Ceritasilat Novel Online

Pendekar Lembah Naga 55


Pendekar Lembah Naga Karya Kho Ping Hoo Bagian 55



Sedangkan putera ketua Cin-ling-pai yang ke dua adalah Cia Bun Houw atau ayah kandungnya sendiri! Memang benarlah bahwa Lie Ciauw Si itu masih piauw-cinya sendiri, dan kalau kini piauw-cinya itu menikah dengan pangeran ini, maka hal itu berarti bahwa pangeran ini bukan hanya kakak angkatnya, melainkan juga kakak iparnya sendiri! Betapapun juga, dia masih belum mau percaya. Bukankah pangeran ini selalu memusuhi keluarga Cin-ling-pai? Bagaimana mungkin menjadi suami piauw-cinya? Andaikata benar demikian, tentu pangeran ini menggunakan akal dan kelicikannya untuk menipu piauw-cinya itu! Melihat Sin Liong mengerutkan alis seperti orang termenung kemudian memandang kepadanya dengan sinar mata penuh selidik, pangeran itu dapat menduga apa yang diragukan oleh adik angkatnya itu, maka dia lalu berkata,

   "Liong-te, engkau tidak tahu apa yang telah terjadi. Telah terjadi perubahan besar pada diriku dan kehidupanku. Ketika aku dan Si-moi saling jumpa, seperti engkau juga mengetahui, yaitu di pusat Sin-ciang Tiat-thouw-pang, kami saling jatuh cinta. Semenjak itu, aku bersimpati dengan keluarga Cin-ling-pai. Engkaupun tahu bahwa yang memusuhi keluarga Cin-ling-pai selama ini adalah bekas subo dan suciku, sedangkan aku sama sekali tidak mempunyai urusan dengan Cin-ling-pai. Ketika aku jatuh cinta kepada Si-moi, maka aku lalu mengusahakan kebebasan keluarga itu dari tuduhan pemberontak dan pelarian. Nah, karena perbuatanku itulah, maka kaisar menaruh curiga dan benci kepadaku, apalagi karena hasutan Pangeran Hun Chih yang ingin mencari kedudukan. Sahabat-sahabatku ditangkapi oleh kaisar yang lalim. Oleh karena itu, aku lalu melarikan diri dari kota raja setelah aku menikah dengan Si-moi, dan kami telah mengambil keputusan untuk menentang kaisar lalim!"

   "Hemm, memberontak?"

   Sin Liong bertanya, masih tertarik oleh cerita pangeran itu.

   "Ah, engkau tentu dapat membedakan antara memberontak dan menentang kelaliman, Liong-te. Aku bukan memberontak untuk merebut kedudukan, melainkan hendak menentang kelaliman yang menyengsarakan rakyat. Dan aku berbesar hati karena isteriku, Lie Ciauw Si, berdiri di sampingku dan membantuku, dan demikian pula kelak seluruh keluarga Cin-ling-pai akan membantuku kalau saatnya tiba. Ketahuilah, Liong-te, aku sekarang sedang berusaha untuk mengadakan pertemuan di Lembah Naga dengan seluruh tokoh kang-ouw dan ahli-ahli silat, partai-partai persilatan di seluruh dunia. Aku hendak mengadakan pemilihan bengcu dan jago nomor satu di dunia. Setelah itu, aku menghimpun seluruh kekuatan kang-ouw dan kita mengadakan gerakan orang gagah sedunia menentang kelaliman kaisar. Nah, karena itulah maka aku menyuruh mengajak nona Bhe Bi Cu ke sini, Liong-te, dengan harapan engkau akan suka membantu pergerakan kami ini."

   Sin Liong merasa terheran-heran dan terkejut bukan main, akan tetapi dia belum sepenuhnya dapat mempercaya apa yang diucapkan oleh pangeran itu, yang terdengar terlalu aneh baginya.

   "Aku tidak perduli tentang itu semua, Houw-ko. Aku hanya menghendaki Bi Cu selamat dan kami dibiarkan pergi tanpa gangguan. Aku akan berterima kasih kepadamu, Houw-ko, kalau engkau dan siapapun tidak mengganggu selembar rambut Bi Cu."

   Diam-diam Han Houw girang bahwa selama ini dia memperlakukan Bi Cu dengan baik. Memang telah diduganya hal ini. Orang seperti Sin Liong ini tidak boleh dihadapi dengan kekerasan, akan tetapi harus dengan kehalusan budi untuk menundukkannya.

   "Liong-te, tentu engkau belum percaya kalau tidak melihatnya sendiri. Marilah, adikku, mari kita menemui piauw-cimu dan kekasihmu itu. Mereka sedang menanti kita di Istana Lembah Naga."

   Dengan jantung berdebar penuh ketegangan dan penuh harapan, Sin Liong lalu mengikuti Han Houw. Akan tetapi baru beberapa langkah, pangeran itu bertepuk tangan dan muncullah pasukan-pasukan terpendam dari semua penjuru! Melihat ini, Sin Liong terkejut bukan main. Kiranya tempat itu telah dikurung oleh ratusan orang perajurit yang bersenjata lengkap. Dia bersikap tenang dan waspada, akan tetapi pangeran itu hanya minta disediakan dua ekor kuda. Dua ekor kuda terbaik dikeluarkan dan berangkatlah dua orang muda ini naik kuda ke Istana Lembah Naga.

   "Lihat, adikku, bukankah kita sekarang kembali seperti dulu lagi, ketika mengadakan perjalanan bersama?"

   Sin Liong tidak menjawab. Memang kenangan itu manis dan membayangkan kebaikan-kebaikan pangeran kepadanya, akan tetapi juga membuat dia merasa sebal mengingat akan tingkah pangeran ini setiap kali bertemu wanita muda dan cantik, dan diam-diam dia mengkhawatirkan keadaan Lie Ciauw Si, cucu kong-kongnya itu. Mengapa wanita cantik yang gagah perkasa itu mau menyerahkan diri kepada seorang pria macam pangeran ini, pikirnya heran. Di sepanjang perjalanan menuju ke Lembah Naga yang amat dikenalnya itu, Sin Liong mendapat kenyataan betapa tempat itu terjaga dengan amat ketatnya, penuh dengan pasukan, baik yang nampak menjaga di kanan kiri jalan maupun yang menjaga sambil bersembunyi-sembunyi di balik pohon, di dalam semak-semak. Diam-diam dia terkejut sekali, dan maklumlah dia bahwa kalau dia tidak bersama pangeran itu,

   Agaknya tidak akan mudah baginya untuk dapat menyelundup ke dalam daerah itu. Dan kenyataan inipun agak melegakan hatinya, karena seandainya pangeran itu mempunyai niat buruk terhadap dirinya, perlu apa dia akan disambut dan diajak masuk ke Istana Lembah Naga? Akan tetapi ketika dia dan pangeran itu tiba di depan Istana Lembah Naga yang amat dikenalnya walaupun kini keadaan jauh berbeda dengan dahulu di waktu dia tinggal di situ, kini menjadi sebuah istana yang megah dan indah, dia melihat dua orang wanita berdiri di depan istana itu menyambut. Dan seorang di antara mereka adalah Bi Cu! Seketika lenyaplah semua kekhawatirannya. Dia meloncat turun dari atas kudanya dan di lain saat dia sudah berlari ke depan. Juga Bi Cu sudah berlari cepat ke depan menyambut.

   "Sin Liong...!"

   "Bi Cu...!"

   Di lain detik mereka berdua sudah saling berangkulan dan berpelukan dengan ketat.

   "Sin Liong... ah, Sin Liong...!"

   Bi Cu terisak di dada pemuda itu yang merangkul dan mendekapnya dengan hati penuh asa girang dan bahagia.

   Kalau saja tidak ingat bahwa di situ berdiri Lie Ciauw Si yang memandang dengan terharu, dan berdiri pula Ceng Han Houw yang tersenyum lebar dan menghampiri isterinya, juga beberapa orang dayang, pengawal dan pelayan, tentu dia dan Bi Cu sudah berciuman. Akan tetapi hanya pandang mata mereka saja yang saling berciuman dan menyatakan kebahagiaan mereka dan kerinduan hati masing-masing. Sin Liong tidak perlu bertanya lagi akan keadaan Bi Cu. Dara itu nampak sehat, dan pakaiannya rapi, rambutnyapun rapi, sungguhpun wajahnya agak pucat dan sinar matanya menunjukkan bahwa dara itu banyak berduka. Hal itu lumrah, karena tentu Bi Cu selalu memikirkan dia, seperti juga dia tidak pernah dapat melupakan Bi Cu dan selalu mengkhawatirkan keselamatannya.

   "Mari kita ke dalam dan bicara di dalam, Liong-te dan nona Che Bi Cu. Marilah, Si-moi."

   Mereka berempat lalu memasuki istana itu, Sin Liong bergandengan tangan dengan Bi Cu yang agaknya tidak mau lagi melepaskan tangannya. Setelah mereka tiba di ruangan dalam dan pangeran itu mempersilakan mereka duduk, Sin Liong lalu menjura kepada pangeran itu dan berkata, suaranya terharu.

   "Ternyata ucapanmu terbukti benar, Houw-ko, maka terimalah ucapan terima kasihku. Aku sungguh bersyukur dan berterima kasih sekali bahwa Bi Cu berada dalam keadaan baik dan tidak terganggu."

   "Siapakah akan membohongimu. Liong-te? Apalagi setelah aku menjadi kakak iparmu pula. Si-moi, Liong-te, kalian berdua adalah saudara-saudara misan, keduanya adalah cucu ketua Cin-ling-pai, mengapa tidak saling tegur?"

   Karena tidak mungkin lagi menyembunyikan dirinya, Sin Liong lalu menjura dengan hormat kepada Ciauw Si dan berkata merendah,

   "Mana mungkin aku yang rendah berani mengaku adik misan Lie-lihiap?"

   Ciauw Si memandang tajam. Ketika dia mendengar dari suaminya bahwa Sin Liong sesungguhnya adalah anak kandung pamannya, Cia Bun Houw, dia tidak percaya dan merasa ragu-ragu. Kalau benar pamannya itu mempunyai seorang putera, mengapa tidak ada seorangpun di antara keluarga mereka yang tahu? Pula, anak ini katanya pernah ikut kong-kongnya di Cin-ling-pai, bahkan katanya berkenan menerima ilmu-ilmu lengkap dari kong-kongnya itu, termasuk Thi-khi-i-beng! Akan tetapi kalau sudah begitu, mengapa masih juga belum ada yang tahu?

   "Sin Liong, tidak perlu kiranya merendah atau merasa tinggi. Sebaiknya kalau berterus terang saja seperti kenyataannya. Aku telah mendengar dari pangeran bahwa engkau adalah putera kandung paman Cia Bun Houw. Sungguh hal ini aku tidak mengerti sama sekali dan tidak ada seorangpun diantara keluarga Cin-ling-pai yang tahu pula. Bagaimanakah sesungguhnya? Kalau engkau putera paman Cia Bun Houw, lalu siapakah ibu kandungmu dan bagaimana sampai tidak seorangpun di antara keluarga Cin-ling-pai yang tahu?"

   Sin Liong tahu bahwa semua ucapan itu dikeluarkan oleh wanita perkasa itu dengan hati jujur dan tanpa prasangka buruk, akan tetapi dia mendengarnya dengan hati merasa tertusuk. Dia menundukkan mukanya lalu berkata lirih,

   "Sesungguhnya rahasia ini takkan kuceritakan kepada siapapun juga, hanya tanpa kusengaja telah bocor sehingga diketahui orang. Maafkan, lihiap, aku tidak dapat menceritakan duduknya perkara, karena ini merupakan rahasia pribadi dari pendekar Cia Bun Houw."

   Dia menyebut nama ini dengan keras, menandakan bahwa hatinya marah kepada pendekar itu.

   "Maka, kalau sampai urusan ini dibicarakan dan rahasia ini dibongkar, biarlah yang membongkarnya dan membicarakannya yang bersangkutan sendiri!"

   Lie Ciauw Si dapat memaklumi keadaan Sin Liong yang agaknya diliputi rahasia yang tidak menyenangkan,

   "Akan tetapi, engkau sudah pernah dididik oleh mendiang kong-kong. Kalau engkau putera kandung paman Bun Houw, berarti kong-kong Cia Keng Hong adalah kong-kongmu pula, bahkan engkau merupakan keturunan langsung! Engkau she Cia dan engkau laki-laki pula! Mengapa engkaupun tidak mau mengaku kepada kakekmu sendiri?"

   Disebutnya nama kakek itu membuat Sin Liong merasa berduka. Dia menarik napas panjang dan berkata,

   "Beliau yang sudah berada di tempat baka tentu sudi mengampuni aku. Aku memang sengaja tidak ingin menonjolkan diri sebagai keturunan Cin-ling-pai yang terkenal sebagai keluarga gagah perkasa! Sedangkan aku ini orang apakah? Hanya orang yang tidak diakui! Haruskah aku mendesak-desak untuk membonceng ketenaran nama besar Cin-ling-pai?"

   Diam-diam Ciauw Si terkejut dan dia mengerutkan alisnya. Bocah ini sungguh memiliki watak angkuh, pikirnya. Akan tetapi dia tidak mendesak, juga tidak menegur karena dia dapat menduga bahwa tentu ada rahasia yang mungkin menyakitkan hati anak itu sehingga dia berkukuh tidak mau mengaku sebagai keluarga Cin-ling-pai. Selain itu, mana mungkin dia mau menerima pengakuan itu begitu saja bahwa anak itu adalah putera kandung pamannya kalau pamannya Cia Bun Houw itu sendiri tidak pernah mengakui hal itu? Tiba-tiba Bi Cu yang merasa tidak enak mendengar percakapan itu dan melihat betapa kekasihnya seperti orang tidak senang kalau disinggung soal keturunannya, padahal selama ini Lie Ciauw Si sedemikian ramah dan baiknya, segera berkata,

   "Ah, apa sih artinya keturunan? Bagiku, biar Sin Liong itu putera raja ataupun anak pengemis sekalipun sama saja. Menilai manusia bukan dari keturunannya, atau kedudukannya, atau keluarganya atau kekayaan melainkan kepandaiannya, bukan?"

   Karena ucapan ini dikeluarkan dengan suara yang terbuka dan jujur, disertai dengan wajah yang cerah dan berseri, maka mereka semua yang mendengarnya menjadi kagum dan tersenyum, juga seketika mengusir suasana yang tidak enak yang ditimbulkan oleh percakapan antara Ciauw Si dan Sin Liong tentang keturunan itu tadi.

   "Ha-ha-ha, memang tepat sekali ucapan nona Bhe. Dan ucapan itu sekaligus membuktikan bahwa cintanya terhadapmu sungguh tak terbatas, Liong-te! Biarlah aku mengucapkan selamat kepada kalian berdua!"

   Tentu saja Sin Liong dan Bi Cu menerima ucapan selamat dengan minum arak ini dengan girang dan balas menghormat. Sin Liong adalah seorang pemuda yang jujur dan tidak mempunyai prasangka-prasangka buruk. Oleh karena itu, dengan adanya Ciauw Si di situ, juga melihat betapa sikap Bi Cu terhadap Ciauw Si amat akrab, melihat pula sikap pangeran yang demikian halus dan ramah, yang bicara seperti seorang pahlawan pejuang yang hendak memperjuangkan nasib rakyat dan hendak menentang kelaliman kaisar, maka diapun kena dibujuk. Dia sanggup untuk membantu Ceng Han Houw ikut mengatur dan menjaga terlaksananya pemilihan bengcu itu, dan diam-diam diapun tidak mempunyai maksud untuk ikut memasuki pemilihan itu.

   Dia ingin melihat apa yang akan terjadi dan akan membiarkan kakak angkatnya itu menjadi bengcu dan berhasil merebut julukan jago nomor satu di dunia. Dia sendiri sama sekali tidak tertarik dan tidak ingin disebut apa-apa. Mereka berempat lalu makan minum dalam suasana yang cukup menggembirakan! Diam-diam Sin Liong merasa heran mengapa pangeran itu tidak mengajak para pembantu lainnya untuk ikut pula berpesta. Dan diapun masih bingung apa yang akan dilakukannya kalau dia melihat musuh-musuhnya, Kim Hong Liu-nio dan Hek-hiat Mo-li berada di situ. Melihat tiba-tiba wajah pemuda itu kelihatan murung dan alisnya berkerut, Pangeran Ceng Han Houw yang cerdik itu agaknya sudah dapat menduga melihat adik angkatnya mencari-cari dengan pandang mata, kemudian nampak termenung dan muram wajahnya.

   "Liong-te setelah engkau mendengarkan semua keteranganku, maka engkau tentu sudah mengerti sekarang bahwa kita menghadapi suatu perjuangan yang amat penting yang membutuhkan penghimpunan tenaga yang kuat dan kerja sama yang erat. Oleh karena itu, agaknya engkau tentu tahu pula bahwa dalam keadaan seperti ini, di mana kita amat membutuhkan kerja sama dari semua golongan rakyat untuk menentang kelaliman, maka semua urusan pribadi haruslah dikesampingkan lebih dulu."

   Sin Liong memandang wajah pangeran itu dengan pandang matanya yang tajam mencorong.

   "Houw-ko, apa maksudmu dengan ucapan itu?"

   "Liong-te, aku tahu bahwa engkau mempunyai musuh-musuh pribadi, dan terus terang saja, agaknya akan timbul perkelahian kalau engkau bertemu dengan suci Kim Hong Liu-nio dan subo Hek-hiat Mo-li. Aku tidak akan mencampuri urusan itu karena aku tidak mempunyai sangkut-paut dengan urusan pribadi itu. Bahkan isteriku sendiri, Lie Ciauw Si ini, tentu saja juga bermusuhan dengan mereka berdua. Akan tetapi, dalam keadaan seperti sekarang ini, kuharap engkau tidak akan menimbulkan keributan di sini dengan menyerang mereka, karena hal ini akan memberi contoh yang buruk sekali kepada semua pembantu kita dan hanya akan melemahkan kedudukan kita yang sedang menyusun kekuatan dan kerja sama ini. Mengertikah engkau maksudku, Liong-te?"

   Diam-diam Sin Liong terkejut. Pangeran ini sungguh amat cerdik dan berpemandangan tajam sehingga tepat sekali membicarakan apa yang sedang dipikirkannya. Dia lalu mengangguk dan berkata.

   "Aku berjanji takkan membikin ribut, Houw-ko. Akan tetapi dengan syarat bahwa merekapun tidak boleh mengganggu aku dan Bi Cu seujung rambutpun."

   Pangeran itu tersenyum dan diam-diam diapun kagum. Kini Sin Liong benar-benar telah menjadi seorang dewasa yang gagah dan bersikap keras, bukan seperti anak-anak lagi. Maka dia akan bertindak hati-hati menghadapi orang yang dia tahu merupakan saingan paling berat baginya ini.

   "Baik, akan kuperingatkan mereka, Liong-te. Sekarang, karena Liong-te baru saja tiba dan tentu lelah, persilakan Liong-te dan nona Bhe Bi Cu mengaso. Kamar kalian sudah dipersiapkan, tak jauh dari kamar kami."

   Tiba-tiba wajah Sin Liong menjadi merah sekali dan cepat dia berkata.

   "Houw-ko, kami berdua memang saling mencinta, hal itu hanya Thian saja yang mengetahui. Akan tetapi kami belum menjadi suami isteri maka tak mungkin kami tinggal sekamar!"

   "Aku akan tinggal di dalam kamarku sendiri yang biasa saja!"

   Bi Cu juga berkata, mukanya merah sekali dan dia menunduk.

   "Akan tetapi harap Houw-ko berbaik hati untuk memberi sebuah kamar untukku yang tidak berjauhan dari kamar Bi Cu."

   Sin Liong tidak mengatakan bahwa dia ingin menjaga dan melindungi kekasihnya itu, akan tetapi hal ini sudah dimengerti oleh semua orang.

   "Baik, baik, tentu saja akan kuatur itu. Maafkan, Liong-te, aku lupa betapa engkau adalah seorang laki-laki sejati dan bahwa kalian belum menikah."

   Kata pangeran itu sambil tertawa, teringat betapa dahulu Sin Liong amat "takut"

   Terhadap wanita, dan sampai kinipun,

   Biarpun sudah sama-sama saling mencinta, tetap saja dia tidak mau melakukan "pelanggaran". Tentu saja bagi Ceng Han Houw, hal ini dianggapnya sebagai suatu sikap kekanak-kanakan dan hijau. Pangeran itu memberi kesempatan kepada Sin Liong dan Bi Cu untuk bicara empat mata, maka dia lalu mengajak Ciauw Si masuk, Bi Cu lalu mengajak Sin Liong pergi ke sebuah taman di Istana Lembah Naga itu, sebuah taman yang indah dan terawat baik, berbeda dari dahulu ketika dia masih tinggal di situ. Setelah mereka berada berdua saja di dalam taman itu, Sin Liong dan Bi Cu tak dapat menahan lagi kerinduan hati masing-masing dan merekapun saling rangkul dan saling berciuman sampai hampir kehabisan napas. Akhirnya, gelora hati yang rindu itu agak mereda dan mereka duduk berdampingan di atas sebuah bangku panjang, dekat kolam ikan di dalam taman itu.

   "Sin Liong, aku merasa seperti hidup kembali melihat engkau datang. Untung aku belum mengambil keputusan nekat untuk bunuh diri."

   "Ihh!"

   Sin Liong terkejut dan merasa ngeri.

   "Jangan sekali-kali engkau melakukan hal itu, Bi Cu. Selama hayat masih dikandung badan, kita tidak boleh putus asa, dalam keadaan apapun juga. Lupakah akan cengkeraman maut terhadap diri kita di jurang itu? Buktinya kita berdua masih dapat menyelamatkan diri. Pula, bukankah engkau di sini diperlakukan dengan baik dan patut sebagai tamu?"

   "Memang benar, akan tetapi aku diculik! Dan aku dipisahkan darimu, Sin Liong! Jangankan baru tinggal di istana macam ini, biar disuruh tinggal di sorga sekalipun, tanpa engkau di sampingku, leblh baik aku berada di dalam jurang seperti dulu itu asal bersamamu."

   Sin Liong merasa terharu sekali dan memegang tangan Bi Cu. Jari-jari tangan mereka saling genggam dengan getaran perasaan yang amat mesra.

   "Kita takkan berpisah lagi untuk selamanya, Bi Cu. Percayalah bahwa akupun tidak akan mau hidup tanpa engkau di dekatku."

   Bi Cu menarik napas panjang penuh bahagia dan dia menyandarkan kepalanya di dada kekasihnya. Sampai lama mereka tinggal duduk seperti itu, tanpa berkata-kata karena kata-kata sudah tidak ada artinya lagi dalam keadaan seperti itu. Kata-kata bahkan membuyarkan perasaan dan mengurangi kemesraan yang terasa sekali sampai di sanubari dalam keadaan hening dan sadar sepenuhnya akan kehadiran masing-masing itu. Akhirnya Bi Cu berbisik,

   "Sin Liong, hatiku merasa tidak enak kalau kita berada di sini. Betapapun baiknya pangeran ini, namun jelas bahwa dia hendak mempergunakan engkau maka dia menyuruh orangnya menculikku."

   "Akan tetapi, dia sekarang telah berubah sejak menikah dengan..."

   "Enci Ciauw Si? Ah, kau tahu, enci Ciauw Si sendiri agaknya pun merasa tidak enak dan tidak suka dengan gerakan dari suaminya itu. Memberontak! Phuh..."

   "Bukan memberontak, Bi Cu, melainkan berjuang melawan kelaliman kaisar..."

   "Itu kan alasannya! Betapapun juga, aku merasa tidak enak dan tidak suka, Sin Liong. Perlu apa kita ikut campur dengan segala macam gerakan itu? Lebih baik mari kita pergi saja meninggalkan tempat ini!"

   Sin Liong menggelengkan kepala.

   "Tidak mungkin, Bi Cu. Berbahaya sekali..."

   "Tapi Sin Liong, dengan kepandaianmu yang demikian tinggi... eh, kau tahu, pangeran sendiri memujimu di depanku, mengatakan bahwa di dunia ini hanya engkaulah yang memiliki kepandaian yang hampir setingkat dengan kepandaiannya!"

   Sin Liong menggeleng kepala.

   "Apa dayaku menghadapi penjagaan ribuan orang pasukan? Kau tahu, Lembah Naga ini sudah terkurung oleh ribuan orang pasukan. Memang mungkin bagiku sendiri untuk lolos melalui hutan-hutan lebat yang menjadi tempatku bermain-main ketika aku masih kecil. Akan tetapi membawamu bersamaku berarti akan menyeret engkau ke dalam bahaya besar. Tidak, aku tidak akan melakukan hal itu, Bi Cu. Lebih baik kita bersabar, tinggal di sini dulu melihat perkembangan dan melihat gelagatnya. Kurasa enci Ciauw Si bukanlah seorang wanita lemah. Dia seorang pendekar wanita keturunan Cin-ling-pai, mungkin saja dia mencinta pangeran, akan tetapi kalau dia dibawa sesat, apalagi memberontak terhadap kerajaan begitu saja dengan maksud memperebutkan kedudukan, pasti dia tidak akan mau."

   Dia berhenti sebentar, lalu melanjutkan.

   "Biarpun aku sudah berjanji kepada pangeran untuk membantu, akan tetapi membantu untuk melakukan penjagaan dan dalam menghimpun orang-orang kang-ouw dan melakukan pemilihan bengcu, bukan membantunya untuk memberontak. Aku tidak sudi kalau harus membantu dia melakukan kejahatan."

   Dua orang muda ini tentu saja tidak tahu akan segala kepalsuan yang terjadi di dalam dunia ini. Setiap pemberontakan, setiap pembaharuan, setiap gerakan untuk menumbangkan yang lama dan menggantikan dengan yang baru, sudah tentu saja didasari oleh kelemahan-kelemahan dan cacat-cacat dari yang lama, yang akan diberontak itu. Dan yang memberontak, yang baru, tentu mengeluarkan janji-janji yang muluk-muluk.

   Karena, tidak mungkin pemberontakan dan pembaharuan dapat berjalan lancar dan berhasil tanpa bantuan rakyat, rakyat harus diberi janji-janji muluk, menonjolkan kelemahan dan cacat-cacat yang hendak dirobohkan dan mengemukakan janji-janji dan kebaikan-kebaikan dari yang memberontak. Semua ini hanya merupakan siasat belaka. Atau mungkin juga janji-janji itu dikeluarkan dengan hati murni oleh para pimpinan. Akan tetapi sayang, begitu maksud tercapai sudah, maka mereka yang duduk di kursi pimpinan menjadi mabuk kemenangan dan sama sekali melupakan atau sengaja tidak mau ingat lagi akan janji-janji yang telah dikeluarkan ketika mereka mendorong rakyat untuk mem"bantu gerakan mereka itu. Dan hal seperti ini terus menerus berulang. Yang berhasil dan menang kemudian menghadapi lagi golongan baru yang ingin menumbangkannya,

   Dengan janji-janji yang sama pula, dengan penonjolan-penonjolan kesalahan dari yang sedang berkuasa, persis seperti ketika pemberontakan atau pergolakan pertama atau terdahulu itu terjadi. Dan yang menyedihkan sekali, rakyatpun selalu menurut saja dan dapat saja dimakan propaganda dan dibodohi oleh janji-janji muluk yang tak kunjung terpenuhi itu! Kapankah di dunia ini muncul pemimpin-pemimpin yang memimpin rakyat berdasarkan cinta kasih, kasih sayang dan sama sekali tidak mendasarkannya untuk memenuhi atau mencapai ambisi pribadi, mengejar-ngejar kemuliaan, kekayaan dan kesenangan pribadi? Kapankan segala semboyan dan anjuran tentang hal-hal yang baik itu bukan hanya menjadi semboyan kosong belaka melainkan dihayati dalam kehidupan sehari-hari oleh mereka yang mengeluarkan semboyan itu sendiri,

   Oleh para pemimpin rakyat sehingga tanpa dianjurkan lagi rakyat sudah akan dapat melihatnya dan otomatis akan bersikap dan berwatak sama dengan para pemimpinnya? Pemimpin sama dengan ayah dan rakyat sama dengan anak. Setiap perbuatan ayahnya merupakan pendidikan langsung bagi anak. Sebaliknya apa gunanya seorang ayah gembar-gembor melarang anaknya melakukan sesuatu kalau dia sendiri melakukannya? Atau apa gunanya para pemimpin menganjurkan rakyat melakukan ini atau itu kalau mereka sendiri tidak melakukannya? Yang penting dalam hidup ini adalah penghayatan, atau kelakuan sehari-hari yang dapat dilihat, bukan kata-kata kosong yang dapat saja dikeluarkan oleh lidah yang tak bertulang.

   Demikianlah, diam-diam Sin Liong dan Bi Cu merasa tidak senang tinggal di Lembah Naga sebagai tamu-tamu agung dari Pangeran Ceng Han Houw, dan mereka merasa khawatir, akan tetapi mereka tidak berdaya karena tempat itu dijaga oleh ribuan orang pasukan. Dan selain mengkhawatirkan keselamatan mereka berdua, diam-diam Sin Liong juga amat berprihatin akan nasib Lie Ciauw Si yang telah menyerahkan diri menjadi isteri pangeran itu berdasarkan cinta kasih, bahkan dia mendengar dari Bi Cu yang juga mendengar dari Ciauw Si sendiri, wanita gagah itu menikah dengan Ceng Han Houw tanpa persetujuan keluarga, bahkan tidak disaksikan orang lain karena mereka menikah diam-diam di kuil!

   Menerima kebaikan orang lain merupakan hal yang mendatangkan rasa tidak enak kepada seseorang kalau dia tidak mampu untuk melakukan sesuatu sebagai imbalan atau balasan. Demikian pula dengan Sin Liong. Dia merasa tidak enak sekali karena di dalam Istana Lembah Naga itu dia diperlakukan dengan amat baiknya oleh Pangeran Ceng Han Houw. Bahkan semua komandan pengawal menghormatinya dan memandangnya sebagai adik angkat, keluarga dan juga orang terpercaya dari sang pangeran! Dan memang demikianlah. Sin Liong boleh pergi ke manapun juga di seluruh daerah itu, akan tetapi tentu saja sendirian. Kalau dia mengajak Bi Cu, maka mendadak saja penjagaan diperketat dan tempat itu dikurung sehingga tahulah dia bahwa pangeran menghendaki agar Bi Cu tetap tinggal di istana sebagai sandera!

   Betapapun juga, Sin Liong sudah membawa Bi Cu berjalan-jalan, keluar masuk hutan dan menunjukkan tempat-tempat di mana dia ketika kecil bermain-main, bahkan dia juga pergi bersama Bi Cu ke dalam hutan di mana dulu dia dipelihara oleh monyet betina besar. Dia bertemu pula dengan rombongan monyet-monyet, akan tetapi tentu saja tidak ada seekorpun monyet yang mengenalnya. Padahal dahulu, hampir semua monyet di hutan itu mengenalnya, bahkan mentaati perintahnya. Akan tetapi diapun cukup cerdik untuk mengetahui bahwa tidak mungkinlah baginya untuk melarikan diri bersama Bi Cu dari tempat itu karena sudah terkepung oleh anak buan pangeran, kecuali kalau dia mau mengambil jalan liar melalui hutan-hutan lagi yang tentu akan menghadapi bahaya-bahaya lain lagi yang tak mau dia menempuhnya karena dia tidak mau membawa kekasihnya ke dalam bahaya.

   Karena tidak mau kalau hanya makan tidur saja, maka mulailah Sin Liong ikut melakukan penjagaan. Pertemuan besar antara orang-orang kang-ouw masih sebulan lagi dan selama itu seluruh lembah dijaga. Sin Liong sering kali melakukan perondaan di sekeliling lembah yang amat sunyi itu, kadang-kadang membayangkan apa yang akan terjadi di lembah itu. Dia sudah mengajak Bi Cu beberapa kali mengunjungi kuburan ibu kandungnya, sebuah makam sederhana dan di situ dia bersembahyang bersama Bi Cu. Kepada Bi Cu dia menceritakan terus terang semua riwayatnya tentang ibunya yang buntung sebelah tangannya, tentang dirinya yang sesungguhnya adalah putera ibunya yang bernama Liong Si Kwi dan pendekar Cia Bun Houw.

   "Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan ibu kandungku dan ayah kandungku itu. Akan tetapi jelaslah bahwa aku terlahir karena hubungan antara ibu kandungku dan Cia Bun Houw. Akan tetapi, melihat bahwa ibuku kemudian menjadi isteri paman Kui Hok Boan dan Cia Bun Houw menikah dengan wanita lain, pendekar wanita Yap In Hong itu, maka kuduga bahwa hubungan itu tentu hubungan gelap. Buktinya sampai sekarang menurut enci Ciauw Si, seluruh keluarga Cin-ling-pai tidak ada yang mengetahuinya. Biarpun aku putera pendekar Cia Bun Houw, akan tetapi agaknya... aku hanyalah anak gelap..."

   Bi Cu merangkul dan mencium muka yang muram itu.

   "Sin Liong, engkau anak terang anak gelap atau setengah gelap, bagiku sama saja. Aku sudah bilang, aku tidak perduli engkau ini anak pendekar Cia Bun Houw, anak raja, anak jembel, anak malaikat atau anak setan! Maka, tidak perlu engkau bermuram seperti ini!"

   Tentu saja Sin Liong lalu tersenyum dan wajahnya menjadi cerah kembali.

   Sudah beberapa kali semenjak dia dan Bi Cu berada di Lembah Naga, dia mengajak Bi Cu untuk mengunjungi makam ibunya dan pada senja hari itu diapun baru saja kembali dari makam ibu kandungnya seorang diri. Diapun ingin sekali tahu apa yang sesungguhnya telah terjadi antara mendiang ibu kandungnya dan pendekar Cia Bun Houw. Sayang ibunya tidak sempat bercerita kepadanya tentang hal itu. dan agaknya pendekar Cia Bun Houw juga merahasiakannya, tidak pernah menceritakannya kepada siapapun juga. Buktinya keluarga Cin-ling-pai tidak ada yang tahu! Dan diapun tidak sudi bertanya kepada pendekar itu atau mengaku bahwa dia puteranya. Dia tidak mau mengemis belas kasihan dan kasih sayang dari pendekar yang menjadi ayah kandungnya itu ataupun dari siapa juga. Kecuali dari Bi Cu agaknya! Terhadap Bi Cu, apapun akan dilakukannya, tanpa kecuali! Hemm, kalau pendekar itu mau mengakuinya sebagai putera, baik.

   Kalau tidak, diapun tidak butuh menjadi anak pendekar! Dan dia tersenyum girang mengingat akan sikap Bi Cu kepadanya. Dara itu mencintanya, mencinta dirinya tanpa kecuali, tidak memperdulikan dia itu keturunan siapa. Sedikit kekecewaan dan kedukaan tentang ayah kandungnya itu segera lenyap ketika dia teringat Bi Cu yang mencinta dirinya, bukan keturunannya. Senja telah mendatang dan biarpun cuaca mulai menyuram, karena cahaya matahari yang mulai bersembunyi di balik puncak itu sudah amat lemah, namun pandang matanya yang tajam masih dapat melihat dan merasakan adanya sesuatu yang tidak beres ketika dia memasuki sebuah hutan kecil di luar Lembah Naga menuju pulang itu. Biasanya, di situ tentu ada belasan orang penjaga yang melakukan penjagaan sambil bersembunyi.

   Dia tadipun ketika pergi menuju ke makam ibunya, masih tersenyum melihat gerakan-gerakan mereka. Para penjaga yang melakukan penjagaan bersembunyi itu hanya berguna untuk menjaga musuh-musuh biasa, akan tetapi kalau yang masuk itu orang pandai, tentu orang itu dapat melihat gerakan-gerakan mereka, pikirnya. Akan tetapi sekarang, tidak ada gerakan sedikitpun juga. Suasana di tepi hutan itu sunyi bukan main, sunyi dan mati! Timbil kecurigaannya karena biasanya, setiap tempat selalu dijaga siang malam secara bergilir, penjagaan yang merupakan sebuah hutan di tepi Lembag Naga merupakan jalan masuk ke lembah itu, tidak terjaga? Ke mana perginya semua penjaga di situ yang jumlahnya belasan orang itu? Sebagai seorang yang oleh pangeran dipercaya untuk melakukan perondaan dan menjaga keamanan lembah itu,

   Sin Liong merasa berkewajiban untuk melakukan pemeriksaan dan kalau perlu menegur komandan penjaga di hutan itu yang dianggapnya lengah sekali. Sin Liong dengan gerakan ringan sekali lalu meloncat ke arah sebatang pohon tinggi dan dari puncak pohon itu dia meneliti ke bawah, untuk melihat ke mana perginya para penjaga itu. Dan tiba-tiba, dia menahan seruan heran melihat tubuh beberapa orang penjaga malang-melintang di belakang semak-semak seperti orang tidur nyenyak, ataukah sudah tewas? Cepat dia meloncat turun dan lari ke tempat itu. Ternyata nampak belasan orang penjaga yang biasanya menjaga di bagian itu rebah malang-melintang, sama sekali bukan tidur nyenyak atau mati, melainkan tidak sadar dalam keadaan tertotok semua! Ada musuh menyelundup masuk!

   Musuh yang lihai sekali, karena hanya musuh lihai sajalah yang berani merobohkan para penjaga hanya dengan totokan dan tidak membunuh mereka! Sin Liong tidak mau membuang waktu lagi dan cepat dia lalu berkelebat masuk ke dalam hutan kecil itu dan kembali tak lama kemudian dia sudah memeriksa keadaan sekeliling dengan meloncat dan memanjat ke puncak pohon yang tinggi. Akhirnya dia melihat gerakan dua orang yang cepat sekali di tengah hutan. Agaknya dua orang itulah musuh yang menyelundup, dan agaknya dua orang itu sedang menanti malam gelap untuk melanjutkan gerakan mereka, tentu saja untuk menyelundup ke Istana Lembah Naga. Sin Liong lalu meloncat turun dan cepat sekali dia lalu menuju ke tempat itu, berindap-indap dengan hati-hati, akan tetapi cepat bukan main.

   Mereka itu adalah seorang pria dan seorang wanita. Keduanya sedang duduk di atas rumput, bersila, dan agaknya berunding sambil berbisik-bisik. Sin Liong mendekati dan mengintai, ingin melihat siapa adanya mereka itu. Kedua orang itu dari belakang kelihatan belum tua benar. Akan tetapi, tiba-tiba wanita itu tanpa menoleh telah menggerakkan tangan kirinya ke belakang dan nampak sinar hijau menyambar ke arah rumpun semak-semak di belakang mana Sin Liong mengintai! Itulah Siang-tok-swa (Pasir Beracun Harum), senjata rahasia yang amat berbahaya! Sin Liong mengenal bahaya, maka diapun meloncat berdiri dan mengelak ketika sinar hijau itu menyambar. Akan tetapi tiba-tiba wanita yang tadinya duduk bersila itu tahu-tahu sudah melayang ke arahnya dan menyerangnya sambil membentak,

   "Robohlah!"

   Akan tetapi tentu saja Sin Liong tidak demikian mudah dirobohkan sungguhpun dia merasa terkejut bukan main menyaksikan kelihaian wanita yang cantik ini. Dia menggerakkan tangan menangkis sambil mengerahkan tenaga.

   "Duk! Aihhhh...!"

   Wanita itu agak terhuyung dan mengeluarkan seruan tertahan, karena dia merasa terkejut dan heran betapa pemuda itu bukan hanya mampu menangkis, bahkan tangkisannya sedemikian kuatnya, membuat dia hampir terhuyung. Tiba-tiba Sin Liong merasa betapa ada angin yang dahsyat menyambar dari samping. Tahulah dia bahwa ada orang pandai menyerangnya. Tentu pria tadi, pikirnya, maka sambil memutar kakinya, diapun menangkis sambil mengerahkan tenaga sin-kang karena dia tahu bahwa pukulan ini hebat sekali.

   "Desss...!"

   Dan akibatnya, keduanya terpental ke belakang dan keduanya sama-sama terkejut. Apalagi ketika mereka saling mengenal. Sin Liong memandang terbelalak kepada pria gagah perkasa yang ternyata bukan lain adalah ayah kandungnya sendiri, Cia Bun Houw! Maka kini teringatlah dia bahwa wanita itu adalah Yap In Hong, ibu tirinya, isteri ayah kandungnya! Di fihak Cia Bun Houw, diapun mengenal pemuda ini dan alisnya berkerut, mukanya berubah merah karena dia teringat betapa pemuda yang pernah dikasihi oleh mendiang ayahnya itu, bahkan yang telah mewarisi semua ilmu dari ayahnya, ternyata merupakan pemuda yang tidak berbudi, yang telah menghalangi dia dan isterinya membunuh musuh besar mereka, Kim Hong Liu-nio. Dan sekarang, pemuda ini agaknya malah membantu Pangeran Ceng Han Houw!

   "Engkau...?"

   Cia Bun Houw membentak dan Yap In Hong juga menunda serangan lanjutannya
(Lanjut ke Jilid 52)
Pendekar Lembah Naga (Seri ke 04 "

   Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 52
mendengar ini. Dia memandang dan sekarangpun dia teringat kepada Sin Liong.

   "Eh, kiranya setan cilik ini berada di sini?"

   Diapun membentak marah. Sin Liong menghadapi mereka dan memandang tajam. Dia khawatir sekali melihat ayah kandungnya berkeliaran di situ. Akan tetapi diapun merasa tidak senang melihat ibu tirinya, apalagi mendengar dia disebut setan cilik!

   "Harap ji-wi segera pergi dari sini!"

   Katanya kemudian.

   "Di sini amat berbahaya."

   Cia Bun Houw sudah merasa penasaran sekali.

   "Dan engkau sendiri?"

   "Aku... adalah penjaga di sini, maka aku tahu betapa bahayanya tempat ini."

   "Bocah lancang!"

   Cia Bun Houw membentak marah.

   "Kau kira, kalau engkau yang berjaga, aku lalu merasa takut padamu?"

   "Bocah setan ini memang perlu dihajar!"

   Yap In Hong berseru karena diapun merasa betapa anak ini amat buruk wataknya, tidak mengenal budi yang telah dilimpahkan oleh ketua Cin-ling-pai, mendiang ayah mertuanya. Sepatutnya Sin Liong ingat budi dan membantu Cin-ling-pai, bukan malah membantu pangeran pemberontak itu! Sin Liong juga marah, merasa direndahkan, akan tetapi dia menahan sabar dan hanya menggerak-gerakkan kedua tangannya.

   "Pergilah... pergilah...!"

   "Engkau yang pergi ke neraka, bocah murtad!"

   Cia Bun Houw membentak dan dia sudah menyerang dengan pukulan tangan kanan ke arah kepala Sin Liong. Akan tetapi, Sin Liong dengan sigap dan cepatnya mengelak, memutar tubuhnya dan tahu-tahu diapun sudah menyerang, bukan kepada ayah kandungnya, melainkan kepada Yap In Hong, dengan pukulan tangan kiri yang cepat dan dahsyat. Namun Yap In Hong adalah seorang wanita pendekar sakti yang berilmu tinggi, maka dengan cepat dia dapat menangkis pukulan itu.

   Terjadilah perkelahian yang seru dan membuat suami isteri pendekar sakti itu terheran-heran tiada habisnya. Pemuda itu ternyata mampu menghadapi pengeroyokan mereka! Sama sekali tidak pernah terdesak malah, dan membalas setiap serangan dengan serangan balasan yang tidak kalah dahsyat dan ampuhnya! Bahkan pemuda itu dapat mainkan Thai-kek Sin-kun dengan amat baiknya, menangkis tenaga pukulan Thian-te Sin-ciang dengan tenaga pukulan Thian-te Sin-ciang pula yang tidak kalah kuatnya! Bahkan ketika kedua orang suami isteri yang amat lihal itu mendesaknya dengan gerakan cepat, Sin Liong sudah melindungi tubuhnya dengan kekebalan menurut ajaran mendiang Kok Beng Lama dan juga mengerahkan Thi-khi-i-beng untuk menyedot tenaga dua orang pengeroyoknya!

   
Pendekar Lembah Naga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Dua orang suami isteri itu berkali-kali mengeluarkan seruan kaget sekali. Mereka teringat akan kehebatan Kok Beng Lama dan Cia Keng Hong, karena kehebatan kedua orang kakek sakti itu seolah-olah telah pindah ke dalam diri anak ini! Tentu saja Sin Liong harus mengerahkan seluruh tenaga yang ada pada dirinya dan mengeluarkan semua ilmu yang pernah dipelajarinya untuk menghadapi pengeroyokan dua orang yang demikian saktinya. Hanya dia belum mau mempergunakan ilmu-ilmu yang dipelajarinya dari kitab-kitab Bu Beng Hud-couw karena betapapun juga, dia hanya membela diri dan membalas serangan dengan ilmu-ilmu yang didapatnya dari Kok Beng Lama dan Cia Keng Hong sehingga boleh dibilang pemuda ini menghidapi dua orang lawannya dengan ilmu-ilmu yang sama! Maka mereka itu seolah-olah hanya "berlatih"

   Saja,

   Sungguhpun sebenarnya, sama sekali bukan demikian karena suami isteri yang merasa penasaran itu mendesak dengan hebat. Apalagi setelah lewat lima puluh jurus kedua orang suami isteri yang lihai itu sama sekali belum mampu merobohkan Sin Liong! Mereka berdua adalah pendekar-pendekar besar sehingga biarpun kelihatannya mereka mengeroyok Sin Liong dengan dahsyat, namun mereka selalu mengendalikan serangan mereka dan kalau sampai Sin Liong terkena pukulan, tentu saja bukan pukulan mematikan. Diam-diam Sin Liong juga merasa kagum bukan main. Ayah kandungnya ini memang hebat, dan ibu tirinyapun hebat. Melawan mereka satu lawan satu saja kiranya amat sukar baginya untuk memperoleh kemenangan, apalagi harus melayani dua sekaligus. Entahlah kalau dia mempergunakan ilmunya Hok-mo Cap-sha-ciang.

   Akan tetapi dia merasa tidak enak dan malu kalau harus menggunakan ilmu ini kepada mereka, sungguhpun dalam gerakannya itu telah dibantu oleh kemajuan yang didapat ketika dia mempelajari ilmu peninggalan Bu Beng Hud-couw itu. Tiba-tiba terdengar suara gaduh dan muncullah puluhan orang perajurit yang dipimpin oleh seorang kakek tinggi besar yang bukan lain adalah Hai-liong-ong Phang Tek, orang pertama dari Lam-hai Sam-lo! Itu adalah pasukan penjaga dari sekitar hutan itu yang tertarik oleh perkelahian itu dan segera memasuki hutan dipimpin oleh kakek itu. Melihat ini, Cia Bun Houw dan Yap In Hong terkejut. Mereka datang untuk menyelidiki Lembah Naga, sesuai dengan perintah Pangeran Hung Chih. Akan tetapi kini mereka ketahuan. Menghadapi Sin Liong seorang saja sudah agak berat, apalagi kalau muncul puluhan orang penjaga.

   Mereka tidak takut, akan tetapi maklum bahwa tidak mungkin mereka berdua saja harus melawan ribuan pasukan yang berada di daerah itu. Maka Cia Bun Houw mengeluarkan suara melengking nyaring yang menjadi isyarat bagi isterinya untuk melarikan diri. Suara lengkingan dahsyat itu luar biasa sekali, mengandung tenaga khi-kang kuat sehingga beberapa orang pengawal terguling roboh. Melihat kedua orang itu melarikan diri, Sin Liong tidak mengejar dan membiarkan pasukan pengawal mengejar mereka, yakin bahwa tak mungkin pasukan pengawal itu akan mampu menyusul suami isteri pendekar yang sakti itu. Sementara itu, Hai-liong-ong Phang Tek yang juga tahu akan kelihaian suami isteri itu dan merasa jerih untuk pergi mengejar sendirian saja, lalu tersenyum kepada Sin Liong dan menjura sambil berkata, suaranya ramah.

   "Senang sekali dapat bertemu dan bekerja sama dengan taihiap."

   Sin Liong tidak menjadi bangga den senang mendengar disebut taihiap itu, yang dia tahu dilakukan oleh kakek ini untuk menghormatinya karena kakek ini tentu tahu bahwa dia dianggap adik angkat atau bahkan keluarga pangeran. Dia tidak tahu bahwa memang kakek ini kagum bukan main melihat dia mampu menandingi pengeroyokan dua orang suami isteri yang terkenal sebagai pendekar-pendekar terbesar di masa itu. Tanpa menjawab, Sin Liong hanya mengangguk kemudian memutar tubuhnya dan pergi dari situ untuk kembali ke kamarnya di Istana Lembah Naga. Bi Cu telah menyambutnya. Dara ini tidak mau makan malam sebelum Sin Liong pulang dan begitu kekasihnya datang, dia menyambut dengan teguran,

   "Sin Liong, ke mana saja engkau sampai malam begini? Hatiku merasa gelisah selalu."

   Sin Liong lalu menceritakan pertemuannya dengan suami isteri pendekar itu, betapa dia bertempur melawan mereka sehingga kemudian pasukan datang dan suami isteri itu melarikan diri.

   "Ah, ayah kandungmu dan ibu tirimu?"

   Bi Cu bertanya kaget sekali. Sin Liong mengangguk dan alisnya berkerut, hatinya gelisah. Tak disangkanya dia akan bertemu dengan keluarga Cin-ling-pai di tempat itu. Tanpa banyak cakap dia lalu makan malam bersama Bi Cu. Baru saja selesai makan malam, Pangeran Ceng Han Houw dan Lie Ciauw Si mengunjungi mereka.

   "Liong-te, aku mendengar dari pasukan penjaga bahwa senja tadi muncul ayah kandungmu dan ibu tirimu..."

   "Harap engkau tidak menyebut-nyebut tentang ayah kandung dan ibu tiri, Houw-ko!"

   Sin Liong menegur, merasa tidak senang orang bicara seperti itu. Kalau Bi Cu yang menyebutnya, hal itu lain lagi!

   "Ah, baiklah. Dan memang sikapmu tadi membuktikan bahwa engkau tidak menganggap mereka ayah dan ibu tiri, Liong-te. Suami isteri perkasa, pasangan pendekar yang paling hebat di masa ini telah memberi kehormatan kepadaku dan muncul di sini. Kenapa engkau menerima dan menyambut mereka dengan kepalan, Liong-te? Bukankah engkau tahu bahwa kita membutuhkan tenaga mereka? Mengapa engkau tidak menerima mereka secara baik-baik dan mempersilakan mereka masuk sebagai tamu-tamu agung? Kau tahu, mereka itu adalah paman dan bibi isteriku, berarti paman dan bibiku sendiri. Kenapa engkau malah menyambut mereka sebagai musuh?"

   Sin Liong merasa bingung dengan sikap pangeran ini. Kata-katanya penuh teguran dan penyesalan, akan tetapi pandang mata pangeran itu membayangkan hati yang gembira!

   Dia sudah mengenal baik sinar mata pangeran itu dan tahu bahwa kalau pangeran itu benar-benar sedang marah, tidak seperti itulah sinar matanya. Dan memang benarlah. Han Houw kecewa mendengar keluarga Cin-ling-pai yang diharapkannya untuk dapat menjadi sekutunya itu datang sebagai musuh, akan tetapi diapun girang melihat bukti kenyataan bahwa Sin Liong benar-benar hendak membelanya dan setia kepadanya sehingga pemuda ini, untuk menjaga keamanan di situ, tidak segan-segan untuk melawan ayah kandung sendiri! Tentu saja dia tidak tahu bahwa perkelahian itu bukan disebabkan oleh hal itu, melainkan karena Sin Liong didesak dan diserang oleh mereka. Juga Lie Ciauw Si segera berkata, suaranya halus tetapi mengandung teguran dan penyesalan,

   "Liong-te, mengapa engkau tidak memberitahukan mereka bahwa aku berada di sini dan bahwa aku ingin sekali bertemu dan bicara dengan paman Bun Houw dan bibi In Hong? Ah, aku sudah mengutus orang menyampaikan surat kepada keluarga kami, keluarga Cin-ling-pai, akan tetapi begitu paman dan bibi muncul, engkau malah menyerang mereka."

   Sin Liong tahu benar bahwa apa yang keluar dari mulut kakak misannya ini memang jujur dan sebenarnya, berbeda dengan ucapan pangeran yang tentu mengandung hal-hal tersembunyi yang tidak dipercayanya. Maka diam-diam dia merasa lega bahwa ayah kandungnya itu telah pergi dari Lembah Naga dan berarti lolos dari ancaman bahaya yang dia tidak dapat membayangkan bagaimana.

   "Maafkan, Houw-ko dan lihiap."

   Dia tetap tidak mau menyebut piauw-ci kepada Lie Ciauw Si, melainkan menyebut lihiap karena kalau dia menyebut piauw-ci, sama artinya bahwa dia menerima Cin-ling-pai sebagai keluarganya. Padahal, dia tidak akan mengemis akan hal itu.

   "Akan tetapi ketika aku melihat betapa mereka berdua merobohkan belasan orang penjaga dengan totokan, aku menjadi curiga dan menyerang mereka. Terjadilah perkelahian kemudian muncul Hai-liong-ong Phang Tek dan pasukan penjaga, dan mereka melarikan diri."

   "Sudahlah,"

   Pangeran menarik napas panjang seperti orang menyesal, padahal hatinya terasa lega karena betapapun juga, dia agak jerih terhadap suami isteri itu.

   "Semua itu terjadi karena salah sangka. Kelak kalau mereka muncul dalam pertemuan rapat besar orang-orang kang-ouw, tentu akan dapat kita terangkan duduknya perkara dan aku mohon maaf kepada paman Cia Bun Houw dan bibi Yap In Hong!"

   Pangeran itu menyebut dua nama ini dengan paman dan bibi, suaranya begitu sungguh-sungguh dan mesra seolah-olah dia memang sudah menerima suami isteri itu menjadi keluarganya. Hal ini menggirangkan hati Ciauw Si, akan tetapi menimbulkan curiga di dalam hati Sin Liong. Pemuda ini tahu bahwa sang pangeran menganggap suami isteri itu sebagai saingan besar untuk memperebutkan julukan jagoan nomor satu di dunia!

   Aku harus waspada, pikir Sin Liong. Bukan waspada menjaga keamanan Lembah Naga, melainkan waspada mengamati gerak-gerik pangeran itu untuk menjaga keselamatan Bi Cu dan dirinya sendiri, dan kalau mungkin keselamatan Ciauw Si! Bagaimanakah suami isteri pendekar itu tiba-tiba dapat muncul di Lembah Naga? Seperti telah kita ketahui, Cia Bun Houw dan isterinya, Yap In Hong, bersama dengan Lie Seng pergi ke kota raja dan mereka bertiga berhasil melarikan Sun Eng dari dalam tahanan di istana Pageran Ceng Han Houw. Akan tetapi, Sun Eng tidak dapat ditolong dan meninggal dunia, sedangkan Lie Seng yang merasa berduka sekali itu akhirnya lalu mengikuti seorang hwesio tua untuk mengasingkan diri dari dunia ramai dan masuk menjadi seorang hwesio yang tidak lagi mencampuri urusan duniawi!

   Cia Bun Houw dan Yap In Hong lalu kembali ke kota raja dan berhasil menemui Pangeran Hung Chih, kemudian mereka menerima berita baik sekali, yaitu bahwa mereka sekeluarga Cin-ling-pai telah dibebaskan daripada tuduhan memberontak dan tidak lagi menjadi buruan pemerintah. Dengan girang mereka lalu menyampaikan berita ini kepada kedua orang kakak mereka, yaitu suami isteri Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng yang masih bersembunyi di selatan. Mereka berdua kemudian menitipkan putera mereka dalam asuhan suami isteri yang lebih tua itu karena mereka sudah berjanji dengan Pangeran Hung Chih untuk membantu pangeran itu menghadapi usaha pemberontakan Ceng Han Houw.

   Demikianlah, kedatangan mereka ke utara itu adalah dalam rangka tugas ini, yaitu melakukan penyelidikan tentang kegiatan pangeran peranakan Mongol itu. Tak mereka sangka, mereka telah dipergoki oleh Sin Liong! Setelah berhasil melarikan diri keluar dari Lembah Naga, suami isteri ini lalu mengirim laporan tentang Lembah Naga yang terjaga ribuan orang pasukan Mongol dan bangsa-bangsa utara lainnya itu secara panjang lebar, kemudian mengutus seorang di antara para penyelidik untuk membawa laporan itu ke sebelah dalam Tembok Besar. Mereka berdua sendiri masih menanti di luar Lembah Naga untuk mengikuti perkembangan usaha Pangeran Ceng Han Houw mengadakan pertemuan besar dengan tokoh-tokoh kang-ouw. Sering kali mereka membicarakan tentang Sin Liong.

   "Bocah setan itu benar-benar lihai sekali,"

   Kata Yap In Hong.

   "Sungguh luar biasa bocah seperti itu memiliki semua ilmu-ilmu Cin-ling-pai sedemikian sempurnanya. Dia telah mewarisi semua kepandaian mendiang suhu Kok Beng Lama!"

   "Dan juga kepandaian mendiang ayah!"

   Kata Bun Houw sambil menarik napas panjang.

   "Aku sendiri sebagai putera tunggal ayah tidak mewarisi Thi-khi-i-beng, juga enci Giok Keng sebagai puteri tunggalnya pun tidak. Yang mewarisi hanyalah kakanda Yap Kun Liong seorang. Akan tetapi siapa kira, bocah setan itu kini mewarisinya, dan dapat mempergunakannya dengan mahir sekali!"

   "Dia telah menggabung ilmu-ilmu dua orang guru besar secara hebat. Dia akan merupakan lawan yang tangguh sekali!"

   "Memang benar. Sungguh aku tidak mengerti mengapa suhu Kok Beng Lama dan ayahku menurunkan semua ilmu mereka kepada bocah tak berbudi itu sehingga kini semua ilmu kita sendiri dipergunakan untuk melawan kita dan membela pangeran pemberontak. Sungguh penasaran sekali, dan kalau saja mendiang ayah dan mendiang suhu Kok Beng Lama dapat melihat hal ini, tentu mereka berdua akan merasa menyesal sekali."

   "Sudahlah, tidak perlu kita gelisah dan khawatir. Bagaimanapun juga, dia masih amat muda dan belum berpengalaman. Mungkin saja dia kena terbujuk oleh pangeran itu, siapa tahu? Kita belum melihat benar bagaimana isi hati anak yang aneh dan keras hati itu. Agaknya tidak mungkin kalau kedua orang tua yang bijaksana itu sampai salah mengenal orang. Kita lihat saja bagaimana perkembangan selanjutnya di Lembah Naga."

   Cia Bun Houw menyetujui pendapat isterinya ini dan mereka menanti sambil memasang mata dengan waspada, menanti perkembangan dan datangnya hari pertemuan para tokoh kang-ouw di Lembah Naga yang undangannya telah disebar oleh kaki tangan Pangeran Ceng Han Houw beberapa bulan sebelumnya. Semua tokoh kang-ouw yang "merasa berkepandaian"

   Diundang, tanpa menentukan siapa orangnya. Dalam undangan yang disebar itu dikemukakan bahwa dalam pertemuan itu akan dipilih seorang bengcu yang akan memimpin seluruh dunia kang-ouw sebagai jagoan nomor satu di dunia ini! Suami isteri ini maklum bahwa tentu semua tokoh kang-ouw akan tertarik oleh undangan istimewa ini den Lembah Naga akan menjadi ramai bukan main. Akan tetapi merekapun tahu bahwa akan terjadi keramaian lain yang sama sekali tidak akan terduga-duga oleh Pangeran Ceng Hen Houw si pemberontak itu.

   Mereka menanti saat penentuan itu dengan tenang dan waspada. Telah terlalu lama kita menginggalkan keadaan Tee Beng Sin si pemuda gemuk yang gagah perkasa itu. Setelah kita mengetahui bahwa yang memiliki she (nama keturunan) Tee adalah ibu kandungnya yang telah menjadi nikouw, sedangkan ayah kandungnya sesungguhnya adalah Kui Hok Boan, maka nama lengkapnya tentu saja bukan Tee Beng Sin melainkan Kui Beng Sin! Hal ini merupakan kenyataan pahit bagi Beng Sin karena sesungguhnya dia mulai merasa tidak suka kepada orang yang ternyata adalah ayah kandungnya sendiri itu! Dengan hati perih sekali setelah dia bertemu dengan ibu kandungnya yang telah menjadi seorang nikouw dalam kuil dan tidak mau mengakui lagi sebagai Tee Cui Hwa dan mengatakan bahwa Tee Cui Hwa telah mati dan bahwa dia adalah Thian Sin Nikouw, ibunya menceritakan tentang riwayat ayah kandungnya yang busuk!

   Akan tetapi ada juga sedikit hiburan di dalam hatinya, yaitu bahwa ibunya itu melalui kata-kata Thian Sin Nikouw, telah menyetujui perjodohannya dengan puteri Ciook-piauwsu yang baik budi dan gagah itu. Dia tidak lagi mengharapkan ayah kandungnya yang sudah ditinggalkannya. Dia tidak lagi dapat mengharapkan perjodohan dengan seorang di antara dua puteri kembar ayah kandungnya itu, karena Lan dan Lin ternyata adalah adik-adik tirinya sendiri, seayah berlainan ibu! Maka dengan besar hati dia meninggalkan ibunya dan berangkatlah pemuda gemuk yang berwatak gembira ini menuju ke Su-couw di Ho-nan, di mana dia tahu keluarga Ciook, terutama sekali Ciook Siu Lan dara yang manis itu, telah menantinya dengan penuh harapan. Dan apa yang dibayangkannya itu memang benar. Ketika dia tiba di rumah calon mertuanya itu, dia disambut dengan gembira dan meriah sekali.

   Siu Lan, dara itu, tidak mengeluarkan sepatahpun kata, akan tetapi wajah yang manis itu menjadi cerah sekali, Sepasang matanya yang bening itu berkaca-kaca, basah dan berkilauan, mulutnya yang mungil itu mengulum senyum dan setelah mengerling dan tersenyum malu-malu kepada Beng Sin, memberi hormat, dia lalu melarikan diri dengan langkah-langkah kecil ke dalam rumah, membanting dirinya di atas pembaringan dalam kamarnya dan... menangis karena girang! Ciook-piauwsu dan isterinya, calon ayah dan ibu mertua Beng Sin, menyambut pemuda itu dengan girang, dan mereka mendengarkan dengan wajah serius ketika Beng Sin menceritakan segala yang telah dialaminya. Pemuda ini merasa bahwa kalau dia mau menjadi keluarga mereka ini, dia harus menceritakan segala keadaannya. Tentu saja dia tidak mau menceritakan keburukan ayah kandung sendiri. Yang mula-mula sekali dikatakannya adalah,

   "Saya telah membunuh kakak tiri saya sendiri..."

   Tentu saja pengakuan ini mengejutkan Ciook-piauwsu dan isterinya. Akan tetapi setelah Beng Sin menceritakan segalanya, tentang perbuatan Siong Bu yang mencelakakan Lan Lan dan Lin Lin, tentang pertempuran yang terjadi di antara mereka karena marah, kemudian tentang kematian Siong Bu dalam perkelahian itu, Ciook-piauwsu menarik napas panjang dan berkata,

   "Engkau tidak bersalah dalam hal itu. Tewas dalam perkelahian memperebutkan kebenaran adalah sudah jamak."

   

Petualang Asmara Eps 51 Dewi Maut Eps 12 Petualang Asmara Eps 34

Cari Blog Ini