Ceritasilat Novel Online

Pendekar Lembah Naga 47


Pendekar Lembah Naga Karya Kho Ping Hoo Bagian 47



Sin Liong hanya tersenyum. Telinganya penuh dengan suara-suara merdu merayu yang mempesona dan membuatnya lengah.

   Ketika itu, para wanita yang menari telah mengundurkan diri dan suara tambur dipukul gencar, musik mengalunkan lagu perang yang dahsyat. Lalu muncullah dua orang wanita dan Sin Liong terbelalak. Dua orang wanita muda itu memakai pakaian tipis yang membayangkan bentuk tubuh mereka, kedua tangan mereka memegang dua batang obor yang belum dinyalakan. Setelah mereka menjatuhkan diri berlutut di depan sang ketua, lalu Kim Hwa Cinjin meraih dan obor-obor itu menyala! Seperti main sulap saja! Kini kedua orang wanita muda itu mulai menari dengan obor-obor di kedua tangan. Sinar obor yang merah itu menyoroti tubuh mereka dan mereka itu seperti telanjang bulat saja karena sinar itu menembus pakaian yang tipis, memperlihatkan semua lekuk lengkung tubuh mereka yang masih muda dan padat berisi.

   Para murid Pek-lian-kauw bersorak dan bertepuk-tepuk tangan mengikuti irama musik dan suasana penuh dengan pesona dan gairah! Tiba-tiba Sin Liong merasa betapa ada tangan halus yang membelai jari-jari tangannya yang terletak di atas meja. Dia terkejut melihat betapa yang mengelus tangannya itu adalah tangan Ciauw Ki! Sin Liong cepat mengibaskan tangannya dan menarik tangan itu dari atas meja. Ciauw Ki menahan jeritnya karena tangannya terasa agak nyeri. Matanya terbelalak menatap wajah Sin Liong, akan tetapi sinar matanya segera melembut kembali dan senyumnya makin manis memikat. Dari tempat duduknya, Kim Hwa Cinjin melihat adegan ini. Tiba-tiba dia mengangkat kedua tangannya ke atas, menghadap ke arah Sin Liong dan mulutnya kemak-kemik. Ketika itu Sin Liong masih menentang pandang mata Ciauw Ki.

   Tiba-tiba dia merasa seperti ada dorongan yang mengharuskan dia menoleh, memandang kepada dua orang penari wanita yang menggerak-gerakkan obor mereka. Sinar obor itu menyilaukan kedua matanya dan Sin Liong mengeluh. Tiba-tiba dia melihat dua buah mata, sepasang mata yang tajam liar dan menyeramkan, seperti mata iblis sendiri, memandangnya sedemikian rupa sehingga dia terbelalak. Sang mata iblis ini seperti menari-nari di antara obor yang bergerak-gerak itu dan tiba-tiba dia merasa tubuhnya lemas dan matanya mengantuk. Tak tertahankan lagi olehnya rasa kantuk itu. Kepalanya terasa berat, dan obor-obor yang bernyala itu kini terputar-putar. Sin Liong lalu memejamkan mata dan merebahkan kepalanya di atas lengannya yang dipakai sebagai bantal di atas meja. Tiba-tiba dia merasa tengkuknya diraba orang dan tubuhnya semakin lemas lalu dia tidak ingat apa-apa lagi!

   Pemuda itu sama sekali tidak tahu bahwa semenjak pertama kali memasuki rumah induk di mana Kim Hwa Cinjin dan para murid dan pembantunya merayakan pesta ulang tahun mereka, dia telah memasuki perangkap yang amat berbahaya. Mula-mula Kim Hwa Cinjin memperlihatkan sikap ramah sehingga lenyaplah kecurigaan di hati Sin Liong. Ketika Ciauw Ki, seorang di antara murid-murid wanita yang terkasih memperlihatkan keinginan untuk memiliki pemuda tampan itu, Kim Hwa Cinjin menyetujuinya. Sin Liong mulai dijamu dan diperlakukan dengan manis penuh pikatan oleh Ciauw Ki. Biarpun ketika Sin Liong sudah terpengaruh arak namun melihat gadis itu berusaha untuk memikatnya dengan sentuhan tangan, pemuda ini terkejut dan cepat menolak. Kim Hwa Cinjin melihat ini dan dia tidak mau mengecewakan muridnya, maka diam-diam dia lalu mempergunakan ilmu sihirnya.

   Sin Liong yang sedang lengah itu sama sekali tidak tahu bahwa dia diserang dengan ilmu sihir, maka dengan bantuan suara musik dan penglihatan indah dari tari obor oleh dua orang murid wanita itu, sinar obor yang menyilaukan, akhirnya dia berhasil menyihir Sin Liong sehingga pemuda itu tertidur sebelum dia dapat menyadari keadaannya. Ciauw Ki juga cepat menggunakan jari-jari tangannya menotok dan membuat pemuda itu tidak sadar. Sin Liong membuka matanya dan pertama kali yang dirasakannya adalah kepalanya yang berdenyut-denyut pening. Dia mengeluh lirih dan mencium bau arak yang memuakkan. Teringatlah dia bahwa dia terlalu banyak minum arak. Ingin dia memijat-mijat kepalanya, akan tetapi ketika dia hendak menggerakkan tangan, dia terkejut dan heran. Cepat dia membuka mata dan terbelalak memandang kepada kedua lengannya yang terbelenggu.

   Kedua lengan itu terikat pada pergelangan tangan. Suara tertawa kecil membuat dia makin sadar dan kini dia memandang wanita yang duduk di tepi pembaringan itu dengan sinar mata penuh keheranan. Dia telah rebah di atas pembaringan yang empuk, bersih dan harum, dalam sebuah kamar yang diterangi oleh tiga batang lilin. Wanita itu bukan lain adalah Ciauw Ki yang duduk sambil memegangi sebuah cawan arak dengan tangan kanan, sedangkan tangan kiri wanita itu mengelus-elus pahanya! Sin Liong menggerakkan kaki untuk mundur dan ternyata bahwa pergelangan kedua kakinya juga terikat! Agaknya Ciauw Ki mendengar dari para saudara seperguruannya akan kelihaian Sin Liong maka biarpun pemuda itu sudah ditotoknya, tetap saja dia merasa khawatir dan mengikat pergelangan kaki dan tangan pemuda itu.

   "Apa... apa artinya ini...?"

   Sin Liong bertanya sambil mengangkat kepalanya dari bantal.

   "Hik-hik...!"

   Ciauw Ki tertawa genit dengan kepala agak bergoyang-goyang. Wanita cantik ini agaknya sudah setengah mabok. Diam-diam Sin Liong memperhatikan keadaan sekeliling. Tentu malam telah tiba, pikirnya heran. Betapa lamanya dia pingsan atau tertidur di tempat ini. Dia mengingat-ingat dan ketika dia teringat akan sepasang mata yang membuatnya mengantuk, diam-diam dia mengutuk. Dia telah disihir! Tidak ragu-ragu lagi dia. Pek-lian-kauw terkenal dengan ilmu sihirnya. Dalam keadaan lengah dan tidak waspada dia telah kena disihir.

   "Artinya, orang ganteng... bahwa engkau berada di kamarku dan kita... kita akan bersenang-senang malam ini sepuas hati kita... hik-hik...!"

   Diam-diam Sin Liong merasakan betapa masih ada sisa pengaruh totokan di tubuhnya, maka dia lalu mengerahkan sin-kang melancarkan kembali jalan darahnya. Dia masih belum mau mengambil tindakan keras, otaknya berpikir dan timbul kembali kecurigaannya bahwa jangan-jangan Bi Cu juga menjadi korban seperti dia. Maka dia pura-pura tidak berdaya, dan berkata,

   "Mengapa aku dibelenggu kaki tanganku?"

   "Aku khawatir engkau akan menolak, sayang. Aku membelenggumu, akan tetapi lihatlah, belenggu itu dari ikat pinggang suteraku, baunya harum, kauciumiah, hik-hik. Kalau engkau bersikap manis, tentu akan kulepaskan belenggumu. Sekarang, kauminumlah secawan arak ini. Arak ini pemberian suhu, arak istimewa, kau minumlah, sayang, setelah itu baru kubebaskan engkau dan kita bersenang-senang..."

   Cawan arak itu didekatkan pada mulut Sin Liong dan dia mencium bau arak bercampur bau yang aneh. Mengertilah Sin Liong bahwa arak inipun tidak wajar, bukan sembarang arak, akan tetapi tentu saja dia tidak mau minum.

   "Nanti dulu... aku masih pening karena terlalu banyak minum... sebetuinya... aku sedang mencari seseorang... saudaraku..."

   Dia membohong. Yang dicarinya adalah seorang gadis, kalau dia bilang sahabat tentu akan menimbulkan kecurigaan, maka dia mengatakan saudaranya.

   "Hemmmm, saudaramu? Siapakah saudaramu dan mengapa kau mencarinya di sini?"

   Tanya wanita yang sudah merah mukanya karena setengah mabuk itu tangan kirinya masih mengelus paha Sin Liong yang membuat pemuda itu merasa geli.

   "Saudaraku seorang gadis bernama Bi Cu..."

   Sin Liong berhenti bicara karena melihat perubahan pada wajah gadis itu, sepasang mata yang tadinya nampak penuh gairah dan setengah terpejam itu tiba-tiba agak terbelalak. Jantungnya berdebar dan yakinlah dia bahwa wanita ini tahu tentang diri Bi Cu. Tentu saja Ciauw Ki tahu tentang Bi Cu, murid baru gurunya itu. Dia merasa iri hati kepada Bi Cu yang muda dan cantik, dan yang oleh suhunya dipilih sebagai kembang untuk diperebutkan pada perayaan ulang tahun itu! Kalau tidak ada Bi Cu, tentu dialah yang akan diperebutkan, bukan Bi Cu. Dan karena iri hati itulah maka dia sengaja minta ganti kepada suhunya ketika dia melihat Sin Liong!

   "Aihh... kiranya engkau saudaranya! Jangan khawatir, orang tampan, saudaramu itu sekarang sedang dilimpahi kesenangan oleh tiga orang murid Pek-lian-kauw yang paling tampan dan gagah! Akan tetapi engkaupun tidak kalah mujurnya karena engkau mendapatkan aku... heiii... ahhh, aupppp...!"

   Tiba-tiba saja Sin Liong menggunakan sin-kang-nya dan semua ikatan tangan kakinya putus. Ketika melihat dia mematahkan belenggu dan tahu-tahu telah bangkit duduk itu, Ciauw Ki terkejut bukan main dan sebelum dia sempat menjerit, jari tangan kiri Sin Liong telah mendekap mulut yang tadinya tersenyum manis penuh pikatan itu dan meremasnya perlahan sehingga mulut yang manis itu kini nampak peot dan buruk, mata yang tadinya setengah terpejam penuh gairah dan nafsu berahi itu kini terbelalak ketakutan.

   "Hemm, kuhancurkan mulutmu, kalau engkau tidak mengaku terus terang!"

   Desis Sin Liong yang sudah merasa marah dan khawatir sekali. Tidak salah dugaannya, Bi Cu terjatuh ke tangan mereka dan kini agaknya terancam bahaya besar.

   "Aa... aku... ahhhhh..."

   Sukar sekali Ciauw Ki bicara karena mulutnya masih didekap oleh jari tangan Sin Liong. Clauw Ki tiba-tiba menggunakan tangan yang memegang cawan arak itu untuk menghantam ke arah muka Sin Liong, akan tetapi Sin Liong menepuk pundaknya, diapun terkulai lemas dan tidak mampu bergerak lagi. Ketika Sin Liong melepaskan dekapannya pada mulut itu, tubuh Ciauw Ki terkulai di atas pembaringan.

   "Hayo katakan di mana Bi Cu!"

   Dengan suara lemah, Ciauw Ki berkata,

   "Bunuhlah, murid Pek-lian-kauw tidak takut mati! Bi Cu kini tentu sudah habis-habisan diperkosa oleh tiga orang suhengku...!"

   "Plakk!"

   Tangan Sin Liong menampar dan wanita itu pingsan. Mulutnya berdarah dan beberapa buah gigi di mulutnya patah-patah. Tentu kecantikannya akan banyak berkurang oleh tamparan itu, kalau tidak membuat wajahnya bahkan menjadi buruk kelak.

   Cepat Sin Liong meloncat keluar dari kamar itu. Dengan beberapa loncatan dia sudah berada di atas genteng. Pesta kaum Pek-lian-kauw itu masih dilanjutkan dengan meriah, maka mudah baginya untuk melakukan penyelidikan, mencari-cari di mana Bi Cu disembunyikan. Dia tidak perlu terus memaksa Ciauw Ki untuk mengaku karena wanita itu agaknya merupakan tokoh Pek-lian-kauw yang tidak akan mau membuka rahasia perkumpulan, biar diancam atau disiksa sekalipun. Dan Sin Liong takkan tega untuk menyiksa orang, maka dia mengembil keputusan untuk mencari sendiri setelah menampar wanita itu sampai pingsan dalam keadaan tertotok agar tidak membuat gaduh selagi dia mencari tempat Bi Cu disembunyikan. Dia mengintai dari genteng, melihat ke dalam kamar-kamar yang banyak terdapat di perumahan itu.

   Banyak dia melihat kecabulan-kecabulan yang menjijikkan hatinya dan membuat dia tidak mengerti mengapa perkumpulan agama seperti Pek-lian-kauw ternyata memiliki pimpinan dan anggauta-anggauta yang menjadi hamba-hamba natsu berahi seperti itu. Hampir di setiap kamar dia melihat para anggauta Pek-lian-kauw bermain cinta dengan pasangan masing-masing dalam keadaan mabuk! Tiba-tiba dia melihat bayangan berkelebat di bawah. Gerakan bayangan itu amat ringannya, maka dia cepat mengintai. Dengan heran dia melihat bahwa bayangan itu bukan lain adalan bayangan Kim Hwa Cinjin, ketua Pek-lian-kauw sendiri. Dan kakek tua itu kini berindap-indap menghampiri jendela sebuah kamar dan sinar lampu yang menimpa wajah tua itu memperlihatkan senyum iblis, yang membuat Sin Liong bergidik.

   Melihat kakek itu kini mengintai dari jendela, dia tertarik dan cepat dia melayang ke atas genteng dan dengan hati-hati membuka genteng untuk melihat apa yang sedang terjadi di dalam kamar yang diintai sendiri oleh ketua Pek-lian-kauw itu. Dan hampir saja Sin Liong terjengkang di atas genteng, hampir saja dia berseru keras ketika melihat apa yang terdapat di dalam kamar itu! Kamar itu besar, tidak seperti kamar Ciauw Ki tadi. Di sudut kamar mengelilingi sebuah meja yang penuh masakan dan arak sehingga bau arak sampai tercium olehnya di atas genteng, duduk tiga orang laki-laki yang hampir telanjang bulat, hanya mengenakan cawat saja! Mereka itu minum arak sambil tertawa-tawa gembira. Yang seorang berusia kurang lebih empat puluh tahun, kumisnya tebal pendek dan
(Lanjut ke Jilid 44)
Pendekar Lembah Naga (Seri ke 04 "

   Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 44
jenggotnya terpelihara rapi, yang dua orang berusia sekitar tiga puluh tahun dengan muka halus.

   Ketiganya bertubuh tegap dan berwajah yang dapat disebut tampan dan gagah, rambut mereka digelung ke atas seperti rambut para tosu Pek-lian-kauw. Akan tetapi bukan tiga orang itu yang mengejutkan hati Sin Liong, melainkan apa yang nampak di atas sebuah pembaringan yang berada di tengah kamar itu. Dia atas pembaringan itu rebah seorang wanita, rebah terlentang dan lekuk lengkung tubuhnya nampak nyata di bawah pakaian dalam yang tipis sekali. Pakaian luar wanita itu berserakan di bawah tempat tidur dan wanita itu kelihatan seperti orang yang tidur nyenyak. Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Sin Liong melihat wanita ini karena dia mengenalnya sebagai Bi Cu! Dan dara itu tentu dibius, pikirnya dengan kedua tangan dikepal dan mulai berubah merah, sepasang matanya mencorong seperti mata naga yang marah!

   "Sayang dia terpaksa dibius,"

   Kata si kumis tebal.

   "Kalau tidak dia tentu akan menolak dan melawan mati-matian!"

   "Aku lebih senang kalau dia melawan dan meronta, tidak seperti sekarang ini, mirip mayat!"

   Cela orang ke dua sambil menenggak araknya.

   "Dan aku lebih senang kalau dia itu menyerahkan diri dengan manis dan suka rela. Mengapa suhu tidak mempergunakan obat perangsang saja?"

   "Seorang dara yang berhati baja seperti dia itu sukar dapat dipengaruhi obat perangsang, ah, betapapun juga, dia mulus dan masih remaja. Hemm, biarlah kalian menonton dulu, aku akan menjadi orang pertama..."

   "Ah, jangan begitu, suheng! Engkau harus mengalah kepadaku! Biarlah aku dulu yang..."

   "Tidak, aku dulu! Aku yang termuda dan aku lebih pantas baginya!"

   Si kumis tebal tertawa.

   "Ha-ha, kita berebutan seperti anak kecil, seolah-olah kita tidak pernah mendapatkan seorang perawan remaja. Sudahlah, lebih baik kita undi saja!"

   "Atau kita berpetak tangan, siapa menang dia mendapatkan dulu!"

   Mendengar percakapan itu lega bukan main rasa hati Sin Liong. Jelaslah bahwa mereka itu belum sempat mengganggu Bi Cu. Bi Cu belum ternoda dan kedatangannya belum terlambat! Dia tidak mau membuang waktu lagi. Selagi tiga orang tosu itu main petak tangan untuk menentukan siapa yang berhak mendapatkan tubuh dara itu lebih dulu, tiba-tiba terdengar suara keras di atas kamar dan juga di luar rumah.

   Suara keras di atas kamar itu terjadi karena Sin Liong menerjang genteng sampai bobol dan tubuhnya melayang ke dalam kamar seperti seekor naga melayang dari angkasa menerobos awan gelap. Sedang kan suara ke dua lebih keras lagi, yaitu suara sorak-sorai yang gegap-gempita dari banyak orang berkelahi dan beradunya senjata-senjata tajam! Semua orang yang berada di kamar itu terkejut, demikiah pula Kim Hwa Cinjin yang sedang mengintai dengan hati berdebar penuh ketegangan bernafsu berahi itu menjadi terkejut bukan main. Dia melihat betapa pemuda yang menjadi tamunya, yang telah ditundukkannya dengan ilmu sihir dan diserahkan kepada Ciauw Ki untuk dimiliki wanita muridnya itu untuk malam ini dan dia sendiri akan mengintai di kamar Ciauw Ki, tiba-tiba melayang turun ke dalam kamar. Akan tetapi lebih kaget lagi ketika dia mendengar suara hiruk-pikuk di luar.

   Perhatiannya terbagi, akan tetapi dia menganggap keadaan di luar amat berbahaya, maka tanpa memperdulikan keadaan dalam kamar itu, karena dia memandang rendah kepada Sin Liong dan percaya bahwa tiga orang muridnya akan dapat menghadapinya, Kim Hwa Cinjin cepat melompat keluar. Dia terkejut sekali melihat bahwa yang menimbulkan suara gaduh itu adalah penyerbuan dari pasukan pemerintah terhadap sarang Pek-lian-kauw. Kini para anggauta Pek-lian-kauw yang tadi masih berpesta-pora, menghadapi serbuan pasukan pemerintah dengan gugup. Bahkan ada beberapa orang muridnya yang masih telanjang bulat terpaksa melawan musuh, karena mereka itu tadi sedang bersenang-senang dengan pasangannya di dalam kamar, dikejutkan oleh suara itu sehingga keluar dan lupa memakai pakaiannya!

   Sementara itu, dengan ringan sekali Sin Liong sudah melayang turun ke dalam kamar. Diapun mendengar suara ribut-ribut di luar dan dia merasa khawatir. Dia harus dapat cepat melarikan Bi Cu dari kamar ini dan keluar dari perkampungan Pek-lian-kauw, karena kalau sampai dia dikepung oleh semua tokoh dan anggauta Pek-lian-kauw, akan sukarlah baginya untuk dapat menolong Bi Cu. Apalagi Bi Cu berada dalam keadaan pingsan terbius seperti itu, tidak mampu bergerak sendiri. Tiga orang tosu Pek-lian-kauw yang memenangkan hadiah murid wanita baru itu, juga terkejut bukan main. Mereka segera mengenal pemuda yang menjadi tamu ketua mereka dan yang siang tadi sudah ditawan dan diberikan kepada sumoi mereka. Marahlah mereka dan serentak mereka maju menerjang Sin Liong, biarpun mereka dalam keadaan hampir telanjang seperti itu.

   Melihat gerakan mereka, tahulah Sin Liong bahwa mereka itu ternyata adalah tokoh-tokoh besar Pek-lian-kauw, dan tentu merupakan murid-murid utama dari ketua Pek-lian-kauw maka diapun cepat mengelak dan menangkis, kemudian dengan beberapa jurus San-in-kun-hoat, dengan mengisi kedua tangannya dengan Thian-te Sin-ciang, Sin Liong balas menyerang. Tiga orang tosu itu cepat menangkis dan seorang demi seorang berteriak kaget sekali, tubuh mereka terlempar dan menabrak dinding kamar karena mereka itu tidak tahan beradu lengan yang terisi Thian-te Sin-ciang itu. Sejenak mereka nanar dan pusing karena terbanting keras pada dinding kamar dan kesempatan ini dipergunakan oleh Sin Liong untuk menyambar tubuh Bi Cu, tanpa memperdulikan keadaan tubuh dara itu yang hanya tertutup pakaian dalam tipis,

   Dia lalu memondongnya dan melarikan diri meloncat keluar melalui lubang di atas genteng, kemudian dengan cepat diapun meloncat ke tempat yang agak sunyi di belakang rumah karena di banyak tempat kini nampak obor-obor dan orang-orang berkelahi dengan hebat dan mati-matian! Dia tidak tahu apa yang telah terjadi, siapa yang sedang bertempur itu, dan diapun tidak perduli. Yang penting adalah menyelamatkan Bi Cu dan selama dia masih berada di dalam perkampungan itu, keselamatan Bi Cu terancam bahaya. Maka larilah dia, menyusup-nyusup di antara tempat-tempat gelap. Beberapa kali dia bertemu dengan anggauta Pek-lian-kauw atau anggauta pasukan penyerbu sehingga terpaksa dia merobohkan mereka ini dengan tendangan-tendangan kakinya. Tiba-tiba terdengar suara yang amat nyaring melengking, seolah-olah datang dari atas langit.

   "Liong-te... di mana engkau...?"

   Sin Liong terkejut bukan main seolah-olah mendengar kilat menggelegar di siang hari yang panas. Tentu saja dia mengenal suara itu! Suara Ceng Han Houw! Celaka, pikirnya, kiranya para penyerbu Pek-lian-kauw itu adalah pasukan pemerintah yang agaknya dipimpin sendiri oleh Ceng Han How. Pangeran ini jauh lebih lihai dan berbahaya daripada semua orang Pek-lian-kauw. Maka dia mempercepat larinya berloncatan dan akhirnya dia berhasil keluar dari perkampungan Pek-lian-kauw yang geger itu. Setelah memasuki sebuah hutan yang amat gelap, culup jauh dari perkampungan itu, hatinya lega.

   Akan tetapi diapun tidak mungkin dapat melanjutkan larinya karena hutan itu gelap sekali. Maka dicarinyalah tempat yang bersih dan dia merebahkan tubuh Bi Cu ke atas tanah berumput tebal di bawah pohon-pohon besar. Dia berusaha menyadarkan Bi Cu, akan tetapi dara yang telah terbius ini sama sekali tidak mungkin dapat siuman sebelum obat biusnya habis pengaruhnya. Dia seperti orang pingsan, atau orang yang tidur nyenyak sekali. Sin Liong yang maklum bahwa bahaya masih belum lewat dan tentu kaum Pek-lian-kauw, bahkan yang lebih berbahaya lagi, pasukan yang dipimpin Han Houw tentu akan mengejar dan mencarinya, tidak berani membuat api unggun dan untuk melindungi tubuh Bi Cu yang setengah telanjang itu dari serangan nyamuk dan hawa dingin, dia lalu melepaskan bajunya dan menyelimuti Bi Cu dengan baju itu.

   Kemudian dia memegang kedua tangan Bi Cu, menyalurkan sin-kang sehingga hawa hangat memasuki tubuh dara itu, melindunginya dari hawa dingin yang menusuk tulang. Pada keesokan harinya pagi-pagi sekali Sin Liong sudah mendengar suara orang-orang memasuki hutan itu. Terpaksa dia memondong lagi tubuh Bi Cu yang masih juga belum siuman. Dia merasa marah sekali. Orang-orang Pek-lian-kauw itu sungguh keji, membius Bi Cu sampai semalam suntuk belum juga siuman, tentu dengan maksud yang amat kotor dan keji! Dengan bantuan sinar matahari pagi yang remang-remang, dia terus melangkah memasuki hutan sambil memondong tubuh Bi Cu. Tiba-tiba dari balik pohon-pohon besar berloncatan tiga orang tosu, seorang di antara mereka yang berkumis tebal membentak,

   "Pemuda iblis, mau lari ke mana engkau?"

   Sin Liong terkejut dan dia segera mengenal bahwa tiga orang tosu ini adalah mereka yang semalam hendak memperkosa Bi Cu di dalam kamar itu. Akan tetapi karena dia menduga bahwa selain mereka tentu masih terdapat banyak orang Pek-lian-kauw yang agaknya sudah tersebar di dalam hutan, dan mengingat lagi bahwa mungkin akan muncul Ceng Han Houw sehingga akan menyukarkan dia melindungi Bi Cu, dia lalu membalikkan tubuh dan berlari tanpa berkata apa-apa. Tiga orang tosu Pek-lian-kauw itu mengejar dengan marah. Setelah lari beberapa lamanya, Sin Liong menoleh dan mengerling ke belakang. Ternyata pengejarnya tetap hanya tiga orang tosu itu. Giranglah hatinya dan dia cepat menurunkan tubuh Bi Cu ke atas rumput, dan dengan tenang dia menanti kedatangan mereka.

   Tiga orang tosu itu adalah murid-murid pilihan dari Kim Hwa Cinjin. Kalau di waktu Sin Liong masuk ke dalam kamar untuk menolong Bi Cu mereka itu tidak sempat melakukan perlawanan yang gigih adalah karena mereka bertiga berada dalam keadaan hampir telanjang. Kini mereka sudah siap siaga dengan pakaian lengkap dan melihat pemuda itu menurunkan tubuh dara yang telah menjadi sumoi mereka dan menjadi kekasih mereka bertiga karena oleh suhu mereka telah diserahkan kepada mereka, tiga orang tosu ini segera menerjang ke depan. Mereka semalam setelah mengenakan pakaian lalu melakukan pengejaran, tanpa memperdulikan kegegeran yang terjadi di dalam perkampungan Pek-lian-kauw dan melihat pemuda itu lenyap dalam hutan,

   Mereka lalu mencari-cari sampai jauh ke dalam hutan. Karena keadaan amat gelap, maka mereka menanti dan pada pagi hari itu, benar saja mereka melihat pemuda yang dikejarnya berjalan memondong tubuh calon korban mereka. Setelah merasa yakin bahwa pengejarnya hanya tiga orang murid Pek-lian-kauw itu, timbullah kemarahan di hati Sin Liong. Tiga orang itu jahat sekali dan semalam hampir saja menodai kehormatan Bi Cu yang sedang pingsan, maka, orang-orang seperti itu patut dihajar, bahkan patut dibunuh! Melihat mereka bertiga menyerangnya dengan tangan kosong, dengan pukulan berbentuk tamparan yang dia tahu tentulah merupakan pukulan yang beracun, dia sama sekali tidak mau mengelak dan menerima pukulan itu dengan tubuhnya, hanya menggerakkan kepala agar mukanya jangan sampai terkena pukulan.

   "Plak! Plak! Plak!"

   Pukulan atau tamparan tiga orang tosu itu semua mengenai dada, pundak, dan leher. Akan tetapi, betapa kagetnya tiga orang tosu itu ketika tangan mereka seperti mengenai besi baja saja dan lebih kaget lagi hati mereka ketika tangan mereka itu melekat tanpa dapat ditarik kembali dan sin-kang mereka membanjir keluar melalui tangan mereka ke dalam tubuh pemuda itu. Mereka meronta, akan tetapi makin kuat mereka meronta, makin hebat lagi tenaga rontaan itu membanjir keluar dari tangan mereka. Si kumis tebal terbelalak memandang wajah Sin Liong yang tersenyum dingin, dan dia lalu berseru tergagap-gagap,

   "Thi... khi... i... beng...!"

   Mereka pernah mendengar dari guru mereka tentang ilmu yang mujijat ini, akan tetapi belum pernah melihat sendiri ilmu yang mereka anggap hanya terdapat dalam dongeng itu. Akan tetapi kini, melihat betapa tenaga sin-kang mereka memberobot keluar tanpa dapat dicegah, mereka teringat akan ilmu itu dan mereka ketakutan setengah mati. Makin lemaslah mereka, muka mereka telah menjadi pucat karena kehabisan tenaga.

   Tiba-tiba timbul perasaan kasihan dalam hati Sin Liong. Mengapa dia harus membunuh orang, pikirnya. Memang tiga orang ini amat jahat, akan tetapi kejahatan mereka itu belum merupakan alasan kuat bagi dia untuk berubah menjadi Giam-lo-ong alias malaikat pencabut nyawa! Tangan kirinya bergerak enam kali dan tiga orang tosu Pek-lian-kauw itu berteriak dan roboh terjengkang, kedua pundak mereka patah-patah tulangnya. Untuk menghukum mereka, Sin Liong sengaja menghabiskan sin-kang mereka dengan jalan mempergunakan ilmu Thi-khi-i-beng kemudian menampar remuk tulang-tulang kedua pundak mereka. Dengan demikian, biarpun tiga orang itu akan dapat pulih lagi kesehatannya, namun mereka sulit diharapkan akan dapat menjadi ahli-ahli silat yang pandai. Boleh dikata mereka dibuat menjadi tapadaksa dan lenyap kekuatan mereka.

   "Sin Liong..."

   Pemuda itu cepat membalik dan giranglah dia melihat Bi Cu sudah bergerak dan cepat dia menghampiri dan berlutut di dekatnya.

   "Bi Cu, kau sudah siuman...?"

   Teriaknya.

   "Hayo cepat kita melarikan diri, banyak musuh jahat mengejar kita!"

   Sin Liong lalu merangkul dan hendak memondongnya kembali.

   "HHH...!"

   Bi Cu menjerit dan tangan kanannya menampar.

   "Plakkk!"

   Pipi kiri Sin Liong kena ditampar dengan keras karena memang pemuda itu selain sama sekali tidak menyangka-nyangka, juga tidak mau menangkis. Dia terbelalak memandang dengan heran dan mengira bahwa obat bius itu masih mempengaruhi otak dara ini sehingga melakukan tamparan dalam keadaan masih belum sadar benar!

   "Manusia cabul kau! Mata keranjang kau! Ceriwis kau!"

   Mendengar caci-maki Bi Cu dan melihat betapa Bi Cu dengan susah payah menggunakan kedua telapak tangan untuk menutupi bagian-bagian depan tubuhnya dan kemudian membalikkan tubuh membelakanginya, tidak sadar bahwa dengan berbuat demikian dara itu memperlihatkan dua buah bukit pinggul yang indah bentuknya, yang dapat nampak melalui pakaian dalam yang tipis itu, mengertilah Sin Liong dan mukanya berubah merah sekali.

   "Bi Cu, jangan salah mengerti,"

   Katanya lirih sambil menunduk, tidak berani terlalu lama memandang dua bukit menonjol dan garis punggung itu.

   "ketahuilah bahwa ketika aku melarikanmu dari Pek-lian-kauw, engkau sudah berada dalam keadaan seperti sekarang ini dan aku tidak banyak mempunyai waktu untuk mencari pakaian untukmu karena keadaan amat berbahaya dan semalam di dalam hutan ini... tak mungkin mencari pakaian untukmu dan sekarang..."

   "Ihh, cerewet amat sih! Yang mereka pakai itu apalagi kalau bukan pakaian!"

   Bentak Bi Cu. Sin Liong menoleh ke arah telunjuk yang menuding itu dan hampir dia menampar kepala sendiri. Mengapa dia sebodoh itu? Sin Liong tertawa lalu menghampiri seorang diantara tiga tosu tadi, yang paling kecil tubuhnya dan dengan paksa dia lalu menanggalkan pakaian luar tosu ini yang sudah tidak mampu bergerak lagi dan hanya menyeringai menahan nyeri ketika baju dan celana luarnya dilucuti karena kedua pundak yang hancur itu membuat dia tidak mampu menggerakkan tangan.

   "Nah, pakailah ini, Bi Cu."

   Bi Cu tidak banyak cakap lagi, menyambar pakaian itu kemudian lari ke belakang batang pohon besar untuk memakai jubah dan celana yang masih kebesaran untuknya itu. Diam-diam Sin Liong menahan ketawa. Tinggal merangkapkan jubah dan celana itu saja di luar pakaian dalamnya, mengapa harus bersembunyi di balik pohon segala? Tak lama kemudian Sin Liong melihat Bi Cu muncul dari balik pohon dan kembali dia harus menahan ketawanya karena memang Bi Cu nampak lucu sekali dalam pakaian tosu yang kebesaran itu. Biarpun dia sudah menahan-nahan ketawanya, tetap saja mulutnya bergerak-gerak meruncing dan hal ini nampak oleh dara itu.

   "Eh, eh, kenapa kau mecuca-mecucu seperti itu? Kau mentertawakan aku, ya?"

   "Ti... tidak, hanya... kau lucu sekali dalam pakaian itu, Bi Cu."

   "Buatmu lucu, buatku sama sekali tidak lucu! Eh, Sin Liong, apa sih yang terjadi dengan diriku? Yang teringat olehku hanya bahwa aku ikut bersama Kim Hwa Cinjin, diambil murid olehnya."

   "Engkau telah terjebak ke dalam perangkap berbahaya, Bi Cu. Pek-lian-kauw adalah perkumpulan pemberontak, jahat dan cabul. Aku mendapatkan dirimu pingsan oleh obat bius, dan hampir saja engkau dinodai oleh tiga orang keji itu!"

   Sin Liong menuding ke arah tiga orang tosu yang masih rebah di atas tanah, seorang di antara mereka hanya memakai cawat saja karena pakaiannya telah dilucuti. Muka Bi Cu menjadi merah sekali dan matanya terbelalak, membayangkan kemarahan.

   "Apa? Bukankah mereka itu murid-murid Kim Hwa Cinjin...?"

   "Benar, dan agaknya engkau diambil murid dengan maksud yang amat kotor dan keji."

   "Keparat! Kalau begitu mereka ini patut dibunuh!"

   Bi Cu melangkah maju, akan tetapi Sin Liong cepat memegang tangannya.

   "Sudahlah, Bi Cu. Mereka sudah terhukum dan mereka selanjutnya tidak akan mampu lagi mengganggu wanita. Mari kita cepat pergi karena masih banyak musuh yang mengejar, bahkan ada pasukan pemerintah..."

   Mendengar ini, wajah Bi Cu sudah berubah pucat dan dia cepat memegang tangan Sin Liong.

   "Pasukan? Wah, ke mana kita harus lari?"

   "Mari kau ikut denganku!"

   Sin Liong menggandeng tangannya dan mengajaknya lari menyusup ke dalam hutan yang lebih gelap. Mereka berlari terus, akan tetapi tiba-tiba dari depan terdengar suara hiruk-pikuk banyak orang sehingga terpaksa dia mengambil jurusan lain dan terus melarikan diri, makin lama makin jauh ke dalam hutan lebat yang sama sekali tidak dikenalnya. Pada senja hari itu, terpaksa mereka berhenti di bawah pohon yang lebat, di tengah hutan karena Bi Cu sejak tadi sudah mengomel dan mengeluh saja karena lapar dan lelah. Sehari itu mereka berlari-larian terus tanpa berkesempatan makan, bahkan tidak sempat bercakap-cakap karena lelah. Kini Bi Cu tanpa berkata apa-apa lagi sudah menjatuhkan diri ke bawah pohon itu, bersandar pada batang pohon melepaskan lelah dengan mata terpejam.

   Kasihan sekali rasa hati Sin Liong melihat dara ini, maka diapun lalu duduk di atas tanah di depannya. Dara itu diam saja, hanya bersandar dengan wajah pucat dan mata terpejam, kelihatan amat lelah dan menderita. Kerutan alisnya membuat Sin Liong ragu-ragu untuk bertanya, karena kerutan itu membayangkan bahwa Bi Cu kembali sedang "ngambek". Agaknya Bi Cu merasakan pula keheningan ini. Dia membuka kedua matanya, bertemu pandang dengan Sin Liong, menarik napas panjang, bibirnya bergerak tanpa mengeluarkan suara dan akhirnya sepasang mata yang jeli itu terpejam kembali. Sin Liong menelan ludah, memberanikan hatinya. Suasana itu amat mencekam hatinya, karena biasanya, berdua dengan Bi Cu amatlah gembira karena kelincahan dan kejenakaan dara itu, dan sekarang dara itu demikian pendiam dan dingin.

   "Bi Cu... sudah lama aku mencarimu..."

   Bi Cu merapatkan pelupuk matanya. Ada sedu sedan naik dari dadanya. Ingin dia memaki, ingin dia menjerit, mencela mengapa baru sekarang Sin Liong muncul, padahal dia telah mencarinya semenjak mereka berpisah, betapa dia amat merindukan kehadiran Sin Liong, betapa dia amat membutuhkan Sin Liong untuk menemaninya, untuk membantunya kalau menghadapi bahaya. Dan sekarang, baru sekarang pemuda itu muncul, dan dalam keadaan hatinya penasaran itu tiba-tiba pemuda itu menyatakan bahwa telah lama mencarinya. Akan tetapi dia menahan kegemasannya, dan dengan suara datar dingin dia bertanya tanpa membuka matanya,

   "Mau apa kau mencariku?"

   Sin Liong mengangkat muka memandang wajah yang menunduk dan mata yang terpejam itu, dia merasa heran sekali. Bukankah selama dia mencari Bi Cu, di mana-mana dia menemukan keterangan bahwa dara itupun sedang mencari-carinya? Mengapa kini dara itu kelihatan marah dan berduka?

   "Bi Cu, tentu saja aku mencarimu. Semenjak kita berpisah, aku tidak pernah melupakanmu, Bi Cu. Aku amat mengkhawatirkan keadaanmu, mengingat betapa engkau hidup sebatang kara di dunia ini, aku menjelajah sampai jauh dan akhirnya baru aku dapat keterangan tentang engkau beberapa hari yang lalu dan..."

   Tiba-tiba Sin Liong menghentikan kata-katanya dan dia bengong memandang dara itu yang ternyata kini telah menangis tersedu-sedu, menyembunyikan muka di balik kedua tangan dan dari celah-celah jari tangannya menetes air matanya. Bi Cu telah menangis terisak-isak dan sesenggukan seperti anak kecil!

   "Eh, kau kenapa Bi Cu...?"

   Bi Cu mencoba mengangkat mukanya dan matanya terpejam, basah air mata yang bercucuran dan dengan susah payah dia berkata di antara isaknya,

   "Mengapa kau... tidak membiarkan aku mati saja...? Mengapa engkau menolongku...? Hu-hu-huuk, aku memang anak... celaka... mengapa kauperdulikan aku? Kau orang kejam...! Kau telah memaksaku pergi... kau kira aku takut bahaya dan takut mati? Kau menyuruh aku pergi... hu-huukk... aku terlunta-lunta, mati-matian mencarimu... hu-huuuhh... dan sekarang kau masih... pura-pura mencariku...?"

   Sin Liong merasa kasihan sekali dan dia mendekat, menyentuh pundak dara itu.

   "Bi Cu, ketahuilah bahwa dulu itu aku menyuruhmu pergi karena engkau terancam bahaya hebat. Kau tidak tahu betapa jahatnya pangeran itu. Aku melakukan semua itu demi keselamatanmu, Bi Cu."

   "Kenapa...? Kenapa engkau perdulikan keselamatanku...?"

   "Entahlah. Karena engkau sebatangkara mungkin, seperti juga aku. Dan aku... senang sekali berada di dekatmu, melakukan perjalanan bersamamu, Bi Cu."

   Bi Cu makin mengguguk dan kini dia merangkul, menangis di pundak Sin Liong. Pemuda itu menjadi terharu, tak dapat menahan kedua matanya menjadi basah dan dia mengusap rambut kepala dara itu.

   "Sudahlah, Bi Cu, jangan menangis. Bukankah kita sudah saling jumpa dengan selamat?"

   "Sin Liong, jangan... jangan tinggalkan aku lagi..."

   "Tidak! Aku bersumpah tidak akan meninggalkanmu lagi, Bi Cu."

   Isak tangis itu mereda dan mereka masih saling rangkul, dan pada saat itu tidak ada sedikitpun perasaan cinta asmara di dalam batin mereka, yang ada hanyalah perasaan saling membutuhkan dan saling menyukai seperti kakak dan adik, atau seperti dua orang sahabat yang senasib sependeritaan saja.

   "Kau akan mengantarku ke utara untuk mencari musuhku...?"

   Sin Liong terkejut dan teringatlah dia akan ocehan yang keluar dari mulut Kui Hok Boan ketika orang itu menjadi miring otaknya. Mendengar ucapan yang keluar dari orang yang terserang tekanan batin sehingga hampir gila itu, mudah diduga bahwa pembunuh ayah kandung Bi Cu tentulah Kui Hok Boan! Akan tetapi bagaimana dia dapat berterus terang kepada Bi Cu tentang hal ini? Kalau Bi Cu tahu tentang itu, tentu dara ini akan berusaha membalaskan kematian ayahnya, dan kalau itu terjadi, dia sendiri yang akan menjadi bingung. Mungkinkah dia membiarkan orang lain atau Bi Cu sekalipun membunuh Kui Hok Boan dan dengan demikian menyusahkan hati kedua orang adik tirinya, Kui Lan dan Kui Lin yang disayangnya? Sin Liong menjadi bingung akan tetapi dengan suara lirih dia menjawab,

   
Pendekar Lembah Naga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Ya, tentu saja..."

   Kembali hening dan Bi Cu masih bersandar pada pundak Sin Liong. Tangisnya terhenti dan tiba-tiba terdengar suara lirih, suara berkeruyuk yang hanya dapat didengar oleh mereka berdua saja. Suara lirih ini seperti suara gaib yang sama sekali melenyapkan kedukaan dan keharuan hati mereka, yang dalam seketika memulihkan watak Bi Cu yang sebenarnya.

   Tiba-tiba saja, dara yang tadi menangis sesenggukan sedemikian sedihnya, kini tertawa begitu geli dan gembira, bebas lepas dan dia sudah melangkah mundur sambil menudingkan telunjuk kirinya ke arah wajah Sin Liong. Pemuda inipun tersenyum, memandang wajah Bi Cu penuh pesona. Siapa takkan ikut tersenyum gembira melihat dara seperti ini? Tadi di waktu menangis, wajah dara itu tentu akan meluluhkan hati siapapun juga, akan tetapi setelah sekarang tertawa, dengan mata yang masih agak kemerahan dan pipi agak basah itu bersinar dan berseri, bibir yang merah itu terbuka sedikit dengan sopan, nampak sedikit ujung deretan giginya ketika tertawa, membentuk lesung pipit di sebelah kiri mulutnya saja, ah, betapa manisnya, betapa cerahnya, seolah-olah matahari yang baru muncul dari balik awan hitam yang tadi menghalanginya!

   "Ih, tak tahu malu!"

   Bi Cu berseru sambil tertawa geli.

   "Apa yang tak tahu malu?"

   Sin Liong bertanya, hanyut dalam kegembiraan dara itu.

   "Hik-hik-hik, masih tanya lagi. Perutmu yang tak tahu malu, siapa lagi! Aku mendengar ada ayam jantan berkeruyuk di dalamnya tadi!"

   Sin Liong tertawa.

   "Dan akupun mendengar ada ayam betinanya vang berkotek, entah dalam perut siapa! Tak mungkin dalam perutku ada ayam jantan dan ayam betinanya!"

   Bi Cu tertawa dan menutup mulutnya.

   "Dalam perutku! Memang perut kita keduanya tak tahu malu!"

   Melihat kini dara itu sudah pulih kembali kegembiraannya, Sin Liong lalu duduk di atas akar pohon.

   "Bi Cu, selama ini engkau ke mana sajakah? Bagaimana engkau sampai dapat terjatuh ke tangan orang-orang Pek-lian-kauw?"

   Wajah Bi Cu masih berseri gembira, akan tetapi dia menarik napas panjang.

   "Ah, gara-gara engkau menyuruhku pergi ketika itu, banyak hal menimpa diriku."

   Dia lalu menceritakan semua pengalamannya, sampai akhirnya dia hampir ditangkap pasukan pemerintah dan kemudian ditolong oleh Kim Hwa Cinjin dan diajak pergi ke Pek-lian-kauw untuk menjadi muridnya.

   "Hemm, Ceng Han Houw memang berhati palsu! Dia sudah berjanji tidak akan mengganggumu, akan tetapi tetap saja pasukannya hendak menangkapmu. Akan tetapi mengapa engkau mau diambil murid oleh tosu itu, Bi Cu? Apakah kau tidak tahu bahwa dia adalah ketua Pek-lian-kauw yang jahat?"

   "Aku tidak tahu, andaikata aku tahupun agaknya hal itu tidak mempengaruhi, karena aku tidak mengenal Pek-lian-kauw. Dan dia telah menolongku, Sin Liong, dia membunuh belasan orang perajurit itu, dan dia demikian lihai sehingga aku kagum sekali. Entah mengapa, biarpun di lubuk hatiku aku tidak suka menjadi muridnya, namun ternyata aku telah menerimanya dan ikut dengan dia ke pusat perkumpulan itu. Aku diperlakukan dengan amat baik dan manis oleh semua muridnya, dan dalam pesta itu, aku minum arak pesta ulang tahun kemudian tidak ingat apa-apa lagi sampai aku siuman di dalam hutan ini. Dan mereka itu... ah, mereka harus dibunuh!"

   Dara itu meloncat bangun ketika teringat akan tiga orang tosu Pek-lian-kauw itu. Akan tetapi Sin Liong sudah memegang lengannya.

   "Tenanglah, mereka sudah terhukum dan mungkin sekarang Pek-lian-kauw sudah hancur oleh pasukan pemerintah."

   "Eh, apa maksudmu?"

   "Engkau diberi obat bius sehingga tidak ingat apa-apa, untung kedatanganku belum terlambat dan engkau sudah selamat. Inilah yang terpenting. Ketika aku membawamu keluar dari sarang Pek-lian-kauw, malam itu Pek-lian-kauw diserbu oleh pasukan pemerintah. Mungkin hal itu ada hubungannya dengan belasan orang perajurit yang telah dibunuh oleh Kim Hwa Cinjin. Dan kalau yang memimpin penyerbuan pasukan itu Ceng Han Houw sendiri, dan aku yakin akan hal ini karena aku mendengar suaranya, maka tentu tidak akan ada orang Pek-lian-kauw yang dapat lolos."

   "Sin Liong, bagaimana engkau dapat menolongku? Dan ke mana saja engkau pergi selama kita berpisah?"

   "Setelah kita saling berpisah pada tempo hari, aku terpaksa mengantar Pangeran Ceng Han Houw menemui seseorang di selatan. Setelah beres, aku lalu kembali ke utara dan mulai mencarimu."

   "Sin Liong, engkau adalah adik angkat seorang pangeran. Kalau engkau adik angkatnya, mengapa pangeran itu memusuhimu?"

   "Tidak memusuhi, Bi Cu. Hanya dia itu... ah, kelak engkaupun akan mengerti sendiri. Sekarang tidak perlu dia kita bicarakan, engkau tahu... mungkin sekarang dia bersama pasukannya sedang mencari-cari di dalam hutan ini!"

   "Aku tidak takut!"

   Tiba-tiba Bi Cu berseru.

   "Dan sekali ini, jangan engkau mengorbankan diri untukku lagi. Aku tidak sudi pergi dengan selamat tapi harus meninggalkanmu. Aku tidak tahan hidup sendiri lagi tanpa engkau yang menemaniku, selalu gelisah dan bingung. Sin Liong, berjanjilah lagi, bahwa engkau takkan meninggalkan aku, apapun yang terjadi. Kita akan menghadapi bahaya bersama, kalau perlu, aku tidak takut mati, asal bersamamu!"

   Kembali keharuan menyelinap di dalam hati Sin Liong. Entah mengapa, diapun memiliki perasaan seperti yang secara jujur diucapkan oleh dara itu. Kalau dia terpaksa mau berpisah dari Bi Cu seperti yang telah terjadi, adalah karena dia ingin melihat dara itu terbebas dari bencana. Maka kini dia mengangguk dan berkata lirih,

   "Percayalah, aku tidak akan akan meninggalkanmu lagi, Bi Cu."

   "Sin Liong, berkali-kali engkau berhasil menolongku. Bagaimana mungkin dengan kepandaianmu yang tidak seberapa tinggi... ah, aku tahu sekarang! Engkau tentu memiliki kepandaian hebat yang kau sembunyikan. Betul, tidak? Kalau tidak, mana bisa engkau mengalahkan tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu? Juga tidak mungkin engkau mampu me-larikan aku yang dalam keadaan pingsan itu lolos dari Pek-lian-kauw! Sudah lama hal ini menjadi pikiranku. Engkau tentu memiliki kepandaian tinggi, Sin Liong."

   "Ah, engkau tahu bahwa aku tidak memiliki kepandaian apa-apa, Bi Cu."

   "Ilmu silatmu tentu tinggi..."

   "Tidak lebih tinggi daripada ilmu silatmu."

   "Benarkah?"

   Dara itu menarik napas panjang, memandang dengan penuh keraguan kepada Sin Liong. Betapapun juga, dia belum pernah menyaksikan dengan mata kepala sendiri tentang kepandaian pemuda ini. Maka diapun belum yakin benar. Tiba-tiba telinganya kembali menangkap suara berkeruyuk dan kebetulan sekali kembali perut mereka berdua yang mengeluarkan bunyi itu secara berbareng! Bi Cu tertawa lagi.

   "Ih, lekas kau mencari makanan untuk mendiamkan perut-perut tak tahu malu ini, Sin Liong."

   Sin Liong mengerutkan alisnya. Dia merasa sangsi untuk meninggalkan Bi Cu seorang diri di tempat itu, akan tetapi menolak permintaan itupun dia tidak tega karena maklum bahwa memang dara itu lapar sekali, seperti juga dia sendiri.

   "Aku harus melihat dulu di mana terdapat makanan di sini."

   Dia lalu memanjat sebatang pohon besar. Tentu saja kalau dia menghendaki, sekali loncat saja dia sudah akan dapat melayang naik ke puncak pohon, akan tetapi dia tidak mau memperlihatkan kepandaiannya secara terang-terangan kepada Bi Cu, khawatir kalau-kalau sikap Bi Cu akan berubah kalau melihat bahwa dia memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi daripada dara itu. Maka dia lalu memanjat sampai ke puncak dan dari situ dia memandang ke sekeliling.

   "Heii, ada sebuah dusun di barat sana!"

   Teriaknya dari atas. Lalu dia bergegas turun, disambut oleh Bi Cu dengan wajah berseri.

   "Kalau begitu, kau cepatlah ke sana mencari makanan, Sin Liong. Perutku sudah lapar sekali."

   "Bi Cu, apakah tidak sebaiknya kalau kita berdua yang pergi ke sana? Dengan demikian akan lebih aman bagimu, bukan? Dusun itu tidak jauh, paling lama berjalan satu jam akan sampai..."

   "Tidak, Sin Liong. Aku lelah sekali. Tempat ini sunyi, siapa yang akan dapat menggangguku? Pula, aku dapat menjaga diri. Jangan khawatir, lekaslah kau mencari makanan, biar kutunggu di sini."

   Sin Liong mulai mengenal kekerasan hati Bi Cu, maka menghela napas panjang dan berkata,

   "Baiklah, harap engkau jangan pergi ke mana-mana, Bi Cu. Kau tunggulah aku di sini saja, aku takkan lama pergi."

   Sin Liong akhirnya menyetujui untuk meninggalkan Bi Cu, karena diapun berpikir bahwa kalau Bi Cu tidak ikut, dia akan dapat pergi ke dusun itu dan kembali dalam waktu yang jauh lebih cepat. Pula, hari sudah menjelang gelap, kalau masih ada pengejaran dan pencarian dari fihak pasukan pemerintah sekalipun, tentu mereka itu akan menundanya dan akan melanjutkan besok pagi. Sin Liong sudah melangkah ke depan ketika Bi Cu memanggil,

   "Sin Liong..."

   Pemuda itu berhenti membalikkan tubuh.

   "Ada apa, Bi Cu?"

   "Jangan lupa... eh, kau carikan pakaian untukku!"

   "Pakaian? Akan tetapi engkau sudah..."

   "Hushh, siapa sudi memakai pakaian ini terus-terusan? Aku ingin pakaian wanita yang sopan dan pantas, berikut sepatunya. Maukah kau...?"

   "Tentu saja! Akan kucarikan untukmu, jangan khawatir."

   Bi Cu tersenyum sambil memandang dengan wajah berseri dan sepasang mata bersinar-sinar penuh perasaan syukur dan terima kasih. Sin Liong menelan ludah. Bukan main manisnya Bi Cu kalau sudah begitu! Bukan hanya manis, akan tetapi juga ada sesuatu yang menyentuh perasaannya, yang membuat dia merasa terharu,

   Membuat dia merasa ingin untuk merangkul dara itu, mendekapnya, menghiburnya, menyenangkan hatinya. Akan tetapi Sin Liong melawan perasaan ini dengan membalikkan tubuhnya lagi dan mulai melangkah meninggalkan Bi Cu, menuju ke barat. Tanpa disadarinya sendiri, bibirnya meruncing dan dia mendengar mulutnya sendiri bersiul-siul! Perasaan senang yang bukan karena sesuatu, melainkan perasaan nyaman di hati, yang membuat segala sesuatu nampak indah! Memang demikianlah, senang atau susah bukan didatangkan dari luar, melainkan tergantung dari keadaan batin kita sendiri, sungguhpun keadaan itupun dipengaruhi oleh keadaan luar. Senang atau susah masih berada dalam daerah terbatas, daerah terkurung dari kesibukan si aku. Si aku merasa diuntungkan, maka senanglah batin. Si aku merasa dirugikan, maka susahlah batin.

   Batin seperti ini berada dalam cengkeraman si aku yang bukan lain adalah pikiran itu sendiri. Pikiran mencatat segala pengalaman, baik yang senang maupun yang susah, dan pikiran menciptakan si aku, yaitu gambaran tentang diri sendiri, sebagai penikmat kesenangan maupun si penderita kesusahan. Timbullah keinginan untok mengulang atau melanjutkan kesenangan dan menjauhkan kesusahan. Keinginan inilah yang menciptakan lingkaran setan, yang menyeret kita di antara gelombang-gelombang kesenangan dan kesusahan sehingga keadaan kehidupan kita menjadi seperti sekarang ini. Setiap manusia berlumba untuk memperoleh kesenangan, dan demi kesenangan yang dikejar inilah maka terjadi perebutan persaingan, permusuhan, iri hati, kebencian dan sebagainya. Pengejaran kesenangan memisah-misahkan antara manusia, memupuk dan memperkuat si aku.

   Keadaan bahagia sama sekali tidak dapat disamakan dengan kesenangan, walaupun kita pada umumnya menganggap bahwa kesenangan adalah kebahagiaan! Kebahagiaan berada di atas senang dan susah, sama sekali tidak tersentuh oleh keduanya itu. Keadaan bahagia adalah lenyapnya si aku, lenyaplah keinginan mengejar kesenangan dan menghindari kesusahan yang hanya merupakan kesibukan pikiran belaka yang terpengaruh oleh masa lalu, kenangan lalu, pengalaman lalu, ingin mengulang yang menyenangkan dan menjauhi kesusahag. Keadaan bahagia tak dapat diulang-ulang, merupakan sesuatu yang selalu baru. Keadaan bahagia baru mungkin ada kalau terdapat cinta kasih! Cinta kasih baru nampak sinarnya kalau batin dalam keadaan hening dalam arti kata tidak dipengaruhi oleh kesibuk-an pikiran atau si aku yang selalu ingin senang!

   Setelah merasa yakin bahwa Bi Cu tidak dapat melihatnya lagi, Sin Liong lalu mengerahkan kepandaiannya, mempergunakan gin-kang dan ilmu berlari cepat, berlompatan dan berlari seperti seekor kijang muda saja menyusup-nyusup antara pohon-pohon dan semak-semak menuju ke barat, ke arah dusun yang tadi dilihatnya dari atas puncak pohon. Biarpun dusun itu kecil saja dan tidak ada restorannya, namun tidak sukar bagi Sin Liong untuk mendapatkan sekedar roti gandum dan sebotol arak, bahkan dia juga membeli satu stel pakaian yang masih baru milik seorang gadis petani yang tentu saja mau menjual pakalannya dengan harga yang jauh lebih tinggi dari pada harga sebenarnya. Akan tetapi untuk sepatunya, Sin Liong terpaksa hanya dapat memperoleh sepasang sepatu bekas saja, bersama kaus kakinya yang masih baik. Dengan girang pemuda ini lalu berlari cepat kembali ke dalam hutan. Cuaca sudah mulai gelap ketika dia tiba di dalam hutan itu.

   Hatinya berdebar penuh kegembiraan membayangkan betapa akan senangnya hati Bi Cu melihat dia kembali membawa makanan dan arak, bahkan membawa pula pakaian dan sepatu yang cukup baik untuk dara itu. Dibayangkannya betapa wajah manis itu akan menjadi semakin manis karena senyum yang cerah dan sepasang mata yang bersinar-sinar, dan terutama sekali betapa sepasang mata itu memandang kepadanya dengan penuh kegembiraan. Tiba-tiba bayangan ini dihancurkan oleh berkelebatnya bayangan dan tahu-tahu ada seorang laki-laki berdiri di depannya, bertolak pinggang dan memandang kepadanya dengan senyum dikulum dan sinar mata penuh ejekan. Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Sin Liong ketika mengenal orang ini yang bukan lain adalah Pangeran Ceng Han Houw!

   "Pangeran...!"

   "Liong-te, apakah engkau sudah lupa menyebutku Houw-ko? Apakah engkau sudah lupa bahwa kita adalah saudara angkat? Bukan main, di manapun ada keributan, di situ pasti ada engkau! Sama sekali tidak kusangka bahwa engkau tahu-tahu berada di sarang Pek-lian-kauw, dan ketika aku melihat bayanganmu berkelebat, aku segera mengenalmu. Sayang aku terialu sibuk dengan tosu-tosu pemberontak itu sehingga baru sekarang aku dapat menyusulmu."

   "Houw-ko, di antara kita sudah tidak ada urusan apa-apa lagi. Engkau... mengejarku dengan maksud apakah?"

   Tanyanya, harap-harap cemas karena dia tidak tahu apakah Bi Cu sudah tertawan lagi oleh pangeran yang berwatak palsu ini.

   "Ha-ha-ha, adik angkatku ini yang selalu menjauhi wanita, yang tidak pernah mau menerima cinta kasih wanita, yang alim dan suci, ternyata selalu menjadi pelindung wanita! Ha-ha, aku yakin bahwa sekali engkau jatuh cinta, engkau akan menyerahkan segala-galanya kepada wanita. Beberapa kali engkau mengorbankan diri untuk wanita-wanita, untuk dara bernama Bi Cu itu, untuk Kui Lan dan Kui Lin, ha-ha-ha, padahal engkau selalu menolak kalau kusuruh wanita-wanita cantik melayanimu. Sungguh engkau mengherankan hatiku, Liong-te."

   "Sudahlah, aku tidak ingin bicara tentang wanita. Sebetulnya, ada keperluan apalagi engkau menghadangku, Houw-ko? Masih belum puaskah hatimu telah menghinaku di depan banyak orang kang-ouw? Aku telah mengaku kalah, aku telah menerima penghinaanmu tanpa banyak melawan. Harap saja engkau tahu bahwa di antara kita sudah tidak ada urusan apa-apa lagi dan aku tidak ingin berurusan lagi denganmu."

   Pangeran itu menggeleng-geleng kepalanya sehingga hiasan di atas topinya yang terbuat daripada bulu itu bergerak-gerak melambai-lambai.

   "Tidak, Liong-te, aku masih belum puas. Engkau tentu mengerti, tempo hari aku menghinamu dengan sengaja untuk memancing kemarahanmu agar engkau suka melawanku. Akan tetapi engkau memang manusia aneh, luar biasa sekali, tahan hinaan, tahan ujian. Engkau hebat dan inilah yang membuat aku penasaran, Liong-te. Sekarang, mau tak mau, engkau harus melayani aku untuk bertanding mengadu ilmu. Ingin sekali aku melihat apakah benar-benar engkau kalah olehku, bukan hanya pengakuan kosong belaka!"

   Sin Liong merasa sebal dan muak. Dia menggeleng kepalanya dan diam-diam hatinya merasa lega. Agaknya pangeran ini belum melihat Bi Cu. Inilah satu-satunya hal yang penting baginya. Dia lalu berkata,

   "Pangeran Ceng Han Houw, di depan banyak orang aku sudah menyatakan tidak akan melawanmu, sekarangpun, aku mengulang kembali pernyataanku bahwa aku tidak mau mengadu ilmu denganmu. Ilmu yang kupelajari bukan untuk diperlumbakan, bukan untuk disombongkan. Kalau engkau mau memborong gelar Pendekar Lembah Naga, atau Pendekar Nomor Satu di Dunia, silakan, kau boleh memilikinya semua. Aku tidak butuh akan segala gelar itu. Nah, minggirlah dan biarkan aku lewat."

   "Liong-te! Begini keras kepalakah engkau? Dengar, sekali ini, tanpa seorangpun saksi, aku memaksa engkau untuk kita saling menguji kepandaian. Mau tidak mau engkau harus melayaniku, kalau tidak engkau tetap akan kuserang sampai mati! Nah, kausambutlah ini!"

   Pangeran itu telah menerjang dengan hebatnya! Ada angin dahsyat menyambar ketika dia menyerang, padahal pukulannya itu masih jauh, dalam jarak hampir satu meter namun hawa pukulannya telah menyambar sedemikian hebatnya. Sin Liong terkejut sekali. Maklumlah dia bahwa setelah mempelajari ilmu dari ouwyang Bu Sek atau lebih tepat lagi, dari Bu Beng Hud-couw, pangeran ini telah menguasai ilmu yang luar biasa.

   Pukulannya ini saja ampuhnya menggila! Maka diapun cepat meloncat ke belakang, kemudian dengan hati-hati dia menaruh bungkusan roti kering, botol arak dan pakaian berikut sepatu di bawah pohon. Pada saat itu, Ceng Han Houw sudah menerjangnya lagi, penasaran karena pukulan pertama dihindarkan oleh Sin Liong dengan loncatan jauh ke belakang. Dia mengira bahwa pemuda itu gentar menghadapinya. Gentar atau tidak, mau atau tidak Sin Liong sekali ini harus melayaninya bertanding, kalau tidak, dia akan membunuhnya! Dia maklum bahwa kalau belum dapat mengalahkan Sin Liong dia akan masih terus merasa penasaran. Dia sudah melihat kehebatan ilmu dari pemuda yang dianggap sebagai adiknya ini, ketika Sin Liong mengamuk dan merobohkan orang-orang kang-ouw dengan amat mudahnya.

   

Dewi Maut Eps 35 Dewi Maut Eps 10 Dewi Maut Eps 24

Cari Blog Ini