Ceritasilat Novel Online

Pendekar Lembah Naga 51


Pendekar Lembah Naga Karya Kho Ping Hoo Bagian 51



Tidak ada seorangpun anak kecil yang normal akan merasa suka menjadi "anak tauladan"

   Seperti yang digariskan orang tua, duduk diam seperti patung di depan orang-orang tua yang sedang mengobrol, duduk dengan sopan, bicara lemah lembut, tertawapun "diatur", bernyanyi kalau disuruh nyanyi seperti yang telah diajarkan oleh orang tua di rumah sehingga orang-orang tua lain akan merasa kagum! Tidak mungkin seorang anak suka bersikap seperti itu. Dia ingin bebas gembira. Namun apa daya, orang tua "yang amat mencintanya"

   Itu mengajarkan lain, menghendaki lain. Bukan hanya terhadap anak kita yang masih kecil kita ingin mengatur, ingin membentuk, ingin agar anak itu hidup sesuai dengan kehendak kita, menurutkan garis yang kita buat untuk anak itu.

   Bahkan setelah anak itu dewasa sekalipun, selama kita masih dapat menguasainya, kita akan selalu membuat anak kita sebagai jembatan untuk mendapatkan kebanggaan dan kesenangan. Semua ini mungkin tidak kita rasakan lagi, tidak kita insyafi lagi karena kita tidak sadar akan kenyataan hidup ini. Kita akan menganggap, bahwa semua itu kita lakukan demi cinta kita kepada anak kita itu! Inilah alasan yang paling kuat, merupakan alasan tradisional yang dipakai oleh kita orang-orang tua yang selalu merasa benar dalam hal apapun juga! Bahkan kalau anak kita sudah dewasa, dalam menentukan jodohpun kita selalu mau ikut campur, berdiri terdepan untuk melakukan pemilihan, untuk menerima atau menolak pilihan anak kita berdasarkan penilaian kita, pendapat kita, selera kita sendiri.

   Selera dan pandangan anak kita, sejak dia kecil, tidak kita perhatikan! Kita selalu menganggap bahwa selera dan keinginan anak kita itu salah belaka. Semua sikap hidup ini harus kita amati, harus kita pandang sejujurnya, harus kita sadari. Kita sudah tidak merasa keliru lagi karena kita sendiripun diperlakukan demikian oleh orang tua kita semenjak kita masih kecil. Setiap orang tua akan senang sekali kalau anaknya menjadi seorang "anak penurut"

   Dan setiap orang tua akan membenci anak yang "tidak penurut", maka kitapun melanjutkan saja tradisi ini, sikap yang sudah mendarah daging selama ribuan tahun ini. Maka, perlu kita mengenal diri sendiri, meneliti diri sendiri. SESUNGGUHNYAKAH KITA MENCINTA ANAK KITA? Ataukah yang kita namakan cinta itu sesungguhnya bukan lain adalah cinta terhadap diri sendiri,

   Atau keinginan kita untuk memperoleh kesenangan, kepuasan, kebanggaan melalui anak-anak kita itu? Sehingga kalau anak kita menurut dan menyenangkan hati kita, kita bilang cinta dan memuji-mujinya, sebaliknya kalau dia tidak menurut kita dan menyusahkan hati kita maka kita lalu membencinya, kita mengutuk dan memakinya sebagai anak tidak berbakti, anak durhaka, dan sebagainya lagi? Mungkinkah ada cinta kalau kita masih mementingkan diri sendiri, mencari kesenangan untuk diri sendiri? Nah, marilah para orang tua, kita mawas diri, kita membuka lebar mata kita, memandang yang palsu sebagai yang palsu tanpa memperdulikan apa kata tradisi dan apa kata pendapat umum! Karena urusan ini adalah urusan kita sendiri, kita dengan anak kita, tidak ada hubungannya sama sekali dengan pandangan si A, si B, atau si Umum sekalipun!

   Dan kalau kita benar-benar mencinta anak kita, kita akan berhenti memperlakukan dia sebagai jembatan untuk mencari kepuasan bagi diri kita. Dan cinta kasih yang demikian ini akan menciptakan tindakan-tindakannya sendiri, dan cinta kasih sudah merupakan pendidikan yang terutama. Semenjak dahulu, ketika Lie Seng datang bersama Sun Eng lalu timbul keributan, diam-diam Yap Kun Liong sudah merasa kasihan kepada Sun Eng dan diam-diam dia melihat kesalahan yang tidak disadari dari isterinya, dari Cia Bun Houw dan Yap In Hong, sikap mereka yang tidak semestinya terhadap Lie Seng dan Sun Eng. Oleh karena itu, melihat kesediaan suami isteri pendekar itu untuk pergi ke kota raja dan menolong Sun Eng dari ancaman bahaya maut, dia segera berkata,

   "Memang tepat sekali kalau kalian berdua menemani Seng-ji (anak Seng) pergi ke kota raja menolong murid kalian itu, karena kota raja merupakan tempat berbahaya sekali dan untuk dapat menolong murid kalian dari tangan Pangeran Ceng Han How, kiranya hanya kalian berdua yang akan sanggup. Biarlah kami berdua menjaga dan melindungi anak kalian Kong Liang di sini."

   Demikianlah, Cia Bun Houw dan Yap In Hong lalu pergi bersama Lie Seng, melakukan perjalanan secepatnya ke kota raja. Akan tetapi ternyata mereka datang terlambat karena tepat pada malam hari mereka menyusup ke istana Pangeran Ceng Han Houw, Sun Eng telah mengalami penyiksaan yang luar biasa hebatnya. Baru lewat tengah malam tiga orang pendekar ini memperoleh kesempatan untuk memasuki istana itu. In Hong yang memiliki gerakan seperti seekor burung rajawali itu menerkam seorang peronda di dekat taman, menotoknya sehingga peronda itu sama sekaii tidak mampu bergerak maupun bersuara.

   "Katakan di mana adanya wanita bernama Sun Eng!"

   Lie Seng berbisik sambil mengancam penjaga itu dengan cengkeraman pada tengkuknya. Jari-jari tangan Lie Seng dibuat keras seperti baja sehingga penjaga itu ketakutan setengah mati. Ketika totokan pada lehernya dibuka dan dia dapat bersuara, dia menjawab dengan tubuh menggigil dan suara gemetar.

   "Di... di... kamar tahanan... di belakang..."

   "Hayo antar kami!"

   Lie Seng berbisik lagi, jantungnya berdebar tegang. Dia tadi bertanya secara sembarangan saja karena tidak tahu harus mencari Sun Eng di mana. Dia telah mencari keterangan sebelum menyusup ke dalam istana itu, dan dari keterangan yang diperolehnya dia mendengar bahwa Pangeran Ceng Han Houw mempunyai seorang selir baru,

   Akan tetapi sumber keterangan itu tidak menyebut nama. Maka, setelah mengajukan pertanyaan secara untung-untungan itu dan mendengar bahwa Sun Eng telah berada di kamar tahanan, dia terkejut dan juga girang. Akhirnya dia memperoleh berita tentang Sun Eng, sungguhpun berita itu amat menggelisahkan hatinya. Ketika akhirnya mereka bertiga tiba di tempat tahanan, mengintai dari balik jendela, hampir saja Lie Seng menjerit. Dilihatnya tubuh Sun Eng telanjang bulat terlentang seperti telah mati, dan seorang Mongol brewok bersama para pengawal yang jumlahnya sebelas orang sedang duduk makan minum di situ dan bersendau-gurau. Sendau-gurau mereka itu kotor sekali dan semua ditujukan kepada tubuh Sun Eng yang dijadikan semacam meja tempat menaruh mangkok dan cawan.

   "Ngekk!"

   Sekali menggerakkan tangannya, tawanan itu telah dibunuh Lie Seng! Penjaga yang menjadi tawanan itu tewas tanpa sempat mengeluarkan suara dan kini, bagaikan seekor singa kelaparan, Lie Seng sudah menerjang masuk melalui pintu dengan kemarahan yang sudah tak dapat ditahannya lagi. Cia Bun Houw dan Yap In Hong terkejut melihat kecerobohan Lie Seng, akan tetapi mereka berdua dapat mengerti betapa hancur hati Lie Seng menyaksikan kekasihnya diperlakukan seperti itu.

   Mereka sendiripun merasa kasihan sekali melihat bekas murid itu, dan merekapun ikut menyerbu, bahkan Bun Houw sudah mencabut pedangnya yang mengeluarkan sinar emas karena itu adalah Hong-cu-kiam, pedangnya yang tipis dan biasanya digulung seperti sabuk pinggang. Lie Seng mengamuk dahsyat. Begitu masuk, sekali bergerak dia telah membikin pecah kepala dua orang pengawal yang hanya sempat terbelalak saja kemudian roboh dengan kepala pecah terkena hantaman kedua tangan Lie Seng. Yap In Hong menendang roboh dua orang pengawal dan cepat sekali Bun Houw menerjang orang Mongol yang kelihatan tangguh itu. Orang Mongol itu, Gaulanu, sudah meloncat berdiri dan menghunus goloknya, memutar golok dengan garang. Akan tetapi tiba-tiba ada sinar emas menyambar.

   Dia cepat menangkis dengan goloknya sambil menggunakan tangan kirinya mencengkeram ke arah perut penyerangnya. Bun Houw mengerahkan tenaganya ketika melihat golok itu menangkis pedangnya. Terdengar bunyi nyaring dan golok itu patah. Ketika tangan yang mencengkeram perutnya itu tiba, sinar emas menyambar dan lengan itu buntung sebatas siku! Gaulanu mengeluarkan teriakan panjang akan tetapi Lie Seng sudah menubruknya dan menghantam dada orang ini dengan penuh kebencian karena tadi orang inilah yang mengeluarkan kata-kata menghina sekali kepada Sun Eng. Dia tahu atau dapat menduga bahwa agaknya orang ini yang memimpin para pengawal menghina Sun Eng, maka pukulannya itu dilakukan dengan sekuat tenaga, menggunakan tenaga Thian-te Sin-ciang, maka dapat dibayangkan betapa dahsyatnya.

   "Desss!"

   Tubuh Gaulanu terjengkang, dari mulutnya menyembur darah segar dan diapun terbanting dan tewas dengan tulang-tulang iga patah-patah.

   "Eng-moi...!"

   Lie Seng sudah menubruk kekasihnya, melihat wajah yang matang biru itu, tubuh yang lunglai dan kain tilam yang berceceran darah. Dia lalu cepat menggulung tilam itu menutupi tubuh telanjang dari leher ke kaki, menggoyang-goyang pundak kekasihnya, memanggil-manggil namanya. Akan tetapi Sun Eng baru saja dicekoki cairan biru beracun dan dia masih pingsan. Sementara itu, beberapa orang pengawal sudah berteriak-teriak, akan tetapi segera mereka dirobohkan oleh Yap In Hong dan Cia Bun Houw. Dalam waktu singkat, semua pengawal yang berada di situ, mereka yang tadi mempermainkan tubuh Sun Eng dan memperkosanya secara bergantian dan kasar tanpa mengenal kasihan sedikitpun juga, kini telah roboh malang melintang menjadi mayat!

   "Lie Seng, cepat kita pergi dari sini! Dukung dia dan lari, kami lindungi!"

   Kata Cia Bun Houw kepada keponakannya itu.

   Lie Seng lalu memondong tubuh Sun Eng yang terbungkus kain tilam, lalu meloncatlah pemuda itu keluar kamar. Benar saja, teriakan-terlakan para pengawal sebelum tewas tadi telah mendatangkan pengawal-pengawal lain, akan tetapi sekali ada sinar emas berkelebat, tiga orang terdepan roboh dan yang lain menjadi terkejut sekali. Apalagi karena mereka hanya melihat bayangan tiga orang yang tak dapat mereka lihat dengan jelas, karena selain tiga orang itu memadamkan semua lampu yang ada dengan pukulan-pukulan jarak jauh, juga gerakan mereka seperti terbang cepatnya, sukar diikuti pandangan mata. Dengan beberapa lompatan saja, tiga orang yang melarikan tawanan itu sudah menghilang ke dalam kegelapan malam.

   "Kejar...!"

   "Pukul tanda bahaya!"

   Sebagian daripada mereka melakukan pengejaran, dan ada pula yang memukul tanda bahaya, dan keadaan di dalam istana itu menjadi kacau dan hiruk-pikuk. Pangeran Ceng Han Houw yang sedang tidur pulas kelelahan setelah menghibur diri dan hatinya yang kecewa itu dengan para selirnya, terbangun dan cepat dia berpakaian lalu berlari keluar. Dia bertemu dengan Hai-liong-ong dan orang Mongol tua.

   "Celaka, ada yang melarikan tawanan dan semua penjaganya dibunuh!"

   Kata Hai-liong-ong yang segera ikut melakukan pengejaran, menyusul para pengawal yang sudah lebih dulu mengejar.

   Akan tetapi dia hanya dapat menyusul para pengawal dan bayangan tiga orang itu sudah lenyap dan tidak lagi diketahui ke arah mana mereka itu lari. Tentu saja Pangeran Ceng Han Houw menjadi marah sekali dan dia memerintahkan para pengawalnya untuk terus mencari ke seluruh kota raja. Dia merasa dipermainkan sungguh. Dia, yang menganggap diri sendiri paling pandai, paling lihai, kini didatangi tiga orang yang telah membunuhi para pengawalnya dan melarikan tawanan tanpa dia dapat mencegahnya, bahkan mengetahui siapa merekapun tidak karena tidak ada seorangpun di antara para pengawalnya yang berhasil melihat tiga orang yang mereka katakan bergerak seperti setan itu!

   Tentu saja lenyapnya Sun Eng itu membuat dia khawatir sekali karena surat dari Raja Sabutai itu belum dapat diketahui berada di mana. Akan tetapi hatinya agak terhibur kalau dia teringat bahwa wanita itu telah dicekoki racun dan dalam waktu tiga hari akan mati. Sementara itu, dengan menggunakan ilmu kepandaian mereka, tidak berapa sukar bagi tiga orang pendekar sakti itu untuk lolos dari kota raja membawa Sun Eng yang masih belum sadar juga. Akhirnya, menjelang pagi, mereka berhenti di dalam sebuah kuil tua di luar kota, di tepi sebuah hutan di sebelah selatan kota raja. Setelah memeriksa keadaan Sun Eng, diam-diam Yap In Hong mengutuk di dalam hatinya. Sebagai seorang wanita, dia lebih dapat mengetahui apa yang telah dialami oleh Sun Eng,

   Dia dapat menduga dan membayangkannya dan dia bergidik membayangkan kekejaman yang melampaui batas itu. Lie Seng terlalu berduka untuk dapat mengerti benar apa yang telah terjadi pada diri kekasihnya, sungguhpun dia dapat menduga bahwa Sun Eng tentu telah mengalami penyiksaan luar biasa dan bukan tidak mungkin mengalami perkosaan. Yap In Hong membersihkan tubuh Sun Eng, lalu pergi mencari pakaian pada penduduk dusun di sebelah selatan hutan, kemudian mereka bertiga lalu mempergunakan tenaga sakti mereka untuk mengobati luka-luka dalam tubuh Sun Eng dan akhirnya wanita itu mengeluh siuman. Begitu siuman, Sun Eng mengeluarkan rintihan seperti orang menangis. Semua orang menjadi terharu melihat dan mendengar ini, bahkan Lie Seng lalu merangkulnya dan ikut menangis.

   "Eng-moi... ah, Eng-moi... mengapa kau lakukan semua ini...?"

   Dia meratap di dekat telinga kekasihnya. Mendengar suara ini, sepasang mata itu bergerak perlahan, lalu terbuka. Sejenak mata itu kosong karena kesadarannya masih belum sepenuhnya, akan tetapi perlahan-lahan melirik ke sana-sini sampai akhirnya pandang mata itu berhenti pada wajah Lie Seng yang berada di atasnya. Kemudian, seperti digerakkan oleh sesuatu, sepasang mata yang agak membengkak dan kebiruan bekas pukulan itu terbelalak, bibir itu bergerak-gerak, akan tetapi agaknya sukar mengeluarkan suara, kemudian sepasang mata itu menjadi basah dan butiran-butiran air mata berjatuhan keluar! Sun Eng telah mengenali Lie Seng.

   "Eng-moi...! Kau telah selamat...!"

   Lie Seng berbisik penuh keharuan dan kasih sayang mendalam.

   "Lie Seng koko... kau... kau..."

   "Aku berada di sini, Eng-moi, dan kau dan aku tidak akan berpisah lagi!"

   Kata pula Lie Seng dengan suara gemetar.

   "Koko...!"

   Kini Sun Eng yang teringat akan segala yang telah dialaminya, dan melihat bahwa dia belum mati dan bahkan bertemu dengan Lie Seng dalam keadaan seperti sekarang ini, menjerit dengan jantung rasanya seperti disayat-sayat! Lie Seng merangkulnya, mendekapnya, menghiburnya, akan tetapi Sun Eng menangis terisak-isak.

   "Sun Eng, sudahlah, kuatkan hatimu. Betapapun juga, semua itu telah berlalu dan sekarang engkau sudah aman bersama kami..."

   Yap In Hong yang keras hati itupun tak dapat menahan runtuhnya air matanya dan dia memegang tangan bekas muridnya itu. Teringat dia betapa sejak kecil Sun Eng ikut dengan dia dan betapa sudah sering dia tertawa gembira oleh kelincahan anak itu. Sun Eng menahan isaknya, dan dengan muka basah dia menoleh ke arah subo nya, kemudian memandang wajah suhunya.

   "Subo... suhu... mengapa subo dan suhu... mau pula... menyelamatkan aku...?"

   Bun Houw menelan ludah sebelum menjawab karena dia melihat isterinya tidak mampu menjawab pertanyaan itu.

   "Mengapa, Sun Eng?"

   Dia mencoba tersenyum.

   "Ingat, engkau adalah murid kami, bukan? Dan engkau adalah isteri Lie Seng keponakanku. Tentu saja kami datang menolongmu dari tangan orang-orang jahat itu."

   "Suhu... subo... tidak benci kepadaku... dan menyetujui perjodohan antara aku dan koko Lie Seng...?"

   "Sudahlah, Sun Eng, lupakan hal-hal yang telah lalu. Kami tahu sekarang betapa engkau seorang anak baik dan saling mencinta dengan Lie Seng. Tentu saja kami menyetujui..."

   Kata Yap In Hong.

   "Dan kami tidak membencinya, Sun Eng."

   Sun Eng terisak, lalu menggunakan kedua tangannya menutupi mukanya.

   "Akan tetapi... tiada gunanya... tiada gunanya..."

   "Apa maksudmu, Eng-moi? Percayalah, ibu sendiri tidak akan menghalangi kita menikah! Aku tanggung..."

   Akan tetapi Sun Eng menangis semakin mengguguk dan Yap In Hong memberi isyarat kepada Lie Seng untuk membiarkan dulu wanita itu, biar menangis untuk menuangkan semua perasaannya dan tidak boleh diajak bicara tentang perjodohan yang ternyata amat menyinggung perasaannya itu. Memang benar sekali pendapat In Hong ini. Setelah dia dibiarkan menangis mengguguk beberapa lamanya, akhirnya tangisnya mereda dan dia mulai merintih karena seluruh tubuhnya terasa nyeri-nyeri, terutama sekali kedua kakinya yang luka-luka bekas kebakar. Yap In Hong sudah mulai memberi obat luka kebakar, dicampur minyak dan ditutupkan pada luka-luka itu lalu dibalut. Obat itu amat manjur, karena rasa nyeri itu segera tertutup oleh rasa dingin yang melegakan hati.

   "Subo, terima kasih..."

   Kata Sun Eng lirih sambil memandang subonya yang dahulu dianggapnya seperti ibu sendiri. In Hong tersenyum, teringat betapa dahulu di waktu masih kecilnya sering sekali Sun Eng mengucapkan kata-kata itu. Ah, betapa buta manusia kalau sedang dipengaruhi oleh amarah dan kebencian. Segala kebaikan orang yang sudah ribuan kali dilakukan akan lenyap begitu saja oleh satu perbuatan yang menyusahkan. Kini, setelah tiada lagi benci dalam hati In Hong, baru nampak olehnya betapa sesungguhnya selama menjadi muridnya, Sun Eng amat baik kepadanya!

   Memang demikian! Mengapa kita begitu terbiasa sejak kecil untuk menyimpan segala hal yang terjadi di masa lalu? Mengapa kita selalu mengingat-ingat perbuatan orang lain yang merugikan kita sehingga menimbulkan kebencian? Mengapa kita tidak mau menghapus semua itu, semua ingatan tentang hal-hal yang terjadi di masa lalu, menguburnya dan tidak pernah membongkarnya lagi, melainkan menujukan seluruh pandang mata kita, seluruh hati dan pikiran kita, seluruh keadaan diri kita lahir batin kepada apa yang terjadi SAAT INI saja? Mengapa kehidupan kita saat demi saat begitu tergantung kepada apa yang telah terjadi di masa lalu, yang mempengaruhi setiap gerak-gerik kita, setiap sikap kita terhadap orang lain? Mengapa kita menilai setiap orang lain dari perbuatan-perbuatannya yang lalu? Apakah keadaan manusia itu dapat ditentukan dari satu kali perbuatannya di masa lalu?

   Mengapa ada benci di dalam hati kita? Mengapa kita mengotori diri sendiri dengan segala macam kebencian, permusuhan, iri hati dan sebagainya itu? Mengapa kita tidak mau mendobrak dan memberontak terhadap semua ikatan masa lalu itu dan hidup BARU saat demi saat? Semua pertanyaan ini kiranya teramat penting untuk kita renungkan dan ajukan kepada diri sendiri! Melihat betapa keadaan kekasihnya sudah agak normal kembali, Lie Seng lalu menyiapkan bubur yang tadi telah dimasak oleh In Hong, sesuap demi sesuap ke mulut kekasihnya. Sun Eng menerimanya seperti anak kecil, dengan pandang mata tak lepas dari wajah kekasihnya, dengan mata yang masih berlinang air mata, akan tetapi dia tidak terisak lagi. Setelah Sun Eng selesai makan, dan Lie Seng bersama paman dan bibinya juga sudah makan pagi, barulah Lie Seng berkata,

   "Eng-moi, maukah engkau sekarang menceritakan segalanya kepadaku?"

   Sun Eng mengangguk, lalu dengan suara tenang, karena memang hal ini sudah dipikirkan sejak tadi, dia bercerita secara singkat,

   "Koko, sebelumnya kaumaafkanlah aku sebesar-besarnya bahwa aku telah membuatmu banyak pusing dan duka. Aku merasa sakit hati terhadap pangeran terkutuk itu setelah apa yang terjadi pada keluarga enci Mei Lan. Maka aku lalu menggunakan akal sehingga akhirnya aku berhasil menyelundup ke dalam istana Pangeran Ceng Han Houw sebagai... sebagai selirnya."

   Dia berhenti dan menatap wajah Lie Seng, akan tetapi wajah itu biasa saja karena memang sudah diduga Lie Seng sedikit banyak tentang hal itu.

   "Akhirnya aku berhasil mendapatkan rahasianya. Pangeran itu bercita-cita untuk menggulingkan kedudukan sri baginda kaisar dan merampas tahta kerajaan."

   "Ahh...?"

   Tiga orang itu berseru kaget dengan berbareng, tak mengira bahwa ke situ jalannya cerita yang akan mereka dengar. Sun Eng lalu menceritakan tentang kedatangan Hai-liong-ong Phang Tek dan dua orang Mongol utusan Raja Sabutai yang membawa surat berisi rencana persekutuan antara Pangeran Ceng Han Houw dan Raja Sabutai, rencana penyerbuan mereka untuk merebut tahta kerajaan.

   "Aku melihat kesempatan baik sekali, maka aku lalu melarikan surat itu berikut laporanku tentang fitnah yang dijatuhkan atas diri suhu dan subo, atas diri Yap Kun Liong locianpwe dan ibumu, koko. Semua itu lalu kularikan dan kuserahkan kepada Menteri Liang yang sebelumnya telah kuselidiki dan kutahu sebagai seorang menteri yang setia kepada kaisar. Aku menyerahkan itu dan mohon kepadanya agar secepatnya dilaporkan kepada kaisar. Kemudian aku bermaksud melarikan diri dari kota raja... akan tetapi... pangeran terkutuk itu menangkapku dan... dan aku disiksa... disuruh mengaku di mana adanya surat-surat itu, akan tetapi sampai matipun aku tidak sudi mengaku... biar mereka siksa aku, biar mereka bunuh aku..."

   "Ah, muridku, engkau telah berjasa untuk kerajaan! Engkau sungguh mengagumkan, tidak mengecewakan menjadi murid kami!"

   Cia Bun Houw berseru kagum dan girang, juga bangga bahwa wanita ini adalah muridnya.

   "Suhu terlalu memuji. Aku hanya seorang durhaka..."

   "Eng-moi, jangan bicarakan hal itu lagi. Engkau telah dimaafkan, dan engkau pun harus memaafkan kami. Sekarang tidak ada apa-apa lagi, engkau akan menjadi isteriku yang sah..."
Sepasang mata yang agak biru karena pukulan itu terbelalak, seolah-olah dia tidak percaya akan apa yang didengarnya, lalu dia menggeleng kepala keras-keras.

   "Tidak mungkin, koko... tidak mungkin... aku... aku terlalu hina dan rendah untukmu..."

   "Eng-moi, apakah engkau masih tidak dapat melupakan sikap keluargaku yang lalu? Apakah engkau tetap bersakit hati dan tidak mau memaafkan?"

   Lie Seng memohon.

   "Aku mintakan maaf kepadamu untuk sikap ibuku yang lalu, Eng-moi,"

   "Dan kamipun mengharapkan maafmu, muridku!"

   Kata Yap In Hong.

   "Ah, tidak... jangan salah sangka! Suhu dan subo, sikap suhu dan subo terhadapku memang sudah sepantasnya, aku bukan sakit hati kalau aku berkata bahwa aku... terlalu rendah dan hina bagimu, koko... lebih-lebih sekarang..."

   "Sekarang engkau makin agung bagiku, moi-moi, aku makin mencintamu..."

   "Tidak! Ingat, koko, aku telah menyerahkan diriku kepada pangeran terkutuk itu, membiarkan dia mempermainkan diriku sebagai selirnya dan aku telah melayaninya sebagai selir terkasih selama hampir dua bulan..."

   "Cukup! Aku tidak perduli akan itu semua! Sekali waktu aku akan berhadapan dengan keparat itu. Aku tidak menyalahkan engkau, Eng-moi. Engkau melakukannya itu karena engkau hendak mengorek rahasianya, dan engkau melakukan hal itu dengan perasaan tersiksa, demi menyelamatkan keluarga Cin-ling-pai. Aku tahu benar akan hal itu!"

   Wajah itu memandang dengan pucat dan sepasang matanya meredup.

   "Koko, hal itu bukan apa-apa bagimu? Ahhh... tapi aku... aku telah mereka siksa... tahukah engkau apa yang dilakukan pangeran itu? Dia menyerahkan aku kepada Mongol brewok dan belasan anak buah pengawal, dan... dan mereka itu... mereka memperkosaku secara biadab, berganti-ganti sampai aku pingsan..."

   "Jahanam mereka! Sudah kubunuh mereka semua!"

   Lie Seng mengepal tinju dan matanya berubah merah.

   "Nah, engkau tahu sekarang betapa diriku semakin kotor, koko. Aku tidak berharga sedikitpun juga lagi bagimu, aku... aku..."

   "Jangan bicarakan lagi hal itu, Eng-moi. Aku tetap mencintamu. Dengar... jangan engkau tidak percaya padaku, jangan memandangku seperti itu... aku mencintamu, bukan mencinta tubuhmu saja, aku akan tetap mencintamu biarpun engkau menjadi bagaimanapun juga!"

   "Koko...!"

   Sun Eng menjerit, Lie Seng merangkul dan mereka berdua bertangisan. Yap In Hong dan Cia Bun Houw saling pandang dan mata mereka juga basah. Belum pernah mereka menyaksikan cinta kasih antara pria dan wanita seperti kedua orang ini!

   Perasaan hati Sun Eng seperti diremas-remas rasanya. Dia telah bertekat untuk mengorbankan diri bagi keluarga Lie Seng dan dia akan mati dengan hati tenteram, karena dia telah melakukan sesuatu, berkorban bagi pria yang amat dicinta dan yang amat mencintanya. Dia tidak akan menyesal mati, atau bahkan kalau sampai ditinggalkan oleh Lie Seng sekalipun. Akan tetapi, ternyata cinta kasih Lie Seng tetap kepadanya, biarpun dia telah menyerahkan tubuhnya kepada Pangeran Ceng Han Houw, biarpun dia telah diperkosa begitu banyak orang secara amat menghina! Dia menjadi serba salah sekarang! Mana mungkin dia hidup di samping Lie Seng kalau ada kenangan seperti itu? Dia bisa menjadi gila. Mengapa dia melakukan kegilaan semua itu? Memang berhasil, akan tetapi Lie Seng... tetap mencintanya dan akan merana.

   "Koko...!"

   Dia hanya dapat mengeluh. Dengan hati-hati mereka membawa pergi Sun Eng yang belum mampu berjalan sendiri karena kedua telapak kakinya terluka berat. Mereka hanya melakukan perjalanan kalau malam saja, sedangkan di waktu siang mereka bersembunyi.

   Mereka takut kalau-kalau akan tersusul oleh orang-orang yang mengejar mereka, yaitu anak buah Pangeran Ceng Han Houw. Bukan takut melawan, melainkan karena mereka harus melindungi Sun Eng yang masih luka dan lemah, maka tidak baik kalau menghadapi lawan-lawan tangguh. Tiga hari kemudian, mereka bersembunyi di lereng gunung kecil, di dalam gua yang cukup lebar. Keadaan Sun Eng sungguh mengkhawatirkan dan suami isteri pendekar itu merasa heran sekali. Mereka merasa yakin bahwa wanita bekas murid mereka itu tidak menderita luka di dalam tubuh lagi, akan tetapi mengapa kini menjadi semakin parah? Dan pada mukanya terbayang sinar kebiruan seperti orang keracunan! Lie Seng amat gelisah, berlutut di samping Sun Eng yang direbahkan di atas lantai gua bertilamkan daun-daun kering yang mereka kumpulkan,

   "Eng-moi, engkau kenapakah?"

   "Koko..."

   Dan Sun Eng tersenyum.

   "Hari ini adalah yang terakhir... aku... melihatmu..."

   "Eng-moi...!"

   "Sun Eng, apa artinya ucapanmu ini?"

   Yap In Hong juga berseru kaget. Mereka bertiga merubung Sun Eng yang kelihatan semakin payah, napasnya terengah-engah dan kadang-kadang menyeringai seperti menahan rasa nyeri di ulu hatinya yang ditekannya dengan tangan.

   "Hari... hari ini... aku akan mati... aku girang sekali..."

   "Eng-moi...!"

   "Aku girang karena berarti engkau akan bebas, koko. Aku tidak lagi membebanimu. Aku tidak patut kau cinta... aku kotor dan hina..."

   "Eng-moi, ahhh, Eng-moi, jangan kau menyiksaku dengan kata-katamu itu..."

   "Sun Eng, apa maksudmu bahwa hari ini engkau akan mati?"

   Cia Bun Houw juga bertanya dan memandang tajam.

   "Apakah engkau keracunan?"

   Sun Eng mengangguk.

   "Mereka telah mencekoki aku dengan racun cairan biru... dan Mongol brewok itu bilang... aku akan mati tiga hari kemudian..."

   "Eng-moi...!"

   Lie Seng berteriak dan menangislah laki-laki gagah perkasa ini.

   "Sun Eng, mengapa engkau tidak mengatakan kepada kami kemarin dulu?"

   Yap In Hong menegur dan wanita sakti ini meletakkan tangannya pada ulu hati muridnya, akan tetapi diam-diam dia terkejut sekali karena perasaan tangannya bertemu dengan hawa yang amat dingin!
(Lanjut ke Jilid 48)
Pendekar Lembah Naga (Seri ke 04 "

   Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 48
"Memang kusengaja... aku tidak layak hidup lagi... hanya menyusahkan dan menyeret Lie Seng koko ke pecomberan saja... aku harus mati dan aku... aku puas mati dalam pelukanmu, koko..."

   "Eng-moi...!"

   Lie Seng merangkulnya dan menangis.

   "Paman, bibi... tolonglah..., tolonglah...!"

   Bun Houw dan In Hong memeriksa nadi dan pernapasan Sun Eng, akan tetapi mereka hanya menarik napas panjang dan menggeleng kepala.

   "Racun ini hebat sekali, hawanya dingin tanda bahwa racun ini dari macam yang paling jahat. Apalagi sekarang, bahkan kemarin dulupun kalau tidak mendapatkan obat pemunahnya sukar untuk menyembuhkan..."

   Pendekar Lembah Naga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Koko, jangan berduka. Aku memang lebih senang mati... kalau hidup di sampingmu, aku... aku akan selalu menyesal... aku bisa gila mengingat pengalamanku... koko, kau jangan berduka, kudoakan kau hidup bahagia... aku... aku..."

   Sun Eng terkulai dan pingsan. Tiga orang pendekar itu berdaya upaya, akan tetapi Sun Eng tetap tak sadar sampai menjelang tengah hari dia menghembuskan napas terakhir dalam pangkuan dan pelukan Lie Seng. Pemuda ini sudah kehabisan tangis, hanya termenung saja sambil memangku jenazah Sun Eng. Baru setelah dibujuk-bujuk oleh Cia Bun Houw dan Yap In Hong, dia mau melepaskan jenazah itu untuk dikubur di lereng bukit itu. Setelah pemakaman selesai dan jenazah dalam peti sederhana yang mereka peroleh dari dusun di luar hutan itu mereka timbuni tanah, Lie Seng duduk bersila di depan makam, tidak bergerak seperti patung. Wajahnya pucat sekali dan pandang matanya kosong.

   "Seng-ji, sudahlah, mari kita tinggalkan tempat ini,"

   Kata Cia Bun Houw dengan suara membujuk.

   "Benar pamanmu, Lie Seng. Mari kita pergi,"

   Yap In Hong menyambung.

   "Tiada gunanya dipikirkan lagi. Sun Eng sudah tidak ada, sudah mendahului kita."

   "Pergilah kalian, paman dan bibi. Tidak tahukah kalian bahwa seluruh hidupku, kebahagiaanku, segala-galanya, berada bersama Sun Eng? Biarkan aku sendiri di sini bersamanya, dan jangan ganggu aku lagi... jangan ganggu aku lagi...!"

   Kalimat terakhir ini diucapkan dengan suara setengah berteriak. Cia Bun Houw dan isterinya saling pandang, kemudian menarik napas panjang. Sejenak mereka memandang pemuda yang duduk bersila di atas tanah itu, kemudian Cia Bun Houw memberi isyarat kepada isterinya dan mereka pergi meninggalkan Lie Seng. Setelah jauh dari tempat yang menjadi makam Sun Eng itu, Cia Bun Houw berkata kepada isterinya.

   "Biarkan dia sendiri. Dalam keadaan seperti itu, sukarlah untuk menghiburnya. Aku hanya khawatir bahwa kedukaan kehilangan kekasihnya itu akan membuat dia membenci keluarganya, karena jalan pikirannya tentu mengingat bahwa perjodohannya dengan Sun Eng telah ditolak keluarganya, bahkan Sun Eng mengalami kematian karena hendak membela keluarganya."

   "Maksudmu dengan keluarganya adalah kita berdua, Kun Liong koko dan enci Giok Keng?"

   Yap In Hong menegaskan. Suaminya mengangguk sambil menarik napas panjang.

   "Dia sudah dewasa, biarkan dia mempertimbangkan semua itu. Dia harus sadar bahwa kita semua melakukan segalanya itu demi kebaikannya, dan andaikata itu salah, apa boleh buat karena kita menolak karena mengingat akan kepentingan Lie Seng."

   Cia Bun Houw menarik napas panjang, lalu berkata,

   "Isteriku, sekarang kita harus menyelidiki ke kota raja. Tidak mungkin apa yang telah dilakukan oleh murid kita itu kita diamkan saja. Mendiang Sun Eng telah memberi contoh kepada kita. Memang, dalam keadaan terfitnah seperti ini, kita tidak boleh lalu diam saja dan hanya bisa melarikan diri menjadi buronan. Kita tidak harus membiarkan dunia mengecap kita sebagai keluarga pemberontak, dan kelak anak kitapun dicap anak pemberontak! Kita harus berjuang membela diri, menerangkan duduknya perkara kepada kerajaan. Dan sekarang hal itu telah dipelopori oleh Sun Eng. Kita harus menyelidiki kepada Menteri Liang itu, apakah surat-surat dari Sun Eng telah disampaikan kepada kaisar dan bagaimana kemudian keputusan kaisar terhadap keluarga kita dan terhadap pangeran yang hendak berkhianat terhadap kerajaan itu."

   Yap In Hong mengangguk.

   "Dan andaikata usaha Sun Eng itu gagal dan segala jerih payahnya yang telah dikorbankan sampai kepada nyawanya itu sia-sia, kita pergi menyerbu istana pangeran jahanam itu dan membunuhnya!"

   "Akupun berpikir demikian, sungguhpun hal itu bukan merupakan pekerjaan mudah. Mari kita pergi!"

   Sepasang suami isteri pendekar sakti itu lalu kembali ke kota raja, mempergunakan ilmu mereka yang tinggi sehingga mereka dapat melakukan perjalanan cepat sekali dan pada senja hari mereka telah tiba di kota raja. Dengan mudah mereka menyelinap memasuki kota raja tanpa diketahui oleh para penjaga. Malam telah tiba ketika suami isteri pendekar ini diterima oleh para pengawal di depan istana Menteri Liang. Karena maklum bahwa nama mereka telah banyak dikenal orang berhubung dengan fitnah pemberontakan itu, maka Cia Bun Houw tidak mau memperkenalkan nama mereka, hanya berkata,

   "Harap sampaikan kepada Liang-taijin bahwa kami adalah sahabat-sahabat wanita yang pada beberapa malam yang lalu datang menghadap, dan kami mohon menghadap Liang-taijin karena urusan penting sekali."

   Mendengar ini, komandan jaga bergegas melaporkan ke dalam, karena dia maklum bahwa wanita berbaju hitam yang datang menghadap menteri beberapa malam yang lalu adalah seorang yang amat penting dan membawa berita yang amat besar dan rahasia pula. Dan memang benar dugaannya, begitu Menteri Liang mendengar pelaporan itu, segera dia berkata,

   "Cepat persilakan mereka masuk ke ruangan tamu. Jaga agar jangan sampai ada orang luar yang tahu akan kedatangan mereka!"

   Cia Bun Houw dan Yap In Hong dipersilakan masuk dan diantar ke ruangan tamu. Di situ mereka ditinggalkan dan dipersilakan menanti sebentar, sedangkan para pengawal menjaga di luar. Cia Bun Houw dan isterinya yang ditinggal berdua saja di dalam kamar tunggu yang luas itu saling pandang, bersikap tenang karena mereka tidak mengkhawatirkan sesuatu. Tak lama kemudian, pintu dalam terbuka dan muncullah seorang laki-laki berusia kurang lebih enam puluh tahun, bertubuh tinggi besar, berwajah lembut namun berwibawa, dan gerak-geriknya halus ketika dia memasuki kamar itu. Bun Houw dan In Hong cepat bangkit berdiri dan memandang, kemudian mereka cepat menjura dengan sikap hormat.

   "Apakah kami berdua berhadapan dengan Menteri Liang yang terhormat?"

   Cia Bun Houw bertanya. Pria tua itu memandang dengan penuh kagum, karena dia dapat melihat bahwa dua orang tamunya itu bukanlah orang-orang sembarangan, walaupun pakaian mereka sederhana saja.

   "Benar, dan benarkah ji-wi masih sahabat dari lihiap yang memberikan surat-surat kepada kami...?"

   "Benar, taijin. Bahkan terus terang saja, kami berdua adalah guru-guru mendiang Sun Eng itu."

   "Mendiang...? Ah, aku mendengar bahwa dia telah dapat lolos dilarikan teman-temannya dari istana Pangeran Ceng Han Houw..."

   "Benar, kamilah yang melarikannya namun kami terlambat dan dia keracunan, siang tadi meninggal dunia,"

   Kata Yap In Hong.

   "Ahhh...!"

   "Justeru karena kematiannya maka kami datang menghadap paduka, taijin. Murid kami itu telah berkorban untuk keselamatan keluarga Cin-ling-pai dan untuk keselamatan kerajaan yang terancam pemberontakan. Kami ingin men dengar keterangan paduka tentang perkembangan usaha mendiang murid kami itu. Semoga usahanya yang gagah dan yang telah dilakukan dengan korban nyawanya itu tidak akan sia-sia belaka."

   "Duduklah, taihiap, lihiap. Duduklah dan mari bicara baik-baik. Sudah tentu begitu menerima laporan dari nona Sun Eng itu, aku cepat-cepat pergi, menghubungi Pangeran Hung Chih dan bersama beliau, pagi-pagi tadi kami sudah pergi menghadap kaisar. Terus terang saja, sri baginda kaisar sendiri dan kami para pejabat yang telah lama mengabdi kepada kerajaan ini, tahu belaka bahwa keluarga Cin-ling-pai, semenjak mendiang Cia Keng Hong taihiap, adalah orang-orang gagah yang setia kepada negara, maka sri baginda dan kami semua sudah dapat menduga bahwa berita tentang pemberontakan mereka hanya fitnah belaka. Maka pelaporan nona Sun Eng itu kami percaya sepenuhnya, dan barulah sri baginda kaisar maklum betapa jahatnya mereka yang menjatuhkan fitnah itu, yang ternyata hanya ditujukan untuk melemahkan kerajaan di samping urusan pribadi mereka sendiri yang memusuhi keluarga Cin-ling-pai. Oleh karena itu sri baginda kaisar telah memberi kekuasaan kepada Pangeran Hung Chih untuk... eh, nanti dulu, sebelum saya melanjutkan penuturan rahasia istana ini, harus kami ketahui siapa sebenarnya lihiap dan taihiap? Biarpun ji-wi sudah mengaku sebagai guru-guru nona Sun Eng, akan tetapi hal itu belum menjelaskan siapa ji-wi."

   "Liang-taijin, nama kami tentu telah taijin kenal baik. Saya bernama Cia Bun Houw dan dia ini isteri saya, Yap In Hong."

   "Ahhh...!"

   Sepasang mata tua itu terbelalak dan wajah yang lembut itu berseri-seri.

   "Kami adalah dua orang di antara mereka yang dinamakan pemberontak dan buronan, taijin,"

   Sambung Yap In Hong. Pembesar itu tertawa dan bangkit berdiri, memandang dengan kagum, lalu menjura. Tentu saja suami isteri pendekar itu cepat membalas.

   "Ah, mengapa aku begitu bodoh? Tentu saja! Aku sudah banyak mendengar nama ji-wi enghiong yang pernah berjasa terhadap negara ketika menghadapi pemberontakan Sabutai! Juga nama besar pendekar Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng bukanlah nama asing bagi kami. Dan ji-wi berdua bersama mereka dituduh pemberontak! Betapa jahatnya! Duduklah, taihiap dan lihiap dan dengarkan penuturanku."

   Menteri Liang lalu menceritakan keadaan di istana pada waktu itu, betapa kaisar tadinya menaruh kepercayaan kepada Pangeran Ceng Han Houw dari utara yang oleh mendiang ayahanda kaisar sekarang juga diakui sebagai puteranya dan juga kepercayaan kaisar terhadap Kim Hong Liu-nio karena selain wanita itu menjadi suci dari Pangeran Ceng Han Houw, juga wanita itu pernah menyelamatkan kaisar tua dari penyerangan Pangeran Ceng Su Liat yang memberontak.

   "Sungguh tidak kami sangka bahwa mereka itu menggunakan kekuasaan kaisar untuk menyerang Cin-ling-pai yang menjadi musuh utama dari Kim Hong Liu-nio yang hendak membalaskan sakit hati gurunya, yaitu Hek-hiat Mo-li. Ah, mereka itu telah mengatur segala-galanya, dan diam-diam bersekutu dengan Raja Sabutai, bahkan dengan Pek-lian-kauw untuk memberontak."

   "Lalu apa yang telah dilakukan oleh istana untuk menanggulangi bahaya ini, taijin?"

   Tanya Cia Bun Houw.

   "Sri baginda telah membaca semua laporan mendiang nona Sun Eng dan beliau telah memberi kekuasaan penuh kepada Pangeran Hung Chih untuk bertindak terhadap kaum pemberontak. Pertama-tama, kaisar memerintahkan agar tuduhan atas diri keluarga Cin-ling-pai dicabut. Mulai saat itu, keluarga Cin-ling-pai sudah bukan pemberontak atau buronan lagi dan hal ini oleh Pangeran Hung Chih akan diumumkan kepada seluruh kepala daerah."

   Cia Bun Houw dan Yap In Hong saling pandang dengan girang sekali dan mereka segera bangkit berdiri dan menjura dengan hormat.

   "Sungguh kami merasa girang sekali dan banyak terima kasih atas bantuan paduka, juga bantuan Pangeran Hung Chih dan kemurahan sri baginda kaisar."

   "Seyogianya ji-wi berterima kasih kepada Sun Eng..."

   Menteri Liang menghentikan kata-katanya karena melihat wajah suami isteri itu tiba-tiba nampak berduka sekali, maka disambungnya segera.

   "Marilah ji-wi kami antar menemui Pangeran Hung Chih agar dapat bicara lebih jelas lagi, dan mungkin sekali beliau akan mohon bantuan ji-wi untuk menghadapi Pangeran Ceng Han Houw yang selain lihai, juga mempunyai banyak teman-teman yang berilmu tinggi. Apalagi karena sri baginda menghendaki agar Pangeran Hung Chih menggunakan jalan yang halus agar jangan sampai terjadi perang saudara yang akan menggelisahkan rakyat."

   Malam itu juga Cia Bun Houw dan isterinya diajak oleh Menteri Liang pergi menghadap Pangeran Hung Chih di istananya. Seperti juga Menteri Liang, pangeran ini menyambut suami isteri pendekar ini dengan girang sekali. Suami isteri ini mendengar dari pangeran yang pada waktu itu merupakan orang yang amat berpengaruh di istana, bahwa memang benar Pangeran Hung Chih ini hendak menggunakan jalan halus untuk menanggulangi Pangeran Ceng Han Houw.

   "Semua gerak-geriknya telah diawasi dan biarpun tidak ada teguran langsung dari sri baginda kaisar, namun Ceng Han Houw yang telah kehilangan surat penting itu tentu akan bersikap hati-hati dan agaknya dia hendak melanjutkan cita-citanya untuk menjadi jago silat nomor satu di dunia. Melalui kang-ouw ini dia akan menghimpun kekuatan. Oleh karena itu, kami harap bantuan keluarga Cin-ling-pai untuk menentangnya di lapangan itu. Jangan sampai golongan sesat di bawah pimpinannya akan menguasai dunia persilatan dan urusan ini tentu saja ji-wi lebih mengerti bagaimana menanggulanginya daripada kami. Kami tidak ingin mempergunakan kekuatan pasukan kalau tidak perlu sekali, agar jangan sampai menggelisahkan rakyat."

   "Harap paduka jangan khawatir. Setelah hamba sekeluarga dibebaskan dari tuduhan dan dapat bergerak leluasa, tidak menjadi buronan pemerintah lagi, kami tentu akan dapat serentak bangkit dan menentang Kim Hong Liu-nio dan Pangeran Ceng Han Houw,"

   Jawab Cia Bun Houw.

   "Asal saja hal itu jangan dilakukan di kota raja,"

   Kata Pangeran Hung Chih.

   "Karena kalau para orang gagah menentangnya di kota raja, mau tidak mau istana harus turun tangan dan dengan demikian berarti istana secara langsung menanganinya. Maka sebaiknya ji-wi mengajak semua orang gagah untuk waspada dan turun tangan menentangnya kalau dia beraksi di luar kota raja."

   Setelah bertukar pikiran dan menerima jamuan penghormatan yang diadakan oleh Pangeran Hung Chih, Cia Bun Houw dan Yap In Hong lalu malam itu juga meninggalkan kota raja. Mereka ingin cepat-cepat pergi ke Bun-cou untuk menyampaikan berita yang ada dua macam itu kepada Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng. Dua macam berita duka dan berita gembira. Berita duka tentang tewasnya Sun Eng dan keadaan Lie Seng yang tenggelam dalam kedukaan besar, dan berita gembira tentang dibebaskannya keluarga Cin-ling-pai dari tuduhan memberontak.

   Lie Seng duduk bersila di depan makam Sun Eng itu sampai dua hari dua malam, tak pernah dia meninggalkan tempat itu. Kadang-kadang timbul dalam hatinya untuk duduk terus di tempat itu sampai mati! Makin dikenang segala kebaikan Sun Eng, segala pengorbanannya, makin tertusuk rasa hatinya dan berkali-kali dia menangis seperti anak kecil di tempat yang sunyi itu. Wajahnya sudah pucat sekali dan tubuhnya kurus dan lemah, pandang matanya kosong dan sayu, pakaiannya kusut dan rambutnya awut-awutan. Keadaan pemuda ini sungguh amat menyedihkan. Dia telah putus asa, tidak melihat lagi sinar dalam kehidupannya yang dianggapnya gelap pekat tanpa harapan. Semangat dan gairah hidupnya telah lenyap terbawa pergi oleh Sun Eng.

   Pada hari ke tiga, sejak semalam Lie Seng duduk bersila dengan mata dipejamkan dan berada dalam keadaan samadhi yang gelap. Dia tidak tahu betapa sejak tadi ada seorang hwesio tua menghampirinya, lalu memandang kepada makam baru itu dan berdiri di depannya, kadang-kadang mengangguk-anggukkan kepala, kadang-kadang menggeleng-geleng, menarik napas panjang. Sampai lama hwesio tua itu berdiri di situ, memandang dengan sinar matanya yang lembut, wajahnya yang tenang dan mengandung seri kebahagiaan. Hwesio itu berjubah kuning. Usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih, kepalanya yang tak berambut itu terlindung topi hwesio, tangan kirinya memegang tasbih dan pakaiannya amat sederhana dan kasar. Namun semua itu tidak mengurangi wibawa dan sikapnya yang agung.

   "Omitohud... mengapa ada orang merusak diri sendiri seperti ini? Membunuh diri perlahan-lahan dengan membiarkan gelombang duka menyeretnya berlarut-larut...! Orang muda, apakah dengan membiarkan gelombang duka menghanyutkanmu ini kau mengharapkan yang mati akan dapat bangkit kembali?"

   Suara itu halus dan karena dikeluarkan dengan penuh perasaan maka mengandung getaran kuat dan mampu menembus dinding samadhi menyentuh kesadaran Lie Seng. Pemuda ini membuka mata dan mengangkat muka memandang hwesio tua itu dan alisnya berkerut.

   "Hwesio, pergilah, tak perlu kau berkhotbah di sini!"

   Katanya dengan marah. Tidak biasanya Lie Seng bersikap seperti ini, akan tetapi dia tidak perduli apapun juga lagi. Dia sudah lupa diri, yang teringat hanyalah kedukaannya dan ini membuat dia kasar dan tidak bersahabat kepada siapapun juga. Hwesio tua itu tersenyum akan tetapi pandangan matanya penuh rasa iba.

   "Orang muda, pinceng tidak berkhotbah, pinceng merasa kasihan kepadamu, maka pinceng hendak mengingatkan bahwa tindakanmu yang terbuai oleh duka ini sungguh tidak tepat. Berduka atas kematian seseorang merupakan suatu kebodohan, dan tindakan menyeleweng daripada kebenaran."

   Pandang mata Lie Seng berapi karena marahnya ketika dia menatap wajah yang ramah itu. Dengan suara berat dan kesal dia menjawab,

   "Bicara memang enak saja! Engkau tidak merasakan, maka engkau mudah saja mencela! Aku telah kehilangan cahaya hidupku, kehilangan semua kebahagiaan dan harapanku, maka perlu apa aku memperdulikan diri sendiri? Kalau aku harus mati, akan kuterima dengan rela! Pergilah, hwesio!"

   Akan tetapi hwesio tua itu malah duduk bersila di depan Lie Seng, sikapnya tetap halus dan ramah.

   "Omitohud... kegelapan menguasai batinmu, orang muda. Engkau bilang bahwa pinceng tidak merasakan maka mudah mencela? Wahai orang muda, siapakah di dunia ini yang tidak pernah mengalami kematian seseorang yang dikasihinya? Orang muda, mungkin engkau belum pernah mendengar dongeng tentang Sang Buddha dalam menghadapi kematian, dan kalau engkau pernah mendengarnya, biarlah dongeng ini menjadi penyadar bagimu. Seorang wanita kematian anak tunggalnya. Siapapun tahu bahwa cinta kasih seorang ibu kepada anak tunggalnya adalah cinta kasih yang paling murni di antara segala macam cinta kasih di dunia ini. Maka berdukalah wanita itu dan diapun pergi menghadap Sang Buddha, memohon kepada Buddha untuk menghidupkan kembali anak tunggalnya. Dengan tenang Sang Buddha lalu menyuruh wanita itu untuk minta segenggam gandum dari sebuah keluarga yang belum pernah kematian, karena hanya itulah obatnya yang dapat menghidupkan anaknya yang mati. Ibu itu berkelana, akan tetapi biarpun dia akan pergi mengelilingi dunia, di mana ada keluarga yang belum pernah kematian anggauta keluarganya? Akhirnya dia kembali kepada Sang Buddha dan insafkan. Kematian adalah suatu hal yang wajar bagi kehidupan. Ada hidup ada mati. Mengapa kematian harus didukakan benar? Bukankah kita semua akhirnya akan mati pula? Engkau dan pincengpun tidak akan terluput dari kematian. Mengapa kini ada yang mati engkau menyiksa diri dengan kedukaan? Apakah kedukaanmu itu akan dapat menghidupkannya kembali, orang muda?"

   Perlahan-lahan ada sisa-sisa air mata menetes dari kedua mata Lie Seng. Tentu saja, dia pernah mendengar tentang cerita itu. Anehnya, kini keluar dari mulut hwesio itu, dengan suaranya yang halus lembut, cerita itu mempunyai pengaruh yang lain, menembus sampai ke dasar hatinya dan membuat dia melihat kenyataan itu.

   "Losuhu... losuhu tidak tahu orang yang mati ini adalah kekasih saya, isteri saya... saya bukan seorang cengeng, losuhu sudah biasa menghadapi kematian, akan tetapi dia ini... ah, semasa hidupnya menderita begitu banyak kepahitan, dan selagi saya berusaha untuk membuatnya bahagia... dia telah mengambil jalan pendek, dia mengorbankan diri demi keluarga saya, demi kerajaan... ahh, betapa tidak akan hancur hatiku, losuhu...?"

   Hwesio tua itu mendengarkan dengan tenang dan sabar sampai Lie Seng berhenti bicara dan menunduk, memejamkan mata. Kemudian terdengar suara hwesio itu, suaranya lantang namun lembut sekali.

   "Orang muda, pandanglah baik-baik dan sadarilah. Lihatlah dengan waspada, siapakah yang kautangisi itu? Siapakah yang kaukasihani itu? Bukankah sesungguhnya, di balik semua keteranganmu tadi, engkau menangisi dirimu sendiri, engkau mengasihani dirimu sendiri?"

   Lie Seng mengerutkan alisnya, termenung sejenak lalu terkejut bukan main. Dia mengangkat muka memandang kepada hwesio tua itu dengan mata terbelalak marah.

   "Berani kau menuduhku seperti itu...?"

   "Tenang dan pandang sajalah, pandang dengan waspada dan jujur..."

   Katanya menggerakkan tangan dan sikapnya yang lembut halus itu seolah-olah membuyarkan kemarahan Lie Seng. Orang muda ini duduk termenung, memandang kepada diri sendiri dan jantungnya berdebar tidak karuan. Dia melihat, mula-mula secara samar-samar saja, akan tetapi makin lama menjadi makin jelas dan timbullah keraguan besar. Benarkah dia berduka karena kasihan kepada Sun Eng? Ataukah tidak lebih condong karena kasihan kepada diri sendiri? Dia tidak dapat menjawab. Dia bingung sekali dan kembali dia memandang kakek itu.

   "Losuhu, mohon petunjuk..."

   Akhirnya dia berkata.

   "Orang muda, bukan maksud pinceng untuk mencelamu, melainkan untuk menyadarkanmu. Engkau sendiri menceritakan betapa kekasihmu hidup menderita banyak kepahitan. Sekarang dia telah meninggal bukankah berarti dia setidaknya terbebas daripada kepahitan-kepahitan itu? Maka, dengan alasan apalagi engkau merasa iba kepadanya? Yang jelas, engkau menangis dan berduka karena iba diri, karena engkau merasa kehilangan, karena engkau ditinggalkan dan merasa kesunyian. Tidakkah demikian?"

   Lie Seng mengangguk-angguk, tak dapat membantah kebenaran kata-kata itu. Kini nampak nyata olehnya.

   Sun Eng hidup dalam keadaan sengsara karena menderita batin yang hebat. Sun Eng selalu menyesalkan penyelewengannya, yang membuatnya merasa rendah diri dan tidak berharga menjadi isterinya. Apalagi keluarga Cin-ling-pai menolaknya! Kemudian, untuk mengangkat harga dirinya, Sun Eng telah borkorban dan biarpun usahanya berhasil baik, namun dirinya telah mengalami penghinaan yang membuat dia merasa dirinya menjadi semakin kotor! Kalau Sun Eng tidak mati, sudah pasti Sun Eng akan semakin menderita karena merasa semakin tidak berharga baginya. Bukankah kematian itu bahkan merupakan jalan keluar yang baik bagi Sun Eng? Mengapa dia menangisinya? Apakah dia ingin melihat Sun Erg tetap hidup dalam keadaan menderita batin yang hebat itu?

   "Duka tidak dapat dihilangkan melalui hiburan, tidak pula dapat dihilangkan melalui pelarian, orang muda. Yang penting kita membuka mata melihat kenyataan, jangan membiarkan duka membutakan mata batin. Penglihatan yang terang dengan pengamatan yang waspada akan mendatangkan pengertian, dan hanya pengertian mendalam dan kesadaran yang akan meniadakan duka yang tiada guna dan melemahkan lahir batin itu."

   Untuk kurang lebih setengah jam lamanya Lie Seng mendengarkan suara kakek itu, suara yang lembut dan tenang, yang mendatangkan ketenangan dalam hatinya, yang membuat hatinya menjadi ringan dan lapang, yang membuat dia kini berani memandang makam Sun Eng tanpa kepedihan hati. Akhirnya dia menjadi sadar benar-benar akan semua tindakannya yang hanya menurutkan kata hati dan perasaan yang terdorong oleh iba diri belaka. Dan tiba-tiba saja dia melihat masa depan yang cerah tanpa Sun Eng, yaitu masa depan menjadi seperti kakek ini, yang hidup bebas dalam arti yang seluas-luasnya. Maka dia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu.

   "Losuhu, perkenankanlah teecu ikut bersamamu mempelajari hidup dan masuk menjadi hwesio di kuil yang losuhu pimpin."

   Hwesio tua itu tersenyum dan mengangguk-angguk.

   "Orang muda, pinceng melihat bahwa engkau bukanlah orang muda sembarangan, melainkan seorang muda yang tentu memiliki ilmu kepandaian silat yang tinggi, bukan? Pinceng sendiri bukan ahli silat, namun pinceng dapat mengenal orang pandai. Siapakah namamu dan dari keluarga manakah engkau, orang muda?"

   "Teecu bernama Lie Seng, ibu teecu adalah puteri dari mendiang kong-kong Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai."

   "Omitohud... sudah pinceng duga. Kiranya engkau adalah cucu pendekar sakti itu, dan sekarang engkau ingin menjadi hwesio? Ah, bukankah itu hanya merupakan pelarian saja bagimu, untuk menghibur hatimu yang berduka dan putus asa? Masuk menjadi hwesio bukan hal yang main-main dan hanya untuk pelarian belaka, sicu."

   "Teecu melihat masa depan yang gelap, suhu. Teecu penuh dendam dan sakit hati, kalau teecu melanjutkan hidup ini seperti biasa, tidak dapat dihindarkan lagi teecu tentu akan mengakibatkan kekerasaan dan banjir darah karena teecu tentu akan mengamuk untuk membalas kematian kekasih teecu."

   Kakek itu mengangguk-angguk.

   "Pinceng sudah melihat hal itu dan karena itulah maka pinceng berusaha menyadarkanmu. Kalau memang masuk menjadi hwesio itu timbul dari tekadmu sendiri, karena kesadaranmu, maka terserah. Pinceng memimpin Kuil Hok-seng-tong di kaki bukit sana. Marilah, sicu."

   Lie Seng bangkit dan setelah sekali lagi meraba-raba makam Sun Eng dan mengucapkan selamat tinggal kepada kekasihnya itu, kini dengan hati ringan dan lapang, diapun bangkit dan mengikuti hwesio tua itu turun gunung. Beberapa bulan kemudian, Lie Seng telah mencukur rambutnya dan berpakaian jubah lebar, menjadi hwesio yang tekun menekuni hidup dan kebatinan di dalam Kuil Hok-seng-tong di bukit sunyi sebelah selatan kota raja itu! Betapa banyaknya di antara kita yang seperti Lie Seng itu! Melarikan diri sendiri dari kenyataan hidup! Melarikan diri dari kepahitan hidup! Lalu mengejar-ngejar kemanisan hidup!

   Padahal, pelarian dari yang pahit dan pengejaran yang manis itu tidak ada bedanya sama sekali. Melarikan diri dari yang pahit lalu berlindung kepada sesuatu itu berarti juga mengejar kemanisan yang diharapkan bisa didapatkan dari tempat berlindung itu. Dan selama pengejaran akan sesuatu yang dianggap manis dan menyenangkan ini terjadi, maka kita akan terus menerus terseret ke dalam lingkaran setan yang tiada habisnya. Pelarian tidak akan melenyapkan duka, pelarian tidak akan melenyapkan kegelisahan dan rasa takut. Mungkin saja dapat mendatangkan hiburan sesaat, namun duka itu, rasa takut itu, tidak akan lenyap, hanya untuk sementara waktu terselubung saja oleh hiburan yang didatangkan oleh pelarian. Setiap saat akan muncul kembali! Kita semua mengenal apa penyesalan itu, apa kekecewaan itu, dan apa rasa takut serta kedukaan itu.

   Mengapa kita selalu harus mencari hiburan di mana kita dapat berlindung untuk melarikan diri dari hal-hal yang tidak enak itu? Mengapa kita tidak pernah berani menghadapi semua itu, menghadapi mereka di waktu mereka itu timbul, menghadapinya dengan langsung, memandangnya dan menanggulanginya di saat mereka muncul sehingga mereka itu akan lenyap di saat itu juga dan takkan pernah muncul kembali? Penanggulangan ini bukan berarti mengusahakan agar mereka lenyap, sama sekali bukan. Melainkan menghadapi duka pada saat itu menyerang kita, memandang dan menyelaminya secara langsung, mengenal luar dalam apa sebenarnya duka itu! Akan tetapi sayang, kita selalu ingin senang, maka begitu timbul sesuatu yang tidak menyenangkan menurut anggapan kita, kita lalu melarikan diri.

   

Dewi Maut Eps 2 Dewi Maut Eps 19 Dewi Maut Eps 42

Cari Blog Ini