Pendekar Sadis 35
Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo Bagian 35
"Ceng Thian Sin, engkaulah orangnya yang telah membantuku, melunasi sumpahku dan engkau pula satu-satunya orang yang menyaksikan musnahnya nenek buruk rupa yang bernama Lam-sin!"
Sekali ia merenggut ke mukanya, maka terlepaslah topeng nenek itu dan nampak wajahnya yang berkulit putih halus dan bentuknya cantik jelita itu. Topeng tipis itu dilemparnya ke dalam api yang bernyala-nyala dan tentu saja segera dimakan api. Wanita itu lalu menanggalkan pakaian luarnya, baju dan celana nenek yang kedodoran itu sehingga kini gadis itu hanya memakai pakaian dalam yang tipis itu. Pakaian nenek itupun melayang ke arah api, dimakan api menyusul topeng yang sudah menjadi abu. Gadis itu mengembangkan kedua lengannya dan wajahnya yang cantik manis itu tersenyum gembira.
"Nah, mampuslah sudah Lam-sin si nenek buruk!"
"Dan terciptalah si dara cantik jelita seperti bidadari...!"
Kata Thian Sin yang menghampiri dan memeluknya. Gadis itu tersenyum, nampak deretan giginya yang rapi dan putih. Kini Thian Sin dapat menikmati semua itu dengan bebasnya, menatap wajah itu, menyelusuri seluruh tubuh yang menggairahkan itu dengan pandang matanya, sampai akhirnya gadis itu menundukkan muka karena malu, lalu mendorong dada Thian Sin dengan halus ketika pemuda itu hendak menciumnya.
"Nanti dulu, engkau belum mengenalku!"
Bisiknya.
"Siapa bilang? Aku sudah mengenalmu baik-baik semalam..."
Thian Sin tersenyum.
"Tidak, engkau belum mengenal siapa aku, siapa namaku dan bagaimana riwayatku."
"Perlukah itu? Engkau adalah seorang gadis yang cantik seperti bidadari, yang kucinta, menjadi dewi pujaanku..."
Thian Sin hendak meraih lagi akan tetapi gadis itu mengelak.
"Kalau memang memaksaku, aku akan membunuhmu, Thian Sin!"
Tiba-tiba ia membentak dan sepasang mata yang indah itu mengeluarkan sinar mencorong, mengingatkan Thian Sin akan sinar mata Nenek Lam-sin dan diam-diam dia bergidik. Sukarlah menerima kenyataan bahwa gadis cantik ini adalah Nenek Lam-sin yang memiliki ilmu silat demikian hebatnya sehingga hanya dengan susah payah dia dapat mengalahkannya.
"Baiklah, maafkan aku. Nah, aku siap mendengarkan ceritamu,"
Kata Thian Sin yang lalu duduk di atas rumput tebal. Gadis itu sejenak memandang ke arah pakaian nenek yang terbakar sampai berkobar, dan sebentar saja pakaian itupun lenyap menjadi abu, seperti halnya topeng tadi. Dan tiba-tiba gadis itu menangis di depan api unggun, terdengar suaranya lirih,
"Ibu... ibu... anakmu tidak pernah melanggar janji dan sumpah..."
Akan tetapi sebentar saja ia menangis karena ia sudah mampu mengendalikan dirinya dan menyusut kering air mata itu dengan saputangan yang tadinya tersisip di antara bukit dadanya.
Matanya dan hidungnya menjadi agak merah akan tetapi dalam pandangan mata Thian Sin, hal itu bahkan menambah manisnya! Gadis itu lalu menghampiri Thian Sin dan duduk pula di dekatnya, di atas rumput. Thian Sin memandang dengan kagum, terpesona oleh kecantikan dan keindahan bentuk tubuh itu. Semalam dia sama sekali tidak dapat menikmati pemandangan ini, dan pagi tadi hanya sebentar saja. Sekarang dia dapat melihat semua itu dengan bebas dan diam-diam dia membanding-bandingkan dan akhirnya mengambil kesimpulan bahwa belum pernah dia melihat seorang gadis yang lebih hebat daripada gadis ini, baik kecantikannya, keindahan tubuhnya, apalagi kepandaian silatnya, juga kepandaiannya dalam membuat sajak, memainkan alat musik dan menulis. Gadis yang luar biasa sekali!
"Thian Sin, namaku sesungguhnya adalah Kim Hong..."
"Nama yang sangat indah dan cocok untukmu!"
"Aku she Toan..."
"Ehh...?"
Thian Sin teringat kepada pangeran she Toan yang dibunuhnya karena kebodohannya tertipu perempuan jahat bernama Kim Lan. Toan Kim Hong, gadis cantik itu mengangguk, agaknya mengerti apa yang menyebabkan kekagetan pemuda itu.
"Memang, Toan-ong-ya, pangeran yang telah kau bunuh itu adalah terhitung pamanku. Mendiang ayahku adalah pangeran Toan Su Ong."
Tentu saja Thian Sin terkejut bukan main. Dia tidak pernah mendengar nama Pangeran Toan Su Ong, akan tetapi kalau Toan-ong-ya adalah paman dari gadis ini, maka keadaannya tentu gawat!
"Aku telah kesalahan membunuh Toan-ong-ya, hanya karena fitnahan seorang perempuan jahat. Aku sudah ditegur oleh banyak pendekar dan aku merasa menyesal sekali."
"Aku tidak peduli akan hal itu!"
Gadis itu berkata dengan suara kesal.
"Ayahku adalah seorang pangeran pemberontak!"
"Ahhh...!"
"Ya, ayahku tidak seperti Toan-ong-ya dan para pangeran yang taat dan setia kepada kaisar. Tidak, ayahku berjiwa pemberontak dan selalu menentang kebijaksanaan-kebijaksanaan kaisar yang dianggapnya menekan dan menindas rakyat. Ayahku lebih dekat dengan rakyat jelata daripada dengan kaisar."
"Ah, kalau begitu... engkau masih keluarga kaisar..."
"Seperti juga engkau sendiri, Thian Sin. Akan tetapi kita adalah keluarga-keluarga jauh yang sudah terlempar ke luar. Engkau anak pemberontak, akupun anak pemberontak. Ayahku minggat dari kota raja, bahkan kaisar pernah begitu marah kepadanya dan kaisar mengutus pasukan untuk menangkapnya. Ayahku melarikan diri, menjadi buronan. Sejak kecil ayah mempelajari ilmu silat, sesuai dengan jiwanya yang selalu memberontak, sehingga dia memperoleh tingkat ilmu yang cukup tinggi. Kemudian, dalam keadaan buron ini, ayah bertemu dengan ibuku, yaitu seorang wanita kang-ouw yang memiliki ilmu kepandaian silat tinggi pula, bahkan lebih tinggi daripada tingkat kepandaian ayah. Ibuku mewarisi ilmu keluarga Ouw-yang dari selatan yang amat terkenal. Mereka saling jatuh cinta dah hidup sebagai suami isteri tanpa menikah, karena keadaan ayah sebagai seorang buronan pemerintah tidak memungkinkannya untuk menikah dengan terang-terangan."
"Yang penting saling mencinta itu, bukan upacara pernikahannya,"
Thian Sin memotong sebagai pembelaan dan hiburan. Kim Hong mengangguk.
"Akupun berpendapat demikian."
Gadis itu lalu melanjutkan ceritanya yang didengarkan oleh Thian Sin dengan penuh perhatian karena hati pemuda ini menjadi semakin tertarik ketika mendapat kenyataan bahwa Kim Hong adalah puteri seorang pangeran, jadi masih ada hubungan misan dengan dia!
Toan Su Ong, pangeran yang menjadi buronan itu, bersama isterinya, atau lebih tepat lagi kekasihnya yang menjadi isterinya tanpa pernikahan yang bernama Ouwyang Ci, bersama-sama melarikan diri di daerah selatan, jauh dari kota raja. Secara kebetulan mereka berdua menemukan sebuah kitab kuno, kitab pelajaran ilmu silat yang kabarnya adalah milik Panglima Besar The Hoo ketika utusan kaisar ini menjelajah ke selatan dan kitab pusakanya itu tercecer. Untuk dapat mempelajari kitab itu, juga untuk menyembunyikan dirinya sehingga mereka tidak perlu terus berlari-lari menyelamatkan diri dari pengejaran kaki tangan kaisar, Toan Su Ong dan Ouwyang Ci lalu tinggal di sebuah pulau kosong di sebelah selatan, di Lam-hai (Laut Selatan). Pulau ini bernama Ang-lian-to (Pulau Teratai Merah), sebuah pulau kecil yang tanahnya cukup subur, akan tetapi yang terlampau kecil sehingga tinggal kosong.
Namun kalau untuk tempat tinggal sekeluarga saja, pulau itu cukuplah. Toan Su Ong dan Ouwyang Ci tinggal di pulau ini, menanam sayur-sayuran dan pohon buah-buahan. Hanya beberapa pekan sekali Toan Su ong atau isterinya naik perahu menuju ke daratan besar untuk berbelanja keperluan hidup mereka. Mereka hidup dengan tenang di Pulau Teratai Merah itu sampai akhirnya terlahir seorang anak perempuan mereka yang diberi nama Toan Kim Hong. Dan mereka terus bertapa dan memperdalam ilmu-ilmu mereka, bahkan dari kitab kuno peninggalan orang sakti The Hoo itu mereka menciptakan semacam ilmu yang hebat, yaitu ilmu silat yang mereka namakan Hok-mo-sin-kun (Ilmu Silat Penakluk Iblis). Kim Hong tumbuh besar di pulau itu dan dengan penuh kasih sayang, ayah bundanya menggemblengnya dengan semua ilmu silat yang mereka miliki.
Bahkan setelah anak itu berusia belasan tahun, ayah bundanya mengajarkan Hok-mo Sin-kun yang merupakan ilmu inti mereka. Dari latihan ini Kim Hong maklum, bahwa betapapun juga, tetap saja ibunya memiliki tingkat yang lebih lihai daripada ayahnya. Kim Hong hanya mengenal orang-orang lain kalau diajak oleh ibunya berbelanja ke pantai laut di daratan besar. Akan tetapi, anak itu tidak menjadi canggeng, bahkan karena ayahnya adalah seorang pangeran, maka iapun mempelajari semua ilmu yang lain di samping ilmu silat, yaitu ilmu kesusasteraan dari ayahnya, juga pengetahuan umum tentang sejarah dan sebagainya sedangkan dari ibunya iapun mempelajari seni musik yang menjadi keahlian ibunya pula. Demikianlah Kim Hong menjadi seorang dara terpelajar yang hidup terasing di pulau kosong itu.
Malapetaka itu terjadi ketika Kim Hong berusia empat belas tahun. Ketika Ouwyang Ci pergi berbelanja di daratan besar, secara kebetulan ia mendengar bahwa kaisar telah mengumumkan pengampunan bagi Pangeran Toan Su Ong. Berita itu secara kebetulan didengarnya dari para petugas di selatan yang tadinya bertugas menyelidiki dan mencari di mana menghilangnya pangeran buronan itu. Mendengar ini, dengan girang wanita itu cepat kembali ke pulaunya dan dengan terengah-engah saking tegang dan girang hati yang selama bertahun-tahun menderita tekanan ini ia menceritakan kepada suaminya.
"Suamiku! Engkau telah bebas! Engkau telah diampuni dan tidak menjadi buronan lagi! Ah, kita tidak menjadi orang-orang pelarian lagi!"
Kata isteri itu dengan girang sekali. Akan tetapi, suaminya menyambut berita ini dengan alis berkerut dan sikap dingin saja, sama sekali tidak kelihatan girang, bahkan agaknya dia terheran menyaksikan kegirangan isterinya.
"Habis, mengapa? Apa bedanya bagiku?"
Katanya dingin.
"Eh? Apa bedanya? Suamiku, besar sekali bedanya. Kita dapat segera pergi mengunjungi kota raja. Engkau kan seorang pangeran? Dan puteri kita akan dapat hidup selayaknya sebagai puteri seorang pangeran..."
"Tidak...!"
Tiba-tiba Pangeran Toan Su Ong menggebrak meja sampai ujung meja itu pecah.
"Keluarga kaisar adalah keluarga bangsawan yang busuk! Pemeras rakyat! Sombong dan congkak! Aku tidak sudi menjadi anggauta keluarga yang gila itu. Aku lebih senang tinggal menyepi di sini!"
"Tidak mungkin!"
Ouwyang Ci juga membantah dengan suara berteriak marah.
"Engkau terlalu mementingkan diri sendiri, menyenangkan hati sendiri, tidak ingat anak isteri! Sudah belasan tahun aku menderita tekanan batin, menjadi isteri orang tanpa menikah, menjadi isteri seorang yang katanya pangeran akan tetapi hidup seperti pertapa di tempat terasing! Aku tidak tahan lagi! Harus kutunjukkan kepada dunia bahwa aku adalah isteri seorang pangeran, bukan isteri seorang penjahat buronan. Harus kubuktikan bahwa Kim Hong adalah puteri pangeran terhormat, bukan gadis terlantar yang tidak sah! Engkau harus menuntut hak dan kedudukan di kota raja, mengangkat derajat anak sendiri dan isterimu."
"Minta hak dan kedudukan? Tidak sudi! Aku tidak sudi menjadi pangeran."
"Kalau begitu engkau seorang suami yang jahat, seorang ayah yang keparat!"
Percekcokan menjadi-jadi. Setiap hari mereka bercekcok. Ouwyang Ci menuntut agar mereka ke kota raja, agar mereka hidup sebagai keluarga terhormat dan mulia. Akan tetapi Pangeran Toan Su Ong yang sudah membenci keluarga kaisar itu tidak mau menurut. Percekcokan makin memanas, membuat mereka menjadi mata gelap dan akhirnya suami isteri yang hidup selama belasan tahun dengan saling mencinta, setia dan bahu-membahu dalam menghadapi segala kesukaran inipun berkelahi! Kim Hong yang menyaksikan perkelahian itu hanya dapat menangis. Segala jeritannya untuk melerai sia-sia belaka. Suami isteri itu adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka tentu saja perkelahian itu amat seru dan dahsyat.
Karena nafsu kemarahan dan kebencian sudah memenuhi batin, maka mereka lupa bahwa mereka adalah suami isteri yang saling mencinta. Mereka saling serang seolah-olah menghadapi musuh besar yang harus dibinasakan! Sampai tidak kurang dari lima ratus jurus mereka berkelahi, saling serang, sampai kedua lengan mereka bengkak-bengkak dan biru-biru semua. Semua jurus ilmu silat mereka telah mereka pergunakan, dan akhirnya mereka berdua sama-sama mainkan Hok-mo Sin-kun yang mereka ciptakan bersama. Bukan main hebatnya perkelahian ini dan akhirnya Kim Hong menjadi kesima. Diamatinya semua gerakan ayah bundanya dan gadis ini seolah-olah melihat contoh-contoh gerakan yang sempurna dan ia melihat kekurangan-kekurangan dalam latihannya sendiri.
Terutama sekali ketika ayah ibunya berkelahi melihat Hok-mo Sin-kun, ia dapat meneliti setiap jurus yang dikeluarkan dan otomatis kaki tangannya bergerak mengikuti mereka. Dara ini sampai lupa bahwa ayah bundanya itu sedang berkelahi mati-matian, bukan sedang memberi contoh kepadanya dalam latihan! Akhirnya, terdengar keluhan dan tubuh Pangeran Toan Su Ong terpelanting. Ouwyang Ci yang terengah-engah seperti kehabisan napas berdiri memandang dengan muka pucat dan basah oleh keringat. Matanya terbelalak dan ketika ia melihat suaminya rebah dengan mulut mengucurkan darah segar, ia menjerit lalu menubruk suaminya yang sudah pingsan itu, menangis sesenggukan! Suaminya itu telah kalah dalam perkelahian ini dan menerima pukulan maut yang amat hebat dari isterinya sendiri!
Kalau kita membaca keadaan suami isteri ini, mungkin kita akan ikut menghela napas panjang dan merasa kasihan, bahkan mungkin ada yang mengatakan tidak mungkin dapat terjadi hal seperti itu! Akan tetapi, cobalah kita membuka mata dan memandang keadaan kita sendiri dan melihat kenyataan tentang "cinta"
Yang begitu mudah keluar dari mulut kita, begitu mudah kita ucapkan terhadap seseorang, baik dia seorang pacar, seorang suami atau isteri, seorang sahabat, seorang anak atau orang tua. Betapa banyaknya peristiwa yang terjadi antara Toan Su Ong dan Ouwyang Ci itu terjadi setiap hari di antara kita, di sekitar kita! Tentu saja bukan dalam bentuk adu silat sehingga seorang di antara mereka menggeletak dengan terluka parah, namun sedikit saja selisihnya. Betapa banyak suami isteri yang hari kemarin, bahkan malam tadi, masih saling bercumbu menumpahkan rasa kasih sayang masing-masing, dengan ringan kata-kata "aku cinta padamu"
Meluncur keluar dari mulut mereka,
Pada hari ini saling cekcok dan saling serang dengan kata-kata penuh dengan pelototan mata yang mengandung sinar marah dan benci, penuh dengan kata-kata kasar dan keji, penuh dengan serangan-serangan kata-kata yang dapat menimbulkan luka yang amat parah di dalam batin masing-masing! Dalam keadaan marah dan saling serang dengan kata-kata, bahkan ada kalanya beberapa pasangan juga menggunakan tindakan untuk membanting dan merusak benda-benda, ada pula yang saling tampar, maka mereka semua lupa bahwa baru semalam mereka itu saling belai dan saling mencurahkan kasih sayang! Begitukah cinta kasih? Ataukah semalam itu yang terjadi hanyalah gelora nafsu berahi belaka? Dan setelah nafsu terpuaskan maka dalam keadaan tersinggung lalu timbul kemarahan dan kebencian sebagai penggantinya?
Kemudian setelah kemarahan dilontarkan dan terlampiaskan, lalu timbul pula penyesalan dan baru ingat bahwa mereka itu saling mencinta? Ataukah hanya saling menguasai dan merasa sayang bahwa mereka telah saling merusak sesuatu yang menimbulkan kesenangan dan kemesraan satu sama lain? Betapa banyaknya persahabatan yang telah dibina selama puluhan tahun dapat menjadi retak bahkan rusak, dan bahkan berbalik menjadi permusuhan dalam waktu sedetik saja? Cinta kasih antara sahabat. Apakah ini? Bukankah yang kita lihat seperti kenyataan sekarang, aku mencintaimu sebagai sahabat karena engkau baik kepadaku? Dan dengan demikian, pada saat lain aku dapat saja membencimu karena engkau tidak baik kepadaku? Apakah cinta itu demikian murahnya, berdasarkan baik buruknya seseorang kepada kita,
Apakah dia itu menguntungkan atau menyenangkan hatiku, apakah dia itu merugikan atau tidak menyenangkan hatiku? Apakah cinta hanya seperti ini, seperti jual beli di pasar belaka di mana aku membeli dengan cintaku untuk memperoleh kesenangan lahir batin darimu dan sebaliknya? Kalau sudah tidak memporoleh kesenangan lagi, maka tentu saja tidak ada cinta lagi. Begitukah cinta kasih? Betapa kita semua lupa akan hal ini. Jelaslah, bahwa cinta kasih tidak akan menyinarkan cahaya selama di situ terdapat kebencian, iri hari, rase takut, pamrih untuk senang sendiri, maka pada saat itupun cinta kasih tidak ada dan mereka berhadapan sebagai musuh yang saling membenci. Sambil menangis, Ouwyang Ci yang sekarang menyesal oleh perbuatannya sendiri itu lalu memondong suaminya, dibawa masuk ke dalam rumah mereka.
Ia merawat suaminya, akan tetapi pukulannya terlampau hebat dan suaminya tidak sadar lagi dan tewas dua hari kemudian! Isteri ini menangisi kematian suaminya, menangisi dan menyesali perbuatannya sendiri, menyesali pula sikap suaminya yang keras kepala. Sedangkan Kim Hong yang baru berusia empat belas tahun itu hanya ikut menangis dan kematian ayahnya di tangan ibunya sendiri itu membuat luka goresan mendalam di batinnya. Semenjak matinya Pangeran Toan Su Ong, Ouwyang Ci hidup terbenam dalam duka. Ia menjadi sakit-sakitan dan ia melanjutkan penggemblengan puterinya seorang diri saja. Ia menurunkan semua ilmunya dengan tekun dan ketika Kim Hong telah berusia delapan belas tahun, dara ini telah mewarisi semua kepandaian ayah bundanya! Bahkan ia lebih lihai dari ibunya sekarang!
Akan tetapi, ibunya yang merasa bahwa malapetaka itu terjadi karena ia lebih lihai dari suaminya, lalu menyuruh puterinya bersumpah bahwa puterinya tidak akan melayani pria sebelum ada pria yang mengalahkannya! Jadi, dengan sumpah ini sang ibu menghendaki agar jangan sampai terulang seperti keadaan dirinya. Ia menghendaki agar puterinya menjadi isteri seorang pria yang memiliki kepandaian lebih tinggi daripada Kim Hong, sehingga dengan demikian Kim Hong takkan dapat melakukannya dan akan menurut apa yang dikehendaki suaminya. Hal ini timbul dari penyesalan hatinya karena ia akhirnya sadar bahwa suaminya benar. Selama hidup di pulau itu, mereka cukup bahagia dan saling mencinta dan kalau ia dahulu menurut kata-kata suaminya, tentu mereka bertiga masih dapat hidup rukun dan berbahagia di pulau itu.
"Demikianlah riwayatku, Thian Sin. Tak lama kemudian, ibu meninggal dunia karena suatu penyakit yang menyerang jantungnya, tentu karena kedukaannya, dan akupun hidup sebatangkara di dunia ini. Sebelum meninggal, ibu berpesan kepadaku agar aku tidak melupakan sumpahku, dan ibu memperingatkan aku bahwa wajahku cukup cantik sehingga tentu akan menarik banyak pria, dan karena jarang ada pria yang akan dapat mengalahkan aku, maka ibu menganjurkan agar aku memakai topeng menyamar sebagai nenek-nenek untuk mengurangi gangguan dan godaan. Aku menurut saja, dan demikianlah, aku lalu memakai topeng dan meninggalkan Pulau Teratai Merah."
Thian Sin mendengarkan dengan penuh perhatian dan dia merasa kagum sekali.
"Dan muncullah Lam-sin yang merajai dunia kang-ouw di selatan, dan akhirnya engkau menjadi ketua dari Bu-tek Kai-pang."
"Tidak begitu mudah,"
Jawab Kim Hong.
"Aku muncul sebagai seorang nenek tanpa nama. Karena melihat kepincangan-kepincangan dan kesewenang-wenangan para penjahat, aku latu turun tangan, membasmi mereka. Namaku mulai terkenal sebagai nenek tanpa nama atau mereka tadinya menyebutku Bu-beng Kui-bo (Biang Iblis Tanpa Nama) karena aku tidak pernah mau mengakui namaku. Makin banyak golongan sesat yang menentangku dan aku basmi mereka semua dari wilayah selatan ini. Akhirnya, setelah tidak ada lagi yang berani menentangku, barulah aku mendapat julukan baru, yaitu Lam-sin."
"Dan engkau tundukkan Bu-tek Kai-pang yang tadinya dipimpin oleh Lam-thian Kai-ong?"
"Benar. Aku melihat kedudukan perkumpulan itu yang besar dan kuat. Maka kukalahkan para pimpinannya dan Lam-thian Kai-ong takluk kepadaku, mengangkatku sebagai kepala mereka. Akan tetapit Lam-thian Kai-ong meninggal tak lama kemudian karena luka-lukanya ketika melawanku. Aku lalu mengangkat tiga orang ketua baru itu yang kulatih sedikit ilmu. Dan akupun lebih banyak bersembunyi, membiarkan mereka itu yang bekerja untukku."
"Dan sekarang?"
"Sekarang? Aku telah bebas... aaahhh, betapa senangnya. Aku telah bebas dari topeng itu, bebas dari ikatanku sebagai Lam-sin. kau lihat tadi, Lam-sin sudah mampus, yang ada sekarang hanya Toan Kim Hong, seorang gadis yang bebas..."
"Dan mencinta seorang pemuda yang bernama Ceng Thian Sin..."
Kata Thian Sin sambil meraih. Kini Kim Hong membiarkan dirinya dirangkul.
"Kalau saja Ceng Thian Sin juga mencintanya."
"Dengan sepenuh hatiku,"
Kata Thian Sin yang menciumnya. Gadis itu tidak menolak dan mereka lalu berpelukan dan bergumul di atas permadani rumput yang tebal itu. Demikiantah, dua orang muda itu tenggelam dalam lautan madu asmara yang memabukkan.
Thian Sin berusia dua puluh tahun dan Kim Hong berusia dua puluh dua tahun. Akan tetapi mereka berdua sama sekali tidak mempersoalkan perbedaan usia ini. Yang mempersoalkan perbedaan usia hanyalah mereka yang mengikatkan diri dengan pernikahan. Dalam pernikahan ini selalu terdapat banyak kaitan-kaitan, syarat-syaratnya. Harus si calon suami lebih tua beberapa tahun daripada si calon isteri, harus tidak ada hubungan keluarga, harus memenuhi syarat begini dan begitu. Akan tetapi, dua orang muda ini tidak terikat oleh apapun juga. Mereka melakukan hubungan karena dasarnya suka sama suka. Bahkan mereka itupun hampir tidak mempedulikan soal cinta atau tidak cinta. Mereka suka untuk saling bercumbu, saling berdekatan, saling bermain cinta dan menumpahkan seluruh kemesraan hati masing-masing, dan habis perkara!
Mereka itu seperti binatang dalam hutan yang bebas melakukan apapun juga yang mereka kehendaki, tidak mengganggu orang lain, juga tidak ingin diganggu orang lain, tidak ingin diikat oleh peraturan-peraturan. Sampai satu bulan lamanya mereka berdua hidup di dalam tempat yang sunyi itu, penuh madu asmara, penuh kemanisan yang membuat mereka lupa segala-galanya, seperti sepasang pengantin yang berbulan madu. Sebulan kemudian, ketika mereka berdua mandi di sumber air tak jauh dari pondok itu, mandi bertelanjang bulat seperti dua ekor ikan, tanpa malu-malu karena di situ tidak ada orang lain kecuali mereka, Thian Sin duduk di atas batu. Kim Hong berenang menghampirinya, lalu duduk di sebelahnya. Sinar matahari pagi menyentuh hangat di atas badan mereka yang basah.
"Kim Hong, apakah kita akan begini terus selamanya?"
Tanya Thian Sin, memandang termenung ke air di bawah mereka yang jernih dan sejuk sekali itu. Kim Hong memandang pemuda itu dan tersenyum manis. Giginya berkilau tertimpa sinar matahari pagi.
"Tentu saja! Mengapa tidak? Bukankah kita berbahagia di sini? Apakah engkau tidak berbahagia bersamaku, Thian Sin?"
Thian Sin merangkul.
"Tentu saja, Kim Hong. Aku merasa berbahagia sekali bersamamu di tempat ini. Akan tetapi, segala kesenangan itu tentu akam menimbulkan kebosanan, bukan?"
Tiba-tiba Kim Hong mengibaskan lengan pemuda itu yang merangkulnya dan ia mendorong dada Thian Sin dengan kuat.
"Eh-eh...!"
Thian Sin mengelak dan tentu saja tubuhnya terjatuh ke dalam air karena batu yang mereka duduki itu sempit saja.
"Byuuuuurrr...!"
Thian Sin berenang menghampiri lagi.
"Kim Hong, mengapa engkau?"
Tanyanya sambil memegangi batu.
"Kau bilang sudah bosan denganku? Ah, pergilah, jangan mendekat!"
Kakinya menendang ke arah kepala Thian Sin. Tentu saja pemuda itu tidak membiarkan kepalanya ditendang dan diapun cepat menyelam dan menjauh.
"Nanti dulu, engkau pemarah benar. Siapa bilang aku bosan kepadamu? Nah, ke sinilah, akan kuperlihatkan padamu bahwa aku tak pernah bosan!"
Thian Sin meraih dan dapat menangkap kaki gadis itu, menariknya dan Kim Hong juga terjatuh ke dalam air. Mereka saling menyiramkan air, bergurau dan akhirnya Kim Hong terlena dalam pelukan Thian Sin yang menciuminya.
"Kenapa kau tadi bilang bosan?"
"Dengarlah dulu, aku tidak bosan sekarang, akan tetapi aku tahu benar bahwa kesenangan kelak akan membosankan, baik kepadaku maupun kepadamu. Hidup rasanya hambar kalau setiap hari harus bersenang-senang saja seperti kita sekarang ini, bukan?"
Dia berhenti sebentar dan menyingkap rambut yang sebagian menutup wajah yang cantik itu.
"Perlu ada selingan, sayang. Baru namanya hidup. Aku sudah terbiasa oleh ketegangan-ketegangan, dan perlu apa kita belajar ilmu silat kalau harus membenamkan diri di tempat sunyi ini terus-terusan? Apakah engkau hendak meniru mendiang ayah bundamu yang menyembunyikan diri di pulau kosong? Kita tidak perlu bersembunyi, kita perlu melihat dunia ramai!"
Kim Hong termenung, lalu mengangguk.
"Agaknya engkau benar, Thian Sin. Aku terlampau terpengaruh oleh kehidupan orang tuaku sehingga tanpa kusadari aku ingin meniru kepada mereka, karena aku sudah terbiasa dengan kesunyian. Nah, sekarang apa kehendakmu? Aku menurut saja."
"Aku ingin keluar dari tempat sunyi ini, aku ingin mencari dan menantang, juga ingin mengalahkan orang-orang seperti Tung-hai-sian, See-thian-ong, dan Pak-san-kwi!"
"Ihhh! kau gila? Mereka itu adalah datuk-datuk kaum sesat yang lihai sekali dan mempunyai banyak kaki tangan. Engkau akan mencari bahaya maut menentang mereka!"
"Justeru itulah, sayang. Aku ingin menentang mereka, menentang bahaya. Tahukah engkau, dalam ketegangan dan bahaya itu terdapat kenikmatan?"
Kim Hong mengangguk. Hal itu pernah dialaminya ketika ia masih menjadi Lam-sin selama hampir empat lima tahun lamanya.
"Tapi, menentang mereka sungguh berbahaya sekali!"
Katanya.
"Tidak, kalau engkau berada di sampingku. Engkau tentu mau membantuku, bukan?"
"Terdengamya menarik juga. Tapi, mengapa sih engkau ingin menentang dan mengalahkan mereka?"
"Bukan apa-apa, hanya ingin memuaskan hati saja. kau tahu, mendiang ayahku dahulu ingin menjadi jagoan nomor satu di dunia, dan aku belum puas kalau aku tidak membuat cita-citanya itu menjadi kenyataan. Aku ingin mengobrak-abrik mereka dan berarti aku telah mengalahkan empat datuk kaum sesat termasuk Lam-sin, maka aku berarti telah menjadi jagoan nomor satu, bukan? Kalau engkau mau membantuku, aku yakin bahwa aku akan berhasil mengobrak-abrik ketiga datuk itu, karena sesungguhnya, aku pernah mengukur kepandaian mereka dan pernah menang ketika bertanding melawan See-thian-ong dan Pak-san-kwi."
Lalu dia menceritakan pengalaman-pengalamannya ketika dia mengalahkan dua orang datuk itu. Kim Hong termenung.
"Aku jadi ingin sekali untuk menguji kepandaianku sendiri. Dan akupun ingin bertemu dengan orang-orang pandai. Siapa tahu ada pria lain kecuali engkau yang dapat mengalahkan aku."
"Kalau ada yang mengalahkan, bagaimana? Apakah engkau juga hendak menyerahkan dirimu kepadanya?"
Melihat pandang mata pemuda itu yang mengerutkan alisnya, tiba-tiba Kim Hong tertawa. Suara ketawanya lepas dan riang bebas sehingga nampak deretan giginya yang putih dan gua mulutnya yang kemerahan.
"Ha-ha, engkau seperti seorang suami pencemburu saja! Apakah engkau juga akan begitu setia kepadaku, tidak akan mendekati wanita lain?"
Thian Sin tertegun dan tidak mampu menjawab. Memang tidak ada ikatan apa-apa antara dia dan wanita ini, mengapa dia mengajukan pertanyaan yang tolol dan berbau cemburu itu? Dia menarik napas panjang.
"Kim Hong, terus terang saja, dahulu aku suka sekali kepada wanita cantik dan rasanya aku ingin mendekati seluruh wanita muda yang cantik menarik. Akan tetapi, kalau ada engkau di dekatku seperti sekarang ini, aku tidak tahu apakah aku masih ingin lagi berdekatan dengan wanita lain."
Dia mencium mulut itu.
"Dan engkau bagaimana?"
Kim Hong menggeleng dan tersenyum manis.
"Mana aku tahu? Aku belum memiliki pengalaman sebanyak engkau, dan engkaulah pria pertama yang pernah bergaul denganku!"
"Ih, kita jadi menyeleweng dari pokok pembicaraan. Bagaimana, Kim Hong, maukah engkau menemani dan membantuku menghadapi para datuk itu? Hanya untuk selingan hidup, mencari kegembiraan. Bagaimana? Kelak kita masih dapat kembali ke sini lagi kalau sudah bosan merantau."
Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mencari kegembiraan di antara cengkeraman maut? Ah, menarik juga. Baiklah, kalau aku merasa bosan, toh mudah saja bagiku untuk kembali ke sini lagi."
"Hemm, terima kasih Kim Hong. Engkau memang manis, hemmm!"
Thian Sin menciuminya dan sambil tertawa dan bergurau, mereka saling berciuman dan akhirnya Kim Hong yang kembali mendorongnya.
"Eh, apa perutmu kenyang hanya berciuman saja? Aku sih sudah lapar!"
"Lapar? Wah, setelah kau ingatkan, akupun merasa lapar sekali!"
"Tunggu apa lagi? Bubur menanti, dan daging ayam tim kemarin masih ada, tinggal memanaskan saja!"
Mereka tertawa-tawa seperti anak-anak, keluar dari sumber air itu dan berlari-larian seperti anak-anak, keluar dari sumber air itu dan berlari-larian seperti anak-anak kecil berlumba, kembali ke pondok dalam keadaan telanjang saja, seperti tadi ketika mereka berangkat untuk mandi di situ. Melihat keadaan muda-mudi ini, timbul pertanyaan dalam hati yang membuat kita ragu-ragu untuk menjawabnya. Pertanyaam itu adalah : Kotor dan tidak sopankah sikap dan perbuatan mereka itu? Tidak punya malukah mereka itu? Kalau arti sopan dan susila dengan arti yang remeh sudah menebal dalam perasaan kita,
Tentu kita akan menyeringai dan dengan mudah dan seketika mengatakan bahwa mereka itu tidak tahu malu, tidak sopan dan sebagainya, walaupun tanpa dapat kita tolak, ada perasaan mesra menyelinap dalam hati dan banyak pula yang merasa mengiri atas kebebasan cara hidup seperti itu. Mereka itu hanya berdua, tidak ada orang lain kecuali mereka, oleh karena itu, tidak sopan terhadap siapakah? Harus malu terhadap siapakah? Dua orang yang sudah seperti mereka itu, tiada bedanya dengan suami isteri. Bedanya hanya terletak kepada pernikahan, yang untuk jaman sekarang hanya merupakan sepotong surat nikah. Dan suami isteri, atau dua orang yang sudah seperti mereka itu keadaannya, seperti satu badan dan tidak mempunyai rasa malu-malu atau bersopan-sopan, seperti kalau kita sendirian di dalam kamar mandi saja. Karena itu, jawabannya juga tergantung dari pada tebal tipisnya kemunafikan kita sendiri.
Pada keesokan harinya, Thian Sin dan Kim Hong berangkat meninggalkan tempat indah yang sunyi terasing dan terpencil dari dunia ramai itu. Mereka masing-masing membawa buntalan pakaian dan mereka berangkat dengan hati gembira dan bersemangat. Thian Sin dan Kim Hong membuat perjalanan ke Propinsi Ching-hai. Thian Sin bermaksud untuk lebih dulu mengunjungi See-thian-ong yang tinggal di Si-ning di dekat telaga besar Ching-hai. Mereka melakukan perjalanan seenaknya tidak tergesa-gesa karena Kim Hong yang selama empat lima tahun ini selama tinggal di Heng-yang dan sebelum itu malah selalu berada di dalam pulau kosong,
Maka kini memperoleh kesempatan merantau dengan Thian Sin, ia ingin menikmati setiap tempat indah yang dilaluinya. Oleh karena itu, mereka melakukan perjalanan seperti pelancong-pelancong saja, atau seperti sepasang pengantin baru yang sedang melakukan perjalanan bulan madu yang manis, di kuil-kuil kuno, dan kalau kebetulan di dalam kota mereka menyewa sebuah kamar di rumah penginapan seperti suami isteri. Akan tetapi, selama mereka melakukan perjalanan ini, seringkali mereka cekcok, walaupun lebih sering lagi mereka bermain cinta. Ada perbedaan atau bahkan pertentangan watak di antara mereka, Yaitu keduanya sama keras dan tidak mau mengalah, tidak mau merasa kalah.
Oleh karena ini, maka sering kali mereka cekcok, walaupun sebentar kemudian mereka sudah saling cium dan merasa di dalam lubuk hati mereka bahwa mereka itu saling mencinta dan menyayang! Di dalam perjalanan itu, Thian Sin menceritakan kepada Kim Hong tentang keadaan See-thian-ong, tentang kelihaian-kelihaiannya, rahasia-rahasia kepandaiannya, dan tentang kehidupannya seperti yang diketahuinya dari murid murtad datuk itu yang pernah menjadi kekasihnya, yaitu So Cian Ling. Dia menceritakan tentang kedua murid See-thian-ong itu, yaitu Ciang Gu Sik yang lihai, dan So Cian Ling yang sebetulnya malah lebih lihai daripada suhengnya itu. Dan memesan kepada Kim Hong agar berhati-hati terhadap ilmu sihir See-thian-ong.
"Tingkat ilmu kepandaian silatmu kiranya tidak perlu kalah berhadapan dengan ilmu silatnya, karena kulihat engkau tidak kalah lihai. Hanya dalam ilmu sihir, engkau harus hati-hati, Kim Hong. Aku dahulu pernah hampir celaka oleh ilmu sihirnya itu, yaitu sebelum aku menguasai ilmu sihir pula."
"Ihhh! Sihir? Ilmu apa sih itu? Mana bisa mengalahkan aku?"
Tiba-tiba Thian Sin memandang kekasihnya itu dengan sinar mata tajam.
"Eh, kenapa engkau memandangku seperti ini...?"
Tiba-tiba Kim Hong yang melihat perbedaan
(Lanjut ke Jilid 34)
Pendekar Sadis (Seri ke 05 "
Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 34
pandang mata itu berseru kaget. Namun terlambat karena ia sudah berada dalam kekuasaan sihir Thian Sin melalui pandang matanya.
"Inilah ilmu sihir, Kim Hong. Engkau hendak melawanpun percuma karena kedua tanganmu tak dapat kau gerakkan. Tidak percaya? Cobalah, kedua lenganmu tak mampu bergerak!"
Di dalam suara Thian Sin itupun mengandung kekuatan sihir. Kim Hong tidak percaya dan ia mencoba untuk menggerakkan kedua lengannya, akan tetapi... benar saja. Kedua lengannya tidak dapat digerakkan sama sekali, betapapun ia menjadi terkejut bukan main dan wajahnya menjadi pucat. Thian Sin menggerakkan tangan ke atas dan berkata,
"Aku menyerangmu dengan ciuman, akan tetapi betapapun engkau hendak mengelak dan menangkis, engkau tidak sanggup menggerakkan semua bagian tubuhmu!"
Dan benar saja, Thian Sin mendekatkan mukanya dan mencium bibir gadis itu. Kim Hong ingin mengelak, menarik mundur kepalanya, akan tetapi tidak sanggup! Thian Sin tersenyum, lalu melepaskan pengaruh sihirnya dan berkata,
"Engkau sudah biasa kembali dan mampu bergerak lagi!"
Kim Hong meloncat ke belakang, alisnya berkerut.
"Ilmu siluman apakah ini?"
Bentaknya, akan tetapi ia benar-benar menjadi gentar.
"Nah, itulah ilmu yang dikuasai oleh See-thian-ong, maka engkau harus berhati-hati terhadap kakek itu."
"Thian Sin, kau ajarkan aku ilmu ini, agar aku dapat melawannya!"
"Tidak mudah Kim Hong. Membutuhkan waktu yang lama dan ketekunan yang mendalam. Hanya dapat dipelajari kalau engkau mengasingkan diri bertapa. Kalau kita saling berdekatan seperti ini, mana mungkin? Akan tetapi, di dalam perjalanan ini akan kuajarkan kepadamu bagaimana agar engkau dapat menghindarkan diri dan menolak pengaruh sihir. Tidak cukup kuat, akan tetapi cukuplah untuk menjaga diri. Asal engkau tidak lengah, asal engkau tidak sampai ditarik perhatianmu olehnya, dia tidak akan dapat menguasai pikiranmu."
Mereka melanjutkan perjalanan dan di sepanjang perjalanan, Thian Sin mengajarkan ilmu penolak sihir kepada Kim Hong. Sebetulnya yang diajarkan itu hanyalah cara memperkuat pikiran agar tidak mudah ditarik perhatiannya dan dikuasai lawan.
Dan karena Kim Hong adalah seorang gadis yang telah memiliki kekuatan khi-kang yang amat kuat, maka latihan seperti itu amat mudah baginya dan sebentar saja ia sudah memiliki kekuatan pikiran yang cukup sehingga tidak akan mudah diseret perhatiannya oleh lawan. Ketika mereka memasuki kota Si-ning keduanya lalu mencari kamar di sebuah rumah penginapan. Setelah menyimpan buntalan pakaian mereka di dalam kamar, Thian Sin lalu mengajak kekasihnya untuk berpesiar di Telaga Ching-hai yang amat luas itu. Hari masih belum panas benar ketika mereka tiba di telaga. Mereka menyewa perahu dan dengan gembira mereka berperahu di telaga, di antara perahu-perahu para pelancong. Mereka membuat sajak-sajak sambil berperahu, makan daging panggang dan kacang, minum arak wangi dan setelah matahari naik tinggi barulah mereka kembali ke kota Si-ning.
Hari telah menjadi sore ketika mereka tiba di rumah penginapan itu. Sama sekali mereka berdua tidak tahu bahwa banyak pasang mata dengan diam-diam memperhatikan mereka berdua sejak mereka berperahu di telaga. Tentu saja yang mengamati mereka itu adalah para anak buah See-thian-ong! Dengan cepat See-thian-ong diberitahu oleh anak buahnya tentang adanya Ceng Thian Sin di kota Si-ning. Sejak dikalahkan oleh Thian Sin, datuk wilayah barat ini menaruh dendam yang amat besar sekali. Dia merasa penasaran dan amat membenci pemuda itu, mencari kesempatan untuk dapat bertemu lagi dan menebus kekalahannya dengan menghancurkan pemuda itu! Kini, seperti ikan mendekati umpan, tanpa dicari pemuda itu telah muncul, bersama seorang gadis cantik. Inilah kesempatan terbaik baginya.
Cepat See-thian-ong mengumpulkan para murid dan pembantunya. Tentu saja murid kepala Ciang Gu Sik bersama sumoinya yang telah menjadi isterinya, So Cian Ling, hadir pula. So Cian Ling yang pernah mengkhianati gurunya ketika menjadi kekasih Thian Sin kemudian menerima hukuman dibikin remuk kedua pergelangan tangannya dan kemudian nyaris dibunuh gurunya itu kini telah menjadi murid yang setia lagi. Gurunya tidak mau lagi mengganggunya, karena wanita itu telah menjadi isteri Ciang Gu Sik, pria yang amat mencinta sumoinya ini. Selain kedua orang murid yang pandai ini, juga hadir pula lima orang murid lain yang belum lama ini digembleng sendiri oleh See-thian-ong. Mereka ini adalah lima orang pria yang usianya hampir lima puluh tahun dan yang terkenal dengan julukan Ching-hai Ngo-liong (Lima Naga Ching-hai).
Biarpun tingkat kepandaian mereka masing-masing tidak setinggi tingkat So Cian Ling maupun Ciang Gu Sik, akan tetapi kalau kelima orang ini maju bersama, mereka dapat membentuk barisan yang amat kuat sehingga Ciang Gu Sik dan So Cian Ling berdua saja belum tentu dapat mengalahkan mereka. Lima orang ini sekarang yang menjadi orang-orang yang dipercaya oleh See-thian-ong dan merekalah yang selalu mewakili datuk ini untuk "membereskan"
Urusan di luar. Sedangkan So Cian Ling dan Ciang Gu Sik lebih banyak mengurus urusan dalam saja dan membantu See-thian-ong untuk mengamati orang-orangnya yang cukup banyak itu. Yang hadir, selain Ciang Gu Sik, So Cian Ling, dan Ching-hai Ngo-liong, terdapat pula belasan orang pembantu yang selain berilmu tinggi juga sudah dipercaya oleh datuk itu.
"Putera Pangeran Ceng Han Houw itu telah berada di Si-ning! Sekali ini, aku harus dapat membekuknya dan membalas penghinaannya dahulu! Kerahkan semua tenaga, amat-amati dia dan gadis yang agaknya menjadi kekasihnya atau isterinya itu. Jangan sekali-kali kalian turun tangan dan mencari gara-gara. Aku sendirilah yang akan turun tangan. Dan agaknya dia datang ke sini memang untuk mengacau, maka lakukan penjagaan sebaiknya, jangan biarkan dia menyelinap ke dalam tempat kita tanpa diketahui."
Demikian antara lain See-thian-ong memberi perintah kepada para murid dan pembantunya.
"Perkenankan teecu membalas sakit hati teecu yang pernah dipermainkannya!"
Kata So Cian Ling kepada gurunya.
"Hemm, kepandaianmu masih jauh untuk dapat mengalahkannya, Cian Ling. Apalagi setelah kedua tanganmu cacad,"
Jawab gurunya.
"Engkau berdua suamimu tidak akan mampu mengalahkannya, dan kita masih belum tahu sampai di mana tingkat kepandaian gadis yang datang bersamanya. Menurut laporan yang kuterima, mereka bermalam di hotel sebagai suami isteri, dan ketika mereka berpesiar di telaga, mereka itu kelihatan sangat mesra dan saling mencinta."
Diam-diam Ciang Gu Sik yang duduk agak di belakang sebelah kiri isterinya, melirik dan memperhatikan wajah So Cian Ling. Diam-diam pria ini menuliskan sesuatu di atas kertas tanpa diketahui oleh isterinya.
Setelah membagi-bagi perintah agar mereka semua siap siaga, pertemuan itu dibubarkan dan ketika Ciang Gu Sik dan So Cian Ling juga meninggalkan tempat itu, surat yang ditulisnya tadi telah disampaikan oleh seorang di antara Ching-hai Ngo-liong kepada See-thian-ong. Kakek ini membaca tulisan singkat itu dan mengangguk-angguk, tersenyum lebar dan merasa girang sekati. Ciang Gu Sik ternyata adalah seorang muridnya yang paling cerdik dan juga paling setia kepadanya. Ketika Ciang Gu Sik dan So Cian Ling meninggalkan rumah See-thian-ong, ada seorang anak buah yang menyusul mereka, menyampaikan panggilan See-thian-ong kepada murid kepala ini agar menghadap sendirian karena ada hal penting yang hendak dibicarakan. Ciang Gu Sik cepat pergi menemui gurunya, sekali ini sendirian saja.
"Bagus!"
Kata See-thian-ong.
"Usulmu memang baik sekali."
See-thian-ong tertawa.
"Memang dugaanmu tepat. Betapapun juga, hati wanita tentu akan tergoda oleh cemburu. Betapapun juga, isterimu pernah jatuh cinta kepada putera pangeran itu. Maka, sekarang, baiknya diatur rencana yang tepat. kau suruh isterimu pergi menemui Thian Sin dan kau suruh melakukan penyelidikan untuk mengetahui apa keperluan pemuda itu datang ke Si-ning. Dalam pertemuan itu, kalau kita tidak salah sangka, tentu Cian Ling akan memperingatkan Thian Sin bahwa aku hendak membalas dendam kepadanya. Dan dalam pertemuan itu, tentu Cian Ling mengajak Thian Sin untuk bicara berdua saja. Mana mau si keras hati itu bicara dengan kekasih Thian Sin yang baru? Nah, ketika mereka berdua itu berpisah, aku akan berusaha menangkap kekasih Thian Sin!"
"Lalu bagaimana rencana suhu?"
Tanya Ciang Gu Sik, didengarkan pula oleh Ching-hai Ngo-liong yang juga hadir di situ sedangkan para pembantu lain sudah keluar dari situ.
"Aku menghendaki untuk menawan perempuan itu. Aku tidak ingin membunuh Thian Sin begitu saja, terlalu enak baginya! Setelah berhasil menawan perempuan itu, maka aku dapat memaksa dia menyerah dan aku akan menentukan selanjutnya."
Mereka mengadakan perundingan untuk menjebak Thian Sin dan Kim Hong. Kemudian, Gu Sik pulang dan dia melihat isterinya sedang duduk termenung. Dia duduk di dekat isterinya dan memandang wajah isterinya dengan tajam.
"Engkau kenapa?"
Cian Ling menggeleng kepalanya.
"Tidak apa-apa."
"Engkau termenung setelah mendengar Thian Sin, bukan?"
Wanita yang cantik manis itu mengangkat mukanya, sepasang matanya bersinar-sinar.
"Laki-laki jahanam itu!"
"Engkau cemburu?"
"Dia menipuku, dia mempermainkan aku. Dia membuat aku kehilangan kelihaianku karena terhukum oleh suhu. Aku harus membalasnya!"
Kata Cian Ling sambil mengepal tinjunya. Akan tetapi suaminya yang sudah amat mengenal isterinya ini dapat melihat kerinduan dalam sinar mata isterinya itu terhadap bekas kekasih itu. Sering kali di waktu berada dalam pclukannya, seperti sedang dalam mimpi saja dan di luar kesadarannya isterinya ini menyebut nama Thian Sin! Itu saja sudah membuat dia maklum bahwa diam-diam isterinya ini masih mencinta Thian Sin. Hal inilah yang membuat Gu Sik semakin benci kepada Thian Sin dan kebenciannya itu kiranya tidak kalah oleh kebencian suhunya terhadap pemuda itu!
"Kalau begitu kebetulan sekali, baru saja suhu memberi tugas kepadamu, sumoi."
"Tugas apakah, suheng?"
Memang aneh sekali dua orang ini. Biarpun mereka itu sumoi dan suheng, akan tetapi mereka telah menjadi suami isteri, dan mereka itu masih saling menyebut sumoi dan suheng! Dan hubungan mereka juga sama sekali tidak mesra. Mungkin satu-satunya kemesraan hanya kalau mereka tidur bersama, dan inipun dilakukan oleh Cian Ling hanya untuk membalas kebaikan suhengnya ketika menyelamatkannya. Kalau Gu Sik amat mencinta isterinya, sebaliknya Cian Ling tidak ada rasa cinta kepada suhengnya, hanya perasaan berhutang budi saja, dan untuk itu ia membiarkan dirinya dicinta dengan menyerahkan tubuhnya akan tetapi tidak pernah menyerahkan hatinya.
"Begini, sumoi, seperti kau ketahui sendiri tadi, suhu telah mendengar bahwa Ceng Thian Sin telah berada di Si-ning, bersama seorang wanita cantik. Suhu ingin memancingnya agar suhu dapat membalas dendam atas penghinaan yang telah diterimanya dahulu. Dan satu-satunya orang yang telah mengenalnya dengan baik adalah engkau. Maka, suhu tadi menyuruh aku menyampaikan perintahnya, yaitu agar engkau pergi menemui Thian Sin dan menggunakan perhubungan kalian yang lalu untuk menyelidikinya, apa maksudnya datang ke Si-ning dan sebagainya. Akan tetapi, mengingat akan hubunganmu yang lalu dengan dia, dan agar jangan sampai wanita yang mendampinginya itu menaruh curiga atau cemburu, sebaiknya kau usahakan agar engkau dapat bicara empat mata saja dengan Thian Sin, agar wanita itu jangan ikut mendengarkan pembicaraan kalian."
Cian Ling mengangguk-angguk.
"Baiklah, akan kulakukan itu."
"Menurut kata suhu, sebaiknya engkau berusaha menemui Thian Sin dan mengajaknya bicara empat mata malam ini juga, dan caranya bagaimana terserah kepadamu."
Kembali Cian Ling mengangguk dan alisnya berkerut karena wanita ini sudah memutar otak mencari akal bagaimana untuk dapat menemui Thian Sin berdua saja, tanpa kehadiran wanita yang agaknya menjadi kekasih baru, atau bahkan isteri Thian Sin itu. Diam-diam hatinya panas bukan main mendengar betapa hubungan antara Thian Sin dan wanita itu amat mesranya dan terbayanglah kembali kenang-kenangan lama ketika pemuda itu bermesraan dengannya selama hampir tiga bulan! Senja hari itu, setelah makan sore, Thian Sin menerima sepucuk surat dari pelayan rumah penginapan yang melayani mereka makan, karena Thian Sin dan Kim Hong menyuruh pelayan ini membelikan makanan dan makan di rumah penginapan itu. Ketika Thian Sin membuka kertas berlipat itu dan membacanya dia tersenyum. Surat itu dari So Cian Ling!
"Hemm, kau cengar-cengir setelah membaca surat itu, dari siapakah?"
"Dari So Ciang Ling, murid See-thian-ong."
Kim Hong sudah pernah mendengar cerita Thian Sin tentang gadis itu, maka ia berjebi dan membuang muka.
"Kau mau membacanya?"
"Huh, aku tidak mempunyai urusan dengan wanita itu!"
"Ha-ha, kau cemburu?"
Kim Hong memandang dengan mata bersinar marah.
"Siapa bilang cemburu? Biar kau mau menggandeng seribu orang wanita, aku tidak akan peduli! Kalau engkau menggandeng lain wanita, berarti engkau tidak suka lagi kepadaku, dan tidak ada yang memaksamu untuk suka kepadaku. Hubungan antara kita bebas tanpa ikatan!"
Thian Sin tersenyum, akan tetapi diam-diam dia merasa khawatir juga kalau-kalau gadis ini meninggalkannya atau tidak mau lagi mendekatinya. Bagaimanapun juga, dia merasa amat berat untuk berpisah dari Kim Hong. Cian Ling tidak ada artinya lagi baginya, dan hubungannya dengan Cian Ling dahulupun hanya terdorong oleh keinginan membujuk dara itu untuk membantunya mencari kelemahan See-thian-ong.
"Maafkan aku, Kim Hong, aku hanya main-main. kau bacalah suratnya, atau kau dengarkan, kubacakan. Ada jalan yang baik sekali untuk menyelidiki keadaan See-thian-ong melalui Cian Ling."
Thian Sin lalu membaca surat pendek dari Cian Ling itu.
Ceng Thian Sin,
Mengingat akan hubungan kita yang lalu, aku ingin sekali bertemu denganmu untuk membicarakan hal teramat penting. Datanglah sendirian saja begitu matahari terbenam, di luar kota Si-ning gerbang selatan.
Tertanda : So Cian Ling.
"Hemm, agaknya ia rindu padamu,"
Kata Kim Hong, tersenyum mengejek.
"Mungkin saja, akan tetapi aku sendiri sama sekali tidak memikirkannya, Kim Hong. Kupikir, sebaiknya kalau kutemui wanita ini untuk menyelidiki tentang keadaan See-thian-ong. Siapa tahu telah terjadi perubahan besar yang tidak kuketahui."
"Sesukamulah!"
Jawab Kim Hong, bersikap tidak peduli, akan tetapi bagaimanapun juga ada perasaan tidak sedap di dalam hatinya. Ia merasa marah kepada hatinya sendiri. Ia tidak ingin dikuasai atau menguasai Thian Sin, tidak ingin mengikat atau diikat, akan tetapi mengapa hatinya terasa tidak enak melihat Thian Sin hendak menemui kekasih lama? Inikah yang dinamakan cemburu? Seperti kebanyakan orang, Kim Hong juga tidak mau melihat kenyataan bahwa cemburu tentu timbul di mana terdapat si aku yang mementingkan kesenangan sendiri. Di mana terdapat kenikmatan dan kesenangan, tentu timbul iri hati atau cemburu.
Hubungannya dengan Thian Sin, baik sah atau tidak, resmi atau belum, baik dengan ikatan pengesahan atau tidak, telah mendatangkan kenikmatan atau kesenangan baginya. Kesenangan inilah yang membentuk ikatan batin, dan si aku selalu enggan untuk membagi kesenangan dengan orang lain, atau lebih tepat lagi, membagi sesuatu yang mendatangkan kenikmatan dengan orang lain inilah yang melahirkan cemburu. Milikku diganggu, punyaku diambil orang! Malam itu, dengan hati agak panas, Kim Hong tinggal seorang diri di dalam kamar losmen itu. Ia merasa gelisah, rebah sebentar, bangkit lagi dan duduk termenung, lalu bangkit lagi dan mondar-mandir di dalam kamarnya. Semenjak menanggalkan topengnya sebagai Lam-sin, ia selalu berdua dengan Thian Sin dan telah mengalami kegembiraan hidup yang luar biasa, yang belum pernah dialaminya sebelumnya.
Memang kadang-kadang ia marah kepada Thian Sin, kadang-kadang ia menganggap pemuda itu terlalu besar kepala, tinggi hati dan juga keras hati, mau menang sendiri, dan kalau teringat akan kekejaman-kekejaman Pendekar Sadis, ada perasaan tak senang di hatinya. Akan tetapi semua itu lenyap setelah berada dalam pelukan dan belaian Thian Sin dan kalau sudah begitu, ia tidak ingin berpisah sedikitpun juga dari pria itu. Dan sekarang, baru pertama kali sejak mereka bertemu Thian Sin pergi meninggalkannya sendirian. Dan ia merasa betapa tidak enaknya perasaan hatinya, begitu kesepian, begitu gelisah dan takut kehilangan pemuda itu! Ia dan Thian Sin sering bicara tentang hubungan mereka berdua. Dan mereka sudah setuju untuk tidak mengikat diri satu sama lain. Oleh karena itu pula maka ia selalu minum obat, warisan dari mendiang ibunya,
Untuk mencegah agar ia tidak mengandung dari hubungannya dengan Thian Sin. Dan pemuda itupun menyetujuinya. Kalau ada anak terlahir di antara mereka, tentu mau tidak mau mereka menjadi terikat oleh anak itu. Mereka berdua ingin bebas, dan ingin agar hubungan di antara mereka itu atas dasar suka sama suka, bukan karena terpaksa oleh kewajiban-kewajiban yang timbul karena suatu ikatan. Kalau mereka sudah saling bosan atau sudah tidak suka lagi hubungan itu, maka hubungan itu dapat putus sewaktu-waktu. Atau kalau keduanya menghendaki, tentu hubungan itu dapat bertahan selama hidup! Kini Kim Hong merasa betapa sangat sunyi dan kosongnya rasa hatinya setelah Thian Sin pergi. Hal ini membuat ia merasa bahwa ia telah jatuh cinta benar-benar kepada pemuda itu, bahwa di luar kehendaknya, ia sebenarnya telah terikat secara batiniah.
"Aku cinta padanya! Si bedebah! Aku cinta padanya!"
Gadis yang pernah menjadi datuk kaum sesat selama hampir lima tahun ini berjalan mondar-mandir dan memukul-mukul telapak tangan kiri dengan kepalan kanannya sendiri. Hatinya mulai risau. Ia tidak akan bebas kalau sudah terikat, buktinya, baru ditinggal sebentar saja sudah gelisah. Apa akan jadinya dengan dirinya kalau begini? Belum lama Thian Sin pergi meninggalkannya, selagi ia mondar-mandir di dalam kamarnya, tiba-tiba pintu kamar itu diketuk dari luar. Hampir ia melompat dengan hati girang mengira bahwa Thian Sin telah kembali. Akan tetapi tidak mungkin. Kalau Thian Sin yang datang, tidak akan mengetuk pintu!
"Siapa?"
Tanyanya sambil menghentikan kakinya.
"Saya, toanio, pelayan."
Kim Hong mengenal suara pelayan yang melayani mereka makan, juga yang menyerahkan surat wanita bekas kekasih Thian Sin tadi. Ia membuka pintu dan Sang Pelayan sudah berdiri di luar pintu sambil membungkuk dengan hormat.
"Ada apa?"
Tanyanya tidak senang.
"Maaf, toanio. Di luar ada seorang tamu yang katanya membawa berita penting sekali bagi toanio,"
Kata pelayan itu. Kim Hong memandang penuh kecurigaan, lalu membentak,
"Siapa tadi yang memberi surat yang kau berikan... suamiku?"
"Saya... saya tidak mengenalnya, toanio. Saya terima dari seorang wanita cantik, entah siapa..."
Tentu saja pelayan ini membohong karena di seluruh daerah itu tidak ada yang tidak mengenal So Cian Ling! Akan tetapi dia takut untuk mengaku, takut terbawa-bawa karena sesungguhnya dia hanya seorang pelayan yang tidak tahu apa-apa.
"Siapa yang mencariku di luar? Wanita pengirim surat tadi?"
"Bukan, Toanio. Seorang laki-laki, sayapun tidak mengenalnya."
Kim Hong keluar dan menutupkan daun pintu kamarnya, lalu metangkah keluar. Di ruangan depan, seorang laki-laki berusia kurang lebih lima puluh tahun, bertubuh jangkung dan berkumis kecil panjang, telah menantinya. Laki-laki itu memberi hormat ketika Kim Hong tiba di situ dan memandangnya dengan sinar mata penuh selidik.
"Siapakah engkau? Ada keperluan apa mencariku?"
Kim Hong bertanya.
"Apakah nona... eh, sahabat baik dari Ceng-Taihiap?"
Pria ini bertanya.
"Benar. Siapa kau dan ada apa?"
Pria itu memandang ke kanan kiri.
"Berita penting sekali tentang Ceng-Taihiap. Nona, dia telah masuk perangkap musuh."
"Ehh...?"
"Nona, marilah kita bicara di luar, tidak enak di tempat umum begini, takut ada yang mendengarnya."
Pria jangkung itu lalu keluar dari ruangan depan. Kim Hong yang sudah merasa tertarik dan khawatir mendengar kata-kata tadi, lalu mengikutinya. Pria itu berjalan perlahan-lahan ke jalan di depan losmen, di bagian yang gelap. Ketika Kim Hong sudah berjalan di dekatnya, dia berkata lagi, suaranya berbisik-bisik.
"Bukankah tadi Ceng-Taihiap dipanggil oleh seorang wanita...?"
"Nanti dulu, siapakah engkau?"
Pria itu menjura dan berkata,
Pendekar Lembah Naga Eps 49 Pendekar Lembah Naga Eps 8 Pendekar Lembah Naga Eps 34