mungkin! Akan tetapi tetap saja pemandangan itu tidak berobah. Dia meloncat ke depan, berlutut di pinggir pembaringan untuk memandang lebih tegas lagi. Dirabanya pipi isterinya. Dingin! Tangannya ditarik kembali seolah-olah dia menyentuh api, ditatapnya lagi wajah isterinya, lalu diliriknya dada yang terluka bekas tusukan pedang. Tiba-tiba dia menjerit dan semua orang yang berada di dalam kamar itu terjungkal, ada yang pingsan karena jerit itu mengandung kekuatan yang maha dahsyat. Tubuh pendekar itu terkulai, kepalanya diguncang keras-keras untuk mengumpulkan tenaga, dia memandang lagi, dirangkulnya mayat itu dan kini dia mengeluh, lalu merintih perlahan dan tubuhnya terkulai lemas, terjatuh pingsan di bawah pembaringan!

   Gegerlah kamar itu. Geger dari mereka yang menolong orang-orang pingsan, dan ada pula yang menggotong tubuh Kun Liong, diletakkan di atas dipan di dalam kamar itu. Seperti mayat saja tubuh pendekar ini. Wajahnya sepucat wajah jenazah isterinya. Dadanya tidak bergerak seolah-olah napasnya sudah putus. Giam Tun yang tadi tidak pingsan oleh jerit melengking tadi, hanya roboh terguling dan menggigil kini mendekati majikannya. Sebagai seorang ahli pengobatan dia tahu bahwa majikamya mengalami hantaman batin yang amat hebat. Dengan bercucuran air mata dia lalu mengambil obat dalam botol dan menggosok-gosokkan obat yang berbau keras itu di depan hidung majikannya. Semua orang memandang dengan terharu dan terutama kaum wanita tetangga mereka terisak-isak pilu. Kun Liong berbangkis dan membuka matanya. Begitu siuman, dia memandang liar. Dan cepat dia bangkit duduk.

   "Tidak mungkin! Hong Ing...!"

   Dia menoleh ke pembaringan dan meloncat. Berlutut di dekat jenazah isterinya.

   "Tidak mungkin! Sudah gilakah aku? Eh, Giam-lopek, sudah gilakah aku? Hong Ing mati? Tidak mungkin...!"

   Dia memeluk isterinya, meraba-raba, dan memeriksa luka di ulu hati itu, luka yang menembus sampai ke punggung!

   "Hong Ing... bagaimana ini...?"

   "Taihiap.... harap tenangkan hati, Taihiap..."

   Giam Tun berkata dengan suara gentar.

   
Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Apa...? Tenang...? Keluarlah, harap semua keluar... biarkan aku sendirian berdua dengan isteriku!"

   Giam Tun lalu memberi isyarat kepada semua tetangga untuk keluar. Mereka semua menanti di luar, tidak ada yang bicara, yang terdengar hanya isak tangis. Setelah semua orang pergi, Kun Liong merangkul leher isterinya, menciumi muka yang sudah dingin itu, mengelus pipinya, dagunya, rambutnya sambil bercuran air mata.

   "Hong Ing... isteriku... pujaanku... mengapa begini...? Mengapa...?"

   Orang-orang di luar hanya mendengar suara pendekar itu puluhan kali mengajukan pertanyaan "mengapa"

   Itu dan suara ini makin lama makin parau bercampur isak, membuat mereka menjadi terharu dan ikut pula menangis Dengan pengerahan kekuatan yang amat hebat, barulah Kun Liong dapat menguasai dirinya. Lebih dari tiga jam dia menangisi mayat isterinya. Kemudian dia bangkit, lalu melangkah keluar, dan berdiri di pintu, seperti mayat hidup! Wajahnya menjadi pucat sekali tanpa ada bayangan darah, matanya sayu tanpa sinar, mulutnya seperti orang menahan rasa nyeri, yang hebat dan dia seperti orang yang kehilangan ingatan, berdiri di luar pintu, dengan mata kosong memandang jauh melampaui orang-orang yang kumpul di situ.

   "Taihiap...!"

   Giam Tun berseru dan maju berlutut. Seruan ini menyadarkannya. Dia mengusap air matanya dengan punggung kepalan kedua tangannya, kanan kiri seperti seorang anak kecil kalau menangis. Khiu-ma menyeret sebuah kursi dan Kun Liong lalu menjatuhkan diri duduk di atas kursi itu.

   

Pedang Kayu Harum Eps 39 Petualang Asmara Eps 29 Petualang Asmara Eps 16

Cari Blog Ini