Pendekar Lembah Naga 36
Pendekar Lembah Naga Karya Kho Ping Hoo Bagian 36
"Suci, hayo kita cepat mengejar Sin Liong!"
Han Houw berkata dan sekali berkelebat, dia lenyap dari situ. Kim Hong Liu-nio mendengus ke arah Kui Hok Boan, lalu berkelebat pula dan lenyap! Kui Hok Boan, Siong Bu dan Beng Sin melongo keheranan dan bergidik melihat kelihaian dua orang yang seperti iblis itu.Kui Hok Boan lalu menghampiri dua orang puterinya dan membebaskan totokan atas diri mereka. Setelah dua orang puterinya itu bangkit berdiri, Kui Hok Boan mengelus jenggotnya memandang kepada mereka.
"Baik sekali nasib kita, terutama sekali nasibmu, Lan dan Lin, kalian menjadi tunangan seorang pangeran"
Lan Lan dan Lin Lin memandang kepada ayah mereka dengan mata terbelalak, seolah-olah ditampar karena mereka sungguh tidak mengerti mengapa ayahnya bersikap serendah itu. Mereka mengeluh dan berlari memasuki rumah sambil menangis! Kui Hok Boan mengira bahwa mereka itu seperti biasanya anak-anak perawan kalau mendengar tentang perjodohan mereka, merasa malu dan menangis, maka dia mengikuti mereka dengan suara ketawa puas.
"Paman, sebaiknya paman membawa Lan-moi dan Lin-moi dan cepat pergi dari sini!"
Tiba-tiba Kwan Siong Bu berkata. Kui Hok Boan menghentikan tawanya dan memandang heran.
"Eh, kenapa?"
"Bu-ko benar, paman. Sebelum mereka itu datang lagi, sebaiknya paman dan kedua adik sudah pergi dari sini dan Lan-moi berdua Lin-moi tidak akan menjadi korban!"
"Eh, eh, apakah kalian sudah menjadi gila? Lan Lan dan Lin Lin akan menjadi isteri atau setidaknya selir-selir pangeran! Itu merupakan suatu kehormatan besar! Mereka akan hidup mulia dan mewah di dalam istana, dan aku... aku akan disebut mertua pangeran. Ha-ha-ha, siapa kira kemuliaan akan kudapatkan melalui kedua anak kembarku itu!"
Siong Bu dan Beng Sin saling pandang dan muka mereka menjadi pucat.
"Akan tetapi, paman! Lan-moi dan Lin-moi akan menjadi permainan pangeran keparat itu!"
Siong Bu berseru.
"Dan mereka berdua tidak sudi menjadi permainan pangeran itu!"
Sambung Beng Sin. Kui Hok Boan memandang kepada mereka berdua dengan alis berkerut.
"Hal ini bukan urusan kalian dan kalian tidak usah mencampuri! Dan lain kali, tanpa perintahku, kalian tidak boleh lancang hendak turun tangan. Apa kalian kira kalian akan dapat menang melawan pangeran dan sucinya itu? Mereka adalah orang-orang sakti, selain sakti juga ber-kedudukan tinggi di istana! Menjadi musuh pangeran jelas celaka, sama dengan bunuh diri. Akan tetapi menjadi mertuanya, hemmm, bahkan kalian sendiri akan ikut terangkat derajat kalian! Pergilah!"
Dua orang pemuda itu dengan wajah pucat lalu pergi meninggalkan Kui Hok Boan yang masih berseri-seri membayangkan betapa bahaya maut yang baru saja mengancam dia sekeluarga berubah menjadi berkah yang sama sekali tak pernah dimimpikannya! Menjadi mertua pangeran! Bayangkan saja! Akan tetapi, bayangan-bayangan muluk dari Kui Hok Boan ini pada keesokan harinya berubah menjadi kebingungan dan kemarahan ketika melihat dua orang puterinya tidak berada di dalam kamar mereka. Kamar itu telah kosong dan dua orang puterinya telah lolos dan pergi meninggalkan rumah sambil membawa beberapa potong pakaian dan uang bekal,
Tanpa meninggalkan surat atau jejak. Lan Lan dan Lin Lin telah lolos dan pergi dari rumah itu karena mereka merasa muak dengan sikap ayah mereka, dan terutama sekali karena mereka tidak sudi diserahkan oleh ayahnya kepada pangeran itu! Mereka berdua mengambil keputusan untuk minggat dan mencari Sin Liong karena daripada ikut ayah mereka yang berwatak pengecut, pengkhianat dan penjilat itu, mereka lebih suka ikut merantau bersama kakak tiri mereka! Tentu saja Kui Hok Boan menjadi bingung dan panik seperti kebakaran jenggot! Bukan saja dia kehilangan dua orang puteri yang dicintanya, akan tetapi juga kehilangan bayangan muluk itu, dan terutama sekali dia akan terancam bahaya dari pihak pangeran itu dan sucinya kalau sampai dia tidak dapat menemukan kembali dua orang puteri mereka.
"Siong Bu! Beng Sin! Apa kerja kalian ini sampai tidak tahu mereka itu melarikan diri? Hayo kalian pergi cari mereka sampai dapat! Dan jangan pulang kalau belum berhasil menemukan mereka!"
Bentaknya dengan marah kepada dua orang pemuda itu. Kwan Siong Bu dan Tee Beng Sin lalu membawa senjata dan pakaian, berangkat mencari dua dara kembar itu dan agar lebih cepat bisa berhasil, mereka berpencar, Siong Bu mengejar ke barat dan Beng Sin mengejar ke timur. Tinggal Kui Hok Boan seorang diri dan dia duduk termenung di depan rumah, wajahnya muram membayangkan kedukaan, kekecewaan dan kekhawatiran.
Setiap keinginan untuk menyenangkan diri sendiri SELALU mendatangkan pertentangan, kebencian dan kesengsaraan! Keinginan untuk menyenangkan diri sendiri ini dapat saja berselubung dengan pakaian atau istilah yang lebih tinggi, lebih halus atau lebih mulia, seperti "demi kebahagiaan anak", demi kemajuan golongan, demi partai, demi agama, atau demi bangsa. Padahal, semua itu hanya berintikan "demi aku"
Yang berarti pengejaran keinginan untuk senang pribadi itulah!Di mana terdapat pamrih menyenangkan diri sendiri, di situ sudah pasti TIDAK ADA cinta kasih! Pamrih menyenangkan diri pribadi meniadakan cinta kasih, karena demi untuk mencapai kesenangan itu segala sesuatu adalah benar atau salah disesuaikan dengan tujuan mencapai kesenangan itu.
Dan siapapun juga orangnya, yang menjadi perintang untuk mencapai kesenangan bagi diri sendiri, sudah pasti akan ditentang, dibenci dan dimusuhi. Maka terjadilah pertentangan, permusuhan, kebencian, yang semua itu merupakan pintu-pintu yang lebar menuju jurang kesengsaraan. Seperti juga Kui Hok Boan dalam menghadapi perkara itu. Bisa saja dia mengemukakan alasan bahwa kalau sampai kedua orang puterinya menjadi isteri atau selir pangeran, tentu dua orang puterinya itu akan berbahagia hidupnya. Seolah-olah kebahagiaan kedua orang puterinya itu dialah yang menentukan! Dan kalau dua orang puterinya itu menentang, dia lalu menjadi marah, benci, duka, kecewa! Inikah yang dinamakan cinta kasih orang tua terhadap anaknya? Betapa banyaknya orang tua yang baik disadarinya maupun tidak, bertindak seperti Kui Hok Boan ini, dan toh masih merasa benar selalu.
Benarnya sendiri! Orang tua seperti ini selalu menganggap bahwa dia LEBIH MENGERTI, lebih berpengalaman, lebih ini dan itu sehingga dia berhak menentukan jalan hidup anaknya menurut dia, tentu akan berbahagia! Semua diaturnya, dengan alasan demi anaknya demi kebahagiaan anaknya, akan tetapi kalau si anak menolak dia menjadi marah dan membenci anaknya! Inikah cinta kasih? Yang setiap saat berubah menjadi benci kalau keinginannya dibantah? Betapa bodohnya, betapa butanya! Bukankah orang yang mencinta akan merasa ikut bahagia kalau melihat orang yang dicintanya itu berbahagia dan ikut berduka kalau melihat orang yang dicintanya itu sengsara? Cinta yang menuntut kesenangan untuk diri pribadi sama sekali bukan cinta, melainkan nafsu memuaskan diri sendiri belaka.
Orang bisa saja, dan semua ini adalah lihainya sang pikiran, lihainya si aku, menyelubungi pula si aku yang ingin senang sendiri itu dengan istilah yang muluk-muluk, seperti pengorbanan. Cinta adalah pengorbanan, katanya. Padahal, orang yang merasa bahwa dia telah berkorban diri demi cinta juga menginginkan kesenangan melalui pengorbanan itulah, yang menimbulkan bangga diri merasa suci, dan sebagainya lagi yang tak lain tak bukan juga merupakan kesenangan, yang dikejar. Dan semua bentuk kesenangan, yang kasar, yang halus, yang rendah, yang tinggi, selalu pasti dibayangi oleh kekecewaan, kebosanan dan kedukaan. Orang tua yang bijaksana tidak akan mengekang anaknya, tidak akan menekan anaknya, tidak akan mempergunakan anaknya untuk menyenangkan diri sendiri, membanggakan diri sendiri, tidak akan memperalat si anak untuk mendatangkan kepuasan, kebanggaan, atau kesenangan bagi diri sendiri.
Tidak mengekang, bukanlah berarti acuh tak acuh, bukan berarti tidak perduli kepada si anak. Sebaliknya malah. Cinta kasih selalu diikuti perhatian yang menyeluruh! Perhatian terhadap si anak, bukan terhadap keinginan diri sendiri! Kalau ada keinginan di sini, satu-satunya keinginan hanyalah melihat anaknya menjadi seorang manusia yang bahagia, benar dan bajik, di samping pelajaran-pelajaran yang menjadi syarat dalam kehidupan di dunia ramai. Sungguh patut disayangkan betapa hampir saja sebagian orang tua hanya ingin melihat anaknya menjadi orang yang berhasil, dalam arti kata menjadi kaya raya, berkedudukan tinggi, dihormati, tidak kalah oleh orang-orang lain, dan sebagainya lagi. Padahal, jelas nampak bahwa kebahagiaan bukan terletak dalam kesemuanya itu.
"Eh, di manakah aku...?"
Bi Cu membuka matanya dan ketika dia melihat bahwa dirinya berada dalam pondongan Sin Liong, dia cepat meronta. Sin Liong melepaskannya dan mereka berdiri saling pandang. Malam telah berganti pagi biarpun sang matahari sendiri masih belum nampak cahayanya telah menciptakan sinar kuning keemasan yang cerah di permukaan bumi.
"Di mana kita...? Dan kenapa kau memondongku ke tempat ini, Sin Liong?"
Kalimat terakhir ini diucapkan dengan nada menegur dan pandang matanya penuh tuntutan.
"Ah, engkau tidak tahu, Bi Cu. Semalam suntuk aku terpaksa berlari-lari memondongmu sampai ke sini, dikejar-kejar orang!"
Sin Liong pura-pura mengomel dan memijit-mijit lengan kirinya yang memondong tadi.
"Semalam suntuk dikejar-kejar orang? Dan aku terus kau pondong? Aih, sungguh luar biasa sekali! Kenapa aku tidak terbangun? Padahal, biasanya biarpun aku sedang tidur nyenyak sekali, sedikit suara nyaring saja cukup membangunkan aku, apalagi sampai dipondong dan dibawa lari semalam suntuk! Aneh sekali!"
Dara remaja itu memijit-mijit pelipisnya.
"Dan aku masih merasa pening..."
"Tidak aneh karena engkau telah menjadi korban minuman yang mengandung obat bius."
"Aku? Dibius? Ah, Sin Liong, apakah yang telah terjadi? Bukankah kita tadinya menjadi tamu dari ayah tirimu... ah, kini ingat aku! Apakah kau maksudkan arak itu mengandung obat bius?"
Sepasang mata itu terbelalak dan bersinar-sinar demikian tajamnya seolah-olah dapat menembus dada Sin Liong.Sin Liong menarik napas panjang, teringat akan pengkhianatan Kui Hok Boan dan juga pertolongan kedua orang adik tirinya. Sepanjang malam ketika dia melarikan diri, dua hal ini selalu terbayang dalam ingatannya, membuat dia terheran-heran dan bingung. Ayah tirinya mengkhianatinya, akan tetapi puteri-puteri ayah tirinya itu demikian baik kepadanya. Tidak tahu dia apakah hal itu akan membuat dia menangis atau tertawa!
"Bi Cu, dugaanmu benar. Arak yang disuguhkan kepada kita itu mengandung obat bius, maka setelah minum beberapa cawan engkau lalu terbius dan tidur nyenyak semalam suntuk sehingga engkau bahkan tidak merasa bahwa engkau kubawa lari sepanjang malam."
"Akan tetapi... engkau sendiri kulihat juga minum arak itu, kenapa engkau tidak terbius?"
Gadis ini terlampau cerdas, kalau dia tidak berhati-hati, mana dia dapat menyembunyikan kepandaiannya? Matanya terlalu awas, otaknya terlalu tajam!
"Ah, akupun tadinya sudah terbius dan sudah merasa pening ketika kita bersama menuju ke kamar kita masing-masing, akan tetapi belum kuceritakan kepadamu bahwa dalam perantauanku, aku pernah bekerja kepada toko obat sehingga aku tahu gejalanya ketika itu. Karena pening itu aku dapat menduga bahwa aku minum obat bius, maka, aku cepat menelan pel penawar racun yang kebetulan hanya tinggal sebuah dan selama itu kusimpan dalam saku baju. Pel itu menawar racun obat bius itu sehingga aku tidak sampai tidur nyenyak seperti engkau, Bi Cu."
"Ah, engkau licik akan tetapi ceroboh, Sin Liong. Semestinya dalam keadaan seperti itu, engkau memberikan obat itu kepadaku sehingga bukan aku yang terbius, melainkan engkau."
"Eh? Kenapa begitu?"
"Kalau engkau yang terbius dan aku masih sadar, bukankah aku dapat melindungimu kalau ada bahaya mengancam? Dalam keadaan seperti itu yang lebih kuat berkewajiban menghadapi bahaya yang mengancam."
Sin Liong tersenyum.
"Baiklah, lain kali akan kuingat kata-katamu itu, Bi Cu."
"Sudahlah, buktinya engkau juga dapat menyelamatkan diri kita, hanya kasihan, engkau harus memondongku semalam suntuk, tentu pegal-pegal rasa lenganmu."
Sin Liong memijit-mijit lengannya.
"Seperti hampir patah rasanya!"
Akan tetapi sekarang teringat olehnya betapa hangat dan lunak tubuh yang dipondongnya semalam itu, biarpun ketika melarikan diri dia tidak ingat sama sekali akan hal itu, dan baru sekarang dia teringat yang membuat jantungnya berdebar aneh.
"Akan tetapi... mengapa ayah tirimu itu membius kita, Sin Liong? Padahal dia begitu baik dan ramah..."
Bi Cu tiba-tiba menahan kata-katanya karena teringat kini betapa sinar mata tuan rumah itu amat kurang ajar seperti hendak menelanjanginya, sinar mata yang seperti dapat dia rasakan menjelajahi tubuhnya, sinar mata cabul! Kembali Sin Liong menarik napas panjang. Inilah bagian-bagian yang paling sulit dalam pertanyaan-pertanyaan Bi Cu, dan dia tidak boleh berbohong.
"Bi Cu, Kui Hok Boan itu hendak menangkap kita, hendak menyerahkan kita kepada pasukan pemerintah, bahkan dia telah mengirim surat kepada seorang perwira di kota raja, memberitahukan tentang adanya kita di rumahnya."
"Ah, sungguh jahat!"
Teriak Bi Cu.
"Sungguh sikap manisnya itu hanya sebagai topeng domba di balik muka srigala! Akan tetapi... bagaimana engkau bisa tahu akan pengkhianatannya itu dan dapat melarikan diri, bahkan membawa aku yang masih terbius nyenyak?"
Gadis itu memandang penuh perhatian kepada wajah Sin Liong, seperti hendak menyelidiki keadaan pemuda itu.
"Kalau tidak ada Lan-moi dan Lin-moi, tentu sekarang kita sudah tertawan pasukan kerajaan, Bi Cu. Semalam, tanpa diketahui orang, Lin-moi memasuki kamarku lewat jendela dan dia menceritakan semuanya. Dia bersama Lan-moi disuruh mengantarkan surat oleh ayah mereka kepada seorang perwira di kota raja. Karena curiga mereka berdua membuka surat itu di tengah jalan dan tahulah mereka bahwa surat itu berisi pemberitahuan bahwa kita berada di rumah mereka. Karena tidak berani membangkang, Lan-moi melanjutkan perjalanan ke kota raja, akan tetapi surat itu pagi hari ini baru akan diserahkan, sedangkan Lin-moi bertugas pulang untuk memberi tahu kepada kita. Nah, mendengar penuturan Lin-moi, aku lalu memasuki kamarmu lewat jendela dan membawamu kabur dari sana, dibantu oleh Lin-moi yang memancing perhatian para penjaga sehingga mudah bagiku untuk berlari keluar."
"Hebat sekali! Adik-adik tirimu itu benar manis dan gagah, Sin Liong, aku makin suka kepada mereka! Sungguh aneh, ayah tirimu itu demikian curang, akan tetapi sebaliknya anak-anaknya demikian baik. Bagaimana ini?"
Sin Liong menggeleng kepala.
"Aku sendiripun tidak mengerti, semalam suntuk dua hal yang berlawanan itu menghantui pikiranku."
"Aihh, aku tahu! Tentu saja begitu..."
Tiba-tiba Bi Cu berseru dan wajahnya berseri, sikapnya seperti orang yang baru saja dapat memecahkan suatu teka-teki yang sulit.
"Apa yang kau tahu? Bagaimana?"
"Tentu saja! Ayah tirimu itu seorang yang curang dan khianat, pendeknya seorang yang jahat! Akan tetapi Lan Lan dan Lin Lin tidak menuruti watak ayah mereka, melainkan mewarisi watak gagah dan baik dari mendiang ibumu! Tentu saja begitu, maka mereka demikian baik."
Sin Liong mengangguk-angguk, dan dia dapat percaya pendapat ini, juga hatinya girang karena ucapan Bi Cu itu sekaligus memuji-muji ibunya yang dikatakannya gagah dan baik, padahal Bi Cu belum pernah bertemu dengan ibunya.
"Sin Liong, marilah kita kembali ke sana. Aku harus menghajar ayah tirimu yang curang dan jahat itu!"
Tiba-tiba Bi Cu berkata sambil mengepal tinjunya. Diam-diam Sin Liong tersenyum dalam hati melihat lagak ini. Dia tahu bahwa kepandalan Bi Cu masih jauh untuk dapat menandingi kepandaian ayah tirinya.
"Mana mungkin itu, Bi Cu? Sekarangpun agaknya sudah ada pasukan yang menuju ke dusun itu, bahkan setelah menerima penjelasan, tentu akan mengejar kita ke sini."
"Ohh! Kalau begitu, bagaimana baiknya? Di mana kita ini sekarang, dan hendak pergi ke mana?"
"Aku sengaja mengambil jalan pegunungan yang penuh hutan liar ini, Bi Cu. Aku lari menuju ke barat dan setelah tiba di sini, kita menyusuri pegunungan ini membelok ke utara. Kita pergi ke Lembah Naga dan ke tempat tinggal mendiang ayahmu untuk menyelidiki kematian ayahmu, tanpa melewati kota raja."
"Baik, dan aku berterima kasih kepadamu, Sin Liong,"
Bi Cu memegang lengan pemuda itu.
"Percayalah, kalau ada kesempatan, aku akan membalas pertolonganmu itu, dan aku tidak akan ogah untuk menggendongmu semalam suntuk!"
"Wah, kalau bisa jangan terjadi hal itu. Aku tentu akan ditertawakan orang, sebagai seorang laki-laki digendong seorang wanita."
Sin Liong menjawab.
"Mari kita melanjutkan perjalanan. Di depan itu ada hutan besar, kita memasuki hutan dan mencari sesuatu yang dapat dimakan."
Demikianlah, pemuda dan pemudi remaja ini melanjutkan perjalanan mereka, masuk keluar hutan, naik turun gunung dan jurang-jurang karena mereka melalui jalan liar yang sama sekali tidak mereka kenal. Penunjuk jalan mereka hanyalah matahari. Mereka tahu arah utara, yaitu jika pagi hari matahari berada di sebelah kanan mereka dan pada sore hari matahari berada di sebelah kiri mereka. Kadang-kadang mereka melewati dusun pegunungan dan di setiap dusun mereka diterima dengan ramah dan baik oleh para penghuni dusun yang rata-rata berwatak polos, jujur dan penuh perikemanusiaan itu.
Akan tetapi, Sin Liong dan Bi Cu yang masih hijau dan belum berpengalaman dalam taktik sebagai buronan itu tidak tahu bahwa justeru di dusun-dusun inilah mereka meninggalkanjejak yang jelas sekali! Para pemburu mereka tentu akan dapat mencari keterangan tentang mereka di dusun-dusun ini, dan tentu para penghuni dusun yang jujur itu akan menceritakan kepada siapapun juga tentang mereka berdua! Setelah melakukan perjalanan beberapa hari lamanya, mereka telah melewati batas Propinsi Ho-pei dan Shen-si, melalui kaki Pegunungan Tai-hang-san. Pada hari itu, pagi-pagi sekali mereka telah tiba di depan sebatang sungai yang besar dan karena, pada waktu itu banyak turun hujan, maka air sungai meluap dan membanjir! Tidak nampak sebuahpun perahu di sekitar tempat itu dan dua orang muda itu berdiri di tepi pantai dengan bimbang ragu dan bingung.
"Wah, mengapa sungai ini menghalangi perjalanan kita?"
Bi Cu mengomel dan bersungut-sungut.
"Aih, Bi Cu, engkau sungguh tidak adil kalau menyalahkan sungai ini. Sudah beratus tahun, mungkin ribuan tahun lamanya, sungai ini tentu sudah ada di sini dan mengalir tiada hentinya. Dan hari ini, kita yang, muncul di sini. Mengapa kau menyalahkan dia yang tidak berdosa? Lebih tepat menyalahkan kita yang mengambil jalan sampai di sini."
Bi Cu makin cemberut.
"Menyalahkan sungai tidak benar, menyalahkan diri sendiripun apa gunanya? Sekarang ini bagaimana? Menyeberang sungai ini tanpa perahu, sungguh tidak mungkin!"
"Heran mengapa ada perahu di sini?"
Sin Liong menoleh ke kanan kiri.
"Tidak heran! Sungai banjir begini, tentu para nelayan sudah pergi. Mau apa berperahu di tempat berbahaya begini? Ikan-ikanpun tentu pada sembunyi, dan tidak ada pelancong yang begitu gila untuk menyeberang. Tentu perahu-perahu itu telah ditarik ke darat oleh para nelayan agar jangan diseret pergi oleh air bah."
"Wah-wah, agaknya engkau mengerti betul tentang kehidupan nelayan."
"Tentu saja! Suhu pernah mengajakku hidup beberapa bulan di perkampungan nelayan dan aku malah pernah membantu mereka mencari ikan."
"Kalau begitu engkau tentu pandai berenang?"
"Tentu saja!"
"Wah, engkau ini gadis si segala bisa!"
"Apa engkau tidak pandai berenang, Sin Liong?"
Tentu saja Sin Liong dapat berenang dengan baik, karena ketika dia hidup secara liar di dalam hutanpun dia sudah sering kali mandi di telaga kecil dalam hutan yang cukup dalam. Akan tetapi dia menggeleng kepala dan merenungi sungai itu, seperti hendak mengukur dan menaksir dengan pandang matanya apakah mungkin menyeberangi sungai lebar yang sedang banjir itu dengan cara berenang.
"Bi Cu, apakah engkau dapat berenang menyeberangi sungai ini?"
"Hanya orang gila yang akan berenang menyeberangi sungai banjir seperti ini! Dia tentu akan hanyut dan tewas. Tidak, kurasa aku tidak akan mampu menyeberanginya, Sin Liong. Lebih baik kita mencari perahu. Kalau kita menyusuri tepi sungai, tentu akhirnya kita akan bertemu orang yang mempunyai perahu."
Sin Liong setuju dan mereka berdua lalu berjalan mengikuti aliran sungai yang menuju ke timur itu. Setelah matahari naik tinggi, mereka tiba di sebuah perkampungan nelayan dan benar seperti diduga oleh Bi Cu tadi, perahu-perahu nelayan itu mereka ungsikan sampai jauh ke daratan agar jangan terseret oleh banjir, dan setiap perahu dicancang pada sebatang pohon. Giranglah hati mereka berdua melihat ini dan dengan wajah berseri mereka berlari-lari menghampiri sebuah rumah yang berada di barisan pertama. Sin Liong menghampiri daun rumah dan mengetuknya. Ketukan itu seperti aba-aba saja karena serentak muncullah banyak orang dengan pakaian seragam. Pasukan tentara kerajaan! Melihat ini, Bi Cu mengeluarkan jerit tertahan.
"Ha, inilah mereka, buronan-buronan itu!"
Teriak seorang anggauta pasukan.
"Tangkap mereka!"
Bentak seorang perwira.
"Bi Cu, lari...!"
Sin Liong berseru, menggandeng tangan gadis itu dan melarikan diri menjauhi dusun.Hanya sebentar saja Bi Cu menjadi gugup. Dia lalu teringat bahwa dialah yang lebih kuat daripada Sin Liong, maka dialah yang sepatutnya memimpin untuk menyelamatkan diri mereka berdua.
"Lekas... ke sungai...! Tak mungkin lari...!"
Katanya dan memang kini terdengar derap kaki kuda yang ditunggangi para anggauta pasukan itu. Kini Bi Cu yang berbalik menarik tangan Sin Liong diajak lari menuju ke sungai. Setelah tiba di tepi sungai Sin Liong berkata,
"Tapi... tapi... mana mungkin kita berenang di air yang deras itu...?"
"Kita terpaksa, hanya jalan satu-satunya. Lihat, mereka sudah dekat! Hayo cepat!"
Bi Cu menarik tangan Sin Liong dan keduanya terjun ke dalam air sungai! Gelagapan juga Sin Liong ketika terseret arus air yang amat kuat. Bi Cu menggerakkan kaki tangan melawan arus dan berusaha menarik pundak baju Sin Liong. Akan tetapi pada saat itu, beberapa orang tentara telah meloncat turun dari atas punggung kuda mereka, memegang busur dan anak panah, lalu mereka menyerang dua orang yang melarikan diri itu dengan anak panah.Melihat ini, Sin Liong cepat menggerakkan tangan dan kaki untuk menangkis dan setiap anak panah yang menyambar tepat ke arah mereka, dapat diruntuhkannya dengan gerakan ini. Akan tetapi, gerakannya itu membuat Bi Cu menjadi sibuk. Dara ini tidak melihat adanya serangan itu karena dia sibuk melawan arus.
"Ah... eh... jangan meronta-ronta... kau menurut sajalah kutarik... aku akan menyelamatkanmu, Sin Liong...!"
Kata Bi Cu sambil terengah-engah dan menarik Sin Liong makin ke tengah. Arus air sungai itu makin deras dan kuat bukan main. Sin Liong merasakan hal ini dan dia terkejut bukan main. Bahaya di air ini ternyata lebih besar daripada bahaya yang menanti di darat. Kenapa dia tadi menurut saja ketika ditarik oleh Bi Cu? Kenapa dia masih bersikeras untuk menyembunyikan kepandaiannya? Kalau dia tadi berada di darat, dia masih mampu memanggul Bi Cu melarikan diri dan serangan-serangan anak panah itu tidak ada artinya baginya. Namun, kini telah terlanjur dan dia harus melawan arus air yang amat kuat itu.
"Menyelamlah... kita menyelam... itu mereka membawa anak panah...!"
Baru sekarang Bi Cu melihat pasukan anak panah itu berjajar di tepi sungai. Bi Cu berusaha untuk menarik Sin Liong menyelam,
(Lanjut ke Jilid 34)
Pendekar Lembah Naga (Seri ke 04 "
Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 34
dan Sin Liong tetap meronta untuk menangkisi anak panah yang menyambar-nyambar. Rontaannya ini membuat Bi Cu kewalahan dan akhirnya mereka terseret oleh arus air yang kuat, bergulingan dan gelagapan! Sin Liong timbul kembali dan melihat seorang pemuda berpakaian mewah di pantai. Agaknya pemuda itu mencegah pasukan anak panah melakukan serangan, karena pemuda itu bukan lain adalah Ceng Han Houw dan tak jauh dari pemuda itu berdiri Kim Hong Liu-nio!
"Sin Liong... ah... hauppp...!"
Bi Cu meraih-raih dan akhirnya mereka dapat saling berpegangan.
"Jangan pergunakan anak panah! Tangkap mereka hidup-hidup!"
Terdengar Han Houw berseru. Kemudian dia berteriak pula.
"Liong-te, mengapa membunuh diri? Aku akan menolongmu, jangan khawatir, tidak akan ada yang mengganggumu. Kau tangkaplah tali ini!"
Han Houw melontarkan sehelai tali panjang dan tali itu meluncur cepat sekali, ujungnya terjatuh di dekat Sin Liong.
"Tidak... jangan pegang... mereka akan membunuhmu...!"
Bi Cu membantah dan merangkul Sin Liong, mencegah pemuda itu memegang ujung tali. Karena ini, ujung tali itu terbawa hanyut oleh air sehingga terpaksa Han Houw menariknya kembali, menggulungnya dan kembali dia memutar-mutar tali di atas kepalanya
"Liong-te, kau tangkap ujung tali, jangan khawatir, aku akan melindungimu!"
Tali itu dilemparkan dengan amat kuatnya dan kini tepat mengenai tubuh Sin Liong yang cepat menangkapnya.
Pendekar Lembah Naga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Jangan, Sin Liong...!"
"Tidak apa-apa, Bi Cu. Dia itu kakak angkatku, lebih baik kita di darat daripada mati konyol di air. Di darat, setidaknya kita dapat membela diri."
Lalu ditambahnya sambil tersenyum, sengaja memanaskan hati gadis yang wataknya keras ini,
"Apakah engkau takut menghadapi mereka di darat?"
"Aku? Takut?"
Bi Cu membentak.
"Hayo kita mendarat!"
Sin Liong saling berpegang tangan dengan Bi Cu, dan tangannya yang sebelah lagi memegangi ujung tali yang dia libatkan pada lengannya.
Tali itu kini ditarik oleh Han Houw ke pinggir. Akan tetapi saking derasnya air, dua orang muda itu masih terbanting-banting dan terguling-guling. Setelah mereka tiba dalam jarak tiga meter dari tepi sungai, tiba-tiba Han Houw mengeluarkan seruan keras dan membetot tali itu sekuat tenaga. Karena tali itu melibat lengan Sin Liong, maka pemuda ini tertarik dan melayang ke atas bersama Bi Cu yang saling berpegang tangan dengan dia! Sin Liong berjungkir balik ketika turun ke atas tanah, akan tetapi dia melihat betapa Bi Cu sudah ditolong oleh Han Houw yang dengan cekatan tadi telah menyambut tubuh dara itu dengan tangkas. Sin Liong merasa bersyukur, akan tetapi betapa kaget hatinya ketika dia melihat Han Houw menangkap kedua lengan dara itu dan ditelikungnya ke belakang.
"Houw-ko... apa yang kau lakukan itu...?"
Bentaknya. Para anggauta pasukan segera mengurungnya dengan senjata ditodongkan, akan tetapi Han Houw membentak mereka, menyuruh mereka itu mundur. Kim Hong Liu-nio hanya memandang dengan senyum dingin, agaknya wanita ini membiarkan saja segala yang dilakukan oleh sutenya yang juga merupakan junjungannya.
"Pangeran, sebaiknya kita bunuh saja bocah keparat ini!"
Katanya perlahan sambil memandang kepada Sin Liong. Semenjak Han Houw menjadi pangeran dalam istana Kerajaan Beng, suci ini menyebut pangeran terutama sekali di tempat umum. Sambil tersenyum Han Houw menoleh kepada perempuan cantik itu.
"Eh, suci, apa kau lupa bahwa dia itu adik angkatku yang tercinta? Siapa yang berani membunuhnya akan berhadapan dengan aku sendiri! Bukankah begitu, Liong-te? Bukankah kita telah bersumpah sebagai kakak beradik?"
"Memang benar, Houw-ko, akan tetapi sikapmu ini sungguh tidak dapat dinamakan sikap seorang kakak angkat yang baik. Hayo kau lepaskan Bi Cu."
"Nona ini? Ha-ha, dia ini cantik dan gagah pula, pantas kalau engkau jatuh cinta padanya, Liong-te..."
"Jangan bicara yang tidak-tidak!"
Sin Liong cepat memotong dan wajahnya berubah merah sekali, sedangkan Bi Cu meronta-ronta hendak melepaskan kedua tangannya, akan tetapi tangan yang memegang kedua pergelangan tangannya itu terlalu kuat baginya.
"Ha-ha, engkau masih seperti dulu, Liong-te, kokoh kuat seperti batu karang, dingin beku seperti es di musim salju. Akan tetapi sekali api cinta membakar hatimu, engkau akan berkobar seperti lautan api. Ha-ha-ha! Liong-te, aku terpaksa menawan dia ini agar engkau tidak melakukan kenekatan yang bukan-bukan. Kalau engkau menyerah baik-baik, aku tidak akan mengganggu dia ini."
Sin Liong mengerutkan alisnya. Dia memang suka kepada Han Houw dan dia percaya kepada pangeran ini, akan tetapi dia juga tahu bahwa pangeran ini mempunyai watak aneh luar biasa dan kalau sudah hendak membunuh orang, agaknya sama seperti kalau membunuh ayam saja.
"Kau berjanji akan membebaskan dia?"
"Aku berjanji, asal engkau menyerah dan engkau penuhi pula permintaanku yang patut."
"Permintaanmu yang patut?"
Sin Liong tersenyum mengejek.
"Benar-benar patut dan sudah semestinya. Akan kukatakan kepadamu nanti, akan tetapi agar tetap aman, engkau menyerah. Suci, totok dia dan Sin Liong, kalau engkau melawan, nona ini akan kubunuh lebih dulu!"
Kim Hong Liu-nio tersenyum mengejek.
"Merobohkan setan cilik ini apa sukarnya, pangeran?"
Setelah berkata demikian, wanita itu menghampiri Sin Liong dan tangan kirinya bergerak cepat sekali. Kalau Sin Liong mau, tentu saja dia akan dapat mengelak atau menangkis, akan tetapi dia melihat sinar mata dari Han Houw dan dia tidak berani berkutik. Dia tahu betul bahwa sekali dia melawan, sekali pukul saja Han Houw akan mampu membunuh Bi Cu! Maka dia menyimpan tenaganya dan membiarkan dirinya ditotok. Begitu jari tangan Kim Hong Liu-nio mengenai tubuhnya, robohlah Sin Liong dalam keadaan lumpuh, tidak mampu menggerakkan kaki tangannya.
"Ha-ha-ha, mari kita bicara baik-baik dalam rumah, Liong-te. Ringkus dia dan belenggu baik-baik, juga nona ini!"
Tiba-tiba Bi Cu merasa pundaknya ditekan dan diapun mengeluh lirih, lalu terguling dan lumpuh karena dia telah ditotok pula oleh Han Houw.
Para perajurit cepat mengikat kedua kaki tangan Sin Liong dan Bi Cu, mengikat kedua tangan ke belakang tubuh, kemudian beramai-ramai mereka menggotong dua orang tawanan itu memasuki sebuah rumah yang paling besar di antara rumah-rumah nelayan itu, karena ini adalah rumah kepala dusun itu. Atas perintah Han Houw, Bi Cu yang dibelenggu kaki tangannya itu dibawa ke dalam sebuah kamar dan direbahkan ke atas pembaringan, sedangkan Sin Liong didudukkan di atas sebuah bangku ruangan luar, di mana terdapat sebuah meja dan Han Houw duduk di atas kursi di belakang meja itu dengan lagak seorang hakim yang hendak mengadili seorang pesakitan. Pangeran ini lalu melepaskan topinya karena hawa dalam rumah itu agak panas,
Bahkan melepaskan baju bulunya dan memakai pakaiah biasa dari sutera tipis sehingga dia nampak lebih tampan. Sambil tersenyum dia lalu memandang kepada Sin Liong dan memberi isyarat dengan tangan agar para pengawal yang menjaga di ruangan itu pergi semua. Tanpa diminta, Kim Hong Liu-nio yang tadinya duduk pula di sudut, mengangkat pundak dan pergi meninggalkan ruangan itu. Wanita ini maklum pula bahwa sang sute yang menjadi junjungannya itu ingin bicara berdua saja dengan tawanannya, maka sebelum sute itu minta dia pergi, dia telah mendahuluinya meninggalkan ruangan. Biarpun Ceng Han Houw seorang pangeran yang sudah sepantasnya memerintah dia, namun dia selalu merasa tidak enak kalau diperintah pangeran yang menjadi sutenya ini, apalagi di depan para perajurit atau orang-orang lain.
Sin Liong masih dalam keadaan terbelenggu dan tertotok. Kalau dia menghendaki, agaknya dia akan mampu membebaskan diri dari totokan itu, apalagi dari belenggu yang baginya tidak banyak berarti itu. Akan tetapi Sin Liong bukanlah orang bodoh untuk bertindak ceroboh. Dia tahu bahwa keselamatan Bi Cu terancam bahaya, maka dia berpura-pura tidak berdaya sambil memikirkan bagaimana cara sebaiknya untuk menolong Bi Cu dan pergi membebaskan diri dari Han Houw dan pasukannya. Untuk melawan dengan kekerasan, amat berbahaya bagi keselamatan Bi Cu. Dia sendiri tidak takut menghadapi Han Houw, Kim Hong Liu-nio dan pasukannya, akan tetapi bagaimana dengan Bi Cu? Apa artinya dia dapat lolos kalau dara itu tertawan! Han Houw kini tertawa dengan sikapnya yang khas, tertawa dan tersenyum lepas sehingga wajahnya makin menarik dan tampan. Sepasang matanya yang tajam itu memandang wajah Sin Liong ketika dia tertawa.
"Ha-ha, sungguh tak kusangka kita akan saling berhadapan seperti ini, engkau terbelenggu seperti seorang musuh! Rasanya seperti mimpi saja, atau seperti main sandiwara!"
Kembali pangeran itu tertawa seperti orang yang merasa amat geli melihat peristiwa yang lucu.
"Hemm, aku sendiri juga merasa heran, Houw-ko, mengapa engkau melakukan hal seperti ini kepadaku setelah dahulu engkau mengajakku untuk bersembahyang dan bersumpah menjadi kakak dan adik angkat,"
Kata Sin Liong dengan suara dan sikap dingin. Han Houw mengangkat alis, membelalakkan mata dan mengembangkan kedua lengannya.
"Aih, kenapa engkau malah menyalahkan aku, Liong-te? Aku selalu baik kepadamu, akan tetapi pada suatu waktu yang lalu engkau malah pergi moninggalkan aku tanpa pamit! Kemudian engkau merendahkan namaku dengan menjadi seorang pelayan restoran di kota raja. Adik angkatku menjadi pelayan restoran, bukankah itu berarti engkau hendak menyeret namaku ke dalam lumpur? Bukan itu saja, malah keluarga Cia, termasuk ayah kandungmu, Cia Bun Houw itu, semua menjadi pemberontak, melawan pemerintah dan membunuh banyak orangnya pemerintah sehingga tentu saja engkau sebagai keluarga dari Cia Bun Houw itu ikut terseret! Dan setelah engkau dikepung dan nyaris tenggelam akulah yang menolongmu! Nah, katakan salah siapa semua ini?"
Sin Liong tahu akan kelihaian kakak angkatnya ini memutar lidah, maka dia merasa tidak perlu untuk menanggapi.
"Sudahlah, Houw-ko, sekarang katakan apa kehendakmu setelah engkau menawan kami berdua?"
Dia tahu bahwa tentu Han Houw ingin minta dia melakukan sesuatu yang amat penting bagi pangeran itu, dan sebagai sandera atau cara untuk memaksanya maka Bi Cu ditawan.
"Hemm, agaknya engkau tergesa-gesa ingin melihat dara itu bebas, Liong-te! Ah, sebagai kakak angkatmu, aku berhak mengetahui apakah dia itu pantas menjadi calon iparku? Memang dia cantik manis, akan tetapi aku mendengar bahwa dia itu berjuluk Kim-gan Yan-cu dan menjadi pemimpin para pengemis! Engkau memilih seorang wanita pengemis untuk menjadi jodohmu? Ah, apakah tidak ada wanita lain di dunia ini, Liong-te? Biarpun dia cantik manis, akan tetapi..."
"Sudahlah, Houw-ko, aku tidak mau berbantahan lagi. Dia bukan apa-apaku, dan karena bukan apa-apa itulah maka aku tidak ingin dia celaka karena aku. Kau bebaskan dia dan mari kita bicara baik-baik."
"Ha-ha-ha, engkau cinta kepadanya! Benar, aku dapat melihat ini! Sungguh heran, padahal kalau engkau menginginkan seorang isteri, aku dapat memilihkan seorang di antara puteri-puteri istana yang cantik-cantik. Akan tetapi kata orang, cinta memang buta! Dan karena engkau mencinta gadis itulah maka dia kutawan, karena hendak kutukar dengan sesuatu darimu."
"Lekas kau katakan, apa kehendakmu, Pangeran Ceng Han Houw?"
Sin Liong membentak marah. Pangeran itu mengerutkan alisnya mendengar sebutan itu.
"Liong-te, apakah engkau telah melupakan dan hendak melanggar sumpah kita bahwa kita telah mengangkat saudara? Seorang gagah tidak akan melanggar janji dan sumpahnya sendiri!"
"Baikiah, Houw-ko, nah, lekas katakan, apakah kehendakmu sebenarnya?"
"Liong-te, kita adalah kakak dan adik angkat, maka sepatutnya harus suka sama dinikmati, dan duka sama dipikul. Bukankah begitu? Nah, aku amat tertarik akan kepandaianmu yang amat hebat itu, Liong-te. Maka, aku minta agar engkau suka menceritakan semua rahasia kepandaianmu itu, karena menurut pengakuanmu, engkau adalah murid Ouwyang Bu Sek, akan tetapi kepandaianmu malah melebihi tingkat kepandaian Ouwyang Bu Sek, ini menurut penuturan Lam-hai Sam-lo. Nah, sekarang ceritakan terus terang kepadaku, dari mana engkau memperoleh kepandaian hebat itu? Kuharap engkau bersikap jujur!"
Sin Liong mengerutkan alisnya. Tentu saja dalam keadaan biasa dia tidak akan mau membuka rahasia ini. Akan tetapi dia tahu bahwa keselamatan Bi Cu tergantung dari pertanyaan ini agaknya, maka dia menjadi bimbang.
"Dan engkau akan membebaskan gadis itu kalau aku menceritakannya kepadamu?"
"Tergantung dari sikapmu, Liong-te. Kalau engkau jujur, tentu saja akan kubebaskan dia. Aku tidak begitu gila untuk mengganggu gadis yang kau cinta."
Sin Liong marah mendengar ini, akan tetapi dia merasa tidak perlu untuk berbantah tentang hal itu.
"Baiklah, aku percaya bahwa engkau masih memiliki kegagahan untuk memegang janjimu."
Ketika dulu melakukan perjalanan bersama pangeran itu, Sin Liong pernah bercerita bahwa dia dibimbing ilmu silat oleh Ouwyang Bu Sek, suhengnya itu, dan bahwa dia tidak pernah bertemu dengan gurunya yang disebut Bu Beng Hud-couw itu, akan tetapi dia tidak memberi penjelasan selanjutnya tentang cara dia mempelajari ilmu-ilmu yang aneh itu. Dia tahu bahwa pangeran itu amat tertarik, dan sudah menyatakan ingin berguru kepada manusia dewa yang disebut Bu Beng Hud-couw yang belum pernah dilihatnya sendiri itu, dan kini pangeran itu minta penjelasan.
"Seperti sudah kuceritakan kepadamu dahulu, Houw-ko, aku mempelajari ilmu silat di bawah bimbingan dan petunjuk suheng Ouwyang Bu Sek. Sebetulnya dialah guruku, akan tetapi dia tidak mau disebut guru, minta disebut suheng karena katanya aku sebetulnya juga murid Bu Beng Hud-couw seperti dia! Akan tetapi, seperti telah kuceritakan kepadamu, aku sendiri selama hidupku belum pernah bertemu atau melihat suhu Bu Beng Hud-couw itu."
"Hemm...!"
Han Houw mengerutkan alisnya karena merasa tidak puas dengan keterangan yang memang pernah didengarnya ini.
"Tentu ada sesuatu yang menyebabkan Ouwyang Bu Sek tidak mau disebut guru, dan kenyataannya, kepandaianmu lebih tinggi daripada dia. Sebagai sutenya, apalagi muridnya, tidak mungkin kepandaianmu dapat melampaui dia. Ceritakan terus terang, Liong-te."
Sin Liong menarik napas panjang. Tak mungkin dia menyembunyikan lagi. Pangeran ini terlampau cerdik, dan Bi Cu berada di tangannya.
"Baiklah, Houw-ko. Sesungguhnya hal ini merupakan rahasia, akan tetapi apa boleh buat, kepadamu akan kuceritakan terus terang. Suheng Ouwyang Bu Sek mempunyai simpanan kitab-kitab dari suhu Bu Beng Hud-couw dan aku telah mempelajari kitab-kitab itu, sedangkan suheng yang sudah tua tidak mempelajarinya, akan tetapi tentu saja aku mempelajarinya atas petunjuk dan bimbingannya."
"Ahhh...! Begitukah?"
Teriak Han Houw dengan girang.
"Di mana adanya kitab-kitab itu?"
"Kitab-kitab itu telah dibakar oleh suheng."
"Ahhh...! Akan tetapi Ouwyang Bu Sek tentu masih menyimpan kitab-kitab lain atau minta kitab-kitab lain dari suhunya yang luar biasa itu! Liong-te, sekarang engkau harus membawaku kepada Ouwyang Bu Sek dan membujuknya agar dia suka menerimaku sebagai muridnya atau sutenya, mempelajari ilmu-ilmu dari Bu Beng Hud-couw!"
Sin Liong terkejut bukan main dan menggeleng kepalanya.
"Hal itu tidak mungkin, Houw-ko!"
Wajah yang tampan itu menjadi muram.
"Liong-te, engkau lupa bahwa aku adalah kakak angkatmu sendiri? Engkau tidak ingin membantuku untuk memenuhi cita-citaku, yaitu menjadi jagoan nomor satu di dunia ini?"
"Bukan begitu, Houw-ko. Akan tetapi aku tidak berani, karena suheng sudah memesan agar jangan bicara dengan orang lain tentang suhu dan kitab-kitab itu."
"Akan tetapi aku bukan orang lain! Aku adalah kakak angkatmu!"
"Houw-ko, mintalah yang lain akan tetapi jangan itu. Bagaimana kalau sampai suheng marah kepadaku?"
"Aku hanya ingin mewarisi ilmu-ilmu dari Bu Beng Hud-couw, mengapa dia akan marah? Dan engkau akan membantuku sampai berhasil, sampai mau menerimaku dan memintakan limu-ilmu dari Bu Beng Hud-couw, engkau harus membantuku!"
"Eh, maksudmu?"
Sin Liong memandang tajam melihat sikap keras dan suara penuh ancaman itu.
"Mari kaulihat sendiri!"
Han Houw lalu mengangkat tubuh Sin Liong, dibawa-nya masuk ke dalam kamar di mana terdapat Bi Cu yang masih terlentang dalam keadaan terbelenggu kaki tangannya. Dara itu memandang dengan mata terbelalak ketika melihat Han Houw membawa Sin Liong masuk kemudian membelenggu kedua tangan Sin Liong pada tiang yang berada di dalam kamar itu. Gadis itu masih dalam keadaan setengah lumpuh karena tertotok dan hanya dapat menggerakkan tubuhnya sedikit saja, sedangkan kedua pergelangan tangannya masih dibelenggu ke belakang punggungnya, demikian pula kedua pergelangan kakinya telah dibelenggu, sedangkan sepatunya telah dicopot dari kedua kakinya.
"Houw-ko, apa yang hendak kau lakukan ini?"
Sin Liong bertanya dengan wajah mengandung kekhawatiran.Han Houw tersenyum dan menengok ke arah pembaringan di mana tubuh Bi Cu rebah terlentang.
"Kau tentu tidak ingin melihat dia terganggu, bukan?"
"Maksudmu?"
Sin Liong membentak.
"Berjanjilah bahwa engkau akan membantuku sampai aku diterima oleh Ouwyang Bu Sek!"
"Sudah kukatakan bahwa hal itu tidak mungkin dapat kulakukan!"
Kata Sin Liong memancing, untuk melihat apa yang akan dilakukan pangeran itu kalau dia menolak.
"Kalau engkau menolak, terpaksa engkau akan melihat dia ini kuperkosa di depan matamu!"
Sin Liong terbelalak.
"Tidak, tidak mungkin engkau mau melakukan itu! Aku tidak percaya, hanya gertak kosong belaka!"
"Gertak kosong, ya? Nah, kau boleh lihat!"
Pangeran itu dengan senyum lalu melangkah menghampiri pembaringan di mana Bi Cu rebah terlentang dengan mata terbelalak dan muka pucat. Kemudian setelah dekat, dengan cepat tangannya meraih ke arah dada Bi Cu. Dara ini menjerit dan menggulingkan tubuhnya. Biarpun tubuhnya masih setengah lumpuh, namun rasa takut mendatangkan tenaga tambahan dan tubuhnya dapat bergulingan menelungkup sehingga cengkeraman Han Houw kini mengenai leher bajunya.
"Breeetttt...!"
Sekali renggut saja baju Bi Cu terobek berikut pakaian dalamnya sehingga nampak punggungnya yang telanjang, putih mulus.
"Jangan...! Houw-ko, jangan...! Aku menerima permintaanmu!"
Sin Liong berseru dan sekali renggut, kedua tangannya telah terlepas dari belenggu, demikian pula kedua kakinya. Akan tetapi, Han Houw sudah menubruk Bi Cu dan menaruh cengkeraman tangannya ke arah ubun-ubun kepala dara itu.
"Kau maju, dia mati!"
Katanya tenang. Diam-diam pangeran ini terkejut dan kagum sekali melihat betapa pemuda itu sekaligus dapat membebaskan totokan dan juga dapat mematahkan belenggu kaki tangannya. Sin Liong tersentak kaget dan berdiri tak bergerak.
"Aku sudah berjanji kepadamu maka kau lepaskan gadis itu, Houw-ko!"
"Tidak, kau harus bersumpah dulu bahwa engkau akan berusaha sampai aku berhasil diterima oleh Ouwyang Bu Sek menjadi muridnya."
"Baiklah, aku bersumpah untuk berusaha sampai engkau diterima menjadi muridnya dan sekarang kau lepaskan dia."
"Demi nama baik ayah dan ibu kandungmu!"
Pangeran itu menyambung. Sin Liong merasa penasaran sekali. Pangeran itu tidak percaya kepadanya!
"Baik, demi nama baik ayah dan ibu kandungku!"
Han Houw tertawa girang dan turun dari atas pembaringan.
"Terima kasih, Liong-te. Aku memang sudah yakin engkau akan memenuhi permintaanku!"
"Dan sekarang, kau bebaskan dia!"
Han Houw bertepuk tangan dan muncullah lima orang pengawal.
"Carikan pakaian untuk nona ini. Cepat!"
Lima orang pengawal itu memberi hormat dan cepat keluar. Tak lama kemudian mereka telah datang kembali membawa pakaian yang diminta itu, kemudian mereka keluar lagi.
"Nah, kau boleh bebaskan dia dan memberi pakaian ini untuk kekasihmu itu, Liong-te. Aku menanti di luar."
Setelah berkata demikian. Han Houw tersenyum dan melangkah keluar dari dalam kamar, sengaja menutupkan daun pintu, membiarkan Sin Liong berdua saja dengan Bi Cu di dalam kamar itu. Bi Cu tadi mendengarkan semua percakapan itu akan tetapi dia tidak tahu betapa Sin Liong telah membikin putus semua belenggu kaki tangannya. Kini, dia merasa betapa Sin Liong melepaskan ikatan kedua tangan dan kakinya dan tiba-tiba dia merasa jalan betapa jalan darahnya mengalir kembali dengan normal dan dia dapat menggerakkan kaki tangannya. Dia tidak tahu bahwa ketika melepaskan ikatan kedua pergelangan tangan tadi, seperti tidak sengaja jari tangan Sin Liong menekan punggung dan membebaskan totokan yang membuat Bi Cu lumpuh.
"Apa yang kau janjikan tadi, Sin Liong?"
Bi Cu berbisik ketika dia sudah terlepas dari ikatan dan kini memakai baju yang diberikan oleh Han Houw tadi. Hanya bajunya saja yang dipakainya, karena celananya sendiri tidak terobek. Dia tidak perduli betapa pakaian dalamnya juga ikut robek, dan dia hanya menutupi tubuhnya dengan baju itu yang cukup tebal, baju seorang wanita petani yang kuat.
"Tidak apa-apa, Bi Cu. Engkau sudah bebas maka cepatlah engkau pergi jauh-jauh dari tempat ini."
"Dan kau?"
"Aku tidak dapat ikut pergi."
"Kalau begitu aku tidak mau! Kita berdua mengalami malapetaka, kita senasib, mana mungkin sekarang aku harus menyelamatkan diri sendiri dan meninggalkan engkau di tangan mereka yang jahat? Tidak, kita harus lari berdua, atau mati berdua. Mari kau ikut lari bersamaku!"
Bi Cu menengok ke arah jendela dan memegang tangan Sin Liong hendak ditariknya untuk diajak lari.
"Engkau tidak mungkin bisa melarikan diri seperti itu, Bi Cu. Tempat ini terkurung oleh pasukan. Engkau harus ambil jalan dari pintu, dan pergi biasa. Mereka tidak akan mengganggumu karena sudah berjanji kepadaku."
"Tapi..."
Bi Cu membantah dan dia meloncat ke tepi jendela, membuka daun jendela dan memandang keluar. Benar saja, di sana berdiri pasukan yang berbaris rapi dan ketat, dengan senjata di tangan.
"Ihhh...!"
Dia menjerit lirih dan menutupkan kembali daun jendela.
"Kau benar, banyak pasukan menjaga di sana."
"Sudahlah, Bi Cu, kau pergilah, mari kuantar keluar. Kita harus berpisah di sini sekarang, berpisah sementara. Aku harus ikut dengan mereka."
"Tapi..."
Pendekar Lembah Naga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bi Cu kini memegang kedua tangan Sin Liong dan memandang wajah pemuda itu.
"Kapan kita dapat saling jumpa kembali...?"
Sin Liong tersenyum.
"Kita pasti berjumpa kembali kelak. Nah, kau pergilah dan hati-hatilah, Bi Cu, jangan bertualang dengan para pengemis itu, jangan mencari permusuhan karena di dunia ini banyak orang jahat yang lihai sekali. Mari kuantar kau keluar."
Mereka lalu melangkah keluar, dan ternyata Han Houw telah menanti di luar. Melihat pangeran ini, sepasang mata Bi Cu bersinar penuh kemarahan dan kedua pipinya menjadi merah. Han Houw tersenyum, lalu menjura dengan lembut.
"Nona, harap kau maafkan segala yang telah terjadi tadi, percayalah aku tetap menghormatmu sebagai kekasih adik angkatku..."
"Houw ko! Hentikan ucapan seperti itu!"
Sin Liong berseru marah. Pangeran itu hanya tersenyum dan mengantar mereka keluar sampai di depan rumah, baru Bi Cu melihat bahwa di situ banyak sekali perajurit yang telah mengepung rumah sehingga kalau menggunakan kekerasan untuk melarikan diri jelas amat sukar.
"Nah, pergilah engkau, Bi Cu dan selamat jalan,"
Kata Sin Liong sambil melirik ke arah Kim Hong Liu-nio yang berdiri di samping.
"Tapi... tapi engkau..."
Bi Cu berkata lirih.
"Jangan hiraukan aku, kita kelak akan saling jumpa kembali. Selamat jalan."
"Ha-ha-ha, perpisahan antara dua orang yang diam-diam sudah saling mencinta, betapa mengharukan!"
Kata Han Houw. Hampir saja Sin Liong lupa diri dan kedua tangannya sudah terkepal. Dia mendengar gerakan di sebelah kiri dan tahulah dia bahwa Kim Hong Liu-nio sudah siap untuk menerjang apabila dia menyerang sang pangeran.
"Houw-ko, engkau harus berjanji dulu bahwa engkau dan anak buahmu tidak akan mengganggu Bi Cu, kalau engkau tidak mau berjanji, sampai bagaimanapun aku tidak akan membawamu kepada Ouwyang Bu Sek!"
Melihat sikap pemuda ini dan mendengar suaranya yang keras dan mengandung ancaman, Han Houw lalu tersenyum dan berkata, mengangkat tangan kanannya dengan penuh lagak,
"Baik, aku berjanji bahwa aku dan anak buahku tidak akan mengganggu nona ini."
Suaranya lantang sehingga terdengar oleh semua perajurit. Barulah lega hati Sin Liong mendengar ini.
"Nah, pergilah, Bi Cu."
Nona itu nampak ragu-ragu, memandang kepada Sin Liong dengan khawatir, kemudian dia mengangguk dan berlari dari situ melalui jalan di mana berbaris pasukan di kanan kirinya. Setelah jauh, sebelum membelok, dia berhenti dan menengok, melihat Sin Liong masih berdiri mengikutinya dengan pandang matanya, dan di sebelah Sin Liong berdiri pangeran itu dan wanita cantik yang lihai itu. Kemudian dia melanjutkan larinya dan membelok di tikungan jalan, lenyap dari pandang mata Sin Liong yang menarik napas panjang karena hatinya merasa lega. Yang penting adalah keselamatan Bi Cu dan setelah dara itu bebas, barulah hatinya lega.
"Nah, kapan kita berangkat ke selatan?"
Tanyanya kepada Han Houw.
"Besok pagi-pagi, aku harus membereskan urusan di kota raja dulu dan berunding dengan suci."
Sin Liong tidak perduli lagi dan memasuki kamar untuk beristirahat dan mencari jalan bagaimana sebaiknya menghadapi Ouwyang Bu Sek, karena dia telah berjanji dan dia harus berhasil membuat Han Houw diterima sebagai murid suhengnya itu.
Setelah Kaisar Ceng Hwa naik tahta, keadaan di Kerajaan Beng-tiauw kelihatan tenang dan tenteram, atau setidaknya demikianlah laporan-laporan yang diterima oleh Kaisar Ceng Hwa dari para bawahannya. Kaisar Ceng Hwa masih terlalu muda ketika naik tahta, masih hijau dan kurang pengalaman sungguhpun dia berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menjadi Kaisar yang baik. Memang, semenjak para thaikam tidak lagi berkuasa di kota raja dan terutama di istana, yaitu semenjak Kaisar Ceng Tung kembali menduduki tahta kerajaan, keadaan di istana tidaklah seburuk ketika para thaikam masih merajalela. Namun, setelah Kaisar Ceng Hwa menduduki tahta kerajaan, para thaikam kecil yang tadinya hanya bertugas sebagai pelayan-pelayan dalam istana, terutama di dalam bagian-bagian di mana hidup para puteri,
Mulai beraksi mendekati raja muda itu. Kaisar Ceng Hwa memang masih hijau dan mudah tergelincir oleh sikap dan kata-kata yang manis menjilat-jilat.Kim Hong Liu-nio yang dianggap sebagai seorang wanita yang berjasa besar di istana, telah menyelamatkan Kaisar Ceng Hwa ketika masih menjadi pangeran, kini merupakan seorang tokoh yang amat disegani dan juga dihormati di istana. Bahkan wanita ini, seperti juga Pangeran Ceng Han Hom, memperoleh kekuasaan istimewa untuk memasuki istana setiap waktu, bahkan diperbolehkan pula untuk menghadap Kaisar tanpa dipanggil! Kesempatan ini sekarang dipergunakan sebaiknya oleh Kim Hong Liu-nio. Seperti telah diketahui, wanita yang usianya sudah tiga puluh lima tahun itu akhirnya jatuh cinta kepada seorang pria yang tadinya selalu dipandang rendah.
Dia jatuh cinta kepada Panglima Lee Siang, bahkan dengan suka rela telah menyerahkan diri, menyerahkan kehormatannya kepada pria yang dicinta itu. Namun, seperti yang telah diceritakan di bagian depan, kekasihnya itu, Panglima Lee Siang, tidak dapat lama menjadi pria pertama yang berada dalam pelukannya. Lee Siang tewas di tangan Lie Seng! Semenjak saat itulah, bukan saja Kim Hong Liu-nio mendendam sakit hati yang amat besar terhadap keluarga Cin-ling-pai, yang tadinya hanya ditentangnya karena dia diperintah oleh gurunya. Kini dia sendiri mempunyai dendam pribadi atas kematian kekasihnya. Di samping dendam ini, juga ada sesuatu yang tumbuh di dalam hatinya. Kalau dahulu bersikap dingin dan benci pria, semenjak dia menyerahkan dirinya kepada Lee Siang,
Semenjak dia menikmati belaian dan pencurahan kasih sayang seorang pria, sesudah dia merasakan permainan cinta antara dia dengan Lee Siang, wataknya ternyata telah berubah sama sekali. Sikap dan pandang matanya terhadap kaum pria telah mengalami perubahan besar, terutama terhadap pria-pria muda dan tampan, dan di dalam sinar mata itu terkandung gairah nafsu yang amat besar! Wanita ini merasa amat tersiksa oleh gairah yang mendesak-desak ini, membuatnya selalu kehausan, haus akan belaian dan kasih sayang seorang pria! Padahal, melihat kenyataan betapa kalau tadinya wanita ini hanya merupakan seorang dayang di kerajaan kecil pimpinan Raja Sabutai, kini telah menjadi seorang wanita terhormat di istana Kerajaan Beng yang amat besar, hidup terhormat dan mulia, segala kehendaknya tentu terlaksana,
Tentu orang condong mengatakan bahwa dia telah mendapatkan kemuliaan dan kebahagiaan hidup! Namun nyatanya tidaklah demikian keadaannya! Memang merupakan kenyataan seperti terbukti dari catatan sejarah jaman dahulu sampai keadaan hidup di dalam masyarakat modern sekarang ini, manusia selalu menilai kebahagiaan hidup manusia dengan ukuran harta benda, kedudukang nama besar, dan lain-lain nilai yang dianggap menyenangkan jasmani dan perasaan belaka. Sudah menjadi pendapat umum yang telah diterima bahwa orang yang berhasil mengumpulkan harta benda disebut "maju".
"mulia", senang, bahagia dan sebagainya. Kalau seorang mengatakan bahwa si Polan kini sudah maju, sudah mulia hidupnya, sudah senang, dan se-bagainya, tidak salah lagi bahwa yang dimaksudkannya itu adalah bahwa si Polan telah berhasil mengumpulkan harta benda,
Telah menjadi kaya, atau disebut pula telah makmur hidupnya! Bahkan perkumpulan-perkumpulan, baik perkumpulan sosial, budaya, politik, agama sekalipun, disebut "maju"
Kalau gedungnya bertambah gagah. Pendeknya, semua penilaian diukur dari dasar harta benda! Akan tetapi benarkah kenyataannya demikian, yaitu bahwa manusia akan hidup bahagia kalau sudah berhasil mengumpulkan banyak harta benda? Berbahagiakah manusia kalau sudah memiliki kedudukan tinggi? Berbahagiakah manusia kalau sudah memperoleh ke-kuasaan besar atas manusia-manusia lain, kalau sudah tenar namanya, dan sebagainya lagi itu? Kalau kita mau membuka mata melihat kenyataannya dan tidak membuta mengikuti dan menerima saja anggapan dan pendapat umum yang sudah lapuk dan berkarat itu,
Dewi Maut Eps 40 Dewi Maut Eps 23 Dewi Maut Eps 9