Pendekar Lembah Naga 9
Pendekar Lembah Naga Karya Kho Ping Hoo Bagian 9
Tanpa memberi kesempatan sutenya menjawab, wanita itu telah menggerakkan sabuknya.
"Wirrr... suitttt...!"
Sabuk itu melayang ke udara, bergulung-gulung dan menukik ke bawah dan ujungnya sudah menotok ke arah ubun-ubun kepala sutenya.
"Wessss...!"
Anak itu tahu-tahu sudah mencabut pedang dan cepat menangkis dengan niat untuk membabat sabuk itu. Namun sabuk lemas itu sudah bergerak lagi ke atas, seperti burung terbang dan berlatihlah dua orang kakak beradik seperguruan itu dengan cepat sekali.
Siong Bu yang masih mendekam di balik semak-semak merasa silau dan terpaksa memejamkan matanya yang menjadi berair karena kecepatan gerakan sinar-sinar bergulung itu benar-benar amat hebat. Dia tidak dapat melihat lagi dua orang itu, melainkan hanya dua sinar putih dan merah bergulung-gulung amat cepatnya. Jantungnya seperti berhenti berdetik ketika dia mendengar suara bersuitan dan angin menyambar sampai ke atas semak-semak itu dan dia melihat ujung semak-semak itu, daun-daun muda jatuh berhamburan seperti dibabat pisau tajam! Tiba-tiba terdengar bunyi melengking dari dalam hutan sebelah utara. Sinar putih dan merah yang bergulung-gulung itu berhenti dan wanita itu telah berdiri tegak bersama anak laki-laki, sambil menoleh ke utara. Terdengarlah suara nyaring seorang pria,
"Maaf, toanio. Saya hanyalah seorang utusan dari Jeng-hwa-pang, mohon menghadap toanio untuk menyampaikan undangan dari ketua kami!"
Wanita itu mencibirkan bibir dan mendengus,
"Merangkaklah ke sini!"
Katanya dengan nada merendahkan. Nampak bayangan berkelebat cepat dan seorang laki-laki berusia empat puluh tahun tinggi kurus berpakaian sederhana, di dada kirinya terhias setangkai bunga hijau terbuat daripada kertas dan lilin, membawa sebuah bungkusan yang besar, bentuknya persegi, kurang lebih tiga puluh sentimeter setiap seginya. Siong Bu melihat betapa sebelum laki-laki ini muncul, wanita cantik itu telah mengenakan sepasang kaus tangan yang warnanya sama dengan kulitnya sehingga setelah dipakai, sama sekali tidak kentara. Kini, wanita itu memandang pria yang membawa bungkusan, lalu bertanya,
"Selain menyerahkan undangan, engkau disuruh apalagi?"
Orang itu menjura dengan hormat,
"Hanya menyampaikan undangan ini lalu diharuskan pergi agar jangan mengganggu toanio lebih lama."
"Hemm, kalau begitu lemparkan undangan itu ke sini dan segera menggelindinglah pergi!"
Bentaknya. Orang itu lalu melontarkan bungkusan itu ke arah anak laki-laki tadi. Anak itu cepat menggerakkan tangan hendak menyambut, akan tetapi ia didahului oleh sucinya yang meloncat dan menyambar bungkusan itu dengan kedua tangannya.
"Eh? Kenapa, suci?"
Tanya anak itu, heran sekali melihat sucinya berbuat seperti itu.
"Bungkusan ini pasti mengandung racun, sute."
"Ah, keparat!"
Anak itu menjadi marah dan begitu melihat di situ terdapat sebuah batu besar sekali, sebesar perut kerbau bunting, dia lalu menyambarnya dengan kedua tangan dan melontarkannya ke arah laki-laki yang sudah membalik dan pergi itu.
"Sute, jangan...!"
Wanita itu sempat menepuk lengan sutenya sehinggi lontaran itu menyeleweng. Akan tetapi tetap saja masih dapat melampaui laki-laki tadi dan jatuh berdebuk tidak jauh di depannya, melesak dalam sekali ke dalam tanah. Laki-laki itu terbelalak dan mukanya berubah pucat. Kalau dia tertimpa batu sebesar itu, tentu akan remuk tubuhnya! Dia menoleh dengan ngeri, akan tetapi melihat anak yang luar biasa itu tidak mengejarnya, dia cepat-cepat lari dari tempat itu.
"Suci, mengapa pula engkau mencegah aku membunuh keparat curang itu?"
"Dia hanya utusan dan engkau tentu lebih tahu bahwa kita sama sekali tidak boleh membunuh seorang utusan, sute. Bukan dia yang menaruh racun di bungkusan ini, melainkan orang yang menyuruhnya. Hemm, Jeng-hwa-pangcu sudah mengirim undangan, agaknya dia tidak main-main lagi sekarang. Hendak kulihat sampai di mana kelihaiannya!"
Wanita ini lalu meletakkan bungkusan di atas batu besar.
"Jangan menyentuhnya, sute, dan kau lihat saja, jangan mendekat. Harap mundur lima langkah dari sini."
Biarpun alisnya berkerut, anak itu menurut juga, melangkah mundur dan melihat dengan penuh perhatian. Juga Siong Bu menonton dengan jantung berdebar penuh ketegangan. Sejak tadi dia sudah merasa ngeri melihat orang-orang yang dibunuh itu, kini dia melihat hal lain yang lebih aneh membuat dia makin ketakutan. Wanita cantik itu memandang kepada kedua telapak tangannya yang telah terbungkus sarung tangan, lalu tersenyum mengejek,
"Kau lihat, sute."
Dia menggunakan kedua tangannya meraba rumput-rumput di dekatnya dan rumput-rumput itu seketika menjadi layu dan agak gosong seperti dibakar! "Racun yang dioleskan di bungkusan ini saja sudah cukup untuk membuat kulit tangan terbakar hebat."
Kemudian, dengan hati-hati sekali dia membuka tali bungkusan itu. Ternyata isinya adalah sebuah doos merah. Dibukanya tutup doos merah dan hampir saja Siong Bu menjerit kalau dia tidak cepat mendekap mulutnya. Dari doos merah itu muncul seekor ular yang tiba-tiba saja menyerang ke arah leher wanita itu!
"Capppp!"
Bagaikan sepasang gunting yang amat tajam, dua jari telunjuk dan jari tengah wanita itu bagian kiri telah menangkap leher ular dan sekali mengerahkan tenaga, leher ular itu putus!
"Hemm, kiranya hanya begini saja kepandaian orang Jeng-hwa-pang!"
Wanita itu mengejek dan dia menarik keluar sebuah doos yang lebih tebal kecil dari dalam doos besar itu. Doos inipun tertutup.
"Suci, hati-hati. Mereka itu terlalu curang!"
Anak itu berseru, tadi kaget menyaksikan ular yang demikian ganasnya.
Dia tahu bahwa ular merah seperti itu amat berbahaya karena bisanya dapat membunuh orang dengan sekali gigit saja. Wanita itu menengok dan hanya tersenyum penuh kepercayaan kepada diri sendiri, lalu tanpa ragu-ragu lagi tutup doos yang lebih kecil itu dibukanya. Nampak asap mengepul tiba-tiba dari dalam doos itu dibarengi suara mendesis. Wanita itu terkejut dan cepat sekali dia meloncat ke belakang, tepat pada saat terdengar ledakan keras. Banyak sekali paku dan jarum menyambar ke empat penjuru dan wanita yang sedang meloncat itupun terserang sambaran paku dan jarum. Akan tetapi, dengan cekatan kedua tangannya menyampok dan menangkap dan ketika dia meloncat turun, kedua tangannya penuh dengan jarum dan paku yang dapat ditangkapnya tadi. Asap masih mengepul dan doos itu pecah, memperlihatkan sehelai kertas yang sebagian hangus.
Wanita cantik itu lalu menghampiri batu dan melemparkan jarum dan paku yang beracun itu ke dalam doos yang telah hangus dan pecah-pecah, lalu dia mengambil kertas merah itu dan membaca huruf-huruf hitam yang tertulis di situ.
JENG HWA PANG MENGUNDANG KIM HONG LIU ? NIO UNTUK MEMBUAT PERHITUNGAN.
Demikianlah bunyi huruf-huruf besar yang tertulis di kertas merah. Wanita itu meremasnya hancur dan biarpun mulutnya masih tersenyum mengejek, akan tetapi sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi karena marahnya. Sutenya telah mendekatinya, terbelalak memandang ke arah jarum-jarum dan paku-paku yang mengeluarkan sinar kehijauan itu.
"Sungguh berbahaya..."
Katanya ngeri.
"Jeng-hwa-pang memang terkenal dengan caranya yang kotor, suka main racun. Akan tetapi aku akan membalas semua ini, sute. Memang aku sudah bersiap-siap sehingga aku menggunakan sarung tangan. Betapapun kebal tangan kita, kalau terkena racun yang berada di kertas pembungkus, atau tergigit oleh ular merah tadi, apalagi racun hijau di paku dan jarum itu, tentu kita celaka. Racun hijau pada puku dan jarum ini lebih lihai lagi, sute. Itulah racun jeng-hwa (bunga hijau) yang menjadi keistimewaan mereka sehingga nama perkumpulan merekapun memakai nama Jeng-hwa-pang (Perkumpulan Bunga Hijau)."
"Siapakah mereka itu, suci?"
Wanita itu menarik napas panjang.
"Menurut penuturan subo, pendirinya adalah mendiang Jeng-hwa Sian-jin, seorang bekas tokoh Pek-lian-kauw yang lihai dan selain tinggi ilmu silatnya, juga mahir ilmu sihir. Akan tetapi, kakek itu telah tewas dan kini perkumpulannya dipegang dan dipimpin oleh muridnya yang ahli dalam soal racun. Mereka bersarang di daerah perbatasan, di dekat tembok besar."
"Mengapa perkumpulan itu memusuhi suci?"
Wanita itu melepaskan sarung tangannya yang melindunginya dari racun tadi. Sarung tangan itu memang istimewa sekali, bukan hanya dapat melindungi kulit tangan dari racun, akan tetapi juga segala macam racun yang tersentuh oleh sarung tangan itu menjadi hilang dayanya, dan di samping ini, juga sarung tangan itu dapat menahan bacokan senjata-senjata tajam. Setelah menyimpan sarung tangannya, wanita itu lalu menurunkan papan kayu salib dari punggungnya, mengangkatnya tinggi-tinggi dan berkata,
"Seperti juga halnya lima orang tolol ini, Jeng-hwa-pang memusuhi aku karena ini."
Anak itu sudah tahu akan maksud kayu salib yang ditulisi tiga huruf itu. Dia tahu bahwa tiga huruf itu adalah tiga nama keturunan yang menjadi musuh besar subo mereka dan sucinya telah bersumpah kepada subo mereka untuk membasmi semua orang yang bershe Yap, Cia dan Tio. Untuk tugas inilah maka subo mereka menurunkan seluruh kepandaiannya kepada sucinya ini sehingga sucinya menjadi seorang wanita yang bukan main saktinya.
"Suci, apakah ketua Jeng-hwa-pang itu she Yap, Cia, ataukah Tio?"
"Bukan, akan tetapi isterinya she Tio dan sembilan orang keluarga isterinya yang she Tio telah kubunuh semua. Itulah sebabnya dia memusuhi aku,"
Jawab sucinya dengan sikap tak perduli. Anak laki-laki itu memandang ke arah papan kayu salib dan melihat betapa sucinya menggunakan kuku jari telunjuknya yang panjang terpelihara rapi untuk membuat guratan lima kali di bagian bawah papan salib itu. Itulah tanda bahwa sucinya telah membunuh lima orang.
Setiap guratan menandakan satu nyawa dan hanya mereka yang dibunuh karena urusan permusuhan itu saja yang dicatat di papan kayu salib ini. Palang kiri untuk korban she Tio, papan atas untuk yang she Cia dan papan kanan untuk she Yap, sedangkan papan bagian bawah untuk orang-orang she lain yang membela tiga she itu dan terlibat dalam permusuhan ini. Anak itu melihat betapa yang banyak sekali coretannya justeru papan bawah di bagian she Tio lebih banyak dari papan bagian Cia dan she Yap. Akan tetapi di baglan papan atas, untuk yang she Cia, baru ada dua guratan saja. Anak itu termenung. Dia selalu tertarik kalau membicarakan urusan permusuhan pribadi subonya yang aneh itu, dan yang pembalasannya diwakili oleh sucinya, karena subonya kini telah menjadi pikun dan lemah.
"Suci, sudah berapa lamakah suci mulai melaksanakan perintah subo untuk membasmi orang-orang dari tiga she itu?"
"Sudah belasan tahun, sute, sejak aku berusia dua puluh tahun kurang."
"Dan sampai kapan berakhirnya? Apakah selama hidupmu suci akan terus mencari orang-orang dari tiga she itu untuk dibunuh?"
Anak itu merasa betapa tugas ini benar-benar gila! Wanita itu menggeleng kepala.
"Tugasku baru sempurna dan berakhir kalau musuh yang sesungguhnya dari subo telah dapat kubunuh. Mereka itu adalah Cia Bun Houw, Yap In Hong, dan Tio Sun. Mereka bukan orang-orang lemah, melainkan pendekar-pendekar yang berkepandaian tinggi sekali, akan tetapi aku sudah bersumpah tidak akan menikah sebelum berhasil membunuh mereka bertiga. Oleh karena itu, sekarang aku mengantarmu ke kota raja sambil bendak menyelidiki mereka, sute."
"Aku akan membantumu, suci."
Sucinya menggeleng kepala.
"Engkau baik sekali, sute, dan biarpun usiamu baru empat belas tahun, namun kepandaianmu sudah boleh diandalkan. Akan tetapi mereka itu lihai sekali, terutama Cia Bun Houw itu. Subo pernah terluka ketika menghadapinya. Akan tetapi... aku telah mempelajari ilmu-ilmu khusus yang diciptakan oleh subo, istimewa untuk menghadapi mereka bertiga. Aku tidak takut."
Tiba-tiba wanita itu lalu bersuit nyaring. Suaranya melengking bergema di seluruh hutan, dan Siong Bu yang mengintai hampir saja terjengkang. Dia cepat menutupi kedua telinganya dan menahan napas. Terdengar suara derap kaki kuda dan roda kereta, dan tak lama kemudian nampaklah sebuah kereta yang amat indah, ditarik oleh empat ekor kuda dan di belakang kereta itu nampak belasan orang penunggang kuda, semuanya gagah perkasa, tinggi besar dan berpakaian sebagai perwira-perwira. Mereka semua turun dari kuda dan memberi hormat secara militer kepada anak itu, dengan berlutut sebelah kaki. Anak itu mengangkat tangan ke atas sebagai tanda menerima salut mereka dan wanita itu lalu berkata,
"Kalian antar kami sampai perbatasan, di sana harus berganti kuda. Akan tetapi kita singgah dulu di Istana Lembah Naga karena aku ada urusan dengan penghuninya."
Para perwira itu mengangguk dan wanita tadi lalu memasuki kereta bersama sutenya. Kereta berderak-derak meninggalkan tempat itu diikuti oleh tujuh belas orang pengawal yang membuang ludah ketika melihat mayat lima orang tadi. Setelah mereka pergi, barulah Siong Bu berani bernapas. Akan tetapi jantungnya berdebar tegang. Wanita itu mengatakan hendak singgah di Istana Lembah Naga! Ke rumah pamannya!
Dan dia, teringat ketika dia mengintai ke kamar Sin Liong di dekat kandang kuda, ketika anak monyet itu menangis di pangkuan bibinya dan teringat dia betapa bibinya mengatakan bahwa Sin Liong adalah seorang she Cia, bahkan menyebutkan nama ayahnya, yaitu Cia Bun Houw! Dan bukankah Cia Bun Houw ini merupakan musuh utama dari wanita tadi? Siong Bu lalu menyelinap di antara semak-semak, menuju pulang dengan jantung berdebar penuh ketegangan. Siapakah wanita cantik dan anak laki-laki yang tampan dan lihai itu? Pernah diceritakan di bagian depan cerita ini bahwa sepuluh tahun yang lalu, ketika diadakan pesta pernikahan di Istana Lembah Naga, pernikahan antara Liong Si Kwi dan Kui Hok Boan, muncul wanita cantik ini di dalam pesta di mana secara mengerikan dia telah membunuh enam orang di antara para tamu yang mempunyai she Tio, Yap, dan Cia.
Wanita ini adalah yang menjadi utusan Sabutai itu, seorang wanita cantik yang mengaku bernama Kim Hong Liu-nio, yang memiliki ilmu kepandaian amat mengerikan. Sekarang dia masih nampak cantik sekali, biarpun usianya sudah kurang lebih tiga puluh lima tahun sekarang, masih cantik dan agung, seperti seorang puteri raja saja, sikapnya angkuh, dingin, akan tetapi tahi lalat kecil di dagunya itu membuat dia nampak manis sekali. Siapakah sebenarnya Kim Hong Liu-nio ini? Melihat wajahnya dan suaranya ketika bicara tadi, jelas bahwa dia adalah seorang wanita bersuku Han. Akan tetapi mengapa dia menjadi utusan raja liar Sabutai? Kim Hong Liu-nio adalah seorang dayang atau pelayan wanita yang amat disayang oleh Permaisuri Khamila, yaitu isteri Raja Sabutai. Dia adalah seorang wanita Han yang ketika kecilnya menjadi tawanan perang, yaitu ketika pasukan Raja Sabutai menyerbu ke selatan (baca cerita Dewi Maut).
Karena Raja Sabutai tertarik melihat kecantikan anak yang ketika itu baru berusia belasan tahun, maka dia tidak dibunuh, tidak pula dijadikan korban perkosaan oleh para perajurit dan perwira seperti yang menjadi nasib para wanita tawanan perang. Bahkan dia ditarik ke dalam istana dan dijadikan dayang. Karena ternyata dia cerdik, setia, dan cekatan, akhirnya sang permaisuri suka kepadanya dan diangkatlah dia menjadi dayang yang melayani sang permaisuri yang amat tercinta itu. Di dalam cerita Dewi Maut telah diceritakan betapa Raja Sabutai mempunyai dua orang guru yang memiliki kepandaian luar biasa, merupakan orang-orang sakti yang sukar dicari bandingannya pada waktu itu. Mereka berdua itu adalah Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, dua orang kakek dan nenek iblis yang tadinya berasal dari Negara Sailan.
Dalam pertempuran mereka menghadapi para pendekar sakti, Pek-hiat Mo-ko tewas dan Hek-hiat Mo-li terluka parah. Raja Sabutai mengandalkan kekuasaannya, berhasil menyelamatkan subonya itu dari kematian dan membawa subonya itu untuk dirawat, meninggalkan Istana Lembah Naga di mana tadinya kakek dan nenek iblis itu tinggal. Karena Hek-hiat Mo-li telah tua, pikun, berwatak aneh, suka marah dan mudah membunuh orang begitu saja, maka sukarlah untuk merawat dan melayaninya. Akan tetapi, Kim Hong Liu-nio yang cerdik sekali itu dapat merawatnya dengan baik sehingga amat menyenangkan hati nenek itu dan akhirnya dayang inilah yang ditugaskan untuk merawat Hek-hiat Mo-li. Kim Hong Liu-nio memang cerdik bukan main. Semenjak dia menjadi tawanan kemudian menjadi dayang,
Dia selalu mencari jalan untuk dapat meningkatkan kedudukannya dan akhirnya dia berhasil menjadi dayang kesayangan permaisuri, dan hal ini tentu saja sudah merupakan kemajuan besar karena kedudukannya menjadi jauh lebih tinggi daripada dayang-dayang istana yang biasa. Namun dia belum juga puas. Dia tahu bahwa nenek seperti iblis itu adalah guru dari Sri Baginda sendiri, maka tentu saja merupakan seorang yang amat terhormat dan disegani semua orang. Dan dia sendiri selama ini telah rajin berlatih silat dari para pelatih silat yang biasa melatih para pengawal di istana. Dia sendiri suka akan ilmu silat, maka melihat nenek itu terluka dan dirawat di istana, melihat betapa jarang ada yang berani dan mampu melayaninya, dia lalu "memperlihatkan"
Kesetiaannya, menawarkan diri untuk merawatnya! Dan dia berhasil!
Kim Hong Liu-nio melihat kesempatan baik sekali baginya. Bukan saja kesempatan untuk membikin senang hati nenek itu dan Sri Baginda, akan tetapi juga kesempatan untuk mempelajari ilmu kesaktian karena dia tahu bahwa Hek-hiat Mo-li adalah seorang nenek luar biasa yang memiliki ilmu kepandaian seperti dewa! Memang harus diakui bahwa wanita muda itu memang cerdik bukan main. Bukan hanya ilmu silat yang menariknya mendekati Hek-hiat Mo-li, sungguhpun memang dia ingin sekali menjadi seorang yang berilmu tinggi. Akan tetapi lebih dari itu, apabila dia bisa menjadi murid nenek itu, berarti dia menjadi adik seperguruan Sri Baginda Sabutai sendiri dan hal ini tentu saja akan mengangkat derajatnya, dari seorang dayang menjadi adik seperguruan raja! Dan dia memang berhasil menyenangkan hati nenek itu.
Hek-hiat Mo-li adalah seorang nenek yang sudah pikun, maka melihat dayang yang merawatnya penuh ketekunan, melayaninya dan merawatnya ketika dia masih menderita sakit sehingga dia berak dan kencing di atas pembaringan, dibersihkan dan dicuci, dimandikan oleh dayang ini, hatinya tertarik sekali dan dia menjadi suka kepada dayang itu. Nenek pikun ini mulailah mengajaknya bercakap-cakap, bahkan menceritakan tentang sakit hatinya terhadap para musuhnya. Menyatakan betapa dia sudah terlalu tua sehingga sakit hatinya itu tentu akan dibawanya sampai mati tanpa terbalas, karena muridnya yang hanya seorang, yaitu Sabutai, adalah seorang raja yang tidak mungkin mengurus urusan pribadi. Mendengar ini, secara cerdik sekali Kim Hong Liu-nio lalu menawarkan diri untuk mewakili nenek itu membalas musuh-musuhnya!
"Kau...? Hi-hi-hi-hi! Tiga orang musuh besarku itu adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi. Orang macam engkau mana mampu mewakili aku untuk membunuh mereka?"
Nenek itu mentertawakan. Kim Hong Liu-nio menjatuhkan diri berlutut.
"Kalau locianpwe mendidik saya dan menurunkan semua kepandaian locianpwe kepada saya, apa sukarnya bagi saya untuk membunuh mereka sehingga kelak locianpwe boleh naik ke alam baka dengan hati tenang?"
Hek-hiat Mo-li terbelalak, berpikir dan akhirnya dia mengangguk-angguk.
"Hendak kulihat dulu bakatmu!"
Dia lalu mencoba dan menyuruh wanita itu mainkan ilmu silat yang pernah dipelajarinya. Hatinya girang sekali ketika mendapatkan kenyataan bahwa Kim Hong Liu-nio ternyata memiliki bakat yang amat baik!
"Baik! Kau berlututlah dan bersumpahlah! Aku menerimamu menjadi muridku!"
Akhirnya dia berkata. Kim Hong Liu-nio ketika itu berusia dua puluh tahun lebih dan cepat dia menjatuhkan diri berlutut di depan pembaringan nenek itu. Hek-hiat Mo-li terkekeh, lalu mengelus kepala muridnya dan tiba-tiba bertanya,
"Engkau masih perawan?"
Pertanyaan ini tentu saja amat mengejutkan dan mengherankan hati gadis itu, dan juga membuat pipinya menjadi merah sekali karena malu. Akan tetapi dia mengangguk.
"Bagus! Aku telah menciptakan beberapa ilmu yang hanya dapat dipelajari dengan sempurna oleh perawan-perawan dan jejaka-jejaka. Sekarang engkau harus bersumpah bahwa kelak engkau akan membunuh semua orang she Yap, Tio, dan Cia yang kau temukan, dan kau tidak akan berhenti melakukan pembunuhan terhadap keturunan tiga she itu sebelum engkau berhasil membunuh tiga orang musuh besarku, yaitu Yap In Hong dan kakaknya Yap Kun Liong, Cia Bun Houw, dan Tio Sun. Hayo bersumpahlah...!"
Sambil berlutut, Kim Hong Liu-nio lalu bersumpah menurutkan kata-kata nenek itu. Kemudian tiba-tiba gadis itu merasa dagunya sakit sekali ketika tangan nenek itu menyambar, kepalanya pening dan dia roboh pingsan! Ketika dia siuman kembali, dia merasakan dagunya masih amat sakit. Dia merabanya dan ternyata dagunya terluka.
"Biarkan saja, sudah kuobati. Nanti akan tumbuh sebuah tahi lalat kecil di situ, dan itu adalah tanda bahwa engkau masih perawan. Sekarang bersumpahlah lagi bahwa sebelum kau berhasil membunuh tiga orang musuh besarku itu, engkau tidak boleh menikah! Dan awas, sekali saja engkau melanggar pantangan itu dan keperawananmu lenyap, tentu tahi lalat di dagumu itupun akan lenyap dan aku akan membunuhmu!"
Bukan main kagetnya hati gadis itu. Akan tetapi dia tahu bahwa nenek ini memang amat sakti luar biasa dan keji. Dengan suara tenang dia lalu mengucapkan sumpahnya lagi bahwa dia tidak akan menikah sebelum berhasil membunuh tiga orang musuh besar dari gurunya. Hek-hiat Mo-li tertawa terkekeh-kekeh dengan hati senang.
"Hi-hi-hik, sekarang kau menjadi muridku, akan tetapi jangan kira bahwa engkau akan dapat melepaskan diri dari sumpahmu. Hayo lekas panggil suhengmu ke sini."
"Su... suheng...?"
"Raja Sabutai itu! Siapa lagi dia kalau bukan suhengmu?"
Bentak nenek itu.
"Hayo lekas minta supaya datang ke sini, sekarang juga."
Bukan main girang dan bangganya rasa hati gadis itu. Raja Sabutai adalah suhengnya! Dia mengangguk lalu berlari ke luar, terus memasuki istana Raja Sabutai. Akan tetapi tentu saja dia tidak berani selancang itu dan setelah tiba di depan Sri Baginda tetap saja dia bersikap hormat seperti biasanya.
"Eh, Kim Hong, mengapa engkau meninggalkan subo dan datang menghadap tanpa diundang?"
Sri Baginda berkata dengan halus.
"Harap paduka sudi memaafkan hamba. Hamba diutus oleh... lo-thai-thai (nyonya tua) untuk minta paduka suka datang kepadanya beliau sekarang juga..."
Tentu saja dia tidak berani lancang menyebut "subo"
Kepada nenek itu. Raja Sabutai mengenal watak gurunya yang aneh, maka diapun bergegas pergi bersama Kim Hong Liu-nio memasuki kamar subonya. Begitu dia masuk, Hek-hiat Mo-li lalu berkata,
"Eh, Sri Baginda, sekarang engkau mempunyai seorang sumoi."
"Sumoi...?"
"Heh-heh, dia itulah sumoimu!"
"Kim Hong...?"
Sabutai terbelalak. Kim Hong Liu-nio merasa jantungnya berdebar tegang. Dia takut kalau raja marah dan merasa terhina, maka cepat-cepat dia menjatuhkan diri berlutut dan tanpa berani mengangkat muka dia lalu berkata,
"Mohon paduka sudi memberi ampun kepada hamba. Hamba mendengar penuturan... lo-thai-thai..."
"Ih, kau menyebut nyonya tua kepadaku? Murid apa kau ini?"
Tiba-tiba nenek itu membentak. Kim Hong Liu-nio terkejut dan melanjutkan kata-katanya,
"...subo bercerita tentang musuh-musuh beliau dan hamba merasa kasihan, maka hamba menawarkan diri untuk mewakili subo membalas sakit hati itu... lalu subo mengangkat hamba menjadi murid..."
Raja Sabutai menoleh kepada nenek itu.
"Subo, apakah dia pantas menjadi murid subo? Apakah kelak dia tidak akan mengecewakan dan memalukan kita?"
"Huuh-Huh-He-Heh! Sri Baginda lihat saja, beberapa tahun lagi kepandaiannya sudah akan melampaui tingkat kepandaianmu sendiri, hi-hik! Dan pula dia sudah bersumpah akan membunuh tiga empat orang she Yap, Cia dan Tio itu. Sri Baginda saya panggil ke sini untuk menjadi saksi. Lihatlah tahi lalat di dagunya itu, sekarang merupakan luka, beberapa hari lagi akan tumbuh tahi lalat di situ sebagai tanda keperawanannya. Dia bersumpah tidak akan menikah sebelum berhasil membunuh musuh-musuh kita dan kalau aku sudah mati, harap Sri Baginda mengawasinya. Kalau musuh-musuh belum mati dan tahi lalat itu lenyap, berarti dia melanggar sumpah dan harus dibunuh!"
Raja Sabutai mengangguk-angguk.
"Jangan khawatir, subo, aku akan mengamatinya."
Diam-diam Kim Hong Liu-nio terkejut bukan main. Ketika dia tadi bersumpah, memang timbul perasaan mengejek di dalam hatinya. Nenek itu sudah tua mana bisa mengawasi dia terus? Dan tentang tahi lalat tanda keperawanan itu tentu tidak akan ada orang lain yang tahu. Siapa kira, nenek iblis itu kini membuka rahasia ini kepada Raja Sabutai, bahkan memesan kepada raja itu untuk mewakilinya menghukum kalau dia berani melanggar sumpahnya. Demikianlah, mulai hari itu Kim Hong Liu-nio menjadi murid Hek-hiat Mo-li dan ternyata dia memang berbakat baik sekali. Dia masih bersikap hormat kepada raja, dan hanya di depan gurunya saja dia berani menyebut suheng kepada raja. Di tempat biasa, dia masih bersikap sebagai seorang dayang terkasih.
Akan tetapi, semua orang dari pelayan terendah sampai panglima tertinggi tahu belaka, bahwa dayang ini adalah murid Hek-hiat Mo-li, adik seperguruan raja dan kepandaian yang amat hebat, maka tentu saja semua orang menghormatinya dan tidak ada yang memperlakukannya sebagai seorang dayang. Apalagi setelah putera dari Raja Sabutai, mulai dilatih ilmu silat, maka pengaruh Kim Hong Liu-nio lebih besar lagi. Dialah yang diserahi tugas untuk mendidik anak laki-laki itu! Anak laki-laki itu bukan lain adalah Ceng Han Houw, putera tunggal dari Raja Sabutai. Nama Ceng Han Houw adalah nama pemberian dari Khamila, ibu kandung anak itu, sedangkan nama pemberian ayahnya adalah Pangeran Oguthai! Mengapa Permaisuri Khamila memberi nama Ceng Han Houw kepada puteranya?
Hal ini ada rahasianya yang hanya diketahui oleh Permaisuri Kharmila dan suaminya sendiri, yaitu Raja Sabutai. Di dalam cerita Dewi Maut telah diceritakan peristiwa itu yang terjadi belasan tahun yang lalu. Ketika itu, Raja Sabutai dan isterinya yang tercinta, yang masih amat muda dan cantik jelita, belum mempunyai keturunan. Pada waktu itu, Kaisar Ceng Tung dari Kerajaan Beng, yang baru berusia dua puluh tiga tahun, dijebak oleh kecurangan dan pengkhianatan seorang pembesar. Di waktu melakukan perjalanan ke utara, Kaisar muda ini telah menjadi tawanan raja liar, yaiti Raja Sabutai dan ditahan di daerah liar di utara. Kaisar Ceng Tung yang muda itu memperlihatkan sikap gagah perkasa, dan hal ini amat menarik dan mengagumkan hati Raja Sabutai. Kaisar Ceng Tung tidak dibunuh oleh Sabutai karena memang hendak dijadikan sandera kalau dia menyerbu ke selatan.
Ketika itu, Raja Sabutai merasa berduka dan kecewa karena dari permaisurinya yang amat cantik dan tercinta itu, dia belum juga memperoleh keturunan. Karena sejak dahulu sebelum menikah dengan isteri tercinta inipun belum pernah ada selirnya yang memperoleh keturunan, maka dia dapat menduga bahwa dialah yang tidak dapat memberikan keturunan kepada permaisurinya yang tercinta itu. Padahal dia ingin sekali mempunyai anak dari permaisurinya terkasih ini. Ketika dia kelihat kegagahan Kaisar Ceng Tung yang menjadi tawanannya, timbullah rencananya yang amat luar biasa. Dia hendak menggunakan Kaisar yang dikaguminya itu agar dapat meninggalkan keturunan dalam rahim permaisurinya, keturunan yang kelak akan menjadi anaknya secara resmi! Dia tidak akan malu mempunyai anak yang sebetulnya mempunyai darah Kaisar yang besar dan gagah perkasa itu.
Bahkan kedudukan Kaisar itu masih jauh lebih tinggi daripada kedudukannya sebagai raja liar. Demikianlah, dengan sepengetahuannya, bahkan atas perintahnya, Sang Permaisuri Khamila yang muda dan cantik jelita itu mendekati tawanan terhormat itu. Kemudian terjadilah hal yang tidak mengherankan mengingat bahwa keduanya masih sama muda dan keduanya merupakan pria dan wanita yang tampan dan cantik. Kedua orang muda itu saling jatuh cinta! Kemudian, tepat seperti yang diharapkan oleh Raja Sabutai, permaisurinya mengandung, bahkan kemudian melahirkan seorang anak laki-laki yang sehat dan tampan. Sementara itu, Kaisar Ceng Tung telah dapat lolos dari tawanan dan kembali ke Tiong-goan untuk menjadi Kaisar lagi.
Demikianlah cerita ringkas dari peristiwa itu yang dituturkan dengan jelas dalam cerita Dewi Maut. Rahasia tentang diri anak yang kini bernama Pangeran Oguthai alias Ceng Han Houw itu hanya diketahui oleh ayah dan ibunya sendiri. Raja Sabutai memberi nama Oguthai kepada puteranya, diambil dari nama seorang pangeran gagah perkasa bangsa Mongol, putera ke tiga dari raja besar Jenghis Khan yang termashur itu. Akan tetapi atas perinintaan Permaisuri Khamila, anak itu diberi nama Ceng Han Houw. She Ceng diambilnya dari nama Kaisar Ceng Tung yang sesungguhnya adalah ayah kandung dari anak itu, dan nama Han Houw adalah nama pemberian Kaisar Ceng Tung sendiri yang diam-diam disampaikan kepada bekas kekasihnya itu. Hal itu membuktikan bahwa sampai saat itupun sang permaiskiri itu masih belum dapat melupakan kekasihnya, ayah kandung dari anaknya.
Biarpun dia seorang raja, namun Sabutai adalah seorang yang suka akan kegagahan, maka tentu saja dia ingin melihat putera tunggalnya itu meniadi seorang gagah perkasa dan berilmu tinggi. Oleh karena itu, semenjak masih kecil, Oguthai atau Ceng Han Houw itu oleh Raja Sabutai diserahkan kepada subonya untuk digembleng, dan dengan sendirinya anak itu dekat sekali dengan sucinya, Kim Hong Liu-nio yang kadang-kadang mewakili gurunya untuk melatih sang pangeran ini. Demikianlah keadaan anak laki-laki berusia empat belas tahun yang tampan dan lihai itu, yang bukan lain adalah Ceng Han Houw, dan Kim Hong Liu-nio yang kini telah menjadi seorang wanita yang luar biasa lihainya,
Dan tepat seperti apa yang pernah dijanjikan oleh Hek-hiat Mo-li kepada Sabutai, kepandaian Kim Hong Liu-nio kini sedemikian hebatnya sehingga sudah melampaui tingkat kepandaian Raja Sabutai sendiri! Banyak ilmu-ilmu baru ciptaan nenek yang sudah tua renta itu dikuasai oleh Kim Hong Liu-nio, ilmu-ilmu yang sengaja diciptakan oleh Hek-hiat Mo-li bagi muridnya ini untuk menghadapi musuh-musuh besarnya, ilmu yang bahkan Hek-hiat Mo-li sendiri tidak mampu menguasainya karena tidak sempat lagi melatih diri. Pada hari itu, Kim Hong Liu-nio diutus kembali oleh Raja Sabutai untuk pergi ke Lembah Naga dan dalam kesempatan ini, Khamila diam-diam memanggil Kim Hong Liu-nio menghadap. Setelah wanita yang masih bersikap sebagai dayang di depan permaisuri itu menghadap. Permaisuri Khamila lalu memegang tangannya dan berkata.
"Kim Hong, sebagai murid Hek-hiat MO-li, kurasa engkau telah tahu akan rahasia yang meliputi diri anakku, Oguthai. Benarkah dugaanku?"
Permaisuri yang masih kelihatan cantik sekali itu memandang wajah Kim Hong Liu-nio dengan penuh selidik. Wajah ini masih cantik dan muda, bahkan kelihatan lebih muda daripada wajah sang permaisuri, sungguhpun usia Kim Hong Liu-nio pada waktu itu sudah tiga puluh lima tahun sedangkan usia sang permaisuri baru tiga puluh tahun lebih sedikit. Hal ini adalah karena Kim Hong Liu-nio menguasai suatu ilmu mujijat yang diajarkan oleh gurunya, ilmu yang akan membuat dia tidak akan pernah nampak tua! Kim Hong Liu-nio yang dulu sebelum menjadi murid Hek-hiat Mo-li bersifat riang itu kini menjadi seorang yang pendiam sekali, pendiam dan dingin akan tetapi terhadap permaisuri dia masih tetap menghormat. Dia berlutut dan menjawab.
"Hamba ada mendengar sedikit tentang hubungan sang pangeran dengan Kaisar Kerajaan Beng di selatan, akan tetapi mana hamba berani untuk mengetahui lebih banyak?"
Khamila tertunduk sejenak, lalu berkata lagi,
"Kim Hong, engkau adalah seorang yang amat setia, bahkan engkau masih terhitung saudara seperguruan dari Sri Baginda sendiri dan juga engkaulah yang membantu gurumu mendidik anakku, oleh karena itu tidak perlu lagi aku merahasiakannya. Ketahuilah bahwa Han Houw adalah keturunan Kaisar Ceng Tung dari Kerajaan Beng."
Akan tetapi Kim Hong Liu-nio tidak kelihatan kaget mendengar ini, karena memang dia telah dapat menduganya. Karena menduga itulah maka dia selalu menyebut "sute"
Pendekar Lembah Naga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kepada Han houw, bahkan selalu mengajarkan Han Houw untuk berbahasa Han sehingga anak itu selain pandai limu silat, juga pandai pula berbahasa Han dan pandai membaca dan menulis pula!
"Hamba telah mendengarkan dan terima kasih atas kepercayaan paduka. Apakah maksud paduka dengan membuka rahasia ini? Perintah apakah yang hendak paduka berikan kepada hamba?"
"Aku mendengar bahwa engkau diutus ke selatan, ke Lembah Naga. Benarkah?"
"Memang benar demikian, apakah ada sesuatu yang harus hamba lakukan?"
"Engkau diperintahkan apa oleh sri beginda?"
"Hamba disuruh menyampaikan kepada penghuni Lembah Naga bahwa dalam waktu setengah tahun mendatang ini, Lembah Naga harus dikosongkan karena Istana Lembah Naga akan dipakai oleh Sri Baginda."
"Ehh? Untuk apa istana tua yang sudah bobrok itu?"
"Setengah tahun lagi usia sang pangeran sudah genap lima belas tahun. Sri Baginda berniat mengundang kepada seluruh tokoh di dunia kang-ouw dan di dalam undargan itu nanti setelah mereka berkumpul, Sri Baginda akan memilih orang yang paling pandai di antara mereka, yaitu yang dapat mengalahkan hamba, untuk selanjutnya mendidik ilmu silat kepada sang pangeran."
"Ihhh... Apa perlunya itu? Kepandaianmu dan kepandaiannya sendiri sudah hebat, dan masih ada Hek-hiat Mo-li yang mendidik puteraku. Mau dijadikan apa puteraku maka harus menerima pendidikan orang yang paling pandai di antara jagoan-jagoan itu?"
"Sri Baginda ingin melihat sang pangeran menjadi jagoan nomor satu di dunia, dan hamba yakin melihat bakatnya, bahwa hal itu pasti akan terlaksana,"
Kata Kim Hong Liu-nio yang ikut merasa gembira dan bangga karena sesungguhnya dialah yang selama ini mendidik Han Houw.
(Lanjut ke Jilid 09)
Pendekar Lembah Naga (Seri ke 04 "
Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 09
"Aahhh, aku tidak mau tahu segala urusan tetek bengek itu! Dengar, Kim Hong, aku mempunyai urusan vang lebih penting lagi dan aku minta engkau suka melaksanakan perintahku ini. Aku telah memberi tahu kepada Sri Baginda dan beliau hanya setuju saja. Sanggupkah kau melaksanakan perintahku?"
"Paduka tentu telah memaklumi bahwa hamba akan melaksanakan segala perintah paduka dengan taruhan nyawa hamba."
"Bagus, aku percaya kepadamu, Kim Hong. Begini, setelah engkau mengunjungi Istana Lembah Naga, bersama Han Houw yang harus kau ajak serta, kau antarkanlah anakku itu melintasi Tembok Besar dan mengunjungi Kota Raja Kerajaan Beng."
"Ahhh...!"
Kim Hong Liu-nio benar-benar terkejut bukan main karena sama sekali tidak disangkanya bahwa tugas yang akan diserahkan kepadanya demikian hebatnya.
"Hamba... hamba... mendengarkan..."
Katanya.
"Aku mendengar bahwa waktu ini, Kaisar sedang menderita sakit. Hatiku merasa tidak enak sekali dan aku selamanya tentu akan menderita tekanan batin kalau puteraku itu belum sempat melihat wajah ayah kandungnya. Maka ajaklah dia menghadap dan pertemukan dia dengan Kaisar sebelum... terjadi apa-apa dengan Kaisar, Kim Hong."
"Hamba siap melaksanakan tugas! Akan tetapi... hamba kira tidak akan mudah untuk dapat menghadap Kaisar begitu saja, dan untuk menggunakan kekerasan... ah, rasanya hal itu tidak mungkin. Tenaga hamba seorang mana mampu melakukan hal seperti itu?"
Permaisuri Khamila tersenyum lembut, lalu mengeluarkan sebuah kotak kecil.
"Kau bawalah ini, di dalamnya terdapat suratku dan sebuah benda yang pasti akan dikenal di sana dan akan membuka semua pintu istana untuk puteraku."
Kim Hong Liu-nio menerima sambil berlutut, tidak banyak bertanya. Hati wanita ini merasa lega ketika Sri Baginda sendiri datang dan dengan wajah yang keras mengatakan,
"Kim Hong, aku serahkan keselamatan Oguthai kepadamu. Engkau adalah sumoiku sendiri, bahkan Oguthai adalah sutemu juga. Maka, engkaulah yang bertanggung jawab atas keselamatan puteraku!"
"Akan hamba lindungi dengan pertaruhan nyawa hamba. Nyawa hamba yang menjadi tanggungannya, Sri Baginda!"
Jawab Kim Hong Liu-nio dengan tegas dan penuh dengan kebanggaan. Demikianlah, pada hari itu Kim Hong Liu-nio berangkat bersama Ceng Han Houw menunggang kereta yang mewah menuju ke selatan dikawal oleh tujuh belas orang pengawal pilihan, yang bertindak sebagai anak buah dan juga melayani segala keperluan sang pangeran. Dan seperti diceritakan di bagian depan, perjalanan itu dihadang oleh orang-orang yang merasa sakit hati terhadap Kim Hong Liu-nio yang sudah banyak membunuhi orang-orang she Yap, Tio, dan Cia.
Kim Hong Liu-nio mengajak sutenya untuk meninggalkan kereta karena dia ingin "melatih"
Sutenya itu menghadapi orang-orang yang dianggapnya tidak terlalu berbahaya itu dan seperti telah diceritakan di bagian depan, lima orang itu dengan mudah dapat mereka tewaskan dan setelah itu mereka menerima undangan dari Jeng-hwa-pang yang mengirim surat beracun yang berbahaya itu. Seperti tidak pernah terjadi sesuatu kini Kim Hong Liu-nio bersama Han Houw telah menunggang kereta lagi, menuju ke Lembah Naga. Karena rombongan ini menggunakan kereta, maka mereka harus mengambil jalan raya yang lebar, jalan memutar, tidak seperti Siong Bu yang tadi mengintai dari tempat persembunyiannya dan kini anak ini dapat mendahului pulang ke Istana Lembah Naga melalui jalan yang jauh lebih dekat namun tidak mungkin ditempuh oleh kereta itu.
"Sin Liong...!"
Hok Been memanggil-manggil dengan suara marah. Dia sudah membawa sebatang cambuk rotan yang sudah dipersiapkannya untuk menghajar anak itu. Hatinya menjadi makin marah ketika dia tidak melihat anak itu dan tidak mendengar jawabannya, maka dia lalu mencari ke belakang kandang kuda.
"Sin Liong, di mana kau? Hayo cepat ke sini...!"
Kembali Hok Boan berteriak. Tiba-tiba terdengar jawaban Sin Liong dari atas sebatang pohon di tepi hutan dekat kandang itu.
"Gi-hu memanggil saya? Saya berada di sini..."
Hok Boan lari ke bawah pohon itu, bertolak pinggang dan memandang ke atas. Dia melihat Sin Liong duduk di cabang pohon itu.
"Hayo lekas turun kau, anak jahat dan kurang ajar!"
Sin Liong terkejut dan cepat dia merayap turun dari atas pohon dan berdiri di depan ayah angkatnya itu dengan kepala ditundukkan. Dia tahu bahwa ayah angkat ini kelihatan marah tentu berhubung dengan peristiwa perkelahiannya dengan Siong Bu pagi tadi.
"Engkau berani melawan Kwan-kongcu, ya?"
Bentak Hok Boan.
"Bagaimanakah pesan dan laranganku dahulu itu? Engkau berani melanggarnya, ya. Hayo katakan, siapa yang kauandalkan? Hayo siapa??"
Kemarahan Hok Boan sebenarnya tertuju kepada isterinya yang menurut pengaduan Siong Bu telah menampar anak itu, akan tetapi karena dia tidak mau ribut-ribut langsung dengan isterinya, maka kemarahan itu kini ditimpakan kepada Sin Liong dan ingin dia mendengar anak ini mengandalkan ibu angkatnya! Akan tetapi Sin Liong tidak menjawab. Dia tahu ayah angkatnya ini amat memanjakan dua orang keponakannya itu, maka tentu akan percuma saja kalau dia membela diri dengan kata-kata. Dia adalah seorang anak keras hati, maka kini dia berdiri menunduk sambil menggigit bibir.
"Kau tidak lekas berlutut minta ampun?"
Kembali Hok Boan menghardik, makin marah melihat anak itu berdiri dengan bandelnya. Akan tetapi Sin Liong hanya melirik ke arah wajah ayah angkatnya itu sebentar, lalu menunduk lagi. Bagaimana dia mau minta ampun kalau dia tidak bersalah apa-apa? Dalam urusan antara dia dan Siong Bu, kalau mau bicara tentang minta ampun, sepatutnya Siong Bu yang harus minta ampun, karena anak itulah yang mulai lebih dulu menyerangnya. Maka dia mengeraskan hatinya dan tidak menjawab, juga tidak berlutut, apalagi minta ampun.
"Hayo kau minta ampun kepada Kwan-kongcu!"
Hok Boan membentak dan dia mencengkeram pundak anak itu dan ditariknya kembali ke dalam rumah. Hok Boan mendorong-dorong sehingga tubuh Sin Liong terhuyung, bahkan ketika dia mendorong melangkahi anak tangga, dia terjatuh. Akan tetapi Hok Boan menyeretnya bangun dan menariknya memasuki ruangan samping di mana Lan Lan, Lin Lin, dan Beng Sin memandang dengan mata terbelalak! Memang Hok Boan sengaja mengajak Sin Liong kembali ke rumah, untuk dihajar di rumah, bukan saja untuk minta ampun kepada Siong Bu, akan tetapi juga agar dilihat semua isi rumah sehingga Sin Liong akan merasa malu dan bertobat benar-benar.
"Di mana Siong Bu?"
Tanya Hok Boan kepada tiga orang anak itu dengan suara membentak.
"Suruh dia ke sini!"
"Dia tidak ada ayah,"
Jawab Lan Lan dan Lin Lin hampir berbareng.
"Dia tadi lari ke dalam hutan sambil menangis, paman,"
Kata Beng Sin dengan mata terbelalak ketakutan. Mendengar ini, makin kasihanlah rasa hati Bok Hoan kepada Siong Bu, dan makin marahlah dia kepada Sin Liong.
"Anak liar, hayo kau berlutut dan minta ampun!"
Bentaknya dan cambuk rotan di tangan kanannya mulai dikerjakannya. Terdengar bunyi cambuk menyambar lalu menimpa punggung Sin Liong, nyaring sekali suaranya, bertubi-tubi.
"Hayo berlutut!"
Bentak Hok Boan. Akan tetapi Sin Liong hanya berdiri menghadap jendela, kedua tangannya menekan tembok, mukanya pucat, bibirnya digigitnya sendiri untuk mencegah dia menangis.
"Tar-tar-tar-tar!"
Kembali cambuk itu menghantam punggung dan pinggulnya. Sin Liong memejamkan mata dan menggigiti bibir makin keras karena rasa nyeri menggigit tubuhnya bagian belakang. Namun, dia sama sekali tidak menangis, tidak mengeluh, apalagi berlutut minta ampun!
"Tar-tar-tar-tar-tarrr...!"
Hok Boan menjadi makin marah menyaksikan kebandelan ini, merasa seolah-olah dia ditantang! Tiba-tiba Lan Lan dan Lin Lin menjatuhkan diri berlutut menghadap ayah mereka.
"Ayah... jangan pukul dia...!"
Lan Lan berkata dengan suara terisak.
"Ayah, dia... dia tidak bersalah... ampunkan dia, ayah!"
Lin Lin juga berkata dan anak perempuan ini sudah menangis. Melihat itu, Beng Sin juga berlutut. Anak yang gemuk ini merasa kasihan sekali kepada Sin Liong, apalagi melihat betapa permintaan kedua anak perempuan itu agaknya belum menggerakkan pamannya yang masih terus mencambuki punggung Sin Liong. Dia melihat warna merah dari balik baju Sin Liong, tanda bahwa kulit punggung itu tentu sudah pecah-pecah berdarah!
"Paman... harap paman sudi mengampuninya... sesungguhnya Sin Liong tidak bersalah... paman ampunkanlah dia..."
Anak gendut itupun minta ampun sambil berlutut. Hok Boan terengah-engah, bukan karena lelah, melainkan karena dibakar oleh kemarahannya sendiri. Dia tadi tidak mendengar suara kedua orang anak perempuan itu, akan tetapi ketika Beng Sin juga mintakan ampun, dia agak merasa heran dan ragu, menghentikan cambukannya dan menoleh. Terbelalak dia memandang ke arah tiga orang anak yang berlutut itu. Mereka mintakan ampun untuk Sin Liong? Dia tertegung terheran dan agak bingung.
"Pamaaaann...! Celaka..., lekas... wah, celaka...!"
Hok Boan terkejut, juga tiga orang anak yang sedang berlutut terkejut bukan main lalu mereka cepat menoleh. Siong Bu memasuki ruangan itu sambil terengah-engah, wajahnya pucat sekali, matanya terbelalak ketakutan. Hanya Sin Liong yang masih bersikap tenang, bahkan masih berdiri seperti tadi, menghadap jendela, tidak memperdulikan segala yang terjadi, juga tidak memperdulikan apakah dia akan dicambuki lagi ataukah tidak.
"Siong Bu! Ada apa...?"
Hok Bow bertanya dengan kaget sekali. Juga tiga orang anak itu sudah bangkit berdiri dan menghampiri Siong Bu dengan kaget dan heran.
"Paman, celaka... mereka datang... dan dia... siluman wanita itu... dia mau membunuh orang... mereka sudah membunuh banyak orang di hutan sana..."
Siong Bu berkata dengan gagap dan dia kelihatan amat ketakutan. Hok Boan mengerutkan alisnya. Dia tidak senang melihat Siong Bu yang disayangnya itu kelihatan begini ketakutan. Tidak patutlah kalau keponakannya, atau lebih tepat lagi muridnya atau anak kandungnya sendiri, puteranya sendiri, bersikap begini penakut!
"Bicaralah yang jelas!"
Bentaknya dan kini dia sudah melupakan Sin Liong, bahkan dia sudah membuang cambuk rotan itu ke atas lantai.
"Apakah yang telah terjadi?"
Beberapa kali Siong Bu menelan ludah untuk menenteramkan hatinya yang terguncang. Memang anak ini tadi menyaksikan sepak terjang wanita cantik dan anak laki-laki yang membunuhi orang seenaknya itu. Setelah agak tenang hatinya karena teringat bahwa dia berada dalam perlindungan ayahnya, Siong Bu lalu berkata,
"Di dalam hutan saya melihat seorang wanita yang seperti siluman, sakti dan kejam sekali, bersama seorang anak laki-laki yang seperti bangsawan. Mereka membunuhi orang-orang dan akhirnya mereka menunggang kereta yang amat indah, dikawal oleh belasan orang perajurit, katanya hendak ke sini! Dan wanita itu menyeramkan sekali, paman... dia cantik seperti puteri, akan tetapi kejam seperti iblis..."
Diam-diam Hok Boan terkejut juga, alisnya berkerut. Teringatlah dia akan wanita utusan Raja Sabutai sepuluh atau sebelas tahun yang lalu, yang muncul ketika dia merayakan pernikahannya dengan isterinya sekarang. Maka tiba-tiba dia bertanya,
"Apakah wanita itu membawa salib kayu yang ada tulisannya tiga macam she...?"
"Benar, paman...! She Yap, Tio, dan Cia...! Itulah celakanya, dia bilang mau membunuh semua orang dengan tiga macam she itu dan dia... dia bilang mau datang ke Lembah Naga ini...!"
Kini yakinlah Hok Boan bahwa memang benar wanita lihai utusan Raja Sabutai itulah yang dimaksudkan oleh Siong Bu. Akan tetapi tentu saja dia tidak merasa khawatir, dan dia berkata sambil menarik napas panjang, menekan kengeriannya membayangkan wanita itu agar terlihat oleh anak-anak itu bahwa dia tidak takut.
"Mengapa engkau ketakutan seperti itu? Wanita itu bukanlah musuh kita, dia mencari orang-orang she Yap, Tio, dan Cia. Apakah yang mesti dikhawatirkan? Di sini tidak ada seorangpun yang mempunyai she Yap, Tio, atau Cia. Jangan kau mudah sekali ketakutan, Siong Bu..."
"Tapi, paman, bukankah dia itu she Cia?"
Hok Boan terkejut ketika melihat Siong Bu menudingkan telunjuknya kepada Sin Liong yang masih berdiri di depan jendela.
"Apa katamu...?"
Bentaknya.
"Dia... dia adalah she Cia... maka celakalah kalau wanita itu datang..."
Pada saat itu, terdengarlah suara halus dan nyaring,
"Siapakah she Cia...?"
Hok Boan cepat menoleh dan bulu tengkuknya meremang ketika dia melihat wanita itu yang segera dikenalnya. Biarpun sudah lewat sebelas tahun, akan tetapi seolah-olah baru kemarin saja dia melihat wanita ini datang ke dalam ruangan pesta pernikahannya dan membunuhi orang. Tidak ada perubahan sama sekali pada wanita itu, wajahnya masih kelihatan cantik jelita seperti dulu, cantik dan agung, seperti seorang puteri raja, sikapnya dingin, angkuh, dan tahi lalat hitam kecil di dagunya membuatnya nampak makin manis. Masih kelihatan muda belia seperti dulu, padahal dibandingkan dengan kemunculannya yang pertama, tentu usianya kini sudah bertambah sebelas tahun! Cepat! Hok Boan melangkah maju dan menjura dengan hormat sekali, lalu tersenyum dan berkata lembut,
"Aih, kiranya kouwnio (nona) yang datang mengunjungi kami. Selamat datang, kouwnio, dan mudah-mudahan selama ini kouwnio dalam keadaan baik-baik saja. Silakan masuk dan mari duduk di dalam, kouwnio!"
Akan tetapi, wanita itu seolah-olah tidak mendengar penyambutan yang amat menghormat itu. Sepasang matanya yang jeli dan tajam itu menyambar ke sekeliling, ke arah wajah lima orang anak itu, sejenak menatap wajah Sin Liong karena anak ini juga sudah membalikkan tubuh menghadap dan memandang kepadanya.
"Siapakah yang she Cia?"
Kembali terdengar pertanyaannya, pertanyaan yang singkat, lirih, terdengar satu-satu dan membawa suasana dingin dan tegang sekali karena di dalam suara ini terkandung ancaman maut! Hok Boan merasa mulutnya kering dan diam-diam dia mengerling ke arah Sin Liong.
Baru tadi dia mendengar dari Siong Bu bahwa Sin Liong she Cia, hal ini sungguh amat mengherankan hatinya dan tidak dimengertinya. Akan tetapi tentu saja dia tidak bisa menunjukkan Sin Liong kepada wanita itu bahwa anak itu she Cia karena sekali wanita itu tahu, tanpa banyak cakap lagi tentu Sin Liong akan dibunuhnya. Dan Hok Boan maklum bahwa dia tidak boleh melakukan hal itu. Dia tahu betapa isterinya amat sayang kepada Sin Liong. Biarpun dia agak membenci Sin Liong karena dianggapnya terlalu disayang Si Kwi dan dianggapnya nakal dan bandel, akan tetapi dia tidak ingin melihat anak angkat isterinya itu dibunuh orang begitu saja. Maka dia cepat mengalihkan pandang matanya dari Sin Liong dan memandang kembali kepada wanita itu masih menanti dengan alis berkerut.
"Tidak... tidak ada yang she Cia..."
Kata Hok Boan sambil menggelengkan kepalanya.
"Hok Boan, berani engkau membohong kepadaku?"
Tiba-tiba wanita itu suaranya dingin, amat menyeramkan.
"Tidak..., mana saya berani membohong, kouwnio?"
"Aku sendiri mendengar kalian tadi bicara tentang seorang she Cia di sini. Hayo mengaku, siapa she Cia di antara kalian?"
Sejak tadi Sin Liong diam saja dan hanya memandang dengan matanya yang terbelalak lebar. Dia tidak takut kepada wanita ini, dan dia tahu bahwa dialah she Cia. Kini dia merasa heran mengapa ayah angkatnya yang membencinya itu tidak mau menyerahkan dia kepada wanita iblis itu. Bukankah wanita ini yang tadi diceritakan oleh Siong Bu dan yang hendak membunuh semua orang she Yap, Tio dan Cia? Kenapa ayah angkatnya tidak mau mengaku terus terang saja agar dia dibunuh oleh wanita itu? Dan dia melirik ke arah Siong Bu. Juga anak ini sama sekali tidak membuka mulut!
"Hayo katakan, kalau tidak, akan kusiksa kalian seorang demi seorang!"
Wanita itu kembali melayangkan pandang matanya, dari Hok Boan yang pucat mukanya sampai kepada semua anak yang tertunduk dan ketakutan. Hanya Sin Liong seorang yang berdiri dengan tegak, memandangnya dengan penuh keberanian. Kim Hong Liu-nio merasa heran dan mengerutkan alisnya, hatinya tidak senang dan tidak puas melihat seorang anak laki-laki yang tidak kelihatan takut kepadanya! Padahal anak inilah yang tadi dirangket oleh Hok Boan, dicambuki dan sedikitpun anak itu tadi tidak mengeluh, padahal dari baju anak itu dapat dilihat bahwa punggungnya pecah-pecah kulitnya dan berdarah! Lalu dia menoleh kepada Siong Bu yang tertunduk dan matanya melirik ke arah pamannya. Melihat wajah anak ini tampan dan mirip dengan wajah Hok Boan, Kim Hong Liu-nio mendapatkah akal.
"Hayo katakan, kalau tidak, anak ini akan kusiksa lebih dulu!"
Katanya sambil menghampiri Siong Bu. Anak laki-laki yang tadinya memang sudah merasa ngeri dan ketakutan menyaksikan sepak terjang wanita iblis ini, kini menggigil kedua kakinya den mukanya menjadi pucat sekali.
"Bukankah engkau tadi yang bilang tentang orang she Cia? Hayo katakan, di mana dia, kalau tidak, telingamu ini akan kucabut putus!"
Berkata demikian, Kim Hong Liu-nio mencubit telinga kiri Siong Bu. Anak itu makin ketakutan dan menggeleng-geleng kepala tak mampu mengeluarkan suara. Diam-diam Sin Liong merasa makin heran dan juga terharu. Biasanya, Siong Bu begitu kasar dan jahat terhadap dirinya, dianggap selalu memusuhinya, akan tetapi mengapa sekarang, biarpun diancam secara hebat, Siong Bu tidak mau mencelakainya dengan menunjukkan she-nya kepada wanita iblis itu? Dia tidak tahu bahwa dalam batin Siong Bu juga terdapat benih kegagahan yang tidak mau berbuat khianat!
"Harap jangan ganggu dia...!"
Tiba-tiba Hok Boan berseru dan melangkah maju menghampiri wanita itu. Kim Hong Liu-nio melepaskan Siong Bu, lalu membalikkan tubuhnya dengan perlahan, tersenyum dan mengangguk-angguk kepada Hok Boan.
"Hemmm, jadi engkau berani menentangku, ya? Kau kira sukar bagiku untuk membasmi kalian sekeluarga kalau aku menghendaki? Kalau aku membunuh anak ini, kau mau apa?"
"Kouwnio, harap jangan mengganggu kami sekeluarga. Percayalah, kami tidak mempunyai hubungan dengan musuh-musuhmu..."
"Kalau aku tetap hendak mengganggu keluargamu, kau mau apa, Kui Hok Boan?"
Hok Boan adalah orang yang biasanya amat mengandalkan kepandaian sendiri, bahkan biasanya dia memandang rendah orang lain karena percaya bahwa ilmu kepandaiannya sudah tinggi dan jarang menemui tanding. Biarpun dia tahu bahwa wanita ini amat lihai dan mungkin sekali dia tidak akan mampu menandinginya, akan tetapi karena dia didesak dan diejek terus, ditantang secara terang-terangan seperti itu, mukanya yang pucat tadi kini perlahan-lahan berubah memerah.
"Apa yang akan dilakukan orang kalau keluarganya diganggu? Tentu saja dia akan melawan sedapatnya!"
Katanya dengan sikap gagah, dan dadanya agak diangkat sedikit.
"Bagus! Sudah lama aku mendengar bahwa ilmu silat yang kau warisi dari Go-bi-pai itu amat lihai. Nah, coba kau hadapi seranganku, apakah engkau dapat bertahan sampai sepuluh jurus?"
"Kouwnio, kami menyambut kedatangan kouwnio sebagai tamu yang kami hormati, dan saya sama sekali tidak hendak bermusuhan dengan kouwnio..."
"Cukup! Kau lekas katakan siapa orang she Cia itu atau kau harus menghadapi aku sampai sepuluh jurus!"
Melihat sikap wanita itu yang mendesak pamannya, Beng Sin diam-diam lalu merangkak ke pintu, hendak lari keluar dan melapor kepada bibinya. Dia tahu bahwa bibinya juga lihai, kabarnya tidak kalah lihai daripada pamannya, maka kalau bibinya itu membantu pamannya dan mereka berdua maju menghadapi wanita iblis ini, agaknya tidak akan kalah.
Dewi Maut Eps 10 Dewi Maut Eps 5 Dewi Maut Eps 12