Ceritasilat Novel Online

Dewi Maut 24


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo Bagian 24



"Eng-moi, kau terluka...?"

   Kwi Eng melepaskan rangkulan kedua lengannya dari leher Bun Houw dan mengangkat muka. Kedua pipinya merah sekali, matanya bersinar, wajahnya berseri dan bibirnya tersenyum.

   "Hanya tulang kaki kiriku... patah..."

   "Tulang kakimu patah?"

   Kwi Beng bertanya penuh kekhawatiran, akan tetapi juga penuh keheranan. Tulang kakinya patah mengapa masih bisa tersenyum-senyum dan berseri-seri wajahnya? Melihat Kwi Beng dan Tio Sun, Bun Houw menjadi malu dan cepat dia menyerahkan Kwi Eng kepada kakak kembarnya. Kwi Beng cepat memondong adiknya yang masih berseri dan bercerita kepadanya.

   "Hampir aku celaka oleh si laknat muka monyet itu, untung datang Houw-koko yang berhasil membunuhnya..."

   "Ah, Hui-giakang juga sudah tewas? Sungguh sayang..."

   Tiba-tiba Bun Houw yang melihat mayat wanita itu berseru.

   "Sayang?"

   Tio Sun bertanya heran.

   "Mengapa sayang?"

   "Tio-twako, aku terpaksa merobohkan Toat-beng-kauw tanpa dapat menanyainya lebih dulu dan sekarang tahu-tahu Hui-giakang juga sudah mati. Padahal aku membutuhkan keterangan mereka tentang Siang-bhok-kiam... akan tetapi, masih ada Liok-te Sin-mo. Tentu suheng dan enci berhasil membekuknya. Mari kita ke sana!"

   "Beng-koko, siapa yang membunuh iblis betina itu? Engkau ataukah Tio-twako?"

   Tanya Kwi Eng yang kini dipondong okh kakaknya sendiri.

   "Bukan aku bukan pula Tio-twako, melainkan seorang dewi."

   "Eh? Dewi? Dewi siapakah?"

   "Seorang gadis yang amat lihai, dan kalau tidak ada dia yang menolongku, tentu kakakmu ini sudah menjadi mayat."

   "Ihhhh...! Seperti keadaanku, kalau tidak ada Houw-koko..."

   Mendengar percakapan itu, Bun Houw bertanya,

   "Adik Kwi Beng, siapakah gadis yang menolongmu dan membunuh Hui-giakang itu?"

   Sebetulnya dia sudah dapat menduganya, akan tetapi dia mendesak untuk merasa yakin.

   "Dia seorang yang aneh sekali, setelah membunuh iblis itu lalu pergi dan hanya meninggalkan namanya, yaitu Hong."

   "Aih, dia... ya, tentu saja, siapa lagi..."

   Bun Houw menggumam. Kwi Eng mengerutkan alisnya.

   "Houw-koko, apakah yang kau panggil nona Hong tadi?"

   Bun Houw mengangguk.

   "Dia seorang pendekar wanita yang amat lihai akan tetapi penuh rahasia, tidak mau mengenal orang."

   Berkata demikian, Bun Houw meraba hiasan rambut burung hong yang berada di saku bajunya sebelah dalam. Benar-benar seorang nona yang amat aneh, dan lihai, dan ganas, dan... benarkah sekejam itu membunuh gadis she Ma karena cemburu? Mereka tiba di Ngo-sian-chung dan ternyata pertempuran sudah berhenti. Banyak anak buah Ngo-sian-chung malang melintang, ada yang tewas dan banyak yang terluka, selebihnya melarikan diri. Liok-te Sin-mo Gu Lo It, Bouw Thaisu, Hwa Hwa Cinjin, Hek I Siankouw, berhasil melarikan diri.

   "Enci Keng...!"

   Bun Houw lari menghampiri kakaknya dan memberi hormat.

   "Bun Houw...!"

   Giok Keng merangkul dan memeluk adiknya. Adapun Yap Kun Liong yang duduk di tempat yang agak jauh sambil termenung karena sejak tadi Giok Keng sama sekali tidak mau memandangnya, apalagi bicara dengannya, kini dihampiri oleh Tio Sun, Kwi Beng yang memondong Kwi Eng. Mereka bertiga tidak mau mengganggu pertemuan kakak dan adik yang penuh kemesraan itu, dan mendengar bahwa pendekar yang datang membantu itu adalah Yap Kun Liong, yang mereka bertiga sudah lama dengar dari orang tua masing-masing dan yang mereka kagumi, kini mereka menghampiri pendekar itu. Kun Liong menerima kedatangan tiga orang muda itu sambil tersenyum tenang.

   "Apakah kami berhadapan dengan Yap Kun Liong Taihiap yang mulia?"

   Tio Sun bertanya penuh hormat. Juga Kwi Beng menurunkan adiknya dan mereka berdua memberi hormat. Kun Liong menggerakkan tangannya.

   "Harap kalian jangan terlalu sungkan. Agaknya kalian bertiga orang-orang muda adalah sahabat-sahabat sute Bun Houw, dan melihat gerakanmu tadi, apakah hubunganmu dengan Tio Hok Gwan locianpwe?"

   Tio Sun makin kagum. Tadi dia berkesempatan untuk mengamuk bersama pendekar ini dan kakak perempuan Bun Houw, dan agaknya dalam gerakan-gerakannya pendekar ini sudah mengenal ilmu ayahnya!

   "Memang sudah lama ayah menceritakan saya tentang Taihiap, maka sungguh gembira hari ini saya dapat bertemu dengan Yap-Taihiap."

   "Aih, jadi engkau putera Tio-lo-enghiong?"

   Kun Liong berseru girang, kemudian dia memandang Kwi Beng dan Kwi Eng, alisnya agak berkerut melihat warna mata dan rambut dua orang kakak beradik yang wajahnya sama-sama tampan dan cantik itu yang menunjukkan bahwa dua orang muda ini adalah peranakan-peranakan barat.

   "Dan siapakah kalian berdua?"

   "Ayah dan ibu mengenal paman dengan baik sekali!"

   Kwi Eng yang lebih lincah dan berani itu sudah berseru sambil memegangi lengan kakaknya karena dia tidak berani menggunakan kakinya yang masih belum sembuh.

   "Ayah dan ibu adalah sahabat-sahabat dari paman Yap Kun Liong yang gagah perkasa."

   Kun Liong menjadi kaget dan juga bingung.

   "Siapa? Siapakah ayah bundamu?"

   Kini Kwi Beng yang menjawab,

   "Ayah adalah Yuan de Gama sedangkan ibu..."

   "Souw Li Hwa...! Ya Tuhan...! Mereka... mereka... kusangka mereka sudah tidak ada lagi..."

   Dia makin bingung karena dia sendiri yang membujuk-bujuk kedua orang itu meninggalkan kapal namun mereka tidak mau, dan dengan matanya sendiri dia menyaksikan betapa Yuan de Gama dan Souw Li Hwa tenggelam bersama kapalnya.

   "Ayah dan ibu tidak tewas dengan kapal itu, paman, tertolong seorang nelayan pandai dan sampai sekarang masih hidup. Kami berdua adalah putera-puteri mereka, kakak kembarku ini bernama Richardo de Gama atau Souw Kwi Beng dan saya bernama Maria de Gama atau Souw Kwi Eng."

   Bukan main girangnya hati Kun Liong mendengar ini dan dia melangkah maju, memegangi lengan Kwi Eng dan Kwi Beng, menatap wajah keduanya dan dia mengangguk-angguk.

   "Engkau persis ibumu, tapi matamu persis mata ayahmu... aih, betapa bahagia rasa hatiku mendengar bahwa mereka masih hidup..."

   Suara Kun Liong tergetar karena terharu. Tiga orang muda itu lalu menengok ke arah Cia Giok Keng.

   "Kami belum menghadap Cia-lihiap puteri ketua Cin-ling-pai..."

   Kata Tio Sun, akan tetapi tidak perlu lagi karena kini Bun Houw yang menggandeng tangan encinya sudah menghampiri Kun Liong dengan air muka muram dan merah, pandang matanya marah, sedangkan Giok Keng jelas habis menangis karena matanya masih merah, dan kedua pipinya basah.

   "Yap-suheng...!"

   Begitu tiba di situ Bun Houw menghadapi Kun Liong dan berkata dengan suara keras dan kaku.

   "Sudahlah, adikku, sudahlah...!"

   Giok Keng memegang tangan adiknya dan berusaha mencegah, akan tetapi agaknya Bun Houw tidak mampu mengendalikan kemarahannya lagi. Tadi dia mendengar penuturan encinya tentang kematian kakak iparnya, Lie Kong Tek yang membunuh diri untuk menebus "dosa"

   Encinya yang sebetuinya tidak berdosa. Dapat dibayangkan betapa hancur hati pemuda ini ketika mendengar betapa encinya dituntut oleh Kun Liong dan gurunya, Kok Beng Lama, dituduh membunuh isteri suhengnya atau puteri gurunya itu.

   "Sute, engkau hendak bicara apakah?"

   Kun Liong bertanya, biarpun dia sudah dapat menduga akan kemarahan pemuda ini, dia bertanya dengan sikap tenang.

   "Yap-suheng, perbuatanmu yang telah menjatuhkan tuduhan kepada enci Keng tanpa bukti-bukti nyata itu sungguh tak kusangka dapat dilakukan oleh seorang seperti suheng! Apakah suheng tidak menyadari bahwa kematian Lie?cihu (kakak ipar Lie) disebabkan oleh suheng, seolah-olah suheng
(Lanjut ke Jilid 23)
Dewi Maut (Seri ke 03 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 23
yang membunuhnya dengan tangan suheng sendiri?"

   "Houw-te, jangan... jangan bicara demikian..."

   Giok Keng merangkul adiknya dan menangis.

   "Kau... kau tidak tahu..."

   "Biarlah, enci!"

   Bun Houw berkata sambil melepaskan rangkulan encinya.

   "Aku tidak bisa mendiamkannya saja, dan kalau Yap-suheng sudah berobah menjadi begitu kejam, biarlah aku tewas di tangannyapun tidak mengapa!"

   "Sute, apakah maksudmu dengan kata-kata itu?"

   Kun Liong bertanya, memandang tajam penuh selidik, akan tetapi menekan kemarahannya mengingat bahwa Bun Houw hanyalah seorang pemuda yang masih amat muda dan kini sedang dicengkeram oleh kedukaan dan kemarahan mendengar akan nasib yang menimpa kakak kandungnya.

   "Maksudku, aku tidak akan menerima begitu saja suheng menyebabkan kematian cihu dan membuat hidup enciku menderita. Mari kita selesaikan hal ini antara kita sebagai laki-laki jantan!"

   Bun Houw menantang dan melompat ke depan, siap untuk menghadapi suhengnya yang selama ini amat dikaguminya.

   "Sute, yang memaksaku menuntut encimu adalah ayah mertuaku, yaitu gurumu sendiri. Apakah engkaupun akan menantang gurumu kelak?"

   Tanya Kun Liong dengan suara tenang dan sikap sabar.

   "Suhu tidak akan bertindak demikian kalau tidak suheng yang memberi tahu!"

   Kun Liong menarik napas panjang.

   "Sute, peristiwa yang telah terjadi itu sungguh amat menyedihkan, terlalu menyedihkan. Kalau engkau menyalahkan aku, biarlah, aku menerima salah, akan tetapi jangan harap aku akan dapat melayani tantanganmu yang mentah itu..."

   Kun Liong lalu membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi dari situ.

   "Yap Kun Liong! Berhenti kau...!"

   Bun Houw membentak, akan tetapi Kun Liong tidak menoleh.

   "Bun Houw, jangan... aihhh, jangan...! Ingat, kita masih mempunyai tugas yang lebih penting. Pula, Kun Liong tidak bersalah..."

   "Tapi, enci..."

   Bun Houw bersikeras.

   "Bun Houw! Kau tidak mentaati encimu?"

   Melihat encinya marah, Bun Houw menjadi lemas, menunduk dan memegang kedua tangan encinya.

   "Maaf, enci, aku terlalu marah dan hancur hatiku mengingat akan nasibmu."

   "Kau sungguh terlalu! Kau hanya ingat akan kedukaan kita sendiri, lupa bahwa Kun Liong lebih dahulu kehilangan isterinya yang dibunuh orang secara kejam."

   Wanita itu menghapus air matanya.

   "Dan kau telah berani menghinanya!"

   Bun Houw menunduk.

   "Maafkan, enci... maafkan..."

   "Sudahlah. Aku melihat Lima Bayangan Dewa, biarpun telah dua orang di antara mereka tewas, namun yang tiga masih hidup dan malah mereka dibantu orang-orang yang begitu pandai. Hal ini tidak mungkin dapat kita hadapi sendiri saja. Aku akan kembali ke Cin-ling-pai melaporkan hal ini kepada ayah."

   "Baik, enci. Aku akan menyelidiki mereka."

   "Akan tetapi jangan ceroboh seperti tadi, Bun Houw. Kalau saja tidak datang aku kemudian datang pula Kun Liong, tentu teman-temanmu itu akan terancam bahaya hebat."

   Setelah mendengar tiga orang itu memperkenalkan diri, Giok Keng lalu meninggalkan tempat itu. Tio Sun, Kwi Beng dan Kwi Eng tadi hanya terbelalak mendengarkan dan menonton saja, sama sekali tidak berani mencampuri, bahkan setelah Kun Liong dan Giok Keng pergi, mereka tidak berani bertanya?tanya kepada Bun Houw yang kini menjadi amat keruh wajahnya. Penuturan encinya hanya diambil singkatnya saja, maka dia sendiripun belum tahu benar duduknya persoalan, akan tetapi hati siapa tidak akan berduka mendengar betapa suhunya kini berhadapan dengan keluarganya sebagai dua fihak yang bertentangan?

   "Kedua adik Souw sebaiknya sekarang beristirahat. Saudara Kwi Beng, melihat tulang pergelangan kaki adikmu patah, maka harap kau suka membawa adikmu ke tempat aman dan merawatnya sampai sembuh. Setelah itu, kalian sebaiknya menanti sampai orang tua kalian pulang. Aku hendak melanjutkan penyelidikanku, mengejar Lima Bayangan Dewa yang tinggal tiga orang itu."

   "Akan tetapi, aku ingin membantumu, Houw-koko!"

   Kwi Eng berkata, suaranya agak manja dan penuh permohonan. Bun Houw tersenyum memandang dara itu.

   "Terima kasih, Eng?moi. Akan tetapi, tulang kakimu itu sedikitnya dua pekan baru dapat bersambung kembali, itupun kalau terus mempergunakan obat penyambung tulang yang baik. Selain itu, fihak musuh amat lihai, mempunyai banyak teman yang berilmu tinggi. Enciku benar, aku tidak boleh ceroboh dan sekarang aku hanya hendak menyelidiki lebih dulu. Kalau keadaan musuh terlalu kuat aku harus minta bantuan ayah ibuku."

   "Aku akan menyertaimu, Houw-te."

   Bun Houw memandang Tio Sun dengan girang. Kepandaian putera Ban?kin?kwi ini cukup tinggi sehingga merupakan pembantu yang amat baik.

   "Terima kasih, twako. Nah, kaubawalah adikmu pergi ke tempat aman, saudara Kwi Beng. Kami berdua hendak berangkat sekarang juga. Lain hari kita pasti saling dapat berjumpa kembali."

   Bun Houw dan Tio Sun segera berangkat.

   "Houw-koko...!"

   Kwi Eng berseru memanggil. Bun Houw berhenti, menoleh. Dara itu menangis!

   "Selamat tinggal Eng-moi, sampai jumpa kembali,"

   Kata Bun Houw. Dengan suara terisak, Kwi Eng berkata,

   "Kalau... kalau terlalu... lama kau tidak datang... aku akan mencarimu..."

   Bun Houw hanya mengangguk dan melanjutkan perjalanannya bersama Tio Sun. Dia hanya merasa kasihan kepada Kwi Eng dan sama sekali dia tidak tahu betapa pemuda yang berjalan di sebelahnya itu memandang ke depan dengan pandang mata kosong, dengan hati yang tertusuk dan semangatnya seperti tertinggal bersama Kwi Eng, dara yang telah menjatuhkan hatinya itu.

   Pria itu berjalan di dalam hutan sambil menundukkan mukanya. Wajahnya yang tampan dan gagah nampah keruh dan muram, pandang matanya sayu diliputi kedukaan mendalam. Yap Kun Liong, pria itu, merasa seolah-olah semangatnya melayang-layang, tubuhnya kosong dan pikirannya membayangkan semua hal yang lalu dalam hidupnya. Semenjak kecil, hidupnya yang merupakan sebuah perahu kecil itu selalu dihantam dan dilanda ombak penghidupan yang membadai, yang mengombang-ambingkannya, kadang-kadang hampir menenggelamkannya. Selama ini dia masih dapat mengatasi itu semua, biarpun perahu hidupnya pecah-pecah, koyak-koyak, namun masih belum tenggelam.

   Semenjak peristiwa terakhir yang amat meremukkan hatinya, yaitu kematian isterinya disusul peristiwa di Cin-ling-pai di mana Giok Keng juga kehilangan suaminya yang membunuh diri, dia menjadi seorang pelamun dan pendiam. Hidupnya berobah sama sekali dan di dalam perjalanannya mencari anaknya, Yap Mei Lan, dia lebih banyak duduk melamun di tempat-tempat sunyi, di mana tidak ada seorangpun manusia lain mengganggu lamunannya. Kita manusia tidak menyadari bahwa hidup pasti merupakan medan pertentangan antara susah dan senang, lebih banyak dukanya daripada sukanya, lebih banyak kecewanya daripada puasnya, karena tanpa kita sadari sendiri, kita memang telah mengikatkan diri dengan lingkaran setan yang berupa sebab akibat dan im-yang (atau dewi unsur), yang dapat juga disebut kebalikan-kebalikan.

   Kita selalu menghendaki yang satu tapi menolak yang lain, kita selalu mengejar kesenangan namun menghindari kesusahan, mencari?cari kepuasan menolak kekecewaan dan sebagainya. Padahal, suka duka, senang susah, puas kecewa tidaklah pernah terpisah-pisah, seperti sebuah tangan yang mempunyai dua permukaan, yaitu telapak tangan dan punggung tangan. Mencari yang satu sudah pasti akan bertemu dengan yang lain. Sudah menjadi kebiasaan kita sejak kecil, menjadi suatu hal yang kita terima sebagai sudah semestinya dan seharusnya, yaitu bahwa di dalam segala gerak perbuatan kita, selalu didasari atas pamrih demi kepentingan, kepuasan, kesenangan diri pribadi. Dan setiap perbuatan yang didasari pamrih seperti itu adalah palsu, hanyalah suatu alat belaka untuk mencapai keinginan kita,

   Dan perbuatan seperti itu, betapapun baik kelihatannya, sudah pasti menimbulkan konflik, pertentangan lahir dan batin. Mari kita tengok diri sendiri, mari kita perhatikan diri kita sendiri, bukan orang lain. Kita lihat saja segala gerak tubuh, gerak pikiran, dan gerak mulut atau kata-kata kita. Tidakkah kesemuanya itu mengandung kepalsuan belaka? Sikap kita bersopan-santun kepada tamu misalnya, kalau kita mau memandang diri sendiri secara bebas, kita akan melihat bahwa kesopanan kita itu bukan timbul dari kasih atau keakraban, melainkan merupakan bentuk penjilatan karena tamu itu lebih tinggi atau lebih kaya atau lebih pintar, atau bentuk perendahan diri karena takut, dan sebagainya. Kalau kita melakukan sesuatu demi orang lain sekalipun, di situ tersembunyi pamrih, agar kita dipuja, agar kita menjadi orang baik, agar kita kelak menerima balas jasa.

   Tidak dapatkah kita hidup dengan wajar, apa adanya, tanpa segala kepalsuan ini? Tidak dapatkah kita melakukan segala macam gerak tanpa dasar kepentingan diri pribadi? Hal ini hanya mungkin apabila terdapat CINTA KASIH di dalam diri kita! Dengan cinta kasih, segala apapun yang kita lakukan, yang kita pikirkan, yang kita ucapkan, adalah BENAR, karena CINTA KASIH adalah KEBENARAN. Tanpa cinta kasih, matahari akan kehilangan sinarnya, tumbuh-tumbuhan akan kehilangan warnanya, bunga-bunga akan kehilangan harumnya, dunia akan kehilangan keindahannya. Dengan adanya cinta kasih, kita tidak membutuhkan lagi kebahagiaan karena CINTA KASIH adalah KEBAHAGIAAN!

   Namun sayang! Yang kita miliki bukanlah cinta kasih yang murni, yang suci, yang sejati, yang tidak ada kebalikannya, melainkan kita hanya mengenal cinta terhadap seseorang atau sesuatu benda hidup atau benda mati, suatu yang abstrak dan yang kita puja-puja. Cinta kasih macam ini sesungguhnya bukanlah cinta kasih, melainkan hanya alat untuk menyenangkan diri pribadi, untuk mencari kepuasan seksuil, kepuasan lahirlah, kepuasan hiburan, atau juga kepuasan batiniah yang seaungguhnya hanya morupakan harapan-harapan untuk masa depan belaka! Tentu saja cinta kasih macam ini, yang sesungguhnya bukan cinta kasih melainkan nafsu-nafsu keinginan untuk kesenangan diri pribadi belaka, cinta kasih macam ini mengandung dwi unsur, yaitu senang dan susah, puas dan kecewa,

   Dan karenanya mendatangkan pertentangan yang tiada habis-habisnya. Sebab dan akibat adalah suatu lingkaran setan yang tiada putus-putusnya, akibat dapat menjadi suatu sebab untuk akibat berikutnya, dan si sebab itupun dapat menjadi akibat dari sebab sebelumnya. Celakalah kita kalau mengikatkan diri terjebak dalam lingkaran setan ini. Sebab akibat berada di dalam tangan kita sendiri! Kitalah yang menentukan apakah sebab akibat itu akan berlarut-larut ataukah akan habis sampai di situ saja! Kalau kita menghadapi setiap peristiwa dalam hidup kita dan menyelesaikannya setiap saat, setiap detik peristiwa itu timbul, dan menghabiskannya sampai di situ saja, tanpa mengingat yang lalu dan tanpa membayangkan masa depan, maka sebab akibat sebagai rantai akan pecah berantakan dan lenyap!

   Marilah kita belajar untuk mengenal diri sendiri, setiap saat, dengan memandang penuh kewaspadaan dan kesadaran terhadep diri sendiri, setiap saat pula, dengan perhatian sepenuhnya tercurah pada setiap gerak perbuatan, kata-kata dan pikiran kita sendiri tanpa campur tangan. Dengan perhatian setiap saat, perhatian sepenuhnya, yang timbul dari pengertian yang mendalam, maka pandang mata kita akan menembus sampai sedalamnya, pengertian kita akan bangkit dan kita akan bebas dari segala ikatan karena kita mengerti bagaimana bahayanya ikatan-ikatan itu, dan kebebasan diri dari segala ikatan memungkinkan kita mengenal apa artinya CINTA KASIH tadi. Bukan cinta kasih terhadap sesuatu, atau terhadap semua, yang ada hanya cinta kasih saja. Cinta terhadap seseorang, terhadap semua orang, terhadap alam, kemesraan, semua itu tidak terpisah-pisah dan sudah tercakup di dalamnya.

   Kun Liong, seorang pendekar sakti yang sudah banyak menerima gemblengan hidup biarpun dia berilmu tinggi dan berjiwa pendekar, namun dia belum sadar akan hal ini, oleh karena itu, betapapun gagah perkasanya dia, tetap saja dia terseret dan terjebak di dalam lingkaran setan sebab akibat itu sehingga hidupnya menjadi permainan suka duka yang sesungguhnya hanyalah merupakan penonjolan si aku yang dikecewakan atau sebaliknya aku yang dipuaskan! Kalau saja dia mau mengenal diri pribadi setiap saat, maka segala ilmu di dunia ini sudah berada di dalam diri! Kun Liong terbenam di dalam kedukaan karena dia mengingat akan sikap Giok Keng dan Bun Houw.

   Dua orang sumoi dan sutenya itu, putera-puteri ketua Cin-ling-pai yang boleh dibilang juga gurunya, jelas amat membencinya! Dan dia tidak dapat menyalahkan mereka. Dia tidak mungkin dapat menyalahkan Bun Houw yang menghinanya, karena dia dapat membayangkan betapa hancur dan sakit rasa hati pemuda itu mendengar bahwa kakak iparnya sampai membunuh diri karena encinya didakwa membunuh orang. Padahal dia sendiri kini merasa yakin bahwa bukan Giok Keng yang membunuh isterinya. Sejak peristiwa itu terjadi, dia memang sudah tidak percaya kalau Giok Keng membunuh isterinya! Dia mengenal benar wanita ini, seorang wanita yang biarpun keras hati, namun gagah perkasa dan tidak mungkin mau melakukan perbuatan yang rendah, keji dan curang. Apalagi membunuh isterinya dalam keadaan pingsan. Tak mungkin dilakukan oleh Cia Giok Keng!

   Akan tetapi ayah mertuanya, tak dapat menahan kemarahan dan telah memaksa Giok Keng dan menuntut kepada ketua Cin-ling-pai sehingga terjadi peristiwa yang demikian menyedihkan, yaitu suami Giok Keng membunuh diri untuk menebus "dosa"

   Isterinya! Akan tetapi, diapun tidak menyalahkan mertuanya yang kemudian bahkan menjadi terguncang batinnya dan berobah ingatannya oleh peristiwa-peristiwa itu! Ah, semua itu terjadi karena aku, pikirnya sedih. Karena diriku yang sial dan selalu mendatangkan malapetaka bagi orang lain, sejak dahulu! Mula-mula, di waktu dia masih kecil, dia telah mendatangkan malapetaka bagi ayah bundanya sendiri (baca cerita Petualang Asmara), kemudian hubungannya dengan banyak orang, terutama dengan dara-dara cantik, diapun hanya mendatangkan malapetaka bagi mereka.

   Teringat akan semua ini, Kun Liong menutupi mukanya dengan kedua tangan dan dia duduk seperti patung dalam keadaan demikian sampai lama sekali. Dia telah kehilangan segala-galanya dalam hidupnya. Dia kehilangan isteri yang dibunuh orang, sekaligus kehilangan anak kandungnya yang lari entah ke mana, kemudian kehilangan mertuanya yang menjadi gila, kini kehilangan hubungan dengan Cin-ling-pai sekeluarga. Ketika dia menutupi mukanya, terbayanglah wajah Giok Keng yang kurus pucat, dan perasaan iba memenuhi hatinya. Aihh, dia menjadi sumber segala kesengsaraan hidup orang-orang lain. Kalau demikian, apa pula artinya hidup baginya? Tiba-tiba dia menurunkan kedua tangannya dan mengepal tinju. Kalau dia mati, agaknya dunia ini akan lebih tenteram! Perlu apa dia hidup?

   
Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Perlu mencari pembunuh isteriku!"

   Demikian dia membentak, seperti menjawab pertanyan hatinya sendiri.

   "Aku harus dapat mencari pembunuh isteriku, dan harus dapat menemukan kembali Mei Lan anakku!"

   Dengan tekad yang tiba-tiba muncul seperti sinar-sinar terang yang menerangi ruang hatinya yang gelap pekat tadi, Kun Liong meloncat dan lari secepatnya seperti terbang atau seperti sudah miring otaknya! Akan tetapi, baru saja dia tiba di tepi hutan, Kun Liong cepat meloncat jauh tinggi ke atas dan tubuhnya lenyap di dalam daun-daun yang lebat dari pohon yang amat tinggi itu. Dia melihat berkelebatnya orang dari jauh dan ketika bayangan itu tiba dekat,

   Dia terkejut sekali karena mengenal bayangan itu yang bukan lain adalah Cia Giok Keng! Seperti juga dia, wanita itu berjalan seperti orang yang kehilangan semangat, sungguhpun Giok Keng mempunyai tujuan tertentu dalam perjalanannya, yaitu dia hendak kembali ke Cin-ling-san untuk melaporkan kepada ayahnya tentang kematian dua Bayangan Dewa dan tentang bantuan orang-orang pandai yang agaknya bergabung dengan mereka. Begitu melihat Giok Keng, makin mendalam rasa iba hati yang melanda perasaan Kun Liong. Wanita ini menjadi sengsara hidupnya karena dia! Tanpa disadarinya, seperti dalam mimpi, Kun Liong lalu bergerak dan membayangi Giok Keng dari jauh agar jangan sampai wanita itu melihatnya. Mereka sudah meninggalkan hutan, dan tiba-tiba terdengar teriakan dari arah kiri,

   "Nona Giok Keng...!"

   Giok Keng terkejut sekali. Siapakah yang menyebutnya nona dan mengenal namanya? Dia berhenti dan menanti datangnya orang yang berlari-lari itu dan setelah dekat, ternyata orang itu adalah seorang tua yang menjadi pelayan ayahnya. Pantas saja orang itu menyebutnya "nona"

   Biarpun dia sudah menikah dan sudah mempunyai anak, karena memang sejak dia kecil A-kiong ini sudah menjadi pelayan ayahnya. Begitu tiba di depan Giok Keng, A-kiong lalu menjatuhkan dirinya berlutut dan menangis!

   "Eh, A-kiong... apakah yang terjadi?"

   Tanya Giok Keng, wajahnya yang sudah layu itu menjadi makin pucat.

   "Celaka, nona... celaka sekali..."

   "Tenanglah dan jangan menangis!"

   Giok Keng menghardik. dan A-kiong menyusuti air matanya.

   "Sekarang ceritakan yang jelas!"

   "Saya disuruh oleh Taihiap untuk pergi menyusul Lie-kongcu ke Sin-yang..."

   A-kiong bereerita dan dia selalu menyebut Cia Keng Hong dengan sebuatan Taihiap.

   "Lie-kongcu puteramu itu dibawa oleh Hong Khi Hoatsu ke Sin-yang dan saya disuruh menyusul untuk membantu dan melayani di sana."

   Giok Keng mengangguk. Dia tidak merasa heran karena memang sudah sepatutnya kalau guru suaminya itu membawa Lie Seng ke Sin-yang, selain untuk menghibur hati orang tua itu, juga tentu orang tua itu hendak mendidik Lie Seng.

   "Saya telah tiba di Sin-yang... akan tetapi... ah, celaka sekali, nona...!"

   Kembali dia menangis dan tidak dapat melanjutkan ceritanya.

   "Diam! Hayo ceritakan! Kayak anak kecil saja kau, A-kiong!"

   Bentak Giok Keng marah. Sudah kambuh kembali kekerasan hati wanita ini melihat sikap lemah dari pelayannya.

   "Setibanya di sana saya mendengar dari para tetangga... bahwa... bahwa... semua pelayan rumah dari nona, dan Hong Khi Hoatsu... mereka semua telah... dibunuh orang, sedangkan Lie-kongcu telah diculik oleh pembunuh-pembunuh itu..."

   Terdengar jerit melengking tinggi dan A-kiong terguling karena tidak kuat mendengar pekik yang menggetarkan seluruh isi dadanya itu.

   "Am... pun... nona..."

   Ratapnya sambil berlutut. Giok Keng menutupi mukanya, berdiri menunduk dan terdengar kata-katanya tergetar hebat,

   "Kau pulanglah... pergilah ke Cin-ling-pai... ceritakan semua kepada ayah ibu...!"

   Setelah berkata demikian, kembali terdengar lengking tinggi seperti jerit kesakitan seekor burung hong dan tubuh Giok Keng sudah berkelebat lenyap dari depan A-kiong yang masih berlutut dan menangis sesenggukan seperti anak kecil. A-kiong mengangkat muka memandang ke kanan kiri, kemudian bangkit berdiri dan berjalan tersaruk-saruk menuju ke Cin-ling-san. Dalam waktu beberapa hari saja orang tua yang usianya sudah lima puluh tahun lebih ini menjadi makin tua tampaknya. Giok Keng lari memasuki hutan. Dia tadi menahan-nahan hatinya di depan A-kiong, dan kini setelah dia memasuki hutan yang sunyi, dia lalu menjatuhkan diri di atas an seperti anak kecil sambil menutupi mukanya. Dia menangis mengguguk, memanggil-manggil nama suaminya dan Lie Seng, dan menangis lagi, air matanya bercucuran dan diusapinya dengan lengan baju.

   Di balik sebatang pohon besar, Kun Liong berdiri dengan muka pucat dan beberapa butir air mata mengalir turun dari kedua matanya, dibiarkannya saja menuruni kedua pipinya. Dia telah mendengar semua dan dia makin merasa kasihan kepada wanita ini. Betapa hebat penderitaan batin Giok Keng. Suaminya membunuh diri di depan matanya, dan kini guru suaminya yang seperti ayah mertua sendiri mati terbunuh orang, anaknya diculik pula. Betapa hampir sama penderitaan wanita itu dengan penderitaannya sendiri. Isterinya juga mati, anaknya juga hilang dan ayah mertuanya gila! Seperti disayat pisau rasa hati Kun Liong melihat Giok Keng menangis bergulingan di atas rumput seperti anak kecil, kemudian dia merintih perlahan melihat tubuh Giok Keng tak bergerak lagi dan dia tahu bahwa wanita itu roboh pingsan saking sedihnya.

   "Aduhh... kasihan sekali kau, Giok Keng..."

   Kun Liong menghampiri tubuh wanita itu dan cepat menolongnya, memondongnya dan merebahkannya di tempat yang kering. Pakaian wanita itu basah dan kotor, rambutnya kusut dan mukanya pucat sekali. Dia mameriksa nadinya sebentar dan maklum bahwa kalau dia menyadarkan wanita ini begitu saja, hal itu amat tidak baik bagi jantungnya.

   Wanita ini mengalami tekanan batin yang amat hebat dan tangis tadi, juga pingsannya ini merupakan peringan yang baik malah. Maka dia hanya merapikan pakaian Giok Keng, merebahkannya terlentang dan mengurut punggung serta tengkuknya sampai pernapasan wanita itu menjadi rata dan teratur seperti orang sedang tidur, kemudian dia duduk menjaganya. Melihat wanita ini rebah terlentang di depannya, memandangi wajah yang cantik dan mengandung sinar kegagahan itu, Kun Liong menarik napas panjang dan teringatlah dia akan peristiwa di waktu dahulu, belasan tahun yang lalu. Dahulu, ayah bunda gadis ini mempunyai niat untuk menjodohkan Giok Keng dengan dia (baca cerita Petualang Asmara). Akan tetapi entah bagaimana, semenjak bertemu telah terjadi keributan antara dia dan Giok Keng yang galak.

   Dan akhirnya, Giok Keng sendiri yang minta diputuskannya tali perjodohan yang diikatkan oleh orang tuanya itu karena Giok Keng terbujuk oleh rayuan seorang pemuda sesat, yaitu Liong Bu Kong putera Kwi Eng Niocu. Untung bahwa perjodohan antata dia dan pemuda sesat itu belum berlangsung dan akhirnya Giok Keng maklum akan kesesatan pemuda yang menjatuhkan hatinya itu. Dan akhirnya, karena dia sendiri telah saling jatuh cinta dengan Pek Hong Ing, maka Giok Keng lalu berjodoh dengan Lie Kong Tek. Kini, melihat Giok Keng yang menggeletak dengan wajah pucat seperti mayat, yang dalam keadaan pingsan saja masih jelas membayangkan penderitaan batin yang hebat, timbul pertanyaan di hati Kun Liong. Bagaimana andaikata dahulu mereka itu menjadi suami isteri? Tentu tidak akan timbul peristiwa yang membuat mereka berdua menderita batin begitu hebat!

   "Ooohhhhh... Seng-ji (anak Seng)... di mana kau...?"

   Giok Keng mengeluh dan menggerakkan tubuhnya, membuka matanya. Ketika melihat Kun Liong, dia nampak kaget sekali, dan meloncat bangkit duduk, kemudian meloncat berdiri dengan mata berapi-api.

   "Sumoi, aku melihat kau rebah pingsan maka..."

   "Yap Kun Liong, manusia iblis! Engkau yang membunuh suamiku, engkau yang membunuh mertuaku, engkau yang menculik Lie Seng!"

   Dan Giok Keng sudah menerjang maju dan menghantam dada Kun Liong dengan kepalan tangan kanannya.

   "Dukkkk!!"

   Pukulan yang keras itu diterima oleh Kun Liong tanpa melawan sedikitpun, tanpa mengerahkan tenaganya dan dia terjengkang roboh, lalu bangun kembali dengan muka pucat.

   "Keng-moi, kalau kau menyalahkan aku... biarlah aku menerima salah..."

   "Memang kau bersalah! Memang kau yang menjadi biang keladi semuanya! Memang kau yang merusak hidupku! Kau harus dlhajar!"

   Giok Keng menerjang lagi, mengamuk kalang-kabut dan memberikan pukulan dengan pengerahan tenaga sepenuhnya.

   "Dessss...!"

   Kun Liong terpelanting keras oleh pukulan ini. Namun dia tidak mengeluh dan bangkit lagi.

   "Bukkkk!"

   Tendangan kaki Giok Keng mengenai lambungnya dan dia terlempar. Giok Keng meloncat, mengejar dan memukulinya, menamparnya, menendangnya sampai Kun Liong babak belur dan matang biru seluruh muka, leher dan tubuhnya. Akan tetapi Kun Liong sama sekali tidak mau melawan, bahkan sambil menahan rasa nyeri dia bangkit lagi dan berdiri.

   "Kau bunuhlah aku, Giok Keng... dan aku tidak akan melawan. Aku memang telah menghancurkan hidupmu, aku salah..."

   "Pengecut! Keparat! Hayo kau lawan aku, mari kita selesaikan dengan taruhan nyawa. Engkau atau aku yang mampus di sini!"

   Melihat Giok Keng menghunus pedang yang berkilauan seperti perak, Kun Liong mengangkat dadanya.

   "Bagus, kau tusuklah. Aku sajalah yang mati untuk menebus dosaku terhadapmu, Giok Keng. Untuk apa hidup bagiku, hidup yang penuh dengan derita, duka dan dosa ini? Kau tusuklah!"

   "Kun Liong, hayo kau lawan aku...!"

   Giok Keng menjerit. Kun Liong menggeleng kepala sambil tersenyum, dari ujung bibirnya mengalir sedikit darah. Mukanya matang biru oleh bekas tamparan dan pukulan Giok Keng. Melihat ini, Giok Keng menjadi makin penasaran.

   "Kau... kau tidak melawan... kau... menyerahkan nyawa?"

   Kun Liong mengangguk.

   "Kalau begitu kau... mampuslah...!"

   Giok Keng melangkah maju, mengangkat pedangnya. Kun Liong memandang dengan sikap tenang, sama sekali tidak gentar menghadapi kematian yang hanya akan membuat dia menyusul isterinya.

   "Ouhhh...!"

   Pedang terlepas dari tangan Giok Keng dan wanita ini terkulai lemas, dan tentu sudah terjatuh kalau tidak cepat dipeluk oleh Kun Liong. Wanita itu pingsan lagi. Kun Liong kembali merebahkan Giok Keng di atas rumput dan dia duduk sambil menutupi mukanya dengan kedua tangan. Dia tidak menyesal telah diperlakukan seperti itu oleh Giok Keng, bahkan agak lega hatinya bahwa setidaknya dia telah memberi kesempatan kepada Giok Keng untuk melampiaskan rasa dendam dan sakit hatinya, telah memberi kesempatan kepada wanita itu untuk menghukumnya. Dia akan menanti sampai Giok Keng sadar, dan kalau hendak dilanjutkan membunuhnya, dia akan bersedia tanpa melawan!

   Karena batinya tertindih dan dia menutupi muka dengan kedua tangannya, Kun Liong tidak tahu bahwa Giok Keng sudah siuman dan membuka matanya. Wanita ini membuka matanya tanpa bersuara, kini memandang kepada Kun Liong dengan muka pucat dan mata sayu. Melihat muka yang bengkak-bengkak, pinggir bibir yang berdarah, teringatlah dia akan semua yang telah dilakukannya tadi. Dia setelah kini nafsu amarah yang membuatnya seperti buta tadi lenyap, terbukalah mata batinnya dan dia melihat jelas kini betapa dia telah berbuat keterlaluan! Teringat kini dia betapa Kun Liong telah menderita amat hebatnya, setelah kematian isterinya yang dibunuh oleh orang lain, kehilangan anak tunggalnya. Melihat Kun Liong yang telah dihajarnya habis-habisan tanpa melawan sedikitpun juga itu, bahkan yang menyerahkan nyawanya, kini duduk menjaganya dengan kedua tangem menutupi muka, tak terasa lagi kedua mata Giok Keng menjadi basah.

   "Kun Liong..."

   Dia berkata lirih, suaranya seperti orang merintih dan dia bangkit duduk. Kun Liong terkejut, menurunkan kedua tangannya, memandang. Keduanya duduk saling berpandangan, dan dari pandang mata ini Kun Liong merasakan sesuatu yang membuat dia merasa jantungnya seperti disayat-sayat. Pandang mata Giok Keng penuh rasa iba, penuh rasa penyesalan, penuh permohonan maaf.

   "Giok Keng..."

   Keduanya saling berpegang tangan dan keduanya menangis sesenggukan.

   "Kun Liong, kau ampunkan aku..."

   "Tidak, Giok Keng, tidak... kaulah yang harus mengampunkan aku..."

   Giok keng menangis, mengguguk dan menyandarkan dahi di pundak suhengnya itu, sedangkan Kun Liong mengusap rambut kepala yang kusut itu. Hati mereka seperti diremas-remas rasanya.

   "Aku telah buta tadi... aku telah gila oleh kemarahan dan kedukaan... Kun Liong... mengapa justeru engkau... orang yang selamanya kukagumi, kupuja dalam hati... mengapa justeru engkau yang terlibat dalam malapetaka yang menimpa keluargaku? Ah, mengapa...?"

   "Giok Keng, semenjak semula aku sudah tidak percaya. Aku mengenal siapa kau... engkau memang keras hati, akan tetapi di balik kekerasan hatimu kau berbudi mulia, engkau gagah perkasa dan adil. Tidak mungkin engkau memiliki kekejian membunuh Hong Ing, tapi... tapi mertuaku yang seperti gila karena duka... ah, suamimu menjadi korban dan... dan..."

   "Sudahlah, Kun Liong. Sebenarnya akupun sudah menyadari bahwa semua peristiwa ini bukan karena kesalahan kita berdua, sungguhpun kuakui bahwa aku marah-marah kepada isterimu karena sikap adikmu. Aku... aku tahu betapa hebat penderitaanmu, Kun Liong, aku... aku menyesal sekali dan aku kasihan kepadamu..."

   Kun Liong bangkit berdiri dan membalikkan tubuhnya, memejamkan mata.

   "Kau... kasihan kepadaku? Jangan! Aku sudah merusak hidupmu. Akulah yang amat kasihan kepadamu, Giok Keng, maka aku rela menebus kesalahanku dengan nyawa sekalipun."

   Giok Keng juga meloncat berdiri, lari berputar menghadapi Kun Liong. Mereka berdiri saling pandang dengan mata basah.

   "Nasib kita mengapa begini buruk, Kun Liong? Mengapa kita berdua mengalami semua ini?"

   Kun Liong tak mampu menjawab, hanya memegang kedua tangan wanita itu. Jari-jari tangan mereka saling genggam seolah-olah mereka hendak saling minta bantuan memikul penderitaan batin mereka. Melihat Giok Keng tersedu-sedu, air mata mengalir pula dari kedua mata Kun Liong. Giok Keng mengangkat muka memandang wajah Kun Liong. Kedua pipinya bengkak dan mata kirinya membiru, ujung bibirnya pecah. Dengan tangan gemetar, Giok Keng menyentuh bengkak-bengkak itu.

   "Aku... ah, aku telah gila... kau tentu tersiksa lahir batin oleh perbuatanku tadi..."

   "Jangan ulangi lagi hal itu, Giok Keng. Malah merupakan obat penawar bagiku."

   "Kun Liong, aku bersumpah untuk mencari pembunuh Hong Ing sampai dapat, dan juga untuk mencari Mei Lan dan mengembalikan kepadamu."

   "Dan aku bersumpah untuk membasmi Lima Bayangan Dewa, dan mencari pembunuh mertuamu sampai dapat, dan mencari Lie Seng untuk kukembalikan kepadamu."

   Giok Keng tersedu dengan hati terharu, lalu tiba-tiba melepaskan tangannya dan berkata,

   "Kun Liong, sampai... sampai jumpa..."

   Dia lalu lari secepatnya meninggalkan tempat itu. Kun Liong berdiri seperti patung di tempat itu, memandang sampai bayangan Giok Keng lenyap.

   Apa yang telah terjadi antara mereka? Dia bengong dan kedua tangannya masih tergetar, masih merasakan getaran jari-jari tangan Giok Keng tadi. Pipinya masih merasai sentuhan jari-jari tangan yang gemetar dari Giok Keng. Apa yang terjadi antara mereka? Pertanyaan ini bertubi-tubi menghantam dinding kalbunya. Mengapa timbul keinginan hatinya untuk menghibur Giok Keng, untuk mengembalikan Giok Keng ke dalam kehidupan bahagia, untuk membela dan melindunginya? Mengapa dia merasa amat berkasihan kepada wanita itu, yang dia tahu mengalami kekosongan batin dan dia mengisi kekosongan itu? Mengapa pula dia seperti mengharapkan hiburan dari Giok Keng sehingga sentuhan jari tangan gemetar pada pipinya itu tadi menggores dalam-dalam di hatinya?

   "Apakah aku sudah gila? Apakah dia sudah gila?"

   Demikian Kun Liong berbisik-bisik sambil pergi meninggalkan hutan itu. Tidak, para pembaca budiman. Kun Liong tidak gila. Giok Kengpun tidak gila. Dan pengarangpun tidak gila! Memang belas kasihan adalah getaran yang mendekatkan hati kepada cinta kasih. Di mana ada belas kasihan, berlarianlah iblis-iblis kemarahan, kebencian, iri hati dan lain-lain sehingga memungkinkan terujudnya cinta kasih. Dan hati yang penuh dengan cinta kasih, selalu ada belas kasihan. Keduanya itu tak terpisahkan.

   "Koko, bagaimana engkau sampai dapat terbebas dari tangan Si Kelabang Terbang yang cabul itu? Siapakah sebetulnya wanita yang menolongmu itu?"

   Kwi Eng bertanya kepada kakaknya. Mereka bermalam di sebuah rumah penginapan di kota Yen-an, karena mereka belum berani pulang ke Yen-tai di mana mereka tentu dianggap pelarian dan pemberontak.

   "Dia hebat sekali, Eng-moi. Seorang dewi, seorang bidadari yang cantik jelita dan gagah perkasa. Aihhhh... hebat sekali dia, adikku!"

   Kwi Eng tersenyum.

   "Ihh, kau sudah bertekuk lutut kepadanya, kau jatuh cinta dan tergila-gila kepadanya, koko!"

   Kwi Beng memandang kepada adiknya dengan mata terbelalak.

   "Begitukah? Ah, agaknya benar demikian. Siapa pula orangnya yang tidak jatuh cinta kepada seorang dara seperti dia? Sayang dia diliputi rahasia dan keanehan, dia tidak mau memperkenalkan diri dengan jelas, hanya mengaku bernama Hong. Akan tetapi bagiku, nama itu sudah cukup dan memang mengingatkan aku akan burung dewata itu, burung hong yang terbang melayang-layang di antara awan-awan di angkasa raya, sukar dicapai tangan..."

   "Idiihhh... kalau orang jatuh cinta memang menjadi pengkhayal dan tiba-tiba saja menjadi ahli filsafat dan sajak!"

   "Jangan main-main, adikku. Aku benar-behar jatuh cinta kepada Hong-moi dan aku akan mencari dia sampai dapat. Aku akan menceritakan kepada ayah dan ibu agar mereka suka mengerahkan segala daya upaya untuk menemukan Hong-moi dan melamarnya menjadi calon isteriku. Amboiii... betapa akan bahagianya hidup di samping burung dewata itu..."

   "Hi-hik, dan engkau akan dibawanya terbang ke angkasa raya di antara gumpalan-gumpalan awan putih..."

   Adiknya menggoda.

   "Hush, jangan main-main. Aku serius. Dan kau sendiri kulihatpun tergila-gila kepada Bun Houw. Hayo kausangkal kalau berani!"

   Tiba-tiba kedua pipi yang sudah kemerahan itu menjadi makin merah. Bukan karena godaan ini, melainkan karena dia teringat akan peristiwa asyik-masyuk dan mesra antara dia dan Bun Houw. Kwi Eng memejamkan matanya sehingga dua baris bulu matanya yang panjang lentik itu menjadi satu, membentuk bayang-bayang indah di atas pipi bawah matanya. Dia memejamkan mata dan mulutnya terenyum, mukanya terasa panas ketika dia membayangkan dan mengenangkan ciuman itu!

   "Beng-koko, aku lebih baik mati saja kalau tidak bisa menjadi isterinya!"

   Kwi Beng terkejut. Kiranya adiknya yang bengal inipun serius sekali! Hatinya menjadi terharu dan dia memegang tangan adiknya.

   "Moi-moi, aku doakan semoga akan terkabul cita-citamu dan menjadi isteri Cia Bun Houw yang gagah perkasa itu. Aku akan ikut merasa bangga kalau engkau bisa menjadi isterinya, moi-moi. Akan tetapi, seperti juga aku, apakah engkau tidak mengharap terlampau tinggi? Kita ini hanyalah peranakan-peranakan barat. Dan aku menjangkau burung hong di angkasa, sedangkan engkau menjangkau putera ketua Cin-ling-pai. Apakah kita tidak akan seperti si cebol merindukan bulan?"

   Kwi Eng cemberut memandang kakaknya.

   "Koko, engkau telah terlalu merendahkan diri sendiri. Aku yakin bahwa Houw-koko cinta padaku."

   "Eh, bagaimana kau bisa tahu? Apakah karena dia telah menolong dan menyelamatkanmu? Adikku yang baik, seorang pendekar seperti dia, siapapun akan ditolongnya dan hal itu sama sekali bukanlah tanda jatuh cinta."

   "Engkau seorang laki-laki, tentu tidak tahu. Akan tetapi aku yakin akan cintanya, koko."

   Kwi Eng tersenyum dan mengenangkan ciuman itu dengan mata bersinar-sinar.

   "Begitukah? Syukurlah kalau begitu, adikku. Mudah-mudahan engkau berhasil. Andaikata aku gagal menjadi jodoh Hong-moi, akan tetapi melihat engkau bahagia, maka aku rela. Kebahagiaanmu lebih penting bagiku, adikku."

   Kwi Eng memeluk kakaknya.

   "Tidak, akupun tidak akan berbahagia kalau melihat engkau gagal, koko. Kita sehidup semati, senasib sependeritaan."

   Kwi Beng menarik napas panjang dan mengelus rambut kepala adiknya. Dia mengerti apa yang dirasakan oleh adiknya yang cantik itu, perasaan yang mungkin hanya terasa oleh mereka berdua, atau oleh orang-orang yang dilahirkan kembar, suatu getaran yang menghubungkan batin mereka berdua. Beberapa hari kemudian, dengan girang kedua orang kakak beradik kembar ini mendengar akan kedatangan orang tua mereka di Yen-tai. Mereka cepat memasuki kota itu dan seperti biasa, terjadilah "jalan damai"

   Yang sudah lajim terjadi di seluruh dunia ini, di mana ada manusia-manusia yang menyalahgunakan kekuasaannya.

   Yuan de Gama dan isterinya setelah mendengar urusan anak-anaknya, cepat menghubungi tikoan dan para pembesar setempat, menghaturkan maaf dan tentu saja bukan maaf melalui kata-kata dan sikap yang memegang peran penting, melainkan maaf yang dinyatakan dalam keadaan tertutup dan yang hanya dibuka setelah berada di dalam kamar para pembesar itu, dan setelah dibuka mereka itu masing-masing dengan wajah girang menghitung jumlah emas dan perak yang akan menambah perbendaharaan mereka. Dari manakah timbulnya peristiwa-peristiwa penyuapan dan penyogokan yang telah menjalar di seluruh dunia ini? Suap dan sogok dalam bentuk apapun juga, bentuk harta benda, kedudukan, nama besar, wanita, kehormatan dan sebagainya terjadi di seluruh dunia dan agaknya telah ada semenjak sejarah berkembang.

   Semua ini terjadi karena manusia memegang kekuasaan dan karena manusia itu selalu memiliki kelemahan, yaitu menjadi hamba dari nafsu-nafsu keinginannya, maka manusia yang memegang kekuasaan melihat bahwa kekuasaannya itu merupakan alat yang amat berguna untuk mencapai apa yang diinginkannya! Dipergunakanlah kekuasaannya untuk memaksakan kehendaknya kepada orang lain, yaitu demi terlaksananya apa yang diinginkan dan dibutuhkannya. Padahal, selama manusia mengejar keinginan, maka tidak akan ada habisnya kebutuhan hidupnya. Dan untuk memenuhi ini, manusia tidak segan-segan melakukan apapun juga sehingga timbullah pencurian, perampokan, penipuan, pemerasan dan termasuk penyuapan dan pemogokan yang menjadi akibat dari pemerasan.

   Oleh karena itu, segala tindak korup di dunia ini tidak akan dapat dihentikan oleh apapun juga selama manusia menjadi hamba dari nafsu-nafsu keinginannya sendiri. Selama manusia belum mengenal diri pribadi dan tidak sadar bahwa dirinyalah sumber segala kebusukan. Dunia akan menjadi sebuah tempat yang berbeda sekali apabila kita sudah tidak lagi dikejar atau mengejar kebutuhan! Sandang pangan dan tempat tinggal memang merupakan keperluan mutlak bagi manusia hidup, namun sayang, bukan yang tiga itulah sesungguhnya yang kita kejar-kejar, yang menjadi kebutuhan kita, melainkan kesenangan, kepuasan yang tidak ada ukurannya lagi akan besar dan banyaknya. Maka bahagialah mereka yang TIDAK MEMBUTUHKAN APA-APA. Bukan berarti menolak dan memantang segala sesuatu, melainkan tidak mencari dan tidak akan mengejar.

   Kalau ada, boleh, kalau tidakpun tidak akan mengejar, karena pengejaran ini yang menimbulkan segala macam bentuk kejahatan di dunia. Yuan de Gama dan isterinya, Souw Li Hwa, bukan orang-orang yang suka menyuap pembesar. Kiranya tidak ada orang, betapapun kayanya dia, yang suka membuang-buang uang untuk menyuap dan menyogok kanan kiri. Hal ini dilakukan dalam keadaan terpaksa, karena itu merupakan satu-satunya jalan untuk keluar dari kesulitan yang sengaja ditekankan oleh mereka yang memegang kedudukan. Mendengar akan peristiwa anak-anak mereka yang membasmi sarang bajak laut musuh besar mereka Tokugawa, yang kemudian mengakibatkan kemarahan tikoan, maka Yuan de Gama cepat-cepat mengambil jalan damai itu, menggunakan kekayaan untuk menghabiskan persoalan yang tentu akan menjadi berlarut-larut kalau dilawan dengan kekerasan.

   
"Lain kali, kalau ayah dan ibu tidak berada di rumah, kalian jangan bertindak ceroboh dan menanti saja sampai kami pulang,"

   Yuan de Gama menegur kedua orang anaknya setelah dia berhasil membereskan urusan itu dengan emas dan perak.

   "Ayah, kalau kakak diculik gerombolan Tokugawa, masa aku harus tinggal diam saja?"

   Kwi Eng membantah ayahnya.

   "Anak-anak kita tidak bersalah,"

   Kata Li Hwa dengan sabar kepada suaminya.

   "Agaknya engkau lupa bahwa kita bukan tinggal di barat, di mana petugas hukum lebih baik daripada di sini, suamiku. Seolah-olah engkau sudah lupa saja akan semua pengalaman kita dahulu."

   Yuan de Gama memegang tangan isterinya penuh kasih sayang.

   "Engkau seorang pendekar wanita, isteriku sayang, tentu saja pandanganmu selalu demikian, yaitu menggunakan kekerasan menghadapi kejahatan. Ahh, kalau saja aku tidak kasihan kepadamu yang tidak betah tinggal di barat, tentu akan kuboyong semua keluarga kita ke sana."

   "Kalau ayah ingin tinggal di barat, biar kami berdua tinggal di sini saja!"

   
Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kwi Eng tiba-tiba berkata dengan sikap manja? "Kami lahir di sini dan mencintai tanah ini, dan kami bahkan telah bertemu dengan para pendekar yang amat mengagumkan hati kami."

   Yuan de Gama tertawa. Dia paling sayang kepada anaknya yang perempuan ini, yang selalu dimanjanya karena anak itu mirip sekali dengan isterinya.

   "Ha-ha-ha, darah ibumu lebih kuat mengalir di tubuhmu daripada darahku, Maria. Tentu saja engkau cinta negara dan bangsa ini."

   Akan tetapi Souw Li Hwa memandang kedua orang anaknya itu penuh perhatian, lalu bertanya,

   "Bertemu dengan pendekar-pendekar? Siapa mereka dan di mana?"

   "Kami belum menceritakan pengalaman-pengalaman kami yang amat hebat kepada ibu dan ayah,"

   Jawab Kwi Beng.

   "Sesungguhnya ketika ayah dan ibu pergi, kami berdua telah mengalami hal-hal yang amat luar biasa..."

   "Keributan di Pulau Hiu melawan anak buah Tokugawa itu?"

   Tanya Yuan de Gama, diam-diam merasa girang dan kagum bahwa kedua orang anaknya itu mewarisi keberanian dan kepandaian ibu mereka.

   "Ahhh, itu sih pengalaman kecil tidak berarti!"

   Kata Kwi Eng.

   "Akan tetapi dalam pertempuran kami melawan anak buah Tokugawa, kami sudah bertemu dengan seorang pendekar yang mengenal baik nama ibu. Dia adalah Tio-twako, yang bernama Tio Sun dan tahukah ibu siapa dia? Dia adalah putera tunggal dari seorang bekas pengawal yang setia dari suhu ibu..."

   Kata Kwi Beng.

   "Ah, putera Ban-kin-kwi?"

   Souw Li Hwa bertanya, segera dapat menduga setelah mendengar she orang itu.

   "Benar, dia amat lihai dan tanpa bantuan dia, sukar bagiku untuk menolong Beng-koko. Mula-mula aku yang bertemu dengan Tio-twako, ibu."

   Dan Kwi Eng lalu menceritakan pertemuannya dengan Tio Sun ketika pemuda perkasa ini dikeroyok oleh orang-orang mabok dan dia yang sedang kebingungan karena kakaknya diculik Tokugawa, melihat kelihaian Tio Sun lalu belajar kenal dan minta bantuannya. Girang sekali hati Souw Li Hwa mendengar betapa putera dari bekas pengawal suhunya itu telah menolong menyelamatkan puteranya.

   "Di mana dia sekarang, mengapa tidak kalian tahan supaya bertemu dengan kami di sini?"

   "Dia sudah pergi, ibu, bersama para pendekar yang lain. Ibu dan ayah tentu terkejut sekali mendengar pengalaman kami selanjutnya,"

   Kata Kwi Beng.

   "Beng-koko, biar aku yang bercerita kepada ibu!"

   Kwi Eng memotong kata-kata kakaknya. Kwi Beng tersenyum dan menggerakkan pundaknya, kebiasaan yang merupakan ciri khas dari ayahnya!

   "Pertama-tama ibu dan ayah berdua agar jangan kaget. Kami berdua telah bertemu dengan putera ketua Cin-ling-pai yang bernama Cia Bun Houw!"

   "Aihhh...!"

   Souw Li Hwa terkejut dan Yuan de Gama juga tercengang karena tidak menyangka bahwa anak-anaknya akan berjumpa dengan putera Pendekar Sakti Cia Keng Hong.

   "Juga dengan seorang pendekar wanita yang kepandaiannya seperti dewi kahyangan, namanya nona Hong. Sayang kami tidak tahu siapa nama lengkapnya dan murid siapa dia itu."

   Kwi Beng yang sudah tidak sabar itu segera memperkenalkan dara yang menjadi pujaan hatinya.

   "Dan selain putera ketua Cin-ling-pai, juga kami bertemu dengan puterinya..."

   "Apa? Cia Giok Keng?"

   Souw Li Hwa bertanya dan Kwi Eng mengangguk.

   "Aihh, singa betina itu masih muncul di dunia kang-ouw?"

   Yuan de Gama juga bertanya dengan kagum.

   "Masih ada lagi, ibu,"

   Kwi Eng berkata lagi, gembira menyaksikan betapa ayah dan ibunya dilanda kekagetan yang bertubi-tubi.

   "dan ibu pasti tidak dapat menduga siapa dia."

   Suami isteri itu bengong terlongong mendengar semua cerita itu, kadang-kadang menahan napas kalau mendengar bagian-bagian yang menegangkan, apalagi ketika mendengar betapa nyaris puteri mereka diperkosa oleh Toat-beng-kauw Bu Sit. Setelah ada kesempatan bicara, Yuan de Gama tertawa.

   "Ha-ha-ha, ternyata kalian berdua adalah petualang-petualang seperti juga ibu kalian!"

   "Aihh, apakah bapaknya juga bukan seorang petualang besar? Kalau bukan, masa jauh-jauh dari begian dunia lain di barat datang ke sini dan menikah dengan seorang wanita pribumi?"

   Souw Li Hwa mencela suaminya dan Yuan de Gama hanya tertawa.

   "Ibu, Eng-moi jatuh cinta kepada penolongnya, kepada Cia Bun Houw!"

   Tiba-tiba Kwi Beng berkata. Sebelum ayah dan ibu itu hilang kagetnya, Kwi Eng juga sudah membalas kakaknya,

   "Dan Beng-koko tergila-gila kepada burung... eh, nona Hong yang menyelamatkannya dari Hui-giakang Ciok Lee Kim!"

   "Eng-moi bilang lebih baik mati kalau tidak menjadi isteri Cia Bun Houw!"

   Kwi Beng kembali membalas.

   "Dan Beng-ko bersumpah untuk mencari nona Hong yang seperti dewi itu!"

   Kwi Eng membalas. Ayah dan ibu itu saling pandang dan Souw Li Hwa mendengar suaminya menarik napas panjang.

   "Aha...! Sampai lupa aku bahwa anak-anakku telah menjadi dewasa!"

   "Engkau sih hanya ingat berdagang saja!"

   Souw Li Hwa mencela. Kemudian, dia memandang kedua orang anaknya dan berkata.

   "Beng-ji dan Eng-ji, jangan kalian main-main dengan urusan cinta. Hati yang muda memang mudah sekali tergelincir dan tertarik akan yang indah-indah. Jangan lantas menentukan bahwa kalian jatuh cinta kalau kalian hanya tertarik oleh seseorang karena kegagahan dan keelokan wajahnya."

   "Tidak, ibu. Aku dan dia... Houw-koko itu, kami... sudah saling mencinta. Dan... aku diselamatkan olehnya dalam keadaan seperti itu, ibu. Aku telah bersumpah bahwa hanya ada dua pria saja yang melihatku dalam keadaan seperti itu, yang pertama adalah iblis yang telah mampus itu, dan kedua adalah calon suamiku."

   "Dan bagiku juga tidak ada wanita seperti dia, ibu. Aku harus berjodoh dengan dia, kalau tidak... hidupku tentu akan merana."

   Kwi Beng juga berkata. Souw Li Hwa mengerutkan alisnya dan memandang kepada suaminya dengan sinar mata marah. Melihat ini, Yuan de Gama yang amat mencinta isterinya lalu tersenyum dan berkelakar,

   "Nah, nah, kenapa marah-marah kepadaku? Mereka sudah dewasa dan jatuh cinta, apa salahnya?"

   "Apa salahnya? Inilah akibat perbuatanmu, tahu!"

   "Eh, eh! Kok jadi aku yang kau salahkan, isteriku yang manis?"

   "Yuan de Gama, ini adalah gara-gara engkau mengajarkan Bahasa Portugis kepada mereka, lalu kau suruh mereka baca buku-buku roman itu!"

   "Aihhhh...! Cinta kasih mana bisa dipelajari dari buku? Kalau memang tidak ada rasa di hati, masa mereka begitu mati-matian?"

   "Sudahlah, kita harus urus hal ini. Anak-anak kita baru saja berkenalan dengan mereka dan dengan dunia kang-ouw. Anak-anak kita belum berpengalaman. Aku akan mengajak mereka pergi berkunjung ke Cin-ling-pai. Pertama untuk memberi hormat kepada Cia-Taihiap dan keluarganya, kedua untuk mempererat hubungan. Setelah ada ikatan hubungan persahabatan, baru kita boleh pikir-pikir tentang hubungan perjodohan itu."

   "Kita ke Cin-ling-pai, ibu? Horaaaayyyyy...!"

   Kwi Eng sudah girang sekali dan berloncatan, akan tetapi meringis karena kaki kirinya belum sembuh sama sekali dan dia terpincang-pincang duduk kembali di atas kursinya.

   

Petualang Asmara Eps 50 Petualang Asmara Eps 31 Pedang Kayu Harum Eps 41

Cari Blog Ini