Ceritasilat Novel Online

Pendekar Sadis 19


Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo Bagian 19



"Ampuun... aku... aku hanya melakukan tugas sebagai pejabat pemerintah. Aku harus membantu pemerintah... dan karena... ayahmu dahulu pernah memberontak maka... aku... aku..."

   "Cacing busuk! Kalau begitu, kenapa bukan hanya aku saja yang hendak dibunuh, akan tetapi seluruh keluarga Ciu dibasmi? Engkau membalas karena kami mengagalkan siasatmu ketika menyuruh orang-orang merampok barang-barangmu sendiri dari tangan Pouw-an-piauwkiok itu, ya? Hayo katakan, siapa itu kawan-kawanmu yang berada di utara..."

   Wajah yang sudah pucat itu menjadi semakin pucat, akan tetapi sinar matanya nampak penuh harapan ketika pembesar itu memandang kepada wajah Thian Sin kemudian kepada apa yang berada di belakang pemuda itu melalui atas pundak Thian Sin. Pemuda ini cukup waspada. Pandang mata pembesar itu membuatnya mencurahkan perhatian pendengarannya ke belakang dan tahulah dia bahwa ada dua tiga orang bergerak di belakangnya. Dia menanti sampai angin serangan mereka menyambar dekat dan tanpa menoleh dia menggerakkan pedang Gin-hwa-kiam ke belakang. Tiga orang itu menjerit dan roboh mandi darah! Melihat ini, Phoa-taijin berlutut dan tubuhnya menggigil ketakutan.

   "Hayo jawab!"

   "Mereka... mereka itu... ah... para datuk kaum kang-ouw... telah bersekutu... eh, dengan mereka yang bergerak di utara... orang-orang bangsa Mancu..."

   "Siapa para datuk itu? Hayo jawab, cepat!"

   "See-thian-ong, Lam-sin, dan Pak-san-kui..."

   "Hem, juga Tung-hai-sian?"

   "Tidak... tidak... belum, sedang dihubungi... dia yang keras kepala..."

   "Setan, mampuslah kau !"

   Thian Sin menggerakkan pedangnya beberapa kali, terdengar tulang terbacok beberapa kali disusul jerit-jerit melengking dari pembesar itu dan ketika Thian Sin meninggalkannya dan meloncat pergi,

   Yang tertinggal pada Phoa-taijin itu hanyalah sebuah tubuh tanpa kaki tanpa tangan telinga dan tanpa hidung. Tubuh yang menjadi pendek karena kedua kakinya terputus sebatas paha dan kedua lengan terputus sebatas pundak itu bergerak-gerak aneh dan mandi darah. Sungguh merupakan pemandangan yang amat mengerikan. Matanya melotot dan mulutnya mengeluarkan suara aneh, seperti tangis setengah tawa. Menyeramkan sekali. Sekarang Thian Sin sudah dikepung lagi dan kembali dia mengamuk. Kiranya para pengawal di rumah pembesar Phoa itu telah mengambil bala bantuan dan kini tidak kurang dari tiga puluh pasukan keamanan kota Su-couw telah mengeroyoknya. Namun Thian Sin tidak mau melarikan diri, hal yang sebetulnya mudah baginya.

   Tidak, dia tidak akan lari, dia akan mengamuk sampai semua pengeroyoknya terbasmi habis! Tubuhnya telah lelah sekali, dan batinnya tertekan hebat karena kematian keluarga Ciu dan lenyapnya Lian Hong, akan tetapi kemarahannya membuat dia lupa akan segala itu, dan dia mengamuk seperti seekor harimau yang haus darah. Pakaiannya telah robek-robek terkena senjata sejak dia mengamuk di Lok-yang tadi, akan tetapi tidak dipedulikannya, karena tubuhnya yang dilindungi kekebalan Thian-te Sin-ciang membuat senjata-senjata itu tidak melukai kulit dagingnya. Dan memang sepak terjang Thian Sin hebat sekali. Biarpun pengeroyoknya kini merupakan orang-orang yang baru saja terjun ke dalam gelanggang pertempuran, masih segar badannya, namun sebentar saja sudah ada enam orang yang roboh mandi darah oleh sambaran pedangnya.

   "Inilah Ceng Thian Sin! Inilah putera Pangeran Ceng Han Houw! Hayo majulah kalian semua anjing-anjing keparat kalau ingin kuantar nyawa kalian ke neraka!"

   Thian Sin mengamuk sambil berteriak-teriak.

   "Sin-te...!"

   Sesosok bayangan berkelebat dan sebuah tangan yang kuat menangkap pergelangan tangan kanan Thian Sin.

   Teriakan-teriakan Thian Sin tadilah yang mendatangkan Han Tiong! Ketika Han Tiong mendusin dari tidur nyenyak dan tidak melihat Thian Sin, dia merasa terkejut dan juga terheran-heran sekali. Ke manakah adiknya itu yang belum juga pulang? Dia lalu keluar dan semakin heran karena tidak menemukan adiknya di luar rumah penginapan kecil itu. Di luar sunyi sekali karena malam telah larut. Dua ekor kuda mereka masih ada. Hatinya terasa tidak enak dan diapun kembali ke dalam kamarnya, menyalakan lilin dan mengambil sampul surat yang tadi dibaca oleh Thian Sin. Biarpun dia tahu bahwa perbuatannya ini sungguh melanggar aturan, yaitu melihat isi surat yang ditujukan kepada ayahnya, akan tetapi karena khawatir akan keadaan Thian Sin, dia memaksakan diri mengambil surat itu dan membacanya.

   Kedua tangannya gemetar ketika dia membaca tentang ikatan jodoh antara dia dan Lian Hong. Hatinya gembira dan girang sekali, akan tetapi juga berdebar penuh ketegangan ketika dia teringat kepada Thian Sin. Mengertilah dia sekarang mengapa Thian Sin kelihatan gelisah. Akan tetapi, ke mana perginya adiknya itu? Kudanya masih ada dan pakaian adiknya juga masih terbungkus dan berada di atas meja. Tiba-tiba dia merasa khawatir sekali, membayangkan betapa dalam kekecewaannya itu Thian Sin kembali ke Lok-yang untuk memprotes ikatan jodoh itu! Siapa tahu! Thian Sin memiliki watak aneh dan keras. Dugaan ini semakin kuat ketika dia menanti-nanti dan belum juga adiknya pulang. Maka dia lalu mengambil keputusan nekad untuk pergi menyusul adiknya.

   Dia membawa buntalan-buntalan pakaian lalu menitipkan dua ekor kuda itu pada penjaga rumah penginapan dan dengan cepat dia lalu mengerahkan ilmu berlari cepat, menyusul adiknya yang disangkanya tentu pergi ke Lok-yang itu. Tak pernah disangkanya sama sekali betapa waktu itu, ketika dia sedang berlari cepat sekali menuju ke kota Lok-yang dan baru tiba di pertengahan jalan, adiknya itu sedang mengamuk mati-matian di luar rumah keluarga Ciu yang terbakar! Dan ketika akhirnya Han Tiong tiba di kota Lok-yang, dia telah melihat nyala api berkobar itu dari arah rumah keluarga Ciu dan mendengar orang-orang yang kelihatan panik di luar rumah-rumah mereka dan bicara simpang siur tentang penyerbuan pasukan di rumah Hui-eng-piauwkiok! Dapat dibayangkan betapa cemas rasa hati Han Tiong mendengar itu dan dia mempercepat larinya ke arah rumah keluarga Ciu.

   Dan dapat dibayangkan betapa terkejut dan hancur hatinya ketika dia melihat puluhan mayat berserakan di antara puing-puing dan di luar rumah yang masih terbakar, dan di antara mayat-mayat itu dia melihat mayat Ciu Khai Sun, Kui Lan, Kui Lin dan Ciu Bun Hong! Tentu saja Han Tiong segera menubruk mayat-mayat itu dan dia bahkan menangis. Akan tetapi tiba-tiba tubuhnya dipegang oleh beberapa buah tangan yang kuat dari belakang dan kanan kiri. Han Tiong menoleh dan melihat, bahwa yang menangkapnya adalah tangan-tangan dari tiga orang perajurit. Melihat bahwa pakaian para perajurit yang telah menjadi mayat berserakan di tempat itu, tahulah dia bahwa mereka ini adalah teman-teman dari orang-orang yang telah menyerbu, membakar rumah dan membunuh keluarga Ciu.

   Maka diapun lalu meloncat dan sekali menggerakkan tubuhnya, tiga orang yang memegangnya itu terpelanting. Mereka bangkit lagi dan mencabut senjata, bahkan kini banyak berdatangan perajurit-perajurit yang bertugas menjaga di tempat itu dan Han Tiong sudah dikepung. Akan tetapi pemuda ini tidak mengamuk seperti yang telah dilakukan oleh adiknya tadi, dia lalu menghindarkan semua serangan, mengelak, menangkis, kemudlan menangkap seorang di antara mereka dan melarikan diri ke tempat gelap. Para perajurit mengejar-ngejarnya, namun tak seorang di antara mereka mampu menyusul dan sebentar saja Han Tiong telah pergi jauh membawa seorang yang telah ditotoknya. Di tempat sunyi, Han Tiong melepaskan orang itu dan membebaskan totokannya.

   "Aku tidak akan mengganggumu lagi kalau engkau suka memberitahukan apa yang telah terjadi."

   Melihat sikap Han Tiong yang halus itu, si perajurit tidak takut lagi dan diapun lalu menceritakan dengan singkat bahwa pasukan diutus oleh komandan mereka, atas laporan Phou-taijin, untuk menangkap pemberontak yang katanya keturunan Pangeran Ceng Han Houw, di rumah Ciu-piauwsu. Akan tetapi, para pembantu yang dikirim oleh Phoa-taijin, yang rata-rata amat lihai itu, begitu datang lalu langsung saja membakar rumah dan menyerbu sehingga terjadi pertempuran hebat yang mengakibatkan keluarga Ciu tewas semua.

   "Dan keturunan Pangeran Ceng Han Houw itu sendiri?"

   Han Tiong mendesak, jantungnya berdebar tegang karena dia seperti melihat bekas amukan adiknya. Siapa lagi yang dapat mengamuk seperti itu, membunuh puluhan perajurit, kalau bukan adiknya?

   "Pemuda itu luar biasa, menyeramkan sekali. Siapa yang dekat dengannya tentu mati!"

   "Di mana dia sekarang?"

   "Tidak tahu... tidak tahu, dia telah pergi menghilang begitu saja."

   "Dan di mana pula Nona Ciu? Puteri dari keluarga Ciu yang tewas itu?"

   "Tidak tahu... hanya kabarnya lolos..."

   Han Tiong lalu menotok orang itu sampai pingsan dan diapun lalu copet melarikan diri menuju ke Su-couw. Dia menduga bahwa tentu adiknya itupun melakukan seperti yang dia perbuat tadi, yaitu memaksa seorang perajurit untuk menceritakan keadaannya dan begitu mendengar bahwa semua penyerbuan itu gara-gara Phoa-taijin yang secara kebetulan mendengar bahwa Thian Sin adalah putera Pangeran Ceng Han Houw, tentu adiknya itu pergi ke Su-couw. Cepat diapun menyusul ke sana dengan hati berat dirundung duka kalau dia membayangkan kembali mayat-mayat keluarga Ciu. Tak disangkanya akan terjadi hal seperti itu, kalau saja dia mengundurkan kepergiannya satu hari saja. Kalau dia masih berada di situ ketika terjadi penyerbuan, siapa tahu dia akan mampu mencegah terjadinya malapetaka hebat itu.

   Akan tetapi, semua telah terjadi. Keluarga Ciu telah tewas dan sekarang yang terpenting adalah mencari Thian Sin dan Lian Hong, dua orang yang dia harap mudah-mudahan masih dalam keadaan selamat. Ketika dia tiba di Su-couw, langsung dia mencari rumah gedung Phoa-taijin dan sungguh kebetulan sekali dia mendengar teriakan Thian Sin yang menantang-nantang. Cepat dia meloncat ke atas genteng dan melayang ke dalam. Melihat keadaan Thian Sin, di bawah sinar lampu yang cukup terang di pelataran itu, Han Tiong bergidik! Pakaian adiknya sudah robek-robek dan penuh dengan darah! Pedangnya juga berlepotan darah dan sinar mata adiknya itu seperti bukan manusla lagi! Maka, tanpa membuang waktu lagi, dia meloncat turun dan menangkap pergelangan tangan kanan adiknya.

   "Sin-te, ingatlah...!"

   Dia berkata lagi. Thian Sin menoleh dan melihat kakaknya, dia merintih, kemudian roboh pingsan di dalam pelukan Han Tiong. Cepat Han Tiong memondong tubuhnya, menyambar pedang Gin-hwa-kiam dan membawa adiknya itu lari sambil memutar pedang untuk menangkis semua senjata yang menyambar ke arah mereka. Berkat ketangkasannya, Han Tiong dapat cepat melarikan diri keluar dari Su-couw dan langsung dia melarikan diri ke dalam hutan di lereng gunung.

   Setelah melihat bahwa tidak ada lagi orang yang mengejar mereka, dia lalu menurunkan tubuh Thian Sin di bawah sebatang pohon besar. Dia memeriksa tubuh adiknya itu. Tidak ada luka, baik luar maupun dalam. Adiknya pingsan karena lelah, karena tertekan batinnya. Maka diapun lalu mendiamkannya saja, dan diapun duduk bersila di dekat adiknya untuk mengatur pernapasan karena dia sendiri juga tertekan dengan kedukaan dan kekhawatiran. Baru saja terang tanah, Thian Sin mengerang dan tiba-tiba meloncat bangun. Ketika Han Tiong juga meloncat berdiri, Thian Sin tiba-tiba menyerangnya dengan hebat, dengan pukulan-pukulan mematikan. Baiknya Han Tiong bersikap waspada maka dia dapat mengelak dan menangkis beberapa kali sambil berseru,

   "Sin-te, sudah gilakah engkau sehingga tidak mengenalku? kau lihat baik-baik, aku adalah Han Tiong!"

   Tiba-tiba Thian Sin menghentikan serangannya, memandang kepada wajah Han Tiong, kemudian dia menjadi lemas, menjatuhkan dirinya berlutut dan menangis mengguguk seperti anak kecil! Han Tiong juga berlutut dan merangkul adiknya, diam-diam dia menyusut beberapa butir air matanya.

   "Adikku... ah, Sin-te... tenangkanlah hatimu. Aku tahu... aku telah melihatnya... akan tetapi, kita harus dapat menenangkan hati kita, Sin-te."

   "Tiong-ko... aduh, Tiong-ko... betapa aku tidak akan sedih? Semua itu adalah gara-gara aku! Keluarga Ciu binasa karena aku! Karena aku yang menjadi anak pangeran terkutuk itu!"

   "Sin-te! Jangan bicara yang bukan-bukan. Ceritakan, apa yang telah terjadi dan mengapa engkau berada di Lok-yang dan Su-couw?"

   Thian Sin menenangkan hatinya, lalu duduk bersila sejenak. Han Tiong membiarkan adiknya, bahkan diapun lalu duduk bersila. Akhirnya terdengar Thian Sin menarik napas panjang dan suaranya telah menjadi tenang kembali ketika dia bercerita.

   "Tiong-ko, maafkanlah aku, Tiong-ko. Aku... aku malam tadi membaca surat titipan Paman Ciu untuk ayah..."

   "Aku sudah tahu, adikku."

   "Kau tahu? Dan kau diam saja..."

   Han Tiong tersenyum duka.

   "Keinginan tahu seorang muda bukanlah kesalahan yang terlalu besar, lupakanlah saja, Sin-te."

   "Lupakanlah? Ah, Tiong-ko, engkau tidak tahu betapa jahat adikmu ini. Aku membaca surat itu, isinya mengikatkan perjodohan antara engkau dan Hong-moi. Dan aku penasaran! Aku yang tak tahu diri ini! Aku penasaran dan aku kembali ke Lok-yang. Aku harus bicara dengan Hong-moi!"

   "Ah!"

   Han Tiong terkejut sekali dan hatinya cemas. Apakah yang telah dilakukan adiknya ini? Itulah yang dicemaskannya.

   "Aku berhasil memanggil Hong-moi keluar dan kami bicara penjang lebar. Dan dia memang cinta kepadamu, Tiong-ko, dia memilih engkau karena... karena aku... hemm, aku orang yang kejam dan jahat!"

   "Sin-te, jangan berkata demikian. kau seperti merasa penasaran!"

   "Pada waktu itu memang aku penasaran! Dan selagi kami bicara, terdengar suara ribut-ribut dan pasukan anjing jahanam itu telah menyerbu. Mereka berteriak-teriak katanya hendak menangkap aku, anak pemberontak, akan tetapi kenyataannya mereka membakar rumah dan menyerbu. Aku tentu saja tidak tinggal diam. Melihat Paman Ciu sekeluarganya melawan, akupun lalu mengamuk. Akan tetapi, eh... betapa hancur hatiku melihat mayat-mayat mereka berempat..."

   Dan pemuda itu memejamkan mata dan mengerutkan alisnya, menahan gelombang duka yang menyerangnya.

   "Akupun telah melihat mereka, Sin-te. Dan... dan... Hong-moi, bagaimana dengan dia?"

   Tanya Hen Tiong, suaranya agak gemetar.

   "Tidak tahu, Tiong-ko... tidak tahu... lenyap begitu saja... aku tidak tahu ke mana ia pergi... ah, hal itu membuatku semakin sedih karena malapetaka yang menimpanya adalah karena aku. Aku harus mencarinya sampai dapat, Tiong-ko!"

   "Jangan, Sin-te. Urusan yang terjadi ini terlalu besar. Ingat, pasukan pemerintah mencampuri dan setelah engkau membunuh sekian banyaknya perajurit, tentu pemerintah takkan tinggal diam saja. Tentang Hong-moi, ke mana engkau hendak mencarinya? Tidak ada jejak darinya..."

   "Kalau perlu, aku akan siksa semua perajurit yang ada di Lok-yang, dan memaksa mereka itu mengaku di mana adanya Hong-moi!"

   "Hemm, perbuatan itu bodoh, Sin-te. Kukira Hong-moi berhasil melarikan diri. Kalau ia tertawan misalnya, tentu engkau atau aku sudah mendengarnya. Engkau tidak boleh sembarangan pergi mencarinya setelah apa yang terjadi malam tadi, Sin-te."

   "Habis apakah kita harus mendiamkan saja Hong-moi terancam bahaya dan tidak kita ketahui bagaimana nasibnya? Begitu kejamkah engkau, Tiong-ko? Dan... ia adalah calon isterimu sendiri!"

   Kalimat terakhir ini diucapkan dengan nada berteriak penuh rasa penasaran. Han Tiong menarik napas panjang.

   "Sin-te, haruskah aku memperlihatkan atau memamerkan rasa dukaku karena kematian keluarga Ciu dan kegelisahanku karena hilangnya Hong-moi? Kita harus bersikap tenang dalam menghadapi segala hal, Sin-te. Saat ini, pemerintah tentu telah mendengar tentang peristiwa itu dan mata-mata tentu telah disebar untuk mencari kita. Menghadapi persoalan yang besar ini, tiada lain jalan bagi kita selain melaporkannya kepada ayah dan minta pendapat ayah bagaimana selanjutnya kita harus bertindak. Kita tidak boleh bertindak sembarangan. Ingat, kita menghadapi pemerintah yang tidak mungkin kita lawan begitu saja, Sin-te."

   Akhirnya, biarpun dengan hati penuh rasa penasaran, Thian Sin mentaati kakaknya. Dia bukan takut, melainkan segan untuk membantah dan membikin susah atau marah kakaknya yang amat dikasihinya ini. Biarpun pilihan Lian Hong kepada kakaknya itu sedikit banyak mendatangkan rasa iri hati dan juga menghancurkan perasaannya yang sudah jatuh cinta kepada dara itu, namun dia tidak dapat membenci kakaknya ini. Dia terlampau sayang dan terlampau kagum terhadap kakaknya sehingga tidak mungkin dia membencinya, bahkan sekarangpun dia tidak mau membantahnya terus karena tidak mau menyusahkan hati kakaknya yang dia tahu amat sayang kepadanya itu. Maka,

   Dengan cepat, setelah mengambil kuda mereka, dua orang muda inipun melakukan perjalanan pulang ke Lembah Naga. Dapat dibayangican betapa kaget rasa hati Cia Sin Liong dan Bhe Bi Cu, isterinya, ketika mereka berdua melihat dua orang putera itu datang dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki mereka sambil menangis! Han Tiong dan Thian Sin menangis! Tentu telah terjadi sesuatu yang luar biasa hebatnya maka dapat membuat dua orang muda yang tak pernah menangis ini sekarang mengguguk sambil berlutut di depan mereka, tanpa dapat mengeluarkan kata-kata sedikitpun. Melihat keadaan dua orang muda, Bhe Bi Cu sudah menjadi gelisah sekali. Dia berlutut pula di dekat Han Tiong dan mengguncang-guncang pundak putera kandungnya itu.

   "Apakah yang telah terjadi? Tiong-ji... ada apakah? Mengapa kalian menangis? Thian Sin, ceritakanlah, apa yang telah terjadi?"

   Melihat kegelisahan isterinya, Cia Sin Liong Si Pendekar dari Lembah Naga itu segera menyentuh pundaknya dengan halus, memberi isyarat dengan pandang matanya agar isterinya itu tenang kembali. Bi Cu yang melihat pandang mata suaminya, menahan tangis dan duduk kembali sambil memandang dua orang muda itu dengan khawatir sekali. Kini Sin Liong yang berkata-kata dengan suara yang penuh wibawa.

   "Han Tiong! Thian Sin! Kalian ini pemuda-pemuda macam apa? Menangis seperti anak-anak kecil. Lupakah kalian bahwa nafsu kedukaan, seperti juga nafsu-nafsu lain, hanya akan melemahkan batin kita dan menghilangkan kewaspadaan? Tidak ada hal yang bagaimana pahit sekalipun yang akan dapat meruntuhkan ketenangan hati seorang pendekar! Hayo hentikan tangis kalian itu dan berceritalah dengan tenang!"

   Dua orang muda itu memejamkan kedua mata dan menahan napas, dan akhirnya mereka berdua dapat menenangkan hati mereka dan tidak terisak-isak lagi sungguhpun kedua mata mereka masih basah. Kemudian Han Tiong menceritakan perjalanan mereka dan semua yang mereka alami, mulai dari pengalaman mereka di kota raja, pertemuan mereka dengan putera Pak-san-kui yaitu Siangkoan Wi Hong, kemudian kunjungan mereka berdua ke Cin-ling-san lalu kunjungan ke Bwee-hoa-san, tempat kediaman Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng.

   Di bagian ini, Thian Sin membantu kakaknya, bahkan dia menceritakan kegembiraannya bertemu dengan neneknya, ibu dari mendiang ibunya dan betapa neneknya itu telah memberikan Gin-hwa-kiam kepadanya, dan betapa mereka berdua menerima latihan-latihan ilmu silat tinggi dari kakek dan nenek itu. Pendekar Lembah Naga dan isterinya tertarik sekali mendengarkan penurutan dua orang muda itu, apalagi ketika mereka menceritakan tentang kunjungan mereka ke dalam pesta ulang tahun Tung-hai-sian di Ceng-tao bersama Cia Kong Liang, tentang peristiwa yang terjadi di dalam pesta ulang tahun yang dikunjungi oleh wakil-wakil para datuk itu. Kemudian dua orang muda itu menceritakan kunjungan mereka ke Lok-yang di mana mereka telah berjumpa dengan keluarga Ciu dan menyerahkan surat yang dititipkan oleh Pendekar Lembah Naga kepada mereka.

   Dan begitu menceritakan keadaan mereka di Lok-yang, sikap dan suara dua orang muda itu berubah dan kedukaan menyelimuti wajah mereka sehingga mudah bagi Sin Liong dan isterinya untuk menduga bahwa tentu terjadi sesuatu di Lok-yang. Membayangkan betapa terjadi sesuatu atas diri keluarga dua orang adiknya, adik seibu berlainan ayah, yaitu Kui Lan dan Kui Lin, berdebar juga rasa jantung pendekar itu dan kegelisahan mulai menyelimuti hatinya. Akhirnya cerita dua orang muda itu sampailah kepada peristiwa yang mengerikan itu, dan untuk ini, Thian Sin yang merasa betapa dialah yang bersalah dan menjadi biang keladi peristiwa itu, hanya menundukkan kepalanya dan membiarkan kakaknya yang bercerita.

   "Sungguh tidak pernah kami kira bahwa peristiwa perampasan kembali barang-barang kawalan Paman Kui Beng Sin itu mendatangkan akibat yang amat hebat, ayah."

   Han Tiong melanjutkan ceritanya dengan suara agak gemetar.

   "Pada malam terakhir kami berada di Lok-yang secara tiba-tiba saja pasukon pemerintah menyerbu, membakar rumah Paman Ciu dan menyerang secara membabi-buta! Kami berdua tentu saja membantu keluarga Ciu, mengadakan perlawanan, namun fihak musuh terlalu banyak, bahkan pasukan itu dibantu oleh orang-orang pandai yang ternyata adalah anak buah dari tiga datuk sesat See-thian-ong, Lam-sin, dan Pak-san-kui. Dan dalam pertempuran itu, rumah keluarga Ciu terbakar habis dan Paman Ciu Khai Sun, kedua Bibi Kui Lan dan Kui Lin, juga Ciu Bun Hong... mereka berempat itu... ah, mereka semua tewas...!"

   "Ohhhhh...!"

   Bi Cu menjerit dan terbelalak, mukanya pucat sekali.

   "Hemm...!"

   Cia Sin Liong memejamkan kedua matanya seolah-olah hendak menolak penglihatan yang nampak oleh cerita puteranya itu. Sejenak keadaan hening sekali dan dua orang muda itupun menundukkan muka.

   "Tapi mengapa? Mengapa?"

   Akhirnya Sin Liong berkata.

   "Aku yang bersalah, ayah! Karena kesalahankulah maka hal itu terjadi! Karena aku putera pangeran pemberontak Ceng Han Houw maka hal itu terjadi! Mereka itu berteriak-teriak hendak menangkap putera pangeran pemberontak, akulah yang berdosa, keluarga Ciu tewas semua karena aku seorang! Aku anak keturunan pangeran terkutuk...!"

   "Thian Sin!"

   Cia Sin Liong membentak dengan keren. Akan tetapi Thian Sin yang seperti merasa dikejar-kejar dosa itu seolah-olah tidak mendengar bentakan ayah angkatnya.

   "Aku telah meneriakkan bahwa aku di situ, agar mereka jangan mengganggu keluarga Ciu, aku telah mengamuk, aku telah membunuh puluhan orang perajurit, akan tetapi tidak berdaya menyelamatkan mereka. Ayah, ibu, aku telah membasmi mereka sebanyak mungkin, lalu aku memaksa mereka mengaku dan ternyata yang menghasut adalah Phoa-taijin! Pembesar laknat itu ternyata telah mengatur sendiri perampokan barang-barangnya yang dikawal Paman Kui Beng Sing untuk mengumpulkan uang pengganti, dia... dia bersekongkol dengan para datuk, dan mereka itu berhubungan dengan orang-orang di utara, bangsa Mangcu yang katanya hendak memberontak. Aku telah menyiksa pembesar itu, memaksanya mengaku, kemudian aku telah menghukumnya, membuntungi kaki tangannya, telinganya, hidungnya..."

   "Sin-te...!"

   Han Tiong berseru.

   "Biarlah, Tiong-ko, akulah yang berdosa, akulah yang menyebabkan keluarga Ciu terbasmi. Namun kematian mereka telah diantarkan oleh kematian puluhan orang musuh, dan akan masih banyak lagi, lebih banyak lagi penjahat-penjahat yang akan kubunuh untuk membalaskan kematian mereka! See-thian-ong, Lam-sin, Pak-san-kui... dan semua penjahat di dunia ini akan kubasmi untuk membalaskan sakit hatiku ini!"

   "Thian Sin! Diam kau !"

   Tiba-tiba Sin Liong membentak, bentakan yang disertai pengerahan tenaga khi-kang sehingga ruangan itu tergetar dan Thian Sin sendiri yang langsung diserang itu melonjak dan terkejut sekali. Dia memandang wajah ayah angkatnya, melihat sepasang mata yang seperti naga itu, dan diapun sadarlah. Dia menyentuh lantai dengan dahinya berulang kali sambil merintih minta maaf. Mereda kemarahan Sin Liong melihat Thian Sin minta-minta maaf seperti itu dan terbayanglah wajah Pangeran Ceng Han Houw. Dia menarik napas panjang dan merasa kasihan sekali kepada pemuda ini, akan tetapi juga khawatir.

   "Sudahlah, engkau patut selalu ingat bahwa ketenangan batin seorang pendekar tidak akan tergoyahkan oleh peristiwa apapun juga. Kalau engkau menuruti perasaan dan nafsu dendam menguasai batinmu, maka engkaupun akan menjadi sama jahatnya dengan mereka. Han Tiong, teruskan ceritamu." Wajah pemuda ini agak pucat oleh sikap Thian Sin yang penuh emosi tadi. Dia tadi sudah berusaha untuk menyembunyikan segala perbuatan Thian Sin di Lok-yang, akan tetapi dalam kedukaan dan kemarahannya, Thian Sin malah mengakui sendiri sehingga diapun tidak akan banyak bicara lagi.

   "Ayah, melihat Sin-te mengamuk di rumah pembesar di Su-couw itu, aku segera memaksanya pergi. Keluarga Ciu tewas semua, kecuali Adik Ciu Lian Hong yang lenyap entah ke mana. Mungkin sekali dia berhasil melarikan diri, karena kalau tertawan, tentu kami telah mendengarnya. Sin-te hendak nekat mencarinya, akan tetapi karena peristiwa itu hebat sekali, membawa pasukan pemerintah yang banyak tewas di tangan Sin-te, maka aku memaksanya untuk pulang dan melaporkannya kepada ayah. Dan ini... ini adalah surat yang sebelum peristiwa itu terjadi, pada pagi harinya, diberikan kepada Paman Ciu Khai Sun untuk disampaikan kepada ayah."

   Han Tiong menyerahkan surat itu kepada ayahnya. Pada wajah yang gagah dari pendekar sakti yang telah mulai tua ini, nampak keharuan ketika dia membaca surat tulisan adik iparnya yang telah tewas! Tulisan seorang yang telah mati, berarti pesannya yang terakhir. Pesan untuk menjodohkan Lian Hong dengan Han Tiong! Jadi Han Tiong yang dipilih oleh keluarga itu, keluarga yang terbasmi habis, kecuali Lian Hong seorang.

   "Han Tiong... kau harus... harus mencari Lian Hong, calon isterimu itu sampai dapat. Sekarang juga!"

   Akhirnya dia berkata.

   "Ah, dia baru saja datang!"

   Bantah isterinya yang tidak rela melepaskan puteranya untuk pergi lagi pada hari dia kembali dari perantauannya selama hampir setahun itu. Suaminya menyerahkan surat itu kepada isterinya. Bhe Bi Cu membacanya dan diapun merasa terharu sekali.

   "Bagaimanapun juga, jangan sekarang kau pergi, Tiong-ji, kau baru saja tiba dan belum beristirahat, juga belum menyediakan perlengkapan. Kini kau melakukan perjalanan yang tak tentu tujuannya, mencari tunanganmu yang belum kau ketahui jejak kepergiannya."

   "Kau boleh bersiap-siap, Han Tiong. Demi ibumu, biarlah kau berada di rumah selama dua hari dan besok lusa engkau harus berangkat mencarinya sampai dapat. Ini merupakan tugas suci bagimu."

   "Baik, ayah."

   Kemudian pendekar itu memandang Thian Sin lalu berkata,

   "Dan engkau perlu untuk berlatih lagi, Thian Sin. Ilmu silatmu sudah cukup, apalagi engkau telah menerima petunjuk-petunjuk dari kakek dan nenekmu. Akan tetapi, menyaksikan sepak terjangmu di Lok-yang dan Su-couw, dan sikapmu tadi, engkau sungguh masih harus berlatih diri dengan keras untuk memperkuat batinmu. Ingat, Thian Sin, kelemahan batin merupakan suatu yang amat gawat bagi seorang pendekar, karena hal itu kelak bisa mencelakakan dirimu sendiri. Nah, mulai sekarang engkau harus lebih banyak berlatih samadhi dan menguasai nafsu itu, bukannya diperbudak atau sewaktu-waktu engkau dapat dikuasainya sehingga melakukan perbuatan secara membuta, hanya menurutkan dorongan nafsu. Mengerti?"

   "Tapi... tapi, ayah... saya ingin sekali membantu Tiong-ko mencari Hong-moi..."

   "Tidak! Dengan kelemahan batinmu seperti sekarang ini, engkau bukannya membantu, bahkan mungkin saja menimbulkan kekacauan yang lain dan malah bisa menggagalkan tugas suci Han Tiong yang cukup berat. Engkau tinggal di rumah dan berlatih samadhi!"

   Thian Sin mengangguk dan menundukkan mukanya, tidak membantah lagi. Setelah mendengarkan penuturan Han Tiong lebih lanjut tentang segala yang mereka tanyakan mengenai perjalanan mereka berdua selama hampir setahun ini, kedua orang muda ini lalu mengundurkan diri untuk beristirahat. Akan tetapi pada keesokan harinya, ketika Han Tiong bangun pagi-pagi sekali, ternyata Thian Sin telah tidak ada di dalam kamarnya dan melihat pembaringannya, memang pemuda itu agaknya tidak tidur sama sekali. Thian Sin telah pergi tanpa pamit! Dan agaknya kepergian itu dilakukan malam tadi sehingga setelah ketahuan kini, tentu sudah amat jauh karena sudah semalam melarikan diri. Cia Sin Liong menarik napas panjang dan mengelus jenggotnya, lalu menggeleng-geleng kepalanya.

   "Ah, kukira akan dapat menundukkannya, setelah dia digembleng pula oleh Lie Seng Koko, siapa kira dia masih seperti seekor kuda binal yang sukar untuk ditundukkan. Melihat sikapnya kemarin... hemm, sungguh aku merasa khawatir sekali. Han Tiong, kalau engkau berangkat mencari tunanganmu, engkau juga perhatikanlah kalau-kalau dapat menemukan jejaknya dan kalau bisa, kau bujuklah dia agar pulang atau biarlah kau perbolehkan dia ikut bersamamu dan membantumu. Kulihat hanya kepadamu sajalah dia itu dapat tunduk."

   "Baik, ayah,"

   Jawab Han Tiong yang diam-diam merasa prihatin sekali. Dia tahu bahwa hati adiknya itu hancur, bukan hanya oleh kematian keluarga Ciu, akan tetapi juga karena patah hati. Adiknya itu mencinta Lian Hong, dan melihat kenyataan betapa Lian Hong dijodohkan dengan dia tentu saja hati Thian Sin menjadi sakit. Biarlah dia tidak perlu menceritakan hal itu kepada ayah bundanya,

   Dan kelak, kalau Lian Hong sudah dapat ditemukan, baru dia akan bicara tentang hal ini kepada ayah bundanya. Kalau perlu, dia akah mengalah dan mundur, membiarkan Thian Sin berbahagia di samping Lian Hong. Tentu saja kalau gadis itu memang menghendakinya, yang penting sekarang adalah menemukan dara itu. Tiga hari kemudian, barulah Han Tiong berangkat, dibekali cukup uang dan nasihat-nasibat oleh ayah bundanya yang mengantar kepergiannya dengan pandang mata prihatin. Dan karena Han Tiong sendiri tidak tahu di mana adanya Lian Hong atau ke mana perginya, maka satu-satunya jalan baginya hanyalah mengunjungi Lok-yang kembali, atau setidaknya dia akan mencari di sekitar daerah Propinsi Ho-nan. Memang tepat dugaan Han Tiong. Thian Sin nekat malam itu minggat meninggalkan Lembah Naga karena patah hati!

   Dia tidak merasa perlu lagi tinggal di Lembah Naga. Untuk apa? Lian Hong sudah menjadi calon isteri kakaknya, dan malah dia tidak boleh membantu kakaknya mencari dara itu! Kalau dia tinggal di Lembah Naga, setiap hari dia hanya akan menyesali dirinya sendiri saja. Tidak, dia harus pergi! Dia harus mempelajari ilmu-ilmu peninggalan ayahnya. Dia memang putera kandung Pangeran Ceng Han Houw yang dicap pemberontak. Dia memang anak orang jahat, dan sekarang dia telah menjadi pemberontak pula setelah dia membunuh pasukan pemerintah. Biarlah dia hidup sendiri dengan segala kejelekannya. Dan dia akan membalas dendam kematian keluarga Ciu, juga dendamnya sendiri. Telah terlalu sering hatinya dibikin sakit oleh para penjahat dan betape dia selama ini selalu menahan-nahan dendamnya. Beberapa kali dia harus merasa kecewa dalam hidupnya.

   Ayahnya dan ibunya dibunuh orang, dan karena teringat bahwa ayah bundanya dibunuh oleh para pasukan pemerintah itulah maka dia malam itu mengamuk dan membunuhi para prajurit itu dengan penuh kebencian, bukan semata-mata karena ingin membela keluarga Ciu. Berapa kali dia patah hati karena putus cinta. Pertama dengan Cu Ing yang dipisahkan darinya dengan paksa. Ke dua, dia kehilangan Loa Hwi Leng yang terbunuh oleh orang-orang Jeng-hwa-pang. Dia sakit hati dan mendendam kepada banyak orang! Kepada pasukan kerajaan yang membunuh orang tuanya dan membunuh keluarga Ciu, kepada Raja Agahai pamannya di utara yang ikut pula mencelakakan orang tuanya, kepada Jeng-hwa-pang, kepada See-thian-ong, kepada Lam-sin, Pak-san-kui dan masih banyak lagi, dan pendeknya, kepada semua penjahat di dunia ini!

   "Aku akan basmi mereka!"

   Berkali-kali dia berkata ketika dia lari di malam hari itu, menuju ke selatan dan dengan cerdik dia mengambil jalan liar, bukan jalan umum karena dia tahu bahwa mungkin sekali kakaknya akan menyusul dan mencarinya. Dia harus pandai menyembunyikan diri dan tidak sampai berjumpa dengan kakaknya, karena dia tahu bahwa kalau sampai dia berhadapan muka dengan Han Tiong, dia tidak mungkin dapat membantah lagi kalau kakaknya itu mengajaknya pulang. Sekali ini, kepergiannya memang sudah direncanakan sejak dia pulang dan menghadap ayah angkatnya bersama Han Tiong. Maka dia tidak lupa membawa kitab-kitab peninggalan ayahnya. Selama ini dia belum sempat mempelajarinya, karena ayah angkatnya melarangnya.

   "Ilmu milik mendiang ayah kandungmu memang hebat, Thian Sin, akan tetapi sayang, ilmu itu mengandung pengaruh yang amat tidak baik. Sifat ayahmu banyak dipengaruhi oleh ilmu-ilmunya itulah."

   Demikian ayah angkatnya berkata dan selama ini dia mentaati dan tidak pernah menyentuh kitab-kitab itu.

   Akan tetapi, kini dia membawa kitab-kitab itu dan dia harus mempelajarinya. Dia sudah pernah membalik-balik lembarannya dan dapat mengerti dengan mudah. Juga kunci-kunci rahasia kitab itu masih diingatnya baik. Kitab-kitab tulisan ayah kandungnya itu memang mengandung rahasia-rahasia yang hanya depat dipecahkan olehnya, dengan menggunakan kunci-kunci rahasia yang pernah diajarkan ayahnya kepadanya. Pertama-tama dia akan mencari Pak-san-kui. Datuk kaum sesat ini adalah ayah Siangkoan Wi Hong dan sekarang, tanpa adanya Han Tiong di sampingnya, dia akan menghajar Siangkoan Wi Hong dan akan membunuhnya! Juga dia akan menantang Pak-san-kui yang sudah mengirim anak buahnya ikut mengeroyok dan membunuh keluarga Ciu Khai Sun. Dia sudah banyak mendengar tentang Pak-san-kui,

   Bahkan ayah angkatnya sudah banyak bercerita tentang datuk kaum sesat di daerah utara ini. Dia tahu bahwa Pak-san-kui tinggal di kota Tai-goan, di Propinsi Shan-si dan ke sanalah dia kini menuju. Pada saat itu, Ceng Thian Shin telah berusia sembilan belas tahun. Wajahnya memang tampan sekali, gerak-geriknya halus. Dilihat sepintas lalu saja, dia lebih pantas menjadi seorang pemuda pelajar yang lemah. Siapa mengira bahwa pemuda ini menyembunyikan ilmu silat yang amat hebat, banyak macam ilmu silat tinggi dikuasainya dan dia merupakan seorang pendekar sakti yang amat lihai. Pedang Gin-hwa-kiam pemberian neneknya disembunyikannya di balik jubahnya dan dia melakukan perjalanan cepat menyusup-nyusup hutan, naik bukit dan menuruni jurang, mengambil jalan liar agar tidak sampai dapat disusul oleh kakaknya.

   Pak-san-kui adalah seorang kakek yang usianya sudah enam puluh tahun lebih, hampir tujuh puluh tahun malah, dan dia memang diakui sebagai datuk oleh kaum sesat atau golongan hitam di deerah utara. Namanya adalah Siangkoan Tiang dan di kota Tai-goan di mana dia hidup sebagai seorang hartawan besar, dia lebih dikenal sebagai Siangkoan-wangwe (hartawan Siangkoan). Rumah gedungnya besar seperti istana, dikelilingi pagar tembok yang tebal seperti benteng dan di depan pintu gerbangnya selalu terdapat penjaga-penjaga yang berpakaian seragam kuning, pakaian ahli-ahli silat yang gagah. Pak-san-kui Siangkoan Tiang ini tidak seperti para datuk lainnya, tidak mempunyai perkumpulan yang dipimpinnya.

   Akan tetapi jangan dikira bahwa dia tidak mempunyai anak buah! Dia mempunyai tidak kurang dari lima puluh orang anak buah yang menjadi pesuruh-pesuruh atau tukang-tukang pukulnya yang rata-rata memiliki ilmu silat lumayan karena tentu saja sebagai seorang datuk, Pak-san-kui tidak sudi mempunyai anak buah yang lemah! Dan biarpun dia tidak mempunyal perkumpulan dan tidak membuka perguruan, namun dia mempunyai kurang lebih sepuluh orang anak buah yang dipilihnya dari semua anak buahnya, Yang merupakan orang-orang berbakat, lalu mengambil mereka sebagai muridnya. Sebagian besar dari anak-anak buah itu adalah bekas-bekas penjahat di daerah utara yang takluk kepada datuk ini. Murid-murid kepala yang paling diandalkan oleh Pak-san-kui adalah Pak-thian Sam-liong,

   Tiga orang kakek berusia lima puluh tahun yang terkenal dengan ilmu gabungan mereka, yaitu Sha-kak-tin (Barisan Segi Tiga). Pakaian tiga orang murid kepala inipun ringkas dan gagah, berwarna putih-putih dengan sabuk biru dan kemanapun mereka pergi, tiga orang ini selalu membawa pedang di punggung mereka. Di bawah murid kepala ini, terdapat beberapa orang murid lagi yang cukup tangguh dan mereka semua inilah pelaksana-pelaksana yang mewakili Pak-san-kui dalam berurusan dengan segala golongan di daerah utara. Pak-san-kui bukan hanya terkenal kaya raya, akan tetapi dia juga mempunyai hubungan yang amat erat dengan para pembesar di kota-kota, sampai di kota raja! Pengaruhnya luas sekali dan dialah,

   Atau setidaknya murid-muridnya yang dipercayalah, yang menjadi semacam jembatan bagi setiap orang yang memerlukan bantuan para pembesar itu. Melalui Pak-san-kui maka pembesar itu suka memberi jasa-jasa baik terhadap para pedagang, para hartawan yang membutuhkan bantuan pembesar-pembesar itu dengan imbalan yang cukup besar. Dan semua hubungan itu melalui Pak-san-kui! Tentu saja sebagai jembatan, Pak-san-kui memperoleh tanda terima kasih dari kedua fihak. Selain itu, juga Pak-san-kui telah menundukkan semua gerombolan penjahat sehingga dari mereka inipun dia memperoleh banyak sumbangan sebagai tanda takluk. Bahkan semua rumah judi, rumah pelacuran, dan rumah pemadatan yang besar-besar, berada di bawah kekuasaan Pak-san-kui.

   Maka tidaklah mengherankan kalau pengaruhnya besar dan kekayaannya makin lama semakin besar juga. Seperti telah kita kenal, hartawan ini mempunyai seorang putera saja, yaitu Siangkoan Wi Hong yang tampan, halus dan pandai main musik, bersajak, akan tetapi juga lihai ilmu silatnya itu. Jarang ada orang sempat menyaksikan ilmu silat kakek hartawan ini. Akan tetapi didesas-desuskan bahwa kepandaiannya seperti malaikat, dan huncwe panjang bergagang emas yang selalu dibawanya ke mana-mana itu merupakan senjata yant amat awnpuh. Dan hartawan ini memang lebih patut menjadi hartawan daripada ahli silat tinggi, karena tubuhnya yang jangkung, Wajahnya yang terpelihara baik-baik dan tampan, sikapnya yang ramah, Pakaiannya yang mewah, semua itu sama sekali tidak menunjukkan bahwa dia adalah seorang datuk yang sakti.

   Amat mudah bagi Thian Sin untuk menemukan rumah gedung Pak-san-kui di kota Tai-goan itu. Setiap orang, siapapun juga yang ditanyainya, tentu tahu di mana letak rumah gedung itu walaupun orang lebih mengenal Pak-san-kui sebagai Siangkoan-wangwe. Tadinya Thian Sin sendiri bingung melihat yang ditanya tentang Pak-san-kui tidak tahu, akan tetapi ketika pemilik restoran di mana dia makan mendengar disebutnya Pak-san-kui, dia cepat berkata bahwa yang dicari pemuda itu tentulah Siangkoan-wangwe. Dan Thian Sin segera membenarkan karena dia teringat bahwa nama putera Pak-san-kui adalah Siangkoan Wi Hong.

   "Ya, benar. Siangkoan-wangwe, di mana rumahnya?"

   Semua orang dengan cepat memberi keterangan di mana adanya rumah gedung hartawan itu, dan di luar tahunya Thian Sin, pemilik restoran diam-diam telah mengutus seorang pegawainya untuk memperingatkan kepada hartawan itu atau anak buahnya bahwa ada seorang pemuda tampan asing yang mencarinya. Mudah diketahui bahwa pemuda yang mencari itu tentulah seorang asing yang datang dari jauh, pertama karena logat bicaranya berbeda, ke dua, kalau pemuda itu orang daerah Tai-goan, tak mungkin tidak tahu di mana adanya rumah Siangkoan-wangwe!

   Karena adanya laporan inilah maka ketika Thian Sin berhadapan dengan para penjaga pintu gerbang rumah gedung yang berpakaian serba kuning itu dan mendengar bahwa dia minta berjumpa dengan Siangkoan-wangwe, dia dipersilakan memasuki pintu gerbang, akan tetapi begitu dia masuk, daun pintu gerbang dari besi itu ditutup rapat dan dia telah dikurung oleh beberapa orang penjaga yang membawa tombak dan golok! Thian Sin bersikap tenang sekali. Setelah kini merantau seorang diri dan seorang diri pula menghadapi bahaya, dia bersikap tenang. Dia tahu bahwa dia telah berani memasuki gua macan, oleh karena itu dia tidak mau menuruti perasaan hatinya. Dia sudah memperoleh pelajaran pahit dan sekarang dia harus bersikap cerdik. Dia bukan seorang tolol yang nekat mencari mati dengen menantang Pak-san-kui begitu saja. Dia harus pandai bersiasat. Maka, dikepung oleh beberapa orang yang berpakaian kuning itu, dia tersenyum saja.

   "Hemm, beginikah caranya Pak-san-kui yang terkenal itu menyambut seorang tamu yang hendak bertemu dengannya? Menyambut dengan pengeroyokan seperti sikap seorang tukang pukul murahan saja?"

   
Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Katanya mengejek dan sengaja menaikkan nada suaranya, agar terdengar oleh orang-orang yang berada di dalam gedung besar itu! Dan pancingannya itu memang berhasil. Dari dalam gedung muncullah seorang pemuda tampan yang membawa yang-kim, dan bukan lain dia adalah Siangkoan Wi Hong.

   "Aha, kiranya si pemberontak berani muncul di sini!"

   Kata Siangkoan Wi Hong dengan suara mengejek, akan tetapi dia tersenyum dan memandang kepada Thian Sin dengan sinar mata menunjukkan kekagumannya. Memang putera Pak-san-kui ini merasa kagum kepada Thian Sin yang dianggapnya seorang pemuda yang pandai bersajak, penuh keberanian, dan mempunyai ilmu kepandaian hebat. Dia sendiri harus mengakui bahwa dia tidak mampu menandingi putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw ini! Melihat munculnya putera Pak-san-kui itu, Thian Sin tersenyum pula dan membungkuk.

   "Nah, kalau puteranya yang keluar menyambut masih mendingan! Siangkoan-kongcu, jangan sembarangan bicara tentang pemberontak, nanti engkau bisa mendapat marah dari ayahmu. Ada banyak macam pemberontak di dunia ini dan yang paling berbahaya adalah para pemberontak yang bersembunyi dan tidak melakukan pemberontakannya secara berterang!"

   Thian Sin teringat akan pengakuan Phoa-taijin, maka dia berani menyindir dengan kata-kata itu. Dia merasa yakin bahwa datuk utara, ayah dari pemuda di depannya ini tentu bersekutu dengan orang-orang Mancu yang merencanakan pemberontakan.

   "Bocah sombong! Engkau telah berani memberontak dan mengacau di Lok-yang dan Su-couw, dan sekarang berani muncul di sini, menjual lagak? Tangkap dia!"

   Bentak Siangkoan-kongcu yang sudah meloncat maju. Beberapa orang penjaga sudah mengurung pula, siap untuk menyerang Thian Sin yang sudah terkurung di tengah-tengah. Akan tetapi Thian Sin bersikap tenang dan masih tersenyum, sama sekali tidak kelihatan gentar.

   "Aku tidak percaya bahwa Siangkoan Wi Hong, putera tunggal Pak-san-kui yang terkenal lihai itu kini hendak mengandalkan pengeroyokan anak buahnya yang tidak berarti untuk menyambut seorang tamu yang hendak bicara!"

   Ucapan ini membuat Siangkoan Wi Hong meragu. Kalau dia melanjutkan pengeroyokan, sungguh sama saja dengan menjatuhkan namanya sendiri di depan mata para anak buahnya! Akan tetapi, pada saat itu, terdengar suara tertawa dari dalam gedung dan tiba-tiba saja muncul seorang kakek bertubuh jangkung yang memegang sebatang huncwe panjang. Biarpun selama hidupnya belum pernah berjumpa dengan Pak-san-kui, akan tetapi Thian Sin sudah memperoleh gambaran tentang datuk ini dari kakaknya yang pernah bertemu ketika masih kecil, maka begitu kakek itu muncul, dia sudah dapat menduganya dan cepat dia menjura dengan sikap hormat, menyembunyikan kebencian hatinya di balik senyum ramah.

   "Siangkoan-locianpwe suka keluar sendiri, ini berarti suatu kehormatan besar begiku!"

   Katanya sambil memberi hormat. Kakek itu tertawa dan matanya terbelalak kagum.

   "Inikah putera Pangeran Ceng Han Houw yang telah membikin geger dan telah membuntungi orang she Phoa itu? Ha-ha-ha, sungguh pentas menjadi putera pangeran yang pernah merebut gelar Jagoan Nomor Satu di dunia! Hei, Ceng Thian Sin, engkau sungguh menyenangkan sekali, tepat seperti yang telah diceritakan oleh puteraku. Mari, mari, kita ke lian-bu-thia karena sebelum bicara lebih lanjut aku ingin sekali menguji kepandaianmu."

   Thian Sin menyembunyikan kekhawatirannya. Dia tahu bahwa dia berada di tempat berbahaya, dan sekali masuk, entah dia akan dapat keluar lagi atau tidak. Maka sambil tersenyum diapun berkata,

   "Saya sama sekali tidak dapat percaya bahwa seorang datuk seperti Siangkoan-locianpwe akan sudi untuk menjebak dan mencelakai seorang pemuda tanpa nama seperti saya ini!"

   Kakek itu menghembuskan asap dari pipa tembakaunya dan tertawa bergelak.

   "Ha-ha-ha, berani dan lihai dan cerdik pula! Orang muda, apa kau kira kau akan mampu lolos dari jangkauan huncweku kalau aku menghendaki nyawamu? Perlu apa aku mesti pakai menjebak seperti perbuatan seorang pengecut? Masuklah dan aku sendiri menjamin bahwa tidak akan ada yang mengganggumu, apalagi menjebakmu. Kita adalah orang-orang segolongan, atau setidaknya, mendiang Pangeran Ceng Han Houw andaikata sekarang masih hidup, tentu merupakan seorang sahabatku yang paling baik."

   Lega rasa hati Thian Sin. Ternyata siasatnya ketika dia bicara tentang pemberontakan sambil menyinggung keadaan Pak-san-kui tadi berhasil. Kakek itu tidak akan memusuhinya, bahkan agaknya, melihat sikapnya, akan menariknya sebagai sekutu atau sahabat. Baik, dia akan melihat keadaan dan tidak akan terburu nafsu membalas dendam kematian keluarga Ciu. Sekarang dia tidak mempunyai siapapun juga, maka dia harus pandai menjaga diri sendiri dan berlaku cerdik.

   "Baiklah, locianpwe, aku percaya penuh kepada ucapan seorang besar seperti locianpwe."

   Dan dengan sikap tenang diapun melangkah masuk mengikuti kakek itu. Di belakangnya berjalan Siangkoan Wi Hong yang juga amat kagum kepada pemuda remaja ini. Lian-bu-thia itu luas sekali, dindingnya putih bersih dan dihias tulisan-tulisan yang bergaya gagah. Di sudut ruangan itu terdapat sebuah rak senjata yang penuh dengan senjata-senjata selengkapnya. Juga terdapat alat-alat untuk latihan silat, bahkan ada patok-patok bunga bwee untuk latihan kuda-kuda dan langkah-langkah silat, ada karung-karung terisi bubuk pasir dan bubuk besi untuk latihan mengeraskan tangan dan sebagainya. Hawa dalam ruangan lian-bu-thia (ruangan bermain silat) itu cukup segar karena dikelilingi jendela beruji besi. Lantainya juga bersih dan tidak licin. Pendeknya, lian-bu-thia yang terawat dan baik sekali.

   Ketika mereka memasuki lian-bu-thia itu terdapat tiga orang kakek setengah tua yang sedang latihan silat dan mereka ini ternyata adalah Pak-thian Sam-liong! Melihat guru dan juga majikan mereka masuk bersama Siangkoan-kongcu dan seorang pemuda, mereka segera memberi hormat dan mengenakan pakaian mereka yang tadi mereka buka dan mereka hanya memakai celana. Akan tetapi ketika ini melihat dan mengenal Thian Sin, mereka terkejut sekali dan memandang dengan alis berkerut. Akan tetapi dengan sikap gembira sekali, Pak-san-kui lalu melepaskan mantelnya yang terbuat dari bulu tebal dan dia menyerahkan huncwenya kepada seorang di antara Pak-thian Sam-liong yang segera mengisinya dengan tembakau dari sebuah kantong tembakau yang diberikan oleh kakek itu kepadanya. Baju sutera hartawan itu mewah sekali dan dia tersenyum memandang kepada Thian Sin.

   "Ceng-sicu, aku telah mendengar bahwa sebagai putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw, engkau memiliki ilmu silat yang hebat sekali!"

   "Ah, berita itu terlalu dilebih-lebihkan, locianpwe,"

   Thian Sin berkata merendah, sikap yang memperlihatkan kecerdikannya. Sebelum dia tahu sampai di mana kehebatan kepandaian musuh ini, dia harus bersikap hati-hati, pikirnya, apalagi dia berada di dalam rumah datuk ini.

   "Hemm, sama sekali tidak dilebih-lebihkan kalau engkau sudah dapat mengalahkan tiga orang
(Lanjut ke Jilid 19)
Pendekar Sadis (Seri ke 05 "

   Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 19
muridku dan juga puteraku. Bahkan kabarnya engkau telah mewarisi ilmu-ilmu dari Cin-ling-pai, sungguh luar biasa. Semuda ini kabarnya telah memiliki Thi-khi-i-beng, benarkah itu?"

   "Locianpwe terlalu memuji,"

   Kata Thian Sin.

   "Ha-ha-ha, oleh karena itu, untuk membuktikan apakah benar semua berita yang kuterima itu, apakah benar engkau sedemikian lihainya ataukah hanya murid-muridku dan puteraku saja yang tolol, maka sungguh kebetulan sekali engkau datang. Sebelum kita bicara lebih lanjut, marilah kita main-main barang beberapa jurus dan harap engkau tidak perlu untuk mengeluarkan seluruh ilmu kepandaianmu."

   Setelah berkata demikian, kakek itu melangkah ke tengah ruangap lian-bu-thia, menggapaikan tangan ke arah muridnya yang mengisi huncwe tadi. Sang murid cepat mengantarkan huncwe gurunya dan dengan penuh hormat lalu menyalakan geretan api dan membakar tembakau di ujung huncwe sehingga tak lama kemudian nampak asap putih mengepul dan tercium bau tembakau yang harum. Pak-san-kui mengepulkan asap dari hidungnya dan mengangguk kepada Thian Sin.

   "Ceng Thian Sin, kau majulah dan mari kita main-main!"

   Thian Sin segera melangkah maju dan bersikap waspada. Memang dia ingin sekali mencoba sampai di mana kelihaian orang tua ini, seorang di antara para datuk. Kalau dia mampu menandinginya, dia tentu akan membunuh datuk ini, untuk membalaskan kematian keluarga Ciu. Akan tetapi kalau datuk ini terlalu pandai dan terlalu lihai baginya, dia akan menggunakan akal. Sambil tersenyum dia lalu menjura dan berkata,

   "Aku yang muda hanya melayani kehendak locianpwe, silakan, locianpwe!"

   "Baik-baik, kau siaplah, orang muda!"

   Tiba-tiba kakek ini melangkah maju, tangan kirinya menyambar sembarangan saja ke arah kepala Thian Sin. Biarpun tangan itu hanya menyambar perlahan saja, namun ada angin sambaran yang amat kuat mendahului tangannya. Thian Sin menggeser kaki ke belakang untuk mengelek, akan tetapi sebelum dia membalas serangan oembarangan itu, tahu-tahu tangan yang sudah dielakkannya dan lewat itu masih terus menyambar ke arah kepalanya, bahkan kini dua jari dari tangan itu menusuk ke arah matanya dengan kecepatan kilat! Tentu saja dia terkejut bukan main, karena lawannya itu tidak melangkah maju, akan tetapi bagaimana tangannya masih terus depat mengejarnya?

   Ketika dia memendang sambil meloncat cepat ke kiri untuk mengelak, kiranya lengan kiri kakek itu dapat diulur panjang sampai hampir dua kali panjang lengan biasa! Itulah ilmu yang amat luar biasa dan amat berbahaya, pikirnya. Maka sambil mengelak tadi, diapun sudah membalas dengan tamparannya dengan menggunakan Ilmu Thian-te Sin-ciang! Dari tangannya sampai terdengar suara bersuit keras saking hebatnya pukulan itu. Memang Thian Sin yang maklum bahwa dia menghadapi lawan yang amat tangguh, telah mempergunakan semua tenaganya dalam mengirim serangan balasan ini. Agaknya kakek ini sudah menduga akan tamparan ini dan diapun sengaja menangkis dengan lengan kirinya yang sudah ditarik kembali tentu saja sambil mengerahkan tenaganya karena dia maklum bahwa pemuda ini hebat bukan main.

   "Dukkk...!"

   Keduanya tergetar dan terpaksa mundur selangkah. Kakek itu memandang kagum sekali.

   "Itukah Thian-te Sin-ciang? Bukan main hebatnya!"

   Katanya memuji sambil tersenyum. Sudah lama dia mendengar akan ilmu ini dan hari ini dia benar-benar menghadapi ilmu itu yang dilakukan oleh seorang pemuda gemblengan. Akan tetapi Thian Sin mengira bahwa kakek itu memandang rendah kepadanya, maka diapun lalu mainkan Ilmu Silat San-in Kun-hoat yang hebat, yaitu ilmu pusaka dari Cin-ling-pai. Menghadapi desakan serangan ilmu silat tinggi ini, apalagi kalau setiap pukulannya mengandung tenaga Thian-te Sin-ciang, kakek itu mengeluarkan seruan kagum dan kini diapun bergerak aneh, tubuhnya kadang-kadang berputar untuk mengelak dan lagi-lagi tangannya kirinya dengan lemas yang dapat terulur panjang itu membalas dengan serangan yang tak terduga-duga.

   "Ha-ha. Inikah San-in Kun-hoat? Bagus sekali!"

   Thian Sin merasa penasaran. Ilmu silatnya dapat dikenal orang, maka diapun lalu menggantinya dengan teriakan dari ilmu silat yang baru saja dipelajarinya dari Kakek Yap Kun Liong, yaitu Ilmu Silat Pat-hong Sin-kun. Pukulan-pukulannya seperti angin cepatnya dan tubuhnya berputaran, menyerang lawan dari delapan penjuru. Memang Pat-hong Sin-kun (Ilmu Silat Sakti Delapan Penjuru Angin) ini amat cepatnya.

   "Eh, eh, apa ini? Seperti gerakan Pat-kwa..."

   Kakek itu menebak-nebak heran akan tetapi harus diakui bahwa dia lihai sekali karena semua serangan Thian Sin dapat dielakkannya dengan tangkisan atau dengan putaran-putaran tubuh secara aneh, bahkan setiap pukulan selalu dibalasnya dengan kontan. Namun, Thian Sin juga selalu dapat menangkis semua pukulan itu dan dia tetap waspada karena sebegitu jauhnya, kakek itu belum pernah menggunakan huncwenya untuk menyerang. Padahal, seperti yang pernah dia dengar, huncwe itulah yang merupakan senjata maut kakek itu, maka kini perhatian Thian Sin selalu ditujukan ke arah huncwe itu.

   Dan dugaannya memang tepat. Ketika kakek itu agak repot menghadapi Pat-hong Sin-kun, tiba-tiba saja setelah mengelak, huncwenya menyambar. Thian Sin cepat mengelak, akan tetapi ketika huncwe itu lewat di atas kepalanya, tiba-tiba saja ada api menyambar ke arah mukanya. Api itu keluar dari tempat tembakau dan merupakan bunga api yang menyambar cepat sekali ke arah matanya! Tentu saja Thian Sin menjadi terkejut bukan main dan ketika dia dengan kecepatan kilat melempar tubuh ke belakang, tangan kiri kakek itu yang mulur panjang telah menampar punggungnya! Tamparan yang dilakukan ketika dia mengelak dari sambaran api sehingga tubuh yang lagi dilempar ke belakang itu tidak mungkin mengelak lagi dan untuk menangkispun tidak sempat lagi, maka pemuda itu hanya dapat mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang melindungi punggungnya.

   

Pendekar Lembah Naga Eps 3 Pendekar Lembah Naga Eps 45 Dewi Maut Eps 42

Cari Blog Ini