Pendekar Sadis 2
Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo Bagian 2
Wajah pangeran itu menjadi agak pucat ketika dia memandang kepada Lie Seng atau Hong San Hwesio. Isterinya malah! Cepat dia bangkil berdiri dan menjura dengan penuh keharuan dan penuh penyesalan, namun dengan sikap yang jujur dan suara gemetar,
"Lie-toako, aku... aku ikut menyesal sekali atas malapetaka yang menimpa dirimu..."
Lie Seng atau Hong San Hwesio itu bangkit berdiri, tersenyum dan merangkap kedua tangan depan dada.
"Omitohud, kehendak Tuhan tak mungkin dapat dielakkan. Yang sudah lewat tidak baik untuk dibicarakan. Batin harus kosong dari segala kenangan karena kenangan hanya mendatangkan kekeruhan. Semoga Thian memberkahi kita semua!"
Pelarian dari duka merupakan hal sia-sia belaka. Hiburan-hiburan untuk menutupi duka juga merupakan pelarian. Dengan demikian, mungkin duka akan tidak terasa, akan tetapi hal itu hanya berlangsung sejenak saja, seperti api dalam sekam. Api duka itu masih belum padam, hanya tertutup dan masih membara di sebelah dalam. Sewaktu-waktu akan berkobar lagi. Kalau hiburan itu sudah mereda, maka duka akan muncul lagi sehingga kita terpaksa sibuk mencari-cari hiburan yang lain lagi. Mengapa kita harus lari dari kenyataan? Kalau timbul duka atau takut atau kesengsaraan yang lain lagi, mari kita hadapi dengan penuh kewaspadaan!
Mengamati diri sendiri lahir batin setiap saat dengan penuh kewaspadaan berarti mempelajeri segala sesuatu tentang kehidupan manusia di dunia ini! Hong San Hwesio tinggal selama tiga hari di rumah adik kandungnya dan kehadirannya selama tiga hari itu amat membahagiakan hati keluarga itu. Dia memberi tahu pula di mana dia menjadi hwesio kepala dari sebuah kuil dekat kota raja. Setelah lewat tiga hari dia pun berpamit untuk melanjutkan perjalanan dan dia meninggalkan dusun itu diantar oleh Han Houw, Ciauw Si dan Thian Sin sampai ke pinggir dusun. Dua tahun telah lewat lagi dan kini Thian Sin telah berusia sepuluh tahun. Semakin besar, anak ini menjadi semakin mengerti keadaan dan sering kali dia bertanya kepada ayah dan ibunya mengapa dia tidak diajak menghadap nenek-neneknya.
"Kata ibu, nenek masih hidup, baik ibu dari ibu maupun ibu dari ayah. Kenapa aku tidak boleh bertemu dengan nenekku? Kenapa pula aku tidak boleh bertemu dengan keluarga ayah dan ibu?"
Mendengar puteranya merengek itu, Ceng Han Houw tak dapat menahan lagi hatinya. Selama ini, dia sudah menahan-nahan keinginannya untuk pergi mengunjungi ibu kandungnya. Dia merasa rindu sekali kepada ibunya itu dan ingin melihat bagaimana keadaan ibunya. Maka dia lalu mengajak isterinya untuk pergi berkunjung kepada Ratu Khamila, ibu kandungnya.
"Akan tetapi, bukankah kita sudah mengambil keputusan untuk tidak berhubungan lagi dengan keluarga kita dan hidup menyendiri di sini?"
Han Houw menarik napas panjang,
(Lanjut ke Jilid 02)
Pendekar Sadis (Seri ke 05 "
Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 02
"Memang benar, isteriku, dan betapapun rinduku kepada ibuku, aku kiranya masih akan dapat bertahan. Akan tetapi kita harus kasihan kepada anak kita. Dan betapa akan senangnya dia bertemu dengan ibuku, juga betapa akan bahagianya hati ibu kalau melihat cucunya."
Ciauw Si mengerutkan alisnya.
"Tapi... tapi... mendiang Yok-sian..."
"Ah, isteriku, aku percaya akan ramalan itu kalau kita pergi ke kota raja, di mana banyak orang memusuhiku. Akan tetapi kalau mengunjungi ibu kandungku di utara, apakah bahayanya? Pula, ibuku sangat sayang kepadaku, dan mempunyai kekuasaan besar di sana, bahkan Raja Sabutai sendiri tidak berani bertindak sembarangan, maka siapakah yang akan berani mengganggu kita?"
Biarpun merasa ragu, namun melihat suaminya kelihatan begitu rindu kepada ibu kandungnya, dan melihat pula Thian Sin yang sudah mendengar akan maksud kepergian itu menjadi sangat gembira, akhirnya Ciauw Si mengalah dan menyetujui. Bukan main gembiranya Han Houw memperoleh persetujuan isterinya. Dia seolah-olah menjadi seperti kanak-kanak yang dijanjikan hadiah besar, demikian girangnya sehingga berhari-hari dalam persiapan itu dia nampak luar biasa gembiranya. Demikian pun Thian Sin yang terbawa oleh kegembiraan ayahnya, kelihatan penuh semangat. Melihat keadaan suami dan puteranya ini, tentu saja Ciauw Si menjadi semakin tidak tega dan demikianlah, pada suatu hari mereka bertiga berangkat menuju ke utara! Mereka tidak mau mengambil jalan melalui Lembah Naga, pertama karena hal itu akan makan waktu lebih lama dan jaraknya menjadi lebih jauh,
Juga terutama sekali karena suami isteri itu tidak mau mendekati lagi Lembah Naga, tempat yang hanya akan menimbulkan kenangan pahit saja bagi mereka. Mereka langsung menuju ke kerajaan kecil yang dikuasai ayah tirinya, yang sering berpindah tempat dan kini berada di sebelah timur Huhehot. Setelah melakukan perjalanan yang cukup jauh dan amat menarik bagi Thian Sin, tanpa ada halangan sesuatu berkat kepandaian suami isteri itu, biarpun Han Houw kini tidaklah sehebat dulu, mereka tibalah di kerajaan kecil itu yang lebih tepat merupakan sekelompok besar suku-suku campuran di utara yang dulu dipimpin oleh Raja Sabutai yang terkenal perkasa. Mereka disambut oleh Permaisuri Khamila dengan banjir air mata, dan Pangeran Oguthai atau Ceng Han Houw bersama isteri dan puteranya segera diajak masuk ke dalam istana kecil Sang Permaisuri.
Di situ Han Houw mendengar bahwa Raja Sabutai telah meninggal dunia dan sebagai penggantinya kini diangkat seorang adik misannya Raja Sabutai yang bernama Agahai, terhitung paman dari Han Houw yang sejak mudanya telah menjadi pembantu Raja Sabutai yang paling setia. Puteri Khamila merangkul puteranya sambil menangis dan dalam tangisnya ini samar-samar dia menyesalkan kepergian puteranya karena kalau tidak, tentu puteranya ini yang kini menggantikan Raja Sabutai, bukan Agahai! Puteri Khamila yang cantik dan agung itu kini ternyata amat lemah dan sering sakit, terutama sekali karena memikiran puteranya yang tadinya disangka telah tewas karena gagal dalam pemberontakannya. Raja Agahai yang maklum akan kelihaian Han Houw menerimanya dengan ramah, bahkan dengan sikap manis menawarkan kedudukan tinggi kepada Han Houw kalau saja dia mau tinggal di situ dan membantu raja.
"Kami membutuhkan bantuanmu, Pangeran,"
Antara lain raja ini berkata.
"karena kita harus dapat menundukkan kembali suku-suku dan kelompok-kelompok kecil di utara sebelum mereka itu dikuasai oleh suku Mongol. Kita harus menjadi bangsa yang besar dan mengembalikan kejayaan mendiang ayahmu."
Akan tetapi Han Houw menghaturkan terima kasih dan tidak menerima penawaran ini, karena dia sudah berjanji kepada isterinya bahwa mereka datang itu hanya untuk menengok Puteri Khamila, dan sama sekali tidak akan mencampuri urusan kerajaan lagi. Han Houw dan isterinya tinggal di tempat itu selama hampir sebulan. Kemudian mereka berpamit dan diantar oleh tangisan Puteri Khamila, mereka meninggalkan kerajaan kecil itu dengan membawa bekal yang diberikan oleh Raja Agahai, bahkan mereka diberi tiga ekor kuda yang amat baik untuk melakukan perjalanan pulang. Perjalanan itu amat berkesan dalam hati Thian Sin dan diam-diam dia merasa bangga dapat melihat sendiri bahwa ayahnya adalah seorang pangeran,
Bahwa dia adalah keturunan darah bangsawan, tidak seperti anak-anak dalam dusunnya. Akan tetapi, terpengaruh oleh pendidikan ayah bundanya, kebanggaan ini hanya disimpannya di dalam hati saja sehingga pada lahirnya, anak ini tidak menyombongkan keadaan keturunannya. Ciauw Si merasa girang sekali melihat bahwa suaminya sudah benar-benar insyaf dan sudah benar-benar tidak mempunyai ambisi lagi seperti dulu. Hal ini dapat dibuktikannya dengan sikap suaminya ketika diminta oleh Raja Agahai untuk tinggal di sana dan membantu raja itu. Akan tetapi, nyonya muda ini dan sekeluarganya sama sekali tidak tahu bahwa ada bahaya besar yang mengancam mereka dan sedang diatur oleh orang-orang yang tidak suka kepada mereka. Tanpa mereka sangka sama sekali, Raja Agahai merasa khawatir sekali melihat munculnya Han Houw.
Tadinya dia sendiri mengira bahwa pangeran itu telah tewas ketika gagal dalam pemberontakannya di Lembah Naga. Kini, tahu-tahu pangeran itu muncul dan dia maklum betapa lihainya keponakannya itu. Apalagi melihat sikap Puteri Khamila yang agaknya ingin sekali melihat puteranya itu menggantikan kedudukan raja, maka diam-diam raja ini mengatur rencananya untuk melenyapkan bahaya bagi kedudukannya ini. Dia amat khawatir kalau-kalau Pangeran Oguthai akan merebut kedudukannya, maka sebelum pangeran itu bergerak, dia harus bergerak lebih dulu. Beginilah kalau orang sudah terikat kepada sesuatu yang dianggap merupakan sumber kenikmatan dan kesenangan hidupnya. Selalu merasa khawatir dan berprasangka terhadap orang lain, khawatir kalau-kalau kedudukannya itu akan lenyap.
Dan dipertahankannya sesuatu itu, kalau perlu tidak segan-segan dia membinasakan orang lain yang dianggap sebagai penghalang. Dari sinilah timbulnya segala perbuatan kejam dan jahat. Raja Agahai mengirim berita kepada Kaisar Beng-tiauw bahwa Pangeran Ceng Han Houw yang hendak memberontak itu masih hidup dan memberitahukan tempat sembunyinya. Bahkan kemudian bersekutu dengan Kaisar untuk sama-sama mengirimkan orang-orang pandai dan pasukan untuk menangkap atau membinasakan pemberontak yang berbahaya itu! Demikianlah, kurang lebih tiga bulan kemudian semenjak Han Houw dan anak isterinya mengunjungi Puteri Khamila, pada suatu hari di dusun lereng bukit itu nampak ada dua orang kakek mendaki lereng dan memandang ke kanan kiri ke arah rumah para penduduk dusun.
Kedatangan dua orang itu menarik perhatian karena memang dusun itu agak terpencil dan jarang dikunjungi orang luar, akan tetapi karena kakek yang usianya kurang lebih enam puluh tahun itu kelihatan juga tidak luar biasa, maka para penghuni dusun tidak menaruh perhatian. Akhirnya dua orang kakek itu memasuki sebuah warung, satu-satunya warung makanan yang terdapat di dusun itu. Pemilik warung dengan sikap hormat mempersilakan mereka duduk. Mereka duduk, melepaskan topi lebar yang dipakai melindungi kepala dari terik matahari siang itu dan mereka menggunakan topi itu untuk mengipasi leher sambil membuka kancing baju bagian atas. Hari itu memang agak panas, apalagi kalau orang melakukan perjalanan mendaki bukit itu. Mereka memesan arak dingin. Sambil menghidangkan arak kasar, pemilik warung itu bertanya,
"Agaknya ji-wi baru datang dari tempat jauh?"
Dua orang kakek itu saling pandang dan bersikap tak acuh. Seorang di antara mereka bertubuh tinggi kurus, berjenggot panjang dan sepasang matanya agak juling, membuat wajah itu nampak lucu akan tetapi juga menyeramkan, sungguhpun dia bersikap lemah lembut, sikap yang nampak dibuat-buat karena sepasang mata yang juling itu bergerak liar dan sama sekali tidak lembut sinarnya. Adapun kakek ke dua yang usianya sebaya, bertubuh tinggi besar dan suaranya besar lantang, nampak kokoh kuat biarpun dia berusaha menutupi keadaannya itu dengan pakaian longgar dan sikap yang lemah lembut.
"Kami memang telah melakukan perjalanan jauh,"
Jawab Si Mata Juling. Pada saat itu, seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun memasuki warung. Melihat anak ini, pemilik warung tersenyum dan menyambutnya dengan ramah,
"Thian Sin, sepagi ini kau sudah datang ke sini?"
Tegurnya ramah.
Anak itu memang Thian Sin adanya, putera Han Houw dan Ciauw Si. Semua orang dusun mengenalnya dan sayang kepadanya. Biarpun anak ini tahu benar bahwa dia masih keturunan kaisar dan raja, dan bahwa orang-orang dusun itu tidak berhak memanggil namanya saja seperti itu, namun dia tidak pernah menolak dan membiarkan semua orang memanggil namanya begitu saja, seperti terhadap anak-anak lain. Juga ayah bundanya tidak pernah merasa keberatan karena memang ayahnya menyembunyikan keadaan dirinya dan tidak ada seorang pun tahu bahwa ayahnya adalah seorang pangeran! Bahkan nama ayahnya pun tidak ada yang tahu, dan ayahnya hanya dikenal sebagai "Ceng-siauwya"
Atau tuan muda Ceng karena semua orang dapat menduga bahwa ayahnya itu bukanlah seorang petani biasa saja.
"Paman A-coan, saya disuruh ibu untuk membeli tao-co, karena ibu telah kehabisan tao-co."
Katanya sambil menyerahkan panci kecil.
"Baik-baik, kau masuklah ke dapur dan minta tao-co yang paling baik dari A-sam."
Kata pemilik warung sambil tersenyum ramah. Sementara itu, kakek yang bertubuh tinggi besar dan bermuka agak kehitaman itu tanpa mempedulikan anak itu lalu bertanya,
"Eh, A-coan, kami ingin bertanya sesuatu kepadamu."
Mendengar nada suara itu agak sombong, Si Pemilik Warung menengok dengan alis berkerut. Tidak biasa penghuni dusun mendengar nada suara yang sombong seperti itu, apalagi dari orang asing yang baru saja mendengar namanya disebut oleh Thian Sin tadi.
"Hemm, bertanya tentang apakah?"
Jawabnya dengan sederhana dan memang pemilik warung ini, seperti para penghuni lain di dusun itu, tidak biasa berbasa-basi sehingga cara bicara mereka pun kasar sungguk pun kekasaran itu berdasarkan kejujuran, bukan kesombongan.
"Di dusun ini tinggal seorang pangeran pemberontak! Di manakah rumahnya?"
Pemilik warung itu terkejut sekali, akan tetapi juga terheran-heran. Dia tidak melihat betapa Thian Sin sudah keluar dari dalam membawa panci berisi tao-co, dan anak itu memandang dengan mata terbelatak dan jantung berdebar. Siapa lagi kalau bukan ayahnya yang dimaksudkan orang itu. Hanya ayahnyalah pangeran di dusun itu, akan tetapi mengapa disebut pemberontak?
"A-coan, demi keselamatanmu, kau berterus terang sajalah, di mana rumah pangeran pemberontak itu?"
Kata Kakek Mata Juling dengan suara meninggi. A-coan, pemilik warung itu memandang kepada dua orang kakek itu bergantian dengan mata penuh keheranan dan penasaran.
"Apakah ji-wi sudah gila?"
Tanyanya dengan marah.
"dalam dusun kami ini, mana ada seorang pangeran, pemberontak pula? Yang ada hanyalah petani-petani yang bersih dan jujur. Harap ji-wi tidak mengada-ada yang bukan-bukan!"
Tiba-tiba Si Mata Juling, yang kelihatan lemah lembut itu, menggebrak meja.
"Krakk!"
Ujung meja segi empat itu terbuat dari papan tebal, pecah dan patah terkena hantaman telapak tangannya. Kemudian, sekali bergerak, Si Mata Juling itu sudah meloncat dari atas bangkunya dan di lain saat, dia telah mencengkeram punggung baju pemilik warung itu dan mengangkatnya ke atas, matanya yang juling itu melotot dan menjadi makin juling.
"Kau berani mengatakan kami gila? Eh, tukang warung dusun, jaga hati-hati mulutmu, atau ingin kuhancurkan sepert ujung meja itu?"
Si Mata Juling mengancam dan tukang warung itu tentu saja menjadi ketakutan. Mula-mula dia hendak melawan, akan tetapi ketika dia tahu betapa tubuhnya tak mampu bergerak dan cengkeraman itu kuat sekali, maklumlah dia bahwa dia berada dalam cengkeraman seorang yang amat lihai.
"Maaf... maafkan saya..."
Katanya gugup.
"Katakan dulu di mana pangeran itu tinggal, baru aku akan memaafkan kamu!"
Si Mata Juling berkata dengan suara penuh ancaman, tangan kanannya mencengkeram tubuh itu ke atas dan tangan kirinya menampar dua kali dari kanan kiri.
"Plak! Plak!"
Dan kedua pipi pemilik warung yang sial itu menjadi bengkak, bibirnya pecah berdarah.
"Hayo katakan!"
Akan tetapi, pada saat itu ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu Thian Sin sudah menerjang ke depan, memukul ke arah perut Si Mata Juling itu. Si Mata Juling terkejut bukan main karena pukulan itu tak boleh dipandang ringan, melainkan pukulan yang cukup keras dan mungkin saja dapat mendatangkan rasa nyeri kalau tidak luka dalam! Maka dia pun cepat melepaskan tubuh A-coan dan menangkis pukulan anak itu.
"Dukk!"
Tubuh Thian Sin terdorong ke samping, akan tetapi kakek bermata juling itu terkejut karena dia merasa lengannya tergetar, tanda bahwa pukulan bocah itu mengandung tenaga dalam!
"Eh, bocah setan, siapa kau ?"
Bentaknya.
"Manusia kejam, sembarangan memukuli orang yang tidak bersalah!"
Thian Sin berkata, wajahnya yang tampan itu berubah merah, matanya yang bening indah itu bersinar-sinar.
"Pangeran yang kalian tanyakan itu adalah ayahku! Kalian mau apa?"
Dua orang kakek itu saling pandang dan nampak girang, juga terkejut. Anak itu masih kecil, paling banyak sepuluh tahun usianya, dan tubuhnya sedang, bahkan agak kurus,
Kulit mukanya halus seperti kulit muka anak perempuan, nampaknya lemah lembut dan tidak mempunyai tenaga, akan tetapi pukulannya tadi mengandung hawa sin-kang! Siapakah dua orang kakek itu? Mereka itu adalah dua orang perwira tinggi yang bertugas jaga di perbatasan. Mereka menerima tugas dari pasukan yang datang dari kota raja dan dipimpin oleh dua orang kakek sakti untuk pergi menyelidiki dusun di mana kabarnya tinggal pangeran pemberontak Ceng Han Houw. Maka berangkatlah dua orang perwira tinggi itu, menyamar dengan pakaian biasa. Mereka adalah tentara-tentara yang kasar dan sudah biasa melakukan perbuatan sewenang-wenang, mengandalkan kekuasaan mereka untuk menindas rakyat dan mereka berdua itu agaknya belum mengenal siapa adanya Pangeran Ceng Han Houw yang mereka hendak selidiki itu,
Maka mereka bersikap sombong dan ceroboh sekali. Di dusun itu mereka bersikap kasar, karena mereka memandang rendah kepada pangeran yang katanya pemberontak itu. Kini mendengar pengakuan Thian Sin bahwa pangeran yang dicari-cari itu adalah ayah dari anak ini, tentu saja mereka girang dan juga kaget. SebetuInya dua orang perwira tinggi ini memiliki kepandaian yang cukup tinggi, maka mereka ditugaskan untuk itu. Dan mereka itu pun telah memiliki kedudukan, hanya karena mereka sudah biasa menyiksa tawanan untuk memaksa mereka mengaku, maka terhadap A-coan merekapun bersikap kasar untuk memaksa tukang warung itu mengaku. Kini, menghadapi anak itu, sikap mereka lain.
"Eh, bocah lancang, jangan main-main kau !"
Kata Si Tinggi Besar muka hitam.
"Kami tidak mau salah tangkap. Coba katakan, siapa she ayahmu?"
"Ayah she Ceng, dan dialah satu-satunya pangeran di sini! Kalian ini orang-orang kejam mau apakah mencari Ayahku?"
Dua orang itu girang bukan main.
"Ha-ha-ha, bagus sekali! Kami akan menangkap ayahmu yang memberontak!"
Sungguh Si Tinggi Besar muka hitam ini tiada bedanya dengan temannya, ceroboh dan menganggap rendah kepada Pangeran Ceng Han Houw.
Sebetulnya tugas mereka hanya menyelidiki saja apakah benar Ceng Han Houw tinggal di dusun itu, sama sekali tidak bertugas untuk menangkap keluarga itu, karena yang memerintah mereka cukup mengetahui betapa lihainya Pangeran Ceng Han Houw dan isterinya. Akan tetapi, mereka berdua ini adalah orang-orang yang biasa ditakuti orang dan sudah terlalu percaya kepada diri sendiri, maka mereka berpikir bahwa kalau mereka dapat menangkap pemberontak itu tentu mereka akan berjasa besar dan selain naik pangkat tentu akan menerima hadiah banyak. Sementara itu, mendengar bahwa ayahnya dituduh pemberontak dan hendak ditangkap, Thian, Sin yang berusia sepuluh tahun itu menjadi marah.
"Ayah bukan pemberontak, kalian bohong dan jahat!"
Dia lalu menerjang ke depan memukul kakek tinggi besar bermuka hitam itu. Di antara anak-anak sebaya, agaknya Thian Sin tentu merupakan anak paling kuat dan sukar dicari bandingannya, bahkan menghadapi orang dewasa pada umumnya saja agaknya dia masih akan menang. Akan tetapi yang diserangnya itu adalah seorang perwira tinggi yang sudah memiliki kepandaian tinggi dan tenaga besar, maka betapapun cepat dan kuat serangannya itu, Si Tinggi Besar yang sudah siap dan tidak memandang rendah anak itu telah menyambutnya dengan sambaran tangan untuk menangkapnya.
"Plakk!"
Lengan tangan Thian Sin yang kecil tertangkap oleh tangan berjari panjang dan besar-besar itu. Namun, dengan kecepatan luar biasa Thian Sin menggunakan sebelah tangan lagi memukul ke arah sambungan siku dari tangan yang memegangnya. Cepat sekali pukulan ini dan Si Tinggi Besar berteriak kaget, tangannya kesemutan karena yang terkena pukulan adalah tepat di sambungan siku bawah dan tentu saja pegangannya terlepas ketika anak itu menarik lengannya dan membuat gerakan memutar ke belakang!
"Bocah setan!"
Si Tinggi Besar muka hitam berseru marah bukan main dan sambil mengembangkan kedua lengannya yang besar dan panjang itu dia menubruk ke arah Thian Sin dengan cepat.
Akan tetapi betapa terkejutnya ketika tubrukannya itu luput, mengenai tempat kosong karena anak itu telah menggeser ke tempat lain secara cepat dan aneh sekali! Dia menubruk lagi, lebih cepat, akan tetapi kembali tubrukannya luput dan anak itu telah berhasil mengelak dengan baiknya. Dengan kemarahan makin meluap dan rasa penasaran yang membuat mukanya menjadi semakin hitam, Si Tinggi Besar itu menubruk dan menubruk lagi, seperti orang mengejar-ngejar ayam yang terlepas dan amat gesitnya. Namun anak itu sukar sekali ditangkap, tubuhnya licin bagaikan belut dan kakinya bergerak-gerak aneh dengan langkah-langkah yang membuat tubuhnya menyelinap ke sana-sini dan semua tubrukan itu tidak mengenai sasaran.
Tidaklah aneh karena anak kecil itu sudah mahir sekali mempergunakan langkah-langkah yang dinamakan langkah Pat-kwa-po yang diajarkan oleh ayahnya kepadanya. Melihat kawannya tidak juga berhasil menangkap anak itu, Si Mata Juling membantu dan mencegat. Kalau saja Thian Sin sudah lebih besar dan memiliki tenaga lebih kuat, dengan kombinasi langkah Pat-kwa-po dan ilmu pukulan dari apa yang telah dimilikinya, tentu dia akan mampu melawan dua orang ini. Akan tetapi, betapa baiknya langkah Pat-kwa-po itu, kedua kakinya masih terlalu pendek untuk mengatur langkah-langkah dengan cukup sempurna untuk orang dewasa, maka tentu saja langkah-langkahnya kurang lebar dan kini dicegat oleh Si Mata Juling, akhirnya dia tertangkap, pundaknya dicengkeram dan dia diangkat ke atas oleh Si Mata Juling!
"He-he-heh, kau hendak lagi ke mana, anak pemberontak?"
Si Mata Juling mengejek dengan bangga karena akhirnya dia dapat berhasil menangkap bocah itu.
"Hayo ajak kami ke rumah orang tuamu!"
Biarpun dia telah ditangkap dan cengkeraman pada pundaknya itu mendatangkan rasa nyeri, namun Thian Sin menegangkan tubuhnya dan memandang dengan mata melotot, lalu membentak,
"Aku tidak sudi!"
"Eh, bocah setan! Apa kau sudah bosan hidup?"
Si Mata Juling mengancam dan memperkuat cengkeramannya.
"Siapa takut mampus?"
Thian Sin juga membentak. Melihat ini, A-coan, pemilik warung itu cepat maju berlutut di depan Si Mata Juling dan berkata dengan suara memohon,
"Harap ji-wi tidak mengganggu dia... kalau ji-wi ingin mengetahui rumah orang tuanya, biar saya yang mengantar..."
"Paman A-coan!"
Thian Sin membentak, akan tetapi Si Tinggi Besar sudah menangkap lengan A-coan dan berkata dengan suara penuh ancaman.
"Awas, kalau kau bohong, kupatahkan kedua lenganmu ini!"
Dan dia mengerahkan sedikit tenaga, membuat pemilik warung itu meringis kesakitan karena lengannya seperti akan patah-patah rasanya.
"Baik... baik... tidak bohong... tidak bohong..."
Dua orang kakek itu lalu keluar dari dalam warung, Si Tinggi Besar menyeret tubuh A-coan sambil memegang lengannya, sedangkan Si Mata Juling masih mengangkat Thian Sin di atas kepala sambil mencengkeram pundaknya, seperti orang membawa seekor kucing saja. A-coan menjadi penunjuk jalan menuju ke rumah Han Houw dan semua penghuni dusun yang melihat peristiwa ini menjadi terkejut dan heran, lalu mengikuti mereka dari jauh, tidak tahu harus berbuat apa. Ada beberapa orang di antara mereka yang setia kawan, hendak menyerbu untuk menolong A-coan dan Thian Sin, akan tetapi ada pula yang mencegah niat ini melihat betapa pemilik warung dan anak itu sudah berada dalam kekuasaan dua orang kakek asing itu sehingga kalau mereka menyerbu, dikhawatirkan dua orang tawanan itu akan celaka. Maka mereka hanya mengikuti dari belakang.
Dua orang kakek itu sama sekali tidak peduli bahwa para penghuni dusun mengikuti dari belakang dengan pandang mata marah, karena tentu saja mereka sama sekali tidak memandang mata kepada para petani dusun itu. Ketika rombongan yang diikuti banyak orang ini tiba di pekarangan rumah Han Houw, nampak seorang wanita cantik keluar dari rumah itu dan seketika dia terbelalak kaget melihat Thian Sin masih diangkat oleh seorang kakek bermata juling dan dicengkeram pundaknya. Wanita itu bukan lain adalah Lie Ciauw Si. Tentu saja dia kaget dan marah sekali melihat ini. Dua orang kakek itu memandang rendah kepada Ciauw Si, maka mereka tetap melangkah masuk sampai jarak mereka dari tempat nyonya itu berdiri tinggal lima meter lagi. Mereka berhenti dan Si Tinggi Besar menghardik A-coan,
"Inikah rumah pangeran pemberontak itu?"
"Saya... saya tidak tahu pangeran mana... tapi inilah rumah orang tua anak itu..."
A-coan berkata dan dia lalu didorong pergi oleh Si Tinggi Besar sehingga tubuhnya terbanting dan terguling-guling sampai jauh.
Sambil merintih pemilik warung ini lalu tertatih-tatih pergi menjauhkan diri, mencampurkan diri dengan para penghuni dusun yang kini berdiri nonton di luar pekarangan. Tiba-tiba nyonya yang cantik itu mengeluarkan suara teriakan melengking nyaring yang mengejutkan semua orang dan tahu-tahu tubuhnya sudah mencelat ke atas, berjungkir balik beberapa kali dan kini meluncur turun ke arah kepala Si Mata Juling, dengan kedua tangan membentuk cakar garuda dan menyerang dengan dahsyatnya! Bukan main kagetnya Si Mata Juling melihat ini, dan cepat dia menggunakan tangan kanan untuk melindungi kepalanya. Akan tetapi pada saat itu, Thian Sin yang melihat ibunya sudah turun tangan, dan melihat betapa tangan kanan kakek itu tidak mengancamnya, cepat menggerakkan kakinya menendang sekerasnya.
"Dukkk!"
Sepatu kecil itu dengan tepatnya menghantam hidung yang agak pesek itu dengan cukup keras.
"Auhhh...!"
Si Mata Juling terkejut, cengkeramannya terlepas dan Thian Sin sudah meloncat turun dan cepat lari ke depan, sedangkan tamparan tangan Ciauw Si menyerempet pundak Si Mata Juling yang sudah kesakitan karena hidungnya berdarah itu, maka tubuhnya terjengkang. Si Tinggi Besar muka hitam cepat menubruk ke arah nyonya cantik itu untuk membantu temannya, akan tetapi tiba-tiba Ciauw Si memutar tubuh dengan kaki kiri menyambar ke depan.
"Ngekk!"
Cepat sekali gerakan kaki dengan tubuh memutar itu sehingga Si Tinggi Besar tidak sempat mengelak dan perutnya yang gendut besar itu kena ditendang oleh ujung sepatu Ciauw Si.
"Aduhhh...!"
Dia terpelanting dan memegangi perutnya yang seketika terasa mulas. Kini dua orang kakek itu bangkit berdiri, Si Mata Juling menyusut darah yang mengucur dari hidungnya sedangkan Si Tinggi Besar menekan-nekan perutnya yang tertendang. Mereka marah dan malu bukan main.
"Sratt! sratt!"
Keduanya menggerakkan tangan ke bawah baju dan tercabutlah dua batang golok tajam. Ciauw Si sudah merangkul anaknya dan cepat memeriksa. Melihat bahwa puteranya itu tidak terluka, hatinya lega dan kemarahannya mereda.
"Ibu, mereka ini orang-orang kejam yang menuduh ayah pemberontak!"
Thian Sin berkata sambil menuding ke arah dua orang kakek itu. Ciauw Si terkejut. Agaknya terjadi sesuatu yang gawat, pikirnya, sehingga pemberontakan suaminya yang terjadi lebih sepuluh tahun yang lalu itu kini disebut-sebut orang. Maka dia lalu mendorong puteranya ke belakang.
"Kau mundurlah,"
Bisiknya dan kini dia menghadapi dua orang kakek itut memandang tajam penuh selidik, akan tetapi tetap saja dia tidak merasa kenal dengan mereka.
"Siapakah kalian? Dan apa keperluan kalian datang ke sini?"
Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dia bertanya kepada dua orang yang sudah memegang golok dengan sikap mengancam itu. Akan tetapi dua orang perwira yang kasar itu sudah terlalu marah dan malu, dan bagaimanapun juga, mereka masih terlalu memandang ringan kepada nyonya muda yang cantik itu. Mereka telah dibikin malu di depan banyak orang, yaitu para penghuni dusun yang bergerombol di luar pekarangan,
Maka mereka menjadi penasaran dan marah, sehingga pertanyaan Ciauw Si itu tidak mereka jawab. Sebaliknya mereka malah mengeluarkan suara gerengan seperti dua ekor biruang terluka dan mereka lalu memekik panjang dan menerjang nyonya itu dengan golok diputar dan dibacokkan! Para penghuni dusun tentu saja memandang dengan muka pucat. Biarpun mereka semua dapat menduga bahwa tetangga mereka itu bukan orang-orang dusun sembarangan, akan tetapi mereka tidak mengira bahwa nyonya cantik itu pandai ilmu silat. Tadi mereka melihat betapa nyonya itu dapat "terbang"
Seperti burung, akan tetapi kini melihat dua orang kakek galak itu menerjang dengan golok diputar seperti itu, mereka merasa ngeri dan mengkhawatirkan keselamatan wanita itu.
Sementara itu, melihat ibunya dikeroyok dan diancam, Thian Sin cepat lari memanggil ayahnya yang dia tahu berada di ladang! Para penghuni dusun yang tadinya khawatir kini menjadi terbelalak kagum melihat betapa nyonya cantik itu dengan mudahnya mengelak dari sambaran dua batang golok yang merupakan dua gulung sinar putih itu. Ke manapun golok membacok, selalu hanya mengenai angin belaka. Tubuh nyonya itu terlampau gesit dan ringan sehingga gerakannya jauh lebih cepat daripada sambaran dua batang golok. Lie Ciauw Si adalah cucu luar dan juga murid mendiang ketua Cin-ling-pai. Dia telah mewarisi ilmu-ilmu dari Cin-ling-pai yang hebat-hebat seperti San-in-kun-hoat yang delapan jurus, Thai-kek-sin-kun yang penuh dengan jurus-jurus sakti yang halus sekali itu,
Bahkan telah menguasai ilmu silat pedang Siang-bhok Kiam-sut yang pernah mengangkat tinggi nama Cin-ling-pai. Maka, menghadapi serangan dua orang kasar ini tentu saja terlalu ringan baginya. Dia membiarkan kedua orang lawannya itu menyerang sepuasnya, setelah mengelak dan berloncatan dengan cepat selama kurang lebih tiga puluh jurus, tiba-tiba dia mengeluarkan pekik dahsyat yang menggetarkan jantung kedua orang penyerangnya. Gerakannya luar biasa cepatnya sehingga tidak kelihatan oleh para penonton, bahkan dua orang itu sendiri tidak tahu apa yang telah terjadi, akan tetapi tiba-tiba tangan kanan mereka menjadi lumpuh, golok di tangan itu terlepas dan sambaran tangan halus menampar leher mereka, membuat mereka terpelanting dengan kepala pening dan mata berkunang-kunang!
"Isteriku, jangan bunuh orang...!"
Tiba-tiba terdengar suara mencegah dan Ciauw Si yang sudah akan menyusulkan pukulan itu meloncat ke belakang dan menengok. Kiranya Han Houw dan Thian Sin telah berada di situ. Han Houw mengerutkan alisnya ketika dia memandang dua orang kakek yang juga tidak dikenalnya itu. Kemudian dia memandang kepada para penduduk dusun yang berkumpul di luar pekarangannya, maka dihampirinya mereka.
"Harap saudara sekalian kembali ke tempat kerja masing-masing. Tidak ada apa-apa di sini, hanya sedikit kesalahpahaman."
Mereka semua amat menghormat Han Houw yang selalu bersikap ramah dan selalu siap menolong mereka, maka setelah mereka menyatakan syukur bahwa keluarga itu tidak sampai celaka, semua penghuni itu meninggalkan tempat itu. Setelah semua orang pergi, Han Houw menghampiri dua orang yang masih pening dan masih duduk di atas tanah, tidak berani bangkit itu. Kini mereka berdua maklum bahwa sesungguhnya mereka bukanlah lawan wanita itu, apalagi kini suaminya telah datang! Pantas saja mereka hanya disuruh menyelidik dan fihak atasan telah mengerahkan pasukan untuk menangkap keluarga ini. Kiranya merupakan keluarga yang sakti!
"Hemm, kalian berdua ini siapakah dan apa sebabnya kalian mencariku dan memancing keributan?"
Dua orang itu sudah mati kutunya dan tidak berani banyak lagak lagi. Si Mata Juling berlutut sambil mengangkat kedua tangan ke depan dada memberi hormat, diturut oleh temannya yang tinggi besar.
"Harap paduka ampunkan hamba berdua yang hanya utusan... apakah... apakah paduka Pangeran Ceng Han Houw...?"
"Hemm, kalau betul mengapa? Kalian mau apa?"
Tanya Han Houw sambil memandang tajam.
"Ampun... ampun, hamba hanya utusan untuk membuktikan apakah benar paduka yang tinggal di sini... dan... ah, hamba berdua telah lancang karena tidak mengira bahwa betul-betul paduka sekeluarga maka hamba berani kurang ajar... mohon ampun..."
Diam-diam Han Houw terkejut sekali. Apa maksud Kerajaan Beng menyelidikinya? Dia mengerutkan alisnya.
"Mengapa kalian disuruh menyelidiki?"
"Hamba... hamba tidak tahu... hanya ada utusan dari kota raja yang memerintah kami berdua untuk menyelidiki..."
Han Houw merasa sebal menyaksikan sikap pengecut dari dua orang ini. Dia tahu bahwa dua orang macam ini sama sekali tidak ada harganya, merupakan orang-orang pengecut yang biasanya memang berlaku kejam dan sewenang-wenang kepada sesamanya yang lebih rendah. Hanya orang pengecut yang pada dasar batinnya menderita ketakutan sajalah yang dapat bertindak kejam dan sewenang-wenang.
"Pergilah kalian!"
Katanya dan dua kali kakinya bergerak, tubuh dua orang itu telah terpental dan bergulingan sampai keluar pintu pekarangan! Mereka cepat bangkit dan merangkak-rangkak, lalu menjura berkali-kali dan melarikan diri dari tempat itu seperti seekor anjing dipukul! Melihat ini, Thian Sin bertepuk tangan.
"Bagus, bagus, dua ekor anjing itu memang patut ditendangi!"
Han Houw memegang lengan puteranya dan ditariknya masuk ke dalam rumah.
"Thian Sin, ayah bundamu terpaksa saja melakukan hal itu untuk membikin mereka jera dan takut, akan tetapi sesungguhnya kami tidak menyukai kekerasan itu. Sudah cukup banyak kekerasan membuat kami hidup menderita dahulu, dan engkau, ingat baik-baik, jangan sekali-kali menggunakan ilmu silat untuk melakukan kekerasan. Mengerti?"
Bentakan ayahnya ini membuat Thian Sin terkejut dan takut, maka dia pun mengangguk. Pada malam hari itu, setelah Thian Sin tidur di kamarnya sendiri, Pangeran Ceng Han Houw mengajak isterinya bercakap-cakap tentang peristiwa itu,
"Aku khawatir akan terulang peristiwa belasan tahun yang lalu,"
Kata Ciauw Si sambil menarik napas panjang.
"Jangan-jangan kaisar masih mendendam dan menganggap kita sebagai pemberontak-pemberontak. Akan tetapi mengapa baru sekarang mereka datang mengganggu kita kalau memang kaisar masih marah kepadamu? Apa yang menimbulkan bencana ini?"
Ceng Han Houw mengerutkan alisnya.
"Aku sendiri tidak tahu dan sukarlah untuk menduga sebabnya. Lebih baik kita bersiap-siap untuk menghadapi segala kemungkinan, isteriku. Malam ini dan seterusnya, kita harus berjaga-jaga dan kalau terpaksa kita harus tidur bergantian."
"Ya, dan terutama kita harus menjaga keselamatan anak kita."
Akan tetapi malam itu suami isteri ini sama sekali tidak dapat tidur karena hati mereka gelisah. Dan menjelang pagi, ketika mereka masih duduk di atas pembaringan sambil menyelam ke dalam keheningan, tiba-tiba pendengaran mereka yang terlatih baik itu menangkap sesuatu. Bagaikan disengat laba-laba, keduanya sudah bangkit dan turun dari atas pembaringan,
Kemudian, hanya dengan saling pandang, mereka tahu apa yang harus mereka lakukan. Ciauw Si cepat keluar dari kamar menuju ke kamar puteranya di sebelah, sedangkan Han Houw sudah melayang keluar melalui jendela kamarnya. Hati Ciauw Si terasa lapang ketika dia mendapatkan puteranya masih tidur nyenak, dan dia duduk di situ, mendengarkan keluar penuh perhatian. Ketika dia mendengar suara bising di luar, di arah ruangan depan seperti ada orang bertempur, dia lalu cepat membangunkan puteranya. Sebagai seorang anak yang sejak kecil sudah terdidik dan digembleng dengan ilmu bela diri yang tinggi tingkatnya, begitu terbangun Thian Sin sudah siap dan sudah sadar benarg sepasang matanya menatap wajah ibunya dan telinganya segera menangkap suara tidak wajar di luar itu.
"Apa yang terjadi, ibu? Apa yang terjadi di luar itu?"
"Sstt, kita didatangi musuh-musuh, mari ikut aku keluar. Aku harus bantu ayahmu, akan tetapi engkau tidak boleh sendirian saja di sini."
Ciauw Si lalu menggandeng tangan puteranya dan mereka lari keluar.
Sementara itu, ketika Han Houw tadi meloncat keluar dari kamar melalui jendela, dengan gerakan ringan dia sudah menuju ke arah datangnya suara, yaitu di depan rumah. Dia memasuki ruangan depan di mana tergantung sebuah lampu yang cukup menerangi ruangan itu karena malam baru saja akan terganti pagi dan keadaan cuaca di luar rumah masih remang-remang dan kelabu. Ketika dia memasuki ruangan itu, tiba-tiba saja Ceng Han Houw meloncat ke samping dan terdengar suara mendesis-desis ketika beberapa ekor ular menyerangnya dari kanan kiri dan depan. Ular-ular beracun yang amat ganas dan terdiri dari beberapa macam ular sendok, dan ada yang menyembunyikan ekornya.
Han Houw maklum bahwa ular-ular seperti itu amat ganas dan berbahaya, sekali terkena gigitannya, kalau tidak memperoleh obat penawar yang tepat dan cepat, tentu nyawa akan melayang. Dia tidak gentar, tidak takut atau kaget, melainkan marah sekali karena dia maklum bahwa tidak mungkin di tempat ini dapat datang begitu banyaknya ular berbisa kalau tidak ada orang yang membawanya dan sengaja melepasnya di situ. Ular-ular itu menerjangnya dari bawah. Han Houw mencabut pedang dan dengan beherapa kali gerakan pedangnya, enam ekor ular itu berkelojotan dengan tubuh putus-putus! Bau amis memenuhi ruangan itu. Biarpun Han Houw telah kehilangan sebagian besar tenaga sin-kangnya, namun dia masih cukup lihai, bahkan terlalu lihai kalau hanya menghadapi enam ekor ular saja, apalagi dia memegang sebatang pedang.
"Wirrr...! Siuuuuuttt...!"
Han Houw memutar pedangnya.
"Tringg! Tringg...!"
Beberapa batang senjata piauw tertangkis dan menancap di dinding ruangan itu. Nampak ronce-ronce hijau bergoyang-goyang di ujung senjata kecil itu yang tidak ikut masuk ke dalam dinding. Melihat ronce-ronce hijau membentuk bunga itu, Han Houw terkejut dan berkata lantang,
"Hemm, bangsat-bangsat dari Jeng-hwa-pang, keluarlah!"
Jeng-hwa-pang (Perkumpulan Bunga Hijau) adalah sebuah perkumpulan yang dahulu pernah menjadi perkumpulan yang amat terkenal dan amat ditakuti orang. Pernah merajalela sebagai perkumpulan yang berpengaruh di daerah perbatasan Tembok Besar. Perkumpulan ini dahulunya didirikan oleh mendiang Jeng-hwa Sian-jin, seorang tokoh besar Pek-lian-kauw yang menemukan semacam jeng-hwa (bunga hijau) yang hanya tumbuh di daerah perbatasan itu, mempelajari jeng-hwa yang mengandung racun paling hebat itu dan menjadi ahli racun. Ketika Jeng-hwa-pang masih berdiri dengan kokohnya, perkumpulan itu terkenal memiliki pasukan yang kuat dan mereka merupakan ahli-ahli racun yang amat kejam.
Akan tetapi semenjak Jeng-hwa-pang yang dipimpin oleh ketua mereka yang bernama Gan Song Kam, yaitu seorang murid Jeng-hwa Sian-jin, diobrak-abrik oleh Kim Hong Liu-nio, suci dari Ceng Han Houw, perkumpulan itu kehilangan pamornya dan bahkan lalu mengundurkan diri dari keramaian kang-ouw. Apalagi ketika ketuanya itu tewas di tangan Ceng Han Houw maka perkumpulan itu dapat dikatakan bubar. Namun sesungguhnya para tokoh Jeng-hwa-pang masih menaruh dendam atas kehancuran perkumpulan mereka dan dendam ini ditujukan kepada Ceng Han Houw. Seperti telah diceritakan dalam kisah Pendekar Lembah Naga, dendam dari Jeng-hwa-pang ini pernah mengakibatkan munculnya seorang tosu bernama Tok-siang Sian-jin Ciu Hek Lam,
Yaitu suheng dari mendiang Gak Song Kam atau murid utama dari mendiang Jeng-hwa Sian-jin, dan tosu ini berusaha untuk membalas sakit hati perkumpulannya kepada Ceng Han Houw. Namun dia mengalami kegagalan pula dan melarikan diri. Kini, melihat munculnya orang-orang dari Jeng-hwa-pang yang dapat diduganya setelah melihat cara penyerangan mereka dengan ular-ular berbisa disusul senjata-senjata piauw dengan ronce bunga hijau, Ceng Han Houw terkejut dan marah sekali, maka dia lalu membentak dan menantang. Tiba-tiba terdengar suara gedebrugan keras dan dari pintu-pintu dan jendela berlompatan masuk tujuh orang yang terlindung oleh perisai lebar di tangan kiri sedangkan tangan kanan mereka masing-masing memegang sebatang golok besar yang berkilauan saking tajamnya.
Begitu berloncatan masuk, tujuh orang itu sudah mengurung Han Houw dan muka mereka berikut hampir seluruh tubuh tertutup dan terlindung oleh perisai baja yang lebar itu, hanya mata mereka saja mengintai dari dua buah lubang yang dibuat di perisai itu! Pakaian mereka serba hijau dan seragam dan gerakan mereka gesit dan tangkas. Han Houw terkejut juga menyaksikan ketangkasan dan kerapian gerakan mereka yang begitu teratur dan rapi, maka tahulah bekas pangeran yang berkepandaian tinggi dan berpengetahuan luas tentang ilmu silat ini bahwa dia berhadapan dengan semacam bu-tin (pasukan silat) yang lihai. Akan tetapi dia juga merasa heran karena belum pernah dia melihat pasukan seperti ini pada perkumpulan Jeng-hwa-pang.
"Siapa kalian?"
Dia membentak. Seorang di antara mereka yang berada di depannya, menjawab dari balik perisainya,
"Ha-ha-ha, Ceng Han Houw, masih ingatkah engkau akan dosa-dosamu terhadap Jeng-hwa-pang? Kami diutus Raja Agahai untuk menangkapmu, hidup atau mati!"
Setelah berkata demikian,
Tujuh orang itu lalu bergerak, berjalan atau setengah berlari mengitarinya dan menggerak-gerakkan goloknya dengan gerakan yang sama dan saling susul. Melihat ini, Han Houw menjadi marah sekali. Dia tahu bahwa memang mereka itu merupakan orang-orang Jeng-hwa-pang yang ingin membalas dendam, dan yang sama sekali tidak disangka-sangkanya adalah bahwa orang-orang Jeng-hwa-pang telah dipergunakan oleh Raja Agahai untuk menangkapnya, hidup atau mati, pamannya sendiri yang telah menggantikan mendiang Raja Sabutai menjadi raja? Akan tetapi, mengapa? Bukankah pamannya itu menyambutnya dengan baik ketika dia datang berkunjung? Hampir dia tak dapat percaya dan mengira bahwa orang-orang ini hanya mempergunakan nama raja itu untuk menggertak saja.
Akan tetapi karena mereka sudah bergerak, dan dia melihat bahwa menghadapi pengepungan bu-tin yang kuat amatlah tidak baik kalau dia berada di tempat yang sempit, maka dia lalu menerjang ke kiri dengan maksud membobolkan kepungan itu dan dia dapat meloncat keluar, ke pekarangan di mana tempatnya lebih luas dan akan lebih mudah baginya untuk menghadapi kepungan itu. Akan tetapi, tiba-tiba saia tujuh buah perisai membentuk benteng baja dan tujuh buah golok menyambar dari semua jurusan, membuat Han Houw terpaksa mundur kembali ke tengah ruangan di mana dia dikepung ketat! Pada saat itulah Ciauw Si muncul sambil menggandeng tangan puteranya. Melihat suaminya dikepung oleh tujuh orang yang bersenjata golok besar dan perisai, dan melihat bangkai-bangkai ular berbisa berserakan di ruangan itu, Ciauw Si terkejut dan cepat dia meloloskan pedangnya.
"Keparat, kalian datang mengantar nyawa!"
Bentak Ciauw Si dan dia pun menerjang ke dalam ruangan itu. Pedangnya bergerak dengan hebatnya, dan Pek-kang-kiam, pedang baja putih itu berubah menjadi sinar putih yang menyilaukan mata menerjang ke arah tujuh orang itu. Melihat munculnya isterinya, dan melihat bahwa puteranya juga berada dalam keadaan selamat, Han Houw menjadi tenang hatinya dan dia pun sudah menerjang dari dalam sambil memutar pedangnya!
Tujuh orang itu adalah orang-orang yang berilmu tinggi, dan mereka adalah murid-murid dari Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam. Mereka telah melatih diri dalam barisan Jit-seng-twa-to-tin (Barisan Golok Besar Tujuh Bintang) dan dengan ilmu ini mereka sukar sekali dikalahkan lawan. Akan tetapi, keampuhan mereka adalah mengepung lawan di sebelah dalam, tidak peduli lawan itu seorang ataupun lebih. Gerakan mereka yang teratur, saling bantu dan juga dapat mengadakan perubahan-perubahan yang tidak terduga-duga lawan membuat lawan yang terkepung menjadi sibuk dan bingung. Akan tetapi, mereka belum pernah menghadapi dua orang lawan yang secara langsung monyerang atau menghadapi serangan mereka dari dalam dan luar kepungan! Dan lebih lagi, yang mereka kepung adalah Ceng Han Houw,
Seorang yang memiliki kepandaian silat yang amat tinggi sungguhpun tenaga sin-kangnya banyak berkurang setelah dia menderita sakit dan oleh karena itu kepandaiannya menurun lebih setengahnya. Dan lebih lagi, karena di luar kepungan kini terdapat seorang wanita sakti yang mengamuk. Lie Ciauw Si adalah cucu dari ketua Cin-ling-pai, bahkan telah menerima ilmu-ilmu dari kakeknya yang sakti itu, maka tentu saja memiliki ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi daripada ilmu yang dimiliki oleh tujuh orang anggauta Jit-seng-twa-to-tin itu. Maka kini tujuh orang yang mengurung itu malah terkurung! Mereka berusaha sedapat mungkin untuk mengatur barisan, akan tetapi menghadapi serangan-serangan dahsyat, dari dalam dan luar itu, terutama dari luar karena Ciauw Si sudah mengamuk melihat suaminya dikepung, tujuh orang itu sibuk sekali.
"Crokkk... aughhh...!"
Pedang Ciauw Si yang meluncur ganas itu menembus perisai baja dan terus menusuk leher pemegang perisai. Robohlah seorang pengeroyok dan tewas seketika. Melihat ini, terkejutlah enam orang yang lain, akan tetapi mereka menjadi semakin ganas sungguhpun gerakan mereka kini menjadi kacau-balau oleh perasaan tegang dan panik. Hal ini tentu saja lebih memudahkan Han Houw dan Ciauw Si untuk menggerakkan pedang mereka dan dalam waktu singkat saja enam orang itu telah roboh semua. Ciauw Si merobohkan seorang di antara mereka tanpa menggunakan seluruh tenaga sehingga pedangnya hanya melukai pundak saja dan lawannya tidak terluka berat. Setelah mereka semua roboh, Ciauw Si cepat menghampiri orang yang terluka itu, karena yang enam lainnya sudah tewas semua!
"Hayo cepat katakan yang sebenarnya, siapa yang menyuruh kalian ke sini dan menyerang kami?"
Bentak Ciauw Si. Akan tetapi orang itu tidak menjawab dan ketika Ciauw Si mengguncangnya dan hendak memaksanya, dia terkejut bukan main melihat orang itu telah kaku dan mati! Dari mulutnya mengalir busa kehijauan, maka tahulah dia bahwa orang yang roboh terluka itu ternyata telah tewas oleh racun yang amat ganas dan jahat. Dan dia tahu pula bahwa racun itu masuk ke jalan darah melalui sebatang jarum yang oleh orang itu sendiri ditusukkan ke lehernya. Ternyata orang yang terluka ini setelah melihat semua temannya tewas, lalu membunuh diri!
"Tidak perlu, mereka tadi sudah mengaku bahwa mereka diutus oleh Raja Agahai untuk menangkapku, hidup atau mati!"
Kata Han Houw yang tahu akan maksud isterinya.
"Apa? Pamanmu sendiri?"
Ciauw Si terkejut bukan main dan Han Houw mengangguk.
"Lebih baik kita mengurus mayat-mayat ini lebih dulu!"
Katanya dan dia cepat memanggil para tetangga yang menjadi terkejut bukan main melihat mayat tujuh orang itu dan bangkai ular-ular berbisa berserakan di dalam rumah itu. Ketika mendengar bahwa tujuh orang itu adalah perampok-perampok jahat, mereka pun merasa bersyukur bahwa suami isteri itu telah berhasil membasmi mereka dan beramai-ramai mereka lalu mengubur jenazah-jenazah itu.
"Sekarang aku menyesal karena ramalan mendiang Yok-sian ternyata benar,"
Kata Han Houw setelah semua jenazah selesai dikubur.
"Maksudmu?"
Ciauw Si bertanya.
"Mereka itu adalah utusan Paman Raja Agahai. Sekarang aku mengerti mengapa kaisar juga mengirim mata-mata menyelidiki ke sini. Ini semua tentulah perbuatan Raja Agahai. Jadi tepat dengan ramalan mendiang Yok-sian bahwa tidak boleh mengunjungi keluarga karena dari situ datangnya malapetaka."
"Tapi mengapa pamanmu melakukan hal ini? Ketika kita datang dulu itu, dia bersikap amat baik."
"Sikap palsu! Kini aku mengerti! Tentu dia merasa khawatir kalau-kalau aku akan merebut kekuasaan dari tangannya. Maka dia tentu mengirim berita kepada kaisar bahwa aku kini hidup di sini sehingga kaisar yang mengkhawatirkan aku akan memberontak lagi lalu mengirim utusan. Tidak puas hanya dengan melaporkan kepada kaisar, Raja Agahai yang jahat itu lalu mengirim orang-orang Jeng-hwa-pang yang memang mendendam kepadaku untuk membunuhku."
"Ah, dan dia tentu tidak akan berhenti sampai di sini saja!"
Kata Ciauw Si.
"Demikian pula tentu akan ada lanjutan penyelidikan kaisar."
"Hemm, boleh jadi. Akan tetapi aku tidak takut dan akan kulawan mereka semua!"
Kata Han Houw dengan marah.
"Aku pun tidak takut, suamiku, dan aku selalu akan membantumu sampai akhir hayat. Akan tetapi kita harus mengingat Thian Sian..."
Diingatkan akan hal ini, Han Houw termangu-mangu dan memandang kepada putera mereka yang duduk di situ dan mendengarkan percakapan antara ayah bundanya itu dengan penuh perhatian.
"Aku pun tidak takut!"
Kata anak itu. Ciauw Si tersenyum bangga dan merangkul puteranya.
"Engkau tidak takut, akan tetapi kami khawatir, Thian Sin."
"Dia harus pergi dulu dari tempat ini, menyingkir. Akan tetapi ke mana...?"
Han Houw berkata dan suaranya terdengar penuh sesal karena baru sekarang dia melihat betapa mereka merupakan keluarga yang tidak mempunyai siapa-siapa lagi yang boleh diandalkan untuk menolong mereka. Mereka merupakan keluarga yang sudah terputus sama sekali hubungan mereka dengan keluarga kedua fihak, bahkan keluarganya sendiri kini memusuhinya.
"Ah, kenapa tidak ke tempat Seng-koko?"
Tiba-tiba Ciauw Si berkata dan wajah Han Houw berseri gembira. Dia menepuk kepala sendiri.
"Ah, mengapa aku begini bodoh dan pelupa? Tentu saja! Dialah satu-satunya manusia di dunia ini yang boleh kita percaya, bukan hanya untuk melindungi Thian Sin, bahkan juga untuk mendidiknya!"
"Bagus, aku pun setuju sekali kalau dia dikirim ke sana,"
Kata Ciauw Si.
"Aku tidak mau pergi! Aku mau bersama ayah dan ibu!"
Tiba-tiba Thian Sin berkata pula dengan lantang.
"Thian Sin, engkau tidak boleh membantah perintah ayah dan ibu! Kami tahu apa yang baik untukmu!"
Bentak Han Houw.
"Ayah dan ibu tidak takut mati menghadapi lawan, apakah aku harus lari dan takut mati?"
Thian Sin merengek. Ibunya sudah merangkulnya dan berkata dengan halus,
"Thian Sin, jangan berkeras. Kami mati pun tidak apa-apa asal engkau selamat. Kalau engkau berada di sini dan mati pula bersama kami, habis bagaimana?"
"Siapa yang akan mati? Kita tidak akan mudah mati begitu saja!"
Han Houw berkata keras.
"Pendeknya, engkau harus mentaati perintah kami, Thian Sin. Kami akan menghadapi musuh-musuh yang banyak, kami tidak akan dapat leluasa melawan kalau harus melindungimu di sini."
Akhirnya Thian Sin tidak berani membantah pula dan Han Houw lalu memanggil seorang laki-laki berusia lima puluh tahun, tetangga mereka yang baik dan seorang petani yang bertubuh kuat. Suami isteri ini menyerahkan semua harta yang ada pada mereka berupa sedikit perhiasan kepada kakek itu dan minta kepada kakek itu untuk mengantarkan Thian Sin ke Kuil Thian-to-tang di selatan kota raja, menemui Hong San Hwesio ketua kuil itu, menyerahkan surat dan Thian Sin kepada hwesio itu. Sambil menangis Thian Sin berpamit dari ayah bundanya pada pagi hari itu juga dan meninggalkan tempat itu, diikuti pandang mata sayu oleh ayah bundanya. Setelah anak itu pergi jauh dan tidak kelihatan lagi, barulah Ciauw Si yang sejak tadi sudah menahan-nahan hatinya itu merangkul suaminya sambil menangis. Sejenak Han Houw membiarkan isterinya menangis, lalu mengelus rambutnya dan mengajaknya memasuki rumah dan duduk di ruangan dalam.
"Sudahlah, isteriku, tidak perlu kita bersedih, malah kita harus bersyukur bahwa anak kita terlepas dari ancaman bahaya."
"Suamiku, apakah tidak lebih bijak kalau kita juga melarikan diri mengambil lain jurusan dari yang diambil anak kita? Apa gunanya kita melawan pasukan, baik dari utara maupun dari selatan?"
Ceng Han Houw menegakkan kepalanya dan sinar matanya bernyala.
"Tidak!"
Akan tetapi dia lalu menghampiri dan merangkul isterinya yang kelihatan pucat.
"Dengar baik-baik, isteriku sayang, bukan sekali-kali aku menolak usulmu semata-mata karena keras kepala, sama sekali bukan. Akan tetapi engkau tahu bahwa aku adalah seorang pangeran, maka amat merendahkan martabatlah kalau aku melarikan diri, apalagi melarikan diri dari Raja Agahai yang berhati keji itu. Dan ke dua, dan ini merupakan kenyataan penting. Isteriku, apa gunanya bagiku untuk melarikan diri? Yang memusuhiku adalah Raja Agahai di utara dan kaisar di selatan, maka ke manakah aku dapat melarikan diri? Ke mana pun aku lari, tentu akan dikejar dan akhirnya tertangkap juga. Betapa akan celakanya hidup menjadi buruan yang selalu dikejar-kejar, selalu hidup dalam keadaan ketakutan dan tidak tenang. Lebih baik aku menghadapi bahaya dengan mata terbuka di tempat terbuka ini."
Ciauw Si tidak berkata apa-apa, hanya merangkul suaminya dan perlahan-lahan air matanya membasahi baju di dada suaminya.
"Isteriku, engkau tidak seharusnya terancam bahaya bersamaku. Sudah terlalu banyak aku menyusahkan dirimu. Sudah terlalu banyak engkau menderita karenaku. Dan baik Raja Agahai maupun kaisar tidak memusuhimu. Oleh karena itu, engkau pergilah menyusul Thian Sin. Engkau tidak boleh membahayakan nyawamu demi membelaku."
"Tidak!"
Tiba-tiba Ciauw Si berkata keras dan merenggutkan badannya dari rangkulan suaminya.
"Aku adalah isterimu, mati hidup bersamamu! Bagaimana engkau dapat berkata demikian? Ah, apakah engkau masih ragu akan kesetiaanku?"
Han Houw cepat memeluknya.
"Jangan salah mengerti, isteriku. Sungguh mati, bukan aku meragukan kesetiaanmu, melainkan aku... aku tidak ingin melihat engkau tewas dalam membelaku. Aku... aku ingin agar engkau hidup terus... demi anak kita..."
Ciauw Si balas merangkul.
"Tidak! Aku harus berada di sampingmu, hidup atau mati! Tentang anak kita... di sana sudah ada Seng-koko yang tentu akan melindunginya."
Pendekar Lembah Naga Eps 14 Pendekar Lembah Naga Eps 4 Dewi Maut Eps 40