Ceritasilat Novel Online

Petualang Asmara 47


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo Bagian 47



"Ibu kenapa Ayah belum juga pulang?"

   Anak laki-laki berusia lima tahun itu merengek kepada ibunya. Wanita yang usianya kurang lebih empat puluh tahun dan masih amat cantik itu menarik napas panjang, lalu menjawab dengan nada suara yang merasa kesal hatinya.

   "Gara-gara encimu! Akan tetapi kurasa tak lama lagi dia akan pulang Bun Houw!"

   Wanita itu adalah Sie Biauw Eng atau Nyonya Cia Keng Hong Ketua Cin-ling-pai, sedangkan anak laki-laki itu adalah Cia Bun Houw, anak ke dua atau putera tunggal suami isteri pendekar ini. Cin-ling-pai yang mempunyai banyak anggauta atau anak murid itu kelihatan sunyi setelah Cia Keng Hong pergi, apalagi setelah lebih dulu Giok Keng lolos dari tempat itu.

   "Akan tetapi aku sudah rindu kepada Ayah dan Cici, Ibu."

   "Sabarlah, Houw-ji (Anak Houw). Seorang calon pendekar harus memiliki kesabaran yang besar, dan pula, ayahmu tentu baru akan pulang kalau sudah bertemu dengan encimu Giok Keng."

   "Dasar Enci yang nakal, pergi saja kerjanya! Ibu, kalau aku sudah besar, apa aku juga boleh merantau seperti Enci Keng?"

   "Tentu saja boleh, akan tetapi engkau harus sudah dewasa dan kepandaianmu untuk menjaga diri sudah cukup kuat. Karena itu kau harus rajin berlatih, Houw-ji. Mari kita ke tempat latihan, pasangan kuda-kudamu yang kaulatih kemarin itu masih belum baik benar, juga gerakan langkah kakimu masih kurang tepat."

   Ibu dan anak itu lalu pergi ke kebun belakang di mana mereka biasanya berlatih silat. Sebagai putera suami isteri pendekar yang berilmu tinggi itu, tentu saja sejak kecil Bun Houw telah dilatih dasar-dasar ilmu silat oleh orang tuanya dan ketika ayahnya pergi sampai berbulan-bulan lamanya, ibunyalah yang melatihnya. Tentu saja di samping pelajaran ilmu silat yang baru dilatih dasar-dasarnya, anak itu pun diberi pelajaran membaca dan menulis.

   Selagi ibu yang memiliki kepandaian tinggi dalam ilmu silat ini memberi petunjuk kepada puteranya, di luar rumah tempat tinggal Ketua Cin-ling-pai itu terjadi pula hal yang menarik. Lima orang murid kepala Cin-ling-pai yang dikepalai oleh Kwee Kin Ta, berhadapan dengan dua orang pendeta gundul yang berjubah kotak-kotak merah. Lima orang itu tentu saja menyambut kedatangan dua orang pendeta itu dengan sikap hormat, apalagi melihat bahwa dua orang itu sudah tua dan kelihatan saleh. Yang seorang memegang sebatang tongkat untuk membantunya jalan mendaki puncak, yang ke dua sambil melangkah tiada hentinya mempermainkan biji-biji tasbihnya seperti membaca doa. Setelah menyambut dengan mengangkat kedua tangan ke depan dada sebagai penghormatan, Kwee Kin Ta bertanya,

   "Bolehkah kami mengetahui siapa nama Ji-wi Losuhu (Dua Bapak Pendeta) yang terhormat, dari kuil mana dan ada keperluan apakah mengunjungi Cin-ling-pai?"

   Dua orang pendeta itu bukan lain adalah Hun Beng Lama yang membawa tasbih dan Lak Beng Lama yang memegang tongkat. Dengan sikap dan suara halus Hun Beng Lama menjawab,

   "Apakah Sicu sekalian ini murid-murid Cin-ling-pai?"

   "Benar, Losuhu."

   "Kedatangan kami adalah untuk mencari seorang yang bernama Yap Kun Liong,"

   Kata pula Hun Beng Lama. Lima orang murid Cin-ling-pai itu memandang heran dan beberapa orang anak murid yang melihat dari jauh kini datang mendekat karena ingin tahu. Maklumlah tempat yang sunyi dan tenteram itu jarang menerima kunjungan orang luar. Tentu saja Kwee Kin Ta dan para sutenya sudah mendengar akan nama Yap Kun Liong itu sekarang, nama yang dipuji-puji guru dan ibu guru mereka.

   "Dia tidak berada di sini, Losuhu,"

   Jawab Kwee Kin Ta tanpa ragu-ragu lagi.

   "Kalau begitu di mana dia?"

   Tiba-tiba Hun Beng Lama bertanya dan pandang matanya tajam penuh selidik. Melihat sinar mata yang amat tajam berpengaruh itu, Kwee Kin Ta menjadi terkejut, juga curiga.

   "Kami tidak tahu dia berada di mana,"

   Jawabnya.

   "Kalian tidak tahu apa-apa, baiklah pinceng hendak menemui Ketua Cin-ling-pai saja!"

   Kedua orang pendeta itu terus melangkah hendak memasuki pintu depan rumah tinggal Cia Keng Hong

   "Eh, nanti dulu, Ji-wi Losuhu! Guru kami juga sedang tidak ada, akan tetapi kalau hanya urusan derma untuk kuil saja cukup dapat diselesaikan dengan kami sebagai wakil ketua kami."

   "Hemm, pinceng tidak membutuhkan dermaan, hendak bertemu dengan Ketua Cin-ling-pai...!"

   Kata pula Hun Beng Lama dan bersama sutenya dia terus saja masuk ke dalam rumah.

   "Tahan...!"

   Kwee Kin Ta berseru marah.

   "Harap Ji-wi Losuhu sebagai orang-orang beribadat tahu sedikit aturan dan tidak menyelonong masuk begitu saja tanpa ijin! Biarlah kami laporkan kepada Subo (Ibu Guru) kami!"

   Dua orang pendeta itu berhenti dan saling pandang, kemudian mereka mengikuti Kwee Kin Ta dan para sutenya yang pergi menuju ke taman bunga di belakang rumah, di mana ibu guru mereka biasanya sedang melatih puteranya. Melihat betapa dua orang pendeta tua yang aneh itu mengikuti mereka, mereka tidak dapat melarang dan cepat-cepat memasuki taman.

   "Heii, ada apakah kalian datang ke sini, Kin Ta?"

   Sie Biauw Eng menegur tak senang karena merasa terganggu.

   "Maaf, Subo. Ada dua orang pendeta yang ingin berjumpa dengan Kun Liong, setelah teecu beri tahu tidak ada, lalu memaksa hendak bertemu dengan Suhu."

   Sie Biauw Eng mengangkat muka dan melihat dua orang pendeta tua itu memasuki taman. Sekelebatan saja mengertilah nyonya ini bahwa dua orang pendeta yang kelihatan lemah dan halus itu tentu mempunyai urusan penting sekali dan agaknya merupakan orang-orang yang biasa diturut kehendaknya sehingga kini mereka berani memasuki taman tanpa ijin.

   "Kalian minggirlah!"

   Katanya kepada para anggauta Cin-ling-pai yang memenuhi taman, kemudian dengan langkah tenang nyonya ketua ini maju menyambut kedatangan dua orang pendeta itu. Melihat pakaian mereka, Sie Biauw Eng dapat menduga bahwa dia berhadapan dengan pendeta-pendeta Lama dari barat, maka dia bersikap hati-hati karena maklum bahwa pendeta-pendeta Lama banyak yang memiliki kepandaian tinggi. Setelah berhadapan, Sie Biauw Eng yang berpemandangan tajam itu dapat melihat dari sinar mata kedua orang pendeta itu bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki sin-kang kuat sekali, maka diam-diam dia terkejut dan cepat mengangkat kedua tangannya memberi hormat yang dibalas oleh mereka.

   "Selamat datang di Cin-ling-san, Ji-wi Losuhu. Siapakah Ji-wi dan ada keperluan apakah Ji-wi hendak menemui suamiku?"

   Tanya Sie Biauw Eng dengan suara lembut namun pandang matanya penuh selidik.

   "Maafkan pinceng, Toanio. Kedatangan kami berdua ini adalah untuk mencari seorang bernama Yap Kun Liong karena urusan pribadi. Kami tidak mempunyai urusan dengan Cin-ling-pai."

   "Silakan Ji-wi duduk di ruangan tamu di mana kita dapat bicara dengan sebaiknya."

   Hun Beng Lama menggerakkan tangan kirinya digoyang-goyang.

   "Tidak usah, Toanio. Terima kasih atas kebaikanmu. Di sini pun sama saja."

   "Losuhu, di sini tidak ada orang yang bernama Yap Kun Liong."

   Kedua orang pendeta itu memandang dengan tajam penuh selidik.

   "Benarkah demikian? Bukankah ada hubungan antara Ketua Cin-ling-pai dengan pemuda bernama Yap Kun Liong itu?"

   "Tidak salah. Dia memang murid keponakan suamiku, akan tetapi pada saat ini Yap Kun Liong tidak berada di sini. Sebagai Bibi Gurunya, bolehkah aku mengetahui apa maksud Ji-wi mencari Yap Kun Liong."

   "Kami hendak menangkapnya,"

   Jawab Hun Beng Lama dengan tenang. Pendeta ini terlalu mengandalkan kepandaiannya sendiri maka dia merasa tidak perlu menyembunyikan niatnya dari siapa pun yang toh tidak akan dapat menghalanginya. Jawaban ini tentu saja mengejutkan semua orang, terutama sekali Sie Biauw Eng. Akan tetapi kalau para murid Cin-ling-pai kelihatan kaget adalah nyonya cantik ini tenang-tenang saja.

   "Ibu..., kata Ibu para pendeta adalah orang-orang suci, kenapa dua orang ini hendak menangkap orang? Apakah mereka pendeta-pendeta palsu?"

   "Hushhh, Houw-ji, diamlah kau dan jangan turut campur."

   Sie Biauw Eng kaget mendengar kelancangan mulut puteranya. Dua orang pendeta itu menjadi merah mukanya dan mereka melirik ke arah Bun Houw, diam-diam mereka terkejut dan kagum melihat anak laki-laki yang dari jauh saja sudah nampak memiliki tulang baik dan bakat untuk menjadi seorang pandai!

   "Ji-wi Losuhu sudah jauh-jauh datang ke Cin-ling-pai dengan sia-sia saja karena yang dicari tidak ada. Bolehkah aku mengetahui nama julukan Ji-wi yang mulia dan dari golongan manakah?"

   "Pinceng adalah Hun Beng Lama dan ini adalah Sute Lak Beng Lama. Kami datang dari jauh sekali, dari perkumpulan Agama Lama Jubah Merah di Tibet, sengaja datang untuk menangkap pemuda yang bernama Yap Kun Liong. Kalau dia tidak ada, biarlah kami bicara dengan Ketua Cin-ling-pai yang menjadi paman gurunya, karena sebagai paman gurunya tentu akan tahu di mana adanya pemuda
(Lanjut ke Jilid 46)
Petualang Asmara (Seri ke 02 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 46
itu."

   "Sayang sekali, Losuhu. Suamiku pun sedang turun gunung, sudah beberapa bulan belum pulang, dan aku sendiri pun tidak tahu di mana adanya Yap Kun Liong dan suamiku pada saat ini."

   Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama saling pandang dengan hati kesal. Hun Beng Lama menarik napas panjang.

   "Huhhh... sungguh tidak kebetulan sekali...!"

   Akan tetapi tiba-tiba wajahnya berseri dan dia menoleh ke arah Cia Bun Houw yang berdiri di dekat ibunya.

   "Ada jalan baik! Toanio, urusan kami dengan Yap Kun Liong amat penting. Apa pun yang terjadi, di dunia ini, Yap Kun Liong harus menjadi tawanan kami. Karena dia tidak ada, suamimu tidak ada dan engkau tidak tahu di mana adanya mereka, maka suamimu sebagai paman gurunya harus bertanggung jawab. Karena itu, sebagai gantinya, pinceng akan membawa puteramu ini, dan kelak kalau suamimu datang ke Tibet mengantarkan Yap Kun Liong, kami akan mengembalikan puteramu."

   "Pendeta iblis keparat!"

   Sie Biauw Eng tidak dapat menahan lagi kemarahan hatinya. Memang pada dasarnya, Biauw Eng adalah seorang wanita yang berwatak keras, berani dan bahkan agak ganas.

   Di dalam cerita "Pedang Kayu Harum"

   Digambarkan dengan jelas akan watak dan sepak terjang Sie Biauw Eng ketika masih muda. Kini dia telah menjadi ibu dari dua orang anak, bahkan anak yang pertama, Cia Giok Keng, telah dewasa sehingga dia telah menjadi setengah tua. Usia dan kedudukannya sebagai isteri Ketua Cin-ling-pai membuat dia dapat bersikap tenang dan sabar. Namun begitu tersentuh dan tersinggung perasaan marahnya, dia bagaikan sebatang mercon yang dinyalakan sumbunya, meledak dengan hebat dan berubah menjadi seekor singa betina! Begitu mendengar niat pendeta itu akan menculik puteranya untuk kelak "ditukar"

   Dengan Yap Kun Liong, dia memaki lalu mengeluarkan pekik melengking, sekali kakinya terayun tubuh puteranya mencelat ke arah Kwee Kin Ta dibarengi seruannya,

   "Kin Ta, jaga adikmu!"

   Kemudian dia sudah menerjang dengan kedua tangannya, mengirim pukulan-pukulan dengan jari tangan terbuka berturut-turut tujuh kali ke arah jalan darah di bagian tubuh yang paling berbahaya dari Hun Beng Lama!

   "Omitohud...!"

   Hun Beng Lama terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa nyonya cantik ini memiliki kecepatan yang sedahsyat itu. Hanya dengan susah payah, mencelat ke sana-sini sambil menggerakkan tasbihnya, dia dapat menghindarkan diri, lalu tasbihnya diputar mengeluarkan suara berketrik menulikan telinga mereka yang mendengarnya. Elakan-elakan kakek itu membuat Biauw Eng maklum akan kebenaran dugaannya bahwa dia berhadapan dengan orang pandai, maka dia tidak memberi kesempatan kepada lawan untuk balas menyerang, melainkan sudah menerjangnya dengan serangan-serangan dahsyat, mainkan ilmu silatnya yang amat cepat dan mengerahkan pukulan-pukulan berdasarkan sin-kang yang amat ditakuti orang ketika dia masih malang-melintang di dunia kang-ouw dahulu, yaitu Ilmu Pukulan Ngo-tok-ciang (Tangan Lima Racun).

   Pukulan ini amat hebat, jangankan sampai telapak tangan nyonya cantik itu mengenai tubuh lawan, baru hawa pukulannya saja sudah cukup untuk merobohkan lawan tangguh! Mengapa isteri seorang pendekar sakti seperti Cia Keng Hong Ketua Cin-ling-pai sampai memiliki ilmu pukulan beracun sekeji itu? Hal ini tidaklah aneh bagi yang telah membaca ceritaPedang Kayu Harum , karena memang di waktu mudanya Sie Biauw Eng adalah puteri dan murid tokoh atau datuk kaum sesat! Bahkan dia sendiri dijuluki orang Song-bun-kwi (Wanita Cantik Berkabung) karena pakaiannya selalu putih. Dahulu di waktu masih gadis saja Sie Biauw Eng telah memiliki ilmu kepandaian yang hebat luar biasa, apalagi setelah dia menjadi isteri Pendekar Sakti Keng Hong dia memperoleh petunjuk suaminya, maka dapat dibayangkan betapa lihai adanya wanita ini.

   "Trik-trrriiiikkk...!"

   Tasbih di tangan Hun Beng Lama mengeluarkan bunyi nyaring dan senjata itu menyambar ke arah tubuh lawan dengan tenaga mujijat dan dengan kecepatan seperti kilat menyambar.

   "Wuuuuttt... wirrr... tar-tar-tar...!"

   "Hebat...!"

   Hun Beng Lama memuji lagi dengan kagetnya ketika serangan tasbihnya itu tiba-tiba dihadang oleh selembar cahaya putih halus yang bukan saja menangkis sambaran tasbihnya malah cahaya yang ternyata hanyalah sehelai sabuk sutera tipis itu membalas dengan sambaran dahsyat dan ujung sabuk itu mengeluarkan suara meledak-ledak seperti halilintar menyambar. Inilah senjata istimewa nyonya itu yang hanya mengeluarkannya apabila dia menghadapi lawan tangguh yang sukar dikalahkannya dengan tangan kosong. Sabuk sutera itu terkenal di dunia kang-ouw dengan nama Pek-in-sin-pian (Cambuk Sakti Awan Putih) karena kalau dimainkan oleh Sie Biauw Eng bentuk sabuk sutera itu lenyap sama sekali,

   Yang tampak hanyalah cahaya bergulung-gulung seperti awan putih, namun dari awan itu menyambar-nyambar sinar kilat yang dapat membawa maut! Melihat betapa nyonya yang lihai itu dapat menandingi suhengnya, Lak Beng Lama lalu meloncat ke arah Kwee Kin Ta yang menggandeng tangan Cia Bun Houw dan melindungi putera subonya ini. Melihat gerakan ini, Kwee Kin Ci, adik dari Kwee Kin Ta dan sembilan orang murid kepala lainnya menerjang maju sambil berteriak marah. Terdengar suara senjata berkerontangan disusul robohnya lima enam orang murid kepala Cin-ling-pai yang terlempar ke kanan kiri kena disapu oleh tongkat di tangan Lak Beng Lama yang amat lihai! Kwee Kin Ci membacokkan pedangnya dari samping kiri, sedangkan para sutenya yang lain kembali sudah menyerang dari segala jurusan.

   "Plakkk...!"

   Tubuh Kwee Kin Ci tersungkur dan pedangnya patah setelah ditangkis oleh tangan kiri kakek itu! Dapat dibayangkan betapa tingginya tingkat kepandaian Lak Beng Lama dibandingkan dengan para anak murid Cin-ling-pai itu ketika dengan tangan kosong saja dia mampu mematahkan pedang dan bahkan terus merobohkan pemiliknya dengan hantaman hawa pukulan telapak tangannya. Melihat adiknya roboh dan kakek itu jelas hendak merampas Cia Bun Houw, Kwee Kin Ta sebagai murid kepala yang kepandaiannya paling tinggi mengeluarkan bentakan nyaring dan pedangnya menusuk ke arah dada kakek itu, sedangkan tangan kirinya dengan jari tangan terbuka membuat gerakan menusuk ke arah perut.

   "Ceppp! Cepppp!"

   Dua tusukan pedang dan jari tangan itu terhenti ketika dengan dua jari telunjuk dan tengah kiri Lak Beng Lama menjepit pedang yang menusuk dadanya, sedangkan tangan kiri Kwee Kin Ta itu dibiarkan memasuki perutnya!

   "Augghhhhh...!"

   Kwee Kin Ta menjerit ketika merasa betapa tangan yang memasuki rongga perut sedalam pergelangan itu tak dapat dicabutnya kembali dan terasa panas seperti dibakar!

   "Wirrrr... siuuuuut... tar-tarrr...!"

   "Omitohud...!"

   Lak Beng Lama berseru kaget dan terpaksa dia melepaskan jepitan tangan dengan perutnya, membuat Kwee Kin Ta terhuyung ke belakang dengan muka pucat. Sambaran cahaya putih tadi benar-benar amat berbahaya dan begitu dia mengelak terhadap ledakan yang menyambar ke arah pelipis kepala sebelah kiri dan ubun-ubunnya, ujung sabuk sutera putih itu masih mampu melecut pundaknya, membuat jubah di pundaknya pecah dan kulit pundaknya terasa panas dan perih!

   Dalam keadaan bertanding menghadapi Hun Beng Lama yang lihai masih mampu menolong Kwee Kin Ta dan menghalangi Lak Beng Lama menangkap puteranya, benar-benar kehebatan nyonya Ketua Cin-ling-pai itu mengejutkan hati kedua orang Lama itu. Teringatlah mereka akan kelihaian Kun Liong dan tahulah mereka bahwa mereka berada di guha harimau yang amat berbahaya. Baru nyonyanya sudah begini lihai, apalagi Ketua Cin-ling-pai itu sendiri! Andaikata Ketua Cin-ling-pai berada di situ, dan Kun Liong juga, agaknya mereka akan terjebak dan akan celaka! Lak Beng Lama yang cerdik pada saat itu sudah dapat menduga bahwa mungkin ini adalah siasat dari Pek Hong Ing! Maka dia cepat berseru,

   "Subeng, harap desak dia...!"

   Mendengar ini, Hun Beng Lama segera mengeluarkan suara menggereng yang aneh. Tidak keras namun suara itu terdengar memenuhi udara dan berbareng dengan gerengannya itu, tiba-tiba tasbihnya bergerak lebih hebat dan kuat. Kadang-kadang tasbih itu melayang di udara, menyambar ke arah kepala Biauw Eng seperti benda hidup, disusul oleh kedua tangan kakek itu yang menyerang ganas dan bertubi-tubi, kadang-kadang malah dibantu pula oleh serangan kedua kakinya. Didesak sedemikian rupa oleh kakek yang amat lihai ini, terpaksa Biauw Eng harus mencurahkan seluruh tenaganya sehingga dia tidak lagi dapat mencegah perhatiannya ke arah Lak Beng Lama yang sedang dikeroyok oleh para anak murid Cin-ling-pai. Tiba-tiba terdengar teriakan Bun Houw,

   "Ibuuu...! Bebaskan aku...!"

   Kagetlah hati Biauw Eng dan ketika dia meloncat ke belakang memandang, ternyata anaknya itu telah berada di dalam pondongan Lak Beng Lama! Tentu saja mudah sekali bagi pendeta lihai ini untuk merampas Bun Houw dari dalam perlindungan para anak murid Cin-ling-pai dan begitu berhasil memondong Bun Houw, dia lalu berkata,

   "Toanio, hentikan perlawananmu kalau kau ingin melihat puteramu selamat!"

   Menggigil seluruh tubuh Biauw Eng dan kedua tangannya meremas-remas sabuk sutera putihnya dalam usahanya mencegah kedua tangannya bergerak menyerang Lak Beng Lama. Maklumlah dia bahwa setelah puteranya tertawan, dia tidak boleh secara sembarangan saja turun tangan karena hal ini akan membahayakan nyawa puteranya. Dia memandang dengan bernyala dan gigi berkerot,

   "Manusia iblis...! Kalau kau mencelakakan puteraku, demi Tuhan, aku tidak akan berhenti sebelum dapat mencincang hancur tubuhmu!"

   Ucapannya yang penuh kesungguhan hati ini membuat kedua orang Lama itu bergidik karena mereka maklum bahwa seorang wanita sehebat itu tentu akan memenuhi ancamannya.

   "Omitohud...! Toanio gagah perkasa dan hebat luar biasa! Terimalah rasa hormat dan kagum dari pinceng."

   Hun Beng Lama menjura dengan penuh kagum karena harus dia akui bahwa selama hidupnya baru sekarang dia bertemu dengan seorang wanita sebagai lawan yang sedemikian hebatnya.

   Sie Biauw Eng sejak dahulu bukan hanya terkenal sebagai seorang wanita yang amat lihai dan penuh keberanian tidak pernah mengenal rasa takut, juga dia terkenal amat cerdik. Baru sekarang, melihat puteranya berada di tangan musuh, dia merasa takut sekali, akan tetapi dia dapat menekan perasaannya, lalu berkata kepada Bun Houw.

   "Houw-ji, seorang calon pendekar pantang menangis dan menghadapi segala bahaya dengan tenang, yang penting bukan mati atau hidup, melainkan benar dan salah!"

   Mendengar ini, Bun Houw mengangguk dan tidak meronta lagi dalam pondongan Lak Beng Lama karena dia mengerti bahwa melawan dan meronta pun tidak ada gunanya sama sekali.

   "Hun Beng Lama, sikap dan pakaianmu saja seperti seorang pendeta Lama yang suci, akan tetapi perbuatanmu curang seperti penjahat kecil yang hina. Kenapa kau membawa-bawa anak kecil yang tidak tahu apa-apa? Kalau memang gagah dan berani, bebaskan anakku dan majulah kalian pendeta-pendeta palsu berdua, kita bertanding sampai salah satu pihak mati!"

   Dengan suara lantang dan gagah Biauw Eng menantang.

   "Omitohud...! Toanio memang hebat! Kami sama sekali tidak suka bermusuhan dengan orang-orang gagah seperti Toanio. Kami terpaksa menangkap puteramu justeru karena kami tidak suka bermusuhan. Kami tidak akan mencelakakan putera Toanio ini, hanya akan kami ajak ke Tibet untuk bermain-main dan pesiar. Kelak, kalau Toanio atau suami Toanio datang mengantarkan Kun Liong kepada kami, tentu putera Toanio akan kami serahkan kembali disertai permohonan maaf kami sekalian. Kami tidak suka bermusuh dan bertanding melawan Toanio dan jalan satu-satunya hanyalah menahan putera Toanio. Nah, selamat tinggal sampai jumpa pula di Tibet di mana Toanio akan dapat mengajak pulang putera Toanio. Mudah-mudahan waktu itu tidaklah terlalu lama."

   Maka pergilah Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama meninggalkan puncak itu. Kwee Kin Ta yang patah-patah tulang tangan kirinya itu membuat gerakan untuk menyerbu, demikian pula para anak murid Cin-ling-pai, akan tetapi Biauw Eng menggerakkan tangan mencegah mereka. Wanita ini hanya berdiri memandang, matanya bernyala dan alisnya berkerut, kedua tangannya mengepal akan tetapi tidak berani membuat gerakan sesuatu. Setelah bayangan kedua orang pendeta itu lenyap, barulah dia mengeluarkan suara mengeluh panjang dan tubuhnya terguling roboh. Pingsan!

   "In-moi (Dinda In)...! Tunggu...!"

   Teriakan ini keluar dari mulut Ouwyang Bouw yang mengejar Lauw Kim In yang berlari-lari.

   Namun Kim In tidak menjawabnya, juga tidak menengok, melainkan berlari terus sambil kadang-kadang mengusap air matanya. Biasanya, wanita yang berhati keras dan dingin seperti baja ini pantang menangis, akan tetapi ucapan yang keluar dari mulut Kun Liong menikam ulu hatinya dan menyentuh perasaan hatinya yang memang selalu tertekan. Dia sama sekali tidak cinta kepada Ouwyang Bouw dan menyerahkan tubuhnya kepada pemuda setan itu secara terpaksa. Hanya dia seorang yang merasakan betapa tersiksa dan menderita hatinya setiap kali dia harus menyerahkan tububnya kepada Ouwyang Bouw yang menganggapnya isterinya itu. Makin lama dekat dengan Ouwyang Bouw, makin sadarlah dia bahwa "suaminya"

   Itu adalah seorang yang tidak waras otaknya, agak miring otaknya dan di balik ketidakwajarannya itu terdapat watak yang luar biasa kejam dan jahatnya!

   Seperti diketahui, dahulu dia menyerahkan kehormatan dan tubuhnya kepada Ouwyang Bouw karena terpaksa, yaitu untuk menyelamatkan sumoinya, Pek Hong Ing, dan dirinya sendiri karena mereka berdua kalah melawan Ouwyang Bouw, dan kedua kalinya karena dia hendak mempergunakan kelihaian orang muda gila ini untuk dapat membalas dendamnya terhadap musuh besar yang dahulu membunuh tunangannya, yaitu Thian-ong Lo-mo. Dan dia berhasil menyelamatkan Pek Hong Ing, bahkan berhasil pula membunuh Thian?ong Lo-mo di samping berhasil meningkatkan ilmu kepandaiannya dengan petunjuk "suaminya". Akan tetapi, setiap kali apabila teringat akan keadaan dirinya, apalagi setiap kali harus melayani cumbu rayu dan permainan cinta suaminya yang kadang-kadang tidak lumrah dan mengerikan itu, batinnya makin tertekan.

   Ucapan-ucapan Kun Liong seperti ujung pedang runcing menikam jantungnya. Dia diumpamakan setangkai mawar indah dari Go-bi yang berlumur noda dan lumpur kehinaan. Betapa tepatnya ucapan itu dan dia merasa jantungnya tertikam dan sakit sekali. Memang kalau dia pikir, hidupnya sekarang tidak ada artinya sama sekali, hanya menjadi permainan dan bahan penghinaan seorang laki-laki berotak miring seperti Ouwyang Bouw saja! Menjadi barang permainan karena dia pun tahu betapa anehnya cinta kasih Ouwyang Bouw kepadanya yang lebih condong kepada sebuah benda permainan yang tak pernah membosankan hati pemuda gila itu. Ouwyang Bouw yang menganggap dia isterinya itu kadang-kadang bermain gila dengan wanita,

   Baik secara suka rela di pihak wanita itu atau memaksa dan memperkosanya, dilakukan begitu saja di depan matanya tanpa rasa malu sedikit pun! Ouwyang Bouw tidak mengenal apa artinya kesetiaan suami isteri. Bahkan gilanya, pernah Ouwyang Bouw menganjurkan agar dia bermain cinta dengan pria lain di depan mata suami gila itu! Ditangkapnya seorang pemuda tampan dan dengan ancaman maut Ouwyang Bouw memaksa pemuda itu agar bermain cinta dengan isterinya! Ouwyang Bouw membujuk-bujuk agar dia suka melakukan hal yang tidak senonoh itu di depan matanya. Tentu saja dia tidak sudi dan hal itu membuat Ouwyang Bouw marah-marah dan membunuh pemuda yang tidak berdosa itu! Teringat akan semua ini, hancurlah perasaan hati Kim In ketika mendengar celaan dan sindiran Kun Liong.

   "Isteriku... yang manis...! Dinda Lauw Kim In... tunggulah..., larimu begitu cepat seperti kuda! Ha-ha-ha!"

   Kembali terdengar suara suaminya itu, kini sudah dekat di belakangnya. Lauw Kim In mempercepat larinya, mengerahkan seluruh gin-kangnya yang sudah memperoleh banyak kemajuan setelah dia dilatih oleh suami gila itu.

   "Wah-wah, larimu makin kencang! Ha-ha, lucu dan manis sekali dari belakang! Ha-ha-ha, bagus sekali! Kita menjadi dua ekor kuda yang berkejaran, kau kuda betina dan aku kuda jantan. Kalau dapat terpegang, kau harus memberi hadiah kepadaku, ha-ha-ha!"

   Lauw Kim In bergidik, mengerti bahwa suaminya itu "kumat"

   Lagi gilanya, gila birahi yang kadang-kadang penyalurannya membuat dia ngeri dan jijik. Maka makin cepatlah dia berlari dengan tekad kalau dapat akan membebaskan diri dari manusia itu. Akan tetapi, betapa pun cepat dia lari, naik turun gunung dan keluar masuk hutan, akhirnya dia tersusul juga.

   "Ha-ha-ha, kau kalah!"

   Ouwyang Bouw menubruknya dari belakang sehingga Lauw Kim In terguling di atas rumput. Ouwyang Bouw terus menggelutnya dan memaksanya sambil terkekeh-kekeh.

   "Kita memang sepasang kuda...heh-heh, sepasang kuda bermain cinta..."

   Dapat dibayangkan betapa tersiksanya hati wanita itu, namun terpaksa dia harus mandah saja diperlakukan sesuka hati pria yang memiliki tingkat kepandaian tinggi ini. Dia tahu bahwa kalau dia melawan dengan kekerasan, berarti bunuh diri dan dia tidak mau bunuh diri dengan sia-sia. Tubuhnya telah tercemar, telah kotor, maka ditambah dengan penderitaan beberapa kali lagi sebelum ada kesempatan baik, tidak mengapalah.

   "Isteriku yang manis... kau hebat..."

   Omyang Bouw merangkul dan mencium mulut Lauw Kim In yang rebah kelelahan dan mukanya agak pucat itu. Ouwyang Bouw Ialu tergelimpang dan rebah pula terlentang di dekat Kim In, juga kelelahan dan dengan mulut tersenyum kepuasan.

   Perlahan-lahan Kim In membereskan kembali pakaiannya. Dia bangkit duduk dan melirik ke arah "suaminya"

   Yang masih terlentang dengan mata terpejam itu. Laki-laki itu tidur dengan tubuh setengah telanjang, dan harus diakuinya bahwa tubuh Ouwyang Bouw tegap dan gagah. Andaikata wataknya tidak gila seperti itu, melihat ketampanan wajah dan ketegapan tubuhnya, kiranya tidaklah terlalu sukar baginya untuk belajar membalas cinta laki-laki yang sudah menjadi suaminya ini. Akan tetapi laki-laki ini gila! Kegilaan yang menjemukan, terutama sekali kegilaannya dalam bermain cinta. Teringat akan apa yang baru saja dialaminya tadi, dia diperlakukan sebagai seekor kuda betina, hampir sama dengan diperkosa di luar kehendaknya, kemarahannya meluap.

   "Wuuuuuttt!"

   
Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Dengan jari-jari terbuka, tangan kanan Lauw Kim In menerkam dengan serangan maut ke arah dada dari suaminya.

   "Plakkk...! Haiiiii, kau kenapa...?"

   Biarpun kelihatannya tadi memejamkan matanya, namun Ouwyang Bouw dapat menangkis dan meloncat berdiri sambil berteriak kaget. Lauw Kim In juga kecewa dan kaget. Suaminya ini memang lihai sekali dan kalau dia tidak menggunakan akal, tentu dia akan mati konyol.

   "Aku mengapa? Mengapa lagi kalau bukan mengajak kau berlatih silat?"

   Jawab Lauw Kim In dengan suara biasa dan terus saja dia melancarkan pukulan bertubi-tubi, mengeluarkari jurus-jurus yang paling ampuh. Sambil meloncat ke kanan kiri dan mengikatkan ikat pinggangnya yang kedodoran, Ouwyang Bouw tertawa,

   "Ha-ha-ha, bagus! Baru saja selesai bertempur, sudah mengajak bertanding lagi. Nah, awas, aku membalas seranganmu!"

   Bertandinglah kedua orang itu, atau bagi Ouwyang Bouw tentu saja hanya berlatih, dia tidak tahu bahwa "isterinya"

   Itu menyerangnya dengan sungguh-sungguh! Setelah lewat lima puluh jurus, mengertilah Lauw Kim In bahwa tidak mungkin dia dapat mengalahkan suaminya yang benar-benar amat lihai ini.

   "Sratttt!"

   Dia mencabut pedangnya.

   "Lihat pedang!"

   Bentaknya karena biarpun di lubuk hatinya dia ingin membunuh orang ini, namun dengan cerdik dia memperingatkan agar suaminya tidak curiga dan mengira dia tetap mengajak berlatih, kini dengan silat pedang.

   "Bagus! Memang dalam silat pedang engkau sudah memperoleh lebih banyak kemajuan daripada bertangan kosong, isteriku manis!"

   Ouwyang Bouw juga mencabut pedangnya dan tampaklah dua gulungan sinar pedang berkelebatan.

   "Wah-wah, apakah engkau tidak lelah? Aku lelah sekali...! Sudahlah, aku ingin mengaso!"

   Ouwyang Bouw berteriak setelah mereka bertanding selama lima puluh jurus dan pedang mereka berkali-kali saling bertemu. Diam-diam Lauw Kim In menjadi jengkel dan kecewa sekali. Dengan tangan kosong dia tidak mampu menang, dengan pedang pun tidak akan mampu membunuh suaminya ini, biarpun tingkat mereka tidak berselisih banyak. Dia menyarungkan pedangnya, lalu duduk membelakangi suaminya dengan wajah cemberut. Ouwyang Bouw merangkulnya, mengusap keringat dari lehernya dan tangannya terus membelai ke bawah leher. Lauw Kim In merenggut tangan itu dan makin cemberut.

   "Aihh, Manis! Kau kenapa? Mengapa marah-marah?"

   Ouwyang Bouw malah menggoda dan merangkul, terus menciumi dengan nafsu baru yang bangkil kembali.

   "Engkau menipuku!"

   Lauw Kim In berkata.

   "Heh? Aku...? Menipumu...?"

   "Dulu kau berjanji akan menurunkan semua ilmu silatmu kepadaku, ternyata kau hanya menipuku saja."

   "Bukankah setiap kali kauminta, aku selalu melatihmu?"

   "Huh! Yang kauajarkan hanyalah jurus-jurus tidak berguna saja. Buktinya, sampai sekarang pun aku belum mampu mengalahkan engkau!"

   "Ha-ha-ha-ha! Hendak mengalahkan aku tidak mudah, isteriku. Ilmu kepandaianku sudah terlatih matang. Engkau hanya akan mampu mengalahkan aku dalam bermain cinta, kalau dalam ilmu silat, kiranya tidak mungkin biarpun aku mengajarkan seluruh ilmuku kepadamu."

   Lauw Kim In termenung. Benar juga apa yang diucapkan orang gila ini. Dia kalah latihan, juga kalah tenaga dan keuletan, mungkin kalah bakat. Habis, bagaimana dia akan dapat mengenyahkan laki-laki yang menjemukan hatinya ini? Dia harus bersabar dan menanti datangnya kesempatan baik. Maka dengan manis dia lalu menurut saja ketika suaminya mengajaknya kembali ke Pek-lian-kauw. Akan tetapi memang watak Ouwyang Bouw aneh, dia tidak langsung mengajaknya kembali ke Pek-lian-kauw, melainkan di sepanjang jalan dia berhenti dan di setiap tempat yang indah dia merayu isterinya dan mengajarkan jurus-jurus baru,

   Sikapnya demikian mesra seperti pengantin baru saja, tidak tahu betapa limpahan cinta kasih yang luar biasa ini bahkan makin memuakkan hati Lauw Kim In. Karena perjalanan yang lambat ini, mereka sampai bermalam selama dua malam di dalam hutan, dan semua kehendaknya terpaksa dilayani oleh Lauw Kim In yang merasa seperti dijadikan boneka hidup! Pada hari ke tiga, barulah mereka langsung menuju ke Pek-lian-kauw. Agaknya sudah lewat pula kumatnya penyakit Ouwyang Bow. Ada kalanya dia bersikap seperti pengantin baru selama beberapa hari, ada pula kalanya dia bersikap acuh tak acuh terhadap Lauw Kim In sampai berpekan-pekan! Ketika mereka tiba di sebuah hutan, tiba-tiba Omyang Bouw menarik tangan Lauw Kim In dan menyeretnya ke dalam semak-semak.

   "Aku sudah lelah, jangan main gila kau! Besok saja..."

   Kim In menolak karena mengira bahwa suaminya itu kumat lagi, akan tetapi Ouwyang Bouw mendekap mulutnya dan menuding ke depan. Lauw Kim In memandang dan dia terkejut melihat seorang gadis cantik dan seorang pemuda. Dia mengenal gadis cantik itu, karena gadis itu bukan lain adalah pengantin yang dirayakan pernikahannya di Pek-lian-kauw, gadis yang kabarnya bernama Cia Giok Keng puteri Ketua Cin-ling-pai! Akan tetapi dia tidak mengenal pemuda tinggi besar dan bersikap gagah yang berjalan di sebelah gadis itu. Siapakah pemuda tinggi besar dan gagah perkasa itu? Dia bukan lain adalah Lie Kong Tek!

   Seperti kita ketahui, Lie Kong Tek disuruh oleh gurunya untuk mencari Cia Giok Keng yang telah dipinangnya langsung dari ayah gadis itu. Gurunya menghendaki dia menyusul dan kalau perlu melindungi gadis itu dan memaksakan perpisahan antara mereka dengan janji setahun kemudian bertemu di Cin-ling-san. Demikianlah, Lie Kong Tek lalu melakukan perjalanan seorang diri dan karena dia tidak tahu ke mana perginya Cia Giok Keng, maka dia lalu mengambil arah yang ditempuh oleh Giok Keng ketika gadis itu tadi melakukan pengejaran terhadap Liong Bu Kong. Tentu saja dia kehilangan jejak gadis itu dan selama dua hari dia berkeliaran di sekitar daerah itu, mencari-cari tanpa hasil. Baru pagi tadi, ketika dia sudah hampir hilang harapan untuk bertemu dengan Cia Giok Keng, tiba-tiba dia melihat gadis itu muncul keluar dari sebuah hutan, berjalan dengan arah menuju ke sarang Pek-lian-kauw.

   "Cia-siocia (Nona Cia)...!"

   Dia memanggil sambil berlari mengejar. Mendengar suara panggilan ini, Giok Keng berhenti dan menengok. Ketika dia mengenal orang itu sebagai pemuda tinggi besar yang pernah membelanya di depan ayahnya, seketika Giok Keng cemberut. Hemm, kembali dia berhadapan dengan seorang penjilat, pikirnya! Betapa banyaknya bertemu dengan pria-pria seperti itu!

   Pria yang memperlihatkan "kebaikan", bahkan rela berkorban apa pun untuk menarik hati seorang gadis cantik. Dan dia tahu bahwa pemuda tinggi besar ini pun semacam pria seperti itu. Tentu sikapnya membelanya di depan ayahnya, yang kelihatan gagah perkasa dan penuh kebaikan, bahkan yang membayangkan kasih sayang besar dengan pengorbanan dirinya, hanya merupakan siasat untuk menarik hatinya! Dia sudah muak dengan semua itu, apalagi setelah mengalami kejatuhannya di tangan Liong Bu Kong si tukang bujuk rayu! Kini teringat olehnya betapa hampir semua laki-laki adalah tukang bujuk, perayu yang berhati palsu, kecuali... Kun Liong agaknya! Kun Liong dengan terang-terangan mengatakan tidak cinta kepadanya! Sebaliknya, semua pria yang dijumpainya selama ini, dari pandang matanya saja sudah menjeritkan "cinta"

   Yang memuakkan.

   Betapapun juga, pemuda tinggi besar ini sudah menerima siksaan dari ayahnya, bahkan hampir tewas, maka dia harus bersikap baik. Dan untuk kelancangannya itu, dia akan menghukumnya dengan menjatuhkan hatinya seperti semua pria yang telah jatuh hati kepadanya, untuk kemudian dia tinggalkan. Mulai sekarang, dia akan membalas semua pria yang cintanya palsu itu! Mula-mula dahulu adalah para suhengnya di Cin-ling-pai, terutama Kwee Kin Ta dan Kwee Kin Ci yang dari sinar matanya jelas jatuh cinta kepadanya, lalu disusul belasan orang suhengnya yang lain. Setelah itu, entah berapa banyaknya lirikan-lirikan cinta yang terpancar keluar dari pandang mata setiap orang pria, tua muda yang bertemu dengannya.

   "Cia-siocia...!"

   Lie Kong Tek kini sudah tiba di depan gadis itu, wajahnya berseri gembira karena hati siapa tidak akan gembira melihat gadis ini yang tadinya dianggap telah hilang dan tidak mungkin disusulnya lagi itu?

   "Siapakah engkau dan ada keperluan apa memanggil-manggil aku?"

   Giok Keng bertanya dengan sikap galak dan pura-pura tidak mengenal karena dia ingin mempermainkan pemuda tinggi besar ini.

   Lie Kong Tek memberi hormat dengan kedua tangan di depan dadanya, penghormatan yang tidak dibalas oleh gadis itu, namun Kong Tek tidak peduli karena memang dia tidak mempunyal keinginan dibalas.

   "Cia-siocia, tentu engkau tidak mengenal aku, akan tetapi dua hari yang lalu kita bersama ayahmu, guruku, dan para tamu kang-ouw di Pek-lian-kauw telah melawan orang-orang Pek-lian-kauw. Namaku Lie Kong Tek."

   "Ahhh, sekarang aku ingat! Engkau adalah orang yang dihajar oleh Ayah dan nyaris tewas di tangan ayahku!"

   Giok Keng sengaia mengemukakan hal itu karena dia menduga bahwa pemuda ini sudah cukup mendapat kesempatan untuk memamerkan jasa-jasanya ketika menolong dan membelanya. Akan tetapi dia kecelik. Lie Kong Tek sama sekali tidak menonjolkan jasanya, bahkan dia menarik napas panjang dan berkata dengan suara serius,

   "Salahku sendiri, Nona. Masih untung aku tidak tewas di tangan ayahmu, karena kelancanganku mencampuri urusan orang lain."

   "Tapi... engkau telah berusaha untuk menolongku. Engkau telah melepas budi kebaikan kepadaku!"

   Giok Keng menambahi garam untuk memancing keluar isi hati pemuda itu yang dia anggap pasti akan menyatakan kagum dan sukanya dan kesiapannya untuk membela sampai mati! Lie Kong Tek menggeleng kepala.

   "Kau membikin aku malu saja, Nona Cia. Apa yang kulakukan itu tidak ada artinya sama sekali dan siapa pun yang melihat suatu peristiwa yang tidak adil, tak peduli siapa yang terkena dan siapa pula yang melihatnya, pasti akan turun tangan."

   Hati Giok Keng menjadi penasaran.

   "Apa? Kaumaksudkan... andaikata yang terancam oleh ayahnya bukan aku, melainkan orang lain..."

   "Tentu saja tidak ada bedanya, aku tetap akan mencegah seorang ayah yang bijaksana memukul anaknya sendiri."

   Hati Giok Keng kecewa.

   "Ahh, kukira tadinya..."

   Kekecewaan hatinya karena jawaban pemuda itu tidak seperti yang disangkanya, terlontar melalui mulutnya.

   "Kaukira bagaimana, Nona?"

   "Kukira kau menolongku karena...karena kau suka padaku."

   Terus terang saja Giok Keng mengucapkan kata-kata ini karena ingin dia memperoleh bukti bahwa yang mendorong perbuatan pemuda itu memang demikian sehingga dia akan mendapat alasan untuk mempermainkan dan menghina laki-laki yang tinggi besar dan tampan gagah ini. Wajah Lie Kong Tek berubah merah seketika.

   "Nona, melakukan suatu perbuatan yang oleh umum dianggap baik menjadi sama sekali tidak baik dan palsu kalau berdasarkan rasa suka atau tidak suka!"

   Giok Keng makin penasaran dan terheran-heran. Baru sekarang dia berhadapan dengan seorang laki-laki yang sama sekali tidak memperlihatkan sikap manis dan menjilat kepadanya, bahkan ucapannya begitu jujur dan terus terang sehingga terdengar kasar dan tidak menggunakan basa-basi sama sekali. Akan tetapi hal ini malah membuat dia menjadi penasaran. Kalau melihat semua laki-laki jatuh bertekuk lutut kepadanya, mengaku cinta, dia merasa muak karena sudah melihat kepalsuan mereka, terutama setelah pengalamannya dengan Bu Kong. Akan tetapi sikap pemuda ini lain lagi, bahkan sebaliknya daripada sikap pemuda pada umumnya. Dia akan merasa amat penasaran dan "turun nilai"

   Kalau belum melihat pemuda ini pun bertekuk lutut menyatakan cinta kepadanya! Maka dia segera merubah siasat dan berkata,

   "Aihh, kalau tidak salah, gadis yang menjadi korban kekejian Ketua Pek-lian-kauw itu adalah tunanganmu, Saudara Lie Kong Tek?"

   Lie Kong Tek mengangguk.

   "Memang benar demikian, dan kedatanganku bersama Suhu ke Pek-lian-kauw memang hendak mencari dia. Kami mendengar bahwa Nona Bu Li Cun, tunanganku itu diculik oleh orang Pek-lian-kauw. Sayang kami datang terlambat..."

   "Kau dan gurumu tidak berhasil menolong tunanganmu, akan tetapi telah dapat menolong aku dan ayahku. Bu Li Cun itu cantik sekali, engkau tentu berduka dan kehilangan, Saudara Lie."

   "Tentu saja, aku merasa amat kasihan kepada Nona itu. Akan tetapi terus terang saja, tidak ada perasaan kehilangan di hatiku karena selamanya pun baru satu kali aku bertemu dengan tunanganku. Andaikata yang mengalami nasib buruk seperti dia itu seorang gadis lain, aku tetap akan merasa kasihan sekali."

   Giok Keng termenung. Pemuda ini memang aneh, pikirnya. Berbeda dengan pemuda lain, bahkan sinar matanya ketika memandangnya biasa dan polos saja, tidak mengandung api gairah yang dia lihat dalam pandang mata pemuda lain. Bahkan di dalam pandang mata Kun Liong yang terang-terangan tidak mencintanya itu pun terdapat sinar kagum kalau memandang kepadanya. Kenyataan ini membuat hatinya panas. Manusia sombong! Manusia angkuh! Kauanggap aku bukan apa-apa, ya? Tunggu saja kau, hatiku belum puas kalau tidak dapat melihat engkau bertekuk lutut dan merengek mengaku cinta!

   Gadis ini tidak sadar betapa sesungguhnya dialah yang sombong! Demikianlah keadaan hati dan pikiran seseorang yang tidak pernah mengenal diri sendiri, sehingga dia seolah-olah buta akan gerak-gerik lahir batinnya, tidak sadar akan watak-wataknya sendiri. Karena tidak mengenal diri sendiri inilah yang menimbulkan segala perbuatan yang merugikan orang lain dan diri sendiri, perbuatan yang oleh umum dianggap jahat. Tidak ada perbuatan jahat yang disadari sebagai perbuatan jahat oleh orang yang tidak pernah mengenal dirinya sendiri, semua perbuatannya itu, apapun juga penilaian umum, tentu dianggapnya benar karena dia mempunyai alasan-alasannya yang tentu saja berdasarkan kepentingan diri pribadi.

   Orang yang tidak mengenal diri sendiri akan sepenuhnya berada dalam cengkeraman si aku yang selalu mengejar kesenangan, dikuasai oleh si aku tanpa disadarinya. Sebaliknya, dengan pengenalan diri sendiri setiap saat, gerak-gerik dan segala akal bulus si aku dapat diawasi dengan jelas sehingga si aku tidak sempat lagi mengeluarkan segala siasat dan tipu muslihatnya. Demikian pula dalam pertemuan antara Giok Keng dan Kong Tek. Pemuda itu berwatak jujur, polos dan wajar sehingga semua ucapannya tidak mengandung niat lain. Tidak demikian dengan Giok Keng yang merasa dirinya sebagai seorang gadis cantik, lihai, puteri Ketua Cin-ling-pai sehingga dari pengalaman yang sudah-sudah timbullah rasa tinggi hati dan keyakinan bahwa semua pria pasti akan bertekuk lutut dan jatuh cinta kepadanya!

   "Nona Cia, sudah dua hari aku mencari-carimu!"

   Timbul harapan di hati Giok Keng dan matanya bersinar tajam memandang penuh selidik.

   "Ada perlu apakah engkau mencari-cariku selama dua hari ini?"

   "Hanya untuk membuktikan bahwa engkau berada dalam keadaan selamat, Nona. Ayahmu juga mencarimu dan aku diperintah oleh Suhu untuk membantu mencarimu. Sekarang Nona hendak pergi ke manakah?"

   "Hendak kembali ke Pek-lian-kauw, memberi hajaran kepada para penjahat Pek-lian-kauw."

   "Aihh! Nona tidak mengerti apa yang telah terjadi. Bahkan Suhu dan ayahmu sendiri terpaksa harus melarikan diri. Pek-lian-kauw amat kuat, selain ketuanya memiliki keahlian dalam ilmu sihir yang hanya dapat dilawan oleh Suhu, juga mereka berjumlah banyak dan mempunyai sahabat-sahabat orang pandai."

   Giok Keng terkejut. Ayahnya sampai melarikan diri?

   "Di manakah Ayah sekarang?"

   "Beliau juga pergi berpisah dari kami, katanya hendak menyusul dan mencarimu, Nona."

   "Kalau begitu, aku harus cepat kembali ke Cin-ling-san. Sudah terlatu lama aku meninggalkan Ibu, tentu dia akan merasa khawatir sekali."

   Teringat akan ibunya, hati Giok Keng berduka bukan main karena terbayang dahulu ketika dia cekcok dengan ayahnya dan diusir ayahnya yang kemudian ternyata bahwa ayahnyalah yang benar mengenai pribadi Liong Bu Kong. Teringat betapa demi Liong Bu Kong dia sampai minggat dari Cin-ling-san, menyakiti hati ayah bundanya, dia menjadi makin gemas kepada Liong Bu Kong dan andaikata dia tidak pasti benar bahwa Bu Kong telah tewas di tangan Yo Bi Kiok, tentu dia akan mencari dan membunuhnya! Kematian Liong Bu Kong bukan di tangannya membuat hatinya belum puas dan timbullah keinginannya untuk mempermainkan hati dan cinta kasih kaum pria! Adapun yang dianggapnya sebagai calon korban pertama adalah Lie Kong Tek inilah.

   "Kalau Nona tidak berkeberatan, mari kita melakukan perjalanan bersama,"

   Tiba-tiba Kong Tek berkata. Bagi pemuda ini, keadaannya juga serba sulit. Gurunya menyuruh dia mencari Giok Keng dan menyatakan cinta kasihnya! Akan tetapi, bagaimana dia dapat menyatakan perasaan hati itu kalau dia sendiri tidak yakin benar karena tidak tahu apakah benar dia mencinta gadis ini? Tentu saja dia tidak akan mau berlaku lancang seperti itu, apalagi karena dia pun maklum bahwa tidaklah pantas bagi dia untuk berjodoh dengan seorang dara seperti puteri Ketua Cin-ling-pai ini. Mulut yang manis bentuknya itu terhias senyum mengejek. Hemmm, pikir Giok Keng, betapa pun angkuh hatimu, belum apa-apa engkau sudah ingin menemaniku dalam perjalanan.

   "Eh? Engkau ingin melakukan perjalanan bersamaku, Saudara Lie? Mengapakah?"

   Lie Kong Tek agak sukar menjawab, lalu menggerakkan pundak dan merentangkan kedua lengannya.

   "Mengapa? Tidak ada apa-apa, Nona. Hanya karena aku telah berpisah dari Suhu dan hidup sebatang kara, tidak mempunyai tujuan tetap, sedangkan kau pun sendirian pula, bukankah lebih baik dan lebih kuat kalau kita melakukan perjalanan bersama? Aku pun ingin berkunjung ke Cin-ling-san, bertemu dengan ayahmu yang amat bijaksana dan tinggi ilmu kepandaiannya itu."

   Senyum di bibir Giok Keng makin melebar. Hemm, alasan yang dicari-cari, pikirnya.

   "Baiklah,"

   Katanya kemudian dan hatinya girang karena dia ingin sekali melihat laki-laki ini pun jatuh cinta kepadanya untuk kemudian dia patahkan hati dan kasihnya seperti yang ingin dia lakukan terhadap semua pria sebagai pembalasan sakit hatinya kepada Bu Kong!

   Demikianlah, dua orang itu melakukan perjalanan bersama, akan tetapi tak lama kemudian tiba-tiba tampak dua orang meloncat keluar dari semak-semak dan berdiri di depan mereka. Seorang pemuda tampan yang tertawa-tawa menyeringai dan seorang wanita cantik yang berwajah dingin dan tidak pedulian. Melihat dua orang ini, Lie Kong Tek terkejut karena dia tadi sudah melihat kelihaian dua orang itu ketika datang membantu Pek-lian-kauw, kemudian mereka berdua pergi lari berkejar-kejaran. Akan tetapi Giok Keng tidak mengenal mereka. Biarpun pernah Ouwyang Bouw dan Lauw Kim In datang ke Pek-lian-kauw, akan tetapi karena pada waktu itu ingatan Giok Keng hilang olch obat perampas ingatan, maka dia tidak mengenal dua orang ini. Sebaliknya, Ouwyang Bouw dan Lauw Kim In mengenal gadis cantik ini yang tadinya hendak menikah dengan Liong Bu Kong di Pek-lian-kauw.

   "Heh-heh-heh, inilah pengantin wanita yang kabur!"

   Ouwyang Bouw berkata sambil tertawa. Muka Giok Keng menjadi merah sekali sehingga dalam pandang mata Ouwyang Bouw dia tampak makin cantik.

   "Siapakah kalian? Perlu apa menghadang di jalan?"

   Giok Keng membentak.

   "Ha-ha-ha, puteri Ketua Cin-ling-pai memang angkuh! Aku bernama Ouwyang Bouw dan dia ini isteriku."

   Mendengar nama ini, berubah wajah Giok Keng. Tentu saja dia pernah mendengar nama Ouwyang Bouw, pemuda iblis putera mendiang Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok! Tahulah bahwa dia berhadapan dengan musuh besar, karena ayah pemuda ini tewas di tangan ayahnya!

   "Bagus, manusia iblis! Nah, cabut pedangmu, mau tunggu apa lagi?"

   Bentaknya sambil menghunus pedangnya, siap untuk bertanding mati-matian karena dia sudah mendengar betapa lihainya pemuda ini.

   "Ho-ho-ha-ha! Biarpun ayahmu adalah musuh besarku, akan tetapi karena engkau calon isteri Liong Bu Kong, kita adalah kawan-kawan segolongan. Jangan galak-galak, Nona manis. Mana suamimu, Liong Bu Kong?"

   "Dia sudah mampus! Dan kau akan segera menyusulnya ke neraka jahanam!"

   Giok Keng membentak.

   "Wah-wah... sudah mampus? Bukan main! Suami baru saja mati sudah mempunyai pacar lain lagi yang muda dan ganteng! Eh, Isteriku, anak Ketua Cin-ling-pai ini pintar juga, ya? Pintar dan cantik jelita! Juga pacarnya itu gagah dan ganteng! Bagaimana kalau kita manfaatkan mereka sebagai selingan kita?"

   Lauw Kim In hanya cemberut, tidak menjawab, pandang matanya kosong dan sayu karena tingkah laku dan ucapan suaminya itu merupakan pisau beracun yang menyayat-nyayat hatinya.

   "Ouwyang Bouw, bersiaplah untuk mampus!"

   Giok Keng membentak lagi. Sebagai seorang pendekar, dia tidak sudi menyerang lawan yang tidak siap sama sekali.

   "Heh-heh, makin galak makin manis! Cia Giok Keng, buat apa bertanding? Lebih baik bercinta! Mari kita bertukar pasangan!"

   Giok Keng benar-benar tidak mengerti semua ucapan orang gila itu, maka tanpa disadari lagi dia bertanya,

   "Apa... maksudmu...?"

   "Ha-ha-ha, baru pengantin baru, masa tidak tahu? Kita bertukar pasangan, bertukar pacar untuk malam ini, kau tidur bersama aku dan biar pacarmu itu meniduri isteriku!"

   "Iblis laknat bermulut busuk!"

   Giok Keng tahu akan maksud yang kotor itu, maka kemarahan yang bertumpuk-tumpuk membuat dia tidak dapat menahan hatinya lagi dan serta merta dia mengirim serangan kilat kepada Ouwyang Bouw.

   "Heiiitttt... ahhh...!"

   Ouwyang Bouw terpaksa harus menjatuhkan dirinya ke belakang dan bergulingan sampai jauh, terus melompat sambil mencabut pedang ularnya karena mendapat kenyataan betapa hebat dan berbahayanya serangan Cia Giok Keng tadi. Biarpun otaknya miring, namun Ouwyang Bouw adalah seorang yang berkepandaian tinggi dan memiliki kecerdikan luar biasa, maka dia cepat menyambut serangan gadis itu dengan sungguh-sungguh, bahkan juga membalas dengan serangan pedang ularnya yang amat dahsyat.

   Sementara itu, Lie Kong Tek yang melihat betapa Giok Keng sudah bertanding dengan Ouwyang Bouw, juga cepat mencabut pedangnya. Dia melihat betapa wanita teman Ouwyang Bouw yang dikatakan isterinya itu hanya berdiri diam, menonton dengan wajah dingin dan sikap tidak peduli, maka dia pun lalu menerjang dan membantu Giok Keng mengeroyok Ouwyang Bouw. Ouwyang Bouw yang lihai sekali melihat gerakan pemuda tinggi besar ini tahulah dia bahwa tingkat kepandaian pemuda itu masih jauh kalau dibandingkan dengan dia atau Giok Keng, maka pada saat dia menggerakkan pedang ularnya menangkis pedang Giok Keng, kakinya yang kiri meluncur ke depan menangkis sambaran pedang Lie Kong Tek dan kaki kanannya cepat sekali menendang dan mengenai dada Kong Tek yang sama sekali tidak menduga-duga akan serangan balasan yang demikian aneh dan cepatnya itu.

   "Desss...!"

   Tubuh tinggi besar itu terjengkang dan terguling-guling. Akan tetapi dia bangkit kembali, menggeleng-geleng kepala dan menggoyangnya untuk mengusir kepeningan, kemudian dia maju lagi dengan penuh semangat.

   "Isteriku, kautundukkan yang laki-laki itu! Lihat betapa gagahnya dia, tentu hebat pula sepak-terjangnya dalam bercinta. Kautangkap dia, biar kutangkap yang perempuan!"

   Ouwyang Bouw berteriak kepada Lauw Kim In, akan tetapi Kim In diam saja seperti patung menonton pertandingan yang amat hebat itu.

   "Kalau begitu, terpaksa aku merobohkan laki-laki pengganggu ini!"

   Ouwyang Bouw bersungut-sungut, marah melihat isterinya diam saja tidak mau membantu.

   "Lie-twako, awas...!"

   Giok Keng berteriak ketika melihat menyambarnya sinar merah yang lembut. Namun terlambat. Jarum merah yang hanya sebatang dan amat kecil itu menyambar cepat sekali, tepat mengenai paha Kong Tek dan pemuda itu mengeluarkan suara gerengan, berusaha untuk mempertahankan rasa nyeri dan menyerang lagi namun dia roboh terguling. Kakinya lumpuh seketika karena racun jarum itu sudah bekerja. Kini teringatlah Giok Keng bahwa yang melukainya dengan jarum merah ketika dia dan Kun Liong dikeroyok adalah orang ini pula, maklum betapa bahayanya jarum merah beracun itu. Maka dia menjadi cemas dan pada saat itu, ketika dia melirik untuk melihat Kong Tek, kakinya kena disabet oleh kaki Ouwyang Bouw sehingga dia jatuh terguling.

   "Brettt...!"

   Sebagian bajunya terobek oleh tangan Ouwyang Bouw.

   "Ha-ha-ha-ha, pengantin wanita, ternyata akulah yang menjadi pengantin prianya, ha-ha, untungku!"

   Dan dia maju menubruk.

   "Mampuslah!"

   Giok Keng yang tadi rebah miring, tiba-tiba menusukkan pedangnya, akan tetapi betapa kagetnya ketika dia melihat pergelangan tangannya yang memegang pedang telah ditangkap oleh tangan kiri Ouwyang Bouw yang sudah siap menghadapi serangan ini, kemudian pundaknya ditotok dan lemaslah rasa tubuhnya! Dengan mata terbelalak Giok Keng melihat betapa sambil tertawa-tawa Ouwyang Bouw mulai menanggalkan pakaiannya sendiri sambil berkata kepada wanita yang diaku isterinya tadi.

   "Isteriku, lekas kauajak pemuda itu, biarpun dia terluka pahanya akan tetapi tentu masih mampu! Atau kau lebih senang menonton aku main-main dengan puteri Cin-ling-pai ini? Ha-ha-ha!"

   Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Giok Keng hampir pingsan melihat Ouwyang Bouw bertelanjang bulat dan mendekatinya. Dia cepat memejamkan matanya dan mengerahkan seluruh sinkang. Dia pernah diajari oleh ayahnya cara untuk menggunakan tenaga mujijat dari sin-kang istimewa yang menurut ayahnya adalah ciptaan mendiang Tiang Pek Hosiang untuk membebaskan totokan dalam waktu yang tidak terlalu lama.

   "Manusia iblis!"

   Tiba-tiba dia mendengar bentakan Kong Tek, disusul sambaran angin dan tahulah dia bahwa biarpun pahanya terluka, Kong Tek telah memaksa diri menubruk maju menyerang Ouwyang Bouw. Akan tetapi dia tidak membuka matanya dan tetap mengerahkan sin-kang seperti yang diajarkan oleh ayahnya. Dia menurut ayahnya, kurang berbakat untuk mempelajari Thi-khi-i-beng dan sebagai gantinya, ayahnya menurunkan ilmu membebaskan totokan jalan darah ini. Hanya saja, ilmu ini hanya dapat dipergunakan untuk membebaskan totokan jalan darah yang tidak berbahaya. Untung baginya, Ouwyang Bouw yang tidak ingin dia sama sekali lemas tak berdaya, hanya menotok jalan darah biasa sehingga, biarpun dia tidak mampu menggerakkan kaki tangan, namun tidak seluruh tubuhnya lumpuh.

   "Dessss...! Brukkk...!"

   

Pedang Kayu Harum Eps 25 Pedang Kayu Harum Eps 39 Pedang Kayu Harum Eps 39

Cari Blog Ini