Ceritasilat Novel Online

Pendekar Lembah Naga 52


Pendekar Lembah Naga Karya Kho Ping Hoo Bagian 52



"Bi Cu...!"

   Teriakan Sin Liong ini nyaring sekali karena memang dia kaget bukan main melihat betapa tubuh Bi Cu juga melayang dan meluncur turun. Sama sekali tidak disangkanya bahwa dara itu akan melakukan perbuatan senekat itu, menyusul dia terjatuh ke dalam jurang dengan meloncat. Kalau dia sendiri yang terjatuh, tentu dia akan mencari akal untuk dapat terhindar dari ancaman maut, akan tetapi kini Bi Cu juga turut jatuh, maka seketika dia menjadi nanar dicekik rasa khawatir yang hebat. Dia terjatuh dalam keadaan terjengkang, maka tubuhnya terlentang. sedangkan Bi Cu yang meloncat itu menelungkup. Cepat Sin Liong menyambar tangan kiri Bi Cu dan dia berhasil menangkap pergelangan lengan kiri dara itu. Lalu dia merangkul pinggang Bi Cu dengan erat. Bi Cu juga merangkul sambil memejamkan mata karena ngeri.

   "Sin Liong...!"

   Isaknya.

   Biarpun maklum bahwa mereka melayang ke dalam jurang yang seolah-olah tanpa dasar saking dalamnya, dan bahwa tubuh mereka tentu akan hancur lebur kalau menimpa dasar jurang, namun Sin Liong tidak mau kehilangan semangat dan kesadarannya. Selagi masih hidup dia harus berdaya upaya menyelamatkan diri! Dengan cepat kedua tangannya merenggut kancing baju di depan tubuhnya. Untung pinggang Bi Cu amat ramping sehingga biarpun lengan kanannya sudah melingkari pinggang itu tangan kanannya masih dapat mencapai depan bajunya. Sekali renggut, terlepaslah semua kancing bajunya dan kini dia memegangi kedua ujung baju yang terbuka itu dengan kedua tangannya, dibentangkan seperti sayap. Usahanya berhasil! Dia merasakan tekanan dari bawah seolah-olah luncuran mereka berdua agak tertahan sedikit, tidak selaju tadi, dan bajunya yang dibentangkan itu mengembang dan menangkap angin.

   "Bi Cu, cepat buka bajumu... kembangkan bajumu seperti ini... seperti layar...!"

   Teriaknya. Bi Cu menghentikan isaknya. Mula-mula dia tidak mengerti mengapa dia disuruh membuka bajunya. Akan tetapi ketika dia memberanikan hati membuka mata dan melihat apa yang dilakukan Sin Liong,

   Dia cepat menggerakkan kedua tangannya, dengan jari-jari gemetar dia merenggut bajunya. Setelah dirobeknya baju itu dan di lain saat diapun sudah memegangi ujung kanan kiri bajunya yang dibentangkan. Kembali ada tenaga menahan dari bawah ketika baju itu menangkap angin dan mengembang. Luncuran mereka tertahan dan tidak secepat tadi, akan tetapi tentu saja kedua "layar"

   Itu tidak cukup kuat untuk menahan dan tubuh mereka masih terus meluncur ke bawah. Sambil merangkul pinggang Bi Cu, Sin Liong miringkan tubuhnya dan memandang ke bawah. Hampir pingsan dia karena pening ketika melihat bawah yang demikian dalamnya, akan tetapi dia menggoyang kepala mengusir kepeningan dan rasa ngeri. Dia melihat sebatang pohon yang tumbuh di dinding tebing itu. Pohon yang cukup besar.

   Itulah yang akan menolong kita, pikirnya. Kalau gagal mereka tentu akan tewas! Dia lalu mengerahkan tenaganya, menggerakkan kakinya sehingga tubuhnya bersama tubuh Bi Cu melayang agak dekat dengan tebing. Pohon itu seperti melayang ke atas, makin lama makin besar mendekati mereka. Memang berbahaya sekali. Kalau terlalu dekat dengan tebing tubuh mereka meluncur, membentur batu tebing sedikit saja, tentu mereka akan tewas sebelum tiba di dasar jurang. Pohon itu makin besar kini, seolah-olah terbang naik ke arah mereka, bukan mereka yang meluncur ke arah pohon. Sin Liong siap dengan tangan kirinya sedangkan lengan kanan tetap merangkul pinggang Bi Cu. Biar maut sekalipun tidak akan mampu memaksa dia melepaskan pinggang dari rangkulan lengan kanannya itu.

   "Bresssss...!"

   Mereka telah tiba di tengah-tengah pohon itu dan tubuh mereka berhenti meluncur. Sin Liong telah berhasil! Tangan kirinya dapat menangkap sebatang cabang pohon itu dan mereka bergantung di situ. Pakaian mereka robek-robek dan tubuh mereka lecet-lecet, bahkan Bi Cu yang masih dirangkul pinggangnya oleh lengan kanan Sin Liong itu terkulai lemas. Pingsan! Sin Liong cepat menarik dirinya duduk di atas cabang, lalu menarik Bi Cu, dipangkunya di tempat aman itu, di dahan yang bercabang. Lengan kirinya terasa nyeri bukan main. Baru terasa setelah dia dapat duduk dengan aman di atas dahan. Ketika digerakkannya lengan itu, hampir dia menjerit dan tahulah dia bahwa lengan itu terkilir pada sambungan paling atas dekat pundak.

   "Bi Cu... Bi Cu... sadarlah...!"

   Berkali-kali dia memanggil dara yang dipangkunya dan dirangkulnya itu. Dalam keadaan lengan kirinya terkilir, sukarlah baginya untuk melanjutkan mencari jalan selamat. Mereka masih tergantung di dalam pohon besar itu yang tumbuh agak miring di dinding yang terjal. Di bawah curam sekali dan mereka belumlah terbebas sama sekali dari bahaya, sungguhpun sementara ini tidak lagi terancam maut seperti tadi. Akhirnya Bi Cu bergerak lemah dan bibirnyapun bergerak, berbisik lirih,

   "Sin Liong... ah, Sin Liong... jangan tinggalkan aku...!"

   Hampir Sin Liong tertawa. Gadis ini seperti orang tidur mengigau saja! Akan tetapi hatinya terharu karena igauannya itu membayangkan rasa takutnya, bukan takut mati karena seorang gadis seperti Bi Cu agaknya tidak takut akan kematian, melainkan takut ditinggalkan sendirian di atas sana, bersama Pangeran Ceng Han Houw dan para musuh itu! Mengingat pangeran itu, Sin Liong menggeram di dalam batinnya.

   Sungguh kejam sekali pangeran itu! Mengapa dahulu dia selalu menganggap pangeran itu orang yang baik budi? Sekarang dia mulai sadar bahwa apapun yang dilakukan oleh pangeran itu adalah demi kepentingan pangeran itu sendiri. Andaikata ada perbuatannya yang nampak baik, seperti ketika menyelamatkennya dahulu itu, maka perbuatan itu bukanlah terdorong oleh hati yang baik, melainkan dipergunakan sebagai siasat demi kepentingan dan keuntungan dirinya sendiri belaka. Baru kini terbuka matanya dan dia mengenal betul orang macam apa adanya Ceng Han Houw yang selama ini dianggapnya sebagai kakak angkat! Kini Bi Cu sudah membuka matanya. Terbelalak dia ketika melihat betapa dia berada di atas dahan, dikelilingi daun-daun yang begitu banyaknya dan tubuhnya terasa sakit-sakit. Teringatlah dia dan dia terbelalak bertanya,

   "Eh, Sin Liong, kita... kita ini di alam baka? Ini sorga atau neraka?"

   Kini Sin Liong tidak dapat menahan ketawanya. Akan tetapi dia menyeringai karena lengan kirinya terasa nyeri sekali.

   "Heiii, kita di mana ini? Di dalam pohon? Jadi kita belum mati? Wah, ngeri... begini tingginya!"

   Bi Cu kini merangkul dahan yang berada di atasnya sambil memandang ke bawah dengan mata terbelalak.

   "Kita masih hidup, Bi Cu. Pohon ini menolong kita, akan tetapi lengan kiriku... ah, sakit bukan main, terkilir agaknya. Harus dikembalikan ke tempatnya sebelum aku dapat mencarikan jalan keluar dari sini."

   "Ah, kenapa sampai terkilir, Sin Liong? Hemm, aku mengerti sekarang. Tentu ketika melayang jatuh tadi engkau menggunakan tangan kirimu menyambut dahan pohon! Betul tidak?"

   Sepasang mata itu bersinar-sinar penuh kegembiraan seperti anak-anak yang dapat menebak teka-teki dengan tepat.

   "Aihhhh... kau ini!"

   Sin Liong tersenyum lebar, tak dapat ditahannya itu karena sikap Bi Cu yang demikian lincah gembira, padahal mereka berada di mulut maut! Akan tetapi karena pundak kirinya terasa nyeri bukan main, senyumnya menjadi senyum menyeringai.

   "Sakit sekalikah, Sin Liong?"

   Bi Cu bertanya sambil memegang lengan kiri itu, akan tetapi tubuhnya bergoyang dan cepat dia menyambar dahan di atasnya lagi dan memandang ke bawah dengan ngeri. Hampir dia lupa agaknya bahwa dia duduk di atas dahan pohon berada di tempat demikian curamnya. Gerakannya ini menarik lengan Sin Liong dan tentu saja pemuda itu berteriak saking nyerinya.

   "Ah, maaf, Sin Liong. Dapatkah aku membantu?"

   "Bi Cu, engkau harus menarik lenganku ini sampai tulangnya kembali ke tempat yang benar. Tariklah kuat-kuat dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirimu memegang dahan dan jangan lupa, kedua kakimu kauikatkan pada dahan di bawah itu. Hati-hati, tempat ini berbahaya sekali. Jangan terlalu banyak bergerak."

   Bi Cu mengangguk-angguk, lalu mencari tempat berpegang yang kuat, mengkaitkan kedua kakinya pada dahan di bawah, lalu mengulurkan tangan kanan.

   "Mana lenganmu, kesinikan!"

   Sin Liong sudah merangkul lengan kanan kepada sebatang dahan, memegang nya erat-erat lalu dia mengulurkan lengan kiri kepada gadis itu. Bi Cu menangkap pergelangan tangan Sin Liong, lalu mulai menarik. Sin Liong menyeringai, memejamkan mata karena rasa nyeri yang amat luar biasa terasa olehnya, kiut-miut rasanya, menusuk-nusuk dari pundak sampai ke seluruh tubuh.

   "Terus... terus... tarik terus sedikit lagi...!"

   Dia berkata terengah-engah. Bi Cu tidak tega melihat wajah pemuda itu yang menjadi basah oleh peluh yang besar-besar, akan tetapi dia menguatkan hatinya dan membetot terus sambil mengerahkan seluruh tenaganya.

   "Klokkk!"

   Terdengar suara pada sambungan lengan dan pundak.

   "Sudah...! Cukup...!"

   Seru Sin Liong. Bi Cu melepaskan pegangannya dan melihat betapa Sin Liong menyandarkan kepalanya pada dahan di depan dan lengan kirinya yang sudah tersambung kembali itu tergantung lemas.

   "Sin Liong... sakit sekalikah...?"

   Suara itu demikian lembutnya dan mengandung isak gemetar sehingga Sin Liong melupakan rasa nyerinya seketika, membuka mata dan memandang gadis itu sambil tersenyum.

   "Terima kasih, Bi Cu. Sekarang sudah baik kembali kedudukan tulangnya. Tinggal memulihkan saja. Sayang kita harus tetap tinggal di sini sampai lenganku dapat digerakkan kembali."

   Lalu dia bertanya heran.

   "Eh, engkau menangis? Engkau tentu... takut sekali, bukan?"

   Bi Cu menggunakan punggung tangan menghapus beberapa butir air mata di pipi dan yang tergantung di bulu mata. Dia menggeleng kepala.

   "Tidak takut, bukankah engkau juga di sini. Aku hanya... kasihan sekali padamu tadi. Mukamu menjadi mengerikan ketika engkau menahan nyeri tadi..."

   Sin Liong tersenyum.

   "Sekarang telah sembuh..."

   "Tapi kita tidak bisa ke mana-mana. Bagaimana kita dapat keluar dari tempat ini?"

   Sin Liong memandang ke arah dinding tebing. Memang tidak mudah. Akan tetapi kalau lengannya sudah sembuh, dia pasti akan menemukan jalan. Akan tetapi sekarang ini tidak mungkin. Hanya menggunakan sebelah lengan saja, mana bisa mencari jalan keluar. Dan benarkah Bi Cu yang mencari jalan keluar, dia tidak tega. Berbahaya sekali pekerjaanku itu. Dan untuk sementara waktu mereka aman di pohon itu. Pohon yang cukup besar dan kuat.

   "Kita terpaksa tinggal di sini, Bi Cu."

   "Sampai berapa lama?"

   "Sampai aku dapat menggerakkan kembali lengan kiriku."

   Demikianlah, dua orang muda itu tinggal di pohon itu seperti dua ekor kera! Dapat dibayangkan betapa sengsara keadaan mereka, apalagi karena lengan kiri Sin Liong belum juga sembuh. Mereka terpaksa melewatkan malam gelap di dalam pohon itu!

   "Hati-hati, jangan sampai engkau tertidur dan terlepas peganganmu sehingga jatuh ke bawah, Bi Cu."

   Sin Liong memperingatkan ketika cuaca sudah menjadi gelap. Hatinya khawatir sekali. Untung bahwa Bi Cu adalah seorang gadis yang berhati baja, dan juga berwatak riang gembira sehingga dalam keadaan seperti itupun masih suka bergurau! Sikap lincah jenaka ini membuat mereka tidak begitu merasakan penderitaan yang menekan lahir batin.

   "Kalau terlepas mengapa? Malah tidak lagi menderita hidup seperti kera kelaparan begini!"

   Jawab Bi Cu berolok-olok.

   "Engkau lapar, Bi Cu?"

   "Kau kira perutku terbuat daripada batu? Tentu saja aku lapar. Kau tidak?"

   "Mungkin."

   "Eh, mungkin bagaimana? Jangan berteka-teki engkau! Tinggal menjawab lapar atau tidak, mengapa mungkin? Habis rasanya bagaimana, lapar atau tidak?"

   "Aku bilang mungkin, karena menurut patut tentu lapar, akan tetapi tidak terasa karena kalah oleh rasa nyeri di pundakku dan rasa khawatir di hatiku."

   "Apa sih yang kaukhawatirkan?"

   "Kau masih bertanya lagi? Tentu saja keadaan kita ini. Apakah engkau tidak khawatir?"

   "Tidak! Sekarang kita masih hidup, bukan? Dan aman..."

   "Hanya lapar."

   "Ya, hanya lapar. Sayang aku tidak bisa memburu kelinci. Ah, enaknya daging kelinci bakar dimakan panas-panas, apalagi bagian paha dan pinggul, hemmm... sedap...!"

   Mau tidak mau Sin Liong tersenyum dan aneh, membayangkan gambaran itu, diapun mendadak merasa lapar! Akan tetapi hatinya masih khawatir sekali, bagaimana kalau gadis yang lincah itu menjadi lengah malam nanti, mengantuk dan terlepas lalu jatuh ke bawah sana. Dia menggigil kalau membayangkan kemungkinan ini, maka diam-diam di dalam keremangan senja, dia mulai menanggalkan bajunya dan dengan hati-hati dirobek-robeknya baju itu menjadi robekan panjang selebar tangan. Dia merobeknya dengan tangan kanan dan giginya, kemudian dia menggulung robekan-robekan itu menjadi tali yang cukup kuat dan menyambung-nyambungnya. Setelah selesai, dia lalu menyodorkan satu ujungnya kepada Bi Cu.

   "Bi Cu, kau terima ujung tali ini,"

   Katanya. Bi Cu menerima ujung tali itu, meraba-rabanya lalu berkata,

   "Hemm, sejak tadi engkau diam saja ternyata engkau membuat tali ini? Dari apa kaubuat?"

   "Dari bajuku."

   "Lalu untuk apa?"

   "Ikatkan ujungnya pada pinggangmu, yang kuat. Kalau engkau mengantuk dan terlepas, engkau tidak akan jatuh melainkan tergantung pada tali. Setelah kubelit-belitkan cabang-cabang yang kuat, ujung yang satu lagi akan kuikatkan pada pinggangku."

   Bi Cu tidak berkata apa-apa, akan tetapi dari tali yang bergerak-gerak Sin Liong tahu bahwa dara itu melaksanakan petunjuknya. Hatinya lega. Kini cuaca sudah gelap sekaii sehingga dia tidak dapat melihat Bi Cu. Bayangannyapun tidak, karena tidak ada bayangan apa-apa sama sekali. Gelap pekat malam itu, melihat tangannya sendiripun dia tidak mampu. Lama mereka dia saja. Sin Liong selalu mengingat keadaan Bi Cu. Tadi dia sudah melihat betapa dara itu telah mendapatkan tempat yang enak, di antara dahan besar yang bercabang tiga,

   Sehingga dara itu dapat duduk terjepit cabang dan tidak akan mudah jatuh dan dapat duduk dengan enak. Tentu saja seenak-enaknya orang melewatkan malam di atas pohon! Dia telah melibatkan tali itu pada dahan yang kuat, baru ujungnya diikatkan pada pinggangnya. Dengan demikian, andaikata salah seorang di antara mereka terlepas dan jatuh, tentu akan tertahan oleh dahan itu dan tergantung, sedangkan orang yang akan dapat menarik dan menyelamatkan yang jatuh. Dia merasa betapa ada gerakan-gerakan dari arah tempat Bi Cu duduk. Tali yang mengikat pinggangnya itu seolah-olah menghubungkan dia dengan Bi Cu, setiap dara itu bergerak akan terasa olehnya. Hal ini menimbulkan perasaan lega pula. Akan tetapi sampai lama Bi Cu tidak bicara, dan dia tidak dapat bertahan lagi.

   "Bi Cu, engkau tidak apa-apa, kan?"

   "Tentu saja apa-apa, berada dalam keadaan seperti ini dikatakan tidak apa-apa! Aku sedang memikirkan betapa lucunya keadaan kita ini. Tidakkah engkau merasa lucu, Sin Liong?"

   "Lucu?"

   Sin Liong mengingat-ingat akan tetapi tidak menemukan apa yang lucu.

   "Bagiku tidak lucu melainkan menyedihkan dan sengsara, terutama lengan kiriku."

   "Belum sembuhkah lengan kirimu, Sin Liong?"

   "Sudah agak mendingan,"

   Kata Sin Liong membohong. Pundaknya membengkak, nyerinya bukan main, akan tetapi letak tulangnya sudah benar.

   "Eh, Bi Cu, mengapa kau bilang lucu?"

   "Bayangkan saja! Kita saling berpisah, lalu saling jumpa. Dan lihat, apa yang kita alami bersama. Kita terjatuh ke dalam jurang maut, akan tetapi tidak mati dan tersangkut pada pohon ini dan kita terpaksa menjadi dua ekor monyet di sini! Lucu tidak?"

   "Mengapa engkau ikut meloncat ke dalam jurang? Sungguh bodoh sekali perbuatanmu itu, mempermainkan nyawa sendiri,"

   Sin Liong menegur karena memang marah dia kalau teringat betapa dara itu hampir membuang nyawa dengan sia-sia dan mati konyol.

   "Apa?"

   Terdengar dara itu berkata marah.

   "Dan kau menghendaki aku berada di sana, di atas sana bersama jahanam-jahanam itu sedangkan engkau sendiri enak-enakan berada di bawah sini?"

   "Enak-enakan?"

   "Ya, enak-enakan! Seribu kali lebih enak berada di sini daripada berada di atas sana bersama iblis-iblis itu!"

   Bi Cu membentak.

   "Bi Cu..."

   "Sudahlah, aku mau tidur!"

   "Tidur...? Hati-hatilah, Bi Cu, jangan terlepas dan jatuh..., biarpun sudah terikat akan tetapi ngeri aku memikirkan kau jatuh..."

   "Peduli apa? Biar jatuh dan mampus!"

   Jawaban ini demikian penuh kemarahan sehingga mengejutkan Sin Liong. Dia tidak berani bicara lagi, hanya mengingat-ingat mengapa dara itu menjadi marah tidak karuan.

   Mungkin karena lapar, mungkin karena takut, dan diapun tidak boleh terlalu cerewet. Sin Liong duduk dan mengumpulkan napas, mengerahkan hawa murni untuk mengobati lengan kirinya. Dengan pengerahan hawa dari pusar, ia mengirim hawa yang panas itu menjalar naik dan memenuhi lengannya. Dia melakukan hal ini sesuai dengan pelajaran dari kitab yang diwarisinya dari Bu Beng Hud-couw. Dan ternyata hasilnya hebat sekali. Rasa nyeri di pundaknya perlahan-lahan lenyap, terbungkus hawa panas itu sehingga pundak yang tadinya berdenyut-denyut nyeri, kini menjadi nyaman dan denyut itu makin melemah dan akhirnya tidak terasa nyeri lagi. Dia melanjutkan usahanya itu, melupakan keadaan sekelilingnya. Dia harus dapat sembuh semalam ini agar besok dia dapat mencari jalan keluar untuk menyelamatkan dirinya bersama Bi Cu.

   "Sin Liong..."

   Entah berapa lamanya mereka berdiam sampai Bi Cu memanggilnya itu. Mungkin kini telah lewat tengah malam. Siapa tahu? Dia tadi dalam keadaan setengah bersamadhi dan lupa segala sehingga lupa pula akan waktu. Panggilan suara Bi Cu itu mengejutkan dan seperti menarik dia kembali kepada kenyataan bahwa dia dan Bi Cu berada, di dalam pohon di atas jurang yang curam, di tengah malam yang gelap pekat. Akan tetapi baru sekarang Sin Liong melihat perubahan bahwa cuaca tidaklah segelap tadi, bahkan dia dapat melihat bayangan tangannya sendiri sungguhpun dia tidak dapat melihat Bi Cu. Di langit terdapat bintang-bintang berkelap-kelip. Aneh sekali melihat bintang-bintang ini, membuat dia hampir tidak percaya bah"wa dia berada di dalam pohong "tergantung"

   Antara langit dan jurang, bukan di atas bumi seperti biasa.

   "Ada apakah, Bi Cu?"

   "Apakah engkau tidak lapar?"

   Tadinya Sin Liong sudah lupa segala, juga lupa akan perutnya yang kosong, maka begitu Bi Cu berkata lapar, otomatis perutnya lalu terasa perih dan lapar sekali. Akan tetapi bersama dengan itu, juga dia merasa lengan kirinya sudah sehat kembali, tidak nyeri sama sekali!

   "Tentu saja aku lapar. Dan engkau?"

   "Aku tidak lapar, aku sudah kenyang!"

   Hemm, mengajak bergurau lagi, pikir Sin Liong.

   "Engkau kenyang? Makan apa?"

   Dia melayani.

   "Makan paha kelinci panggang dalam khayal!"

   Bi Cu tertawa.

   "Tapi aku benar-benar kenyang, aku makan daun."

   "Daun?"

   "Ya, kau pilih daun-daun muda, di ujung ranting. Cobalah, enak tidak pahit dan banyak airnya, lumayan, Sin Liong."

   Sin Liong tertarik. Tangan kanannya meraih dan dengan meraba-raba dia dapat merasakan perbedaan antara daun tua dan daun muda yang lebih kecil dan lebih halus. Dipetiknya ujung ranting itu dan dengan hati-hati dimakannya sehelai daun muda. Tentu saja bau daun, akan tetapi tidak bau busuk dan tidak pahit, bahkan ada manis-manisnya sedikit. Maka dimakannya daun itu sampai beberapa helai.

   "Bagaimana rasanya?"

   "Kau benar. Daun ini cukup enak dimakan!"

   "Hi-hik, engkau harus berterima kasih kepadaku, Sin Liong. Penemuanku ini memungkinkan kita hidup di atas pohon ini seperti dua ekor kera, bukan hanya untuk beberapa hari, bahkan mungkin untuk selamanya!"

   "Apa? Selamanya? Mana mungkin?"

   "Mungkin saja! Kita setiap hari makan daun muda, dan daun-daun muda itu tentu akan tumbuh lagi, demikian setiap hari. Kita tidak akan kehabisan daun muda. Daun itu mengandung air, jadi kita tidak akan kehausan pula, dan andaikata kehausan, kalau hujan turun, kita tinggal berdongak dan membuka mulut saja! Hi-hik!"

   "Tapi mana mungkin kita dapat hidup dan makan daun-daun saja?"

   "Siapa bilang tidak mungkin? Eh, Sin Liong, mengapa engkau begitu bodoh? Ingat, binatang-binatang yang terbesar dan terkuat di dunia ini, seperti kerbau, sapi, kuda, bahkan gajah itu makan apa saja? Tidak makan daging tidak makan capcai atau mi bakso, melainkan makan daun dan rumput saja. Akan tetapi mereka itu bukan hanya hidup, bahkan hidup lebih sehat dan lebih kuat daripada manusia!"

   "Tapi kita ini manusia, bukan kerbau..."

   
Pendekar Lembah Naga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Memang, tapi otakmu lebih bodoh daripada kerbau!"

   Kembali Bi Cu berkata dengan nada suara marah.

   "Bi Cu... aku..."

   "Sudahlah! Memang aku yang cerewet dan tolol!"

   Kini suara itu bukan hanya marah, bahkan mengandung isak! Sin Liong melongo. Untung cuaca masih terlampau gelap untuk mereka dapat saling melihat, kalau tidak tentu dia akan nampak lucu sekali. Dia benar-benar bingung menghadapi Bi Cu. Mengapa Bi Cu demikian mudah tertawa gembira, bergurau, akan tetapi di lain saat sudah marah-marah dan cengeng? Hening lagi sampai lama Sin Liong merasa menyesal sekali bahwa dia begitu bodoh tidak dapat menyelami watak Bi Cu sehingga dia selalu membuat dara itu marah-marah. Padahal Bi Cu sudah begitu baik kepadanya.

   "Bi Cu, kaumaafkanlah aku kalau aku bersalah kepadamu dan membuatmu marah. Percayalah, aku sungguh mati tidak sengaja membikin engkau marah. Aku menyesal akan kebodohanku."

   "Siapa bilang engkau bodoh? Engkau terlalu pintar, engkau lihai bukan main, engkau seorang pendekar sakti yang bersikap sederhana dan bodoh, saking pintarnya maka engkau tidak memperhatikan seorang gadis tolol macam aku yang cerewet sehingga aku dibikin kesal...!"

   "Maafkan, aku Bi Cu..., aku tidak mengerti mengapa aku selalu membuatmu marah... tadipun engkau sudah marah-marah..."

   "Tentu saja aku marah, habis engkau selalu menghendaki aku tidak berada di sini bersamamu, engkau lebih senang aku berada bersama iblis-iblis itu. Engkau sungguh mati tidak menghargai orang, aku suka bersamamu, hidup mati, dan engkau cerewet saja mengkhawatirkan diriku. Mengapa engkau tidak mengkhawatirkan dirimu sendiri?"

   "Ahhh...!"

   "Apalagi ah-ah!"

   Sin Liong kini mengerti dan diapun sadar bahwa dia terlalu mengkhawatirkan keselamatan Bi Cu, tidak ingat bahwa Bi Cu memang tadinya sengaja menyusulnya untuk mati bersama!

   "Tidak apa-apa, hanya aku sudah merasa salah. Engkau tentu mau memaafkan aku, bukan? Ataukah tiada maaf bagiku?"

   "Sudahlah, perutku sudah kenyang, aku mau mengaso."

   Sin Liong lalu memetik lagi daun-daun muda dan mengisi perutnya yang kosong dengan daun-daun muda itu. Seperti sayur mentah, akan tetapi bukan tidak enak, dan lumayan untuk menahan perihnya perut. Akan tetapi semalam dia tidak tidur, mana mungkin dia tidur? Dia harus menjaga Bi Cu, siap menolong kalau-kalau dara itu terjatuh dan tergantung pada tali. Timbul kekhawatirannya, jangan-jangan dara itu kurang kuat mengikat pinggangnya. Hampir saja mulutnya bertanya, akan tetapi ditahannya karena dia teringat bahwa hal itu malah akan membikin marah dara yang berwatak aneh itu.

   Maka diapun melanjutkan menghimpun hawa murni untuk mengobati lengannya kirinya yang biarpun kini sudah tidak terasa nyeri namun dia masih belum berani untuk mempergunakannya dengan pengerahan tenaga. Luka-luka di tempat sambungan tulang tentu belum pulih benar, pikirnya, maka berbahaya kalau dipakai untuk bekerja berat. Dan ternyata selanjutnya Bi Cu tidak lagi mengeluarkan suara, sungguhpun kadang-kadang dia masih melakukan gerakan perlahan. Dan tidak ada terdengar napasnya yang menyatakan bahwa dara itu tertidur. Tahulah Sin Liong bahwa Bi Cu memang sengaja diam saja sungguhpun dara itu juga tidak dapat tidur dalam keadaan seperti itu. Pada keesokan harinya, begitu sinar matahari pagi mengusir kegelapan dan mereka dapat saling melihat, Bi Cu segera berkata.

   "Bagaimana dengan lengan kirimu?"

   Sin Liong menggerak-gerakkan lengan kirinya.

   "Sudah tidak nyeri lagi, akan tetapi luka di sekitar sambungan masih belum pulih benar, kiraku belum mungkin dapat dipakai bekerja berat. Kalau sampai luka-luka itu pecah lagi, akan sukarlah pulihnya tanpa obat."

   "Kalau begitu biar kita tinggal di sini sampai kau sembuh betul!"

   Kata Bi Cu akan tetapi Sin Liong masih dapat menangkap nada suara yang amat kecewa, yang ditutup dengan kemauan keras dan dara itu mengatupkan bibirnya kuat-kuat setelah berkata demikian. Tentu dara itu telah menderita hebat sekali duduk semalam suntuk di atas dahan itu, pikir Sin Liong.

   "Biarpun aku belum dapat bekerja berat dengan lengan kiriku, akan tetapi kiranya aku akan dapat mencarikan tempat yang lebih enak untuk kita, bukan di atas pohon ini, Bi Cu. Kau tinggallah di sini dulu, aku yang mencari tempat yang baik di tebing itu."

   "Aku tidak mau di sini sendiri. Aku harus ikut!"

   Kata Bi Cu dan Sin Liong tidak mau membantah. Dia melepaskan ikatan di pinggangnya.

   "Baiklah, lepaskan ikatan di pinggangmu itu. Tali ini akan ada gunanya kelak."

   Bi Cu melepaskan tali yang diikatkan di pinggangnya. Baru tahulah Sin Liong bahwa ikatan itu kuat sekali sehingga sukar bagi Bi Cu untuk membuka simpulnya. Ternyata kekhawatirannya semalam tidak ada gunanya.

   "Eh, kenapa kau masih memakai bajumu? Bukankah bajumu sudah kaurobek-robek untuk dijadikan tali ini?"

   "Itu baju dalamku yang terbuat dari sutera, lebih lemas dan lebih kuat."

   "Baju dalam sutera? Wah, tentu indah dan mahal sekali...!"

   "Memang, itu baju adik angkat pangeran! Pemberian Pangeran Ceng Han Houw."

   "Ihhh!"

   Bi Cu melepaskan ujung tali itu seperti orang merasa jijik. Sin Liong menggulung dan menyimpan di saku bajunya.

   "Mari kauikuti aku, tapi hati-hatilah, Bi Cu."

   Mulailah keduanya merangkak di antara dahan-dahan dan daun-daun pohon, Sin Liong di depan, diikuti oleh Bi Cu, mendekati tebing ketika mereka merangkak turun dari pohon yang tumbuh miring di tebing itu. Pohon itu besar dan cukup tinggi, dan batangnya ternyata besar dan kokoh kuat, tertanam di dalam tebing di antara batu-batu. Sin Liong turun dari batang itu, matanya mencari-cari jalan dan diapun turun ke atas celah-celah batu yang besar. Dia menanti sebentar untuk memberi kesempatan Bi Cu juga turun. Ketika Bi Cu sudah
(Lanjut ke Jilid 49)
Pendekar Lembah Naga (Seri ke 04 "

   Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 49
menaruh kakinya ke celah-celah batu besar dan memandang ke bawah, dia menjerit dan Sin Liong cepat merangkulnya. Tubuh Bi Cu menggigil dan mengertilah Sin Liong apa yang menyebabkan dara itu ketakutan seperti itu.

   "Jangan melihat ke bawah! Pula, di sini tidak berbahaya, di atas pohon itu lebih berbahaya lagi!"

   Katanya menghibur dan akhirnya Bi Cu dapat tenang kembali akan tetapi dia tidak mau memandang ke bawah.

   Memang mengerikan sekali kalau memandang ke bawah yang demikian curamnya. Membayangkan tubuh melayang ke bawah saja sudah membuat jantung berdetak dan kaki menggigil. Sin Liong mencari jalan dengan hati-hati karena lengan kirinya tidak dapat dipakai untuk bergantung, terlalu berbahaya untuk mencoba itu. Akhirnya mereka tiba di tepian yang lebarnya ada dua meter dan panjangnya empat meter, tempat datar sempit ini ditumbuhi rumput dan merupakan jalan buntu karena dikelilingi batu-batu yang bersusun rata sehingga tentu amat licin dan tidak mungkin didaki. Jalan satu-satunya dari daratan sempit ini hanyalah jalan yang mereka lalui tadi, yang menuju ke pangkal batang pohon besar. Betapapun juga, menemukan tempat ini membuat mereka merasa lega.

   Bi Cu gembira sekali dan diapun lalu menjatuhkan diri rebah terlentang dengan tarikan napas lega. Tubuhnya yang terasa lelah semua itu kini dapat berbaring sesukanya di atas rumput dan sebentar saja dara itu sudah tidur pulas, miring menghadap dinding batu! Sin Liong merasa terharu dan kasihan sekali. Sampai lama dia memandangi wajah dara yang tidur pulas itu, tidur sambil tersenyum seolah-olah tiada apapun yang mengancam mereka. Dara itu agaknya merasa beruntung sekali dan lapang hatinya setelah menemukan tempat datar ini sehingga tidurnya demikian nyenyak dan enak. Sin Liong lalu bangkit berdiri, mengambil keputusan untuk mencari jalar keluar dari tempat itu. Akan tetapi baru saja beberapa langkah dia meninggalkan Bi Cu, dia teringat dan cepat dia membalikkan tubuhnya, menghampiri batu sebesar sepelukan tangan dan mengangkat.

   Akan tetapi baru sedikit dia mengerahkan tenaga pada lengan kirinya, dia hampir berteriak kesakitan, maka cepat dia melepaskan kembali batu itu. Untung tidak dipaksanya mengangkat tadi. Jelaslah bahwa lengan kirinya belum boleh dipergunakan untuk bekerja berat dan harus beristirahat beberapa hari sampai pulih betul. Kini dia hanya menggunakan tangan kanannya, disusupkannya jari-jari tangannya ke bawah batu dan diangkatnya dengan ringan saja lalu batu itu dibawa dan diletakkan di tepi jurang. Dia memindahkan empat buah batu yang cukup berat dan cukup menjadi penjaga dan penahan tubuh Bi Cu kalau-kalau dara itu dalam tidurnya bergerak dan bergulingan sampai ke tepi jurang! Setelah yakin bahwa Bi Cu tidak akan terancam bahaya terguling ke dalam jurang,

   Baru dia meninggalkan Bi Cu dan mencurahkan perhatiannya untuk mencari jalan keluar. Ditelitinya semua bagian dari dataran sempit itu, melihat ke kanan kiri, ke atas bawah dan depan belakang, mencari-cari jalan yang dapat mereka lalui untuk mendaki ke atas. Namun, dataran itu benar-benar merupakan jalan buntu, dan satu-satunya yang dapat dilalui hanyalah yang menuju ke pohon besar itu! Jalan naik ke atas tidak mungkin didaki karena batu-batu itu tersusun demikian rata sehingga merupakan dinding rata yang amat tinggi. Tidak mungkin mendaki tempat seperti itu. Dengan menggunakan sin-kang sekuatnya, mungkin juga dia dapat naik untuk beberapa belas tombak tingginya, akan tetapi tidak mungkin kuat bertahan sampai naik setinggi itu, puluhan, bahkan ratusan tombak tingginya.

   Dan itupun terkandung bahaya, yaitu sekali kakinya terpeleset, tubuhnya akan jatuh dan biarpun dengan ilmu apa juga dia tidak akan dapat menyelamatkan dirinya lagi! Apalagi kalau harus menggendong Bi Cu. Dia tidak mau mengambil resiko berbahaya seperti itu! Setelah memeriksa, meneliti dan mencari-cari sampai beberapa jam lamanya, akhirnya Sin Liong terduduk dengan pandang mata muram dan dia termenung. Tidak ada jalan keluar! Itulah kesimpulan sebagai hasil dari pemeriksaannya. Mereka sama dengan terkubur hidup-hidup di tempat itu! Tali dari baju dalamnya yang panjangnya hanya kurang lebih empat lima meter itu tidak ada artinya sama sekali untuk membantu mereka keluar dari tempat ini. Matahari telah naik agak tinggi dan hawa udara cukup panas ketika Bi Cu terbangun dari tidurnya.

   "Haus...!"

   Demikian kiranya begitu dia membuka matanya. Tidak heran kalau dia kehausan karena tubuhnya sama sekali tidak terlindung dari panasnya sinar matahari. Peluhnya membasahi leher dan mukanya. Akan tetapi dia kini sudah sadar betul dan bangkit duduk, mengusap keringatnya dan memandang kepada Sin Liong yang menghampirinya.

   "Wah, agaknya aku telah tertidur."

   "Nyenyak dan enak tidurmu,"

   Kata Sin Liong tersenyum.

   "Ya, segar rasanya tubuh sekarang, hilang sudah segala kelelahan semalam. Tapi, aku... aku haus bukan main...!"

   Dia menjilat-jilat bibirnya yang kering dan mengelus lehernya.

   "Haus...?"

   Sin Liong baru merasa betapa diapun haus bukah main, apalagi karena dia tadi bekerja mencari tempat yang dapat dijadikan jalan keluar dan baru sekarang dia merasa bahwa kerongkongannya juga kering sekali.

   "Ahh, ke mana kita harus mencari minum? Di sekitar sini tidak ada air, juga tidak ada jalan keluar..."

   "Tidak ada jalan keluar...?"

   Bi Cu bangkit berdiri, memandang ke sana-sini.

   "Engkau sudah pasti benar?"

   "Entahlah, akan tetapi tadi sudah kuperiksa dan sungguh tidak terdapat jalan keluar dari sini, kecuali ke pohon besar itu. Ahhh... pohon itu! biar kupetik daun-daun muda untukmu..."

   "Untukmu juga...!"

   "Ya, untukku juga,"

   Sin Liong lalu merangkak dengan hati-hati melalui jalan yang tidak mudah itu,

   Jalan yang mereka lalui pagi tadi, kembali ke batang pohon dan dia memanjat pohon besar itu, memetik daun-daun muda. Setelah cukup, dia turun dan membawa daun-daun muda itu kepada Bi Cu. Dengan lahap Bi Cu makan daun-daun muda, mengunyahnya lama-lama untuk mencari airnya. Dia tidak lapar, hanya haus. Dan celakanya biarpun daun itu mengandung air, namun rasa air daun itu tidak dapat dan tidak cukup banyak untuk menghilangkan hausnya. Sin Liong juga makan daun itu dan tahulah dia bahwa daun-daun itu tidak berhasil mengusir haus. Maka diapun duduk di atas batu sambil termenung. Akan berapa lamakah mereka dapat bertahan dalam keadaan begini? Kasihan Bi Cu, pikirnya, akan tetapi mulutnya tidak menyatakan sesuatu karena dia maklum bahwa hal itu hanya akan membikin dara itu menjadi marah.

   "Ah, daun-daun keparat ini hanya mampu menahan lapar, tidak mampu menghilangkan haus! Tunggu, aku akan mencari tumbuh-tumbuhan lain!"

   Diapun lalu sibuk sekali meneliti setiap tumbuh-tumbuhan di sekeliling tempat itu. Setiap macam rumput dicabut dan dimakannya, diisap-isap, dan kalau dia menemukan sesuatu larilah dia kepada Sin Liong sambil membawa beberapa batang rumput yang baru saia dicobanya.

   "Coba ini. Sin Liong, agaknya manis rasanya!"

   Teriaknya girang, dan Sin Liong lalu makan rumput itu dan mengisap-isap. Memang agak manis, akan tetapi airnya sedikit sekali, jauh lebih sedikit dibandingkan dengan daun pohon besar itu. Dan Bi Cu juga tahu hal ini, maka diapun mencari lagi dengan kecewa. Semua tumbuh-tumbuhan di sekitar tempat itu sudah dicobanya semua! Akhirnya dia kembali ke dekat Sin Liong dan duduk di atas rumput, kedua alisnya yang hitam kecil berbentuk indah itu berkerut. Sin Liong merasa kaslhan sekali.

   "Bi Cu... tidak ada jalan lain, kita harus makan daun-daun muda ini. Biarpun tidak cukup, akan tetapi lumayan untuk membasahi kerongkongan."

   "Iya..."

   Jawab Bi Cu sunyi dan lirih lalu dengan enggan dia makan juga daun-daun muda itu satu demi satu dan rasanya makin tidak enak saja baginya. Makin perlahan dia mengunyah, matanya termenung memandang jauh, kemudian mulutnya berhenti bergerak dan air matanyapun berderai, akan tetapi dia belum terisak, hanya berkata lirih.

   "Sin Liong... haruskan kita berdua mati di sini, mati kehausan...?"

   Sin Liong mendekatinya dan menyentuh pundaknya.

   "Tenanglah, Bi Cu. Daun-daun ini akan menyelamatkan kita untuk sementara waktu..."

   "Dan kalau kita sudah tidak kuat bertahan lagi? Sekarangpun aku sudah hampir tidak kuat, Sin Liong, aku... haus bukan main..."

   "Ke sanalah, mari... kita berlindung dari cahaya matahari yang panas..."

   Dengan lembut Sin Liong lalu menarik tangan dara itu untuk diajak berdiri dan berteduh di dekat dinding batu sehingga mereka agak terlindung dari panas matahari. Bi Cu hanya menurut saja sambil mengusap air matanya. Dia menahan kesedihannya agar tidak membuat Sin Liong makin bingung. Mereka duduk berdekatan di bawah dinding batu itu.

   "Bagaimana lenganmu?"

   Bi Cu menyentuh lengan kiri Sin Liong. Sentuhan itu lembut dan penuh perhatian.

   "Tidak nyeri... akan tetapi belum dapat dipergunakan. Tadi kucoba mengangkat batu, belum sanggup..."

   "Kaukah yang menjajarkan batu-batu di sana itu?"

   Bi Cu menuding.

   "Sudah kuduga demikian. Engkau terlalu baik kepadaku, Sin Liong, selalu menjagaku!"

   Ada rasa girang menghujani perasaan Sin Liong, akan tetapi juga membuatnya malu-malu, maka dia lalu berkata,

   "Kita di sini hanya berdua saja, kalau tidak saling menjaga, habis bagaimana?"

   Setiap hari Sin Liong melakukan siulian untuk mengumpulkan hawa murni dan mengobati lengan kirinya dengan penuh kesungguhan hati. Akan tetapi, mereka berdua sungguh tersiksa oleh kehausan. Mereka selalu makan daun muda dari pohon itu dan biarpun tidak dapat terlalu memuaskan perut, setidaknya mereka terhindar dari kelaparan. Akan tetapi mereka dicekik kehausan, makin lama makin menghebat sehingga tubuh mereka menjadi lemah sekali, pandang mata berkunang dan kepala mereka pening. Kadang-kadang, di waktu siang hari, kalau matahari sedang panas-panasnya, Bi Cu terengah-engah kehausan, tidak dapat menangis lagi kerana air matanyapun sudah kering, mukaya pucat dan cekung.

   "Ahhh... kuda dan sapipun tidak bisa... hanya makan rumput dan daun saja... harus minum, aku harus minum... ah Sin Liong, aku tidak kuat, aku haus..."

   Hari itu adalah hari ke tiga dan siang hari, sedang panas-panasnya.

   "Bi Cu, kuatkanlah...!"

   Kata Sin Liong, padahal dia sendiri juga tersiksa hebat oleh kehausan. Dia sudah membuka semua kancing bajunya, akan tetapi masih merasa panas dan tubuhnya terasa lemas sekali.

   "Sin Liong... aku tidak tahan lagi... tapi aku tidak menyesal... aku rela mati di sini bersamamu, Sin Liong..."

   "Bi Cu...!"

   Sin Liong merasa kasihan sekali dan dia merangkul dara itu, mendekap kepala dara itu ke dadanya.

   Sejenak mereka tak bergerak dalam keadaan seperti itu. Bi Cu merasa betapa nikmatnya bersandar pada dada Sin Liong, seperti lenyap rasa panas yang menyelinap ke seluruh tubuh dan kepalanya, terasa sejuk terlindung oleh tubuh Sin Liong dari sinar matahari. Dia merasa betapa tubuh Sin Liong tergetar, dan betapa dada pemuda itu menahan tangis kadang-kadang terisak. Bi Cu mengangkat mukanya memandang. Dia melihat Sin Liong memejamkan matanya kuat-kuat, akan tetapi ada dua titik air mata di bawah pelupuk mata pemuda itu. Diusapnya dua butir air mata itu dengan telunjuknya. Melihat dua tetes air di telunjuknya, tiba-tiba Bi Cu membawa telunjuknya ke mulutnya dan mengisap dua tetes air mata itu. Hanya lenyap di lidah, tidak sampai ke tenggorokannya yang kering.

   "Sin Liong, jangan menangis..."

   Lalu ia hendak menghibur pemuda itu dan mengalihkan pikirannya.

   "Eh, bagaimana dengan lengan kirimu...?"

   Biarpun dia bersikap gembira yang dibuat-buat, namun suaranya lirih dan serak dan tubuhnya lemah sekali.

   "Lengan...? Ah, sudah sembuh sama sekali... kau tunggu, aku akan mencari jalan...!"

   Sin Liong bergerak hendak bangkit. Akan tetapi Bi Cu merangkulnya, dan menahannya.

   "Tidak perlu sekarang... sedang panas-panasnya, tunggu kalau sudah tidak panas, Sin Liong. Aku... aku ngantuk sekali... biarkan aku tidur..."

   Rangkulannya terlepas dan tubuhnya yang lunglai itu melorot ke bawah lalu dia rebah terlentang, berbantal paha Sin Liong. Melihat keadaan Bi Cu, Sin Liong tidak bergerak, membiarkan dara itu tidur di atas pangkuannya dan diapun memejamkan mata sambil bersandar pada dinding batu. Keduanya diam saja, tak bergerak seperti tidur, seperti pingsan, seperti telah mati! Sin Liong masih dalam keadan setengah sadar, akan tetapi dia merasakan kenikmatan yang luar biasa ketika dia bersandar dan memejamkan mata, dengan sadar sepenuhnya bahwa Bi Cu tidur di atas pangkuannya, rasa nikmat dan nyaman yang belum pernah dirasakan sebelumnya, seluruh urat syaraf di tubuhnya mengendur dan lemas.

   Akan tetapi tiba-tiba dia teringat bahwa keadaan ini amatlah berbahaya. Kelemasan seperti ini dapat membuat orang tertidur untuk tidak bangun kembali! Maka dia mempergunakan seluruh kekuatan batinnya untuk membuka mata dan terkejutlah dia. Kenapa pandang matanya menjadi gelap? Butakah dia, atau terserang penyakit buta, atau kehausan yang sangat itu membuat pandang matanya menjadi gelap? Dia mengangkat mukanya memandang ke atas. Langitpun gelap! Tidak ada lagi sinar matahari, padahal tadi amat panasnya. Apa yang terjadi? Dia mencari-cari dengan matanya den melihat awan mendung bergumpal-gumpal datang dari arah timur terbawa angin keras. Bagaimana mungkin siang yang tadinya terang benderang itu tiba-tiba tertutup mendung bergumpal-gumpal seperti itu?

   "Bi Cu...! Bi Cu, bangun...!"

   Hati Sin Liong penuh kekhawatiran. Bi Cu hanya bergoyang-goyang badannya yang lunglai, akan tetapi matanya tetap terpejam! Pingsankah dia? Atau... atau matikah...?

   "Bi Cu! Ohhh, Bi Cu, bangunlah...! Bangunlah Bi Cu, demi Tuhan... bangunlah...!"

   Sin Liong berteriak-teriak hampir menangis karena mulai takut kalau-kalau Bi Cu sudah mati. Akhirnya bibir yang kering itu bergerak.

   "Hah...? Ada apa...? Kau... mengganggu... orang tidur..."

   Bukan main lega rasa hati Sin Liong. Mau rasanya dia bersorak, dan diapun berseru seperti orang bersorak, akan tetapi tetap sambil menguncang pundak Bi Cu yang masih memejamkan matanya.

   "Bi Cu, lihat...! Mendung tebal...! Lihat dan bangunlah!"

   "Hehhh...?"

   Bi Cu membuka matanya akan tetapi dia sedemikian lemahnya sehingga baru dapat bangkit duduk setelah dirangkul dan ditarik oleh Sin Liong.

   "Mana...? Ada apa...?"

   "Lihat di atas itu...!"

   Pada saat itu terdengar suara menggelegar disertai kilat. Bi Cu terkejut, memandang ke atas dan diapun melihat mendung bergumpal-gumpal dan kilat menyambar-nyambar disertai guntur meledak-ledak.

   "Ada apa di sana itu?"

   Bi Cu masih bingung dan merasa ngeri juga karena cuaca menjadi gelap.

   "Ada apa? Artinya akan hujan. Air!"

   Sin Liong berteriak.

   "Air? Mana...?"

   Pertanyaan Bi Cu ini dijawab dari udara karena tepat pada saat itu turunlah air hujan yang deras sekali.

   "Air...!"

   Bi Cu berteriak dan melepaskan dirinya dari Sin Liong, bangkit berdiri akan tetapi dia terhuyung dan tentu akan terbanting kalau tidak cepat dipeluk oleh Sin Liong.

   "Air! Hujan turun!"

   Sin Liong juga bersorak dan mereka berangkulan, menangis, menengadah sambil membuka mulut lebar-lebar, membiarkan air memasuki mulut mereka, mata mereka, hidung mereka sampai mereka tersedak-sedak, mereka tertawa-tawa dengan air mata bercucuran, mengeluarkan teriakan-teriakan girang yang tidak ada artinya.

   "Bi Cu...!"

   "Sin Liong...!"

   Pendekar Lembah Naga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Mereka seperti memperoleh tenaga baru setelah tubuh mereka basah kuyup,

   Setelah perut mereka terisi air hujan, mereka berangkulan dan tanpa disengaja, tahu-tahu mereka telah berciuman! Sampai lama mereka berdekapan dan berciuman, ciuman yang sesungguhnya tidak disengaja, terjadi karena kegirangan mereka yang luar biasa, mulut mereka saling bertemu dalam keadaan tertawa gembira, lalu saling kecup, seperti tak dapat dilepaskan lagi. Baru mereka saling melepaskan ciuman setelah napas mereka terengah-engah, lalu keduanya mundur selangkah, saling pandang dengan mata terbelalak di antara cucuran air hujan dan kilatan guntur di dalam cuaca yang remang-remang, dan keduanya seperti orang terkejut dan memang terkejut karena baru saja sadar betapa mereka saling cium seperti itu, dan tiba-tiba mereka merasa betapa muka mereka menjadi panas karena malu.

   "Bi Cu..."

   "Sin Liong..."

   Mereka saling tubruk dan saling rangkul sambil menangis, entah mengapa mereka menangis mereka sendiri tidak mengerti.

   Ada rasa girang, ini sudah jelas karena jatuhnya air hujan itu seolah-olah mengembalikan nyawa mereka yang sudah hampir melayang, ada rasa girang yang lain yang mereka tidak mampu gambarkan, ada rasa haru, akan tetapi juga ada rasa sedih karena mereka menyadari bahwa mereka masih berada dalam ancaman maut, terkubur hidup-hidup dalam tempat yang tidak ada jalan keluarnya ini. Tiba-tiba terdengar suara keras dari atas. Sin Liong menoleh dan cepat dia menarik tubuh Bi Cu, meloncat ke dekat jalan kecil menuju ke pohon besar. Untung dia bertindak cepat karena terlambat beberapa detik saja mereka berdua tentu akan tertimpa batu-batu dan lumpur yang terbawa air dari atas, dan tentu akan diseret masuk ke dalam jurang. Sin Liong memegangi lengan Bi Cu, diajaknya dara itu merangkak hati-hati meninggalkan daratan sempit itu, kembali ke pohon,

   Berpegang pada batang pohon itu, bersandar di situ sambil mmandang ke tempat mereka selama tiga hari berlindung itu, tempat itu kini menjadi sasaran batu-batu dan lumpur yang menimpanya dengan suara gedebukan, diseret air yang tercurah dari atas dan menyapu segala yang berada di atas tempat itu. Batu-batu, lumpur dan segala apa disapu dan diseretnya turun ke dalam jurang. Bi Cu bergidik dan mengeluh, lalu dirangkul oleh Sin Liong dan selanjutnya Bi Cu menyembunyikan muka dalam dekapan dada Sin Liong. Akhirnya hujan berhenti. Akan tetapi air yang masih mengucur menimpa dataran sempit itu, walaupun kini tidak ada lagi batu yang jatuh menimpa. Matahari yang sudah mulai condong ke barat itu nampak lagi sinarnya, dan tepat menimpa dinding batu tebing di atas dataran yang sempit itu.

   "Bi Cu, lihat...!"

   Sin Liong mengangkat muka Bi Cu dan menuding ke arah dinding batu tebing itu. Bi Cu mengangkat muka dan memandang. Ada perubahan besar pada dinding batu itu. Banyak batu-batu yang tanggal, hanyut oleh air. Batu-batu yang tanggal ini membentuk bekas-bekas lubang dan terdapat celah-celahnya, tidak lagi rata seperti sebelumnya. Bahkan nampak akar-akar tumbuh-tumbuhan menonjol keluar karena tanah yang tadinya menutupinya terbawa oleh air.

   "Hujan membuat tebing itu longsor,"

   Bisik Bi Cu.

   "Itulah! Dan nampaknya kini tidak sukar untuk mendaki ke atas!"

   Kata Sin Liong. Setelah air dari atas tebing itu berhenti mengalir, Sin Liong lalu menggandeng tangan Bi Cu, dengan hati-hati mereka kembali ke dataran sempit itu. Tempat itu menjadi bersih, bahkan rumput-rumput dan batu-batu lenyap, semua tinggal dataran batu seperti baru dicuci bersih. Sin Liong memeriksa dinding tebing. Tidak licin lagi, melainkan kasar karena disapu air semua permukaannya dan memang benar, nampak celah-celah dan tonjolan-tonjolan yang memungkinkan mereka mendaki ke atas. Memang amat tinggi hingga bagian atas sekali tidak nampak jelas, akan tetapi yang sudah pasti terdapat perubahan besar pada dinding tebing itu.

   "Biar kita tunggu semalam ini, biar tebing itu kering, baru besok kita mencoba untuk naik. Jangan putus harapan, Bi Cu. Selama nyawa masih ada pada tubuh kita, kita harus berusaha dan tidak boleh putus asa."

   Bi Cu mengangguk-angguk.

   "Memang kita harus dapat keluar dari sini..."

   Katanya termenung.

   "entah kapan lagi ada hujan turun..."

   Malam itu mereka kedinginan! Akan tetapi Sin Liong yang sudah sehat benar dan sudah pulih kembali lengan kirinya, mendekap tubuh Bi Cu dan mengerahkan sin-kangnya sehingga ada hawa panas dari tubuhnya menjalar ke tubuh Bi Cu. Dara itu dapat tidur dalam dekapan Sin Liong dan mereka berdua tidak ingat lagi akan sopan santun, karena mereka melakukan hal itu, tidur berdekapan sama sekali bebas daripada nafsu berahi.

   Yang ada hanya saling kasihan, saling menaruh kasih sayang dan iba, ingin saling melindungi dan ingin melihat masing-masing dalam keadaan selamat, tidak ada keinginan lain untuk kesenangan pribadi! Yang ada hanya cinta kasih! Walaupun tidak diucapkan dengan kata-kata, walaupun dalam batin mereka sendiri tidak pernah ada pertanyaan tentang itu, tidak ada dugaan tentang itu, tidak ada sedikitpun bayangan nafsu mengotorinya. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali begitu matahari menyinari langit yang bersih, hari dimulai dengan pagi yang cerah dan bersih, seolah-olah hujan kemarin telah mencuci semua yang berada di atas bumi dan langit. Segalanya nampak bersih, baru dan dan bahkan batu-batu tebing yang baru terbongkar itu mengeluarkan bau tanah yang sedap.

   "Bi Cu, kita mulai mendaki, mencari jalan keluar, mencari jalan hidup. Oleh karena itu ikatkan ujung tali ini pada pinggangmu. Kita tetap bersatu, terikat oleh tali ini. Satu hidup semua hidup, satu gagal semua gagal..."

   "Satu mati semua mati!"

   Sambung Bi Cu yang segera megikatkan ujung tali itu erat-erat pada pinggangnya yang ramping. Sin Liong juga mengikatkan ujung yang lain pada pinggangnya.

   "Nah, kita mulai,"

   Katanya kemudian, mendekati bagian celah terendah dari tebing itu.

   "Nanti dulu, Sin Liong,"

   Kata Bi Cu dan dara ini lalu menghampirinya dan merangkul kedua pundaknya. Wajah mereka saling berdekatan dan mereka saling pandang, terlihat betapa wajah masing-masing amat kurus, cekung dan rambut mereka kusut. Wajah-wajah yang tak dapat dibilang tampan atau cantik dalam keadaan seperti itu.

   "Ada apakah, Bi Cu?"

   "Sin Liong, malam tadi..."

   "Ya...?"

   "Kita... telah... berciuman..."

   Sin Liong merasa betapa wajahnya panas,

   "Aku... aku tidak sengaja... maafkan..."

   Bi Cu tersenyum.

   "Akupun tidak sengaja... dan sekarang, sebelum kita menempuh jalan maut untuk hidup terus atau mati, aku... aku ingin... seperti malam tadi, akan tetapi sekarang kita sengaja..."

   Dia memandang dengan mata berkedap-kedip malu. Sin Liong lalu mendekapnya, dan mereka berdua sama-sama mendekatkan muka dan merekapun berciuman. Ciuman yang canggung karena keduanya belum pernah melakukan hal ini selamanya, akan tetapi dorongan hati membuat mereka tahu apa yang harus dilakukan dan dua mulut yang saling mencinta itu berciuman dengan mesra dan lembut. Ciuman yang sama sekali bersih dari nafsu berahi, namun penuh getaran cinta kasih yang mendalam. Kembali mereka baru melepaskan ciuman karena perlu bernapas. Kini pandang mata mereka mengandung kemesraan aneh dan mereka berdua merasa kuat dan berani menempuh apa saja asalkan berdua.

   "Mari kita berangkat!"

   Kata Bi Cu, suaranya mengandung kesegaran dan kegembiraan, seolah-olah mereka itu hendak berangkat pesiar ke tempat indah, bukan sedang hendak melakukan perjalanan yang amat berbahaya dengan taruhan nyawa!

   "Mari! Engkau tunggu sampai aku naik setingkat, baru engkau mengikuti setiap jejakku. Mengertikah, Bi Cu."

   "Aku mengerti. Kalau engkau bergerak naik, aku diam menjaga. Sebaliknya kalau aku bergerak naik, engkau diam menjaga. Begitukah?"

   "Benar sekali. Bedanya, engkau menjaga di bawah dan aku di atas. Sebaiknya kalau selagi aku naik, engkau melibatkan sisa tali pada akar atau batu untuk membantumu kalau-kalau aku terjatuh, demikian pula akan kulakukan kalau engkau yang naik."

   "Baik, aku mengerti. Marilah!"

   Sin Liong mulai mendaki naik, akan tetapi baru menaruh kaki kanannya ke dalam celah di sebelah atas, dia menoleh ke bawah dan berbisik,

   "Bi Cu, aku cinta padamu!"

   Bi Cu yang berdongak itupun berbisik mesra,

   "Sin Liong, akupun cinta padamu!"

   Kata-kata yang diucapkan sebagai salam terakhir ini menambah tenaga yang bukan main, baik bagi Sin Liong maupun bagi Bi Cu. Sin Liong naik sampai dua meter di atas Bi Cu, lalu berhenti dan menanti sampai Bi Cu mengikuti jejaknya. Setelah itu, baru dia naik lagi. Bi Cu bergerak setelah Sin Liong berhenti.

   Demikianlah, mereka melakukan pendakian yang luar biasa sukarnya. Kadang-kadang Bi Cu yang sudah melibatkan sisa tali pada akar atau batu menonjol, harus memejamkan mata melihat betapa Sin Liong melakukan pendakian yang amat sukar, bergantung pada batu dengan kedua kaki tergantung sedemikian rupa. Ketika tiba gilirannya melalui tempat sukar itu, Sin Liong membantunya dengan menarik tali yang mengikat pinggangnya sehingga baginya tidaklah sesukar Sin Liong yang naik lebih dulu. Beberapa kali Sin Liong memesan agar Bi Cu jangan sekali-kali menengok ke belakang. Hal ini karena dia melihat betapa mengerikan kalau melihat ke belakang atau ke bawah. Dia sendiri terpaksa harus melihat ke bawah karena dia berada di atas Bi Cu. Akan tetapi dia tidak merasa takut melihat ke bawah, betapapun mengerikan, karena dia sudah bertekad untuk membawa Bi Cu keluar dari tempat ini!

   Memang aneh luar biasa! Hujan kemarin itu benar-benar seperti membuka jalan bagi mereka! Biarpun masih sukar, akan tetapi toh bukan tidak mungkin mendaki terus ke atas seperti telah dibuktikan oleh dua orang muda yang keras hati itu. Beberapa kali mereka seperti menghadapi jalan buntu. Di sebelah atas Sin Liong hanya ada batu rata menonjol yang tidak ada tempat berpegang tangan sama sekali. Untuk mmendaki batu bundar ini jelas tidak mungkin. Maka sampai lama Sin Liong berhenti dan berpikir-pikir. Peluhnya sudah membasahi seluruh tubuh. Bi Cu yang berdiri di bawah kakinya, berpegang kepada akar pohon yang tumbuh miring itu, bertanya khawatir.

   "Ada apakah, Sin Liong? Mengapa berhenti?"

   Sebenarnya dia sudah dapat menduga. Tentu Sin Liong menghadapi jalan buntu!

   "Naik terus tidak mungkin,"

   Akhirnya Sin Liong menjawab.

   "Satu-satunya jalan hanya ke kanan itu dan kita harus melanjutkan pendakian dari situ!"

   Dia menunjuk ke kanan di mana terdapat sebuah batu besar menonjol. Memang agaknya air kemarin mengambil jalan dari situ, karena ada bekasnya dan jalan mendaki dari atas batu menonjol itu tidak begitu sukar. Akan tetapi untuk mencapai batu menonjol itulah yang sukar, apalagi batu itu menjulur ke depan sehingga setengah tergantung di udara! Jarak antara Sin Liong dan batu menonjol di kanan itu ada tiga meter dan yang memisahkan mereka adalah celah seperti gua yang tidak mungkin dapat dilalui. Meloncat? Mungkin saja dapat dilakukan dengan mudah oleh Sin Liong di tempat biasa, bukan di tempat seperti ini!

   "Sin Liong, jangan meloncat ke situ!"

   Bi Cu berseru ketika dia membayangkan kemungkinan yang mengerikan ini. Sin Liong menggeleng kepala.

   "Tidak, terlalu berbahaya untuk meloncat. Bi Cu, kau lepaskan ikat pinggang itu, maksudku, tali yang mengikat pinggangmu."

   "Tidak, aku tidak mau berpisah darimu lagi!"

   Jawab Bi Cu cepat-cepat.

   "Jangan salah mengerti, Bi Cu. Aku hanya ingin menggunakan tali itu untuk mencapai batu di sebelah kanan itu, setelah aku tiba di situ, baru aku dapat menarikmu ke sana. Hanya itulah jalan satu-satunya agar kita dapat melanjutkan pendakian kita ke atas."

   Bi Cu mengerutkan alisnya dan mulutnya cemberut, tanda bahwa hatinya tidak senang, akan tetapi dia tidak membantah lagi dan melepaskan ikatan ujung tali itu dari pinggangnya. Sin Liong lalu menarik tali itu ke atas, kemudian menggulung ujung yang tadi mengikat pinggang Bi Cu menjadi laso dan dia mengayunkan ujung tali itu ke arah batu yang menonjol. Ayunannya tepat sekali, ujung tali itu dengan tepat menjerat batu dan ketika ditariknya, jeratnya mengencang dan ujung batu menonjol itu terikat sudah. Kemudian ia mencoba kekuatan tali itu dengan tarikan keras dan kuat, tidak kurang dari tiga ratus kati kuatnya dan ternyata tali maupun batu dapat bertahan. Sin Liong memandang ke bawah dan Bi Cu juga sejak tadi mengikuti gerak-geriknya. Gadis itu tahu apa yang dilakukan Sin Liong, maka tak dapat ditahannya lagi, biarpun hatinya sedang tidak senang, dia berseru,

   

Dewi Maut Eps 23 Dewi Maut Eps 45 Petualang Asmara Eps 47

Cari Blog Ini