Ceritasilat Novel Online

Dewi Maut 42


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo Bagian 42



"Pertanyaan itu tak dapat kujawab..."

   Tiba-tiba gadis cilik itu memegang lengan Lie Seng dan berbisik.

   "Ssttt, di sana ada dua orang mendatangi tempat ini...!"

   Lie Seng cepat memandang dan diapun melihat dua orang datang dari selatan, dua orang laki-laki yang bersikap gagah dan berjalan sambil memandang ke kanan kiri. Seorang di antara mereka bertubuh jangkung, berpakaian sederhana dengan warna kuning, sedangkan yang seorang lagi amat mengherankan hati Lie Seng karena pemuda itu memiliki rambut yang agak keemasan tertimpa sinar matahari, dan setelah dekat, dia melihat bahwa matanyapun agak kebiruan!

   Dua orang pemuda itu bukan lain adalah Tio Sun dan Souw Kwi Beng. Seperti telah diceritakan di bagian depan, dua orang ini sengaia mencari Yap In Hong dan mereka baru saja meninggalkan benteng Raja Sabutai di mana mereka mendapatkan petunjuk dan bahkan menerima petunjuk rahasia dari Permaisuri Khamila. Kemudian, mereka bertemu dengan Liong Si Kwi, wanita yang bernasib malang itu dan memperoleh petunjuk yang amat penting, yaitu tentang jalan rahasia menyeberangi Padang Bangkai yang amat berbahaya itu. Karena itu, maka mereka memasuki daerah ini dengan hati-hati dan menoleh ke kanan kiri, tidak berani bersikap sembrono karena dari Si Kwi mereka memperoleh keterangan betapa bahayanya memasuki Padang Bangkai.

   Ketika mereka melihat ada seorang dara remaja dan seorang anak laki-laki berada di bawah pohon, yang memandang mereka dengan sikap heran dan penuh curiga, tentu saja dua orang pemuda ini mengira bahwa tentu dua orang anak itu adalah anak-anak dari penghuni Padang Bangkai! Menurut penuturan Si Kwi, di tempat berbahaya itu tidak ada orang luar, yang ada hanya anggauta-anggauta Padang Bangkai yang semua sudah dibasmi oleh Cia Bun Houw dan sebagian melarikan diri ke Lembah Naga. Maka, adanya dua orang anak di situ tentu saja menimbulkan kecurigaan mereka dan mereka menyangka bahwa dua orang anak itu tentulah anggauta-anggauta Lembah Naga atau Padang Bangkai.

   "Kita tangkap mereka untuk menunjukkan jalan, twako,"

   Kata Kwi Beng.

   "Jangan sembrono, Beng-te. Kita tanya dulu..."

   Kata Tio Sun yang memang selalu berhati-hati dalam sepak terjangnya. Akan tetapi Kwi Beng sudah mendekati dan memandang dua orang anak itu penuh perhatian. Dia merasa heran mengapa anak-anak dari para penjahat begitu tampan dan cantik, terutama sekali dara remaja itu. Begitu cantik manis dengan sepasang mata bersinar-sinar penuh keberanian, sungguhpun bajunya tambalan. Dan anak laki-laki itupun jelas menunjukkan bahwa dia bukan seorang anak biasa saja.

   "Siapa kalian dan di mana adanya orang-orang Lembah Naga?"

   Kwi Beng bertanya, nada suaranya tidak manis karena tentu saja menghadapi anak-anak dari fihak musuh dia tidak bisa bersikap manis. Mei Lan dan Lie Seng memandang tajam, kemudian Mei Lan menggandeng tangan Lie Seng sambil berkata,

   "Huh! Mari, Seng-te, jangan layani orang sinting ini!"

   Setelah berkata demikian, Mei Lan lalu menarik tangan Lie Seng dan lari meninggalkan Kwi Beng yang menjadi bengong sejenak.

   "Heiii, hendak lari ke mana kalian?"

   Kwi Beng mengejar.

   "Hati-hati, Beng-te, jangan-jangan ini merupakan pancingan!"

   Tio Sun berseru dan juga mengejar. Ketika Mei Lan dan Lie Seng sudah tiba di tempat yang tidak jauh dari tempat guru mereka bertanding catur dan sudah kelihatan dari situ, kemudian mendapatkan kenyataan bahwa dua orang itu mengejar, mereka lalu berhenti.

   "Engkau ini orang jahat mau apa mengejar kami?"

   Mei Lan membentak marah. Kwi Bang mengerutkan alisnya. Anak perempuan ini galak sekali, dan tentu memiliki kepandaian juga, sebagai anak dari tokoh-tokoh sesat di tempat itu.

   "Bocah sesat, kami hanya ingin bertanya jalan kepadamu!"

   "Kami tidak tahu. Hayo lekas pergi, laki-laki ceriwis dan jangan menggangguku!"

   Mei Lan mengusir, telunjuk kirinya menuding ke depan dan tangan kanannya menolak pinggang, sikapnya angkuh sekali, angkuh dan juga cantik!

   "Sombong!"

   Kwi Beng membentak dan dia sudah menerjang untuk menangicap dara remaja yang galak itu.

   "Haiiittt...! Ahh!"

   Kwi Beng terkejut bukan main karena selain anak perempuan itu dapat mengelakkan tubrukannya dengan cepat dan mudah, juga sambil mengelak ke kiri, anak perempuan itu langsung saja mengirim tendangan ke arah lambungnya. Gerakan tendangan itupun cepat dan kuat sehingga dia terkejut dan cepat meloncat mundur. Kemudian, dengan penasaran dia sudah menerjang lagi dengan cepat, disambut oleh Mei Lan dengan tangkisan, elakan dan serangan balasan yang secara kontan dan bertubi-tubi dia lancarkan, membuat Kwi Beng untuk kedua kalinya terkejut dan cepat dia merobah gerakan menyerang menjadi gerakan bertahan dan melindungi dirinya karena ternyata olehnya betapa serangan-serangan gadis itu bukannya tidak berbahaya.

   "Beng-te, jangan berkelahi...!"

   Tio Sun meloncat ke depan, maksudnya hendak melerai perkelahian itu, karena dia melihat gerakan-gerakan aneh dan hebat dari gadis itu. Akan tetapi pada saat dia meloncat ke depan, dari samping berkelebat bayangan yang langsung menyerangnya.

   "Ehh...!"

   Dia berseru kaget melihat bahwa yang menyerangnya adalah anak laki-laki tadi, dan bukan main kagetnya melihat bahwa pukulan anak laki-laki itupun hebat bukan main sehingga terpaksa dia menangkisnya.

   "Dukkkk!"

   Tubuh Lie Seng terpental, akan tetapi Tio Sun juga merasa betapa lengannya tergetar.

   "Hebat...!"

   Otomatis dia memuji karena seorang bocah sekecil itu dapat membuat lengannya tergetar, hal ini sudah amat luar biasa. Akan tetapi sebelum dia sempat mencegah, Lie Seng yang menganggap bahwa dua orang itu tentu orang-orang jahat, sudah menerjang lagi dengan pukulan-pukulan yang hebat, karena baru saja dia melatih pukulan Thian-te Sin-ciang yang biarpun masih mentah dan tenaga sin-kangnya belum kuat, namun berkat ilmu mujijat itu, ternyata sudah membuat Tio Sun terheran-heran dan terkejut. Terjadilah pertandingan yang seru antara Mei Lan dan Kwi Beng yang makin lama makin menjadi penasaran karena dia tidak mampu mendesak dara remaja itu. Dan tentu saja Lie Seng bukanlah lawan Tio Sun, sungguhpun pendekar ini tentu saja enggan untuk menjatuhkan tangan kejam terhadap seorang anak yang usianya belum dewasa itu.

   Tio Sun cepat mengelak dan menangkap pergelangan tangan Lie Seng, dipegangnya keras-keras pergelangan tangan itu dan dia mengerahkan sedikit tenaga Ban-kin-kang yang amat kuat. Dipegang dengan tenaga itu, Lie Seng tidak mampu bergerak lagi, sungguhpun dia sudah meronta-ronta dan pada saat itu, tiba-tiba Tio Sun berseru lirih dan pegangannya terlepas sehingga Lie Seng dapat meloncat jauh ke belakang! Tio Sun terkejut karena dia maklum bahwa tadi ada batu kecil menyambar lengannya dan membuat lengan itu lumpuh. Dia cepat menoleh ke arah dua orang kakek yang sedang asyik main catur, agaknya tidak memperdulikan pertempuran itu, akan tetapi yakinlah dia bahwa batu kerikil itu datang dari arah dua orang kakek itu. Pada saat itu, Kwi Beng juga mengeluh dan terhuyung, terpincang-pincang kakinya dan terpaksa dia menjauhi Mei Lan.

   Ada batu kerikil menyambar mata kakinya, dan biarpun kakinya dilindungi kaos kaki dan sepatu, namun tetap saja terasa nyeri bukan main sehingga dia terpincang dan menjauhi Mei Lan. Mei Lan dan Lie Seng juga mengerti bahwa diam-diam mereka dibantu oleh guru mereka, maka mereka menjadi girang sekali. Sebaliknya, Kwi Beng makin marah bukan main. Dia memandang ke arah dua orang kakek yang bermain catur, maklum bahwa dua orang kakek itulah yang membantu lawannya tadi dan dia menduga bahwa pasti mereka itu adalah tokoh-tokoh jahat dari tempat itu, kawan-kawan dari mereka yang menculik In Hong. Oleh karena itu, tanpa ragu-ragu lagi dia mencabut enam hui-to dan melontarkan enam batang pisau terbang itu ke arah dua orang kakek yang bermain catur sambil mengerahkan seluruh tenaganya karena dia maklum bahwa tentu dua orang kakek itu memiliki kepandaian tinggi.

   "Jangan...!"

   Tio Sun berseru, namun terlambat dan karena diapun menduga bahwa dua orang kakek itu tentulah fihak musuh, maka diapun akhirnya diam saja, memandang ke arah mereka yang diserang oleh enam batang pisau terbang itu sambil mendekati Kwi Beng.

   "Sing-sing-singgg...!"

   Enam batang pisau terbang itu meluncur dengan cepat, berubah menjadi sinar berkilauan ditimpa sinar matahari pagi menuju ke arah tubuh dua orang kakek itu.

   "Mengganggu saja!"

   Terdengar Bun Hoat Tosu berkata dan kakek ini menggunakan ranting kecil di tangan kirinya untuk menyampok.

   "Menjemukan!"

   Kok Beng Lama juga menyampok dengan ranting kecil. Tiga batang pisau terbang yang menyambar ke arah Bun Hoat Tosu kena disampok ranting kecil di tangan tosu itu, runtuh ke atas tanah dan patah-patah. Sedangkan ketika Kok Beng Lama menyampok dengan rantingnya, tiga batang pisau terbang lainnya membalik dan kini meluncur dengan kecepatan kilat menuju ke arah dua orang pemuda itu, yang satu menyambar ke arah Tio Sun sedangkan yang dua batang ke arah Kwi Beng!

   "Celaka...!"

   Tio Sun berseru kaget sekali melihat sinar-sinar berkelebatan yang demikian cepatnya. Dia meloncat ke atas, menendang dari samping pisau yang menyambar ke arahnya dan menggunakan tangannya menyampok pisau yang menyambar ke arah Kwi Beng, sedangkan pisau ketiga dielakkan oleh Kwi Beng yang juga kaget itu dengan jalan melempar tubuh ke belakang dan bergulingan! Ternyata, nyaris saja Kwi Beng dimakan oleh senjatanya sendiri!

   "Berbahaya... kita pergi, Beng-te...!"

   Tio Sun lalu menarik tangan Kwi Beng, diajak pergi dari situ, melanjutkan perjalanan, karena pendekar tinggi kurus ini maklum bahwa mereka sama sekali bukanlah lawan dua orang kakek yang masih tekun bermain catur itu. Untung ketika mereka menengok, dua orang kakek itu masih terus bermain catur, agaknya tidak memperdulikan mereka dan sama sekali tidak mengejar. Mereka tidak tahu bahwa ada dua bayangan kecil yang membayangi mereka, menyusup-nyusup di antara rumpun alang-alang yang tinggi.

   "Bukan main..."

   Kata Tio Sun setelah mereka pergi jauh.

   "Dua orang kakek itu memiliki kesaktian yang amat luar biasa."

   "Heran sekali, siapakah mereka? Kalau musuh, mengapa membiarkan kita pergi? Kalau bukan musuh, kenapa di tempat ini?"

   Tanya pula Kwi Beng.

   "Akupun tidak tahu dan tidak dapat menduga, Beng-te. Yang jelas, kita berada di tempat berbahaya dan jangan sembarangan turun tangan. Mudah-mudahan saja dua orang kakek itu bukan orang-orang fihak Lembah Naga, karena kalau fihak musuh mempunyai orang-orang seperti mereka, agaknya tidak mudah untuk mengharap dapat menolong nona Yap In Hong yang tertawan di sini."

   "Aku tidak takut! Kita harus dapat menyelamatkan dia!"

   Kwi Beng berkata dengan kukuh. Tio Sun tersenyum dan menyentuh lengan sahabatnya.

   "Tentu saja akan kita usahakan sedapat mungkin, saudaraku. Kalau tidak, masa kita berada di tempat berbahaya ini?"

   Agaknya Kwi Beng sadar akan kata-katanya, maka cepat dia menjura dan memberi hormat kepada pemuda tinggi itu.

   "Maafkan aku, twako. Aku terlalu memikirkan keselamatan dia, sehingga lupa akan keselamatan orang lain. Keselamatanku sendiri tidak ada artinya bagiku, akan tetapi keselamatanmu, twako. Kau sudah memasuki bahaya besar di sini karena hendak membantuku menolongya..."

   "Ah, sudahlah. Perlu apa hal itu dibicarakan lagi, Beng-te? Tanpa kau minta sekalipun mendengar bahwa Yap-lihiap tertawan orang jahat, tentu aku akan berusaha sedapatku untuk menolongnya."

   Dia berhenti sebentar, lalu menyambung.

   "Apalagi setelah mendengar dari nona Liong Si Kwi bahwa Cia-Taihiap tertawan. Sudah menjadi kewajiban kita untuk menolong mereka, betapapun bahayanya."

   Mereka melanjutkan perjalanan dengan hati-hati sekali, meneliti seluruh tempat dan menuruti petunjuk yang diberikan oleh Si Kwi. Dan memang mereka tidak bertemu dengan seorangpun manusia sampai mereka berhasil melewati perkampungan Padang Bangkai. Akan tetapi mereka tidak tahu bahwa dari jauh, Mei Lan dan Lie Seng terus mengikutinya dengan mengambil jalan yang mereka lewati tadi sehingga dua orang anak inipun terbebas dari malapetaka yang terdapat di sepanjang perjalanan itu!

   Sudah terlalu lama kita meninggalkan Cia Giok Keng, puteri ketua Cin-ling-pai yang sejak berpisah dari Yap Kun Liong tidak pernah kita ikuti itu. Dalam pertemuannya yang terakhir dengan Kun Liong, dia merasa betapa semua peristiwa yang menimpa keluarga Kun Liong dan keluarganya dimulai dengan sikapnya terhadap Yap In Hong. Dia merasa menyesal sekali karena seolah-olah dia melihat betapa tangannya sendirilah yang menyalakan api pertama yang kemudian membakar keluarga Kun Liong dan keluarganya, yang menyebabkan Kun Liong kematian isterinya dan kehilangan puterinya, dan kemudian menyebabkan pula sebagai rangkaiannnya, dia kematian suaminya dan kehilangan Lie Seng, puteranya. Karena penyesalan ini, dia dapat membayangkan betapa sengsaranya hati Kun Liong dan dia bertekad untuk mencari pembunuh Pek Hong Ing isteri Kun Liong dan terutama sekali mencari jejak Yap Mei Lan yang lenyap melarikan diri itu.

   Untuk mencari jejak Yap Mei Lan, akhirnya Giok Keng menuju ke Leng-kok, tempat tinggal Kun Liong dari mana anak perempuan itu mula-mula lenyap. Pada suatu hari dia berjalan seorang diri di lereng pegunungan sebelah selatan Leng-kok. Berjalan seorang diri di tempat sunyi itu dengan melamun. Padahal, matahari tersenyum dengan cerahnya, menghidupkan semua yang berada di permukaan bumi, bermain-main dengan kelompok bunga dan pucuk daun, menimbulkan bayang-bayang aneh dan luar biasa di bawah-bawah pohon, menciptakan suasana gembira dan pemandangan indah yang abadi dan selalu berubah setiap saat. Namun, Giok Keng berjalan sendirian seperti tidak melihat semua itu. Matanya memandang jauh tanpa menangkap apa-apa karena pikirannya melayang-layang jauh di masa lampau.

   Dia seorang janda yang usianya sudah tiga puluh enam tahun, seorang wanita yang matang dan belum dapat dibilang terlalu tua untuk menyendiri. Di dalam perjalanan selama ini, kadang-kadang timbul perasaan rindu yang amat mendalam terhadap suaminya, Lie Kong Tek yang telah meninggal dunia, dan kadang-kadang pula, secara mendadak, seperti cahaya halilintar menerangi mendung gelap, timbul pula bayangan wajah Yap Kun Liong. Akan tetapi setiap kali dia teringat kepada Kun Liong, cepat diusirnya lagi bayangan itu. Dia seorang janda, dan dia tahu bagaimana kedudukan dan keadaan seorang janda di jamannya. Akan rusaklah nama seorang janda apabila dia membiarkan dirinya berdekatan dengan seorang pria. Apalagi dia adalah puteri ketua Cin-ling-pai! Akan cemar namanya, akan ternoda pula nama keluarga Cin-ling-pai.

   Giok Keng mengepal tinjunya erat-erat. Tidak, dia harus dapat menahan hatinya, dia harus mematikan perasaan hatinya. Sebagai seorang janda, sudah tertutup baginya untuk berhubungan dengan seorang pria, apalagi untuk memadu kasih! Dia sudah mati, mati kebahagiaannya, mati bersama matinya suaminya. Yang terpenting baginya sekarang adalah menebus kesalahannya, dia harus dapat menemukan Mei Lan kembali! Tiba-tiba teidengar suara tangis wanita. Buyar semualah lamunan Giok Keng dan dia menghentikan langkahnya, memasang telinga untuk mendengarkan lebih teliti. Ternyata suara tangis itu terdengar dari jauh, di sebelah kiri, maka diapun lalu menggerakkan kedua kakinya menuju ke tempat itu. Setelah dekat, dia melihat seorang wanita tua dipegangi oleh seorang laki-laki tua yang membujuk dan menghiburnya.

   "Tidak, biarkan aku mati saja!"

   Wanita itu meronta dan agaknya dia hendak melempar dirinya ke dalam jurang di depannya.

   "Ah, mengapa engkau begini? Belum tentu anak kita celaka, mengapa engkau berputus asa? Tidak ingatkah kau kepadaku, kepada suamimu?"

   Wanita itu memandang kepada laki-laki tadi dan mereka saling rangkul dan menangis sedih sekali. Giok Keng merasa tertarik dan cepat dia menghampiri. Melihat ada orang datang, dua orang itu saling melepaskan rangkulan dan dengan masih terisak-isak mereka memandang kepada wanita muda yang cantik jelita dan bersikap gagah penuh wibawa itu. Melihat ada pedang tergantung di punggung wanita cantik itu, si nenek cepat menjatuhkan diri berlutut.

   "Lihiap, mohon lihiap menolong kami..."

   "Bangunlah, lopek. Apakah yang terjadi? Mengapa isterimu hendak membunuh diri? Apa yang terjadi dengan anakmu?"

   Kakek yang usianya lima puluh tahun lebih itu lalu berkata,

   "Lihiap, kami hanya mempunyai seorang anak perempuan saja yang kami harapkan akan dapat menyambung keturunan dan dapat membahagiakan kami di hari tua. Akan tetapi, tiga hari yang lalu anak kami itu lenyap."

   "Lenyap? Apa yang terjadi?"

   "Anak saya diculik siluman keparat itu, lihiap!"

   Kini nyonya tua itu berkata dengan nada suara penuh kebencian.

   "Siluman? Apa maksud kalian?"

   Giok Keng bertanya heran.

   "Begini, lihiap. Di kota kami sudah kurang lebih satu bulan ini terjadi hal-hal yang aneh. Beberapa orang gadis lenyap di waktu malam, juga banyak hartawan kehilangan hartanya. Anehnya, gadis-gadis yang hilang itu semua adalah gadis yang cantik. Dan karena belum pernah ada yang melihat maling itu, maka dia dijuluki siluman. Katanya ada yang melihat bayangan siluman itu, dan bahkan para hwesio di Kuil Ban-hok-tong juga mengatakan bahwa ada hawa siluman di kota kami."

   Giok Keng merasa tertarik sekali. Tentu saja dia dapat menduga bahwa yang dianggap siluman itu adalah seorang maling yang berkepandaian tinggi, dan selain maling agaknya penjahat itu juga merangkap seorang jai-hoa-cat (penjahat pemerkosa wanita). Jantungnya berdebar keras. Tidak jauh dari Leng-kok terdapat jai-hoa-cat! Jangan-jangan Yap Mei Lan menjadi korban pula!

   "Di mana kota kalian?"

   Dia bertanya penuh gairah karena dia ingin cepat-cepat dapat menangkap penjahat itu, bukan hanya untuk menolong penduduk kota ini, akan tetapi terutama sekali untuk menyelidiki kalau-kalau Mei Lan menjadi korban penjahat itu!

   "Kota Heng-tung tak jauh dari sini, di sebelah utara itu, lihiap."

   "Baik, jangan kalian khawatir dan jangan putus asa, aku akan pergi mdnangkap siluman itu."

   Setelah berkata demikian, Giok Keng meloncat dan mempergunakan kepandaiannya berlari cepat sehingga dalam sekejap mata saja dia telah lenyap dari depan dua orang suami isteri tua itu. Suami isteri itu terkejut dan mereka menjatuhkan diri berlutut, lalu mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi untuk menghaturkan terima kasih kepada para dewa, karena mereka percaya bahwa yang muncul tadi tentulah utusan Kwan Im Pouw-sat, seorang dewi untuk menangkap siluman jahat! Memang agak mengherankan hati Giok Keng bahwa di Leng-kok, atau setidaknya di dekat Leng-kok, ada seorang penjahat berani muncul di kota besar. Padahal nama Yap Kun Liong di Leng-kok amat terkenal sehingga sampai jauh di sekeliling daerah itu tidak ada penjahat berani melakukan operasi mereka.

   Akan tetapi janda ini tidak tahu bahwa keadaanya telah berubah banyak. Semenjak peristiwa perebutan kedudukan Kaisar di kota raja, yaitu ketika Kaisar Ceng Tung ditawan oleh pasukan liar di utara, keamanan di kota raja memang telah dapat dipulihkan kembali dengan pulangnya Kaisar Ceng Tung dan dengan diangkatnya dia menjadi Kaisar kembali. Para thaikam yang tadinya memegang kekuasaan mutlak, telah banyak berkurang kekuasaan mereka, bahkan amat dibatasi. Suasana tertib dapat dipulihkan. Akan tetapi ketertiban ini hanya terdapat di lingkungan istana, atau paling besar hanya terasa di kota raja saja. Di luar kota raja, apalagi di kota-kota yang jauh dari kota raja, para pembesar kehilangan wibawa mereka dan para penjahat mulai berani beroperasi secara terbuka.

   Bahkan banyak penjahat yang menggunakan pengaruh uang, memikat para pejabat sehingga ada semacam "kerja sama"

   Di antara mereka! Tentu saja kalau hal seperti ini sudah terjadi, rakyat yang menjadi korban dan hal itu berarti bahwa kewibawaan pemerintah telah mulai surut. Malam hari itu, Giok Keng melakukan penyelidikan. Dengan pakaian ringkas, dia menggunakan kepandaiannya, berloncatan di atas genteng-genteng rumah dan akhirnya dia memilih daerah rumah-rumah gedung tempat tinggal orang-orang kaya dan mendekam di balik wuwungan, melakukan pengintaian dari tempat yang dipilihnya sebagai tempat paling tinggi di sekitar tempat itu. Dia mengintai dan menanti dengan sabar dan menjelang tengah malam, di bawah sinar bintang-bintang di langit, dia melihat ada bayangan hitam berkelebatan di sebelah depan.

   "Hemm, itu dia silumannya!"

   Pikir Giok Keng dengan jantung berdebar tegang. Dia merunduk di balik wuwungan-wuwungan, berloncatan dengan hati-hati dan membayangi sosok bayangan di depan itu. Karena cuaca yang agak suram, hanya diterangi sinar bintang-bintang, dia tidak dapat melihat jelas muka orang, hanya dapat menduga bahwa bayangan itu adalah bayangan seorang laki-laki yang tubuhnya kurus namun gerakannya gesit sekali, yang berloncatan dari rumah ke rumah dan agaknya mencari-cari. Akhirnya, dia melihat maling itu meloncat turun ke dalam taman sebuah rumah besar.

   "Bagus! Dia tentu akan merampok harta atau menculik wanita. Biar kutunggu di sini dan kutangkap basah dia!"

   Pikir Giok Keng yang menanti di atas rumah itu dan bersikep waspada. Tak lama kemudian, kelihatan kembali bayangan itu berkelebat dari bawah, meloncat ke atas genteng dan kini tangan kirinya memanggul sebuah bungkusan yang berat. Giok Keng merasa kagum juga. Ternyata maling ini adalah seorang yang telah ahli, buktinya dalam waktu singkat saja dia telah berhasil menyikat haria dari pemilik gedung di bawah.

   "Maling rendah! Kiranya engkau orangnya?"

   Giok Keng membentak dan tampak jelas betapa maling itu tersentak kaget dan cepat membalikkan tubuhnya. Giok Keng tercengang melihat bahwa maling itu seorang laki-laki yang usianya lima puluh tahun lebih, dan pakaiannya seperti pakaian sasterawan, kepalanya ditutup topi lucu.

   "Heh-heh, sampai kaget setengah mati aku!"

   Maling itu berseru dan sikapnya demikian aneh dan lucu sehingga Giok Keng merasa geli. Mengapa maling yang disohorkan sebagai siluman ini sikapnya begitu pengecut dan penakut?.

   "Ah... aku bukan..."

   "Pengecut!"

   Giok Keng menerjang dengan pukulannya, tangan kirinya menghantam langsung dari depan ke arah dada maling itu.

   "Ehhh...?"

   Maling itu cepat menghindarkan diri dengan meloncat ke belakang. Giok Keng mendesak dengan pukulan tangan kanan disambung hantaman dari samping dengan tangan kirinya.

   Wanita cantik ini sekarang jauh bedanya dengan dahulu. Kalau dahulu, Giok Keng selalu berhati keras dan setiap orang musuhnya tentu langsung akan menghadapi serangan-serangan maut dari pendekar wanita itu. Akan tetapi, semenjak peristiwa hebat yang menimpa keluarganya, dia berubah banyak. Kini dia tidak lagi sembrono dan tidak menggunakan pedangnya, juga tidak menggunakan sabuknya yang lihai atau pukulan-pukulan maut, melainkan hanya menyerang dengan pukulan-pukulan San-in-kun-hoat yang amat lincah untuk menundukkan maling ini dan untuk ditanyanya tentang para gadis itu, terutama tentang Yap Mei Lan. Bertubi-tubi Giok Keng menyerang dan biarpun maling itu berusaha untuk mengelak, tetap saja pundaknya kena disambar jari tangan kiri Giok Keng.

   "Aduhh...!"

   Maling itu terguling di atas genteng dan ketika Giok Keng hendak menyusul dengan tendangan, tiba-tiba maling itu berseru.

   "Ampunkan saya, lihiap. Lihiap sebagai puteri ketua Cin-ling-pai tentu tidak membunuh orang seperti saya..."

   Tentu saja Giok Keng terkejut bukan main. Maling ini telah mengenalnya sebagai puteri ketua Cin-ling-pai! Sementara itu, di dalam gedung telah terdengar suara ribut-ribut, tanda bahwa tuan rumah telah terbangun dan agaknya telah tahu bahwa ada maling bertanding di atas genteng.

   "Hayo kau ikut bersamaku!"

   Giok Keng berkata dan meloncat ke depan.

   "Baik, lihiap!"

   Maling itu berkata dan mengikuti Giok Keng, berlompatan dari genteng ke genteng dan akhirnya tiba di tempat yang sunyi di luar kota itu. Giok Keng berhenti dan maling itupun berhenti, memandang dengan sinar mata takut.

   "Nah, hayo ceritakan siapa kau dan bagaimana engkau mengenal aku!"

   Bentaknya.

   "Sudah beberapa kali saya melihat lihiap, dan pernah kita saling bertemu di tempat pesta Phoa Lee It, piauwsu di Wu-han."

   Segera Giok Keng teringat! Ketika itu, dia juga menerima undangan dari piauwsu tokoh Go-bi-pai itu dan dia datang bersama mendiang suaminya, Lie Kong Tek dengan membawa sumbangan berharga. Akan tetapi, bungkusan sumbangannya itu ditukar oleh seorang maling tua, dan itulah orangnya!

   "Ah...! Jadi engkaulah orangnya dahulu itu yang menukar barang sumbanganku?"

   Maling itu cepat menjura dengan penuh hormat.

   "Sampai sekarang saya menyesal sekali kalau teringat akan kelancangan saya yang dimaksudkan untuk main-main itu, lihiap, sehingga menimbulkan bentrokan antara lihiap dan Yap In Hong lihiap,"

   Dia berhenti karena tiba-tiba melihat wajah yang cantik itu berubah, sinar matanya berapi-api. Maling itu bukan lain adalah Can Pouw, maling tunggal yang terkenal di daerah Tai-goan, berpakaian sasterawan dan bertopi, maling yang jenaka dan cerdik sekali dan yang berjuluk Jeng-ci Sin-touw (Maling Sakti Berjari Seribu)! Seperti telah dituturkan di bagian depan dari cerita ini, maling tua ini pernah menjadi teman seperjalanan Yap In Hong dan menggegerkan pesta dari Phoa Lee It. Akan tetapi, kemarahan Giok Keng hanya sebentar. Memang tadi dia marah sekali karena teringat bahwa awal segala peristiwa dimulai di pesta itu!

   Di tempat itulah dia bentrok untuk pertama kalinya dengan In Hong sehingga menimbulkan kemarahannya yang mengakibatkan hal-hal yang amat hebat menimpa keluarga Kun Liong dan keluarganya. Akan tetapi, sebagai seorang yang sudah matang digembleng peristiwa-peristiwa hebat, dia dapat teringat bahwa sesungguhnya maling tua ini tidak ada sangkut pautnya dengan peristiwa itu dan bahwa sesungguhnya dia sendirilah yang tidak dapat menguasai kemarahannya sehingga terjadi hal-hal yang hebat. Dia menarik napas panjang dan wajahnya kembali biasa. Hal ini menyenangkan hati Can Pouw karena sejak tadi dia memperhatikdn dengan hati kebat-kebit. Kalau sampai nyonya pendekar ini marah, dia sudah siap untuk mengambil langkah seribu, sudah mencari tempat-tempat gelap di sekitar situ untuk bersembunyi, karena untuk melawan mana dia mampu?

   "Saya memang Can Pouw, lihiap. Jeng-ci Sin-touw Can Pouw dari Tai-goan..."

   "Hayo katakan di mana kau menyembunyikan semua harta yang kau curi itu dan di mana pula kau sembunyikan gadis-gadis yang kau culik!"

   Tiba-tiba Giok Keng membentak dan "sratttt...!"

   Tahu-tahu ada kilat berkelebat dan sebelum Can Pouw tahu apa yang terjadi, tahu-tahu ujung pedang bersinar perak telah ditodongkan di depan dadanya! Dia tidak melihat kapan nyonya itu mencabut pedangnya dan tahu-tahu ujung pedang sudah menodong dada, terasa olehnya ulung runcing itu menembus baju menyentuh kulitnya! Dia bergidik, karena kalau sudah begini, laripun akan percuma saja.

   
Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Eh... ohhh... maaf, lihiap... saya bukan maling dan penculik itu..."

   "Hemm... aku mendengar ada siluman yang mencuri dan menculik gadis-gadis di kota Heng-tung, ketika aku menyelidiki, aku melihat engkau mencuri dari gedung itu. Setelah jelas aku menangkap basah, engkau masih hendak menyangkal?"

   Ujung pedang itu makin keras menyentuh kulit dadanya, tepat di tempat jantungnya berdenyut. Kedua kaki Can Pouw menjadi lemas dan dia cepat menjatuhkan diri berlutut dan mengangkat kedua tangannya ke atas.

   "Ya ampunnn... lihiap, ada kesalahfahaman di sini! Sungguh lihiap telah salah sangka. Kalau lihiap baru sekarang menyelidiki, saya sudah lebih dari satu minggu menyelidiki maling yang disebut siluman itu! Dan malam ini saja melakukan pencurian hanya untuk memancing dia keluar. Sungguh mati, saya mau bersumpah tujuh turunan..."

   Pedang itu ditarik kembali akan tetapi masih dipegang di tangan kanan nyonya pendekar itu.

   "Ceritakan yang jelas!"

   Bentak Giok Keng sambil memandang tajam karena dia tidak percaya sepenuhnya kepada orang tua yang pandai bicara ini.
(Lanjut ke Jilid 41)

   Dewi Maut (Seri ke 03 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 41
"Saya akui bahwa saya memang maling, dan di Tai-goan nama saya cukup dikenal. Akan tetapi, lihiap, saya adalah seorang maling yang terhormat! Haram bagi saya untuk menculik orang, apalagi perawan-perawan cantik! Coba lihiap periksa baik-baik, apakah tampang saya ini tampang seorang jai-hoa-cat? Biarpun saya maling, akan tetapi saya seorang siucai (sasterawan) gagal, lihiap, dan saya mampu membaca susi ngo-keng!"

   Giok Keng menahan senyumnya. Maling ini benar-benar seorang yang lincah bicaranya, dan juga lucu. Betapapun juga, sikapnya menimbulkan kepercayaan.

   "Tidak perlu banyak ngoceh. Ceritakan sejelasnya tentang siluman itu!"

   "Begini, lihiap. Saya mendengar tentang gangguan siluman itu. Saya menjadi marah karena perbuatan siluman itu sungguh melanggar kehormatan dan kesopanan dunia kang-ouw (kode ethik permalingan?)! Maling ya maling saja, masa pakai menculiki perawan-perawan cantik pula! Itu namanya merendahkan dan mencemarkan nama maling-maling terhormat seperti saya. Tentu saja saya tidak mau terima begitu saja dan mulailah saya menyelidiki di kota Heng-tung. Akan tetapi sial dangkalan, sampai seminggu saya setiap malam menyelidiki, tidak pernah maling siluman itu muncul, sampai mata saya bengkak-bengkak karena seminggu tidak pernah tidur! Maka saya lalu mencari akal. Dan dalam hal mencari akal, Jeng-ci Sin-touw adalah gudangnya, lihiap! Saya lalu mengambil keputusan untuk memancing siluman itu keluar, yaitu dengan melakukan pencurian di rumah seorang hartawan. Dengan pencurian itu, tentu siluman tadi akan merasa tersinggung karena bukan dia yang mencuri akan tetapi sudah pasti perbuatan itu dijatuhkan atas namanya, dan dia pula yang dituduh melakukan pencurian lagi. Biasanya, hal ini akan membikin marah orangnya dan dia pasti akan muncul untuk mencari saingannya itu. Siapa kira, bukan dia yang muncul, melainkan lihiap yang menyangka saya siluman itu, sebaliknya, saya menyangka lihiap siluman itu pula kalau saja saya tidak cepat mengenal wajah lihiap yang terhormat."

   Dia menjura dengan dalam sehingga kembali hati Giok Keng merasa geli. Mulai dia percaya akan cerita ini, akan tetapi dia masih ragu-ragu dan memandang wajah tua itu dengan tajam.

   "Hemm... ceritamu amat menarik, terlalu menarik sehingga aku mana bisa percaya begitu saja? Bagaimana kalau kau membohong?"

   Tiba-tiba maling tua itu membusungkan dadanya, kelihatan penasaran.

   "Lihiap, di dunia ini hanya ada seorang saja Jeng-ci Sin-touw dan saya tidak sembarangan saja membohong! Terhadap pendekar-pendekar sakti seperti lihiap, bagaimana saya berani membohong? Kalau saya orang pembohong rendah, mana mungkin seorang pendekar wanita seperti Yap-lihiap mau bersahabat dengan saya? Ahhh, sungguh kasihan sekali... sungguh menyedihkan sekali, mendengar sahabat baik itu mengalami bencana namun saya tidak mampu berbuat apa-apa untuk menolongnya."

   Giok Keng makin tertarik.

   "Apa maksudmu? Apakah terjadi sesuatu dengan Yap In Hong?"

   Can Pouw mengerutkan alisnya.

   "Mengingat bahwa lihiap pernah bentrok dengan dia, agaknya lihiap akan girang mendengar berita ini, akan tetapi sungguh mati saya berduka sekali, lihiap. Baru beberapa hari ini saya datang dari kota raja dan mendengar bahwa Yap-lihiap telah diculik oleh guru-guru dari Raja Sabutai, dibawa ke utara di luar tembok besar. Nah, bukankah itu menyedihkan sekali? Apa yang dapat dilakukan seorang macam saya menghadapi penculik-penculik keji itu?"

   Kakek itu menghela napas panjang, dengan sungguh-sungguh dan bukan pura-pura. Giok Keng juga terkejut sekali, akan tetapi diapun merasa bahwa dia tidak dapat berbuat sesuatu, apalagi dia kini sedang menyelidiki lenyapnya Yap Mei Lan yang dianggapnya jauh lebih penting daripada urusan In Hong.

   "Can Pouw, aku masih belum percaya benar akan ceritamu tentang siluman itu."

   "Kalau begitu, mari kita bersama menyelidiki dan menangkapnya, lihiap! Akan saya buktikan bahwa saya bukanlah siluman penculik perawan, melainkan seorang maling terhormat!"

   "Hemmm, bagaimana caranya? Kalau kau membohong, tentu engkau akan lari bersama uang curianmu itu!"

   Dengan pedangnya Giok Keng menuding ke arah bungkusan berat yang oleh maling itu diletakkan ke atas tanah.

   "Biarlah saya tidak akan meninggalkan lihiap, agar lihiap dapat mencegah saya melarikan diri. Dan besok malam, mulai kita menyelidiki. Siluman itu pasti keluar setelah mendengar ada orang menyainginya dan mencuri sejumlah uang yang banyak sekali."

   Can Pouw menepuk-nepuk kantong itu dan terdengar suara berkerincingnya uang emas di dalamnya.

   "Baik, kalau begitu kau ikut dengan aku ke rumah penginapan."

   Can Pouw menurut dan pergilah mereka berdua ke rumah pengingapan di mana Giok Keng menyewa kamar. Mereka memasuki kamar melalui jendela dan tidak ada orang lain yang mengetahui. Setelah tiba di kamar, Giok Keng lalu menotok roboh maling itu dan melemparkan tubuhnya di atas dipan kecil di sudut kamar, kemudian diapun rebah di atas pembaringan, menutupkan kelambunya dan tidur!

   Can Pouw mengomel panjang pendek, akan tetapi dia tidak mampu bergerak dan akhirnya diapun memejamkan mata dan tidur, atau pura-pura tidur. Pada keesokan harinya, Giok Keng membebaskan totokannya. Kemudian mereka keluar untuk mencari keterangan tentang perbuatan Can Pouw semalam dan legalah hati mereka karena berita tentang pencurian itu sudah tersebar luas dan seperti yang mereka harapkan, tentu saja yang dituduh adalah "siluman"

   Itu. Setelah melihat sikap Can Pouw, Giok Keng mulai percaya kepada maling tua ini, maka, dia lalu mengajak Can Pouw kembali ke penginapan di mana dia menyewa lagi sebuah kamar di samping kamarnya sendiri untuk Can Pouw.

   Kemudian, malam itu mereka berdua meninggalkan kamar masing-masing dengan melalui jalan jendela dan melompat ke atas genteng, mulai dengan penyelidikan mereka. Seperti malam yang lalu cuaca remang-remang karena di langit hanya diterangi oleh sinar redup bintang-bintang. Mereka melakukan penyelidikan dengan hati-hati dan dengan diam-diam, dan dalam penyelidikan ini, Giok Keng menurut saja kepada Can Pouw yang dianggapnya lebih pengalaman dalam hal mencari jejak maling! Dengan hati kesal Giok Keng mendapat kenyataan bahwa sampai tengah malam, tidak ada bayangan orang lain di atas genteng-genteng rumah di kota Heng-tung kecuali bayangan mereka berdua. Mulailah dia melirik ke arah Can Pouw karena timbul pula kecurigaannya bahwa jangan-jangan dia dipermainkan oleh Can Pouw yang sesungguhnya adalah sang siluman itu sendiri!

   "Aku akan pancing dia!"

   Pikir Giok Keng dan mulailah pendekar wanita ini menjauhi Can Pouw, sikapnya seolah-olah menyelidik ke sana-sini, akan tetapi sesungguhnya tidak pernah dia melepaskan bayangan maling tua itu dari sudut matanya. Akan tetapi, Can Pouw malah cepat mengikuti dan mendekatinya dan terdengar Can Pouw berkata.

   "Lihiap, mari kita menanti di gedung hartawan Gui di sebelah barat. Selain kaya raya, dia juga kabarnya mempunyai seorang anak gadis yang cantik."

   Giok Keng mengangguk dan mereka lalu menuju ke gedung besar itu, dan kembali Giok Keng sengaja menjauh untuk dapat mengawasi gerak-gerik Can Pouw lebih baik dan memberinya kesempatan untuk "melakukan sesuatu". Dan saat yang dinanti-nantinya itu tiba! Mendadak dia mendengar maling itu mengeluh dan tubuhnya roboh bergulingan di atas genteng rumah gedung itu. Nah, si maling tua sudah mulai memperlihatkan dirinya, pikirnya. Akan tetapi betapa kagetnya ketika dia mendengar Can Pouw berteriak.

   "Tolong, lihiap...!"

   Dan Giok Keng melihat bayangan hitam yang menggunakan sebatang pedang sedang menyerang Can Pouw yang menghindarkan diri dengan terus bergulingan di atas genteng! Giok Keng cepat mencabut Gin-hwa-kiam dan meloncat ke arah bayangan hitam itu, sambil meloncat dia terus menikam dengan geraken cepat bukan main karena pendekar wanita itu telah menggunakan Ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut ciptaan ayahnya.

   "Ehhh...?"

   Bayangan hitam itu terkejut ketika ada angin dahsyat menyambar dan melihat sinar perak berkilat menikam dadanya. Dia cepat menarik kembali pedangnya yang dipakai menyerang Can Pouw, lalu menangkis keras.

   "Tranggg...!"

   Orang itu terhuyung dan pedang Giok Keng terus menghujankan serangan kilat.

   "Ahhh...!"

   Orang itu kembali berseru dan cepat meloncat ke belakang. Gerakannya cepat akan tetapi gerakan Giok Keng lebih cepat lagi sehingga dia sudah menyusul dan menyerang lagi.

   "Cring-trang-triinggg...!"

   Kembali orang itu terhuyung-huyung. Orang itu kuat sekali, akan tetapi menghadapi serangan-serangan kilat itu agaknya dia terkejut dan agak jerih.

   "Siluman, hendak lari ke mana kau?"

   Giok Keng membentak dan cepat mengejar ketika dia melihat bayangan hitam yang ternyata memakai topeng hitam dan hanya kelihatan dua matanya di balik dua lubang itu melarikan diri. Can Pouw merayap bangun, mukanya pucat dan dadanya bergelombang. Hampir saja dia mampus, pikirnya. Cepat dia bangkit, mencari-cari sepatunya yang copot sebelah ketika dia menghindarkan bacokan-bacokan pedang siluman itu tadi sambil bergulingan, dengan kedua tangan menggigil mengenakan lagi sepatunya, mencari topinya yang juga terjatuh, memakai topi lalu ikut pula mengejar,

   Akan tetapi dia sudah kehilangan bayangan siluman dan Giok Keng yang mengejarnya. Dia menjadi bingung, mencari ke sana-sini tidak berhasil. Dengan hati cemas dia lalu kembali ke hotel dan menanti di dalam kamarnya dengan hati kebat-kebit. Ke manakah perginya Giok Keng? Ketika siluman itu lari dengan kecepatan tinggi pendekar wanita inipun menggunakan gin-kangnya melakukan pengejaran terus. Lawanpya itu agaknya sudah hafal akan keadaan di atas rumah-rumah penduduk sehingga dapat bergerak lebih leluasa dan akhirnya, ketika bayangan itu berkelebat meloncat ke atas wuwungan sebuah kuil besar yang letaknya berada di sudut kota, bayangan siluman itu lenyap. Tentu saja Giok Keng merasa penasaran dan diapun meloncat ke atas wuwungan itu dan terus memasuki halaman kuil. Akan tetapi baru saja dia meloncat turun, terdengar teriakan.

   "Tangkap siluman!"

   Dan muncullah beberapa orang hwesio yang memegang toya dan pedang mengepung dan mengeroyoknya!

   "Aku bukan siluman, aku malah mengejar dan mencarinya!"

   Giok Keng membentak sambil memutar pedangnya menangkis hujan senjata yang menimpa ke arah dirinya.

   "Omitohud, wanita pembohong!"

   Tiba-tiba terdengar suara hwesio membentak dan hwesio ini masih memakai pakaian hitam-hitam, akan tetapi kedoknya sudah dilepas sehingga nampak kepalanya yang gundul.

   "Dia dan seorang kawannya laki-laki adalah siluman-siluman yang mengacau dan maling-maling yang selama ini mengeruhkan kota Heng-tung!"

   Giok Keng tidak diberi kesempatan untuk membela diri kecuali dengan pedangnya. Tiba-tiba hwesio yang bertubuh tinggi besar, yang ilmu pedangnya amat kuat dan agaknya menjadi pimpinan dari para hwesio lainnya, membentak keras dan begitu tangan kirinya bergerak, dia mengebutkan saputangan merah dan nampaklah debu kemerahan mengepul dan menyerbu ke arah Giok Keng.

   Pada saat itu, Giok Keng sedang sibuk menangkisi semua senjata dan tentu saja dia tidak mau melukai para hwesio yang agaknya salah mengira dialah sebetulnya maling yang dicari-cari. Dia melihat bubuk debu halus kemerahan itu dan terkejut bukan main. Akan tetapi melihat bahwa para pengepungnya juga tidak menghindar, maka dia menahan napas dan menangkis terus. Akan tetapi celakanya debu itu agaknya tebal dan amat halus, sampai lama tidak juga lenyap dan ketika satu kali saja dia menarik napas, dia mencium bau harum dan kepalanya menjadi pening. Dalam keadaan pening itu, gerakannya menjadi kacau dan tiba-tiba pundaknva kena ditotok maka robohlah pendekar wanita ini dalam keadaan setengah pingsan.

   Ketika Giok Keng sadar, dia mendapatkan dirinya telah berada di dalam sebuah kamar yang besar, terbelenggu kaki tangannya dan terlentang di atas sebuah pembaringan. Di dalam kamar itu duduk tiga orang hwesio dan bau di kamar itupun harum dengan dupa wangi. Giok Keng membuka matanya dan memandang ke arah hwesio yang duduk dekat pembaringan. Seorang hwesio tinggi besar yang usianya tentu hampir enam puluh tahun, tersenyum dengan pandang matanya yang tajam penuh selidik. Di belakang hwesio tinggi besar ini duduk dua orang hwesio lain, usianya juga rata-rata lima puluh tahun, yang seorang wajahnya penuh bekas penyakit cacar (bopeng) dan yang seorang lagi mukanya hitam seperti pantat kuali.

   "Omitohud... seorang wanita yang masih muda dan cantik, pula berkepandaian tinggi, ternyata telah menjadi siluman keji... semoga Sang Buddha mengampuni dosa-dosamu...!"

   Hwesio tinggi besar itu berkata sambil merangkapkan kedua tangan di depan dadanya.

   "Losuhu, kalian salah sangka. Aku bukanlah siluman itu, akan tetapi aku bersama temanku itu bahkan menyelidiki siluman yang mengacau kota Heng-tung."

   Giok Keng berkata.

   "Harap losuhu suka membebaskan aku."

   Hwesio tinggi besar itu tertawa, juga dua orang hwesio lainnya tertawa.

   "Sudah sejak manusia mengenal istilah mencuri, tidak ada pencuri yang mau mengakui perbuatannya. Daripada engkau dipaksa dengan siksaan oleh yang berwajib untuk mengakui perbuatanmu, lebih baik engkau mengaku kepada pinceng di mana kausembunyikan harta dari hartawan Ciong yang kaucuri malam kemarin."

   "Losuhu, memang benar temanku yang melakukan pencurian malam kemarin, akan tetapi dia melakukan hal itu hanya untuk memancing keluarnya siluman yang selama ini mengganggu kota ini. Aku sungguh bukan maling, losuhu."

   "Hemm, siapa dapat menjamin bahwa bukan engkau maling atau siluman itu?"

   Sepasang mata yang besar itu memandang tajam penuh selidik dan Giok Keng merasa ngeri. Sepasang mata itu besar dan amat berpengaruh, juga menakutkan.

   "Losuhu, kalau kau tidak percaya kepadaku sebaiknya engkau tahu siapa aku sebenarnya. Nama keluargaku merupakan jaminan. Aku bernama Cia Giok Keng, puteri dari ketua Cin-ling-pai..."

   "Ohhhhh...!"

   Hwesio tinggi besar itu, juga dua orang hwesio lainnya, serentak bangkit dan mengeluarkan seruan kaget. Mata mereka terbelalak memandang kepada Giok Keng, dan mulut mereka terbuka, sampai beberapa lama mereka tidak mampu mengeluarkan kata-kata. Akhirnya, hwesio tinggi besar itu duduk lagi, mukanya menjadi merah dan dia berdehem beberapa kali untuk menenangkan jantungnya yang tadi berdebar keras sepasang matanya masih melotot dan memandang tajam penuh selidik ke arah muka yang cantik dan gagah itu.

   "Omitohud...!"

   Akhirnya dia menarik napas panjang.

   "Sungguh berani sekali engkau penjahat wanita mengaku sebagai puteri ketua Cin-ling-pai!"

   "Aku tidak bohong, losuhu!"

   Giok Keng berkata marah.

   "Siapa dapat menjamin kebenaran kata-katamu? Akan tetapi untuk menguji apakah benar engkau puteri ketua Cin-ling-pai, pinceng ingin mendengar apakah engkau kenal dengan nama Thian Hwa Cinjin?"

   "Ah, pendeta terkutuk itu?"

   Giok Keng cepat menjawab untuk meyakinkan hati hwesio ini bahwa dia benar puteri ketut Cin-ling-pai.

   "Tentu saja aku tahu. Thian Hwa Cinjin adalah ketua Pek-lian-kauw di wilayah timur, dahulu bertempat di muara Sungai Huai, di pantai Laut Kuning, seorang kakek yang tinggi jangkung dengan jenggot panjang, orangnya pesolek!"

   "Hemm, banyak orang tahu akan ketua Pek-lian-kauw itu, akan tetapi pengetahuanmu tentang dia belum meyakinan pinceng bahwa engkau benar puteri ketua Cin-ling-pai..."

   "Losuhu, aku yang telah membunuh pendeta keparat itu! Tanganku yang menganter nyawanya ke neraka!"

   Giok Keng berkata penuh semangat. Memang pengakuannya ini benar. Dalam cerita "Petualang Asmara"

   Dituturkan betapa kakek yang lihai, Thian Hwa Cinjin ketua Pek-lian-kauw wilayah timur itu tewas di tangan pendekar wanita ini! Hal itu terjadi sudah belasan tahun yang lalu ketika Cia Giok Keng masih seorang gadis perkasa yang keras hati.

   Mata hwesio tinggi besar itu terbelalak dan sejenak dia dan dua orang temannya itu diam saja, memandang kepada Giok Keng dengan sinar mata penuh perhatian. Giok Keng menanti, tidak tahu apa yang terpikir oleh tiga orang hwesio tua itu. Kalau saja dia tahu, tentu pendekar wanita ini akan terkejut setengah mati. Siapakah hwesio tinggi besar ini? Dia ini bukan lain adalah Kim Hwa Cinjin, seorang tosu Pek-lian-kauw dan seorang tokoh karena dia ini adalah ketua Pek-lian-kauw wilayah selatan! Juga dua orang "hwesio"

   Bermuka bopeng dan hitam di belakangnya itu adalah dua orang sutenya. Tokoh-tokoh Pek-lian-kauw pula! Bersama belasan orang anak buahnya, Kim Hwa Cinjin hendak meluaskan pengaruh Pek-lian-kauw ke pedalaman dan tibalah mereka di kota Heng-tung itu. Seperti biasa, anak buah Pek-lian-kauw yang tadinya adalah orang-orang dari golongan hitam ini melakukan pekerjaan mereka dengan diam-diam dan rahasia.

   Untuk itu, Kim Hwa Cinjin lalu menyergap para hwesio di Kuil Ban-hok-tong di sudut kota itu, dan menggantikan pekerjaan para hwesio dengan anak buahnya yang sudah terlatih. Tentu saja mereka semua menggunduli kepala dan kepada para tamu mereka memberitahukan bahwa mereka adalah hwesio-hwesto pangganti yang dikirim dari kuil pusat karena hwesio-hwesio lama sedang digembleng di kuil pusat! Dan bersama dengan datangnya rombongan Pek-lian-kauw ini di kota Heng-tung, mulailah kota itu diganggu "siluman". Tentu saja siluman itu bukan lain adalah orang Pek-lian-kauw yang dipimpin oleh Kim Hwa Cinjin yang lihai. Dan gadis-gadis itu diculik untuk "makanan"

   Mereka yang sudah biasa mengumbar nafsu rendah mereka dengan jalan kekerasan,

   Sedangkan harta-harta curian mereka pergunakan untuk memperluas kekuatan Pek-lian-kauw. Dengan menyamar sebagai hwesio-hwesio Ban-hok-tong, tentu saja kawanan Pek-lian-kauw ini dapat beroperasi dengan aman, kerena siapakah yang akan menduga bahwa hwesio-hwesio itu adalah orang-orang jahat? Pula, gadis-gadis yang diculik dan harta itu disimpan di dalam kamar-kamar kuil yang besar itu tanpa ada yang berani menggeledahnya, bahkan tidak ada yang menduganya sama sekali. Ketika Kim Hwa Cinjin yang merobohkan Giok Keng dengan debu racun pembius merah itu melihat Giok Keng, berahinya sudah timbul dan berkobar. Dia sudah bosan dengan gadis-gadis culikan, wanita-wanita yang masih amat muda dan lemah, wanita-wanita yang baginya masih mentah dan hanya menangis dan minta ampun.

   Kini, melihat seorang wanita seperti Giok Keng, yang "matang"

   Bentuk badannya, yang selain cantik jailta juga mengandung kegagahan, yang memiliki sin-kang kuat dan ilmu silat tinggi, dia sudah mengilar dan tentu saja dia sengaja menangkap hidup-hidup wanita ini untuk menjadi kekasihnya yang tentu akan menyenangkan dan memuaskan hatinya yang selalu dilanda kehausan nafsu itu. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia mendengar bahwa wanita menggairahkan yang kini terbelenggu dan terlentang didepannya, yang tinggal menunggu dia turun tangan mempermainkannya, ternyata adalah Cia Giok Keng, pembunuh dari rekannya, Thian Hwa Cinjin. Wanita ini adalah puteri ketua Cin-ling-pai dan teringat akan nama Cin-ling-pai, bulu tengkuknya sudah meremang dan perasaan gentar mengusir jauh-jauh semua nafsu berahinya!

   Bergidik mengenangkan betapa dia tadi ingin memperkosa dan mempermainkan wanita ini. Untung dia lebih dulu menyelidikinya, karena kalau sudah terlanjur dia memperkosa puteri ketua Cin-ling-pai, ngeri dia membayangkan akibatnya! Akan tetapi dia tidak akan membebaskan wanita ini begitu saja! Tentu saja tidak! Dia harus membalaskan kematian rekannya, Thian Hwa Cinjin dan biarpun dia tidak akan memperkosa atau membunuh wanita ini, akan tetapi ada jalan lain yang lebih bagus, bahkan amat bagus, untuk menghancurkan nama wanita musuh Pek-lian-kauw ini dan sekaligus mencemarkan nama Cin-ling-pai. Dia akan menyerahkan wanita ini kepada yang berwajib sebagai "siluman"

   Yang selama ini mengacau Heng-tung! Akhirnya Kim Hwa Cinjin dapat menguasai hatinya yang terguncang dan dia berkata,

   "Omitohud... agaknya benar keteranganmu. Akan tetapi, sebelum ada bukti-bukti yang nyata, harap maafkan bahwa kami belum dapat membebaskanmu begitu saja, toanio. Kami harus dapat melihat bukti dan saksi, yaitu harta dari hartawan Ciong dan temanmu itu, untuk melihat apakah bukan dia siluman yang menculik wanita-wanita."

   "Dia adalah seorang maling tunggal yang terhormat. Dia adalah Jeng-ci Sin-touw Can Pouw dari Tai-goan yang juga datang untuk menyelidiki siluman yang mengacau Hek-tung. Dialah yang menggunakan akal mencuri harta itu untuk memancing munculnya siluman dan sekarang dia menanti di rumah penginapan, dan harta itu masih berada di sana karena memang akan kami kembalikan kalau siluman itu sudah tertangkap."

   "Baik, kami akan membuktikan keteranganmu itu. Sute, kalian pergilah ke rumah penginapan itu dan lihat apa benar harta itu disembunyikan di sana. Kalau benar, bawa harta itu ke sini, dan juga Jeng-ci Sin-touw!"

   "Baik, suheng,"

   Jawab hwesio muka bopeng dan mereka berdua lalu pergi mtninggalkan kamar itu.

   "Toanio tentu maklum bahwa dalam keadaan seperti sekarang ini, pinceng belum berani membebaskan toanio. Tunggu kalau semua bukti dan saksi sudah lengkap, tentu kami akan membebaskan toanio atau minta kepada pejabat untuk memutuskan persoalan ini. Harap toanio maafkan pinceng."

   Kata Kim Hwa Cinjin dengan sikap sopan dan alim, kemudian dia melangkah keluar meninggalkan Giok Keng terbelenggu di atas pembaringan. Beberapa orang hwesio nampak menjaga di luar kamar itu dan Giok Keng terpaksa menggigit bibir dengan gemas.

   Akan tetapi, dia tidak dapat menyalahkan hwesio-hwesio ini yang tentu saja bersikap hati-hati. Dia makin marah dan penasaran kepada "siluman"

   Itu yang seperti mempermainkan mereka semua dan diam-diam dia berjanji akan membasmi siluman itu dan tidak akan pergi meninggalkan Heng-tung sebelum berhasil menangkap atau membunuh siluman itu! Baru satu kali itu selama hidupnya Jeng-ci Sin-touw Can Pouw kehabisan akal dan bingung tak tahu apa yang harus dilakukan! Biasanya dia adalah seorang yang cerdik dan tidak kekurangan akal. Akan tetapi sekarang, malam itu, dia kelihatan termenung di dalam kamarnya, berulang-ulang menggaruk kepalanya yang awut-awutan. Topi yang biasanya tak pernah meninggalkan kepala itu sekarang menggeletak di atas meja, di dekat bungkusan uang emas yang dicurinya dari gedung hartawan Ciong malam kemarin.

   "Sialan!"

   Gerutunya dan dia membuka kantung itu, melihat uang emas yang berkilauan.

   "Uang sialan!"

   Dia menonjok ke arah kantung itu. Dia telah mengatur akal, dan memang siluman itu telah keluar, akan tetapi sekarang siluman itu hilang lagi, bahkan pendekar wanita puteri ketua Cin-ling-pai juga hilang bersamanya! Celaka, pikirnya. Bagaimana kalau sampai pendekar wanita itu tertimpa malapetaka? Siluman belum tertangkap, malah pendekar wanita itu celaka. Dan ke mana dia harus mencari siluman itu dan pendekar wanita itu? Mencari siluman itu saja sudah susah payah sampai kini belum berhasil, kini ditambah lagi harus menyelidiki lenyapnya puteri ketua Cin-ling-pai.

   "Uang sialan! Siluman sialan!"

   Dia berkata agak keras dan kembali menonjok ke arah kartung uang.

   "Hemm, kiranya di sini kau sembunyi!"

   Tiba-tiba jendela itu terbuka dari luar dan seorang laki-laki tampan berpakaian sederhana meloncat masuk dengan sikap tenang sekali.

   Melihat seorang laki-laki yang tak dikenalnya masuk melalui jendela, tentu saja Can Pouw terkejut setengah mati dan dia segera menduga bahwa inilah silumannya! Maka, tanpa banyak cakap lagi dia lalu menerjang maju menggunakan gin-kangnya yang lumayan sehingga gerakannya cepat sekali dan dia sudah menerkam seperti seekor harimau kelaparan yang menubruk seekor kelinci. Akan tetapi sang kelinci ternyata bukan kelinci sembarangan, karena entah bagaimana si Jari Seribu tidak mengerti, tahu-tahu dia merasakan kaki dan tangannya lumpuh dan dia sudah terbanting jatuh ke atas lantai! Laki-laki itu memandang ke arah uang emas yang nampak di dalam karung terbuka, lalu menoleh kepada Can Pouw. Can Pouw sudah bergerak meloncat, akan tetapi tiba-tiba tengkuknya dicengkeram oleh tangan yang amat kuat dan terdengar laki-laki itu menghardik,

   "Manusia busuk! Jadi engkaukah silumannya di kota ini? Hayo katakan di mana kau sembunyikan gadis-gadis itu dan harta-harta yang lain!"

   "Sialan...!"

   Can Pouw memaki gemas.

   "Siluman sial dangkalan!"

   Siapa tidak menjadi gemas? Dia malah disangka siluman itu!

   "Eh, apa maksudmu?"

   Laki-laki itu menghardik.

   "Hayo lekas mengaku, siluman keji!"

   "Bagaimana saya harus mengaku kalau bukan saya silumannya?"

   Dia balas bertanya penuh kemendongkolan.

   "Hemm, sudah tertangkap basah masih mencoba untuk menyangkal! Bukankah uang emas di meja itu hasil curianmu?"

   "Memang, akan tetapi hal itu kulakukan untuk memancing keluarnya siluman yang aseli! Sudahlah, siapapun adanya engkau, yang tadinya kusangka adalah si siluman yang aseli, kalau tidak percaya kepada Jeng-ci Sin-touw Can Pouw, kau boleh bertanya kepada puteri ketua Cin-ling-pai! Nah, kalau kepada puteri ketua Cin-ling-pai kau masih juga tidak percaya, agaknya memang engkau inilah silumannya!"

   
Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Orang itu kelihatan terkejut bukan main.

   "Apa? Siapa? Puteri ketua Cin-ling-pai? Apa maksudmu? Di mana dia?"

   Tubuh Can Pouw terguncang ke kanan kiri sehingga dia merasa seolah-olah semua tulangnya rontok.

   "Eh-eehhhh... bagaimana aku bisa menjawab hujan pertanyaan itu kalau aku kau goncang-goncang seperti ini?"

   "Brukk!"

   Tubuh Can Pouw dilempar ke atas kursi dan laki-laki itu berkata.

   "Cepat kau ceritakan yang sebenarnya dan mengapa kau membawa-bawa nama puteri ketua Cin-ling-pai?"

   Can Pouw meraba-raba tengkuknya yang masih terasa nyeri, lalu memandang kepada laki-laki itu dengan mata agak dipicingkan. Memang matanya sudah agak lamur selama beberapa bulan ini sehingga kalau hendak melihat sejelasnya, perlu agak dipicingkan. Dia melihat bahwa laki-laki itu berusia kurang dari empat puluh tahun, kelihatan masih muda, berwajah tampan, bersikap tenang dan berpakaian sederhana, akan tetapi ada sinar duka di kedua matanya yang luar biasa tajamnya itu. Can Pouw adalah seorang kang-ouw yang berpengalaman, maka melihat keadaan laki-laki ini, dia mengerti bahwa dia berhadapan dengan orang pandai, dengan seorang pendekar, karena tidak mungkin laki-laki seperti ini menjadi jai-hoa-cat. Akan tetapi dia mendongkol karena kembali dia disangka siluman.

   

Petualang Asmara Eps 51 Pedang Kayu Harum Eps 35 Pedang Kayu Harum Eps 52

Cari Blog Ini