Ceritasilat Novel Online

Pendekar Lembah Naga 48


Pendekar Lembah Naga Karya Kho Ping Hoo Bagian 48



Sin Liong kini sudah siap. Dia tahu bahwa tidak ada jalan lain untuk menolak serangan pangeran itu yang hendak memaksanya mengadu ilmu. Tentu saja dia tidak mau mati konyol dan juga sekarang tidak ada alasan untuk mengalah lagi. Sudah berkali-kali dia mengalah demi menyelamatkan nyawa orang lain, akan tetapi sekarang mereka berdua bertemu di hutan itu tanpa saksi, tanpa ada hal-hal yang memaksanya untuk mengalah, maka tentu saja dia tidak ingin membiarkan dirinya dipukul sampai mati. Begitu pukulan Han Houw datang, pukulan yang dahsyat sekali karena kedua tangan pemuda bangsawan itu maju dengan kecepatan kilat, yang kiri memukul dengan tangan miring ke arah lehernya, yang kanan menusuk dengan jari tangan ke arah ulu hatinya, diapun cepat menggerakkan kedua tangannya yang melakukan gerak dan diisi dengan tenaga Thian-te Sin-ciang.

   "Plak! Plakk!"

   Keduanya terpelanting!

   "Bagus!"

   Han Houw gembira bukan main. Memang dugaannya tidak kosong. Adik angkatnya ini kuat sekali sehingga tangkisannya tadi mengandung tenaga besar yang membuat dia terpelanting, sungguhpun tenaganya sendiripun membuat Sin Liong terpelanting pula.

   Dengan demikian, jelaslah bahwa dalam tenaga sin-kang, mereka memiliki kekuatan se-imbang. Namun, Han Houw masih belum merasa puas. Tenaga yang dikeluarkannya tadi belum sepenuhnya, baru tigaperempat bagian saja. Maka kini dia menggereng dan kembali dia menubruk dengan serangan pukulan dahsyat, menggunakan seluruh tenaganya, dengan kedua tangan dia mendorong ke arah dada Sin Liong untuk membikin pecah dada lawan itu. Sin Liong mengerti bahwa kakak angkatnya ini merasa penasaran dan hendak mengadu tenaga. Baik, pikirnya. Dia telah mewarisi Thian-te Sin-ciang dari mendiang Kok Beng Lama, maka kini diapun menahan napas dan mempergunakan seluruh tenaganya dari pusat di bawah perut, menyalurkannya kepada kedua lengannya dan diapun mendorong untuk menyambut hantaman lawan.

   "Desss...!"

   Hebat bukan main akibat adu tenaga keras lawan keras itu. Keduanya terjengkang dan bergulingan sampai beberapa meter jauhnya, dan ketika keduanya meloncat bangun, wajah Sin Liong pucat sekali akan tetapi di ujung bibir kiri Ceng Han Houw nampak setetes darah segar!

   "Bukan main! Tenagamu amat luar biasa!"

   Kata Han Houw agak terengah.

   "Houw-ko, perlukah pertandingan gila ini dilanjutkan?"

   "Haiiitttt...!"

   Pukulan yang datang disertai loncatan kilat ini benar-benar dahsyat bukan main. Saat itu Sin Liong sedang bicara, maka dia kurang cepat sehingga biarpun dia dapat menangkis pukulan itu, tetap saja hawa pukulan yang amat berat menghimpit pundaknya, membuat dia terpelanting dan bergulingan sampai beberapa meter jauhnya. Han Houw girang sekali. Akalnya berhasil, yaitu menggunakan kesempatan selagi Sin Liong bicara tadi melakukan serangan kilat. Melihat tubuh lawan bergulingan itu dia sudah meloncat dan mengejar, mengirim pukulan lagi ke arah kepala Sin Liong ketika pemuda ini sedang bangun. Sin Liong yang sudah waspada itu cepat miringkan kepala dan menerima pukulan itu dengan bahunya.

   "Dukk...!"

   Tangan kanan Han Houw tepat mengenai bahu kiri Sin Liong, akan tetapi tubuh Sin Liong tidak bergoyang, sebaliknya pangeran itu yang terbelalak.

   "Aihhhh...!"

   Dia terkejut bukan main karena begitu tangannya yang memukul itu mengenai bahu lawan, dia merasakan sesuatu yang lunak dan tiba-tiba tenaga sin-kangnya sudah membanjir keluar memasuki tubuh Sin Liong melalui kontak antara tangannya dan bahu adik angkat itu.

   "Thi-khi-i-beng...!"

   Serunya dan tiba-tiba tangannya itu menjadi lemas dan tentu saja tangan yang tidak lagi dipenuhi hawa sin-kang ini tidak dapat disedot oleh Thi-khi-i-beng dan dengan mudah Han Houw sudah dapat menarik kembali tangannya tanpa pengerahan tenaga. Kiranya dia sudah bersiap-siap menghadapi ilmu mujijat itu dan memperoleh ajaran dari Hek-hiat Mo-li. Begitu tangannya terlepas, dia lalu mengirim tusukan dengan dua jari tangan kiri mengarah kedua mata Sin Liong.

   "Syuuuttt...!"

   Untung Sin Liong cepat melompat ke belakang. Kalau sampai kedua matanya terkena tusukan itu, tentu akan menjadi buta, tanpa dia dapat melindungi matanya. Ceng Han Houw sudah mulai merasa penasaran. Tadi dia telah mengalami kekagetan ketika Sin Liong mempergunakan Thi-khi-i-beng dan sungguhpun sin-kangnya tidak sampai tersedot banyak,

   Namun dia menganggap hal itu sebagai kekalahan di fihaknya, kalah segebrakan. Maka untuk menebus kekalahan ini, dia sudah meloncat ke depan, menerjang lagi dan memukul dentan tenaga pukulan Hok-liong-sin-ciang. Inilah sebuah di antara ilmu-ilmu yang dipelajarinya dari kitab Bu Beng Hud-couw dan dia memperoleh petunjuk sendiri dari "bayangan"

   Kakek dewa itu, maka hebatnya pukulan itu bukan main. Melihat pukulan yang mengeluarkan suara sampai bercuitan itu, dengan gelombang hawa berputaran menyambar ke arahnya, Sin Liong maklum bahwa pangeran itu benar-benar menyerangnya dengan sungguh-sungguh dan agaknya siap untuk membunuhnya, maka diapun tidak mau mengalah lagi. Diapun lalu mengeluarkan jurus dari Hok-mo Cap-sha-ciang, menyambut pukulan lawan itu sambil mengerahkan tenaga sepenuhnya.

   "Desss...!"

   Kembali mereka bertemu di udara karena keduanya meloncat, dan kedua tangan mereka saling bertemu didahului hawa pukulan yang luar biasa dahsyatnya dan akibatnya, kembali keduanya terjengkang, terbanting keras dan bergulingan ke belakang. Merahlah sepasang mata Han Houw. Tadinya dia mengangkat dan memandang diri sendiri terlampau tinggi. Tak pernah dapat dibayangkannya bahwa dia sampai dibuat terbanting seperti itu, bahkan sudah dua kali padahal baru bertanding dalam beberapa gebrakan saja, sungguhpun lawannya juga sama-sama terbanting. Hal ini dianggapnya tak masuk akal, bahkan menghinanya! Maka sambil mengeluarkan seruan nyaring melengking dia terus meloncat dan menyerang lagi, mengirim pukulan bertubi-tubi mengandalkan kecepatannya bergerak.

   Memang hebat sekali pangeran ini. Gerakannya cepat seperti seekor burung walet yang menyambar-nyambar, kaki tangannya bertubi-tubi mengirim serangan ke arah tubuh Sin Liong, mengarah bagian-bagian tubuh yang paling berbahaya karena lemah. Namun, Sin Liong menyambut dengan sama cepatnya dan mereka saling serang dengan amat hebat. Terjadilah pertandingan yang amat seru dan andaikata ada orang yang nonton pertandingan itu, dia tentu akan menjadi bingung karena sukarlah mengikuti gerakan mereka berdua itu dengan pandang mata, yang nampak hanya dua bayangan yang menjadi satu, berkelebatan dengan kecepatan yang luar biasa. Agaknya Han Houw memang sengaja hendak menguras dan mencoba semua ilmu yang dimiliki adik angkatnya ini, maka dia tidak segera mempergunakan ilmu yang paling diandalkannya, yaitu Hok-te Sin-kun.

   Ilmu ini merupakan andalan terakhir, maka dia hendak menguji kepandaian Sin Liong dengan ilmu-ilmu yang lain lebih dulu. Dan sebaliknya, biarpun di dalam hatinya dia mulai merasa penasaran kepada kakak angkat yang wataknya aneh ini, namun Sin Liong masih tetap teringat budi yang pernah diterimanya dari Han Houw, maka diapun tidak mengeluarkan jurus terampuh dari Hok-mo Cap-sha-ciang, melainkan melayani pangeran itu dengan ilmu-ilmu silat yang pernah dipelajarinya dari ka-keknya, Yaitu San-in Kun-hoat dan Thai-kek Sin-kun, kadang-kadang menggantinya dengan pukulan-pukulan Thian-te Sin-ciang. Tiga macam ilmu silat ini adalah ilmu-ilmu silat tingkat tinggi, maka cukuplah untuk membendung semua serangan Han Houw, bahkan dapat mengirim serangan balasan yang tidak kalah dahsyatnya.

   Setelah mereka bertanding selama seratus jurus dan belum juga ada yang kalah atau menang, kedua lengan mereka sudah menjadi matang biru karena sering beradu dengan kekuatan seimbang, dan daun-daun pohon banyak yang rontok karena sambaran hawa-hawa pukulan mereka, Han Houw mulai merasa penasaran sekali. Tahulah dia bahwa adik angkatnya ini benar-benar merupakan lawan yang amat tangguh dan berat, dan kalau tidak dilenyapkan dari permukaan bumi, tentu akan menjadi penghalang terbesar baginya untuk dapat menjadi jagoan nomor satu di dunia. Maka dia mulai mempertimbangkan untuk mempergunakan ilmu andalannya yang terakhir, yaitu Hok-te Sin-kun. Akan tetapi sebelum dia mulai tiba-tiba muncul sesosok bayangan yang tidak nampak jelas dalam cuaca yang sudah mulai remang-remang itu. Han Houw hanya melihat betapa bayangan ini adalah seorang laki-laki yang bertubuh kecil ramping, agaknya masih seorang pemuda remaja.

   Akan tetapi pemuda remaja itu mengangkat sebongkah batu besar dan kini pemuda itu melontarkan batu besar yang diangkatnya ke arahnya ketika dia meloncat ke belakang menjauhi Sin Liong untuk memulai ilmunya yang hebat, yaitu Hok-te Sin-kun! Sin Liong juga melihat pemuda remaja itu yang dia kenal sebagai Bi Cu! Karena memakai pakaian pria, pakaian tosu Pek-lian-kauw, maka Han Houw tidak mengenalnya, apalagi cuaca saat itu mulai gelap, dan menyangka bahwa Bi Cu adalah seorang pemuda remaja. Sin Liong melihat serangan yang dilakukan oleh Bi Cu untuk membantunya. Batu besar itu lewat di dekatnya dan dia lalu menggerakkan kedua tangan mendorongnya dan membantu peluncuran batu itu dengan tenaga sin-kangnya sehingga batu itu melesat dengan kekuatan yang amat hebat!

   Sementara itu, melihat pemuda remaja itu melemparkan batu besar ke arahnya. Han Houw tersenyum. Tentu mudah baginya untuk mengelak atau menangkis, akan tetapi dia sudah akan memulai dengan Ilmu Hok-te Sin-kun, maka dia ingin mendemonstrasikan kehebatan ilmu ini untuk membikin gentar hati Sin Liong. Dia cepat berjungkir balik dan tindakannya ini membuat dia tidak dapat melihat betapa Sin Liong telah membantu lontaran batu oleh Bi Cu itu dengan dorongan tenaga sin-kangnya. Kini batu meluncur cepat ke arah Han Houw yang sudah berjungkir balik. Pangeran itu tiba-tiba menggerakkan kedua kakinya menyambut, dengan tendangan yang amat keras.

   "Darrr...!"

   Batu besar itu hancur berantakan dan nampaklah debu mengepul tebal.

   Debu ini menghindari pandangan mata Sin Liong, sehingga dia tidak tahu betapa ketika kedua kaki Han Houw itu menyambut batu dan menendangnya hancur, tubuh pangeran itupun terdorong sampai kedua kakinya hampir rebah menyentuh tanah! Pangeran itu terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa "pemuda remaja"

   Yang membantu Sin Liong itu memiliki tenaga lontaran yang demikian kuatnya! Maka gentarlah hatinya. Melawan Sin Liong saja masih belum tentu dia menang, apalagi kalau Sin Liong dibantu oleh seorang kawan yang demikian tangguh pula. Kalau dia maju dikeroyok dua, agaknya sukar baginya untuk menang dan kalau kalah sungguh amat memalukan. Maka dia lalu melompat pergi, mengandalkan keremangan cuaca dan tebalnya debu. Dari jauh dia "mengirim"

   Suara melalui khi-kang,

   "Sin Liong, lain kali kita lanjutkan pertandingan ini!"

   Sin Liong tentu saja tidak menjawab dan juga tidak mengejar, hatinya merasa lega bukan main dan dia mengusap keringat dari leher dan dahinya, menggunakan ujung lengan bajunya. Bi Cu menghampirinya dan memegang lengannya. Sejenak mereka hanya saling berpandangan di antara keremangan senja yang mulai terganti oleh malam.

   "Aihhh... Sin Lioing, tak kusangka... engkau ternyata memiliki ilmu kepandaian silat yang hebat!"

   Akhirnya Bi Cu berkata dan suaranya terdengar gemetar, mukanya agak pucat dan napasnya memburu. Sin Liong tersenyum dan menyentuh pundaknya.

   "Kau kenapakah?"

   "Aku tadi nonton dari balik pohon, wah, bukan main gelisah hatiku. Ingin membantu namun tak mungkin, kalian bertanding sedemikian cepatnya sehingga untuk melihat mana engkau dan mana lawanmupun tidak mungkin bagiku. Aku... aku sudah siap dengan batu itu, kemudian kulihat dia meloncat mundur. Nah, baru aku berani menyambitkan batu itu sekuat tenagaku."

   "Dan kau berhasil mengusirnya, Bi Cu. Sekarang ini, engkaulah yang menolongku!"

   Sin Liong berkata.

   "Hemm, jangan kau berpura-pura lagi. Aku sudah menyaksikan betapa engkau melawan musuh dan engkau hebat, aku malah tidak mampu mengikuti gerakanmu. Dan lontaranku tadi, entah bagaimana, batu itu berat sekali dan aku khawatir tidak akan dapat mencapainya. Dan dia begitu hebat, Sin Liong... hiiih, ngeri aku melihat betapa dia yang berjungkir balik mampu menghancurkan batu sebesar itu. Aku tahu bahwa kepandaianku tidak ada seperseratusnya orang itu, jadi tidak mungkin dia lari karena aku. Sin Liong, siapa sih dia?"

   "Apa kau tidak mengenalnya? Dia itu Pangeran Ceng Han Houw..."

   "Ah...! Begitu lihaikah dia? Cuaca remang-remang dan dia bergerak sedemikian cepatnya sehingga aku tidak mampu mengenalnya. Berbeda dengan engkau. Melihat sebuah tanganmu atau sebuah kakimu yang kadang-kadang nampak di antara bayangan kalian yang menjadi satu saja sudah cukup bagiku untuk mengetahui bahwa di antara dua orang yang bertanding itu adalah engkau. Engkau hebat sekali, Sin Liong..."

   "Sudahlah, buktinya kalau tidak ada engkau, belum tentu aku dapat mengalahkan dan mengusir dia. Mari kita cepat pergi dari sini. Dengan adanya orang seperti dia di sini, kita tidak akan pernah aman kalau belum pergi sejauhnya dari dia."

   Sin Liong lalu mengambil bungkusan roti dan sebotol arak, juga pakaian untuk Bi Cu yang tadi ditaruhnya di bawah pohon.

   "Ini makanan kita, kita makan sambil berjalan saja, dan ini pakaian dan sepatu untukmu, Bi Cu."

   "Kau... baik sekali, Sin Liong, terima kasih..."

   Akan tetapi Sin Liong yang masih tetap mengkhawatirkan Han Houw kalau-kalau pangeran itu muncul dan mengganggunya lagi, segera mengajak Bi Cu melanjutkan perjalanan, menyusup makin dalam di hutan itu dan karena tadi Han Houw lari ke timur, maka diapun mengajak Bi Cu lari ke barat. Dia baru saja datang dari dusun di sebelah barat, maka dia sudah agak mengenal jalan dan biarpun cuaca menjadi semakin gelap, dapat juga mereka maju sampai akhirnya mereka tiba di tepi hutan dan mereka terpaksa berhenti karena malam yang gelap telah tiba. Mereka makan roti dan minum arak. Bi Cu menukar pakaiannya yang terlalu besar dengan pakaian yang diperoleh Sin Liong dari dalam dusun. Setelah berganti pakaian, dia mendekati Sin Liong yang membuat api unggun, duduk dan memandang pemuda itu.

   "Sin Liong, bagaimana engkau bisa memilih pakaian yang begini pas ukurannya dengan tubuhku?"

   Tanyanya sambil mengamati pakaian yang dipakainya itu di bawah sinar api unggun, pakaian gadis petani yang sederhana, namun masih baru.

   "Mudah saja, aku membeli dari seorang gadis yang memiliki bentuk tubuh seperti tubuhmu."

   "Engkau memang pintar. Tapi sepatu ini. Bagaimana bisa pas sekali?"

   "Aku... pernah memperhatikan kakimu, dan bayangan ukuran kakimu masih teringat jelas olehku sehingga mudah bagiku untuk mencarikan yang cocok."

   "Eh, mengapa engkau memperhatikan kakiku?"

   Tanya Bi Cu dengan polos, tanpa maksud apa-apa, hanya memang heran mendengar ada orang memperhatikan kakinya.

   "Kaumaksudkan ketika kedua kakiku tidak bersepatu?"

   "Mengapa, ya? Mungkin karena melihat kaki tidak bersepatu merupakan hal yang aneh dan kakimu... kakimu begitu mungil..."

   "Ihh! Jangan ceriwis kau...!"

   Bi Cu kini menundukkan mukanya karena dia tidak sanggup menentang pandang mata Sin Liong dan ada perasaan aneh menyelinap di hatinya yang berdebar-debar.

   "Kau bertanya, aku menjawab sejujurnya dan kau marah..."

   "Sudahlah, aku mau tidur. Nanti tengah malam kaugugah aku, biar aku yang berganti menjaga dan engkau tidur."

   Akan tetapi tentu saja Sin Liong tidak pernah menggugahnya dan ketika pada keesokan harinya Bi Cu terbangun dari tidurnya, dia marah-marah.

   "Kenapa engkau tidak mau menggugahku semalam? Kau membiarkan aku tidur pulas sampai pagi! Kau... kau sungguh kejam!"

   "Aku...? Kejam...? Hee, apa maksudmu?"

   Sin Liong bertanya, bingung karena tidak mengerti apa yang menyebabkan Bi Cu mengatakannya kejam.

   "Kau membiarkan aku tidur semalam dan kau berjaga semalam suntuk, membikin aku sungguh merasa tidak enak hati, bukankah itu kejam?"

   Sin Liong tercengang, lalu dia tersenyum dan
(Lanjut ke Jilid 45)
Pendekar Lembah Naga (Seri ke 04 "

   Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 45
mengangguk.

   "Baiklah, aku kejam dan kaumaafkan aku, Bi Cu."

   Bi Cu menatap wajah pemuda itu, kemudian dia menghampirinya dan mememegang kedua tangan Sin Liong.

   "Sin Liong, betapa jahatnya aku, ya? Betapa kurang penerimanya aku ini! Engkau sudah berjaga semalam suntuk, aku tidak berterima kasih malah memakimu kejam!"

   Tentu saja Sin Liong menjadi semakin bingung dan dia hanya senyum-senyum gugup saja.

   "Ti... tidak, Bi Cu, kau tidak jahat."

   "Kau heran mengapa aku marah dan menyebutmu kejam? Aku marah karena demi aku engkau menderita. Aku marah kepada diriku sendiri yang tidur seperti mayat saja, tidak dapat bangun untuk menggantikanmu. Aku memang kejam karena memang engkau kejam, bukan kejam terhadap diriku melainkan kejam kepada dirimu sendiri. Ah, kau maafkan aku, Sin Liong."

   Senyum Sin Liong melebar, hatinya senang sekali. Bi Cu memang seorang dara istimewa!

   "Sudahlah, Bi Cu, tidak perlu dipersoalkan lagi urusan kecil ini. Sudah sepatutnya kalau aku yang berjaga, karena aku laki-laki."

   "Dan kepandaianmu hebat sekali. Aku mengerti sekarang, kalau aku yang berjaga dan tiba-tiba muncul pangeran siluman itu, akan celakalah kita..."

   "Hayo kita melanjutkan perjalanan, Bi Cu. Hatiku merasa tidak enak sekali, karena aku tahu bahwa pangeran itu tentu tidak akan mau sudah begitu saja."

   Mereka bangkit berdiri dan pada saat itu terdengar suara suitan-suitan di segala penjuru, disusul ramainya suara derap kaki manusia dan kuda yang banyak sekali! Wajah Bi Cu menjadi pucat dan dia sudah memegang tangan Sin Liong. Pemuda ini merasa betapa tangan dara itu gemetar, maka dia menggenggamnya dan berbisik,

   "Jangan takut, ada aku di sini."

   "Tapi... mereka itu... tentu pasukan pemerintah, pasukan yang besar jumlahnya!"

   Suara Bi Cu juga gemetar.

   "Bi Cu, bukankah kita ada berdua? Mati hidup kita hadapi bersama, bukan?"

   Ucapan ini seperti meniupkan api dalam semangat Bi Cu, membuat matanya bersinar-sinar dan matanya kemerahan. Diapun menggenggam keras tangan pemuda itu dan diapun berkata,

   "Engkau benar! Mari kita hadapi mereka! Aku akan mati dengan senyum kalau bersamamu Sin Liong!"

   Ucapan dalam saat yang berbahaya itu menusuk perasaan Sin Liong, membuat dia terdorong untuk merangkul dan mendekap kepala dara itu ke dadanya! Bi Cu juga mandah saja dan keduanya seolah-olah tenggelam ke dalam keadaan lain, ke dalam dunia lain dan tidak merasa sama sekali akan datangnya bahaya.

   "Kejar, cari dan tangkap mereka!"

   Tiba-tiba terdengar suara yang amat dikenal oleh Sin Liong. Suara itu adalah suara Ceng Han Houw, masih amat jauh namun sudah terdengar olehnya karena suara itu dikeluarkan dengan pengerahan tenaga khi-kang yang amat kuat sehingga bergema di seluruh hutan. Mereka berdua sudah berada di sebelah barat hutan. Suara teriakan itu menyadarkan mereka berdua dan Sin Liong cepat menggandeng tangan Bi Cu sambil menunjuk ke depan, ke arah utara.

   "Lihat, ke sanalah kita harus pergi!"

   Wajah Bi Cu berubah pucat.

   "Tapi... itu adalah daerah pegunungan yang amat sukar, amat terjal dan penuh tempat liar. Lihat, dari sinipun nampak jurang-jurang dalam!"

   "Justeru itulah merupakan tempat yang amat baik untuk melarikan diri dan bersembunyi. Ke barat terus melalui dusun-dusun dan tanah datar, amat sukar untuk dapat menyembunyikan diri, apaiagi mereka mengejar dengan berkuda."

   Bi Cu tidak membantah lagi dan dia lalu ikut berlari digandeng oleh Sin Liong menuju ke bukit di sebelah utara. Benar saja, daerah ini amat sukar dilalui, baru naik sedikit ke lerengnya, mereka sudah harus berloncatan dari batu ke batu, mendaki tebing-tebing yang amat sukar karena selain terjal, juga tebing-tebing ini hanya dari batu-batu gunung yang kasar dan licin. Tidak ada jalan umum, bahkan tidak ada jalan setapak di situ karena daerah liar ini tidak pernah dilalui manusia. Melihat Bi Cu kesukaran untuk melalui tebing yang amat terjal itu, Sin Liong berkata,

   "Bi Cu, sebaiknya engkau kugendong saja. Marilah!"

   Akan tetapi Bi Cu memandang ragu.

   "Tempat ini amat berbahaya, mengapa engkau mengambil jalan ini, Sin Liong?"

   "Sengaja kuambil jalan ini agar para perajurit yang mengejar tidak dapat melaluinya. Paling banyak hanya pangeran sendiri saja yang dapat melanjutkan pengejaran, dan kalau hanya seorang lawan saja, aku masih dapat menanggulanginya. Marilah, Bi Cu, jangan kau khawatir, mari kugendong agar lebih cepat kita dapat pergi."

   Bi Cu menggeleng kepala dan memandang ke bawah, bergidik ngeri karena dia melihat betapa di sebelah bawah nampak jurang yang amat dalam!

   "Tempat ini begitu berbahaya, berjalan sendirian saja sudah amat sukar, apalagi harus menggedongku! Tidak, aku tidak mau membikin kau terancam bahaya jatuh...!"

   Sin Liong tersenyum lebar. Kembali dara itu menolak demi keselamatannya, bukan demi keselamatan dara itu sendiri! Dan hal ini amat menyenangkan hatinya. Tiba-tiba terdengar suara berdesing dan nampak sinar hitam berkelebat. Sin Liong terkejut, akan tetapi dia sudah berhasil memukul benda hitam yang menyambar itu dengan tangannya dan benda itu ternyata adalah sepotong batu sebesar kepalan tangan yang meluncur dari bawah.

   "Sin Liong, engkau hendak lari ke mana?"

   Terdengar bentakan dan ketika Sin Liong menoleh, jauh di bawah sana dia melihat bayangan beberapa orang, sedangkan yang berteriak itu bukan lain adalah Ceng Han Houw! Ketika Sin Liong mengenal empat orang lain yang datang bersama Han Houw, dia makin terkejut. Mereka itu adalah Kim Hong Liu-nio, Hai-liong-ong Phang Tek, Kim-liong-ong Phang Sun, dan seorang yang berpakaian pang-lima! Ternyata ada lima orang pandai yang mengejarnya dan lemparan batu dari tempat sedemikian jauhnya namun masih dapat menyambarnya dengan amat tepat dan cepat saja sudah membuktikan bahwa lima orang itu sungguh merupakan lawan yang amat berat.

   "Celaka, mereka telah menemukan jejak kita!"

   Sin Liong berkata dan tanpa banyak cakap dia menyambar pinggang Bi Cu, diangkat dan dipanggulnya tubuh dara itu dan diapun berloncatan naik dengan cepatnya, seperti seekor monyet memanjat saja.

   "Maaf, Bi Cu, tidak ada lain jalan!"

   Katanya. Bi Cu terbelalak, kemudian memejamkan mata saking ngerinya dibawa berloncatan secepat itu. Diam-diam dia merasa ngeri dan takut, akan tetapi juga kagum bukan main menyaksikan betapa cekatan dan hebat ilmu gin-kang dari pemuda yang tadinya dia kira adalah Sin Liong yang dahulu, yang ilmu silatnya jauh di bawah tingkatnya karena dia sendiri sudah menjadi murid mendiang Hwa-i Sin-kai! Kalau dia ingat betapa dia selalu hendak melindungi Sin Liong selama ini! Kedua pipinya berubah merah dan dia lalu berbisik.

   "Sin Liong, biarkan aku berada di belakangmu saja, sehingga aku dapat merangkul kedua pundakmu dan kau tidak perlu memondongku dengan sebelah lengan."

   Sin Liong merasa girang. Memang begini sebaiknya sehingga dengan Bi Cu di belakangnya, dia dapat berlari lebih cepat, dan dapat mengandalkan kedua tangannya untuk membela diri kalau perlu. Maka dia berhenti, menurunkan Bi Cu kemudian dia menggendong Bi Cu di punggungnya. Dara itu merangkul lehernya dari belakang dan menggunakan kedua kakinya untuk merangkul pinggangnya. Berdebar juga jantung Sin Liong merasakan betapa tubuh dara itu dengan hangat melekat di tubuh belakangnya, akan tetapi cepat dusirnya bayangan ini dan dia berlari terus. Akan tetapi lima orang pengejarnya mengerahkan gin-kang mereka dengan secepatnya. Tentu saja Sin Liong sama sekali belum mengenal daerah ini dan dia terus memanjat puncak bukit itu dengan harapan akan dapat melarikan diri dari atas puncak itu ke daerah lain dan terbebas dari para pengejarnya.

   Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika akhirnya dia tiba di puncak bukit itu, puncak itu merupakan batu datar yang luasnya hanya beberapa tombak saja! Puncak itu dikelilingi oleh jurang-jurang yang dalamnya tak dapat diukur lagi karena dari situ memandang ke bawah tidak kelihatan dasarnya, hanya nampak tonjolan batu-batu di sepanjang tebing itu seolah-olah sekeliling puncak itu yang ada hanya mulut maut yang terbuka lebar! Jalan naik satu-satunya hanyalah melalui jalan yang dipergunakannya tadi, dengan memanjat melalui dinding batu-batu bertumpuk-tumpuk. Dari puncak itu tidak mungkin dapat melarikan diri ke lain tempat, kecuali kembali lagi melalui jalan tadi! Padahal, ketika dia menengok ke bawah, dia melihat Han Houw dan empat orang temannya sudah mulai daki puncak itu!

   "Wah, tidak ada jalan lari lagi!"

   Katanya kepada Bi Cu yang menjadi pucat dan merasa khawatir sekali.

   "Satu-satunya jalan hanyalah melawan mereka. Bi Cu, jangan khawatir, aku akan melawan mereka mati-matian. Belum tentu aku akan kalah oleh mereka. Kurasa diantara mereka, yang paling lihai adalah Pangeran Ceng Han Houw. Kau jangan ikut-ikut, kautunggulah saja di sudut sana, berlindung di balik batu itu."

   "Tapi... tapi... aku harus membantumu!"

   "Bi Cu, terus terang saja, tingkat kepandaianmu masih jauh sekali selisihnya dengan kepandaian mereka. Sekali maju, berarti engkau menyerahkan nyawa dan mati sia-sia. Apa artinya lagi aku melawan kalau sampai engkau menyerahkan nyawa dan mati konyol? Tidak, Bi Cu. Kau sembunyi di balik batu itu dan aku akan melawan mereka mati-matian."

   "Kalau kau kalah...?"

   Sin Liong menggerakkan pundak.

   "Yah, yang ada hanya menang atau kalah. Kalau aku kalah dan tewas..."

   "Aku akan mati bersamamu, Sin Liong!"

   Seru Bi Cu.

   "Aku tidak akan kalah, akan tetapi kau penuhilah permintaanku, jangan kau keluar dari balik batu itu. Maukah kau berjanji?"

   
Pendekar Lembah Naga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sin Liong memegang kedua pundak dara itu dan karena dia maklum bahwa menghadapi lima orang itu benar-benar merupakan penentuan mati hidup-nya dan dia meragu untuk dapat menangkan mereka berlima, ketika memegang kedua pundak dara itu dia merasa seolah-olah dia hendak berpamit untuk berpisah, perpisahan terakhir dan selamanya! Hal ini menimbulkan keharuan hatinya dan dia lalu menunduk den mencium dahi yang halus den basah karena peluh itu. Bi Cu memejamkan matanya, merangkul den terisak, kemudian dia melepaskan diri dan berlari ke sudut tanah atau batu datar itu, bersembunyi di balik sebuah batu besar yang berada di sudut.

   Legalah hati Sin Liong. Kalau dia menang itulah yang dlharapkannya. Akan tetapi andaikata dia kalah dan tewas, dia masih mempunyai harapan mudah-mudahan mereka tidak melihat Bi Cu dan dara itu akan ditinggalkan dan akan dapat lolos dari tempat itu dengan selamat. Dia lalu menanti dan berdiri tegak, sikapnya tenang sekali. Tidak terlalu lama dia menanti. Ceng Han Houw muncul dengan lompatan terakhir ke atas puncak batu datar itu, muka dan lehernya penuh keringat karena pengejaran tadi dilakukannya dengan sekuat tenaga den memang pendakian puncak itu amat melelahkan. Akan tetapi wajahnya berseri den sepasang matanya bersinar-sinar ketika dia melihat Sin Liong berada di situ. Tadinya dia sudah khawatir pemuda itu dapat meloloskan diri. Dekat di belakangnya muncul pula Kim Hong Liu-nio, wanita yang masih tetap nampak muda den cantik sekali itu. Kayu papan berbentuk salib masih ada juga di punggungnya.

   Setelah kematian Lee Siang, pria pertama yang dicintanya, dia memakai lagi papan itu untuk membasmi keluarga Cia, Yap dan Tio, terutama keluarga Cin-ling-pai, bukan hanya untuk membalas musuh-musuh gurunya sekarang, melainkan juga untuk membalas kematian kekasihnya itu. Kemudian muncul pula tiga orang pembantu Han Houw itu, ialah Lam-hai Sam-lo yang kini hanya tinggal dua orang lagi, yaitu Hai-liong-ong Phang Tek den Kim-liong-ong Phang Sun, karena orang ke tiga dari Lam-hai Sam-lo, yaitu Hek-liong-ong Cu Bi Kun, telah dibunuh oleh Han Houw sendiri ketika pangeran ini hendak "melindungi"

   Sin Liong. Mereka berlima berdiri berhadapan dengan Sin Liong, seperti lima ekor harimau yang menghadapi seekor kelinci yang sudah tidak dapat melarikan diri lagi. Han Houw tertawa.

   "Ha-ha-ha-ha! Liong-te, tak kausangka, ya? Engkau terjebak di tempat ini, sama sekali tidak ada jalan keluar!"

   Pangeran itu memandang ke sekelilingnya, kemudian kepada Sin Liong lagi dengan wajah berseri membayangkan kemenangan.

   "Pangeran, engkau dahulu yang minta kepadaku untuk menjadi saudara angkat bahkan sampai sekarangpun engkau masih menyebutku adik Liong. Akan tetapi sekarang engkau mengejar-ngejarku, selalu menggangguku, bahkan menghendaki nyawaku. Apa artinya semua ini?"

   Pertanyaan ini diajukan oleh Sin Liong karena memang dia penasaran, bukan dengan maksud untuk minta dikasihani. Mendengar pertanyaan ini, kembali pangeran itu tertawa.

   Agaknya dia tidak ingin cepat-cepat menyerang Sin Liong, tidak ingin cepat-cepat menghabisi korbannya itu, seperti seekor kucing hendak mempermainkan dulu sang tikus sebelum diterkam, untuk memuaskan hatinya. Dia sudah begitu pasti bahwa sekali ini pemuda yang merupakan lawan amat tangguhnya itu tidak akan dapat lolos lagi. Dia sendiri, biarpun belum tentu kalah oleh Sin Liong, namun mungkin mengalami kesukaran merobohkan adik angkatnya itu, apalagi kalau Sin Liong dibantu oleh orang pandai. Akan tetapi kini di situ terdapat sucinya, dua orang dari Lam-hai Sam-lo yang pandai, dan seorang panglimanya yang cukup tangguh. Sin Liong tak dapat lari ke mana-mana lagi, karena puncak itu ternyata merupakan jalan buntu! Dan pembantu Sin Liong yang pandai semalam itu agaknya kini sudah tidak ada lagi.

   "Sin Liong, dua pertanyaanmu itu sudah demikian jelas, perlukah kujelaskan lagi? Akan tetapi biarlah, agar jangan sampai engkau mati penasaran sehingga arwahmu menjadi setan, dengarkan baik-baik. Aku mengangkatmu menjadi adik adalah karena aku tertarik melihat keberanianmu, tertarik terutama sekali melihat ilmu silatmu sehingga aku ingin sekali mempelajarinya. Dalam hal ini aku berhasil, bahkan aku mewarisi ilmu-ilmu dari suhu yang lebih ampuh daripada ilmu-ilmu yang kaukuasai. Kemudian, mengapa aku mengejar-ngejarmu dan hendak membunuhmu? Jelas pula! Engkau adalah putera dari Cia Bun Houw, cucu dari ketua Cin-ling-pai. Ini saja sudah cukup bagiku untuk menangkap atau membunuhmu karena engkau adalah keturunan pemberontak yang dikejar-kejar oleh pemerintah. Kemudian, engkau menjadi penghalang bagiku untuk mencapai gelar jagoan nomor satu di dunia dan gelar Pendekar Lembah Naga. Oleh karena itulah maka engkau harus mati, Sin Liong. Dan dalam persoalan ke dua inipun aku berhasil, karena sekarang ini engkau sudah tersudut dan tidak akan mampu lari lagi! Ha-ha-ha!"

   "Manusia she Cia, aku sudah menyiapkan hio untuk menyembahyangi arwahmu!"

   Terdengar Kim Hong Liu-nio berkata halus, namun di dalam suaranya itu terkandung kekejaman yang amat mengerikan dan mendirikan bulu roma.

   "Bocah setan, engkau harus membayar nyawa saudara kami Hek-liong-ong!"

   Terdengar Phang Tek orang pertama dari Lam-hai Sam-lo berkata, sedangkan Kim-liong-ong Phang Sun yang tetap bertelanjang tubuh bagian atas itu menyeringai saja. Mendengar ini, Sin Liong mengerutkan alisnya dan memandang kepada Han Houw, akan tetapi pangeran itu hanya tersenyum saja. Tahulah dia bahwa pangeran itu telah bertindak curang, mengabarkan kepada kedua orang dari Lam-hai Sam-lo itu bahwa dialah yang membunuh Hek-liong-ong, padahal jelas bahwa pembunuhnya adalah pangeran itu sendiri. Akan tetapi, dia tahu bahwa membantahpun tidak akan ada gunanya. Dua orang kakek itu tentu lebih percaya kepada sang pangeran daripada kepadanya, maka dia pun diam saja dan hanya sepasang matanya makin mencorong penuh kegeraman.

   "Cia Sin Liong, aku harus menangkapmu sebagai pemberontak yang buron!"

   Panglima yang bertubuh tinggi besar itu membentak pula. Pada saat itu terdengar sedikit suara di balik batu besar dan semua mata ditujukan ke sana.

   Kiranya Bi Cu yang tadinya bersembunyi tanpa bergerak, mendengar semua ucapan itu menjadi sedemikian kagetnya sehingga tak tertahankan lagi dia bergerak untuk mengintai. Hati siapa tidak akan menjadi terkejut mendengar bahwa Sin Liong, pemuda yang di waktu kecilnya terlunta-lunta itu adalah cucu dari ketua Cin-ling-pai yang namanya menggetarkan langit dan bumi? Mendengar kenyataan yang amat mengejutkan dan mengherankan ini membuat dia merasa bangga akan tetapi juga amat khawatir akan keselamatan Sin Liong, maka dia bergerak hendak mengintai. Tak disangkanya, lima orang yang datang mengancam Sin Liong kesemuanya adalah orang-orang yang sudah memiliki ilmu sedemikian tingginya sehingga sedikit gerakannya itu saja sudah dapat ditangkap oleh pendengaran mereka!

   "Chan-ciangkun, kau tangkap orang di belakang batu itu!"

   Han Houw berseru keras.

   "Baik, pangeran!"

   Panglima she Chan itu bertubuh tinggi besar, berkulit hitam dan sepasang matanya lebar. Dalam pakaian perang itu dia nampak gagah perkasa seperti tokoh cerita Sam-kok yang bernama Thio Hwi. Agaknya dia girang menerima perintah ini, seolah-olah memperoleh kesempatan untuk memperlihatkan kepandaian dan membuat jasa.

   Sementara itu, ketika mendengar perintah ini, tahulah Bi Cu bahwa dia telah ketahuan dan percuma saja bersembunyi terus. Dia tidak takut karena memang tadinya dia tidak ingin bersembunyi, melainkan hendak menghadapi bencana di samping Sin Liong! Apalagi kini dia telah mengetahui bahwa Sin Liong adalah keturunan Cin-ling-pai, maka hatinya menjadi semakin besar dan tidak takut mati! Muncullah dara itu dari balik batu besar dan melihat dara ini, Chan-ciangkun terbelalak dan merasa heran, bingung dan kecewa. Mana mungkin dia, seorang panglima besar, seorang laki-laki gagah perkasa, harus menghadapi seorang dara remaja seperti itu? Sedangkan Pangeran Ceng Han Houw juga terkejut lalu tertawa bergelak ketika mengenal gadis itu.

   "Ha-ha-ha, Cia Sin Liong yang terkenal sebagai pria alim itu ternyata secara diam-diam di mana-mana disertai wanita cantik! Tangkap dia, Chan-ciangkun!"

   Karena perintah itu diulangi, terpaksa Chan-ciangkun lalu menubruk ke depan hendak menangkap Bi Cu. Karena gerakannya memang cepat sekaii, maka sekali sambar saja dia sudah berhasil menangkap pergelangan tangan kiri Bi Cu.

   "Kerbau bau, lepaskan aku!"

   Bentak Bi Cu dan tangannya bergerak menampar.

   "Plakk!"

   Pipi yang lebar dari panglima itu sudah kena ditampar oleh tangan kanan Bi Cu. Tentu saja Chan-ciangkun menjadi marah bukan main. Dia dimaki kerbau busuk dan bahkan pipinya ditampar oleh bocah ini!

   "Perempuan liar kau!"

   Tangannya bergerak dan muka Bi Cu sudah ditamparnya sehingga Bi Cu terpelanting dan untung tubuhnya menabrak batu besar, kalau tidak tentu dia akan terguling ke dalam jurang yang berada di dekat batu besar itu!

   "Keparat!"

   Tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu Sin Liong telah tiba di depan si panglima yang sudah hendak mengejar lagi, entah untuk memukul lagi atau menangkap. Melihat pemuda itu sudah berada di depannya, Chan-ciangkun yang marah dan merasa malu itu menimpakan kemarahannya kepada Sin Liong dan memang dia ingin membuat jasa, maka diapun cepat menghantamkan kedua tangan secara bertubi-tubi ke arah kepala dan perut Sin Liong. Serangannya ini cepat dan amat kuatnya karena memang dia seorang ahli gwa-kang (tenaga luar) yang telah melatih kedua lengannya sehingga menjadi matang biru dan luar biasa kerasnya. Namun Sin Liong yang sudah marah sekali melihat betapa Bi Cu ditampar oleh pria ini, sudah menggerakkan kedua lengan menyambar sambil mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang.

   "Krekk! Krekk!"

   Panglima Chan mengeluarkan rintihan bercampur teriakan kaget. Kedua pergelangan lengannya patah ketika bertemu dengan lengan pemuda itu dan selagi dia terbelalak itu Sin Liong sudah menggerakkan tangan menampar dengan punggung tangan kiri.

   "Desss!"

   Tubuh perwira tinggi itu terpelanting dan terbanting keras. Dia tidak dapat bangun lagi karena sudah pingsan terkena tamparan keras yang membuat tulang rahangnya retak-retak itu! Akan tetapi, pada saat itu, Han Houw dan tiga orang temannya sudah berlompatan dekat dan pada saat Sin Liong merobohkan Chan-ciangkun,

   Atas isyarat Han Houw, mereka berempat secara berbareng telah melakukan serangan yang amat dahsyatnya kepada Sin Liong! Han Houw yang sudah maklum akan kelihaian adik angkat itu, telah berjungkir balik dan menggunakan ilmu Hok-te Sin-kun, kepalanya menjadi kaki dan kedua kakinya mengirim tendangan-tendangan aneh dibantu oleh kedua tangan yang melakukan pukulan-pukulan jarak jauh dari bawah. Sementara itu, Kim Hong Liu-nio telah menyerang pula dengan sabuk merahnya, melakukan totokan ke arah sembilan jalan darah terpenting dari tubuh lawan bagian depan secara bertubi-tubi. Hai-liong-ong Phang Tek yang bermuka hitam sudah menerjang dengan pedangnya yang ganas, dengan Ilmu Pedang Liong-jiauw Kiam-sut, sedangkan si kecil pendek Kim-liong-ong Phang Sun sudah mengandalkan gin-kangnya,

   Meloncat tinggi dan menyerang dari atas menggunakan pukulan dengan tangan kirinya yang bergelang emas tebal! Dalam segebrakan ini Sin Liong menghadapi empat lawan yang menyerangnya sekaligus, masing-masing menggunakan serangan yang amat berbahaya dan dahsyat! entu saja Sin Liong terkejut sekali. Dia sudah mengisi kedua lengannya dengan tenaga Thian-te Sin-ciang yang membuat kedua lengan itu kebal terhadap senjata tajam, sinar merah sabuk Kim Hong Liu-nio ditamparnya dengan jari tangan sehingga ujung sabuk itu membalik, pedang Hai-liong-ong Phang Tek dan pukulan Kim-liong-ong Phang Sun ditangkisnya pula dengan kedua tangannya, membuat pedang itu menyeleweng dan Phang Sun yang tertangkis pukulannya itu mencelat ke belakang,

   Akan tetapi pada saat itu, kedua kaki Han Houw sudah melakukan tendangan-tendangan aneh dalam keadaan jungkir balik! Sin Liong menggunakan kedua tangannya untuk mengangkis dan mengelak, dan dia merasa betapa dari kedua kaki itu menyambar hawa yang aneh dan kuat bukan main. Tahulah dia bahwa ilmu ini aneh sekali, dan selagi dia hendak menggunakan ilmu Hok-mo Cap-sha-ciang, tiga orang yang lain telah menerjangnya lagi. Maka sibuklah Sin Liong mengelak dan menangkis. Pada saat itu Han Houw mengeluarkan suara nyaring melengking dan tubuhnya yang berjungkir balik itu kembali menerjang maju. Kakinya bergerak aneh ke arah Sin Liong yang sedang sibuk menghadapi serbuan tiga orang lihai itu. Sekali ini Sin Liong menjadi sibuk juga, jalan satu-satunya hanya meloncat ke belakang, akan tetapi di belakangnya, hanya sejauh satu tombak, adalah jurang yang amat dalam.

   Maka terpaksa sekali dia menangkis lagi, berdiri dengan tegak dengan kedua kaki terpentang, lalu dia membentak dengan suara keras, kedua tangannya didorongkan ke depan, sekaligus menangkis serangan empat orang itu. Hawa yang amat dahsyat menyambar dari kedua telapak tangannya, menangkis semua serangan itu. Terjadilah pertemuan tenaga yang amat dahsyatnya dan akibatnya, tubuh Han Houw yang berjungkir balik itu terlempar seperti layang-layang putus talinya, juga Kim Hong Liu-nio terhuyung ke belakang, dan kedua orang Lam-hai Sam-lo itu terjengkang dan bergulingan, mereka seperti dilanda angin taufan yang amat kuat. Akan tetapi, menghadapi gempuran tenaga empat orang yang disatukan itu, Sin Liong sendiri terlempar ke belakang dan tak dapat dihindarkan lagi tubuhnya melayang ke dalam jurang!

   "Sin Liong, aku ikut...!"

   Bi Cu menjerit, meloncat ke tepi jurang lalu tanpa ragu-ragu lagi dia meloncat turun! Karena dia meloncat dengan menggunakan tenaga, maka tenaga loncatan itu menambah cepatnya tenaga luncuran tubuhnya sehingga dia dapat menyusul tubuh Sin Liong.

   "Bi Cu...!"

   Sin Liong yang jatuh dalam keadaan telentang itu berteriak kaget melihat tubuh Bi Cu juga jatuh menyusulnya. Empat orang itu merangkak bangun dan berlari ke tepi jurang. Melihat tubuh kedua orang itu meluncur turun dengan cepatnya, kematian tak dapat disangsikan lagi pasti akan menyambut mereka berdua di bawah sana. Pangeran Ceng Han Houw tertawa bergelak sambil memandang langit.

   "Ha-ha-ha-ha! Selamat jalan, Cia Sin Liong! Ha-ha-ha, akulah sekarang Pendekar Lembah Naga! Inilah Pendekar Lembah Naga!"

   Dia menepuk-nepuk dada sendiri sambil tertawa-tawa. Baru sekarang terasa benar bahwa betapa sesungguhnya dia amat membenci Sin Liong, semenjak permulaan. Benci yang timbul karena iri hati. Biarpun dia seorang pangeran, namun dia iri melihat betapa pemuda itu demikian gagah berani, demikian jujur, demikian setia, dan keturunan dari para pendekar besar dari Cin-ling-pai pula. Dia merasa iri, apalagi setelah dia tahu bahwa Sin Liong mewarisi ilmu-ilmu yang amat tinggi! Kini satu-satunya saingan baginya telah lenyap! Dia selalu merasa rendah diri kalau dekat dengan Sin Liong! Pemuda itu begitu alim, tidak dapat digoda nafsu berahi, begitu tenang dan dapat menguasai perasaan dan keadaan. Kini telah tiada, telah hancur lebur di dasar jurang yang tak nampak itu!

   "Sudahlah, jangan kau menangis saja. Hatiku menjadi makin bingung dan kacau kalau engkau menangis."

   Mereka duduk di dalam sebuah kuil tua. Sun Eng menangis sambil menyandarkan kepalanya di dada Lie Seng yang merangkulnya dan mengelus rambutnya yang hitam dan halus itu. Akan tetapi Sun Eng menangis makin sedih.

   "Betapa tidak akan hancur dan terharu rasa hatiku, koko..."

   Dia terisak-isak.

   "Melihat ada seorang pria di dunia yang kotor ini, pria seperti engkau yang begini mencintaku... dan aku... aku seorang hina yang ternyata kini malah membuat hidupmu menderita, menjauhkan engkau dari keluargamu, dari ibu kandungmu... aku merasa berdosa kepadamu, koko..."

   "Sudahlah, Eng-moi, berapa kali engkau mengemukakan hal itu? Aku sudah bilang, aku tidak perduli semua itu! Yang terpenting dalam hidupku hanya engkau seorang, Eng-moi! Biar keluargaku sendiri, biar ibu kandungku sendiri, kalau tidak tepat pendapatnya, menghina dan memburukkanmu, biarlah aku menjauhkan diri dari mereka."

   Sun Eng merangkul dan mereka berangkulan. Lie Seng menciumi wajah kekasihnya itu, matanya yang basah air mata, bibirnya yang menyambutnya dengan penuh kemesraan dan terbuka, dan sejenak mereka tenggelam ke dalam perasaan cinta asmara yang menggelora. Tak pernah kedua orang ini merasa bosan untuk bermesraan, di mana saja dan kapan saja. Cinta mereka makin berakar mendalam.

   "Hanya maut yang akan dapat memisahkan kita, Eng-moi!"

   Sun Eng memegang tangan Lie Seng, menciumi jari-jari tangan itu dengan hati penuh perasaan terharu dan bersyukur.

   "Lie-koko, engkau dari keluarga besar, engkau cucu dari pendekar sakti, ketua Cin-ling-pai, seluruh keluargamu terdiri dari pendekar-pendekar kenamaan, dan engkau... engkau telah mengangkat aku dari jurang kehinaan ke tempat yang amat tinggi, terlampau tinggi untukku..."

   "Sudahlah, Eng-moi, jangan merendahkan diri sendiri."

   "Tidak, koko, akan tetapi akan selalu merasa rendah diri kalau aku tidak melakukan sesuatu untukmu, untuk keluargamu, bukan untuk mengangkat diri, melainkan setidaknya untuk mengimbangi selisih yang begini jauh antara engkau dan aku..."

   Lie Seng mengecup bibir itu dan bertanya dengan suara main-main,

   "Habis, apa yang akan kaulakukan, sayang?"

   "Entahlah, koko, entahlah. Akan tetapi aku harus melakukan sesuatu demi engkau, demi keluargamu. Harus!"

   Wanita yang masih basah kedua matanya itu mengepal tinju, akan tetapi dia segera tenggelam lagi ke dalam pelukan dan cumbu rayu Lie Seng. Lama setelah gelora asmara yang bergelombang menenggelamkan mereka agak mereda, mereka sudah duduk kembali, Lie Seng menyandarkan tubuhnya pada dinding kuil tua itu, sedangkan Sun Eng bersandar kepadanya dengan kedua mata dipejamkan.

   "Lie-koko, setelah aku mengakibatkan engkau terpisah dari keluargamu, lalu ke mana kita sekarang hendak pergi?"

   Terdengar Sun Eng bertanya halus.

   "Kita akan ke Yen-tai!"

   "Yen-tai di timur itu, di pantai?"

   "Benar, Eng-moi, kita ke sana."

   "Mau apa ke sana, koko? Ke rumah siapa?"

   "Aku mempunyai seorang suci (kakak seperguruan) di sana, Eng-moi. Dia sudah menikah dan kini tinggal bersama suaminya di sana. Suaminya seorang pengusaha besar, maka biarlah kita ke sana, aku akan minta bantuan suci agar bisa mendapatkan pekerjaan di sana."

   Sun Eng girang sekali dan dia banyak bertanya tentang suci dari kekasihnya itu. Lie Seng lalu menceritakan siapa sucinya itu.

   "Dia adalah puteri dari paman Yap Kun Liong, dia lihai sekali, dan suaminya juga seorang pendekar muda, peranakan Portugis akan tetapi baik hati dan gagah perkasa karena ibunya dahulu adalah seorang pendekar wanita yang kenamaan."

   Setelah banyak bercerita tentang Souw Kwi Beng dan Yap Mei Lan, Lie Seng lalu mengajak kekasihnya melanjutkan perjalanan menuju ke Yen-tai. Makin kagum sajalah hati Sun Eng mendengar penuturan itu. Kiranya, semua keluarga kekasihnya terdiri dari orang-orang hebat belaka, pendekar-pendekar kenamaan dan mengingat akan semua ini, makin menyesal hatinya, mengapa dia sebagai murid suami isteri pendekar Cia Bun Houw dan Yap In Hong sampai menyeleweng! Andaikata tidak tentu diapun akan termasuk "keluarga besar"

   Dari para pendekar itu, sebagai cucu murid ketua atau pendiri Cin-ling-pai! Dia makin merasa bahwa dengan masuknya ke dalam lingkungan keluarga perkasa itu sebagai kekasih Lie Seng, dia merupakan satu-satunya kambing hitam buruk di antara domba-domba berbulu tebal putih yang bersih dan indah!

   Namun sikap yang amat mencinta dari Lie Seng, terutama sekali perasaan hatinya sendiri terhadap pemuda ini, membuat dia berani melanjutkan perjalanan bersama kekasihnya, biarpun hatinya merasa tidak enak dan merasa rendah diri. Tentu saja Yap Mei Lan menyambut kedatangan sutenya itu dengan girang sekali. Demikian pula Souw Kwi Beng menyambut Lie Seng dengan gembira. Lie Seng dan Sun Eng dipersilakan masuk dan suami isteri muda yang kaya raya itu menjamu mereka dengan hidangan lezat dalam suasana meriah, karena Yap Mei Lan gembira sekali kedatangan sutenya. Bagaimanapun juga, Lie Seng bukan hanya sutenya, akan tetapi lebih dari itu malah adik, yaitu termasuk adik tirinya. Bukankah ibu kandung sutenya itu, kini menjadi isteri dari ayah kandungnya sendiri?

   "Bagaimana kabarnya dengan ayahku, sute? Dan juga bagaimana dengan ibumu? Juga bibi In Hong dan paman Bun Houw?"

   Ketika mereka makan minum sambil bercakap-cakap, Mei Lan tidak dapat menahan diri lagi lalu menanyakan keadaan empat orang yang menjadi buruan pemerintah itu, dengan alis berkerut dan wajah khawatir. Berdebar rasa jantung Lie Seng dan Sun Eng. Memang sejak tadi Lie Seng sudah hendak menceritakan tentang keadaannya dan tentang perselisihannya dengan keluarganya mengenai diri Sun Eng. Tadi hanya secara sepintas lalu ketika dia dan Sun Eng datang, dia memperkenalkan kekasihnya itu sebagai seorang sahabat dan suami isteri muda itu hanya tahu bahwa gadis ini bernama Sun Eng dan hanya menduga, melihat sikap dan gerak-gerik dua orang muda itu, bahwa agaknya ada apa-apa dalam persahabatan itu. Kini Mei Lan menanyakan tentang ibunya!

   "Mereka... mereka baik-baik saja, suci, mereka tinggal dalam keadaan aman di Yen-ping..."

   "Ehhh...?"

   Yap Mei Lan kelihatan heran dan saling pandang dengan suaminya yang tampan dan yang sejak tadi hanya mendengarkan saja. Souw Kwi Beng mengerutkan alisnya memandang Lie Seng dengan penuh selidik, lalu diapun ikut bicara.

   "Seng-te, sejak kapankah engkau berjumpa dengan ayah mertuaku?"

   "Kurang lebih tiga bulan kami berdua baru meninggalkan Yen-ping dan mereka berempat masih berada di sana dengan aman... eh, ada apakah?"

   Lie Seng bertanya, hatinya terasa tidak enak.

   "Ah, kalau begitu engkau belum tahu, sute,"

   Kata Mei Lan.

   "Mereka sekarang telah pindah lagi, setelah mereka diserbu musuh di Yen-ping. Baru saja kami menerima berita dari ayah tentang hal itu."

   Mei Lan lalu menceritakan berita yang didengarnya dari Yap Kun Liong. Ternyata keluarga pendekar yang sudah meninggalkan Yen-ping dan diam-diam melarikan diri dan bersembunyi di kota Bun-cou di Propinsi Ce-kiang itu diam-diam mengirim berita kepada Yap Mei Lan dan suaminya.

   "Mereka diserbu musuh? Ah, lalu... mereka kini berada di mana?"

   "Di Bun-cou, di Propinsi Ce-kiang."

   Mei Lan lalu menceritakan lagi dengan jelas dan Lie Seng mendengarkan dengan tangan dikepal.

   "Kalau aku tahu, tentu aku tidak akan pergi dan akan membantu mereka menghadapi musuh!"

   Katanya. Diam-diam Sun Eng merasa gelisah sekali dan juga menyesal, karena kekasihnya itu terpaksa meninggalkan keluarganya demi dia!

   "Sudahlah, sute. Mereka kini telah selamat dan karena berada di tempat yang semakin jauh dari kota raja, agaknya di selatan itu mereka dapat hidup aman. Aku sudah mengirim perbekalan dan uang kepada mereka, melalui orang kepercayaan suamiku yang mengadakan pelayaran ke selatan. Lalu, engkau sendiri dan adik Sun Eng ini, ada keperluan apakah kalian datang ke sini? Ataukah hanya untuk menengok sucimu ini?"

   Lie Seng menarik napas panjang. Saat yang digelisahkan sudah tiba, dia harus menceritakan semuanya kalau dia menghendaki tinggal bersama kekasihnya di Yen-tai ini.

   "Sesungguhnya, amat sukar bagiku menceritakan semua ini, suci. Akan tetapi karena agaknya aku sudah terpencil dan hanya engkaulah satu-satunya orang yang dapat kuharapkan akan mau mengerti keadaanku, maka aku sengaja datang mengunjungimu, suci, harap engkau berdua suamimu suka berbelas kasihan kepadaku."

   Tentu saja Mei Lan terkejut bukan main mendengar ucapan sutenya yang dikeluarkan dengan nada berduka itu.

   "Sute, apakah yang telah terjadi? Tentu saja aku akan suka membantu sedapat mungkin!"

   Tentu saja agak berat bagi Lie Seng untuk menceritakan urusannya dengan Sun Eng dan melihat keraguannya itu, Souw Kwi Beng yang tahu diri lalu berkata,

   "Lie-te, kalau engkau merasa sungkan dan ragu untuk bercerita di depanku, biarlah aku mengundurkan diri dulu..."

   "Ah, tidak... tidak sama sekali, suci-hu (kakak ipar),"

   Kemudian dia menoleh kepada Sun Eng lalu berkata.

   "Eng-moi, sebaiknya engkaulah yang bercerita kepada suci Yap Mei Lan, dan aku yang bercerita kepada suci-hu Souw Kwi Beng."

   Sun Eng balas memandang kemudian dia mengangguk. Melihat ini, Mei Lan lalu bangkit dari duduknya, memegang tangan Sun Eng sambil berkata,

   "Marilah, adik Sun Eng, kita bicara di dalam."

   Dua orang wanita itu lalu meninggalkan ruangan itu den masuk ke dalam kamar Mei Lan. Setelah mereka pergi, Lie Seng merasa lebih leluasa den berceritalah dia kepada Souw Kwi Beng tentang hubungannya dengan Sun Eng dan bahwa ibu kandungnya, juga pamannya, telah menyatakan tidak setuju dengan perjodohan mereka.

   "Mereka itu tidak setuju karena Eng-moi tadinya adalah murid dari paman Cia Bun Houw den menurut paman, Eng-moi pernah menyeleweng, pernah tergoda oleh kaum pria. Ibu tidak setuju aku menikah dengan seorang gadis yang bukan perawan lagi. Itulah persoalan kami, cihu, sehingga terpaksa aku bersama Eng-moi pergi meninggalkan mereka. Karena tidak tahu harus pergi ke mana, maka aku mengajaknya ke sini dengan harapan cihu suka menolongku dan memberi pekerjaan agar aku bersama Eng-moi dapat hidup di kota ini dan kalau mungkin, kuharap suci dan cihu dapat meresmikan pernikahan kami."

   Souw Kwi Beng mengangguk-angguk dan alisnya yang tebal itu berkerut. Dia sendiri merasa kecewa mendengar bahwa kekasih Lie Seng adalah seorang wanita yang pernah tergoda oleh kaum pria! Dia tidak dapat membayangkan sampai berapa jauhnya kata "menggoda"

   Itu, akan tetapi kalau sampai gadis itu tidak perawan lagi, tentu godaan dan penyelewengan itu sudah terlalu mendalam. Namun, cinta kasih memang aneh dan dia sendiri tidak berani mencampuri.

   "Tentu saja aku dapat menolongmu dengan pekerjaan yang kau perlukan, dan untuk engkau tinggal di kota inipun bukan hal yang sukar dan dapat kuatur sebaiknya. Hanya mengenai peresmian pernikahanmu, hemmm... agaknya hal itu amat sukar. Kurasa sucimu juga akan sependapat denganku bahwa kami tentu saja tidak akan berani bertindak selancang itu, melampaui ibu kandungmu dan ayah kandung isteriku untuk meresmikan pemikahanmu, seolah-olah mereka orang-orang tua itu sudah tidak ada saja. Tidak, Seng-te, kurasa hal ini tidak mungkin."

   Lie Seng menarik napas panjang.

   "Andaikata tidak mungkinpun tidak mengapa. Kami sudah mengambil keputusan hidup bersama, dinikahkan secara resmi ataupun tidak, bagi kami sama saja!"

   Ucapan ini mengandung kepedihan hati akan tetapi juga mengandung keputusan nekat. Sementara itu, di dalam kamar, Sun Eng juga bercerita kepada Mei Lan. Akan tetapi berbeda dengan cerita Lie Seng, wanita ini menceritakan segalanya tanpa ditutup-tutupi lagi. Dia menceritakan penyelewengannya ketika dia masih menjadi murid Cia Bun Houw,

   Betapa melihat kedua orang gurunya itu dalam keadaan pengasingan diri tidak melakukan hubungan suami isteri, membuat dia merasa kasihan kepada Bun Houw dan dia telah mencoba untuk merayu gurunya sendiri. Kemudian betapa dia terpikat oleh godaan kaum pria sehingga dalam kepatahan hatinya karena dibenci oleh kedua gurunya, dia melakukan penyelewengan-penyelewengan sehingga tidak diakui lagi sebagai murid suami isteri pendekar itu. Kemudian, diceritakan pula tentang penyesalannya, tentang usahanya menolong kedua gurunya itu sehingga dia bertemu dengan Lie Seng. Betapa dia sudah menceritakan semua pengalamannya itu kepada Lie Seng, dan mereka masing-masing berpisah selama satu tahun untuk menjajagi hati masing-masing dan kemudian bertemu lagi dan cinta mereka bahkan semakin mendalam.

   "Demikianlah, enci. Aku tahu akan keadaan diriku. Aku mengenal sepenuhnya siapa diriku, seorang murid murtad, seorang gadis tak tahu malu yang hina dan rendah. Aku tahu benar bahwa aku tidak pantas menjadi isteri Lie-koko, dan aku sudah menyatakan hal ini terus terang kepadanya. Akan tetapi, dia begitu mencintaku, enci, dan aku... kalau engkau masih percaya kepada hati yang sudah rusak ini, aku... melihat betapa murni cintanya kepadaku, aku rela mati untuknya, enci. Ketika dia bentrokan dengan keluarganya, dengan ibu kandungnya sendiri, mau rasanya aku membunuh diri. Akan tetapi aku tahu, cara itu bahkan akan membuat Lie-koko menjadi makin berduka saja, maka aku menuruti segala kehendaknya dan demikianlah, kami berdua tiba di sini. Agaknya, sekarang terletak dalam tangan enci nasib Lie-koko..."

   

Petualang Asmara Eps 44 Petualang Asmara Eps 40 Petualang Asmara Eps 35

Cari Blog Ini