Ceritasilat Novel Online

Pendekar Lembah Naga 37


Pendekar Lembah Naga Karya Kho Ping Hoo Bagian 37



Kita akan melihat keadaan yang sama sekali tidak demikian! Memang harus diakui bahwa semua kemuliaan duniawi itu, harta benda, nama besar, kedudukan, kekuasaan, dapat mendatangkan kesenangan, namun, setiap kesenangan itu selalu tak terpisahkan dari kesusahan. Demikian pula, semua itu kalau dianggap sebagai sumber kesenangan, maka kenyataannya menjadi pula sumber kesusahan! Ada yang mengatakan tidak mungkin! Marilah kita melihat kenyataannya! Harta benda, kedudukan, nama tenar, dan sebagainya itu hanya menyenangkan nampaknya saja bagi yang belum memilikinya. Namun bagi yang memilikinya, kesenangannya sudah hambar dan tidak terasa lagi. Kalau yangbelum memilikinya hanya membayangkan segi senangnya saja, maka yang memilikinya yang telah bosan dengan segi senangnya,

   Merasakan pula secara langsung segi kebalikannya, yaitu segi susahnya. Misalnya yang mempunyai harta bisa saja sewaktu-waktu kehilangan hartanya itu, yang berkedudukan kehilangan kedudukannya, yang namanya tenar kehilangan ketenarannya, dan membayangkan semua kehilangan ini saja sudah merupakan siksaan batin terhadap si pemilik. Hal ini tentu saja tidak dapat dirasakan oleh mereka yang belum memilikinya, akan tetapi akan terasa kebenarannya oleh mereka yang telah memilikinya. Memiliki sesuatu itu, yang nampaknya menyenangkan, merupakan ikatan, dan yang memiliki selalu akan menjaga miliknya itu, karena hanya yang memilikinya sajalah yang akan dapat kehilangan! Apakah dengan kenyataan ini, lalu kita harus menyingkirkan semua milik itu, menolak harta benda, kedudukan, ketenaran dan sebagainya?

   Tentu saja tidak! Melainkan kita harus mengerti dan sadar bahwa semua itu hanya merupakan semacam pakaian saja bagi manusia, bukan merupakan keperluan mutlak bagi kehidupan! Sadar dan mengerti pula dengan membuka mata memandang penuh kewaspadaan bahwa semua itu, kalau sampai menjadi ikatan di mana kita melekatkan batin, akan berbalik menjadi siksaan karena menimbulkan rasa takut akan kehilangan, menimbulkan duka kalau semua itu sampai terlepas dari tangan kita! Pengertian inilah yang akan membebaskan kita dari ikatan, sehingga biarpun kita memiliki harta benda, memiliki kedudukan, atau memiliki nama yang tenar, kita tidak akan mabok, tidak akan terikat, mengerti bahwa semua itu hanyalah sesuatu yang tidak abadi, sesuatu yang fana, yang sekali waktu dapat saja terlepas dari kita.

   Pengertian ini yang membebaskan, sehingga kita tidak terikat oleh semua itu, tidak lagi semua yang dianggap sumber kesenangan itu berakar di dalam hati sanubari kita. Karena, kalau sampai berakar segala sumber kesenangan itu dalam batin kita, kemudian suatu waktu semua itu dicabut, maka akar-akarnya akan tercabut dan membuat batin kita terluka dan berdarah sehingga timbuilah duka! Tak mungkin ada kebahagiaan tanpa adanya kebebasan! Bebas bukan berarti kita lalu menjadi apatis, menjadi lemah, menjadi pessimis, atau menjadi pemurung yang putus asa. Sama sekali bukan! Bebas berarti tidak terikat oleh apapun juga! Tentu saja yang dimaksudkan adalah ikatan batin! Sekali kita terikat, maka muncullah duka. Kita bisa saja menjadi seorang berharta, bisa saja menjadi seorang berkedudukan tinggi, menjadi seorang yang tenar namanya.

   Namun semua itu kita punyai tanpa kita miliki, atau lebih jelas kita mempunyai semua itu hanya lahir belaka, tidak mendalam menjadi ikatan batin. Dapatkah kita membebaskan diri seperti ini? Jawabannya hanya dapat ditemukan di dalam penghayatan, karena jawaban tanpa penghayatan dalam hidup kita sehari-hari hanya akan menjadi teori kosong belaka, menjadi bahan perdebatan untuk menonjolkan diri sebagai orang yang sok tahu! Kim Hong Liu-nio memang cerdik. Dia tahu bahwa dia telah memiliki kedudukan yang tinggi dan terhormat, maka diapun tidak mau merendahkan diri menuruti gairah rangsangan nafsu yang dibangkitkan oleh mendiang Panglima Lee Siang dan kemudian dipelihara dan dipupuk oleh pikirannya sendiri yang menghidupkan kembali kenikmatan itu melalui kenang-kenangan.

   Dia dapat menahah diri dan menanti saat yang baik. Kemudian, setelah dia melihat kelemahan Kaisar muda yang tampan itu, wanita ini berlaku amat cerdik dan mulailah dia mendekati Kaisar dan mempergunakan kecantikannya untuk memikat Kaisar muda itu melalui lirikan matanya yang jeli, senyuman bibirnya yang merah merekah, dan melalui suaranya yang merdu merayu! Pada jaman itu, kehidupan kaum bangsawan, terutama sekali Kaisar, memang pada umumnya tidak terpisahkan dari kehidupan bersenang-senang, terutama sekali kehidupan sex bagi kaum prianya. Bagi kaum pria bangsawan ini, kaum wanita dianggap sebagai benda hidup yang kedudukannya hanya sebagai penghibur kaum pria,

   Sebagai hal yang selain menjadi sumber kesenangan juga menjadi sumber kebanggaan. Pada jaman itu, agaknya kaum wanita menyadari dan menerima saja kedudukan itu, dan pada sebagian kaum wanita, yang terpenting bagi mereka hanyalah mendapatkan suami yang berkedudukan tinggi atau yang kaya raya! Bagi sebagian besar di antara kaum wanita di jaman itu, lebih baik menjadi bini muda yang ke sekian belas atau ke sekian puluh dari seorang pria tua bangsawan atau hartawan daripada menjadi isteri tunggal seorang pria muda yang miskin tanpa kedudukan! Inilah sebabnya mengapa kaum pria tua yang bangsawan atau hartawan, amat mudahnya mempunyai koleksi kaum wanita yang menjadi bini-bini mudanya, menjadi pelayan-pelayan yang setiap waktu dapat saja memperpanjang deretan bini muda!

   Terutama sekali Kaisar! Bagi hampir semua wanita di jaman itu, menjadi selir Kaisar merupakan anugerah seperti bintang jatuh dari langit! Bahkan menjadi dayang saja sudah merupakan kehormatan besar yang diimpikan oleh hampir setiap orang dara! Ini adalah akibat dari pemujaan yang melampaui batas terhadap sang Kaisar, sehingga setiap orang ibu menggambarkan kehebatan Kaisar dan kehidupan di istana itu kepada puteri-puterinya semenjak mereka masih kecil, menjejalkan kesenangan-kesenangan yang tak mungkin mereka dapat rasakan, seperti kesenangan-kesenangan dalam sorga saja, ke dalam kepala-kepala kecil itu sehingga tentu saja, makin dewasa anak-anak perempuan itu, makin menariklah gambaran tentang kehidupan yang amat mulia itu. Dari dalam kamar-kamar indah mewah istana Kaisar inilah mengalirnya perkembangan kehidupan sex yang kemudian menjadi kitab-kitab ilmu sanggama yang tersebar luas sampai ke seluruh dunia!

   Kaisar Ceng Hwa pun tidak terkecuali. Dia menjadi Kaisar dalam usia sembilan belas tahun, sedang menginjak usia remaja yang berkembang sehingga mudah saja dia diperhamba oleh kesenangan-kesenangan sex yang seolah-olah didorong-dorongkan kepadanya oleh para pejilat dalam istana. Bahkan ibunya sendiri, ibu suri, mendatangkan guru-guru yang bertugas mengajarkan hal-hal mengenai hubungan pria dan wanita kepada Kaisar muda ini, dan beberapa orang wanita muda yang cantik dan berpengalaman dipilih untuk mengajarkan hal-hal itu dalam praktek kepada sang Kaisar muda.

   Hal seperti ini bukan merupakan dongeng, melainkan merupakan kenyataan yang tercatat dalam sejarah. Demikianlah, tidak mengherankan apabila dalam waktu singkat saja Kaisar Ceng Hwa, seperti juga para Kaisar ratusan atau ribuan tahun sebelumnya, telah jatuh menjadi seorang hamba nafsu berahinya sendiri! Mulailah dia mencari-cari, memilih-milih di antara para puteri dayang-dayang dan dara-dara yang cantik jelita untuk mengisi haremnya, untuk secara bergilir atau berkelompok menghiburnya, melayaninya, baik di taman maupun di dalam kamar tidurnya. Kemudian muncullah Kim Hong Liu-nio! Pada suatu senja, wanita ini dilaporkan oleh pengawal kepada Kaisar yang sedang bersenang-senang di dalam taman dan ditemani oleh lima orang selirnya yang paling disukanya.

   Kaisar itu duduk di tepi kolam ikan, memberi makan ikan-ikan emas, dibantu oleh dua orang selirnya sedangkan yang tiga orang lagi memainkan alat musik yang-khim dan suling, melagukan nada-nada merdu dari lagu yang romantis sehingga suasana menjadi romantis sekali.Mendengar bahwa Kim Hong Liu-nio minta menghadap, Kaisar cepat memberi tahu kepada para pengawal agar wanita perkasa itu langsung saja memasuki taman, dan dia melepaskan rangkulannya kepada dua orang selirnya, bahkan memberi isyarat kepada selir lain untuk menghentikan permainan mereka. Lima orang selir itu mengenal pula siapa adanya Kim Hong Liu-nio, maka merekapun duduk dengan tenang dan hormat karena mereka tahu bahwa wanita ini mempunyai kedudukan yang tinggi dan terhormat, dikenal sebagai penyelamat nyawa Kaisar!

   Biasanya Kaisar memandang Kim Hong Liu-nio sebagai seorang wanita yang gagah perkasa dan menimbulkan kagum dan hormat. Belum pernah selama ini dia menggambarkan Kim Hong Liu-nio sebagai seorang wanita dengan daya tarik kewanitaannya, melainkan sebagai seorang pendekar wanita yang serba keras dan kokoh kuat di balik kecantikannya.Akan tetapi ketika itu dia belum begitu "matang"

   Dalam penilaiannya terhadap wanita dan sudah lama dia tidak berjumpa dengan wanita itu. Maka kini, ketika melihat Kim Hong Liu-nio me-masuki pintu taman dan melangkah menghampiri tempat itu, sepasang matanya yang sudah terbiasa menilai wanita, kini memandang penuh perhatian dan penilaian!

   Bukan hanya wajah yang cantik segar dihias rambut yang disanggul tinggi itu, melainkan juga pandang matanya menurun ke leher, ke arah dada yang membusung angkuh, kepada tubuh yang tegak namun tinggi semampai, pinggang yang amat ramping dan pinggul yang mem-besar, kemudian langkah yang begitu tegap namun mengandung kelembutan dan daya tarik yang menjanjikan kemesraan. Kaisar muda itu tertegun dan kagum! Kiranya Kim Hong Liu-nio ini bukanlah seorang yang seperti yang digambarkan semula, seorang wanita penyembelih musuh yang kejam dan berdarah dingin, melainkan di samping itu juga seorang wanita cantik yang memiliki kecantikan, kelembutan dan kehangatan dengan ben-tuk tubuh yang menggairahkan! Begitu menghadap, Kim Hong Liu-nio lalu memberi hormat, berlutut dan berkata,

   "Perkenankanlah hamba membicarakan sesuatu dengan paduka tanpa didengar oleh orang lain."

   Kaisar Ceng Hwa tersenyum dan matanya tak pernah meninggalkan wajah dan tubuh wanita yang berlutut di depannya itu. Nampak leher yang berkulit putih mulus dan berbentuk panjang seperti leher angsa yang jenjang. Lalu dia memberi isyarat kepada para selirnya untuk meninggalkan taman. Para selir itu tidak berani membantah, dengan sikap hormat mereka lalu meninggalkan taman, berlari-lari kecil dengan langkah seperti penari-penari yang lemah gemulai, meninggalkan bau semerbak harum. Kini mereka tinggal berdua saja. Para pengawal hanya menjaga di sebelah luar taman, sama sekali tidak berani memperlihatkan diri atau mengganggu Kaisar.

   "Nah, sekarang kita hanya berdua saja di sini, lihiap. Apa yang hendak kau bicarakan?"

   Kaisar berkata halus.

   "Ampunkan hamba yang berani minta untuk bicara empat mata dengan paduka, akan tetapi karena yang hamba hendak bicarakan ini mengenai para pemberontak yang amat berbahaya, maka amat tidak baik kalau sampai terdengar orang lain. Hamba hendak membicarakan tentang empat orang pemberontak yang berhasil lolos itu, Sri Baginda, yaitu pemberontak Cia Bun Houw, Cia Giok Keng, Yap Kun Liong, dan Yap In Hong."

   "Oohh, tentang mereka?"

   Kaisar yang muda itu tidak begitu tertarik. Tentu saja dia sudah mendengar tentang adanya para pemberontak yang kabarnya telah melawan pasukan kerajaan, membunuh banyak pasukan termasuk Panglima Lee Siang. Akan tetapi dia yang setiap harinya hanya bersenang-senang, mana sempat memikirkan soal pemberontakan kecil yang lebih patut disebut pengacau-pengacau itu saja? Kalau yang memberontak itu merupakan pasukan besar, tentu saja persoalannya menjadi lain.

   Dia lebih tertarik memandang ke arah dada yang menonjolkan dua bukit tertutup baju sutera dari wanita di depannya itu, dan ketika wanita itu bicara sambil menengadah, dia melihat wajah cantik dengan bibir yang amat manis bergerak-gerak terbuka, kadang-kadang sedikit memperlihatkan sebelah dalam mulut kecil yang merah. Hatinya tergerak dan darahnya bergolak. Kim Hong Liu-nio dapat melihat keadaan Kaisar yang muda dan tampan itu. Wanita ini melihat kesempatan baik sekali dan dia lalu menangis dalam keadaaan masih berlutut dan tanpa dapat dilihat Kaisar saking cepatnya, dia telah melonggarkan bagian atas tubuhnya sehingga Kaisar yang duduk itu dapat melihat dari atas melalui celah baju itu sedikit bagian dari dadanya, lereng dua buah bukit yang membusung.

   "Ah, kenapa kau menangis, lihiap?"

   Kaisar itu terkejut juga karena sama sekali tak pernah dia dapat membayangkan bahwa wanita yang gagah perkasa ini dapat menangis! Makin kelihataniah sifat kewanitaan pendekar wanita ini, apalagi melihat celah baju bagian atas itu.

   "Hamba... hamba teringat akan kematian tunangan hamba, Panglima Lee Siang di tangan para pemberontak itu, Sri Baginda... maafkan hamba... hamba merasa berduka karena kini hamba menderita kesepian yang menyesak di dada..."

   Kaisar Ceng Hwa memang sudah mendengar dari para pengawal penyelidik akan adanya hubungan antara wanita perkasa ini dengan Panglima Lee Siang, dia tahu bahwa "ada main"

   Antara mereka berdua, akan tetapi mendengar pengakuan wanita itu, dia pura-pura kaget dan bertanya,

   "Ah, jadi engkau telah menjadi isteri mendiang Lee-ciangkun?"

   Wajah Kim Hong Liu-nio menjadi kemerahan, terutama sekali kedua pipinya. Sama sekali bukan karena malu atau jengah, melainkan karena pengerahan sin-kangnya yang mendorong darah lebih banyak naik ke mukanya dan hal ini hanya dapat dilakukan oleh orang yang telah memiliki kepandaian tinggi.

   "Belum, Sri Baginda... hamba belum menikah, akan tetapi dia telah menjanjikan hal itu kepada hamba..."

   Biarpun matanya masih agak basah air mata, namun dia tersenyum malu-malu dan sepasang mata itu mengerling tajam. Melihat ini, Kaisar muda itu makin tertarik.

   "Sudahlah, jangan kau menangis, lihiap, dan kau ke sinilah, duduklah di sini agar lebih enak kita bicara."

   Jantung Kim Hong Liu-nio berdebar keras, bukan karena takut melainkan karena tegang gembira melihat ada tanda-tanda usahanya menarik perhatian Kaisar itu berhasil agaknya!

   "Hamba... hamba mana berani...?"

   "Aku yang memerintahkan, mengapa tidak berani? Ke sinilah!"

   "Ba... baik, Sri Baginda..."

   Kim Hong Liu-nio bangkit berdiri, memberi hormat dan dengan kedua kaki jelas nampak gemetar dia melangkah maju ke depan Kaisar, sampai dekat sekali. Kaisar lalu memegang tangan wanita itu dan menariknya duduk di atas bangku bertilamkan kasur dan beledu lembut itu. Kaisar merasa betapa tangan itu selain gemetar, juga amat hangat dan mengeluarkan getaran yang amat terasa sampai ke seluruh lengannya. Dia makin tertarik, apalagi mencium bau harum yang keluar dari tubuh wanita itu.

   "Hemmm, engkau sungguh cantik, lihiap..."

   Bisik Kaisar.

   "Aihhh... Sri Baginda..."

   Kim Hong Liu-nio mengeluh dan menunduk, nampak takut-takut seperti seekor kelinci dalam dekapan harimau. Kaisar makin tertarik, dia meraih dan merangkul, kemudian memaksa wanita itu menoleh kepadanya dan mencium mulut Kim Hong Liu-nio. Beberapa lamanya Kaisar menciumnya, kemudian Kaisar melepaskan ciumannya dan terbelalak. Belum pernah selama dia mengenal wanita dia merasakan ciuman sehebat itu! Bukan saja wanita ini membalas ciumannya dengan penuh api menggelora, juga dia merasakan getaran yang menggoncangkan jantungnya. Tanpa banyak cakap lagi, Sri Baginda Kaisar bangkit dan menggandeng tangan wanita itu, diajak meninggalkan taman dan langsung masuk ke dalam kamar. Para selir yang melihat ini saling pandang dan diam-diam merekapun merasa heran mengapa Kaisar kini bersikap demikian mesra dengan pendekar wanita itu!

   Namun, tentu saja tidak ada seorang di antara mereka berani membuka mulut, bahkan lalu berlutut membiarkan mereka berdua lewat, dan para pengawal yang terdiri dari orang-orang kebiri karena mereka adalah pengawal-pengawal di bagian keputren itu juga menunduk saja dengan sikap tegak. Mulai saat itu, Kaisar yang muda itu mengangkat Kim Hong Liu-nio sebagai kekasihnya yang baru dan dari wanita ini dia memperoleh pengalaman yang amat hebat dan belum pernah dia dapatkan dari wanita lain. Memang, dengan tenaga sin-kangnya yang amat kuat, mudah bagi Kim Hong Liu-nio untuk mempermainkan Kaisar muda itu sehingga menjadi tergila-gila kepadanya, biarpun usianya sudah tiga puluh lima tahun dan jauh lebih tua dibandingkan dengan para selir yang usianya belum ada dua puluh tahun itu.

   Dan semenjak hari itu, Kim Hong Liu-nio memperoleh ijin dari Kaisar, untuk memimpin pasukan-pasukan pilihan untuk mengejar-ngejar dan mencari musuh-musuhnya, yaitu keluarga Cia dan Yap yang menjadi buronan itu. Bahkan dia menyebar mata-mata untuk menyelidiki di mana mereka itu bersembunyi. Untuk memperkuat dirinya karena dia tahu bahwa musuh-musuhnya itu memiliki kepandaian tinggi, Kim Hong Liu-nio mendatangkan gurunya, Hek-hiat Mo-li, yang menanti di kota raja dan siap untuk turun tangan apabila tempat sembunyi para pemberontak itu sudah dapat ditemukan. Memang kekuasaan inilah yang diinginkan oleh Kim Hong Liu-nio. Dia tidak berambisi untuk memikat Kaisar untuk selamanya. Dia tahu bahwa Kaisar masih amat muda dan dia sendiri sudah jauh lebih tua sehingga tidak mungkin dia akan dapat terus mempertahankan Kaisar dalam pelukannya.

   Maka setelah dia berbasil memperoleh kepercayaan Kaisar dan diberi kekuasaan mempergunakan pasukan untuk menghadapi para musuh yang dicap pemberontak itu, dia sudah puas dan hanya kadang-kadang saja dia memenuhi panggilan Kaisar dan melayaninya. Namun wanita ini lebih banyak pergi keluar kota raja sehingga akhirnya Kaisar kembali kepada para selirnya yang muda-muda dan hal ini tentu saja menggirangkan hati para selir muda itu. Di dalam keluarga Kaisar terdapat seorang pangeran, kakak tiri dari Kaisar muda itu. Pangeran ini sudah berusia hampir tiga puluh tahun, bernama Pangeran Hung Chih dan dia amat populer di antara para menteri-menteri tua yang setia. Pangeran ini merupakan calon Kaisar ke dua setelah Ceng Hwa,

   Dan memang dibandingkan dengan Kaisar muda itu, dia lebih menaruh perhatian terhadap pemerintahan. Pangeran Hung Chih inilah yang didukung oleh para menteri tua yang merasa tidak setuju ketika pemerintah memusuhi keluarga Cia di Cin-ling-pai. Mereka tahu bahwa keluarga itu sejak dahulu adalah keluarga pendekar-pendekar yang setia kepada Kaisar. Mereka tahu pula bahwa keluarga itu dimusuhi gara-gara Kim Hong Liu-nio yang berhasil memikat Kaisar, padahal wanita itu adalah seorang kepercayaan raja liar Sabutai! Dengan jujur dan halus Pangeran Hung Chih sendiri yang mendekati Kaisar yang menjadi adik tirinya itu dan memperingatkan Kaisar agar tidak terlalu memberi kebebasan kepada Kim Hong Liu-nio yang mungkin saja menjadi mata-mata Raja Sabutai dan yang kelak hanya akan merugikan kerajaan sendiri.

   "Ah, dia adalah seorang pendekar wanita yang amat gagah, bahkan pernah menyelamatkan nyawaku, mana mungkin dia mempunyai niat buruk? Pula, dia minta pasukan untuk menangkap para pemberontak yang telah melawan pasukan kerajaan dan telah membunuh Lee-ciangkun, bukankah hal itu baik sekali?"

   Demikian antara lain Kaisar membantah dan Pangeran Hung Chih tidak berani mendesak. Betapapun juga, peringatan dari pangeran ini telah membuat Kaisar lebih berhati-hati dan kini jarang dia memanggil wanita itu untuk melayani dia bermain asmara.

   Pagi yang cerah indah di lereng Bukit Bwee-hoa-san. Bukit ini, sesuai dengan namanya, penuh dengan bunga Bwee yang sedang mekar karena musim semi menjelang tiba. Memang amat sedap dipandang dan terasa nyaman di hati melihat bunga-bunga mekar di lereng yang subur dan berhawa sejuk itu, dengan ratusan ekor kupu-kupu beterbangan di sekitar bunga-bunga, menggelepar-geleparkan sayap yang beraneka warna itu dengan sibuknya. Di antara kupu-kupu yang memiliki warna bermacam-macam ini nampak pula beberapa ekor lebah yang gerakannya gesit sekali terbang menyusup di antara daun-daun dan bunga sibuk mencari atau mengumpulkan madu. Terdapat dua buah pondok kecil di lereng yang sunyi itu, agak terlindung oleh pohon-pohon besar di tepi hutan.

   Dua pondok kecil inilah yang menjadi tempat tinggal sementara, atau tempat bersembunyi dari dua pasang suami isteri kakak beradik, yaitu Yap Kun Liong bersama Cia Giok Keng, dan Cia Bun Houw bersama Yap In Hong! Semenjak mereka melarikan diri dari penjara kota Po-teng di mana mereka ditawan, empat orang pendekar ini melarikan diri dan tinggal berpindah-pindah dari satu ke lain tempat sembunyi karena mereka maklum bahwa mereka terus dikejar-kejar pasukan pemerintah. Akhirnya, mereka tiba di lereng Bukit Bwee-hoa-san ini dan bersembunyi di tempat sunyi ini. Sudah dua bulan mereka tinggal di tempat ini, dan mereka, terutama sekali Yap In Hong, merasa khawatir dengan keadaan mereka sebagai buronan itu karena kini nyonya muda ini telah mengandung lima bulan!

   Seperti telah diceritakan di bagian depan, biarpun sudah belasan tahun dia melarikan diri bersama Cia Bun Houw dan sudah dianggap isteri pendekar itu, namun karena belum mendapat restu dari orang tua, kedua orang pendekar ini selalu tinggal terpisah, yaitu tidak pernah berkumpul sebadan seperti layaknya suami isteri. Kemudian, setelah lewat belasan tahun menahan derita ini, mereka menghadap ketua Cin-ling-pai ayah Cia Bun Houw dan memperoleh restu dari kakek Cia Keng Hong yang telah menginsyafi kesalahannya dan merasa menyesal bahwa dia dengan kekerasan hatinya telah menyiksa batin puteranya sendiri dan mantunya. Barulah mereka menjadi suami ister! dalam arti yang sebenarnya, dan baru sekarang Yap In Hong mengandung untuk pertama kalinya.

   Namun, dalam keadaan mengandung dia kini harus menjadi buronan, gara-gara fitnah yang dijatuhkan oleh Lee Siang yang ingin memenuhi permintaan Kim Hong Liu-nio, kekasihnya! Pada pagi hari yang cerah itu, seperti biasa pendekar Yap Kun Liong dan pendekar Cia Bun Houw sedang bekerja di ladang sayur mereka tak jauh dari kedua pondok mereka itu. Untuk menghindarkan banyak hubungan dengan orang lain, kedua orang pendekar ini menanam sayur-sayur sendiri untuk kebutuhan makan sehari-hari mereka, sehingga mereka tidak perlu sering berbelanja ke bawah bukit, dan cukup hanya sebulan sekali saja berbelanja beras, bumbu, teh dan beberapa keperluan lain. Untuk lauk pauk cukup dengan tanaman sayur mereka sendiri dan daging binatang yang dapat mereka tangkap di dalam hutan-hutan di sekitar tempat itu.

   Pendekar Yap Kun Liong sudah berusia lima puluh dua tahun, namun masih nampak muda dan gagah penuh semangat, sedangkan pendekar Cia Bun Houw yang berusia tiga puluh enam tahun itu kelihatan sehat gagah, walaupun ada bayangan kekhawatiran membayang di wajahnya yang tampan. Tentu saja pendekar ini merasa gelisah kalau mengingat akan keadaan isterinya yang mengandung pertama sudah harus menjadi buronan seperti itu. Suara derap kaki kuda tunggal memecahkan kesunyian pagi hari yang tenteram itu. Dua orang pendekar itu terkejut, menunda cangkul masing-masing, saling pandang, kemudian mereka menoleh ke arah suara datangnya derap kaki kuda itu. Nampaklah oleh mereka seorang laki-laki berpakaian petani membalapkan kuda menuju ke situ, melalui sebuah lorong atau jalan setapak dengan cepat.

   Tentu saja dua orang pendekar ini menjadi curiga karena walaupun orang itu berpakaian petani, namun cara orang itu duduk di atas kuda membuktikan bahwa orang itu adalah seorang ahli menunggang kuda dan tubuh orang itu yang duduk tegak jelas mengandung kekuatan terlatih. Maka begitu penunggang kuda itu melewati tempat kerja mereka dan terus membalap menuju ke arah pondok, dua orang pendekar inipun meninggalkan cangkul mereka di atas ladang, kemudlan berlari mengejar. Tentu saja mereka tidak begitu khawatir karena isteri mereka bukanlah orang-orang lemah, apalagi yang datang berkunjung secara mencurigakan ini hanya satu orang saja. Baru saja penunggang kuda itu meloncat turun dari kudanya di depan dua buah pondok itu, dia sudah berteriak dengan suara lantang.

   "Cia-taihiap! Yap-taihiap! Harap lekas keluar!"

   Yang keluar adalah Cia Giok Keng dan Yap In Hong, dua orang pendekar wanita itu yang tadi sudah mendengar suara derap kaki kuda dan sudah siap-siap. Dan pada saat itu juga, Cia Bun Houw dan Yap Kun Liong juga sudah berada di situ.

   "Siapakah engkau dan mau apa?"

   Yap Kun Liong berkata dengan suara halus namun penuh wibawa. Orang itu sejenak memandang kepada dua orang pendekar ini. Dia belum pernah bertemu muka dengan mereka, namun dia sudah memperoleh gambaran jelas tentang wajah kedua orang pendekar itu, maka kini dia mengenal mereka dan cepat menjura dengan hormat.

   "Harap ji-wi taihiap sudi memaafkan saya kalau saya mengganggu dan mengejutkan ji-wi. Kedatangan saya ini membawa berita penting, yaitu bahwa dalam hari ini juga akan ada pasukan yang menyerbu ke sini, maka harap ji-wi taihiap dan ji-wi lihiap dapat bersiap-siap untuk meninggalkan tempat ini."

   Sekali menggerakkan tubuh dan tangan, Cia Bun Houw telah mencengkeram leher baju orang itu tanpa orang itu mampu mengelak lagi. Tentu saja Bun Houw menggunakan gerakan ini untuk menguji dan dia tahu bahwa orang ini tidak memiliki ilmu silat yang tinggi, karena reaksinya ketika dia bergerak jauh kurang dan amat terlambat. Maka dia lalu menghardik dengan suara mengancam untuk menibikin takut orang itu agar jangan membohong.

   "Siapa engkau?"

   Orang itu kellhatan tenang saja dan ini sudah membuktikan bahwa dia tidak mempunyai iktikad buruk.

   "Nama saya Lie Tek."

   Jawabnya cepat.

   "Mengapa engkau datang memperingatkan kami dan bagaimana engkau dapat mengenal kami?"

   Tanya Bun Houw lagi tanpa melepaskan cengkeramannya.

   "Harap Cia-taihiap tidak salah sangka. Biarpun belum pernah bertemu dengan ji-wi taihiap, namun kami semua telah memperoleh gambaran cukup jelas tentang ji-wi. Saya adalah seorang di antara banyak mata-mata yang disebar oleh Pangeran Hung Chih untuk membantu ji-wi taihiap dari pengejaran pasukan yang dipimpin oleh Kim Hong Liu-nio dan sekarang saya datang untuk memberi peringatan kepada ji-wi karena sudah pasti hari ini pasukan itu akan datang menyerbu karena tempat ini telah mereka ketahui."

   Cia Bun Houw melepaskan cengkeramannya, dan dengan tenang Yap Kun Liong lalu minta kepada orang yang mengaku bernama Lie Tek itu untuk menceritakan selengkapnya tentang mereka yang mengaku mata-mata yang disebar oleh Pangeran Hung Chih. Lie Tek, mata-mata itu, lalu
(Lanjut ke Jilid 35)
Pendekar Lembah Naga (Seri ke 04 "

   Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 35
menceritakan secara singkat tentang diri Pangeran Hung Chih. Ternyata pangeran yang tidak setuju dengan sikap Kaisar mengenal keluarga Cin-ling-pai yang dianggap pemberontak, ketika melihat betapa Kim Hong Liu-nio berhasil merayu Kaisar dan memperoleh kekuasaan untuk mengerahkan pasukan mencari para pendekar yang buron itu dan diperkenankan menumpasnya, diam-diam telah berunding dengan para menteri tua dan akhirnya mereka mengambil keputusan untuk secara diam-diam membantu para pendekar itu agar jangan sampai terdapat oleh para pengejarnya.

   "Pangeran Hung Chih dan para menteri tua yakin akan kesetiaan keluarga Cia dan Yap, oleh karena itu beliau berusaha melindungi, sungguhpun tentu saja tidak berani secara berterang, karena Kim Hong Liu-nio memperoleh dukungan dari Sri Baginda sendiri."

   Demikian Lie Tek mengakhiri penuturannya secara singkat. Empat orang pendekar yang mendengarkan menjadi terharu dan diam-diam mereka mencatat nama Pangeran Hung Chih sebagai seorang pangeran yang bersahabat.

   "Kalau begitu, kami berterima kasih sekali dan maafkan sikapku, Lie-twako,"

   Kata Cia Bun Houw. Mata-mata itu menjura dan berkata,

   "Saya telah menyampaikan tugas, harap ji-wi berdua dan lihiap berdua suka cepat meninggalkan tempat ini sebelum terlambat, dan sayapun tidak berani lama-lama tinggal di sini. Saya mohon diri, ji-wi taihiap!"

   Cia Bun Houw dan Yap Kun Liong membalas penghormatan itu.

   Lie Tek lalu meloncat ke atas punggung kudanya, kemudian membalapkan kuda itu menuju lereng melalui arah yang berlawanan dengan ketika dia datang diikuti pandang mata keempat orang pendekar itu yang masih bersikap tenang. Empat orang pendekar ini tidak tahu bahwa ketika Lie Tek tiba di sebuah tikungan di balik bukit, tiba-tiba muncul belasan orang mata-mata musuh, yaitu mata-mata dari pasukan Kim Hong Liu-nio. Dia ditangkap dan tidak mungkin dapat melawan menghadapi belasan orang itu. Dia disiksa agar mengaku, namun Lie Tek tetap menutup mulutnya sampai akhirnya dia mati dalam siksaan! Kemuthan para mata-mata ini cepat mengirim berita kepada Kim Hong Liu-nio yang mengerahkan seratus orang lebih pasukan untuk mengepung dan menyerbu!

   Kita tinggalkan dulu keadaan empat orang pendekar yang terancam bahaya maut itu, dan mari kita mengikuti perjalanan Lie Ciauw Si. Kita hanya mengetahui bahwa gadis puteri Cia Giok Keng atau adik dari Lie Seng ini telah meninggalkan Cin-ling-pai beberapa tahun yang lalu karena melihat kakeknya berduka saja dan dia mengambil keputusan untuk mencari pamannya, Cia Bun Houw yang dia tahu menjadi penyebab dari kedukaan kong-kongnya. Pada waktu itu, Cia Bun Houw berdua Yap In Hong masih mengasingkan diri dalam kedukaan akibat kemarahan Cia Keng Hong yang tidak menyetujui perjodohan di antara mereka sehingga usaha Lie Ciauw Si mencari kedua orang ini sama sekali tidak pernah berhasil. Ciauw Si yang keras hati itu tidak mau kembali ke Cin-ling-pai sebelum bertemu dengan orang yang dicarinya. Dia merantau sampai jauh ke barat, kemudian pada akhir-akhir ini dia pergi merantau ke selatan. Dia telah menjelajahi dunia kang-ouw, bertanya-tanya ke sana-sini,

   Namun tidak ada seorang pun tokoh kang-ouw yang dapat memberi keterangan kepadanya di mana gerangan adanya pendekar Cia Bun Houw, sungguhpun mereka itu tahu belaka siapa adanya pendekar putera ketua Cin-ling-pai itu. Pada suatu hari, secara kebetulan Ciauw Si yang tiba di kota Yen-ping, berjalan-jalan di sepanjang tepi Sungai Min-kiang di Propinsi Hok-kian, dia tiba di dekat sarang perkumpulan Sin-ciang Tiat-thouw-pang dan dia melihat empat orang sedang ribut mulut. Dia tidak me-ngenal empat orang itut namun amat tertarik karena melihat bahwa empat orang laki-laki tua itu bukanlah orang-orang biasa, hal ini dapat dilihat jelas dari sikap dan gerak-gerik mereka, sedangkan di situ terdapat dua kelompok orang-orang yang menonton, kesemuanya memperlihatkan sikap orang-orang yang ahli dalam ilmu silat, akan tetapi agaknya mereka merasa takut dan segan untuk mencampuri percekcokan itu.

   Empat orang itu memang bukan orang-orang sembarangan. Yang sedang marah-marah adalah dua orang kakek yang usianya sudah enam puluh tahun lebih, yang seorang tinggi besar dan mukanya brewok menyeramkan, tangannya memegang sebatang tongkat dan dengan tongkatnya ini beberapa kali dia menuding ke arah muka dua orang kakek yang dimarahi dan yang usianya kurang lebih lima puluh tahun. Kakek ke dua yang marah juga berusia enam puluh tahun lebih, tubuhnya kecil pendek akan tetapi kepalanya gundul lonjong dan matanya tajam. Kakek ini menyeramkan sekali karena dia hanya memakai celana hitam sampai ke bawah betis, sedangkan tubuh atasnya yang kurus itu telanjang sama sekali, seperti juga kedua kakinya. Suaranya lantang dan nyaring. Kakek muka brewok itu bukan lain adalah Hai-liong-ong Phang Tek, sedangkan kakek ke dua yang tak berbaju adalah Kim-liong-ong Phang Sun.

   Seperti telah kita ketahui, mereka ini adalah tokoh-tokoh besar di selatan yang terkenal dengan julukan Lam-hai Sam-to (Tiga Orang Tua Laut Selatan), tadinya mereka bertiga bersama dengan Hek-liong-ong Cu Bi Kun, akan tetapi orang ini seperti telah diceritakan di bagian depan, telah tewas oleh Pangeran Ceng Han Houw ketika Cu Bi Kun bermaksud membunuh Sin Liong. Dan seperti yang telah diputuskan oleh Pangeran Ceng Han Houw, Lam-hai Sam-lo yang kini tinggal dua orang itu kini menjadi tokoh terbesar di selatan, dan menjadi bengcu (pemimpin) dari dunia sesat di selatan! Adapun dua orang kakek berusia lima puluh tahun yang sedang menghadapi kemarahan dua orang bengcu ini adalah ketua dari Sin-ciang Tiat-thouw-pang, yaitu Sin-ciang Gu Kok Ban dan Tiat-thouw Tong Siok.

   Telah kita ketahui ketika dalam pemilihan bengcu di selatan, memang telah terjadi bentrok antara kedua orang tokoh ini dengan Lam-hai Sam-lo, akan tetapi karena fihak Sin-ciang Tiat-thouw-pang merasa kalah kuat, maka mereka ini lalu mundur dan mengalah. Akan tetapi mengapakah kini dua orang bengcu itu marah-marah kepada pemimpin Sin-ciang Tiat-thouw-pang ini? Biarpun dia tidak mengenal empat orang itu, namun Ciauw Si amat tertarik, menduga bahwa tentu mereka itu merupakan tokoh-tokoh penting dalam dunia kang-ouw, maka diam-diam iapun mendengarkan dengan penuh perhatian. Tiat-thouw Tong Siok yang bertubuh tinggi besar, kepalanya botak dan mukanya bopeng terkenal lebih keras wataknya daripada suhengnya. Dengan mata terbelalak lebar dan kemarahan yang tidak disembunyikan lagi dia berteriak,

   "Semenjak dahulu semua perkumpulan memberi sumbangan suka rela kepada bengcu sekuat kemampuan masing-masing. Sekarang bengcu menentukan jumlah seenak perut sendiri. Peraturan manakah ini?"

   Kim-liong-ong Phang Sun yang kecil pendek dan bertelanjang baju itu tertawa mengejek dan berkata,

   "Eh-eh, Tong Siok, berani engkau mengeluarkan suara macam itu? Setiap orang raja baru berhak menjatuhkan keputusan baru dan mengubah peraturan lama dengan peraturan baru! Kamipun demikian. Sebagai bengcu baru kami telah menjatuhkan keputusan bahwa setiap perkumpulan yang berlindung di bawah kami harus mengeluarkan pembayaran sesuai dengan yang sudah kami taksirkan dan keputusan kami inilah peraturan baru!"

   Sebelum sutenya sempat mengeluarkan kata-kata keras, Sin-ciang Gu Kok Ban sudah cepat berkata,

   "Harap ji-wi bengcu suka bersabar. Terus terang saja, perkumpulan kami agak mundur dan lemah dalam hal keuangan, maka harap ji-wi suka menerima seadanya dulu menurut kemampuan kami. Lain kali tenti kami akan berusaha memenuhi permintaan ji-wi seperti jumlah yang telah ditentukan itu."

   "Pangcu,"

   Kata Hai-liong-ong Phang Tek.

   "Keputusan bengcu mana boleh diganggu gugat dan ditawar-tawar lagi? Kalau kami tidak melaksanakan keputusan kami sendiri, hal itu sungguh akan menurunkan wibawa kami dan mengacau ketertiban."

   "Habis, kalau kami tidak mampu membayar iuran paksaan ini, kalian mau apa?"

   Bentak Tiat-thouw (Kepala Besi) Tong Siok penuh kemarahan, toya besinya sudah tergetar dalam genggaman tangannya.

   "Heh-heh-heh!"

   Kim-liong-ong (Raja Naga Emas) Phang Sun, adik dari Phang Tek, tertawa mengejek.

   "Kalau kalian tidak mau bayar, hanya ada dua kemungkinan. Pertama, Sin-ciang Tiat-thouw-pang harus mengganti ketuanya yang lebih bijaksana dan dapat mentaati peraturan kami. Ke dua, bubarkan saja perkumpulan Sin-ciang Tiat-thouw-pang agar tidak membikin kacau!"

   "Kami tidak mau mengganti ketua, tidak mau membubarkan perkumpulan, tidak mau membayar uang paksa, kalian mau apa!"

   Tiat-thouw Tong Siok membentak, tidak keburu dicegah oleh Sin-ciang (Tangan Sakti) Gu Kok Ban.

   "Bagus! Kalau begitu kami akan mengirim kalian ke neraka!"

   Kata Hai-liong-ong (Raja Naga Laut) Phang Tek yang juga sudah marah menyaksikan sikap bandel dari dua orang ketua perkumpulan yang memang sejak dahulu menentangnya itu.

   Kim-liong-ong Phang Sun sudah menerjang si muka bopeng Tong Siok. Kakek bertubuh kecil pendek ini bergerak dengan kecepatan kilat, tahu-tahu tubuhnya sudah melayang dan tangannya yang kecil itu sudah bergerak menyambar ke arah kepala lawan. Ciauw Si yang menonton terkejut sekali karena dia mengenal gerakan yang amat lihai dan pukulan si kakek kecil itu mengeluarkan suara bercuitan! Tong Siok adalah wakil ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang yang berjuluk Si Kepala Besi, maka tentu saja kepandaiannya cukup hebat dan lebih dari itu, dia telah mengenal kesaktian lawan, maka dia tidak berani ceroboh, cepat dia melempar tubuh ke belakang, berjungkir balik dan toya besinya diputar dalam serangan balasan yang dahsyat pula. Namun, sambil tertawa mengejek si kakek kecil itu menggerakkan tangan kiri menangkis.

   "Ting-ting-cringgg...!"

   Tiga kali tongkat besi bertemu dengan tangan kiri yang terlindung gelang emas sehingga terdengar suara berdencing nyaring dan tubuh wakil ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu terhuyung. Sementara itu, Hai-liong-ong Phang Tek juga sudah menyerang Gu Kok Ban dengan tongkatnya.

   Gu Kok Ban maklum akan kesaktian lawan, diapun mencabut sepasang siang-kiamnya dan menyambut tongkat itu. Terjadilah pertandingan yang amat seru dan hebat, karena Gu Kok Ban dan Tong Siok yang maklum bahwa tingkat kepandaian dua orang lawan itu masih lebih tinggi, tetap melawan dan tidak mau mundur, bertekad untuk membela nama perkumpulan sampai napas terakhir! Betapapun nekatnya mereka itu, tetap saja mereka tidak mampu membendung datangnya serangan lawan yang bertubi-tubi. Dua orang kakek yang memakai julukan raja naga itu memang memiliki gin-kang yang amat tinggi tingkatnya sehingga gerakan mereka jauh lebih cepat, membuat Gu Kok Ban dan Tong Siok menjadi repot dan harus memutar senjata mereka cepat-cepat untuk melindungi tubuh sendiri.

   "Cinggg-cinggg... wuuuutttt...!"

   Tong Siok terkejut bukan main. Selain toya besinya kena ditangkis, juga jari tangan kanan kakek kecil itu hampir saia menusuk pelipis kepalanya. Kalau dia tidak cepat melempar tubuh ke belakang dan jari telunjuk itu mengenal pelipis, tentu kepalanya sudah berlubang dan nyawanya melayang. Akan tetapi si kecil tertawa dan menendang. Tanpa dapat dihindarkan lagi tubuh Tong Siok yang tinggi besar itu mencelat dan bergulingan sampai beberapa meter jauhnya. Namun dia tidak terluka, hanya terkejut dan meloncat bangun lagi dengan muka pucat! Akan tetapi, sebelum dia menerjang lagi, tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu seorang dara yang cantik telah menyerang kakek kecil itu dengan hebatnya! Begitu menyerang, jari-jari tangan dara ini bercuitan menusuk dengan bertubi-tubi ke arah tujuh jalan darah di bagian depan tubuh Kim-liong-ong!

   "Ehhh... ehhhh...!"

   Kim-liong-ong Phang Sun terkejut bukan main karena semua tangkisannya luput karena jari tangan itu sudah ditarik kembali dan dengan kecepatan kilat sudah menusuknya lagi.

   Terpaksa dia meloncat ke belakang, maklum akan bahayanya serangan nona yang baru datang ini. Ternyata Ciauw Si begitu menerjang telah mempergunakan jurus Ilmu Silat San-in-kun-hoat yang ampuh. San-in-kun-hoat (Ilmu Awan Gunung) ini hanya mempunyai delapan jurus, namun setiap jurus merupakan gerakan yang amat hebat dan berbahaya sekali bagi lawan. Tadi Ciauw Si telah menyerang dengan jurus ke lima yang disebut San-in-ci-tian (Awan Gunung Mengeluarkan Kilat), maka tentu saja Kim-liong-ong menjadi terkejut bukan main. Sebaliknya, Ciauw Si tidak heran melihat lawannya dapat menghindarkan diri karena memang dia maklum bahwa kakek pendek kecil ini amat lihai, maka diapun lalu menerjang lagi,

   Sekali ini mengatur langkah menurut Ilmu Thai-kek Sin-kun dan terus mengejar dan menghujankan serangan kepada Kim-liong-ong Phang Sun! Terjadilah perkelahian yang lebih seru lagi dan diam-diam kakek kecil pendek itu terkejut bukan main karena dara cantik ini benar-benar memiliki dasar ilmu silat tinggi yang amat kokoh kuat dan bersih! Selagi dia menduga-duga siapa adanya dara ini, Tong Siok yang merasa beruntung sekali memperoleh bantuan seorang dara yang lihai sudah menerjangnya lagi dengan tongkat besi. Tentu saja Kim-liong-ong menjadi sibuk juga dikeroyok dua oleh lawan yang pandai ini dan dia banyak main mundur, mengelak dan kadang-kadang mempergunakan gelang emasnya untuk menangkis. Kedua tangannya kini mengeluarkan hawa dingin yang berbau amis karena kakek ini sudah mengerahkan ilmunya yang keji, yaitu pukulan-pukulan beracun!

   Betapapun juga, karena kini Ciauw Si yang melihat penggunaan ilmu pukulan beracun telah mencabut pedangnya, kakek kecil itu tetap terdesak hebat. Sinar pedang ber-gulung-gulung seperti seekor naga putih ketika Ciauw Si memutar pedang Pek-kang-kiam. Sesuai dengan namanya, pedangnya ini terbuat daripada baja putih, pemberian dari kakeknya. Di lain fihak, melihat datangnya bantuan seorang dara lihai di fihak musuh, Hai-liong-ong Phang Tek menjadi marah dan juga khawatir melihat adiknya terdesak. Dia mengeluarkan teriakan nyaring dan mendesak Gu Kok Ban dengan tongkatnya. Didesak secara hebat itu, Gu Kok Ban menjadi gugup dan kakinya kena ditendang, membuat dia terguling. Dengan girang Hai-liong-ong menubruk dengan tongkatnya, mengirim pukulan maut ke arah kepala lawan.

   "Tranggg!"

   Tongkatnya terpental dan ternyata yang menangkisnya adalah sinar putih yang diikuti pedang Pek-kang-kiam di tangan Ciauw Si.

   Dara yang bermata tajam ini melihat bahaya mengancam ketua pertama dari Sin-ciang Tiat-thouw-pang, maka dengan kecepatan kilat dia telah menyelamatkan nyawa orang itu. Gu Kok Ban meloncat bangun dan membalas serangan lawan dengan senjata siang-kiamnya, kini dibantu oleh dara itu sehingga Hai-liong-ong terpaksa harus memutar tongkat agar lolos dari ancaman maut. Kini Hai-liong-ong yang dikeroyok dua itu terdesak hebat, akan tetapi sebaliknya Tong Siok yang ditinggalkan Ciauw Si terancam dan terdesak hebat oleh Kim-liong-ong, sampai Ciauw Si meloncat lagi membantu wakil ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang ini! Demikianlah, perkelahian itu menjadi seru sekali di mana Ciauw Si berloncatan ke sana-sini untuk membantu jika seorang di antara dua ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu terdesak!

   Munculnya dara ini benar-benar membuat para penonton, yang terdiri dari orang-orang Sin-ciang Tiat-thouw-pang dan banyak pula orang-orang dari golongan sesat yang menyaksikan pertandingan itu, menjadi gempar! Mereka belum pernah melihat dara ini, dan sekali muncul dara ini telah berani main-main dengan Lam-hai Sam-lo. Dan ternyata dara ini memiliki tingkat kepandaian yang hebat! Akan tetapi, mereka tidak berani turun tangan, karena mereka semua merasa jerih terhadap Lam-hai Sam-lo yang kini tinggal dua orang itu. Karena Ciauw Si harus membantu dua orang, maka tentu saja keadaan mereka bertiga tetap terdesak oleh dua orang kakek sakti itu, dan kalau dilanjutkan, agaknya tentu akhirnya seorang di antara mereka akan roboh oleh Lam-hai Sam-lo. Pada saat perkelahian sedang memuncak serunya, tiba-tiba terdengar teriakan halus,

   "Lam-hai Sam-lo, kalian bikin ribut lagi? Mundurlah!"

   Dua orang kakek itu memandang dan kaget bukan main melihat pemuda yang menegur mereka itu. Cepat mereka meloncat mundur kemudian menghampiri pemuda yang berpakaian indah itu, lalu menjatuhkan diri berlutut.

   "Harap paduka mengampuni hamba, pangeran. Bukanlah hamba berdua, melainkan dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang inilah yang membikin kacau!"

   Kata Hai-liong-ong Phang Tek dengan muka ketakutan. Yang muncul itu bukan lain adalah Ceng Han Houw dan Sin Liong! Seperti kita ketahui, dua orang muda ini melakukan perjalanan ke selatan untuk mencari Ouwyang Bu Sek, sesuai dengan janji Sin Liong untuk membawa Han Houw kepada suhengnya itu untuk dapat ber-guru kepada kakek cebol botak itu. Mereka singgah di Yen-ping dan kebetulan melihat perkelahian itu. Biarpun ada orang berlutut kepadanya dan minta ampun namun pada saat itu sang pangeran sama sekali tidak memandang kepada mereka, melainkan memandang kepada Lie Ciauw Si yang berdiri dengan pedang Pek-kang-kiam di tangan, berdiri dengan sikap gagah.

   Keringat yang membasahi dahi dan lehernya, dan rambut yang kusut terjurai di atas dahinya itu menambah manis dara ini, sehingga Han Houw memandang seperti orang terkena pesona, penuh kagum. Ciauw Si sendiri terkejut melihat munculnya dua orang pemuda remaja itu dan terheran-heran ketika melihat dua orang lawan tangguh itu berlutut dan menyebut pangeran kepada pemuda yang mengenakan topi bulu indah dan berpakaian mewah itu. Akan tetapi ketika melihat pemuda yang tampan gagah ini memandang kepadanya, dia merasa jantungnya berdebar dan cepat menundukkan mukanya. Begitu dara itu menundukkan mukanya, barulah Han Houw menyadari bahwa dia tadi telah memandang kepada gadis itu secara berlebihan. Cepat dia menarik napas panjang dan kini mengalihkan pandang matanya kepada Hai-liong-ong dan Kim-liong-ong.

   "Hemm, Ji-lo, apalagi yang terjadi di sini? Kulihat engkau menyerang kedua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang."

   "Pangeran, mereka itu melanggar peraturan yang telah hamba tetapkan sebagai bengcu baru atas pengangkatan paduka."

   Kata pula Hai-liong-ong dengan harapan untuk mendapatkan dukungan dari pangeran ini. Ceng Han Houw menoleh kepada Sin-ciang Gu Kok Ban dan Tiat-thouw Tong Siok. Dua orang itu berdiri dengan sikap hormat.

   "Benarkan ji-wi sengaja melakukan pengacauan dan menentang bengcu?"

   "Sama sekali tidak, pangeran!"

   Jawab Gu Kok Ban tegas.

   
Pendekar Lembah Naga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Biasanya, semenjak dahulu, perkumpulan kami selalu memberi sumbangan secara suka rela kepada bengcu, sesuai dengan kemampuan kami. Akan tetapi, sekarang kedua orang bengcu baru menentukan jumlah sumbangan yang terlalu besar bagi kami sehingga tidak dapat terbayar. Kami sudah minta kelonggaran, akan tetapi mereka malah marah dan mengandalkan kepandaian untuk menyerang kami. Untung ada lihiap ini yang datang menolong, kalau tidak tentu kami berdua telah tewas di tangan mereka."

   "Hemm, benarkah itu, Ji-lo?"

   Bentak pangeran.

   "Mereka... mereka sengaja tidak mau taat..."

   Hai-liong-ong mencoba untuk membantah.

   "Hemm, seorang pemimpin barulah dapat disebut baik, kalau dia itu tidak hanya mementingkan diri sendiri belaka, akan tetapi memperhatikan keluh-kesah dan kesulitan anak buahnya! Kalian menyalahkan anak buah hanya karena urusan uang, apakah kalian masih kurang memperoleh upah dari kerajaan?"

   "Ampun, pangeran... hamba hanya ingin menjalankan tertib..."

   "Diam! Kalian tidak boleh menjatuhkan keputusan dan peraturan seenak kalian sendiri saja. Setiap peraturan baru haruslah diundangkan dan disetujui oleh semua anggauta dan semua perkumpulan yang berada dalam lingkungan kita. Mengertikah kalian?"

   "Hamba... hamba mengerti!"

   Jawab Hai-liong-ong.

   "Syukur... kalau tidak, tentu kalian berdua akan mengalami nasib seperti Hek-liong-ong! Nah, lekas minta maaf kepada pimpinan Sin-ciang Tiat-thouw-pang!"

   Dua orang kakek itu tidak berani membantah dan mereka lalu bangkit berdiri dan menjura kepada Gu Kok Ban dan Tong Siok yang cepat membalas pula penghormatan itu.

   "Juga kepada nona itu!"

   Kata pula Han Houw. Dua orang kakek itu menjadi merah mukanya. Mereka tidak mengenal nona ini, akan tetapi karena takut kalau-kalau pangeran menjadi semakin marah, mereka lalu menjura kepada Ciauw Si dan minta dimaafkan. Ciauw Si juga membalas penghormatan itu, karena dia sendiri tidak tahu bagaimana duduknya perkara, hanya tadi dia membela dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang karena melihat mereka didesak dan ditindas.

   "Sekarang pergilah dan tunggu perintahku,"

   Kata Han How. Dua orang kakek itu mengangguk, memberi hormat lagi dan tanpa sepatahpun kata mereka lalu pergi meninggalkan tempat itu seperti dua ekor anjing yang dibentak oleh majikannya. Melihat ini semua, Ciauw Si menjadi terkejut dan terheran-heran, juga amat kagum. Pemuda yang disebut pangeran itu masih demikian muda, akan tetapi dua orang seperti dua orang kakek tadi yang memiliki kepandaian hebat sekali, setingkat dengan kepandaian tokoh-tokoh terbesar di dunia kang-ouw, bersikap demikian takut-takut dan tunduk kepada pangeran muda ini! Betapa besar pengaruh dan kekuasaan pangeran ini, pikirnya. Akan tetapi dia tidak berani bertemu pandang secara langsung dengan Han Houw,

   Karena setiap kali bertemu pandang dia melihat pandang mata pemuda bangsawan ini seolah-olah menembus dan menjenguk ke dalam hatinya. Ciauw Si merasa jantungnya berdebar aneh, dan tanpa disadarinya, kedua pipinya menjadi merah sekali. Biarpun dia telah berusia dua puluh empat tahun dan merupakan seorang gadis yang cantik sekali, namun belum pernah dia jatuh cinta, belum pernah dia tergila-gila kepada seorang pria, dan baru sekali ini dia mempunyai perasaan yang aneh sekali ketika berhadapan dengan Pangeran muda ini! Kini Han Houw menghadapi dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang dan Ciauw Si yang masih berdiri menundukkan muka dan pedang tadi telah disimpannya kembali ke dalam sarung pedang yang tergantung di punggungnya. Sejenak Han Houw memandang wajah yang menunduk itu, kemudLan berkata sambil tersenyum kepada Gu Kok Ban,

   "Aih, ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang boleh merasa beruntung sekali telah memperoleh seorang pembantu seperti nona ini yang amat lihai."

   "Maaf, pangeran, sesungguhnya kami selamanya belum pernah bertemu dengan lihiap ini, sama sekali tidak pernah mengenalnya dan baru sekarang kami bertemu dengan lihiap ini yang datang-datang terus menolong kami. Bahkan kami belum sempat menghaturkan terima kasih kepadanya."

   "Ahhh... sungguh mengagumkan! Kalau begitu nona tentu seorang pendekar wanita yang gagah perkasa dan budiman!"

   Han Houw memuji, sikapnya seperti orang yang lebih dewasa, padahal usia pangeran ini baru kira-kira delapan belas atau sembilan belas tahun saja sedangkan nona itu sudah berusia dua puluh empat tahun. Melihat betapa nona yang cantik dan gagah perkasa itu makin menunduk mendengar pujian ini, Han Houw lalu berkata lagi.

   "Bolehkan kami mengetahui siapakah nama nona dan mengapa nona turun tangan membantu kedua ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang yang tidak nona kenal ini?"

   Dengan jantung berdebar karena merasa amat malu terhadap pangeran ini, suatu hal yang amat mengherankan bagi Ciauw Si sendiri, gadis ini mengangkat mukanya yang menjadi kemerahan dan menjura kepada mereka semua dengan sekali gerakan saja, lalu berkata, suaranya halus,

   "Namaku adalah Lie Ciauw Si dan maafkanlah kalau aku lancang men-campuri urusan orang-orang lain yang sama sekali tidak kukenal. Kalau aku sampai turun tangan membantu ji-wi pangcu ini, adalah aku melihat mereka diperlakukan dengan sewenang-wenang oleh dua orang yang menyebut diri mereka bengcu tadi."

   Ciauw Si semenjak kecil ikut kakeknya dan hidup di kalangan orang-orang gagah, maka dia tidak biasa terikat oleh segala peraturan sopan santun, dan wataknya terbuka dan jujur. Itulah pula sebabnya mengapa di depan seorang pangeran, dia masih bersikap demikian bersahaja dan seolah-olah tidak menghormati pangeran itu yang biasanya selalu dihormati dan dijilat oleh sikap orang-orang di sekitarnya. Sikap dara ini saja sudah menimbulkan perasaan suka yang besar dalam dada Han Houw. Sikap seperti itu pulalah yang diperlihatkan Sin Liong maka pangeran itupun merasa suka kepadanya, dan kini, begitu berjumpa, memang hatinya sudah amat tertarik oleh wajah, tubuh, dan kegagahan Ciauw Si, maka sikap terbuka ini makin memperbesar rasa sukanya. Dengan wajah berseri Han Houw berseru,

   "Ah, ternyata nona seorang pendekar yang gagah perkasa dan budiman, yang tanpa memandang bulu selalu akan membantu fihak tertindas. Sungguh kami merasa kagum sekali, nona Lie!"

   "Dan kami berdua bersama seluruh anggauta Sin-ciang Tiat-thouw-pang menghaturkan banyak terima kasih atas budi pertolongan lihiap,"

   Kata Gu Kok Ban sambil menjura, kemudian dia mempersilakan pangeran bersama Sin Liong yang telah mereka kenal sebagai seorang pemuda luar biasa berilmu tinggi, juga Ciauw Si, untuk duduk di dalam. Mula-mula Ciauw Si menolak.

   "Terima kasih, aku hanya kebetulan lewat saja dan setelah urusan ini selesai aku hendak melanjutkan perjalananku."

   "Aih, Lie-siocia, mengapa begitu sungkan? Setelah pertemuan yang amat kebetulan ini, agaknya kita telah ditakdirkan untuk menjadi sahabat, apalagi mengingat bahwa baru saja nona telah menyelamatkan nyawa ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang, maka aku ikut mengharap agar nona sudi memenuhi undangan kami, dan bicara di dalam untuk mempererat persahabatan,"

   Kata Han Houw. Ciauw Si tersenyum dan tidak mampu menolak lagi. Gu Kok Ban dan Tong Siok dengan sibuk lalu memerintah anak buahnya untuk mempersiapkan pesta kecil untuk menghormati pangeran, Sin Liong dan Ciauw Si.

   "Perkenalkanlah, Lie-siocia, aku adalah Ceng Han Houw, adik tiri dari Sri Baginda Kaisar dan aku adalah kuasanya yang melakukan pemeriksaan ke daerah-daerah. Dia ini bernama Sin Liong, adik angkatku yang lihai!"

   Han Houw tidak mau menyebutkan nama keturunan Sin Liong, sesuai dengan keinginan Sin Liong. Dia sedang berusaha mengambil hati dan menyenangkan Sin Liong, maka dia tidak mau menyinggung perasaannya. Kemudian dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang juga memperkenalkan diri kepada Lie Ciauw Si yang dijamu dengan segala kehormatan itu. Semenjak tiba di tempat itu, Sin Liong tidak pernah membuka mulut dan dia tidak begitu memperdulikan nona yang gagah perkasa itu karena memang tidak mengenalnya.

   "Kalau boleh kami mengetahui, Lie-lihiap murid dari perguruan manakah? Ilmu silatmu sungguh amat lihai dan mengagumkan sekali, bahkan kami orang-orang tua yang bodoh tidak dapat mengenalnya,"

   Kata Tong Siok dengan suaranya yang parau dan besar, sesuai dengan tubuhnya yang tinggi besar, kepala botak dan mukanya yang bopeng kasar.

   

Dewi Maut Eps 24 Dewi Maut Eps 25 Dewi Maut Eps 8

Cari Blog Ini