Petualang Asmara 44
Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo Bagian 44
"Ha-ha-ha-ha, agaknya gadis ini adalah kaki tangan musuh yang sengaja dikirim ke sini untuk memburukkan nama pinto! Sungguh perbuatan yang curang sekali kalau begitu!"
Thian Hwa Ciniin yang cerdik itu masih tidak kekurangan akal untuk memutarbalikkan kenyataan. Kemudian dia memandang ke arah mayat Bu Li Cun yang masih dipeluk oleh Lie Kong Tek dan terdengar suaranya penuh getaran aneh.
"Harap Cu-wi lihat baik-baik. Gadis itu kelihatannya saja membunuh diri, akan tetapi sesungguhnya tidak. Dia waras dan sehat, pedang tadi tidak mengenai lehernya dan dia hanya pura-pura mati saja. Lihat baik-baik, semua tadi hanyalah perbuatan kakek gila tukang sihir itu!"
Semua mata terbelalak, termasuk mata Cia Keng Hong yang karena keinginan tahu dan keheranannya, telah menunda niatnya menerjang Ketua Pek-lian-kauw itu dan memutar leher memandang ke arah Bu Li Cun. Dan, seperti juga orang lain kecuali Lie Kong Tek dan gurunya, dia pun melihat betapa leher gadis itu kini putih bersih tidak ada darahnya sedikitpun juga, dan gadis itu masih bernapas, dan tersenyum-senyum dengan mata terbuka lebar!
"Ti... tidak... mungkin...!"
Pendekar sakti ini berbisik dan menggoyang kepalanya untuk mengusir pandangan yang tidak semestinya itu. Dia tadi melihat sendiri betapa pertolongan Lie Kong Tek terlambat, betapa sebelum terlempar, pedang itu telah menggorok leher Bu Li Cun dan betapa leher itu terluka, terkuak lebar dengan darah muncrat-muncrat dan gadis itu telah menghembuskan napas terakhir di dalam pelukan Lie Kong Tek!
"Hemm, Thian Hwa Cinjin! Lagi-lagi engkau hendak mengelabuhi para tamu yang terhormat ini dengan ilmu sulapmu! Gadis itu jelas telah tewas, membunuh diri dengan pedang karena telah kau perlakukan hal yang terkutuk atas dirinya. Cu-wi sekalian harap jangan mudah dikelabui dan lihatlah baik-baik. Bu Li Cun telah tewas membunuh diri! Darahnya pun belum kering!"
Hong Khi Hoatsu berteriak,
Suaranya juga mengandung getaran hebat dan kedua tangannya dengan jari terbuka didorongkan ke depan, ke arah Bu Li Cun dan... terdengar teriakan-teriakan di sana-sini ketika semua mata, termasuk mata Cia Keng Hong, melihat gadis itu benar telah menjadi mayat dengan luka besar di leher dan darahnya masih mengalir keluar, sedangkan Lie Kong Tek dengan muka pucat dan alis berkerut memangku dan memandang gadis itu. Thian Hwi Cinjin menjadi marah sekali. Kembali ilmu sihirnya yang dipergunakan untuk menyelamatkan nama dan dirinya, telah digagalkan oleh kakek aneh yang muncul tanpa disangka-sangkanya dalam pesta pernikahan yang telah diaturnya itu. Dengan alis berkerut dan mata mengeluarkan sinar berapi-api dan penuh kekuatan sihir dia menghadapi Hong Khi Hoatsu dan membentak,
"Pendeta yang lancang mencampuri urusan orang! Siapakah engkau dan apa sebabnya engkau memusuhi kami?"
Hong Khi Hoatsu menggeleng-geleng kepala yang ditutup kopyah bayi itu sambil tersenyum dan menjawab,
"Thian Hwa Cinjin, engkau sudah menggunakan julukan Cinjin, namun ternyata masih mengumbar nafsu angkara murka dan gila akan kedudukan dan kemuliaan duniawi! Ketahuilah, aku disebut orang Hong Khi Hoatsu, pekerjaanku hanya bertapa. Akan tetapi karena melihat betapa tunangan dari muridku itu telah diculik oleh anak buah Pek-lian-kauw, terpaksa aku turun gunung dan mencarinya. Jejaknya menuju ke sarangmu ini dan ternyata benar bahwa tunangan muridku itu terculik oleh orang-orangmu dan telah menjadi korban kebiadabanmu! Hemm, entah berapa banyaknya wanita baik-baik yang menjadi korban kekejianmu yang kau lakukan mengandalkan nama Pek-lian-kauw dan mengandalkan ilmu sihirmu yang jahat!"
"Hong Khi Hoatsu pendeta keparat! Ingatlah kau di mana kau bicara?"
"Ha-ha! Tentu saja! Aku bicara di depan Ketua Pek-lian-kauw bagian timur, berada di sarang Pek-lian-kauw dan sedang dikepung oleh anak buah Pek-lian-kauw! Dan baru sekarang aku tahu, juga para enghiong yang hadir di sini tentu tahu bahwa Pek-lian-kauw yang dikenal sebagai perkumpulan pejuang rakyat itu sesungguhnya hanya ditunggangi oleh orang-orang jahat sehingga berubah menjadi perkumpulan orang-orang jahat yang pekerjaannya merampok harta benda, menculik wanita, dan memberontak mengejar kedudukan."
"Keparat!"
Thian Hwa Cinjin membentak, tak dapat menahan kemarahannya, lalu memberi tanda dengan tongkatnya sebagai aba-aba untuk menyerbu. Anak buah Pek-lian-kauw yang sudah mengurung tempat itu segera berteriak-teriak dan menerjang maju.
"Manusia busuk berkedok nama rakyat pejuang! Kau harus mampus!"
Cia Keng Hong sudah menerjang ke depan menyambut gerakan Thian Hwa Cinjin yang tadi masih menyerang ke arah Hong Khi Hoatsu.
"Trakk! Plak!"
Tubuh Thian Hwa Cinjin terhuyung ke belakang ketika tongkatnya bertemu dengan Siang-bhok-kiam dan telapak tangan kirinya disambut oleh telapak tangan Cia Keng Hong. Terkejutlah Thian Hwa Cinjin. Dia sudah lama mendengar nama besar Cia Keng Hong sebagai Ketua Cin-ling-pai yang berilmu tinggi sekali.
Memang dia sudah merasa gentar mendengar nama besar pendekar ini, akan tetapi dia menjadi besar hati karena dia mengandalkan kekuatan sihirnya untuk mengatasi pendekar sakti itu. Namun sekarang di samping Cia Keng Hong terdapat Hong Khi Hoatsu yang agaknya merupakan seorang ahli dalam ilmu sihir sehingga beberapa kali ilmu sihirnya melempem dibikin buyar dan punah oleh Hong Khi Hoatsu. Terpaksa dia tidak mau menggunakan ilmu sihir lagi, karena kalau Hong Khi Hoatsu maju menghadapi ilmu sihirnya, berarti dia dikeroyok dua dan harus memecah kekuatah sin-kangnya. Dengan nekat dia lalu memutar tongkatnya dan mengeluarkan ilmu tongkatnya yang amat dahsyst sehingga Cia Keng Hong yang mengenal lawan tangguh tidak memandang rendah kepadanya. Segera terjadi pertandingan hebat antara kedua orang sakti itu.
Adapun Hong Khi Hoatsu yang maklum bahwa keselamatan Cia Keng Hong tentu terancam kalau dia tidak berjaga-jaga untuk melawan ilmu sihir Ketua Pek-lian-kauw, hanya menonton di pinggiran sambil kadang-kadang menggunakan kaki tangan merobohkan anggauta Pek-lian-kauw yang berani mencoba untuk menyerangnya. Dia tidak berani ikut menyerang Thian Hwa Cinjin, karena dalam beberapa jurus saja kakek yang ahli dalam ilmu sihir ini maklum bahwa dibandingkan dengan kedua orang yang sedang bertempur itu, tingkat ilmu silatnya masih kalah jauh sehingga bantuannya tidak akan ada artinya, bahkan akan mengacaukan gerakan serangan Ketua Cin-ling-pai itu. Kini keadaan para tamu menjadi berbalik. Kalau tadinya terdapat orang-orang yang jauh lebih banyak jumlahnya memihak Pek-lian-kauw,
Sekarang mereka itu sebagian besar membalik dan menentang Pek-lian-kauw! Mengapa demikian? Sebagian besar para tamu adalah orang-orang kang-ouw dan tadinya mereka suka bekerja sama dengan Pek-lian-kauw bukan semata-mata karena perkumpulan ini royal dalam menjamu dan menghommati mereka, melainkan karena mereka sungguh-sungguh menganggap bahwa Pek-lian-kauw adalah perkumpulan pejuang rakyat yang menentang pemerintah lalim dan membela rakyat tertindas. Kini baru terbuka mata mereka, dan mereka telah melihat bukti betapa kejinya Ketua Pek-lian-kauw yang menyuruh anak buahnya menculik gadis lalu memperkosanya! Setelah melihat kenyataan ini, sebagai pendekar-pendekar gagah di dunia persilatan, tentu saja mereka tidak sudi lagi bersekutu dengan kakek keji itu.
Maka kini sebagian besar di antara mereka berpihak kepada Cia Keng Hong dan menyambut serbuan para anak buah Pek-lian-kauw! Tentu saja masih ada di antara para tamu yang memihak Pek-lian-kauw dan mereka ini memanglah orang-orang dari golongan sesat yang terdiri dari perampok, bajak, dan orang-orang yang tidak pernah merasa segan melakukan perbuatan jahat demi mengumbar hawa nafsu mereka. Anggota Pek-lian-kauw yang kebetulan berada di situ dan kini maju menyerbu berjumlah kurang lebih seratus orang dan ditambah dengan para tamu golongan sesat yang membantu mereka, maka jumlah mereka antara seratus dua puluh lima orang! Sedangkan pihak yang menjadi lawan mereka hanya berjumlah kurang lebih empat puluh orang. Maka dengan perimbangan kekuatan yang berat sebelah ini,
(Lanjut ke Jilid 43)
Petualang Asmara (Seri ke 02 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 43
Setiap orang kang-ouw dikeroyok oleh dua tiga orang Pek-lian-kauw dan di antara para angauta Pek-lian-kauw terdapat banyak tokoh yang berilmu tinggi. Terdesaklah mereka yang menentang Pek-lian-kauw dan sudah beberapa orang yang roboh terluka sungguhpun di pihak Pek-lian-kauw juga banyak yang terluka. Lie Kong Tek mengangkat mayat tunangannya, merebahkannya di tempat aman, kemudian bagaikan seekor harimau kelaparan, pemuda tinggi besar yang berduka dan marah ini mengamuk. Sepak terjangnya menggiriskan para anggauta Pek-lian-kauw dan baru setelah dia dikeroyok oleh lima orang pimpinan Pek-lian-kauw tingkat rendah, terjangan pemuda ini dapat dibendung dan terjadi pertempuran yang amat seru dan mati-matian. Pertandingan antara Thian Hwa Cinjin dan Cia Keng Hong juga berlangsung dengan hebatnya,
Sehingga Hong Khi Hoatsu yang menonton sambil menjaga kalau-kalau Ketua Pek-lian-kauw itu berlaku curang mempergunakan sihirnya, menjadi amat kagum. Baru sekali selama hidupnya dia menyaksikan pertandingan ilmu silat yang sedemikian hebat dan bermutu. Diam-diam dia merasa bersyukur bahwa di saat itu muncul pendekar Ketua Cin-ling-pai ini, karena kalau tidak demikian, dia sukar dapat percaya apakah Yap Kun Liong yang diandalkannya itu akan mampu menandingi Ketua Pek-lian-kauw yang sedemikian lihainya! Bagi Cia Keng Hong sendiri yang selama belasan tahun ini baru beberapa kali bertanding melawan datuk-datuk kaum sesat ketika dia membantu pemerintah membasmi kaum pemberontak, kini merasa menemukan lawan yang benar-benar tangguh sekali. Ketua Pek-lian-kauw wilayah timur ini ternyata masih lebih lihai daripada lima datuk kaum sesat yang pernah dilawannya!
Setelah dia menggerakkan Pedang Kayu Harum di tangannya itu dengan ilmu pedang yang khas untuk pedang itu, yaitu Siang-bhok Kiam-sut dan mendasari gerak kaki dan tangan kirinya dengan Thai-kek-sin-kun, barulah lewat seratus jurus dia mampu mendesak Thian Hwa Cinjin yang kini mundur-mundur dan baru berhasil membalas tiap tiga kali serangan lawan dengan satu serangannya sendiri yang tidak begitu berarti. Padahal setiap serangan yang dilancarkan lawannya, baik dengan Pedang Kayu Harum itu maupun dengan pukulan tangan kiri yang terbuka, amat dahsyat dan membuatnya mengeluarkan keringat dingin dan terus main mundur. Tiba-tiba terdengar sorak-sorai dan berbondong-bondong masuklah banyak orang melalui pintu gerbang Pek-lian-kauw. Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Keng Hong,
Hong Khi Hoatsu, dan para orang kang-ouw yang menentang Pek-lian-kauw ketika puluhan orang yang baru datang itu serta merta membantu pihak Pek-lian-kauw dan menyerang mereka! Bahkan Keng Hong sendiri kini diserang oleh seorang pemuda tampan yang berpedang ular dan memiliki ilmu silat lihai sekali! Pemuda ini bukan lain adalah Ouwyang Bouw! Dia telah datang bersama isterinya, yaitu Lauw Kim In, dan Marcus bekas anak buah Legaspi Selado diiringkan oleh hampir seratus orang anak buahnya! Seperti telah diceritakan di bagian depan, Lauw Kim In dan Ouwyang Bouw memimpin para pemberontak Mongol dan membentuk Pasukan Tombak Maut. Bersama dengan Marcus yang menggabungkan diri dengan mereka, pasukan ini hendak bergabung dengan Pek-lian-kauw untuk memberontak terhadap pemerintah.
Pertempuran yang sudah berat sebelah itu menjadi makin tidak berimbang lagi ketika Pasukan Tombak Maut ikut menyerbu dan membantu Pek-lian-kauw! Kini setiap orang dikeroyok oleh banyak lawan. Cia Keng Hong sendiri selain harus menghadapi Thian Hwa Cinjin dan Ouwyang Bouw juga diserang oleh Lauw Kim In yang membantu suaminya. Namun pendekar Cin-ling-pai ini ternyata hebat sekali kepandaiannya. Dengan marah Siang-bhok-kiam di tangannya bergerak seperti kilat, tampak sinar hijau menyambar-nyambar dan... Ouwyang Bouw dan Lauw Kim In berteriak kaget, mencelat mundur dan pundak mereka berdarah tercium sinar pedang Siang-bhok-kiam! Mereka kaget dan penasaran sekali. Mereka adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi, akan tetapi dalam beberapa gebrakan saja telah terluka oleh lawan Ketua Pek-lian-kauw ini!
"Ji-wi, hati-hatilah! Ketua Cin-ling-pai ini lihai sekali ilmu pedangnya!"
Thian Hwa Cinjin yang sudah mengenal Owyang Bouw berkata memperingatkan. Diam-diam Ouwyang Bouw dan Lauw Kim In terkejut sekali. Terutama sekali Lauw Kim In. Jadi inikah pendekar sakti yang selama ini dipuji-puji subonya dan selama ini merupakan nama yang dia junjung tinggi? Adapun Ouwyang Bouw juga terkejut karena tentu saia dia mengenal nama Ketua Cin-ling-pai. Dia tahu bahwa pendekar yang sakti ini bernama Cia Keng Hong dan menjadi sahabat baik serta selalu membantu gerakan Panglima Besar The Hoo dalam menghadapi para pemberontak.
Bersama Panglima The Hoo, pendekar ini telah mengobrak-abrik sarang-sarang pemberontak, seperti Telaga Setan (Kwi-ouw), Pulau Ular, dan lain tempat lagi. Bahkan datuk hitam Toat-beng Hoat-su yang lihai itu kabarnya tewas di tangan Panglima The Hoo, sedangkan ayahnya sendiri, Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok, tewas di tangan Cia Keng Hong. Sekarang, pendekar ini kembali telah menyerbu Pek-lian-kauw! Dengan hati giris Ouwyang Bouw dan Lauw Kim In maju lagi, kini lebih hati-hati mengeroyok Cia Keng Hong. Sementara itu, Hong Khi Hoatsu yang bantu-membantu dengan muridnya, Lie Kong Tek, dikeroyok oleh Marcus dan belasan orang pimpinan Pek-lian-kauw dan jagoan-jagoan Mongol. Guru dan murid ini beradu punggung dan melawan mereka mati-matian.
"Cia Keng Hong, berlututlah kau... lihat naga saktiku hendak menelanmu!"
Tiba-tiba terdengar bentakan Ketua Pek-lian-kauw. Cia Keng Hong maklum bahwa lawannya menggunakan sihir, dia sudah mengerahkan sin-kangnya untuk melawan pengaruh itu, namun karena tadi dia mau memandang muka kakek itu sehingga sinar matanya bertaut dengan sinar mata penuh kekuatan mujijat itu, pendekar ini tidak mampu menahan kakinya yang seperti memaksa diri berlutut!
"Cia-taihiap, bangkitlah!"
Pekik nyaring ini keluar dari mulut Hong Khi Hoatsu. Biarpun dia sedang dikeroyok banyak lawan, kakek ini masih memperhatikan keadaan Keng Hong sehingga menolongnya dari pengaruh sihir lawan. Seketika Keng Hong sadar dan dengan pekik melengking nyaring sekali dia menerjang maju, pedangnya berkelebat.
"Trangg-tranggg... krekkk!!"
Pedang di tangan Ouwyang Bouw dan Lauw Kim In terpental hampir terlepas dari pegangan, sedangkan ujung tongkat hitam di tangan Thian Hwa Cinjin patah. Kagetlah kakek ini sehingga dia meloncat ke belakang dengan muka pucat.
"Kalian berani melawan aku? Lihat, aku adalah Giam-lo-ong (Malaikat Pencabut Nyawa) dari langit! Hayo kalian berlutut! Hayo kalian berlutut!"
Hong Khi Hoatsu membentak dan semua pengeroyoknya, kecuali Marcust berlutut dengan taat! Mengapa Marcus tidak terpengaruh oleh bentakan yang mengandung kekuatan mujijat ini? Hal ini adalah karena Marcus belumlah begitu paham akan bahasa Han sehingga bentakan yang dikeluarkan di antara suara hiruk-pikuk pertempuran itu tidaklah terdengar jelas olehnya dan karenanya dia pun tidak terpengaruh. Akan tetapi melihat betapa semua temannya berlutut, dia terkejut sekali dan sebelum dia sempat mengelak, Hong Khi Hoatsu telah berhasil menotoknya roboh. Kakek ini lalu berteriak,
"Cia-taihiap, Kong Tek, dan Cu-wi sekalian, mari kita pergi!"
Teriakan ini menyadarkan Cia Keng Hong dan yang lain-lain bahwa melawan terus menghadapi jumlah lawan yang jauh lebih banyak itu tiada gunanya. Apalagi yang menjadi pokok persoalan, yaitu Nona Cia Giok Keng telah pergi dari situ mengejar pengantin pria tadi.
"Pergi...!"
Terdengar teriakan-teriakan mereka. Cia Keng Hong maklum bahwa beberapa kali dia ditolong oleh Hong Khi Hoatsu, maka dia lalu memutar Siang-bhok-kiam sedemikian rupa sehingga ketiga orang pengeroyoknya terpaksa bergerak mundur. Kesempatan ini dia pergunakan untuk meloncat jauh ke arah Lie Kong Tek yang terdesak hebat oleh para pengeroyoknya.
"Singgg... tranggg... krek-krek-krekkk!"
Senjata-senjata para pengeroyok Lie Kong Tek patah-patah dan mereka terpaksa mundur, memberi kesempatan kepada Lie Kong Tek untuk lolos dari kepungan.
Mereka berdua lalu meloncat ke dekat Hong Khi Hoatsu, lalu bersama para tokoh kang-ouw yang tadi ikut menentang Pek-lian-kauw mereka mulai mundur. Pihak Pek-lian-kauw mengejar, akan tetapi tiba-tiba Hong Khi Hoatsu berteriak nyaring dan aneh sekali bagi para pengejar itu, mendadak tampaklah awan hitam yang tebal bergerak turun dan membuat pemandangan menjadi gelap. Tentu saja mereka menjadi bingung dan tidak melihat lagi ke mana orang-orang kang-ouw itu melarikan diri. Setelah Thian Hwa Cinjin yang mengerahkan ilmunya juga memekik nyaring, awan hitam itu lenyap, akan tetapi para musuh juga sudah lenyap. Mereka itu melarikan diri dengan berpencaran sehingga sukarlah untuk mengejar.
"Jangan kejar!"
Thian Hwa Cinjin berseru. Kakek ini maklum bahwa dengan berpencar, pengejaran menjadi berbahaya sekali karena kekuatan anak buahnya menjadi terpecah-pecah pula sedangkan pihak musuh demikian lihai, terutama Ketua Cin-ling-pai tadi.
Masih ngeri dia memikirkan kehebatan Pedang Kayu Harum di tangan Cia Keng Hong tadi yang membuat ujung tongkat wasiatnya sampai patah, semua orang tentu saja mentaati Perintah Ketua Pek-lian-kauw dan berbondong mereka memasuki kembali markas Pek-lian-kauw dan para anak buahnya merawat teman-teman yang terluka. Pihak orang-orang kang-ouw yang terluka juga tidak ada lagi karena mereka telah dibawa lari oleh teman masing-masing. Sedangkan para orang kang-ouw yang tadi membantu mereka, dipersilakan masuk ke ruangan tamu dan dijamu sebagai tanda terima kasih Pek-lian-kauw dan untuk mengikat hati mereka agar selanjutnya menjadi sekutu mereka. Sementara itu, dalam pelarian yang berpencaran tadi, Cia Keng Hong tetap berlari bersama Hong Khi Hoatsu dan Lie Kong Tek. Di tengah perjalanan Lie Kong Tek berkata,
"Terima kasih kepada Cia-locianpwe yang telah membantu saya tadi."
Mereka berhenti berlari karena tidak ada yang mengejar, dan andaikata ada juga yang mengejar, asal tidak terlalu banyak jumlah lawan, tentu akan mereka basmi dengan mudah.
"Tidak perlu berterima kasih, bahkan maafkan aku akan sikapku tadi ketika engkau membela anakku. Engkau memang benar!"
Berkata Cia Keng Hong dengan muka agak merah, teringat betapa dia tadi hampir membunuh pemuda ini, yang biarpun sama sekali tidak mengenal Giok Keng, telah mati-matian membelanya. Kemudian ternyata bahwa pemuda ini dan gurunya yang telah menolong dia, dan telah menyadarkan Giok Keng. Andaikata tidak ada guru dan murid ini, entah apa jadinya, akan tetapi yang jelas, Giok Keng menjadi korban kekejian Pek-lian-kauw dan Liong Bu Kong, sedangkan dia sendiri tentu tidak terluput dari malapetaka.
"Kalau mau bicara tentang budi, akulah yang berhutang budi kepada gurumu, dan kepadamu, orang muda!"
"Ha-ha-ha-ha, Cia-taihiap mengapa menjadi begini sungkan-sungkan? Di antara orang sendiri yang selalu menentang kejahatan dan membela kebenaran dan keadilan, bantu-membantu merupakan hal yang lumrah, bahkan sudah semestinya! Kalau tidak ada Cia-taihiap, juga kalau tidak ada Yap-sicu yang keduanya memiliki ilmu kepandaian setinggi langit, mana kami mampu menghadapi orang-orang Pek-lian-kauw itu?"
Mendengar disebutnya nama Yap Kun Liong, Cia Keng Hong teringat akan puterinya, maka sambil menjura dia berkata.
"Sekarang saya hendak pergi menyusul dan mencari puteriku, kita terpaksa berpisah di sini. Saya harap saja kalau ada waktu dan kesempatan, Hoatsu sudi memberi kehormatan kepada saya dengan mengunjungi Cin-ling-san."
Hong Khi Hoatsu mengangkat tangannya ke atas sambil berkata.
"Nanti dulu, Taihiap. Saya mempunyai niat hati yang perlu saya kemukakan kepada Taihiap."
"Ada petunjuk apakah yang Hoatsu hendak berikan kepadaku?"
Cia Keng Hong menjawab sambil memandang tajam.
Kakek yang biasanya hanya tersenyum-senyum itu kini menarik napas panjang, wajahnya bersungguh-sungguh.
"Secara tidak sengaja saya telah melihat dan mendengar semua yang dialami oleh puterimu dan merasa kasihan sekali kepada puterimu, Taihiap. Namanya telah dicemarkan di depan banyak orang oleh Si Laknat Liong Bu Kong dan perkumpulan kotor Pek-lian-kauw. Dan sebagai seorang tua yang awas akan gerak-gerik muridnya, saya pun telah melihat sikap muridku kepada Taihiap tadi, ketika membela puterimu. Muridku sendiri, di tempat itu, telah pula kehilangan calon isterinya yang telah tewas membunuh diri..."
"Ahhh, Suhu! Mengapa teecu tadi sampai terlupa untuk membawa lari mayat Bu Li Cun?"
Tiba-tiba Lie Kong Tek memotong ucapan suhunya dengan suara menyesal dan kaget.
"Biarlah, Kong Tek. Lebih baik kalau mayatnya dikubur oleh mereka agar selalu menjadi peringatan akan perbuatan kotor ketua mereka dan menginsyafkan para anggautanya betapa mereka mengabdi kepada seorang yang jahat seperti Thian Hwa Cinjin itu."
"Kalau boleh saya mengatakan, bagaimanakah selanjutnya kehendak Hoatsu?"
Cia Keng Hong bertanya, diam-diam dia mempertimbangkan karena dia sudah dapat menduga apa yang hendak dikatakan selanjutnya oleh kakek sakti ini.
"Melihat sikap muridku, saya mengambil kesimpulan bahwa di antara mereka memang ada jodoh, Taihiap. Kalau sekiranya Taihiap percaya pada kami, dan sudi mempertimbangkan sebaiknya, perkenankan saya mengajukan pinangan sekarang juga atas diri puteri Taihiap untuk murid saya, Lie Kong Tek ini."
Mendengar ucapan suhunya itu, Lie Kong Tek menundukkan mukanya yang menjadi merah dan jantungnya berdebar penuh ketegangan. Dia tidak merasa heran akan sikap suhunya yang memang amat aneh, bicara tentang jodoh di tengah jalan dan bicara secara blak-blakan begitu saja!
Mendengar pinangan yang memang sudah diduga sebelumnya, Cia Keng Hong tidak menjadi kaget dan dia cepat menjura sambil menjawab.
"Banyak terima kasih kepada Hoatsu yang masih menghargai puteriku yang telah tercemar namanya itu, akan tetapi hendaknya Hoatsu mengerti bahwa dalam soal perjodohan anakku itu, saya tidak dapat memutuskan kecuali ada persetujuan dari anaknya sendiri. Oleh karena itu, terpaksa sementara ini saya belum dapat memberi jawaban menerima atau menolak, tergantung kepada anak saya sendiri kelak. Kalau dia menerima, atau kalau dia menolak, tentu saya akan mengirim berita kepada Hoatsu. Ke manakah kelak saya harus mengirim berita?"
"Ha-ha-ha, Taihiap membuat kami menjadi malu saja. Kami berdua telah meninggalkan pegunungan dan sengaja hendak merantau di dunia ramai, karena itu tentu saja tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap. Maka sebaiknya diatur begini saja, Taihiap. Setahun kemudian kami akan mengunjungi Cin-ling-pai untuk menerima keputusan Taihiap mengenai pinangan saya."
Cia Keng Hong mengangguk-angguk.
"Baiklah, Hoatsu. Kami akan menanti kunjunganmu itu dan mempersiapkan jawaban yang tepat, dan mudah-mudahan saja anakku akan suka menyetujuinya. Sekarang saya terpaksa meninggalkan Ji-wi untuk menyusul anakku."
Guru dan murid itu memberi hormat dan Cia Keng Hong berkelebat, sekali loncat dia lenyap dari pandang mata guru dan murid itu. Hong Khi Hoatsu menghela napas dan menggeleng-geleng kepala.
"Kong Tek, engkau akan beruntung besar kalau bisa menjadi mantu seorang gagah perkasa seperti dia itu."
Wajah Lie Kong Tek menjadi merah dan terpaksa dia menjawab,
"Suhu, apakah suhu tidak terlalu tergesa-gesa mengajukan pinangan itu tadi? Seorang seperti teccu ini, mana ada harganya untuk berjodoh dengan Nona Cia Giok Keng? Saya amat jauh kalau dibandingkan dengan dia, baik mengenai tingkat kedudukan, kepandaian maupun keadaan."
"Kong Tek, engkau mempunyai kelebihan yang besar sekali dan mempunyai modal yang tiada habisnya, yaitu kejujuran, kesetiaan dan cinta kasih. Nah, kau menunggu apalagi? Hayo cepat kau pergi menyusul dan mencari nona itu, siapa tahu dia terancam bahaya. Kalau kau berjumpa dengannya, jangan ragu-ragu kaunyatakan isi hatimu secara langsung sehingga kita tidak perlu lagi ragu-ragu menanti berita keputusan dari ayahnya. Pergilah!"
"Akan tetapi... Suhu..."
"Apakah kau masih kanak-kanak sehingga harus memerlukan asuhanku terus? Sudah waktunya kau terbang sendiri seperti burung yang telah mempunyai sayap yang kuat. Setahun kemudian kalau tiada halangan, kita sama-sama berjumpa di Cin-ling-san."
Lie Kong Tek terharu sekali dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki suhunya.
"Harap Suhu maafkan bahwa teecu sama sekali belum dapat membalas budi kebaikan Suhu yang berlimpah-limpah."
"Asal engkau menjadi seorang manusia yang baik dan benar, itu telah merupakan pembalasan budi yang jauh lebih berharga daripada engkau memberiku sebuah gunung emas hasil kejahatan. Nah, kau terimalah ini untuk bekalmu di perjalanan."
Kakek itu lalu menyerahkan sebuah kantung terisi emas dan sebatang pedang yang selama ini disimpannya saja.
Pedang itu adalah pedang pusaka keluarganya, gagangnya dari perak berukir burung Hong sehingga diberi nama Gin-hong-kiam (Pedang Burung Hong Perak). Dengan hati terharu Lie Kong Tek menerima bekal ini dan setelah menghaturkan terima kasih, pemuda ini lalu berpisah dari gurunya, hendak pergi mencari Cia Giok Keng, dara yang merupakan gadis pertama yang pernah merebut hatinya karena biarpun dia bertunangan dengan Bu Li Cun sebenarnya dia belum mengenal gadis itu, apalagi jatuh cinta. Sebaliknya, dalam pertemuan pertama, ketika melihat Cia Giok Keng berhadapan dengan ayahnya, Lie Kong Tek telah jatuh cinta. Dia merasa kagum dan juga kasihan kepada Giok Keng dan agaknya dari kedua perasaan inilah tumbuhnya cinta kasih di hatinya.
"Manusia iblis! Jahanam Liong Bu Kong, kau hendak lari ke mana?"
Giok Keng dengan kemarahan meluap-luap melakukan pengejaran dengan pedang di tangan.
"Keng-moi... tidak ingatkah kau akan cinta kasih kita...?"
Liong Bu Kong berlari terus.
"Keparat! Jangan bicara tentang cinta, mulutmu tidak ada harganya untuk bicara tentang itu! Kau hendak lari ke mana? Ke mana pun akan kukejar!"
Giok Keng lalu memaki-maki dengan kemarahan meluap karena sejak tadi dia masih belum mampu menyusul laki-laki bekas kekasihnya yang kini amat dibencinya itu. Liong Bu Kong adalah seorang yang amat cerdik. Dia maklum bahwa melawan Giok Keng, tingkat kepandaiannya seimbang, akan tetapi dalam keadaan marah dan nekat seperti itu, sukarlah baginya untuk mengalahkan dara perkasa itu. Dan dia tidak ingin membunuhnya, dia masih sayang kepada dara yang cantik ini. Kalau tidak bisa mendapatkannya secara suka rela, tidak segan-segan dia akan menggunakan paksaan.
Terlalu sayang kalau seorang dara semolek itu, yang tadinya seumpama daging sudah berada di depan bibirnya akan tetapi lolos, dibiarkan terlepas begitu saja. Maka dia terus berlari sambil memanaskan hati Giok Keng dengan kata-kata yang mengingatkan dara itu akan cinta kasih mereka, mengingatkan dara itu betapa dia tertipu oleh Liong Bu Kong. Melihat Giok Keng mengejar makin dekat, diam-diam Liong Bu Kong memilih jalan memutar sehingga makin lama mereka makin mendekati Pek-lian-kauw dari arah lain! Setelah tiba di sebuah dinding karang di pegunungan itu, Liong Bu Kong menarik alat rahasia yang tersembunyi di antara karang menonjol. Itulah alat rahasia yang membunyikan tanda bahaya di sebelah dalam markas Pek-lian-kauw, melalui lorong rahasia di dalam gunung. Kemudian, sambil tersenyum Liong Bu Kong berdiri dengan pedang di tangan menanti Giok Keng yang tak lama kemudian sudah tiba di situ.
"Keng-moi, lupakah kau akan saat-saat bahagia ketika kita memadu asmara, saling peluk cium dengan mesra? Kejamkah hatimu untuk menukar semua itu dengan permusuhan dan saling membunuh? Moi-moi, aku cinta padamu, Moi-moi. Apa pun yang terjadi..."
"Tutup mulutmu yang kotor dan busuk! Kau manusia berhati iblis! Kalau hari ini aku tidak dapat membunuhmu, biarlah aku mati di ujung pedangmu!"
Giok Keng membentak dan menerjang dengan dahsyatnya. Liong Bu Kong menangkis sambil meloncat ke kiri dan segera terjadilah pertempuran yang amat seru dan mati-matian di pihak Giok Keng,
Sedangkan Liong Bu Kong lebih banyak mempertahankan diri sekuatnya sambil menanti datangnya bala bantuan. Dia tidak perlu menanti lama. Isyarat itu telah diterima oleh Pek-lian-kauw yang pada saat itu sedang menjamu para tokoh kang-ouw di ruangan tamu karena pertempuran tadi sudah selesai. Mendengar tanda bahaya dari balik gunung di belakang ini, Bong Khi Tosu lalu memimpin sepasukan anggauta Pek-lian-kauw yang terdiri dari dua puluh orang, melalui lorong rahasia cepat lari menuju ke balik gunung dan menerobos keluar dari dalam guha rahasia. Melihat Liong Bu Kong sedang diserang mati-matian oleh Cia Giok Keng, sejenak Bong Khi Tosu tercengang. Tak disangkanya bahwa sepasang pengantin gagal itu kini sedang saling serang sedemikian serunya dan dia tertawa,
"Ha-ha-ha, mestinya saling serang di dalam kamar pengantin, siapa kira kini saling menyerang dengan pedang di tangan ini!"
"Bong Khi Tosu, lekas bantu aku menangkap wanita liar ini. Jangan bunuh, tangkap hidup-hidup!"
Liong Bu Kong berteriak dan pasukan itu dipimpin oleh Bong Khi Tosu segera mengepung Cia Giok Keng! Giok Keng terkejut sekali menyaksikan munculnya pasukan Pek-lian-kauw dari sebuah guha yang sama sekali tak disangka-sangkanya itu. Dia terheran-heran memikirkan dari mana datangnya pasukan ini karena dia sama sekali tidak sadar bahwa dia telah dipancing mendekati kembali sarang Pek-lian-kauw oleh Liong Bu Kong, akan tetapi sedikit pun dia tidak gentar. Sambil mengeluarkan pekik melengking nyaring sekali dia lalu menyambut pengeroyokan itu dan robohlah dua orang anggauta pengeroyok Pek-lian-kauw. Hal ini membuat Bong Khi Tosu marah dan lalu menerjang sambil memimpin anak buahnya,
Menyerang dengan ketat dan hujan senjata menyambar ke arah tubuh Giok Keng yang memaksa gadis itu tidak mampu menyerang lagi melainkan harus memutar pedang melindungi tubuhnya dari sambaran senjata yang amat banyak itu, sedangkan dia pun harus waspada terhadap Liong Bu Kong yang menanti kesempatan untuk merobohkan dan menangkapnya. Betapa pun gagahnya Cia Giok Keng, namun karena di situ terdapat Liong Bu Kong yang amat lihai, sedangkan Bong Khi Tosu dan dua puluh orang anggauta Pek-lian-kauw ini pun masing-masing bukanlah orang lemah, tentu saja dalam waktu singkat Giok Keng terdesak hebat. Dahi dan lehernya sudah bercucuran peluh dan tangannya yang memutar pedang dan selalu menangkis senjata lawan yang sedemikian banyaknya sudah terasa pegal dan lelah.
"Pergunakan jala...!"
Bong Khi Tosu yang ingin memenuhi permintaan Liong Bu Kong memberi aba-aba. Tokoh Pek-lian-kauw ini tahu betapa pentingnya menangkap hidup-hidup puteri Ketua Cin-ling-pai itu. Bukan hanya untuk menyenangkan hati Liong Bu Kong yang dianggap sekutu dan diharapkan membantu Pek-lian-kauw, akan tetapi juga untuk menaklukkan Ketua Cin-ling-pai yang demikian saktinya, jalan terbaik adalah menawan puterinya ini!
Empat orang anggauta Pek-lian-kauw yang ahli menggunakan jala, kini telah maju mengurung dari empat penjuru, di antara semua orang yang masih terus mengeroyok dara itu. Giok Keng maklum akan bahaya ini maka matanya selalu mengawasi gerak-gerik empat orang yang mencari kesempatan itu sambil tetap memutar pedang ke kanan kiri, atas dan bawah untuk menghalau pergi setiap senjata pengeroyok yang datang menyambar. Tiba-tiba yang dikhawatirkan itu terjadilah. Sebuah jala dilempar dari arah belakangnya, mendatangkan suara bersiutan dan jala itu berkembang lebar, menerkam ke arah dirinya. Maklum bahwa sekali terkurung dalam terkaman jala keadaannya akan menjadi berbahaya sekali, Giok Keng kembali mengeluarkan suara lengkingan tinggi, di antara hujan senjata itu memutar tubuhnya dan pedangnya bergerak ke arah bayangan lebar hitam yang menerkam itu.
"Trang! Cringg... krrrttt...!!"
Pedangnya bergerak secara luar biasa sekali dan si pemegang jala berteriak kaget ketika jala itu terbabat putus-putus dan robek oleh pedang Giok Keng yang kembali sudah memutar senjatanya untuk melindungi tubuhnya. Akan tetapi gerakan ini membuat Giok Keng kurang dapat mempertahankan tubuh belakangnya dan pada saat jala pertama robek, jala ke dua sudah datang dari arah belakang pula, menerkam tubuhnya! Giak Keng berseru kaget, meronta dan menggunakan pedangnya untuk membabat jala, akan tetapi karena jala itu sudah menyelimutinya, gerakannya tentu saja menjadi kacau dan sukar. Betapapun juga, andaikata dua helai jala yang lain tidak segera menerkam dirinya, tentu dia akan berhasil meloloskan dirinya dari jala ke dua tadi. Kini tubuhnya tertutup dan diselimuti tiga helai jala dan dia seperti seekor ikan yang tak berdaya, hanya dapat meronta-ronta dan memaki-maki.
"Liong Bu Kong manusia iblis! Pengecut tak tahu malu, menggunakan cara yang curang! Lepaskan jala ini dan mari kita bertanding sampai mati!"
"Ha-ha-ha, Keng-moi, manisku. Sayang kalau sampai kau mati sebelum kau menjadi milikku dan sebelum aku menikmatimu sepuas hatiku, ha-ha-ha!"
"Laki-laki tak tahu malu, mulutmu kotor sekali!"
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan sesosok bayangan manusia berkelebat datang, menyambar ke arah Giok Keng yang tertutup jala, kedua tangan orang itu bergerak merenggut jala-jala itu, terdengar suara nyaring dan tiga helai jala itu robek semua, pemegang talinya terpelanting dan dalam sekejap mata saja Giok Keng bebas kembali!
"Terima kasih, Kun Liong!"
Giok Keng berkata dan pedangnya sudah berkelebat mengamuk sehingga dalam kemarahannya itu gerakannya menjadi luar biasa sekali dan robohlah dua orang pengeroyok. Dia hendak menerjang Liong Bu Kong yang amat dibencinya itu, namun dia dihalangi oleh para anggauta Pek-lian-kauw sehingga membuat hati gadis ini makin marah.
Sementara itu, Kun Liong tersenyum gembira mendengar suara Giok Keng yang menandakan bahwa gadis itu benar-benar telah pulih kembali ingatannya, kembali seperti Giok Keng dahulu, dara yang amat cantik jelita, yang sampai sekarang bentuk hidungnya membuat dia terpesona kagum, dara yang periang, liar dan galak, yang menyebut namanya begitu saja padahal sudah sepatutnya kalau dara itu menyebutnya kakak atau suheng, baik dipandang dari segi usia maupun hubungan. Karena gembiranya, Kun Liong sampai kurang memperhatikan dan baru dia sadar ketika melihat Liong Bu Kong menekan-nekan batu di dinding karang dan tahulah dia bahwa pemuda itu tentu menggerakkan alat rahasia maka secepat kilat dia meloncat ke arah Liong Bu Kong sambil membentak,
"Engkau manusia berakhlak rendah sekali!"
Liong Bu Kong menyambut sambaran tubuh Kun Liong itu dengan tusukan pedangnya sambil membalikkan tubuh setelah dia berhasil memberi isyarat kepada Pek-lian-kauw tentang bahaya yang lebih besar lagi! Pedang Lui-kong-kiam di tangannya berubah menjadi sinar kilat menyambar ganas, meluncur ke arah dada Kun Liong yang sedang menerjangnya.
"Sing...! Wuuut, plak-plakk!"
Tubuh Liong Bu Kong terbanting keras ke kiri ketika tusukannya itu dapat dihindarkan oleh Kun Liong yang melempar tubuh ke kiri, kemudian dari samping dia mendorong ke arah Liong Bu Kong dengan kedua tangannya, mengerahkan sin-kangnya. Liong Bu Kong terkejut dan berusaha menangkis, akan tetapi dua kali benturan itu membuat tubuhnya terbanting dan tergetar hebat. Masih untung bagi Liong Bu Kong bahwa sampai saat itu, Yap Kun Liong masih saja merasa tidak suka untuk membunuh, maka dorongan tangannya tadipun hanya dilakukan dengan pengerahan tenaga secukupnya saja untuk mengatasi lawan. Andaikata Kun Lieng berniat membunuh, agaknya dengan pengerahan sin-kang sekuatnya, Liong Bu Kong tentu takkan dapat bangun kembali.
Namun, harus diakui bahwa Liong Bu Kong juga lihai. Setelah terbanting keras seperti itu, dia masih mampu terus menggulingkan tubuhnya menjauhi Kun Liong dan dari tangan kirinya ketika dia bergulingan itu menyambar sinar-sinar hijau ke arah Kun Liong. Pemuda ini dengan tenangnya mengebutkan kedua lengan bajunya dan senjata-senjata rahasia kecil-kecil berupa duri hijau yang beracun itu semua runtuh ke atas tanah. Pada saat Liong Bu Kong sudah meloncat berdiri dan siap lagi menghadapi lawan yang dia tahu amat lihai ini, muncullah sepasukan orang-orang Pek-lian-kauw yang jumlahnya belasan orang, dipimpin oleh Loan Khi Tosu, Ouwyang Bouw dan Lauw Kim In! Ketika mereka ini melihat betapa Cia Giok Keng dan Yap Kun Liong mengamuk, cepat mereka sudah menerjang maju.
"Giok Keng, hati-hatilah!"
Kun Liong berseru sambil melompat jauh ke tempat Giok Keng.
Dia tidak khawatir menyaksikan begitu banyak lawan, akan tetapi dia mengkhawatirkan keselamatan Giok Keng karena melihat betapa Giok Keng bertempur dengan kemarahan meluap-luap. Hal ini membahayakan dara itu, apalagi setelah dia melihat munculnya lawan-lawan tangguh seperti Ouwyang Bouw, Lauw Kim In, dan Loan Khi Tosu! Giok Keng juga melihat munculnya pasukan baru, maka dia maklum akan maksud hati Kun Liong. Tanpa bicara apa-apa, kedua orang ini lalu memasang kuda-kuda saling membelakangi, dengan demikian bagian belakang mereka terlindung, mereka saling melindungi dan hanya menghadapi lawan yang berada di depan dan kanan kiri saja. Dalam kesempatan selagi menanti datangnya serbuan para pengeroyok yang jumlahnya amat banyak itu, Giok Keng berbisik tanpa menoleh,
"Kun Liong, kaumaafkan semua kesalahanku dan terima kasih atas bantuanmu."
Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Terharu hati Kun Lion mendengar ini.
"Hushhhh...!"
Bisiknya kembali.
"bukan waktunya berbicara, Sayang. Kita menghadapi bahaya..."
Liong Bu Kong yang menyaksikan betapa kedua orang itu berbisik-bisik, menjadi panas hatinya dan segera dia berseru,
"Serbuuu...!"
Lalu memelopori penyerangan itu yang diikuti oleh semma orang. Yap Kun Liong telah melihat datangnya seorang anggauta Pek-lian-kauw yang memegang toya dan yang memang telah diincarnya maka secepat kilat dia mencelat ke kiri, ke arah orang ini, kedua tangannya bergerak dan orang itu roboh tertotok dan toyanya telah terampas secara yang dia tidak ketahui bagiimana! Kun Liong menggunakan tenaganya mematahkan toya itu di tengah-tengah dan... di kedua tangannya telah tampak sepasang tongkat pendek yang segera dimainkan dengan ilmu Tongkat Siang-liong-pang (Sepasang Naga) yang dahulu dia pelaiari dari Bun Hwat Tosu.
Terdengar suara trang-tring-trang ketika banyak senjata lawan terlempar ketika bertemu dengan sepasang tongkat ini. Juga Giok Keng sudah mengamuk dengan pedangnya, merobohkan dua orang lagi dengan cepatnya. Melihat ini, Ouwyang Bouw dan Lauw Kim In lalu menerjang ke depan, membantu Liong Bu Kong mengeroyok Kun Liong, sedangkan Bong Khi Tosu dan Loan Khi Tosu mengeroyok Giok Keng. Tentu saja selain mereka, para anak buah Pek-lian-kauw juga ikut pula mengeroyok dan sungguhpun mereka itu bukan merupakan lawan tangguh bagi Kun Liong dan Giok Keng, namun jumlah mereka yang amat banyak itu merepotkan juga. Karena khawatir akan keselamatan Giok Keng sedangkan dia sendiri didesak oleh tiga orang yang cukup lihai itu, Kun Liong sengaja menahan pedang Lauw Kim In dengan tongkatnya sambil berkata,
"Hemm, setangkai bunga mawar indah bersih dari Go-bi tercemar dalam lumpur..."
Lauw Kim In menjadi merah mukanya dan dia menarik pedangnya untuk ditikamkan ke lambung Kun Liong, dan pada saat itu, Ouwyang Bouw yang juga mengerti akan sindiran ini sudah menggerakkan pedang ularnya ke arah leher Kun Liong.
"Trang... cringgg...!"
Kun Liang menangkis sambil meloncat ke atas untuk mengelak sambaran pedang Liong Bu Kong yang menggunakan kesempatan tadi untuk membabat ke arah kakinya.
"Kasihan Sin-kouw... tidak tahu betapa Pek-eng Kiam-hoat ciptaannya itu dipergunakan untuk membantu pemberontak dan penjahat! Aihhh, yang menjadi guru, mati pun tidak bisa meram, apalagi masih hidup!"
"Iihhhh..."
Kim Lauw Kim In menjerit karena tidak tahan lagi mendengar sindiran itu, air matanya bercucuran dan betapa pun kerasnya hati wanita ini, karena selama ini penderitaan batinnya sejak dia menyerahkan dirinya kepada Ouwyang Bouw ditekan-tekan, seolah-olah dibuka bendungannya oleh Kun Liong. Lauw Kim In mundur-mundur dan mukanya pucat sekali. Melihat ini, Ouwyang Bouw marah bukan main.
"Manusia bermulut lancang dan beracun!"
Kedua tangannya bergerak dan serangkum sinar merah menyambar ke arah seluruh tubuh Kun Liong. Pemuda ini terkejut karena mengerti bahwa itulah jarum-jarum merah yang pernah membuat kepalanya gundul! Cepat dia memutar kedua tongkatnya sambil meloncat ke kiri. Sebagian dari jarum-jarum merah beracun itu dapat dia pukul runtuh dan sebagian lagi dapat dia elakkan.
"Aduhhhh...!"
Tiba-tiba terdengar Giok Keng menjerit dan bukan main kagetnya hati Kun Liong karena baru dia teringat bahwa di belakangnya terdapat Giok Keng sehingga ketika dia mengelak tadi, jarum-jarum merah langsung menyambar tubuh dara itu dan mengenai bagian belakang tubuhnya!
"Celaka!"
Serunya dan cepat dia memutar tongkat membalikkan tubuh. Melihat Giok Keng limbung dan hampir jatuh, Kun Liong cepat membuang kedua tongkatnya, menyambar pedang dari tangan Giok Keng dan memondong tubuh yang lemas itu, memanggulnya dan dia melindungi tubuh mereka berdua dengan pedang Giok Keng yang diputar amat cepatnya sehingga tampaklah gulungan sinar berkilauan yang menyelimuti tubuh mereka berdua. Semua senjata yang bertemu dengan sinar bergulung-gulung ini terpental dan semua pengeroyok menjadi gentar dan mundur kembali.
"Kepung, jangan biarkan dia lolos!"
Liong Bu Kong berteriak keras, khawatir juga ketika melihat betapa Lauw Kim In sudah lari dari tempat itu dikejar oleh suaminya, Ouwyang Bouw. Dengan perginya dua orang yang lihai ini, terutama Ouwyang Bouw dia merasa kehilangan tenaga bantuan yang boleh diandalkan. Baiknya Giok Keng sudah terluka dan Kun Liong sedang memanggul tubuh dara itu, maka dia bersama Loan Khi Tosu dan Bong Khi Tosu, dibantu oleh hampir tiga puluh orang anak buah Pek-lian-kauw, yaitu sisa mereka yang belum roboh, mengurung dan mendesak Kun Liong, tidak memberinya kesempatan untuk melarikan diri.
Repot juga Kun Liong dikeroyok demikian banyak dalam keadaan seperti itu. Tentu saja andaikata Giok Keng tidak terluka, mereka berdua masih akan sanggup menandingi mereka semua setelah Ouwyang Bouw dan Lauw Kim In pergi, dan agaknya akan mudah dapat meloloskan diri. Akan tetapi sekarang, setelah Giok Keng terluka dan pingsan dalam panggulannya, tentu saja membuat gerakannya tidak leluasa lagi. Kekhawatirannya terhadap Giok Keng yang telah terkena jarum merah Ouwyang Bouw yang dia tahu amat berbahaya, membuat hatinya terasa tidak karuan dan akhirnya dia menjadi marah. Dengan pekik melengking keras yang merobohkan beberapa orang anggauta Pek-lian-kauw yang kurang kuat, dia lalu membentak,
"Liong Bu Kong! Kalau kau tidak menarik mundur semua orang ini, terpaksa aku akan membunuhmu!"
Liong Bu Kong terkejut, akan tetapi dia mengira bahwa pemuda itu hanya menggertaknya saja karena dalam keadaan terdesak, maka dia tertawa.
"Kepung dia! Bunuh pemuda pengacau ini!"
Kun Liong menjadi mata gelap. Sejak kecil dia tidak suka akan kekerasan, tidak suka memukul orang apalagi membunuh merupakan pantangan besar baginya. Kini, gelisah akan keselamatan Giok Keng dan melihat kekejaman hati Liong Bu Kong yang membuat gadis itu sengsara, dia menjadi mata gelap dan dengan bentakan nyaring dia menerima semua sambaran pedang ke arah tubuhnya, hanya melindungi tubuh Giok Keng. Berbareng ketika senjata-senjata mengenai tubuhnya dia sudah menerjang maju dengan pedang Gin-hwa-kiam milik Giok Keng itu, menyerang Liong Bu Kong tanpa mempedulikan hujan senjata mengenai tubuhnya. Terdengar suara bak-bik-buk dan semua senjata itu terpental kembali. Liong Bu Kong terkejut melihat sinar perak menyambar, cepat dia menangkis dengan Lui-kong-kiam.
"Crangggg...!"
Liong Bu Kong memekik kaget, pedangnya terlepas dari pegangan tangannya dan cepat dia melempar tubuhnya ke atas tanah. Kalau tidak cepat gerakannya ini, tentu dia telah menjadi korban pedang Gin-hwa-kiam. Melihat serangannya hanya berhasil melepaskan pedang lawan yang dapat dengan cepat menghindar dengan cara melempar diri ke atas tanah, Kun Liong mengayun kakinya menendang ke arah kepala Liong Bu Kong. Bu Kong mengangkat kedua lengannya menangkis.
"Desss!"
Tubuh Liong Bu Kong mencelat dan terguling-guling sampai sepuluh meter jauhnya. Dia dapat bangkit berdiri lagi dengan kepala pening dan mata berkunang, menggoyang-goyang kepalanya dan keringat dingin bercucuran keluar ketika dia melihat Kun Liong sudah dikepung lagi.
Kini para pengeroyok itu atas komando Loan Khi Tosu yang cerdik, menujukan senjata mereka kepada tubuh Giok Keng! Akal ini benar-benar membuat Kun Liong menjadi repot sekali. Dia tidak mengkhawatirkan dirinya sendiri yang dapat dibuatnya kebal terhadap senjata dengan sin-kangnya, akan tetapi Giok Keng yang pingsan itu tentu akan celaka kalau terkena senjata lawan. Lega dan girang juga hati Liong Bu Kong melihat betapa lawan yang amat tangguh itu kini dikepung ketat. Dia hampir saja celaka tadi, seperti lolos dari lubang jarum. Dengan tulang-tulang tubuhnya terasa nyeri, dia berjalan terincang-pincang mencari senjatanya yang tadi terlepas. Akhirnya dia melihat senjata pedangnya itu dan dengan cepat dia berlari menghampiri untuk mengambilnya. Selagi tangan Bu Kong meraih pedang, tiba-tiba ada sebuah kaki kecil yang menginjak pedang itu!
Bu Kong terkejut akan tetapi dia sudah memegang gagang pedangnya, maka sekuat tenaga dia membetot gagang pedang itu dan... pedang yang terinjak kaki kecil itu tidak berkutik sedikit pun! Betapa pun Bu Kong mencabut sambil mengerahkan tenaga, sia-sia saja karena pedang itu seakan-akan telah menjadi satu dengan kaki yang menginjaknya. Bu Kong cepat mengangkat mukanya dan kaki itu ternyata milik seorang gadis cantik dan gagah, seorang dara cantik yang matanya begitu tajam dan bening, indah seperti mata burung Hong, seorang gadis berpakaian ringkas dan tampak dua batang pedang di tubuhnya, satu di punggungnya dan sebatang lagi di ikat pinggangnya yang merupakan pedang pendek. Liong Bu Kong terbelalak ketika dia mengenal wajah gadis yang cantik namun dingin dan angkuh itu.
"Kau...? Kau... Giok-hong-cu Yo Bi Kiok?"
Katanya memandang kepada hiasan burung Hong dari kumala yang menghias baju di dada gadis itu. Rasa terkejut dan heran bercampur dengan harapan dan kegirangan. Dia terkejut dan heran melihat kelihaian gadis ini yang mampu menginjak pedangnya sedemikian kuatnya sehingga dia sendiri tidak dapat menariknya kembali, dan dia girang dan penuh harapan akan mendapat bantuan gadis ini. Bukankah Yo Bi Kiok ini dapat dikatakan segolongan dengan dia, bahkan guru gadis ini, Bu Leng Ci yang berjuluk Siang-tok Mo-li pernah bersekutu dengan ibunya, dan hiasan burung Hong kumala di dada gadis itu pun adalah pemberian ibunya? Maka dia cepat melepaskan gagang pedangnya, bangkit berdiri dan berkata sambil tersenyum, girang,
"Aihh, kiranya Kiok-moi yang datang...! Dan kau hebat sekali! Kiok-moi, kebetulan kau datang, marilah membantu kami menaklukkan iblis itu!"
Dia menuding ke arah Kun Liong yang masih mengamuk dan dikepung ketat seperti seekor jengkerik dikeroyok segerombolan semut.
"Huh, siapa adikmu? Liong Bu Kong, aku datang untuk mengambil nyawamu!"
Tentu saja Liong Bu Kong merasa kaget bukan main sampai matanya terbelalak dan dia tidak dapat menjawab.
"Ambil pedangmu dan bersiaplah!"
Kata pula Yo Bi Kiok dengan suara dan pandang mata dingin. Terpaksa Bu Kong mengambil pedangya yang sudah dilepaskan oleh kaki Bi Kiok dan dia membantah,
"Yo Bi Kiok, lupakah kau bahwa kita segolongan? Lihat, Giok-hong-cu itu masih berada di dadamu. Bukankah itu pemberian ibuku?"
Yo Bi Kiok menjebikan bibirnya yang merah.
"Hemm, memang kubawa dan tadinya akan kukembalikan kepada Kwi-eng Niocu, sayang dia telah mampus, karena itu biarlah kukembalikan kepada puteranya. Nih, terimalah kembali!"
Tiba-tiba sekali, dengan kecepatan yang tidak terduga-duga oleh Bu Kong, tangan kiri gadis itu merenggut hiasan itu dan secepat kilat pula perhiasan dari kumala itu telah melayang menyambar antara kedua mata Bu Kong! Pemuda ini berseru kaget, cepat dia mengelak dengan merendahkan tubuh dan menundukkan kepala.
"Sswwtttt...!"
Perhiasan itu melayang lewat di atas kepalanya dan menancap di dinding karang. Dan pada saat itu, Bi Kiok telah menerjangnya dengan pedang pendek di tangan kiri. Demikian cepatnya gerakan Bi Kiok, begitu melontarkan perhiasan tadi terus langsung mencabut pedang di pinggang dan langsung pula menyerang, sehingga Bu Kong terkejut setengah mati, cepat menangkis.
"Cring-trangggg...!"
"Ehhhh...?"
Liong Bu Kong kembali terkejut. Tangannya sampai tergetar hebat ketika pedangnya bertemu dengan pedang di tangan kiri gadis itu.
Akan tetapi dia tidak sempat terheran lebih lama lagi karena kembali pedang gadis itu telah menyambar dengan kecepatan dan kekuatan yang amat luar biasa! Bu Kong menangkis dan berusaha untuk balas menyerang, namun dalam waktu dua puluh jurus lebih saja dia telah terdesak hebat sekali. Tiba-tiba, selagi Bu Kong membalas dengan bacokan dahayat, Bi Kiok menangkis dengan pedang kirinya sambil mengerahkan sin-kang dan pedang itu bergetar sedemikian hebat lalu diputar-putar sehingga pedang Bu Kong ikut pula terputar tanpa dapat ditahannya lagi. Dan secepat kilat, tangan kanan Bi Kiok bergerak dan hanya tampak sinar berkelebat ketika pedang panjang telah tercabut dari punggungnya dan di lain saat pedang itu telah menembus dada Liong Bu Kong.
"Auhhhhgggg...!"
Tubuh pemuda itu terjengkang ketika Bi Kiok mencabut pedangnya. Sambil melihat tubuh pemuda yang berkelojotan di atas tanah itu, Bi Kiok menggunakan kakinya mencokel pedang Lui-kong-kiam, menyambar gagang pedang dengan tangannya dan menyelipkan pedang itu di pinggangnya pula, sementara itu kedua pedangnya tadi sudah dengan cepat memasuki sarung pedang. Kemudian, dengan tenang dia menghampiri dinding karang, mencabut Giok-hong-cu dan sekali lempar perhiasan itu menancap di dahi Bu Kong, tepat di tengah-tengah dan tubuh yang berkelojotan itu diam, tak bergerak lagi.
Kini Yo Bi Kiok memandang ke arah pertempuran, mendengus perlahan dan tubuhnya mencelat ke medan pertempuran, pedang rampasan tadi digerakkan dengan tangan kirinya dan robohlah empat orang pengeroyok! Selanjutnya, gadis ini mengamuk dengan pedang Lui-kong-kiam sehingga dalam waktu singkat, terjungkal tidak kurang dari delapan orang anak buah Pek-lian-kauw! Tentu saja semua pengeroyok terkejut sekali dan mereka menjadi gentar, cepat mereka meninggalkan Kun Liong dan Bi Kiok, mundur ke dalam guha di mana sudah dipasangi alat-alat rahasia jebakan. Akan tetapi kedua orang muda itu tidak mengejar, melainkan berdiri saling berpandangan, Bi Kiok dengan pandang mata dingin, Kun Liong dengan mata terbelalak keheranan.
"Engkau... Bi Kiok...!"
"Kun Liong, engkau masih belum lupa kepadaku?"
Suara Bi Kiok dingin dan matanya menatap tajam ke arah gadis yang pingsan di panggulan pemuda itu.
"Melupakan engkau? Mungkin yang lain-lain aku dapat melupakan, akan tetapi betapa mungkin aku melupakan matamu yang bersinar indah seperti bintang pagi itu?"
Yo Bi Kjok menjebikan bibirnya, dan mendengus,
"Huh, perayu yang... mata keranjang!"
Dia memutar tubuhnya dan sekali meloncat dia telah melayang jauh ke depan lalu lari cepat sekali.
"Bi Kiok...!"
Kun Liong memanggil akan tetapi gadis itu berlari terus.
Terpaksa dia pun berlari membawa tubuh Giok Keng yang masih pingsan. Yang terutama sekali adalah keselamatan Giok Keng. Biarpun dia merasa terheran-heran melihat Yo Bi Kiok yang sekarang memiliki ilmu kepandaian sedemikian tingginya, bahkan Liong Bu Kong dapat dibunuhnya dalam waktu singkat dan dia ingin sekali bicara dengan dara itu, namun melihat keadaan Giok Keng, dia harus lebih dulu menyelamatkan gadis ini. Dia tahu betapa jahatnya jarum merah Ouwyang Bouw itu. Setelah berlarl-lari menuruni bukit dan jauh sekali meninggalkan sarang Pek-lian-kauw, akhirnya Kun Liong tiba di sebuah dusun dan cepat dia mencari rumah penginapan. Seorang pelayan menyambutnya dengan mata terbelalak heran memandang kepada wanita muda yang pingsan dalam pondongan pemuda itu.
"Adikku ini sakit parah, harap kau cepat menyediakan kamar untuk kami agar dia dapat kuobati,"
Kata Kun Liong, tanpa banyak cakap lagi.
Pelayan itu seorang tua yang baik hati. Melihat keadaan Giok Keng yang pucat dan pingsan, dia cepat membawa mereka ke sebuah kamar yang cukup besar, kemudian memenuhi permintaan Kun Liong menyediakan sebaskom air mendidih yang dia taruh di dalam kamar dan cepat dia meninggalkan mereka pergi. Kun Liong mulai bekerja, tanpa ragu-ragu lagi dia menanggalkan pakaian Giok Keng berikut sepatunya dan menyelimuti tubuh yang telanjang itu dengan sehelai selimut. Dia membalikkan tubuh dara itu menelungkup dan memeriksa tubuh belakangnya. Terdapat lima batang jarum merah menancap di tubub belakang dari punggung sampai ke pinggul! Dan jarum-jarum itu menancap dalam sekali sampai yang tampak hanya sedikit ujungnya membayang di bawah kulit yang telah mulai membiru kemerahan!
Pedang Kayu Harum Eps 7 Pedang Kayu Harum Eps 39 Pedang Kayu Harum Eps 37