Ceritasilat Novel Online

Pendekar Lembah Naga 11


Pendekar Lembah Naga Karya Kho Ping Hoo Bagian 11



"Kau memang hebat, adik kecil. Ayahmu patut dipuji."

   "Dan kau memang jahat, kekejaman kalian patut dicela!"

   Jawab Sin Liong, memandang berani. Han Houw tertawa.

   "Ha-ha-ha, belum pernah selama hidupku bertemu dengan bocah seperti engkau ini. Namamu Cia Sin Liong? Eh, Sin Liong, setelah kita saling bertanding dan kini duduk sekereta, tentu engkau mau menjadi sahabatku bukan?"

   "Persahabatan bukan hanya omong kosong belaka, tapi ditentukan oleh perbuatan dan perbuatanmu dan sucimu terhadap diriku sama sekali tidak bersahabat!"

   Jawab pula Sin Liong. Dia masih marah sekali dan tentu saja dia marah karena dia juga maklum bahwa di dalam tubuhnya telah mengeram racun jahat yang akan menewaskannya dalam waktu enam bulan, racun yang sengaja dimasukkan ke dalam tubuhnya oleh wanita itu. Perbuatannya itu demikian kejam dan anak ini bicara tentang persahabatan! Akan tetapi, Han Houw yang tadi mendengar dari sucinya tentang keadaan Sin Liong, tidak menjadi marah oleh jawaban itu. Dia amat tertarik lalu berkata,

   "Engkau sejak kecil dipelihara oleh monyet-monyet besar? Betapa aneh, hebat, dan pengalamanmu itu sungguh luar biasa. Ingin aku mengalami hal seperti yang telah kaualami itu, Sin Liong. Dan engkau putera kandung Cia Bun Houw, pendekar yang kabarnya amat sakti itu. Bukan main! Aku ingin menjadi sahabatmu!"

   Akan tetapi Sin Liong tidak mau menjawab lagi, bahken membuang muka memandang ke luar jendela kereta, melihat betapa kereta dijalankan cepat melintasi padang rumput yang agak tandus dan dari jauh di depan nampak dinding yang amat panjang naik turun gunung, berbelok-belok seperti ular atau naga besar. Itulah agaknya Tembok Besar yang terkenal sebagai dongeng, yang pernah diceritakan kepadanya oleh Siong Bu dan Beng Sing, dua orang anak yang pernah menyeberangi tembok besar yang amat panjang itu.

   Matahari telah mulai condong ke barat ketika rombongan itu memasuki sebuah butan di lereng bukit. Tembok besar nampak jelas dari bawah, akan tetapi ketika mereka memasuki hutan, tembok panjang yang seperti naga itu lenyap tertutup oleh pohon-pohon yang memenuhi hutan dan yang tumbuh secara liar. Tiba-tiba kereta berhenti dan pasukan pengawal segera menggerakkan kuda mereka mengurung kereta untuk melindungi.

   "Mengapa berhenti?"

   Han Houw bertanya.

   "Apa yang terjadi?"

   Kim Hong Liu-nio juga bertanya, nada suaranya tidak sabar. Seorang pengawal mendekatkan kudanya dengan jendela kereta dan memberi laporan dalam Bahasa Mongol secara singkat.

   "Hemmm, bagus! Mereka mencari mati di tempat ini? Sute, kau berdiam saja di sini dan lihat saja sucimu menghajar mereka!"

   Kata Kim Hong Liu-nio dan tiba-tiba tubuhnya melesat keluar dari dalam kereta.

   Han Houw membuka tirai-tirai kereta dan dari dalam kereta, dia dan Sin Liong dapat melihat apa yang terjadi di depan. Kiranya perjalanan rombongan itu dihadang oleh serombongan orang yang jumlahnya tidak kurang dari tujuh puluh orang, yang kini semua berdiri seperti patung mengurung kereta itu. Mereka bergerak tanpa mengeluarkan suara, dan tubuh mereka hanya bergeser secara teratur sehingga tahu-tahu tempat di mana kereta itu berhenti telah dikepung dalam jarak kurang lebih lima meter. Para pengepung itu memakai pakaian seragam hijau muda dengan gambar bunga yang bentuknya aneh, berwarna hijau tua di dada baju masing-masing. Karena pakaian yang berwarna serba hijau ini, maka pandang mata menjadi kabur karena warna pakaian mereka itu sama dengan warna di sekeliling tempat itu, warna daun dan semak-semak.

   Dan karena mereka mengurung dengan berdiri tegak dan sama sekali tidak bergerak atau mengeluarkan suara, maka keadaan menjadi makin menyeramkan. Akan tetapi Sin Liong melihat betapa Han Houw bersikap tenang saja, bahkan senyumnya mengandung ejekan dan memandang rendah sekali. Diam-diam dia merasa kagum terhadap ketabahan pemuda cilik yang tampan dan berpakaiah mewah ini. Sementara itu, tujuh belas orang pengawal telah berbaris rapi mengurung kereta dan membelakanginya, siap melindungi kereta itu dengan taruhan nyawa mereka. Tujuh belas orang pengawal yang berpakaian seragam inipun kelihatan gagah dan tenang. Semua ini membuat hati Sin Liong menduga-duga siapa adanya anak ini sesungguhnya.

   "Han Houw, sebenarnya siapakah engkau ini? Apakah anak bangsawan Mongol?"

   Akhirnya Sin Liong bertanya karena tidak dapat menahan lagi keinginan tahunya. Han Houw menoleh kepadanya lalu tersenyum. Dia telah dipesan oleh ayah bundanya, juga sucinya, agar tidak mengaku sebagai putera Raja Sabutai, agar melakukan perjalanan dengan menyamar, karena jika dia dikenal sebagai putera Raja Sabutai, tentu keadaannya akan menjadi berbahaya sekali. Banyak kepala suku bangsa yang tentu saja akan mengincarnya, karena Sabutai mempunyai banyak sekali musuh di antara suku-suku bangsa di utara. Kini, mendengar pertanyaan Sin Liong, Han Houw tersenyum dan menjawab,

   "Kelak engkau akan mengetahui sendiri, Sin Liong."

   Sin Liong memang berwatak keras dan angkuh. Mendengar jawaban ini dia tidak sudi mendesak lagi, bahkan kini dia mengalihkan perhatiannya memandang ke luar jendela, ke arah Kim Hong Liu-nio yang telah berhadapan dengan para pimpinan gerombolan itu. Wanita itu telah berdiri tegak menghadapi enam orang pimpinan gerombolan dengan sikap tenang dan mulut tersenyum-senyum yang menyembunyikan kemarahan hatinya karena gangguan gerombolan itu. Tadi pimpinan pengawal telah memberi laporan kepadanya bahwa gerombolan Jeng-hwa-pang telah menghadang di tengah perjalanan dan dia menjadi marah sekali.

   Setelah dia melompat turun dan melihat sekeliling, benar saja dia mengenal bahwa mereka itu adalah pasukan Jeng-hwa-pang! Tentu saja dia merasa marah sekali dan cepat dia menghampiri enam orang yang ia duga tentulah merupakan pimpinan Jeng-hwa-pang. Ketika dia pernah mengacau di Jeng-hwa-pang, membunuh-bunuhi orang-orang she Tio termasuk isteri ketua Jeng-hwa-pang, dia tidak bertemu dengan para pimpinan Jeng-hwa-pang yang kabarnya sedang pergi menangkapi ular-ular merah. Akan tetapi dia mendengar bahwa pimpinan Jeng-hwa-pang adalah ketuanya yang dibantu oleh lima orang tokoh Jeng-hwa-pang yang berkepandaian tinggi. Maka kini melihat ada enam orang berdiri tegak dengan sikap angkuh, mudah saja hati Kim Hong Liu-nio untuk menduga bahwa tentu mereka itulah para pimpinan Jeng-hwa-pang.

   "Jeng-hwa-pang mengundang kami untuk datang ke sarangnya, akan tetapi sekarang di dalam hutan menghadang seperti kelakuan para perampok rendah!"

   Kim Hong Liu-nio berseru dengan suara nyaring.

   "Jeng-hwa-pang mengundang orang untuk mengadu kepandaian atau hendak melakukan pengeroyokan seperti pengecut-pengecut hina?"

   Enam orang itu mengerutkan alis mereka dan memandang marah. Tak mereka kira wanita secantik itu ternyata mempunyai lidah yang amat tajam. Pria berusia lima puluh tahun yang bermuka merah dan bertubuh tegap gagah, yaitu Jeng-hwa-pangcu sendiri melangkah maju dan menudingkan telunjuk tangan kirinya ke arah muka Kim Hong Liu-nio.

   "Kim Hong Liu-nio, baru sekarang kita ada kesempatan untuk saling bertemu! Engkau dan tujuh belas orang pengawalmu itu tidak ada artinya. Engkau telah dikurung oleh anak buah kami yang berjumlah tujuh puluh lima orang! Kekuasaan ada padaku dan kelemahan ada padamu, maka tidak perlu lagi kau bersikap sombong. Kamilah yang menentukan apakah akan membasmi kalian satu demi satu ataukah sekaligus! Dan..."

   "Tunggu dulu!"

   Kim Hong Li-nio menghentikan kata-kata lawannya itu dengan mengangkat tangan ke atas. Tangan yang diangkat ke atas ini merupakan isyarat bagi para anggauta pasukan pengawalnya dan mereka itu cepat menurunkan busur dan anak panah dan siap dengan senjata itu di tangan mereka.

   "Agaknya engkau ini Jeng-hwa-pangcu Gak Song Kam! Eh, orang she Gak, apakah engkau tidak melihat keadaan pasukan pengawal itu?"

   Gak Song Kam dan lima orang pembantunya memandang dan melihat tujuh belas orang pengawal itu memegang busur dan anak panah, mereka tertawa, diikuti pula oleh puluhan orang anak buah mereka yang menyeringai. Akan tetapi tidak ada suara ketawa keluar dari mulut mereka sehingga Sin Liong bergidik. Amat menyeramkan melihat puluhan orang itu menyeringai sehingga nampak gigi mereka akan tetapi tidak ada suara yang keluar!

   "Ha-ha-ha, Kim Hong Liu-nio, sungguh lucu sekali melihat gertakanmu ini! Apa sih artinya tujuh belas orang pengawalmu yang memegang busur dan anak panah itu? Apakah kau kira kami ini hanyalah kijang-kijang dan kelinci-kelinci yang lemah sehingga mudah saja ditakut-takuti dan ditodong dengan anak panah seperti itu? Ha-ha-ha!"

   "Jeng-hwa-pangcu, kalian bukan hanya kijang-kijang dan kelinci-kelinci lemah, akan tetapi malah adalah sekumpulan babi hutan yang tolol. Lihatlah baik-baik!"

   Kim Hong Liu-nio memberi isyarat dengan jari tangannya ke atas,

   Ibu jari tangan kanannya diacungkan ke atas dan tujuh belas orang pengawal itu lalu menarik busur, dan para anggauta Jeng-hwa-pang sudah siap untuk menangkis atau mengelak. Akan tetapi tiba-tiba anak panah itu dihadapkan ke atas dan begitu tali busur dilepas meluncurlah tujuh belas batang anak panah. Setelah tiba di atas, anak-anak panah itu mengeluarkan ledakan dan nampaklah sinar merah bernyala di angkasa. Kiranya anak-anak panah itu adalah anak panah berapi yang dipergunakan untuk mengirim berita! Orang-orang Jeng-hwa-pang terkejut, heran dan tidak mengerti. Akan tetapi tak lama kemudian mereka dikejutkan oleh suara gemuruh dari empat penjuru. Kemudian, terdengarlah derap kaki kuda yang banyak sekali disertai sorak-sorai dari banyak sekali orang.

   Dan tampaklah oleh mereka karena hutan itu berada di lereng bukit yang agak tinggi betapa dari empat penjuru berdatangan pasukan-pasukan yang masing-masing tidak kurang dari tiga ratus orang jumlahnya! Gak Song Kam dan para pembantunya saling pandang dan muka Gak Song Kam yang biasanya berwarna merah itu kini menjadi agak pucat. Melihat ini, Kim Hong Liu-nio tertawa dan kini terdengar suara berbisik ketika pasukan-pasukan itu mulai mendekat dan mengurung hutan itu, siap untuk menyerbu jika ada tanda dari Kim Hong Liu-nio. Tempat itu termasuk daerah kekuasaan Raja Sabutai dan semua suku bangsa yang berada di sekitar tempat itu tentu saja merupakan bawahan-bawahan raja ini, maka begitu melihat tanda bahaya yang dilepas melalui anak panah tadi, berbondong-bondong mereka datang dari segenap jurusan ke hutan itu.

   "Orang she Gak, kau masih mau bicara tentang siapa yang mengurung dan siapa yang dikurung, siapa yang kuat dan siapa yang lemah, siapa pula yang menentukan? Pengawalku memang hanya tujuh belas orang, akan tetapi anak buahmu hanya berjumlah tujuh puluh lima orang sedangkan pasukanku yang telah datang saja sudah lebih dari seribu orang, belum lagi yang sedang datang dari tempat yang agak jauh. Engkau mau bicara apa sekarang?"

   Hati Gak Song Kam menjadi gentar. Memang maksudnya hendak menghadapi wanita in sebagai musuh pribadi dan dia memang tidak berani membawa-bawa nama Raja Sabutai yang dia tahu memiliki pasukan-pasukan yang amat kuat dan tidak mungkin dilawan oleh anak buahnya itu. Tadinya, melihat musuh besarnya itu hanya dikawal oleh tujuh belas orang pengawal, maka begitu mendengar berita ini,

   Dia cepat mengumpulkan anak buahnya dan melakukan penghadangan jalan karena dia bermaksud membalas dendam dan membasmi semua orang di tengah hutan agar kalau Raja Sabutai mendengar tentang pembasmian itu, dia tidak akan menyangka bahwa orang-orang Jeng-hwa-pang vang melakukannya. Kalau Kim Hong Liu-nio tiba di sarang Jeng-hwa-pang, tentu saja Jeng-hwa-pang tidak memungkiri lagi dan berarti akan menanam bibit permusuhan dengan Raja Sabutai dan hal itu amatlah berbahaya. Akan tetapi, siapa kira wanita ini benar-benar amat cerdik dan tidak dapat ditundukkan dengan mengandalkan banyak anak buah karena ternyata di belakang wanita itu berdiri pasukan yang ribuan orang jumlahnya. Maka terpaksa Gak Song Kam tersenyum-senyum masam untuk menutupi rasa gentar dan kecewanya.

   "Hemm, kiranya Kim Hong Liu-nio yang mengaku gagah perkasa itu hanya mengandalkan pasukan besar untuk menghadapi lawan!"

   "Cih! Orang she Gak, sebaiknya engkau menelan kembali ludahmu itu! Engkaulah yang mengandalkan jumlah banyak! Sekarang katakanlah, engkau mengundang aku ke Jeng-hwa-pang kemudian menghadang di tengah jalan ini mempunyai maksud curang apakah?"

   Gak Song Kam berdehem untuk menenangkan hatinya yang terguncang. Kemudian dia menjawab pertanyaan itu dengan pertanyaan pula,

   "Kim Hong Liu-nio, benarkah engkau yang telah membunuh isteriku dan sembilan orang keluarga isteriku beberapa bulan yang lalu?"

   Kim Hong Liu-nio mengangguk, menurunkan papan salib dari punggungnya sambil memperlihatkan tulisan tiga huruf di atas papan.

   "Bukan salahku, pangcu, akan tetapi salahnya isterimu dan salahmu sendiri. Kenapa isterimu she Tio? Kenapa engkau menikah dengan seorang she Tio dan di rumahmu tinggal sembilan orang she Tio itu?"

   Tentu saja jawaban ini amat bo-ceng-li (kurang ajar) dan mau menang sendiri saja. Wajah Gak Song Kam menjadi makin merah dan matanya mengeluarkan sinar berapi, akan tetapi melihat keadaan yang tidak menguntungkan, dia tidak berani terlalu memperlihatkan kemarahannya.

   "Kim Hong Liu-nio! Engkau tahu bahwa di dunia kang-ouw terdapat peraturan bahwa siapa hutang uang bayar uang, hutang budi bayar budi, dan hutang nyawa bayar nyawa,"

   Kata orang she Gak itu dengan suara penuh ancaman dan tangan kanannya meraba gagang pedang di pinggangnya. Wanita itu tersenyum mengejek.

   "Hemm, kau maksudkan bahwa aku telah membunuh isterimu dan keluarganya, sekarang engkau hendak membunuhku?"

   "Itu sudah merupakan kepantasan!"

   Jawab ketua Jeng-hwa-pang. Kim Hong Liu-nio mengangguk-angguk.

   "Memang pantas! Seorang suami tentu harus membalas kematian isterinya, atau mengikuti isterinya ke alam baka. Soalnya, engkau mampu membunuh aku ataukah sebaliknya. Dan apakah kau hendak mengandalkan pengeroyokan untuk membunuhku, pangcu?"

   Diejek demikian, makin marahlah Gak Song Kam. Kalau dia tidak ingat bahwa tempat itu telah dikurung oleh seribu lebih pasukan, tentu dia akan menggerakkan anak buahnya untuk membunuh iblis betina ini.

   "Ataukah engkau akan bersikap pengecut dan curang, mempergunakan racun-racunmu?"

   Kembali wanita itu mengejek.

   "Apakah engkau takut?"

   Ketua Jeng-hwa-pang itu berkesempatan balas mengejek. Wanita itu tersenyum, manis sekali sehingga diam-diam Gak Song Kam merasa heran dan juga sayang mengapa wanita secantik itu berhati kejam seperti iblis dan harus dibunuhnya untuk membalas kematian isterinya dan sembilan orang keluarga isterinya.

   "Racun-racunmu hanya permainan kanak-kanak, siapa takut? Akan tetapi kalau engkau hendak menggunakan pengeroyokan anak buahmu, terpaksa akupun akan menggerakkan pasukanku."

   Tiba-tiba lima orang pembantu utama Gak Song Kam bergerak maju ke depan. Seorang di antara mereka berkata,

   "Tidak ada pengeroyokan! Pangcu kami mengundang untuk pibu. Kami berlima adalah pembantu-pembantu utamanya dan kami berlima biasa maju bersama. Biarlah kami mengawali pertandingan ini dan menjadi jago-jago fihak pangcu. Silakan kouwnio mengeluarkan jago kouwnio untuk menandingi kami!"

   Kim Hong Liu-nio masih tersenyum dan memandang lima orang laki-laki itu. Usia mereka itu kurang lebih empat puluh sampai lima puluh tahun, semua bertubuh tegap dan nampaknya kuat, berpakaian ringkas dan mereka berlima memegang lima macam senjata pula. Ada yang memegang pedang, golok, tombak, toya dan ruyung. Dia sudah mendengar dari para penyelidiknya bahwa lima orang pembantu dari Jeng-hwa-pang ini lihai sekali, apalagi kalau mereka maju bersama karena kelimanya merupakan ahli dalam barisan Ngo-heng-tin. Dia sendiri banyak mempelajari ilmu-ilmu silat dari berbagai cabang persilatan, akan tetapi dia belum mengenal Ngo-heng-tin, maka hatinya tertarik sekali.

   "Hemm, jadi kalian berlima ini pembantu-pembantu Jeng-hwa-pangcu yang terkenal dengan ilmu Ngo-heng-tin? Kabarnya kalian adalah perampok-perimpok dari Heng-san, benarkah?"

   Wajah lima orang itu menjadi merah sekali. Memang mereka dahulunya sebelum menjadi tokoh Jeng-hwa-pang, adalah lima orang perampok di Heng-san yang terkenal. Ketika mereka dikalahkan dan ditundukkan oleh Jeng-hwa-pang, mereka lalu menggabung dan karena mereka itu lihai, maka kini mereka menjadi pembantu-pembantu utama dari Jeng-hwa-pangcu. Kini, disinggung masa lalu mereka, tentu saja mereka menjadi malu dan marah.

   "Kami adalah Heng-san Ngo-houw, kami sudah siap membela pangcu kami, silakan kouwnio mengeluarkan jago kouwnio."

   "Suci, biarlah aku menghadapi mereka!"

   Tiba-tiba terdengar Han Houw berteriak dan dia sudah meloncat keluar dari dalam kereta dan lari menghampiri tempat itu. Melihat ini, Sin Liong merasa tertarik dan diapun meloncat keluar dan mengikuti Han Houw. Kim Hong Liu-nio mengerutkan alisnya. Sutenya ini paling suka bertanding silat! Memang sudah pandai sutenya ini, sudah banyak menguasai ilmu-ilmu silat tinggi karena memang memiliki bakat yang amat hebat, akan tetapi sutenya yang baru berusia empat belas tahun ini tentu saja masih belum memiliki pengalaman bertempur dan juga belum dapat dikatakan matang ilmu-ilmunya, sedangkan dia dapat menaksir bahwa lima orang ini merupakan jago-jago yang sudah kawakan dan berbahaya.

   "Lebih baik jangan sute. Mereka ini adalah orang-orang berbahaya."

   "Biarlah, suci. Aku tidak takut."

   "Dan aku akan membantu Han Houw!"

   Tiba-tiba Sin Liong berkata. Kim Hong Liu-nio terkejut dan menoleh, memandang Sin Liong sambil mengerutkan alisnya. Anak ini sungguh lancang dan kurang ajar, menyebut sang pangeran dengan namanya begitu saja! Dan berlagak hendak membantu segala.

   "Minggirlah engkau!"

   Bentaknya. Kemudian dia menghadapi lima orang Hengsan Ngo-houw sambil berkata.

   "Kalian maju berbareng dengan berlima, sebaliknya suteku berani menghadapi kalian. Bagaimana kalau aku dan suteku maju bersama, jadi dua lawan lima? Aku ingin melatih suteku dan kalian merupakan lawan latihan yang baik sebelum aku membunuh kalian."

   Tentu saja lima orang itu menjadi makin marah karena ucapan itu jelas mengandung pandangan rendah sekali terhadap mereka.

   "Majulah!"

   Bentak orang tertua di antara mereka.

   "Majulah kalian berdua, ditambah beberapa orang lagipun tidak mengapa!"

   "Suci, menurut suci, di antara mereka ini, pemegang senjata mana yang paling berbahaya?"

   Han Houw bertanya, sikapnya tenang.

   "Lima batang senjata itu mempunyai keistimewaan masing-masing, sute, seperti juga sute telah ketahui dan pelajari. Akan tetapi, kalau sute menghadapinya dengan pedang, tentu saja masing-masing mempunyai kelemahan sendiri. Engkau tentu masih ingat bahwa melawan pemegang senjata panjang harus merapat, sebaliknya menghadapi lawan bersenjata pendek harus merenggang."

   "Tapi, senjata mereka ini lima macam, ada yang pendek ada yang panjang kalau mereka maju bersama..."

   "Itulah lihainya Ngo-heng-tin, harap sute berhati-hati dan mengerahkan gin-kang..."

   Lima orang itu sudah tidak sabar lagi. Mereka dijadikan bahan pelajaran ilmu silat! Maka mereka lalu bergerak mengurung wanita dan anak laki-laki itu, kemudian terdengar mereka berseru hampir berbareng,

   "Lihat senjata!"

   Dan mulailah lima orang itu menggerakkan senjata masing-masing melakukan serangan!

   "Cring-cring-cring...!"

   Nampak sinar terang berkelebatan dan ternyata Han Houw telah mencabut pedang dan menangkis tiga batang senjata lawan yang menyambar, sedangkan dua batang senjata lain telah dikebut oleh ujung sabuk merah Kim Hong Liu-nio! Akan tetapi, lima orang itu sudah menyerang lagi lebih hebat dan gerakan mereka benar-benar amat luar biasa.

   "Jangan tangkis, elakkan, pergunakan gin-kang dan lindungi diri dengan sinar pedang!"

   Terdengar Kim Hong Liu-nio berseru dan dua orang ini segera berkelebatan dengan cepat sekali di antara sambaran lima batang senjata itu. Han Houw mengerti bahwa sucinya menyuruh dia mengelak untuk dapat memperhatikan cara lima orang lawan itu melakukan penyerangan dengan tersusun dalam Ngo-heng-tin.

   Dan memang demikianlah, Kim Hong Liu-nio diam-diam mempelajari gerakan lima orang itu dan dengan cepat dia sudah dapat menangkap inti dari kerja sama lima orang itu. Kiranya memang ada unsur ngo-heng di dalam gerakan-gerakan mereka yang saling membantu dan saling melindungi, seperti juga sifat dari lima zat pokok yaitu api, air, kayu, logam, dan tanah. Ilmu berdasarkan ngo-heng ini memang hebat bukan main, dan setelah saling melindungi maka menjadi amat kuat. Akan tetapi segera Kim Hong Liu-nio melihat bahwa dasar dari tingkat ilmu yang dimiliki oleh lima orang itu tidak begitu kuat. Inilah kelemahan mereka. Andaikata mereka itu terdiri dari orang-orang yang memiliki dasar ilmu yang kuat, maka Ngo-heng-tin ini benar-benar amat sukar ditundukkan. Setelah melihat kelemahan lawan, maka dia tersenyum dan berkata kepada sutenya,

   "Sute, kau sekarang boleh serang mereka yang memegang pedang dan golok! Pergunakan gerakan Lian-cu Siang-kiam (Tikaman Ganda Berantai)!"

   Han Houw mentaati perintah sucinya dan cepat pedangnya membuat gerakan berganda, melakukan serangan bertubi-tubi kepada pemegang pedang dan pemegang golok tanpa memperdulikan yang lain. Tiga orang lainnya tentu saja berdasarkan silat Ngo-heng-tin, telah menggerakan senjata secara otomatis melindungi kedua orang itu, akan tetapi nampaklah sinar merah panjang berkelebatan dan sinar yang dibuat dari sabuk merah Kim Hong Liu-nio ini telah membentuk benteng yang menghadang tiga orang lainnya sehingga mereka terpisah dari si pemegang golok!

   Terpaksa kedua orang ini menghadapi serangan pedang Han Houw, dan mereka terkejut bukan main menyaksikan sinar pedang yang berkeredepan dan amat cepat itu. Mereka kini terdesak dan menangkis kalang-kabut, dan lebih kaget lagi hati mereka ketika mereka menangkis, pedang dan golok mereka menjadi patah ujungnya, tidak kuat bertemu dengan pedang pusaka di tangan Han Houw. Apalagi karena anak itu memang mengerahkan sin-kang yang istimewa, yang dikuasainya di bawah gemblengan Hek-hiat Mo-li sendiri! Sin Liong menonton dengan mata terbelalak penuh kagum. Bukan main, pikirnya. Kiranya Ceng Han Houw benar-benar memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat. Pandang matanya sampai kabur menyaksikan anak itu mengamuk dikeroyok dua orang yang memegang pedang dan golok itu,

   Sedangkan tiga orang lainnya ditahan oleh sinar merah dari Kim Hong Liu-nio, membuat mereka bertiga bergerak bingung karena ujung sinar merah itu kini berubah banyak sekali dan melakukan totokan-totokan pada jalan-jalan darah maut mereka! Tiba-tiba terdengar teriakan nyaring dan si pemegang golok roboh terguling, dari lehernya mengucur darah karena tenggorokannya telah tertembus oleh ujung pedang Han Houw! Dan kini si pemegang pedang dengan muka pucat berusaha untuk mempertahankan diri sambil memutar pedangnya yang telah buntung! Semua ini tidak terlepas dari pandang mata Gak Song Kam. Menyaksikan semua itu, ketua Jeng-hwa-pang ini terkejut bukan main. Dia sendiri, setelah mengerahkan seluruh kepandaiannya, baru dapat mengimbangi Ngo-heng-tin.

   Dan kini, Ngo-heng-tin menjadi kocar-kacir hanya menghadapi seorang bocah yang dibantu oleh wanita cantik itu, bahkan seorang di antara mereka telah roboh dan tewas, sedangkan yang empat orang lagi dia tahu tentu hanya tinggal menanti waktu saja. Melihat gerakan sabuk merah dari Kim Hong Liu-nio, dia tahu bahwa kalau wanita itu menghendaki, tentu sudah sejak tadi tiga orang temannya itu dapat dirobohkan, akan tetapi agaknya wanita itu benar-benar hendak "melatih"

   Sutenya dan membiarkan sutenya merobohkan lima orang itu dan dia hanya membantu hanya untuk mencegah tiga orang itu mengeroyok. Dan melihat ini semua, tanpa bertandingpun tahulah ketua Jeng-hwa-pang ini bahwa dia sendiri bukan lawan Kim Hong Liu-nio dan usahanya membalas dendam akan sia-sia belaka, bahkan dia hanya akan menyerahkan nyawanya.

   Maka timbullah akal yang curang di dalam benak Gak Song Kam. Sejak tadi dia melirik ke arah Sin Liong. Dia tidak tahu siapa anak itu, akan tetapi melihat gerak-geriknya, anak itu tidaklah selihai anak laki-laki yang memegang pedang itu, akan tetapi karena datang bersama Kim Hong Liu-nio, tentu anak itupun merupakan seorang anggauta keluarga atau anggauta rombongan. Maka diam-diam dia lalu memberi isyarat kepada para anak buahnya. Semua anggauta Jeng-hwa-pang adalah orang-orang yang telah bersumpah setia kepada Jeng-hwa-pang, maka begitu melihat isyarat itu, mereka lalu bergerak dan mencabut senjata, menyerang Kim Hong Liu-nio dan Ceng Han Houw! Kim Hong Liu-nio terkejut dan marah sekali. Dia mengeluarkan suara melengking nyaring untuk memberi aba-aba kepada pasukan yang mengurung tempat itu,

   Kemudian dia sendiri sudah mencabut pedangnya dan mengamuk sambil melindungi Han Houw. Ketika dia mencari-cari dengan pandang matanya di antara pengeroyokan anak buah Jeng-hwa-pang, dia tidak lagi melihat Gak Song Kam. Ke manakah perginya ketua Jeng-hwa-pang ini? Orang yang cerdik ini setelah melihat anak buahnya menyerbu, lalu dia meloncat dan menyelinap di antara anak buahnya, bukan untuk mundur dan melarikan diri, melainkan untuk menghampiri kereta yang telah ditinggalkan oleh tujuh belas orang pengawal itu. Para pengawal yang melihat betapa anak buah Jeng-hwa-pang telah turun tangan mengeroyok, tentu saja cepat menggerakkan senjata dan menghadapi mereka dengan sengit. Kesempatan ini dipergunakan oleh Gak Song Kam untuk menyerang ke depan dan menangkap Sin Liong.

   "Eh, kau mau apa?"

   Sin Liong membentak dan berusaha mengelak, akan tetapi tetap saja pundaknya telah kena dicengkeram oleh ketua Jeng-hwa-pang itu.

   "Diam kau, dan kau ikut saja bersamaku!"

   Bentak Gak Song Kam sambil mengangkat tubuh Sin Liong, mengempitnya dan mencengkeram tengkuknya, lalu ketua Jeng-hwa-pang ini melarikan diri. Setiap kali bertemu dengan pasukan yang mulai berdatangan, dia mengancam,

   "Biarkan aku lewat, kalau tidak, kubunuh lebih dulu anak ini!"

   Para anggauta pasukan tidak mengenal Sin Liong, akan tetapi karena pengawal yang tadi melihat Sin Liong naik kereta bersama sang pangeran, cepat berseru agar Gak Song Kam yang telah menawan anak itu tidak diganggu! Demikianlah, Gak Song Kam berhasil melarikan diri sambil mengempit tubuh Sin Liong. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara Kim Hong Liu-nio yang nyaring.

   "Tahan dia itu! Tangkap ketua Jeng-hwa-pang yang curang itu!"

   Kiranya, setelah melihat lenyapnya Gak Song Kam, Kim Hong Liu-nio menjadi marah bukan main. Sambil melindungi Han Houw, cepat dia merobohkan empat orang Heng-san Ngo-houw, kemudian dia mengajak Han Houw mundur, membiarkan tujuh belas orang pengawal itu menghadapi para anak buah Jeng-hwa-pang karena kini pasukan telah bergerak maju dan tentu puluhan orang Jeng-hwa-pang itu akan dibasmi habis. Bersama Han Houw dia lalu mencari-cari Gak Song Kam dan akhirnya dia melihat orang itu yang melarikan diri sambil mengempit tubuh Sin Liong.

   "Celaka, suci. Dia melarikan Sin long!"

   Seruan Han Houw ini mengejutkan Kim Hong Liu-nio. Kalau Han Houw pada saat itu mengkhawatirkan keselamatan Sin Liong yang terjatuh ke tangan ketua Jeng-hwa-pang, sebaliknya Kim Hong Liu-nio khawatir kalau-kalau dia kehilangan Sin Liong yang akan dijadikan sandera untuk menemukan musuh besarnya, ayah kandung anak itu, dan menundukkannya.

   Jadi kekhawatiran kedua orang ini mempunyai dasar yang jauh berbeda. Han Houw diam-diam mengagumi dan merasa suka sekali kepada Sin Liong yang dianggapnya jauh berbeda dari anak-anak biasa, apalagi sikap Sin Liong terhadap dirinya yang tidak menjilat-jilat seperti anak-anak lain, benar-benar menimbulkan kesan di hatinya dan dia merasa suka bersahabat dengan anak itu. Melihat Gak Song Kam melarikan Sin Liong, Kim Hong Liu-nio lalu berteriak menyuruh pasukan yang berada di belakang untuk menahan orang, itu. Akan tetapi pada saat itu, Gak Song Kam telah berhasil keluar dari kepungan dan kini mendengar seruan Kim Hong Liu-nio, kurang lebih tiga puluh orang perajurit anggauta pasukan kecil yang berada paling belakang, segera membalikkan tubuhnya dan mereka berlari-larl mengejar!

   Melihat tiga puluh orang lebih mengejarnya dan melepaskan anak panah, Gak Song Kam cepat menggerakkan tangan kanannya dan tangan itu telah menyebar bubuk berwarna hitam di belakangnya. Bubuk itu tertiup angin berserakan di sepanjang jalan dan juga terbawa angin tersebar sampai jauh. Ketika tiga puluh orang lebih itu tiba di tempat itu tiba-tiba mereka itu menjerit dan robohlah tiga puluh lebih orang itu berkelojotan di atas tanah sambil kedua tangan mencekik leher sendiri. Mereka telah terkena hawa beracun dari bubuk hitam yang ditaburkan oleh ketua Jeng-hwa-pang itu! Melihat ini, pasukan lain dari sebelah kiri bergerak maju untuk menghadang dan pada saat itu, Gak Song Kam melempar-lemparkan beberapa benda-benda kecil, terdengar ledakan dan nampak asap kehitaman mengepul memenuhi jalan.

   "Jangan kejar! Kembali...!"

   Kim Hong Liu-nio berseru, namun terlambat karena belasan orang perajurit telah tiba di tempat itu dan kembali terdengar jerit-jerit mengerikan dan mereka itu terguling roboh. Asap beracun itu seketika membunuh mereka dan muka mereka berubah menjadi kehijauan!

   "Keparat!"

   Kim Hong Liu-nio kini meninggalkan Han Houw.

   "Sute, jangan ikut mengejar!"

   Teriaknya kemudian tubuhnya melesat, ketika tiba di tempat di mana disebar racun, dia mengerahkan sin-kangnya menahan napas, lalu meloncat seperti seekor burung terbang melampaui tempat itu dan tiba di sebelah sana yang aman. Akan tetapi, karena pada waktu itu senja telah datang dan di sebelah depan merupakan hutan yang gelap, dia tidak lagi melihat bayangan ketua Jeng-hwa-pang. Kim Hong Liu-nio berdiri termangu-mangu. Dia adalah seorang yang sakti dan jangankan baru menghadapi seorang seperti Gak Song Kam saja,

   Biar ada lima orang Gak Song Kam dia tidak akan takut menandinginya. Akan tetapi, Gak Song Kam adalah seorang ahli racun, dan kini orang yang curang itu telah berada di dalam hutan gelap. Menghadapi seorang curang seperti ketua Jeng-hwa-pang itu, di tempat gelap dan orang itu ahli racun, benar-benar merupakan bahaya besar dan Kim Hong Liu-nio bukanlah seorang bodoh. Memang dia kehilangan Sin Liong, akan tetapi anak itu dalam waktu enam bulan akan mati juga. Pula, untuk mencari Cia Bun Houw tanpa bantuan Sin Liongpun dia masih sanggup. Maka setelah mengepal tinju memandang ke arah hutan gelap dan di dalam hatinya berjanji untuk kelak membunuh Gak Song Kam, dia lalu membalikkan tubuh kembali kepada sutenya yang telah menantinya di dalam kereta.

   Ternyata bahwa tujuh puluh lebih anggauta Jeng-hwa-pang, tidak ada seorangpun yang dapat lolos. Semua terbunuh oleh pasukannya, akan tetapi fihak pasukan juga kehilangan banyak orang, hampir dua ratus orang anggauta pasukan tewas karena orang-orang Jeng-hwa-pang tadi juga menggunakan racun-racun yang menjatuhkan banyak lawan. Setelah memesan agar para komandan pasukan mengurus anak buah yang telah tewas, Kim Hong Liu-nio lalu memilih dua ekor kuda terbaik, kemudian bersama Han Houw dia melanjutkan perjalanan dengan menunggang kuda, menuju ke selatan, ke tembok besar untuk mulai dengan perjalanannya yang jauh dan penuh bahaya, menuju ke Kerajaan Beng, selain untuk memenuhi perintah permaisuri, yaitu mengusahakan agar Han Houw dapat berjumpa dengan Kaisar,

   Juga untuk mencari musuh-musuh besar gurunya, yaitu Cia Bun Houw, Yap In Hong, dan Tio Sun. Sementara itu, Sin Liong terus dibawa lari oleh ketua Jeng-hwa-pang memasuki hutan lebat. Anak ini berusaha meronta, namun cengkeraman tangan Gak Song Kam amat kuat. Seorang dewasa yang bertenaga besarpun takkan dapat berkutik kalau dicengkeram oleh orang she Gak ini, apalagi seorang anak kecil seperti Sin Liong. Malam telah tiba ketika Gak Song Kam berhenti berlari. Dia menotok jalan darah di punggung Sin Liong, membuat anak itu lemas tak mampu bergerak, lalu melemparkan Sin Liong ke atas rumput sedangkan dia sendiri lalu menjatuhkan diri di atas rumput, lalu kakek bertubuh tinggi tegap yang kelihatan gagah perkasa itu menangis! Menangis terisak-isak dan bercampur keluhan panjang pendek yang keluar dari kerongkongannya.

   Air matanya bercucuran, diusapnya dengan kedua tangan, seperti seorang anak kecil yang menangis karena kecewa hatinya. Semua ini daput dilihat oleh Sin Liong yang roboh terlentang karena ada sinar bulan yang cukup terang menerobos di antara celah-celah daun pohon dan menyinari muka kakek yang sedang menangis itu. Watak anak itu memang aneh sekali. Hatinya keras dan dia akan menentang segala ketidakadilan dengan penuh keberanian dan dia tabah sekali menghadapi ancaman apapun juga. Akan tetapi di balik ini, dia memiliki watak yang mudah terharu, mudah menaruh iba kepada orang lain, maka begitu melihat kakek itu menangis demikian sedihnya, dia merasa terharu sekali dan kasihan, lupa bahwa kakek ini telah menangkapnya dan membuatnya tidak berdaya dengan totokan.

   "Paman, mengapa engkau menangis demikian sedihnya?"

   Tak tertahankan lagi dia bertanya, suaranya penuh keprihatinan. Mendengat pertanyaan itu, Gak Song Kam menangis makin keras lagi, seolah-olah pertanyaan itu menggugah semua kenangan yang pahit dan dia merasa benar betapa dia kini hanya sendirian saja, kehabisan keluarga, kehabisan anak buah yang telah dibasmi musuh! Akan tetapi, semua ini mengingatkan dia akan kekejaman Kim Hong Liu-nio dan tiba-tiba tangisnya terhenti, dia terbelalak menoleh ke arah Sin Liong dan membentak,

   "Bocah setan! Mereka telah membasmi semua anak buahku dan keluargaku. Baik, biarpun aku belum dapat membalas kepada iblis betina itu, setidaknya aku sudah dapat memuaskan dendamku kepadamu!"

   Dia lalu meloncat, menyambar kedua kaki Sin Liong dan diseretnya tubuh anak itu ke bagian yang lebih dalam dari hutan itu. Tentu saja Sin Liong tersiksa sekali, tubuhnya lecet-lecet dan babak belur terkena duri-duri ketika dia diseret dan dia sama sekali tidak mampu bergerak karena tubuhnya masih tertotok. Akhirnya, kakek itu berhenti di sebuah lereng bukit dan di bawah pohon-pohon besar itu terdapat sebuah lubang yang dalamnya ada dua meter, seperti sebuah sumur.

   "Ha-ha-ha, akan kulihat engkau mengalami siksaan yang paling mengerikan! Sekarang ini bagianmu untuk menebus dosa itu, kelak baru akan kuseret iblis betina ke tempat ini!"

   Seperti orang gila Gak Song Kam tertawa bergelak dan karena ketika tertawa itu dia mengangkat muka, maka sinar bulan persis menimpa mukanya, membuat wajah itu kelihatan kelam dan seperti muka setan!

   
Pendekar Lembah Naga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Paman, apa yang akan kau lakukan kepadaku?"

   Sin Liong bertanya karena dia merasa tidak bermusuhan dengan orang ini akan tetapi kenapa orang ini menyiksanya?

   "Ha-ha-ha, kau ingin tahu? Ingin melihat? Nah, kau lihatlah!"

   Dia menyambar tubuh Sin Liong dan menggantung tubuh itu dengan kaki di atas kepala di bawah, lalu dia menggantung tubuh itu di sumur. Dengan kepalanya tergantung itu, Sin Liong dapat melihat lubang sumur yang gelap menghitam, akan tetapi nampak olehnya beberapa ekor ular merah bergerak-gerak di dasar lubang sumur itu!

   "Ha-ha-ha, sudah kau lihat? Itulah lima ekor ular merah yang kami kumpulkan di sini, kami pelihara untuk diambil racunnya. Lima ekor ular yang paling ganas di dunia ini, dan aku akan melemparmu ke dalam lubang itu!"

   Setelah berkata demikian, Gak Song Kam kembali melemparkan tubuh Sin Liong ke atas tanah di dekat lubang sumur yang mengerikan itu. Melihat ular-ular itu, Sin Liong bergidik. Ngeri juga hatinya melihat ular-ular itu, dan teringatlah dia akan cerita ibunya bahwa di waktu kecilpun dia pernah digigit ular dan hampir mati. Teringat akan hal itu, dengan sendirinya dia teringat akan ibunya dan terbayanglah di depan matanya betapa ibunya, yang tadinya dianggap sebagai ibu angkatnya akan tetapi kemudian ternyata adalah ibu kandungnya sendiri, telah tewas.

   "Ibuuuu...!"

   Sin Liong menjerit dan tiba-tiba saja anak ini menangis! Tangisnya sesenggukan karena semenjak saat ibunya terbunuh sampai saat ini, dia selalu berada di dalam ketegangan dan dia belum memperoleh kesempatan untuk meluapkan kesedihannya. Kini, teringat akan kematian ibunya, ibu kandungnya, tiba-tiba saja dia merasa begitu berduka sehingga dia menjerit dan menangis tersedu-sedu. Air matanya bercucuran tak dapat diusapnya karena kaki tangannya lumpuh tertotok.

   "Ha-ha-ha-haaaa...!"

   Gak Song Kam girang bukan main. Terhibur juga hatinya yang berduka melihat "musuhnya"

   Tersiksa seperti itu. Dia mengira bahwa Sin Liong menangis karena ketakutan, maka memanggil-manggil ibunya!

   "Ibuu... ah, ibuuu... bu-hu-huuuh...!"

   "Ha-ha-ha-haahhh...!"

   Suara tangis dan tawa itu berselang-seling seperti berlumba, dan makin Sin Liong mengingat ibunya, makin hebatlah tangisnya dan makin keras pula suara ketawa Gak Song Kam yang merasa terhibur oleh kedukaan anak yang dianggapnya musuh besar atau setidaknya keluarga dari musuh besarnya ini.

   "Ha-ha-ha, sekarang menangislah engkau, menangis terus sampai arwahmu akan menjadi setan yang menangis. Ha-ha-ha!"

   Gak Song Kam menepuk punggung Sin Liong membebaskan totokannya sehingga anak itu dapat bergerak lagi. Kemudian sambil tertawa-tawa, ketua Jeng-hwa-pang itu lalu melemparkan tubuh Sin Liong ke dalam lubang sumur!

   "Bukk!"

   Tubuh Sin Liong terbanting ke atas tanah yang agak lembek dan Sin Liong terguling-guling sampai tubuhnya membentur dinding sumur. Anak ini terlentang, pakaiannya berlepotan tanah lumpur. Terdengar suara tertawa dan Sin Liong yang terlentang itu melihat kepala dan wajah yang menyeramkan dari Gak Song Kam di atas lubang sumur. Kakek itu menjenguk ke bawah sambil tertawa. Tiba-tiba hidung Sin Liong mencium bau yang harum bercampur amis dan mendengar suara mendesis. Dia terkejut, teringat akan ular-ular merah tadi dan cepat dia meloncat bangun dan berdiri. Akan tetapi pada saat itu, dia merasa betisnya digigit dari bawah.

   "Aduhh...!"

   Dia berseru kaget dan merasa betapa betisnya nyeri dan ada rasa "cess"

   Seperti terkena sesuatu yang amat dingin, akan tetapi rasa dingin yang menyusup sampai ke tulang sumsum dan mendatangkan kenyerian hebat. Saking nyerinya, seketika dia terjatuh dan meraba betis kirinya yang tergigit itu, tangannya mencengkeram seekor ular kecil, besarnya hanya seperti ibu jari kakinya dan
(Lanjut ke Jilid 11)
Pendekar Lembah Naga (Seri ke 04 "

   Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 11
panjangnya hanya beberapa jengkal. Akan tetapi tubuh ular yang membelit kakinya itu ketika dia mencengkeram, ternyata lemas dan ketika dia renggutkan terlepas dari kakinya, ternyata ular itu telah mati!

   "Cesss...! Aduhhh!"

   Kini tiba-tiba pahanya tergigit sesuatu dan rasa dingin menyusup tulang membuatnya menggigil. Seperti tadi, tangannya yang telah melempar bangkai ular merah itu menangkap ular yang menggigit paha kanannya, dan sungguh aneh! Kembali dia hanya menangkap ular merah yang telah mati lemas, sungguhpun bangkai ular itu masih hangat, tubuh ular itu masih berkelojotan sedikit. Di bawah sinar bulan purnama yang hanya sedikit memasuki sumur kering itu, dia melihat ular kedua yang kulitnya belang-belang merah itu, akan tetapi kembali ada ular yang telah menggigit lengan kirinya. Sebelum dia menangkap ular ini, ada lagi yang menggigit pinggang dan ada yang menggigit pundaknya. Rasa dingin yang amat hebat membuat Sin Liong terguling lagi dan mengaduh-aduh,

   Kedua tangannya mencengkeram ke sana-sini dan seperti dua ekor ular yang pertama, juga tiga ekor ular merah itu telah mati begitu menggigit tubuhnya. Sin Liong merintih-rintih, rasa dingin membuat seluruh tubuhnya menggigil. Dia tidak lagi memperdulikan suara ketawa di atas, suara Gak Song Kam yang menikmati pemandangan remang-remang di bawah itu, di mana dia hanya melihat anak itu jatuh bangun dan mengaduh-aduh. Dia mengira bahwa tentu anak itu sedang dikeroyok oleh lima ekor ular yang dipeliharanya di dalam lubang itu. Dan dia membuka mata lebar-lebar, ingin sekali melihat anak itu ditelan oleh ular hutan besar yang juga berada di dalam lubang, ular yang tidak beracun akan tetapi besarnya sepaha manusia dan tentu akan senang sekali melihat anak itu, atau mayatnya ditelan perlahan-lahan oleh ular besar ini.

   Kalau saja Gak Song Kam dapat melihat dengan jelas, tentu dia akan terkejut setengah mati melihat betapa lima ekor ular merah itu telah mati seketika begitu menggigit tubuh Sin Liong! Hal ini terjadi karena kebetulan saja. Seperti telah kita ketahui, di dalam tubuh Sin Liong mengeram racun Hui-tok-san, yaitu racun yang amat hebat, yang akan membunuh anak itu sedikit demi sedikit. Racun Hui-tok-san ini sifatnya panas dan jahat bukan main. Sebaliknya, racun ular merah yang sama jahat dan berbahaya, justeru mempunyai sifat yang sebaliknya. Racun ular merah jenis yang dipelihara oleh ketua Jeng-hwa-pang itu mempunyai sifat dingin dan sekali racun ini memasuki jalan darah manusia, dalam waktu sebentar saja manusia itu tentu akan mati.

   Akan tetapi, darah Sin Liong sudah diracuni oleh Hui-tok-san, maka begitu ular-ular itu menggigit, mereka bertemu dengan lawan hebat, maka seketika ular-ular itu mati, tidak kuat menghadapi hawa panas yang menyerang dari dalam tubuh Sin Liong. Kini Sin Liong yang tersiksa hebat sekali. Biarpun lima ekor ular meran itu telah mati, akan tetapi di dalam tubuhnya masih terjadi perang yang amat hebat dan menimbulkan penderitaan yang sukar dilukiskan. Seluruh tubuhnya sakit-sakit, sebentar seperti akan terbakar, kemudian berganti berubah dingin seperti membeku, seluruh kulit tubuhnya seperti ditusuk-tusuk, dan dari dalam seperti ada ribuan ekor semut yang menggigitnya! Tanpa disadarinya, dia mengeluh dan jatuh bergulingan di atas dasar sumur yang berlumpur, tidak ingat dan tidak mendengar lagi akan suara ketawa dari atas sumur.

   Memang agaknya belum waktunya bagi Sin Liong untuk tewas. Dua macam racun yang menguasai tubuhnya itu justeru memiliki sifat yang berlawanan, dan keduanya adalah racun-racun yang paling ganas di dunia ini. Kalau racun ular merah itu yang telah memasuki tubuhnya lebih banyak atau kurang sedikit saja, nyawanya tidak akan tertolong lagi! Akan tetapi yang memasuki tubuhnya justeru tepat sekali, berimbang dengan racun Hui-tok-san, sehingga perimbangan yang tepat ini membuat dua macam racun itu saling serang dan akhirnya keduanya mati sendiri atau kehilangan dayanya, menjadi punah atau luntur sehingga tanpa disadari oleh anak itu kini Sin Liong terbebas dari ancaman maut. Racun Hui-tok-san yang oleh Kim Hong Liu-nio dimasukkan ke dalam tubuhnya dan yang akan membunuhnya dalam waktu enam bulan, kini telah buyar dan punah, sebaliknya racun lima ekor ular merah itupun kehilangan dayanya karena punah oleh Hui-tok-san!

   Akan tetapi, rasa nyeri akibat perang yang terjadi di dalam tubuhnya antara racun ular-ular merah dan Hui-tok-san, benar-benar amat menyiksa sehingga dalam keadaan setengah sadar Sin Liong bergulingan dan mengeluh. Dan pada saat itu, terdengar suara mendesis-desis dan seekor ular yang besar dan panjangnya ada tiga meter, meninggalkan akar besar di mana dia melingkar di dinding sumur itu dan bergerak turun menghampiri Sin Liong yang masih bergulingan! Tubuh anak itu memang kuat sekali berkat bertahun-tahun digembleng oleh kehidupan liar bersama monyet-monyet di atas pohon. Maka, setelah dua macam racun itu mulai kehilangan kekuatan masing-masing karena saling memunahkan, dia mulai sadar dan telah bangkit berdiri dan terhuyung, lalu bersandar pada dinding sumur. Dia membuka matanya dan pada saat itu dia melihat dua cahaya kecil mencorong,

   Yaitu mata dari seekor ular besar yang telah berada di depannya, kepalanya tergantung ke bawah, lidahnya menjilat-jilat keluar! Sin Liong terkejut bukan main, terkejut, ngeri, juga marah karena tubuhnya tersiksa oleh rasa nyeri yang hebat. Semua perasaan ini mendorong keluar nalurinya dan dia mengeluarkan pekik dahsyat, bukan pekik manusia lagi melainkan pekik seekor kera muda yang sedang marah. Kemudian, terdorong oleh keliaran ini, dia bukannya menjauhkan diri dari kepala ular besar itu, melainkan sebaliknya malah. Dia menubruk maju dan mencengkeram leher ular itu! Ular itu mendesis dan membuka mulut akan tetapi dengan seluruh kekuatan Sin Liong mencekik leher ular. Ular itu lalu membelitkan tubuhnya, membelit-belit pinggang dan leher Sin Liong. Anak ini tentu saja tidak mampu bertahan dan dia terguling,

   Tubuhnya terbelit-belit ular itu dan terasa betapa lehernya tercekik. Karena marah, Sin Liong lalu menggereng, membuka mulutnya dan menggigit leher ular itu. Digerogotinya leher ular itu sekuat tenaga, penuh keganasan dan kemarahan dan dia segera merasa darah segar yang panas memasuki mulutnya. Akan tetapi dia tidak perduli dan menggigit terus, menggigit terus! Ular itu besar dan kuat sekali. Seorang laki-laki dewasa sekalipun tidak akan mungkin dapat melawan tenaga lilitannya, apalagi Sin Liong. Kalau saja dia tidak berlaku nekat dan menggigit leher ular itu, tentu lehernya sendiri sudah patah dililit oleh ular itu. Karena gigitannya itulah, maka ular itu merasa kesakitan dan meronta, membuat lilitannya tidak teratur, tidak sampai mematahkan tulang leher atau punggung Sin Liong, akan tetapi tentu saja makin menyiksa anak itu.

   Ketika mendengar suara pekik dahsyat yang keluar dari mulut Sin Liong tadi, Gak Song Kam terkejut bukan main, akan tetapi juga merasa gembira. Dalam diri setiap orang manusia memang terdapat semacam nafsu yang buas ini, yaitu rangsangan yang menimbulkan ketegangan yang nikmat apabila menyaksikan suatu siksaan atau kekejaman berlangsung menimpa diri lain orang atau lain mahluk. Nafsu yang mungkin diwarisi dari binatang inilah yang membuat manusia suka sekali nonton adu tinju, adu jengkerik, adu ayam, dan bunuh-membunuh, baik antar manusia maupun antar mahluk hidup. Nafsu yang dikenal dengan sebutan sadisme ini menguasai orang-orang yang lemah batinnya, orang-orang yang menonjolkan iba diri sehingga dia akan merasa senang melihat orang lain atau mahluk lain lebih menderita daripada dirinya sendiri. Nafsu inilah yang menimbulkan segala macam perbuatan keji dan kejam di antara manusia.

   Gak Song Kam yang mendengar pekik itu mengira bahwa tentu penyiksaan atas diri anak di dalam lubang sumur itu sudah mencapai puncaknya dan dia tidak ingin kehilangan kesempatan menyaksikan pemandangan yang dianggapnya menegangkan dan menyenangkan itu. Maka cepat dia lalu membuat api, membakar sebongkok kayu kering sebagai obor, lalu dengan penerangan itu dia membantu sinar bulan menerangi ke dalam lubang sumur untuk menonton. Akan tetapi, selagi dia menjenguk ke dalam lubang dan menggunakan tangan kiri menutupi sinar obor yang terlalu menyilaukan pandangannya, tiba-tiba terdengar pekik-pekik seperti tadi, kini banyak dan berulang-ulang. Bekas ketua Jeng-hwa-pang itu terkejut bukan main karena mendengar pekik-pekik itu bukan keluar dari lubang sumur, melainkan dari belakangnya.

   Cepat dia membalikkan tubuh memandang dan mengangkat obornya dan hampir dia sendiri berteriak saking kagetnya. Tempat itu penuh dengan monyet-monyet besar yang menyeringai marah, memperlihatkan gigi-gigi bertaring dan mata kecil-kecil yang tajam dan liar! Sebetulnya, yang datang berloncatan dari atas pohon-pohon itu hanya ada belasan ekor monyet besar saja, akan tetapi karena cuaca remang-remang dan pekik dahsyat yang keluar dari kerongkongan rombongan monyet itu saling sahut, berloncatan dari segala penjuru, sedangkan hati Gak Song Kam terkejut bukan main, maka dia merasa seolah-olah yang muncul ada ratusan ekor monyet! Dalam keadaan biasa, tentu saja orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi ini tidak takut menghadapi rombongan monyet-monyet itu.

   Akan tetapi pada saat itu, Gak Song Kam adalah seorang pelarian yang baru saja meloloskan diri dari ancaman maut, maka melihat munculnya "ratusan"

   Ekor monyet besar itu, seketika timbul dugaannya bahwa hal ini tentulah merupakan siasat dari Kim Hong Liu-nio, wanita iblis itu. Maka, tanpa berpikir dua kali, dia lalu membuang obornya dan melarikan diri dari tempat itu dengan cepat sebelum wanita yang ditakutinya itu muncul! Sin Liong merasa betapa darah bercucuran dari leher ular yang digerogotinya itu, membasahi seluruh mukanya dan membikin pedih kedua matanya. Akan tetapi dia nekat, terus menggigit dan tidak mau melepaskan leher ular itu. Lilitan tubuh ular pada lehernya makin mencekik dan dia tidak bernapas lagi, kepalanya terasa seperti mau meledak, hidungnya yang tadi mencium bau amis kini mencium bau hangus.

   Sin Liong tidak tahu lagi betapa pada saat itu, beberapa ekor monyet besar berloncatan, masuk ke dalam lubang sumur dan seekor monyet betina besar menggereng, merenggut tubuh yang melilit tubuhnya itu dengan penuh kemarahan, dan menggigit kepala ular itu. Beberapa ekor monyet membantu dan akhirnya tubuh ular itu mereka robek-robek. Kemudian, monyet betina besar itu mengeluarkan suara menguik-nguik seperti menangis melihat tubuh Sin Liong yang terlentang pingsan, dipondongnya tubuh itu dan dibawanya merayap naik bersama teman-temannya. Tak lama kemudian, belasan ekor monyet itu menghilang di antara daun-daun pohon. Mula-mula pohon-pohon di sekitar tempat itu berkerosakan, dan cabang-cabangnya bergoyang-goyang, akan tetapi tak lama kemudian keadaan menjadi sunyi dan rombongan monyet itu telah pergi jauh.

   Tidak sampai sepuluh hari lamanya, Sin Liong sudah sembuh kembali dari luka-lukanya. Dia dirawat oleh monyet betina yang menjadi induknya ketika dia masih bayi, dan beberapa hari kemudian, dia telah dapat bergerak bebas dengan para monyet, berkejaran di pohon-pohon, mencari buah-buahan dan hidup bersama mereka dengan bebas. Sin Liong sama sekali tidak merasa canggung hidup di antara binatang-binatang ini, bahkan dia merasa mendapatkan kembali dunianya yang amat dicintanya. Begitu bebas, begitu wajar, begitu sehat! Selama beberapa hari saja hidup di antara monyet-monyet itu, di dalam hutan lebat, dia telah melupakan semua kedukaannya, lupa akan kematian ibu kandungnya, lupa akan orang-orang yang tadinya dianggap musuh besarnya, lupa akan dendamnya dan dia benar-benar hidup dengan wajar dan bahagia.

   Tidak pernah ada persoalan atau masalah yang timbul dari pikiran, yang ada hanyalah soal-soal yang wajar seperti perut lapar, tubuh lelah, panasnya matahari, dinginnya hawa malam, hujan, bahaya-bahaya yang muncul dari alam, dan segala masalah yang langsung dihadapinya dan langsung diatasinya pula. Tidak ada masalah yang timbul dari pikiran, seperti dalam kehidupan masyarakat manusia, yang berisi kecewa, iri, benci, dendam, dan sebagainya yang kesemuanya menuntun kepada penderitaan dan kedukaan hidup. Tak dapat disangkal pula bahwa manusia merupakan makluk yang paling pandai di antara semua makluk hidup dan sudah telah memperoleh kemajuan yang amat hebat dalam soal kebendaan, soal jasmaniah, soal lahiriah. Kemajuan-kenajuan pesat yang mentakjubkan telah dicapai oleh manusia dengan segala keajaiban tehnik.

   Akan tetapi, sungguh sayang, kemajuan jasmaniah ini tidak disertai kemajuan rohaniah, kemajuan lahiriah tidak diimbangi kemajuan batiniah. Bahkan sebaliknya malah! Justeru kemajuan-kemajuan yang dicapai dalam bidang lahiriah ini seolah-olah menjadi penghambat kemajuan batiniah, bahkan telah membuat manusia mundur dalam bidang rohani. Kalau kita bandingkan betapa beberapa ratus tahun yang lalu manusia masih mempergunakan gerobak yang ditarik kuda dan kini manusia mempergunakan kendaraan-kendaraan bermesin yang hebat-hebat, bahkan dapat terbang dengan kecepatan melebihi suara, jelaslah bahwa manusia telah memperoleh kemajuan yang amat hebat di bidang kebendaan di banding lahiriah. Akan tetapi, kalau kita bandingkan pula keadaan batiniah manusia ketika masih berkendaraan gerobak dengan batin manusia sekarang,

   Jelas pula nampak bahwa di bidang ini kita mengalami kemunduran hebat! Kejahatan makin merajalela. Permusuhan antara manusia makin menghebat. Perang makin mengganas. Bunuh-membunuh makin menguasai seluruh negara di bagian dunia manapun juga. Mengapa demikian? Apakah justeru kemajuan lahiriah itu yang menyeret manusia mundur dalam bidang batiniah? Apakah kemajuan di bidang kebendaan itu telah mendatangkan kebahagiaan kepada manusia? Kita dapat membuka mata melihat kenyataan dan jawabannya jelas: Tidak! Kemajuan di bidang kebendaan jelas tidak mendatangkan kebahagiaan. Bukan berarti bahwa kita tidak semestinya maju dalam bidang kebendaan. Sama sekali tidak! Akan tetapi kita tidak pernah mau meneliti dan menyelidiki tentang kehidupan batiniah kita.

   Kita terlampau dibuai oleh kemajuan lahir yang kesemuanya ditujukan kepada pencapaian kesenangan yang sebanyak dan sebesar mungkin! Kita lupa bahwa makin dikejar, kesenangan itu makin mencengkeram kita, makin membuat kita haus. Nafsu tak pernah dapat dipuaskan, karena sekali dituruti, akan terus menyeret kita untuk mendapatkan yang lebih banyak dan lebih besar lagi. Dan justeru pengejaran kesenangan inilah yang menjerumuskan kita ke dalam segala bentuk kejahatan! Seluruh kehidupan kita telah dikuasai dan dipengaruhi oleh hasrat yang satu, yaitu ingin senang! Hasrat ingin senang ini sampai-sampai menyelinap ke dalam soal-soal yang kita namakan bidang rohaniah, sehingga sebagian besar dari kita memasuki suatu agama, suatu partai, suatu golongan, suatu kelompok kebatinan,

   

Dewi Maut Eps 21 Dewi Maut Eps 38 Dewi Maut Eps 40

Cari Blog Ini